STRATEGI PEMBENTUKAN SIKAP MEMELIHARA LI

STRATEGI PEMBENTUKAN SIKAP MEMELIHARA
LINGKUNGAN
PADA ANAK USIA DINI

Oleh:
Rudi Iskandar1
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang strategi
pembentukan sikap memelihara lingkungan pada anak usia dini pada sekolah formal.
Penelitian ini dilaksanakan di Lembaga di bawah yayasan Ar-Risalah Bogor yaitu
siswa-siswa Taman Kanak-Kanak Ar-Risalah Bogor dan siswa-siswa kelas tiga Sekolah
dasar yang kursus di Yayasan Ar-Risalah Bogor. Sampel penelitian sebanyak 35
responden. Pemilihan responden dilakukan secara purposive sampling. Kriteria dalam
pengambilan responden adalah siswa Taman Kanak-kanak kelas B dan siswa Sekolah
Dasar setinggi-tingginya kelas tiga.
Hasil penelitian menunju dengan menggunakan statistik deskriptif terhadap sikap
dalam memelihara lingkungan yang dilakukan dengan menggunakan program komputer
SPSS seri 10.0, adalah sebagai berikut: Dari 15 item pertanyaan dimana nilai maksimum
pertanyaan masing-masing 2, maka probabilitas skor tertinggi adalah 30 dan
probabilitas skor terendah -30, diperoleh hasil dilapangan adalah skor tertinggi 30 dan
terendah 16 dan rata-rata (mean) sebesar 26,14 dan standar deviasi sebesar 3,76. Hal itu

berarti siswa memiliki sikap dalam memelihara lingkungan yang cukup baik karena
mendekati skor tertinggi (30). Dengan demikian, secara sederhana penelitian ini
menunjukkan bahwa: pertama, Pendekatan proses pembelajaran yang dilakukan secara
kontekstual (contextual teaching and learning) terbukti dapat membantu siswa dalam
membentuk sikap memelihara lingkungan yang baik. Kedua, Strategi pendekatan
kontekstual juga dapat diterapkan pada anak usia dini, yang mana selama ini masing
belum mendapatkan perhatian.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Persoalan lingkungan hidup dewasa ini sudah sangat mendesak untuk
ditanggulangi, oleh karena kualitas lingkungan hidup semakin hari semakin memburuk.
Fenomena pencemaran, kekeringan dan banjir adalah contoh yang dekat didepan mata
1

Dosen Jurusan Geografi FIS UNJ dan Direktur Lintas Survey Nusantara (LSN) dan Direktur Lembaga
Kajian Pemberdayaan dan Pengembangan Daerah (LKP2D) Di Jakarta

kita. Belum lagi masalah limbah (baik rumahtangga, industri maupun lainnya) yang
merupakan produk yang tidak bisa dihindarkan sebagai akibat dari aktivitas manusia
sehari-hari.

Sama halnya dengan proses pemecahan masalah-masalah sosial lainnya, proses
penyadaran masalah-masalah lingkungan dapat dilakukan dengan beragam pendekatan
dan beberapa tahap. Tahap-tahap tersebut sekurang-kurangnya ada tiga: (1) menyadari
bahwa masalah lingkungan sebagai suatu kenyataan yang harus diatasi; (2) melakukan
analisis terhadap masalah tersebut dengan jalan mengidentifikasi penyebab utamanya;
(3) mengembangkan strategi kuratif terhadap kerusakan lingkungan. Tahap-tahap
pemecahan ini perlu diketahui oleh masyarakat khususnya pemerintah dan lembaga
kependidikan ditingkat terendah hingga tertinggi.
Di Indonesia, tahap pertama biasanya dilakukan dengan memasang spanduk,
slogan-slogan pejabat-pejabat dan berita-berita di media cetak dan elektronik seperti
kerusakan hutan, polusi air laut, air tanah, udara, masalah banjir dan kekeringan,
kebakaran hutan, sampah dan lai-lain. Pada dasarnya tahap ini cukup mudah direalisir.
Tahap kedua biasanya dilakukan dengan sudah melakukan kajian (analisis) terhadap
masalah yang ada. Misalnya mengapa pada saat musim hujan terjadi banjir dan saat
musim kemarau terjadi kekeringan. Mengapa air sungai sekarang ini kotor, dan lain-lain.
Tahap ketiga erat kaitannya dengan yang kedua. Misalnya untuk mengurangi dampak
banjir, maka sampah-sampah harus dibersihkan. Untuk mencegah kerusakan taman
digunakan pendekatan psikologis dan budaya. Misalnya “Taman ini dibuat atas biaya
rakyat, maka kewajiban setiap individu untuk menjaganya”.


Secara keseluruhan dari pengenalan kita tentang seluk-beluk lingkungan hidup,
jelas bahwa manusia sampai saat ini telah mengelolanya secara sepihak. Yakni dengan
kecenderungan dan perhatian yang lebih besar tentang bagaimana mencapai pemenuhan
kebutuhan sendiri dalam jangka pendek. Bersikap sangat eksploitatif, dan tanpa disadari
mengelabui diri sendiri, karena kegiatan yang dilakukan dalam jangka panjang akan
meracuni kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraannya sendiri. Sikapnya terlalu
eksklusif dan antroposentrik dengan ciri utamya yang konsumtif.
Secara keliru sebagian orang beragamapun menganggap pandangan ini berasal
dari ajaran agama, pada hal agama mengajarkan sikap transendental. Bahkan untuk
menggaris bawahi (memperjelas tanggung jawab)

keharusan bagi manusia untuk

memperlakukan alam secara baik karena tanggung jawab yang lebih dari makhluk hidup
lainnya di muika bumi dan begitu pula kepada generasi penerusnya. Pada dasarnya,
kebutuhan manusia akan cinta kasih tidak berbeda dengan kebutuhan kita akan alam
yang indah dan nyaman, dengan segala keanekaragaman dan keindahannya, merupakan
kebutuhan yang bersifat genetik, fisiologik dan psikologik. Dalam deklarasi Rio De
Jeneiro juga menyatakan bahwa manusia merupakan pusat pembangunan berkelanjutan.
Hal ini menunjukkan dengan jelas bahwa Deklarasi Rio De Jeneiro berpandangan

