ASERTIVITAS REMAJA YANG BERSTATUS ANAK A

ASERTIVITAS REMAJA YANG BERSTATUS ANAK ANGKAT
Shanaz Nadia Aulia Maharani
Mahasiswa: Psikologi/ FISIP
Universitas Brawijaya
Malang, Jawa Timur
ABSTRACT
This study aims to know assertive behavior of adopted children status to parent
with blood related and to parent with unblood related, the influential factors, and the
formed process of assertive behavior. Adolescent assertive behavior is needed to build
communication in family relationship so can make comfortable situation and
conducive for adolescent to grow and develop in development task properly. This study
used qualitative methods with phenomenological approach. The subject that used is
two adolsecent with adopted children status that have been adopted since baby, and
already back to blood-related parent. Techniques of data collection used semistructured interview and non-participant observation. Analysis technique used
horizonalitation: transcript, horizonalitation, thematic potrayal, individual
description, composite, and sintesis. Validity and realibility used credibility,
transferability, dependability, and confirmability. The result of this study is showed
that both subject have same of the influential factors: modelling behavior, the chance
to develop the behavior and self-belief. Assertive behavior that have been showed by
both subject is different. So that, from the similarity of the influential factors and the
differentiation of assertive behavior, we know that the formed process of assertive

behavior is difference too.
Keywords: Assertiveness, adolescent, the adopted children status.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku asertif remaja yang berstatus
anak angkat pada orang tua angkat dan orang tua kandungnya, faktor yang
mempengaruhi, dan proses terbentuknya perilaku asertif. Perilaku asertif remaja
diperlukan untuk membangun komunikasi dalam hubungan keluarga sehingga tercipta
suasana nyaman dan kondisif bagi remaja untuk tumbuh dan berkembang sesuai tugas
perkembangannya. Metode penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan
pendekatan fenomenologi. Subjek yang digunakan adalah dua remaja berstatus anak
angkat yang diangkat sejak bayi, dan telah kembali pada orang tua kandungnya.
Pengumpulan data menggunakan wawancara dan observasi. Teknik analisis
horisonalisasi: transcript, horizonalitation, thematic potrayal, individual description,
composite, dan sintesis. Validitas dan realibilitas menggunakan credibility,
transferability, dependability, dan confirmability. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa kedua subjek memiliki faktor pembentuk asertivitas yang sama: perilaku
modelling, kesempatan mengembangkan perilaku dan adanya keyakinan pribadi.
Perilaku asertif kedua subjek berbeda, sesuai dengan bentuk faktor pada masingmasing subjek. Sehingga, dari kesamaan faktor dan perbedaan cara berperilaku
tersebut, diketahui bahwa proses terbentuknya perilaku asertif pada kedua subjek
tidaklah sama.

Kata kunci: asertivitas, remaja, berstatus anak angkat.
1

2

PENDAHULUAN
Setiap orang yang berpasangan akan melakukan pernikahan untuk membentuk
hubungan keluarga. Manusia tidak bisa terlepas dari keluarga