antroposentris. Tetapi, sifat antroposentris itu dapat mengandung bahaya dalam
pencapaian pembangunan berkelanjutan itu jika tidak terkontrol. Deklarasi itu berupaya
untuk mengurangi bahaya itu dengan menyatakan bahwa manusia berhak atas kehidupan
yang sehat dan produktif yang serasi dengan alam. Jadi, sebenarnya kerusakan alam
yang ditimbulkan manusia yang makin hari makin berat itu sebenarnya adalah sama
dengan kita mengamputasi diri sendiri. Hal ini harus dikoreksi dengan pandangan yang

lebih holistik. Oleh karena itu diperlukan pengkajian terhadap generasi masa datang,
dengan mempersiapkan mereka untuk mengelola secara baik lingkungannya.
Dalam tulisan ini akan dilihat beberapa pendekatan yang seharusnya dilakukan
kepada anak usia dini dalam pengelolaan lingkungan disekitarnya, dengan harapan dapat
menumbuhkan kesadaran anak-anak usia dini untuk senantiasa terbiasa memelihara
lingkungannya. Dengan demikian diharapkan pula tercipta generasi muda dimasa datang
yang peduli terhadap lingkungan hidup.
Perumusan masalah
Mengingat begitu luasnya permasalahan untuk menentukan strategi pembentukan
sikap memelihara lingkungan pada anak usia dini, maka dalam penelitian ini akan
dibatasi pada: Bagaimanakah strategi pembentukan sikap memelihara lingkungan pada
anak usia dini di lingkungan pendidikan formal ?
Manfaat Penelitian

Dengan dilakukan kajian terhadap strategi pembentukan sikap memelihara
terhadap anak usia dini dilingkungan pendidikan formal, diharapkan dapat dibuat
alternatif untuk membantu pembentukan kepribadian dan perilaku yang ramah
lingkungan kepada anak usia dini dalam rangka membantu mereka mempersiapkan
memasuki kehidupannya jika sudah dewasa dan mandiri nanti.

KAJIAN PUSTAKA
Strategi Pembentukan Sikap
Sikap merupakan produk dari proses sosialisasi dimana seseorang bereaksi sesuai
dengan rangsangan yang diterimanya. Jika sikap mengarah pada obyek tertentu,

berarti bahwa penyesuaian diri terhadap obyek tersebut dipengaruhi oleh lingkungan
sosial, fisik dan kesediaan untuk bereaksi dari orang tersebut terhadap obyek.
Manifestasi sikap tidak dapat dilihat langsung, akan tetapi harus ditafsirkan
terlebih dahulu sebagai tingkah laku yang masih tertutup.

Secara operasional,

pengertian sikap menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap kategori
stimulus tertentu dan dalam penggunaan praktis, sikap seringkali dihadapkan dengan

rangsangan sosial dan reaksi yang bersifat operasional.
Dalam pendekatan yang bersifat teoritis dan operasional, sikap dapat dibedakan
menjadi 3 (tiga) bagian:
1.

Komponen kognisi yang berkaitan dengan beliefs (kepercayaan), ide dan
konsep.

2.

Komponen afeksi yang menyangkut kehidupan emosional seseorang.

3.

Komponen konasi yang merupakan kecenderungan

untuk bertingkah

laku.
Untuk lebih menjelaskan konteks sikap (misalnya sikap dalam memelihara lingkungan),

perlu dibedakan terlebih dahulu fungsi sikap dan kejadiannya. Dengan demikian sikap
sangat erat dengan topik tertentu. Pada tulisan ini secara khusus ditekankan dalam
melihat sikap memelihara lingkungan pada anak usia dini dari usia Taman KanakKanak (5 tahun) hingga kelas 3 sekolah dasar (9 tahun).
Karakteristik dari sikap senentiasa mengikutsertakan segi evaluasi yang berasal
komponen afeksi. Sedangkan kejadiannya tidak diikutsertakan dengan evaluasi
emosional. Oleh karena itu sikap adalah relative konstan dan agak sukar berubah. Jika
ada perubahan dalam sikap berarti adanya suatu tekanan yang cukup kuat dan dapat

mengakibatkan terjadinya perubahan dalam sikap melalui proses tertentu. Kejadian
bencana banjir, longsor, kebakaran hutan, kerusuhan yang mengakibatkan kebakaran
dan kerusakan, sampah yang menggunung dan menimbulkan bau yang tidak sedap
adalah merupakan sebagian dari kejadian yang dapat menyebabkan kemungkinan dapat
berubanya sikap khususnya sikap dalam memelihara lingkungan. Hal ini karena sikap
merupakan kesimpulan dari berfikir, keyakinan dan pengetahuan. Sementara fakta yang
dialami seseorang adalah sesuatu yang tidak terbantah merupakan sumber pengetahuan
yang penting. Informasi tentang dampak bencana tersebut dapat membentuk emosi dan
perasaan anak. Sedangkan pengetahuan dan perasaan anak yang merupakan kluster
dalam sikap akan menhasilkan tingkah alku tertentu. Dengan demikian, dalam suatu
proses pembentukan perilaku pengelolaan lingkungan, proses pembentukan sikap
memelihara lingkungan adalah sangat penting.

Obyek yang dihadapi anak pertama berkaitan langsung dengan apa yang ia
pikirkan dan dinalarnya. Informasi dari media (cetak, elektronik dan lain-lain), guru dan
lingkungan terdekatnya seperti keluarga, teman dan lingkungan tempat tinggalnya akan
dapat membentuk wacana berfikirnya. Oleh karena itu komponen kognisi yang mana
melukiskan obyek tentang keadaan lingkungan sekitar anak, serta dikaitkan dengan
obyek-obyek lain disekitarnya. Proses ini terjadi karena seseorang anak mampu menalar
terhadap karakteristik obyek tentang lingkungan. Misalnya seorang anak melihat sampah
yang menumpuk berserakan disekitar lingkungan rumahnya, di jalan-jalan, ditepi dan di
dalam sungai serta menimbulkan bau yang tidak sedap; sekaligus masuk pada komponen
kognisinya dan menggambarkan bahaya dari keadaan lingkungan tersebut kepada
kenyamanan bermainnya dan kemungkinan penyakit yang akan muncul serta penyebab

banjir karena menutupi saluran air.

Akibat dari gambaran ini seorang anak akan

memiliki pemahaman bahwa lingkungan yang tidak baik dan nyaman, seperti tumpukan
sampah yang terlalu banyak (karena tidak dikelola secara baik) disuatu permukiman
dapat menimbulkan akibat tertentu bagi masyarakatnya. Sekurang-kurangnya bagi
kepentingan bermainnya yang cukup terganggu.

Lingkungan dan Pemeliharaannya
Pengelolaan lingkungan hidup menurut Undang-Undang No. 23 tahun 1997 adalah
upaya terpadu dalam pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian,
pemulihan dan pengembangan lingkungan hidup. Sasarannya adalah terjadinya
keseimbangan ekosistem, karena ketidak-seimbangan ekosistem menyebabkan tidak
tercapainya fungsi lingkungan hidup, tidak terkendalinya pemanfaatan sumberdaya
secara bijaksana dan akhirnya tidak terjaminnya kepentingan generasi kini dan generasi
masa depan.
Bagi anak usia dini, model pengelolaan yang perlu diperkenalkan kepada mereka
sudah tentu berbeda dengan pengertian di atas. Tujuan dari pemeliharaan lingkungan
bagi anak usia dini adalah bagaimana memperkenalkan dan membiasakan untuk
melakukan kegiatan rutin sehari-hari itu tidak merusak lingkungan. Lebih dari itu
ditanamkan sejak awal untuk mencintai tumbuhan, hewan dan lingkungan sekitar
melalui kegiatan nyata seperti menanam tumbuhan di pot atau di halaman yang sudah
disediakan, merawatnya hingga tumbuh subur. Proses dari menanam hingga merawat
tumbuhan tersebut diharapkan akan menimbulkan interaksi antara anak dengan salah
satu unsur lingkungan, sehingga diharapkan akan menumbuhkan sikap yang ramah
terhadap lingkungan. Kegiatan yang semacam itu dapat dilakukan pada unsur

lingkungan yang lain, seperti hewan. Begitu juga kepada air, membiasakan

menggunakannya secara hemat walaupun dimusim hujan banyak air melimpah. Begitu
juga terhadap kebersihan lingkungan, seorang anak sejak awal harus dibiasakan melalui
penciptaan kondisi lingkungan yang bersih dengan menyediaan tempat pembuangan
sampah.
Pendekatan Kontekstual
Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan
belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika
anak ‘mengalami’ apa yang dipelajarinya, bukan ‘mengetahui’-nya. Pembelajaran yang
berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi ‘mengingat’
jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam
kehidupan jangka panjang. Dan itulah yang terjadi di kelas-kelas sekolah kita.
Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching ang Learning) merupakan konsep
belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi
dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga
dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi
siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja
dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran
lebih dipentingkan dari pada hasil.
Dalam konteks itu, siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa maanfaatnya, dalam

status apa mereka, dan bagaimana mencapainya. Siswa perlu menyadari bahwa yang
mereka pelajari dapat berguna bagi hidupnya kelak. Mereka diarahkan untuk

mempelajari apa yang dapat bermanfaat bagi dirinya dan berupaya untuk menggapainya.
Dalam upaya itu, mereka memerlukan guru sebagai pengarah dan pembimbing.
Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya.
Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi belajar mengajar dari pada
memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja
bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang
baru (misalnya pengetahuan dan keterampilan) lebih banyak dating dari ‘menemukan
sendiri’, bukan dari ‘apa kata guru’. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan
pendekatan kontekstual.
Kontekstual hanya strategi pembelajaran, yang dikembangkan dengan tujuan agar
pembelajaran berjalan lebih produktif dan bermakna. Pendekatan kontekstual dapat
dijalankan tanpa harus mengubah kurikulum dan tatanan yang ada.
Ada 7 (tujuh) komponen pendekatan CTL (contextual teaching and learning), yaitu:
(1) Konstruktivisme (constructivism), merupakan landasan berpikir (filosofi)
pendekatan CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit,
yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyongkonyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap
untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan
memberi makna melalui pengalaman nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan
masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide.
Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus
mengkonstruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivis
adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi

kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka
sendiri. Disinilah perbedaan antara pandangan berfikir konstruktivisme dengan
pandangan obyektivis yang lebih menekankan pada hasil pembelajaran. Dalam
pandangan konstuktivisme, strategi untuk memperoleh informasi lebih di utamakan
dibandingkan dengan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan.
Jadi, menurut pandangan konstruktivisme tugas guru adalah memfasilitasi proses
tersebut dengan: satu, menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa, dua
memberikan kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri, dan tiga
menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.
Menurut Piaget, manusia memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya, seperti
kotak-kotak yang masing-masing berisi informasi bermakna yang berbeda-beda.
Pengalaman sama bagi beberapa orang akan dimaknai berbeda-beda oleh setiap individu
dan disimpan dalam kotak yang berbeda. Setiap pengalaman baru dihugungkan dengan
kotak(struktur pengetahuan) dalam otak manusia tersebut. Struktur pengetahuan
dikembangkan dalam otak manusia melalui dua cara, yaitu asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi adalah struktur pengetahuan baru dibuat atau dibangun atas dasar struktur
pengetahuan yang sudah ada. Sedangkan akomodasi adalah struktur pengetahuan yang
sudah ada dimodifikasi untuk menampung dan menyesuaikan dengan hadirnya
pengalaman baru.
Dalam kaitannya dengan penerapan strategi pembentukan sikap memelihara
lingkungan siswa, yaitu seorang guru harus merancang pembelajaran di dalam dan luar
kelas dalam bentuk siswa bekerja, praktek mengerjakan sesuatu, berlatih secara fisik,
menulis karangan, mendemonstrasikan, menciptakan ide dan lain sebagainya dalam hal

kegiatan yang berhubungan dengan pemeliharaan lingkungan. Sudah barang tentu jenis
kegiatannya disesuaikan dengan usia dan lingkungan siswa tersebut.
(2) Menemukan (Inquiry), merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran
berbasis kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang dibangun atas dasar
‘menemukan’ bukan merupakan hasil dari mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi
merupakan hasil dari menemukan sendiri oleh siswa. Menjaga kebersihan lingkungan
kelas dan sekolah, sudah seharusnya ditemukan sendiri oleh siswa, bukan ‘menurut
buku’. Contoh langkah-langkah kegiatan menemukan (inqury) pada anak usia dini:
 Merumuskan masalah (dalam mata pelajaran apapun)
 Bagaimanakah menjaga dan membersihan lingkungan kelas dan sekolah ?
 Mengamati atau melakukan observasi
 Mengamati kelas-kelas yang kotor dan kelas-kelas yang bersih
 Melihat bacaan dan gambar-gambar di buku, koran, majalah dan sumber
lainnya tentang kebersihan lingkungan.
 Menganalisis dan menyajikan dalam tulisan (narasi sederhana), gambar, laporan.
 Siswa membuat narasi sederhana tentang kebersihan lingkungan.
 Siswa membuat laporan sederhana hasil observasinya.
 Siswa membuat atau mengumpulkan gambar tentang lingkungan yang kotor
dan lingkungan yang bersih serta membandingkan baik buruknya.
 Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada teman sekelas, guru & lainnya
 Siswa menceritakan secara lisan hasil perbandingan situasi lingkungan kelas
yang baik dan jelek.

 Bertanya jawab dengan teman sekelas
 Memunculkan ide-ide baru
 Menempelkan hasil karya siswa atau pilihan gambar hasil observasi di kelas
tentang kebersihan lingkungan sekolah.
(3) Bertanya (Quesioning). Sebagai suatu proses, pengetahuan selalu bermula
dari munculnya ‘pertanyaan’. Sebelum mengetahui letak terminal “Blok M”,
biasanya seseorang akan bertanya ‘kemana arah menuju terminal Blok M ?’.
Bertanya merupakan strategi utama dalam pembelajaran yang berbasis kontekstual.
Bertanya dalam suatu proses pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk
mendorong, membimbing, dan menilai kemampaun berfikir siswa. Bagi siswa,
kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran
berbasis inquiri, yaitu menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah
diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya.
Persoalannya adalah bagaimanakah penerapannya dalam pembentukan sikap
memelihara lingkungan di kelas ? Hampir pada setiap aktivitas belajar, bertanya
dapat diterapkan. Antara siswa dengan siswa, antara siswa dengan guru, antara siswa
dengan orang lain yang diundang ke kelas dan lain-lain. Aktivitas bertanya juga
ditemukan ketika siswa berdiskusi, bekerja dalam kelompok, ketika menemui
kesulitan,

ketika

mengamati

dan

lain-lain.

Semua

kegiatan-kegiatan

itu

menumbuhkan dorongan untuk bertanya. Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut
menjadikan anak untuk mencari tahu dan pada akhirnya membentuk sikap dari apa
yang menjadi rasa ingin tahunya tersebut.

(4) Masyarakat Belajar (Learnign Community). Menurut konsep ‘masyarakat
belajar’ hasil pembelajaran sebaiknya diperoleh dari kerjasama dengan orang lain.
Ketika seorang anak ingin membuang sampah sisa makanannya, ia akan bertanya
kepada temannya atau kepada guru, dimana tempat membuang sampah ?. Bagi anak
yang sudah mengetahui, maka hal itu akan ditunjukkan. Ketika seorang anak baru
belajar naik sepeda, ia akan bertanya ‘bagaimana caranya belajar naik sepeda ?’
Tolong dong bantu aku belajar naik sepeda! Lalu bagi temannya yang sudah bisa
naik sepeda menunjukkan sekaligus membantu mengajari naik sepeda. Dua kegiatan
di atas, pada dasarnya sudah membentuk masyarakat belajar (learning community).
Hasil belajar terjadi dari proses ‘berbagi’ (sharing) antara teman, antar kelompok,
dan antara, antara yang belum tahu dengan yang sudah tahu, antara yang sudah ahli
dengan yang belum ahli. Di kelas, di luar kelas atau yang terjadi dimanapun juga
adalah anggota masyarakat belajar. Di dalam kelas yang menggunakan pembelajaran
kontekstual, guru disarankan untuk selalu melaksanakan pembelajaran dalam
kelompok-kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok yang anggotanya
bervariasi. Kegiatan bekerjasama dalam kelompok ini dapat diterapkan dari sekolah
Taman Kanak-Kanak hingga Perguruan Tinggi, tergantung kerumitan topik
masalahnya. Bagi anak-anak usia dini, kegiatan ini bertujuan utama untuk
menumbuhkan kerjasama (karena nilai informasi masih relatif belum begitu
dominan), sementara bagi mahasiswa selain dapat menumbuhkan kerjasama juga
dapat saling melengkapi informasi, karena masing-masing individu sudah memiliki
pendapat sendiri tentang suatu konsep, teori atau interpretasi suatu fenomena di
alam. Dengan demikian, masyarakat belajar bisa terjadi

apabila ada proses

komunikasi dua arah. Seorang guru yang mengajar dengan metode ceramah saja,
adalah bukan contoh dari masyarakat belajar karena komunikasi hanya terjadi dalam
satu arah. Dalam contoh ini yang belajar hanya siswa bukan guru. Dalam masyarakat
belajar, dua kelompok (atau lebih) yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran
saling belajar. Setiap orang bisa menjadi sumber belajar dari pihak lain, maka setiap
orang dapat menjadi sumber belajar. Berarti pula akan memperkaya pengetahuan dan
pengalaman. Metode pembelajaran ‘masyarakat belajar’ (learning community) ini
sangat membantu dalam proses pembelajaran di kelas khususnya dalam
pembentukan sikap memelihara lingkungannya. Hal ini dapat dilakukan melalui:
 Pembentukan kelompok (besar maupun kecil)
 Mendatangkan ‘ahli’ ke kelas
 Bekerja dengan kelas sederajat atau di atasnya
 bekerja dengan masyarakat.
(5) Pemodelan (modeling). Pemodelan yang dimaksud adalah bahwa setiap
pembelajaran keterampilan atau pengetahuan, ada model yang dapat ditiru. Model
itu dapat berupa cara mengoperasikan seseuatu, cara menggunting, cara melipat, cara
memisahkan sampah basah dan kering, contoh karya tulis, cara menghafal ayat-ayat
(Al-Qur’an) dan lain-lain. Artinya, seorang guru memberi contoh model ‘bagaimana
cara belajar’. Dalam pembelajaran tersebut guru mendemonnstrasikan cara
mengolah sampah. Sampah yang dapat membusuk (organik) dipisahkan dengan
sampah plastik (unorganik), antara sampah basah dengan sampah kering; lalu
dibungkus pada tempat yang berbeda, kemudian dibuang ketempat yang terpisah.
Dengan begitu siswa tahu bagaimana memisahkan sampah yang dapat dibakar dan

tidak, yang tidak boleh dibuang ke tanah dan tidak. Karena jika sampah plastik
dibuang ke tanah akan dapat merusak kesuburan tanah. Contoh lain adalah guru
mendemonstrasikan gerakan rotasi, revolusi bumi dan anggota tatasurya lainnya ke
dalam kelas. Artinya, ada model yang bisa ditiru dan diamati siswa, sebelum mereka
berlatih menemukan ‘kata kunci’ bagi pemahamannya. Dalam kasus ini guru
menjadi model. Tetapi, guru bukan satu-satunya model bagi siswa. Model dapat pula
diberikan oleh siswa yang pandai, model yang dirancang pada media elektronik
(seperti simulasi), Penutur asli (native speaker) dalam bahasa yang didatangkan ke
kelas.
(6). Refleksi (Reflection). Refleksi adalah cara berfikir tentang apa yang baru
dipelajari atau berfikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah dipelajari
sebelumnya.

Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau

pengetahuan yang baru diterima. Kuncinya adalah bagaimana pengetahuan yang
baru dipelajari itu mengendap dibenak siswa. Siswa mencatat yang yang sudah
dipelajari dan bagaimana merasakan ide-ide baru. Pada akhir pelajaran, guru
menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi, yang realisasinya sebagai
berikut:
* Kesan tentang pelajaran hari itu
* Hasil-hasil karya siswa di tempel di dinding kelas
* Catatan di buku siswa
* Diskusi
(7) Penilai yang Sebenarnya (Authentic Assessment). Assessment adalah proses
pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar

siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa
memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Data yang
dikumpulkan melalui kegiatan penilaian (assessment) bukanlah untuk mencari
informasi tentang belajar siswa. Pembelajaran yang benar memang seharusnya
ditekankan pada upaya membantu siswa agar mampu mempelajari, bukan
mengetahui sebanyak mungkin informasi di akhir periode pembelajaran. Kemajuan
belajar diperoleh dari proses, bukan hanya hasil. Siapa kelompok yang membenahi
seluruh hasil kerja kelompok, dan membuang sampah pada tempatnya dalam setiap
mata pelajaran, maka akan menambah nilai bagi kelompok. Penilaian kelompok
menilai pengetahuan dan keterampilan (performansi) yang diperoleh siswa
(penilaian autentik). Penilai tidak hanya guru, tetapi bisa juga teman atau orang lain.
Adapun karakteristik penilaian autentik adalah:
* Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung
* Bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif
* Yang diukur bukan mengingat fakta, tetapi keterampilan dan performansi
* Berkesinambungan
* Terintegrasi
* Dapat digunakan sebagai umpan balik (feed back)
Hal-hal yang dapat digunakan sebagai dasar menilai prestasi siswa adalah:
 Proyek/kegiatan dan laporannya
 Pekerjaan Rumah (PR)
 Kuis
 Karya Siswa

 Presentasi atau penampilan siswa
 Demonstrasi
 Laporan
 Jurnal
 hasil tes tertulis
 Karya tulis
Intinya, dalam penilaian autenti, pertanyaan yang ingin dijawab adalah: “apakah
anak-anak belajar ?”, bukan “apa yang sudah diketahui oleh anak-anak ?” dan siswa
dinilai kemampuannya dengan berbagai cara.
Pendidikan Berbasis Masyarakat
A. Konsepsi Pendidikan Berbasis Masyarakat.
Salah satu tujuan reformasi yang kuat bertema adalah otonomi daerah dengan
lahirnya UU No.2 Tahun 1999. Bagi dunia pendidikan, otonomi daerah juga
berarti mengembalikan jati diri pendidikan dalam arti segala urusan pendidikan
hendaknya atas dasar pengelolaan dari dan oleh untuk masyarakat. Sementara
program pemerintah
Artinya

sebagai penentu kebijakan makro dan penentu subsidi.

peran pemerintah yang kuat harus dikurangi. Sementara itu pola

hubungan seperti ini menguntungkan baik masyarakat maupun pemerintah. Bagi
pemerintah otonomi dana pendidikan tidak seluruhnya ditanggung pemerintah,
tapi ditopang oleh dana masyarakat.

Bagi masyarakat, kebutuhan tentang

pendidikan dan macamnya diperlukan dan ditentukan pula oleh masyarakat,
bukan hanya pemerintah.
Pada hakikatnya reformasi dibidang pendidikan adalah

upaya mencari

alternatif yang lebih sehat, mengenai bagaimana mengembangkan pendidikan
yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat kita yang yang sangat langka, baik
dari sosial, ekonomi maupun budaya. Artinya

diperlukan pendidikan yang

berbasis masyarakat (PBM) yakni usaha untuk menumbuhkan pendidikan dari

bawah, agar pendidikan berlatar masyarakat, dikelola masyarakat dan untuk
kepentingan masyarakat. Apa pandangan dari konsep ini ? adalah masyarakat
perlu diberdayakan, diberi peluang dan menilai sendiri, apa yang diperlukan
secara spesifik. (Surakhmad,1999)
Untuk berperan sebagai lembaga pendidikan nasional sekaligus untuk
memberikan sumbangan kepada masyarakat, unsur-unsur PBM harus berciri :
1.

Pola pengembangan yang melibatkan profesi didalam masyarakat untuk
turut bertanggung jawab mengenai mutu pendidikan masyarakat
khususnya, mutu pendidikan nasional umumnya.

2.

Pola swadaya yang

mengutamakan pengelolaan

sendiri pendidikan

didalam konteks masyarakat, meliputi antara lain :
a. Penentuan program pendidikan yang khas.
b. Penyediaan dana operasional dan infrastruktural

3.

c.

Pengadaan tenaga yang kompeten.

d.

Pelaksanaan peraturan secara menyeluruh.

e.

Penilaian dan peningkatan efisiensi dan efektifitas.

Pola program pendidikan dan pelaksanaannya secara umum merujuk pola
dasar yang bersumber dari UU Pokok Pendidikan Nasional serta dari
ketentuan hukum yang dinilai perlu untuk pengembangan pendidikan
secara nasional (Surakhmad, 1999).

A. Pesantren Sebagai Salah Satu Implementasi PBM.
Pendidikan berbasis masyarakat bukanlah suatu yang baru sama sekali,
tetapi lebih marupakan inovasi dari fungsi pendidikan yang monoton selama
kurun waktu penjajahan hingga masa orde baru. Secara Kultural Pendidikan
Berbasis Masyarakat sudah lama diterapkan di Indonesia sebagai pesantren.
Didorong oleh kebutuhan nyata di masyarakat, tantangan yang ada dihadapi,
unsur-unsur yang terlibat (tokoh masyarakat, alim ulama, saudagar, petani, dll)
bersama-sama

menyelenggarakan

pendidikan

bagi

anggota

masyarakat.

Pesantren dimotori oleh pengurus yang tekun dan concern terhadap bidang
yang digeluti, walaupun dimulai dari fasilitas seadanya. Unsur-unsur yang

terlibat (tokoh masyarakat, alim ulama) menyediakan tenaga, waktu dan dana
untuk berlangsungnya proses pendidikan. Setiap unsur masyarakat boleh
menyumbangkan apa saja sesuai kemampuannya. Oleh karena itu di pesantren
semangat

itu terus hidup teratur, tekun hingga kini tetap ada. Bagi

penyelenggaraan di pesantren sendiri, diperlukan revitalisasi tujuan. Karena
keseluruhan proses penyelenggaraan pendidikannya adalah semangat pendidikan
bebasis masyarakat. Salah satu yang perlu diperbaharui adalah pandangan yang
melihat pentingnya pengelolaan lingkungan secara terpadu dengan lingkungan
pendidikan. Berkembangnya pendapat dikalangan masyarakat bahwa pesantren
identik dengan tempat yang cenderung kumuh, santrinya banyak yang menderita
penyakit kulit (karena tempat yang kurang bersih), sanitasi yang kurang layak
dan laun sebaginya menunjukkan bahwa pengelolaan di pesantren belum cukup
penting melihat lingkungan sebagai aset yang penting dalam mendukung proses
pembelajaran. Tetapi, ada juga pesantren-pesantren yang fasilitas infrastruktur
bangunan dan fasilitas pendidikan yang sudah sangat maju, terutama bagi
pesantern-pesantren modern, tetapi jumlahnya masih sangat kecil. Jadi, walaupun
penyelenggaraan itu sudah berbasis masyarakat, penting pula melihat
pengelolaan lingkungan sekitar agar implementasi dari hadist yang berbunyi:
“kebersihan adalah sebagian dari iman” dapat lebih teraktualisasikan lagi.
Nampaknya proses pembelajaran dipesantren selama ini masih dominan bersifat
normatif dan proses pembelajarannya yang cenderung monoton. Oleh karena itu
perlu

dilakukan

revitalisasi

proses

pembelajaran

dengan

menerapkan

pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning). Dengan demikian
diharapkan kemandirian atau otonomi penyelenggaran pendidikan selama ini
sudah baik dan sangat membantu pemerintah akan semakin meningkatkan mutu
penyelenggaran

pendidikan

di

pesantren,

dengan

demikian

membantu

pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam jangka panjang
pesantren akan menjadi pilihan yang diperhitungkan oleh masyarakat untuk
mempercayakan pendidikan anak-anak mereka.

METODOLOGI PENELITIAN
Pentingnya Penelitian
Dengan adanya tema penelitian ini, diharapkan dapat diketahui strategi
yang efektif dalam pemebentukan sikap memelihara lingkungan anak usia dini
khususnya di sekolah formal penelitian tahap I). Pada tahap kedua penelitian
akan dilakukan pada peranan keluarga dalam pembentukan sikap memelihara
lingkungan anak usia dini. Pada tahap ketiga penelitian akan dilakukan pada
peranan pemerintah dalam pembentukan sikap memelihara lingkungan pada anak
usia dini. Untuk selanjutnya akan dibuat strategi pembentukan sikap memelihara
lingkungan pada anak usia dini. Dengan harapan dapat membantu mengarahkan
siswa-siswa untuk berperilaku yang ramah akan lingkungan dimasa datang.
Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah siswa-siswa Taman Kanak-Kanak Ar-Risalah Bogor
dan siswa-siswa kelas tiga Sekolah dasar yang kursus di Yayasan Ar-Risalah
Bogor. Sampel penelitian sebanyak 35 responden. Pemilihan responden dilakukan
secara purposive sampling. Kriteria dalam pengambilan responden adalah siswa
Taman Kanak-kanak kelas B dan siswa Sekolah Dasar setinggi-tingginya kelas tiga.
Metode yang Digunakan
Berdasarkan tujuan penelitian yang ditetapkan, maka metode penelitian yang
digunakan adalah metode deskriptif non-eksperimen dengan pendekatan survei.
Survei dilakukan pada proses pembelajaran Taman Kanak-Kanak Ar-Risalah.
Sebelum pengamatan dilakukan, peneliti berkolaborasi dengan guru kelas untuk
mengajar di kelas selama kurang lebih sebulan yang berkaitan dengan

pemeliharaan dan pengelolaan lingkungan. Data yang dibutuhkan dijaring
melalui instrumen berupa kuesioner.
Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
Pada tahap pertama (yang dilakukan dalam penelitian ini) data yang
diambil dalam penelitian ini

adalah data primer, yang diperoleh melalui

kuesioner. Data pada kuesioner untuk memenuhi aspek pada sikap memelihara
lingkungan yang meliputi lingkungan kelas dan sekolah serta disekitar sekolah.
Analisis data dilakukan menggunakan teknik deskriptif persentase. Sebelum
dilakukan analisis data secara deskriptif, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas
data untuk ujin persyaratan analisis pada data sikap memelihara lingkungan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Data
Sesuai dengan jumlah sampel yang telah ditentukan sebelumnya, instrumen
dibagikan secara purposif kepada siswa TK kelas B dan siswa Sekolah Dasar setinggitingginya kelas 3. Semula, terdapat kesulitan siswa dalam menjawab pertanyaan, atas
dasar itu kemudian strategi pertanyaan diubah, dimana guru yang langsung mengarahkan
pertanyaan secara individual. Pelaksanaan proses pembelajaran yang dipantau adalah
selama kurang lebih satu bulan. Setelah itu, selama kurang lebih satu minggu proses
penjaringan data dilakukan.
Untuk menganalisis data yang telah terkumpul, maka sesuai dengan petunjuk
pada instrumen, dibuat frekuensi kumulatif dari jawaban responden yang terdiri dari tiga
dimensi yaitu: (1) Komponen kognisi yang berkaitan dengan beliefs (kepercayaan), ide

dan konsep. (2) Komponen afeksi yang menyangkut kehidupan emosional seseorang. (3)
Komponen konasi yang merupakan kecenderungan untuk bertingkah laku. Adapun
topik yang dibahas untuk melihat sikap ini adalah Kebersihan lingkungan, Pengelolaan
sampah di kelas dan pemeliharaan tanaman di sekolah. Selanjutnya instrumen terhadap
sikap dalam memelihara lingkungan dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 1. Dimensi dan Indikator Instrumen Sikap dalam Memelihara Lingkungan

Topik/indikator
Dimensi
Sikap

Kognisi
Afeksi
Konasi

Kebersihan
lingkungan

Pengelolaan
kelas

2 item
2 item
1 item

2 item
1 item
2 item

sampah

Pemeliharaan
Tanaman

1 item
2 item
2 item

Dari tabel 1 di atas, diperoleh informasi bahwa dari ketiga dimensi sikap masing-masing
terdiri dari 5 item pertanyaan, begitu juga berdasarkan topik atau indikatornya masingmasing terdiri dari 5 item pertanyaan. Skala instrumen sikap yang digunakan dalam
pertanyaan ini adalah skala likert. Skala ini biasanya mengarahkan jawaban responden
kedalam data yang bersifat kategorikal seperti sangat tidak senang, senang, tidak tahu
dan tidak senang serta sangat tidak senang. Oleh karena instrumen ini diarahkan pada
anak usia dini, maka pilihan atas jawaban yang diberikan di sederhanakan menjadi 3
opsi, yakni senang (dengan nilai 2), tidak tahu ( dengan nilai 0) dan tidak senang
(dengan nilai -2). Jika seorang anak menjawab sesuai dengan teori yang digunakan,
maka nilai maksimumnya adalah 30 (didapat dari jumlah item soal dikali skor 2).
Sebaliknya jika tidak sesuai semua dengan teori maka nilai minimumnya adalah -30

(didapat dari jumlah item soal dikali -2). Secara teoritis, siswa yang menjawab tidak tahu
adalah lebih baik dibandingkan dengan siswa yang menjawab salah.
Untuk memenuhi kelayakan instrumen, maka dilakukan uji normalitas data dari
instrumen sikap dalam memelihara lingkungan. Hasil uji normalitas ‘good of fitness’
data diperoleh hasil sebagai berikut: Chi Square (X2) = 20,20 pada derajat kebebasan
(df) = 11, dan asymptotic significance adalah 0,043 (probabilitasnya kurang dari 0,05).
Itu berarti datanya normal.
Hasil tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

12

10

8

6

Fr
eq
ue
nn
cy

4

2

Std. Dev = 3.76
Mean = 26.1
N = 35.00

0
15.0

17.5

20.0

22.5

25.0

27.5

30.0

SIKAP

Gambar 1. Distribusi Data Sikap Memelihara Lingkungan
Analisis Data
Hasil perhitungan dengan menggunakan statistik deskriptif terhadap sikap dalam
memelihara lingkungan yang dilakukan dengan menggunakan program komputer SPSS
seri 10.0, adalah sebagai berikut:

Dari 15 item pertanyaan dimana nilai maksimum pertanyaan masing-masing 2 (lihat
pada lampiran 2), maka probabilitas skor tertinggi adalah 30 dan probabilitas skor
terendah -30, diperoleh hasil dilapangan adalah skor tertinggi 30 dan terendah 16 dan
rata-rata (mean) sebesar 26,14 dan standar deviasi sebesar 3,76. Hal itu berarti siswa
memiliki sikap dalam memelihara lingkungan yang cukup baik karena mendekati skor
tertinggi (30).
Panafsiran Hasil
Dengan menggunakan pendekatan proses pembelajaran kontekstual (contextual
teaching and learning) yang telah diterapkan selama kurang lebih satu bulan, maka
diperoleh hasil yang memuaskan terhadap pembentukan sikap memelihara lingkungan.
Dari gambar 1 di atas, diperoleh gambaran bahwa secara verbal lebih 80 persen
siswa bersikap baik dalam memelihara lingkungan baik dikelas maupun di sekolahnya.
Arah kurva yang menunjukkan kemiringan pada angka tertinggi disebelah kanan, juga
menunjukkan bahwa kecenderungan umum dari sikap siswa yang baik dalam
memelihara lingkungannya. Jika gambar 1 dikaitkan dengan tabel 1 maka hal itu juga
berarti dimensi kognisi yang merupakan komponen ide dan konsep memelihara
lingkungan, dimensi afeksi yang merupakan komponen kehidupan emosional siswa
dalam kaitannya dengan masalah lingkungan dan dimensi konasi yang merupakan
komponen kecenderungan bertingkah laku dalam memelihara lingkungan;

adalah

cenderung baik.
Secara teoritis, sikap itu relatif konstan dan agak sukar berubah. Oleh karena itu
hasil ini menunjukkan bahwa pada saat dewasa anak-anak tersebut akan cenderung
memiliki sikap memlihara lingkungan yang baik. Tetapi, apabila terjadi tekanan yang

kuat atas dirinya seperti bencana ( seperti banjir, longsor dan lain-lain), proses belajar
mengajar di kelas yang tidak baik dan keadaan dirumah yang tidak harmonis; maka
kecenderungan sikap memelihara lingkungan yang telah di perolehnya tersebut mungkin
sekali untuk berubah. Jadi, kuntinuitas (keberlanjutan) pendidikan dijenjang selanjutnya
(Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas dan Perguruan
Tinggi) dan pendidikan di lingkungan keluarga sangat menentukan terpeliharanya sikap
memelihara lingkungan seorang anak selanjutnya.
Penelitian ini juga dapat memberi gambaran bahwa model pembelajaran yang
digunakan ( pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and learing) juga turut
menentukan keberhasilan dalam pembentukan sikap khususnya sikap memelihara
lingkungan.
KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari hasil perhitungan dan penafsiran terhadap hasil perhitungan yang terdapat di
dalam BAB IV, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pendekatan proses pembelajaran yang dilakukan secara kontekstual
(contextual teaching and learning) terbukti dapat membantu siswa dalam
membentuk sikap memelihara lingkungan yang baik.
2. Strategi pendekatan kontekstual juga dapat diterapkan pada anak usia dini,
yang mana selama ini masing belum mendapatkan perhatian.

Implikasi Kebijakan
Dengan terbuktinya pendekatan pembelajaran kontekstual dalam membantu
pembentukan memelihara lingkungan pada anak usia dini, maka hal ini dapat
berimplikasi sekurang-kurang pada dua aspek: pertama, selama ini sekolah belum secara
pro-aktif dalam meningkatkan kualitas siswa dengan berbagai cara. Terutama dalam hal
sikap memelihara lingkungan, karena masalah ini mungkin belum dianggap penting.
Oleh karena itu perlu kiranya memperbaiki orientasi dalam hal pembentukan sikap
memelihara lingkungan di sekolah-sekolah. Kedua, siswa ternyata lebih menyukai
proses pembelajaran yang berorientasi pada siswa dari pada yang berorientasi pada guru.
Oleh karena itu perlu ditekankan kembali proses pembelajaran yang berorientasi pada
siswa aktif dan kontekstual.
Saran
1. Perlu diterapkannya pendekatan pembelajaran kontektual dalam rangka
membantu membentuk sikap memelihara lingkungan.
2. Pembentukan sikap memelihara lingkungan ternyata dapat dilakukan pada
sekolah formal seperti TK, SD, SMP dan lain-lain maupun pada lembaga
kursus yang lain seperti bimbingan belajar, kursus bahasa, aritmatika dan lainlain; dengan cara melakukan integrasi materi lingkungan hidup pada bidang
studi yang diajarkan dengan pendekatan pembelajaran kontekstual. Untuk itu
setiap guru perlu dibekali pemahaman tentang kondisi lingkungan yang baik.

Daftar Pustaka
Basic Education Managment. 2000. A Pilot Project Community & School Based
Managment in Jakarta Metropolitan School. Cooperation Between Institute of
Managment, State University of Jakarta and Education and Instruction
Department of Jakarta Special Capital Region (DKI).
Iskandar, Rudi. 2003. Perilaku Rumahtangga dalam Pengelolaan Limbah Domestik Di
Jakarta-Depok-Bogor. Kasus Desa-Desa yang dilalui aliran Sungai Ciliwung.
Disertasi S-3 Program Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB
Bogor.
Iskandar, Rudi. 2000. Laporan Kegiatan Pelatihan untuk Lembaga Swadaya
Masyarakat Peduli Pendidikan dalam rangka membantu menciptakan Pendidikan
Berbasis Masyarakat Di Kelurahan Rawabunga Kecamatan Jatinegara Jakarta
Timur. LPKM UNJ.
Mar’at. Sikap, 1981. Perubahan dan Pengukurannya. Ghalia Indonesia
Pendekatan Kontekstual, 2003. Depdiknas Dikdasmen Direktorat Pendidikan Lanjutan
Pertama.
Surakhmad, Winarno. 1999. Menuju Pendidikan Bebrbasis Masyarakat (bahan ajar pada
evaluasi kurikulum MA, MTs, MI Depag)

Daftar Pustaka
Basic Education Managment. 2000. A Pilot Project Community & School Based
Managment in Jakarta Metropolitan School. Cooperation Between Institute of
Managment, State University of Jakarta and Education and Instruction Department
of Jakarta Special Capital Region (DKI).
Iskandar, Rudi. 2003. Perilaku Rumahtangga dalam Pengelolaan Limbah Domestik Di
Jakarta-Depok-Bogor. Kasus Desa-Desa yang dilalui aliran Sungai Ciliwung.
Disertasi S-3 Program Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB
Bogor.
Iskandar, Rudi. 2000. Laporan Kegiatan Pelatihan untuk Lembaga Swadaya
Masyarakat Peduli Pendidikan dalam rangka membantu menciptakan Pendidikan
Berbasis Masyarakat Di Kelurahan Rawabunga Kecamatan Jatinegara Jakarta
Timur. LPKM UNJ.
Mar’at. Sikap, 1981. Perubahan dan Pengukurannya. Ghalia Indonesia
Pendekatan Kontekstual, 2003. Depdiknas Dikdasmen Direktorat Pendidikan Lanjutan
Pertama.
Surakhmad, Winarno. 1999. Menuju Pendidikan Bebrbasis Masyarakat (bahan ajar pada
evaluasi kurikulum MA, MTs, MI Depag)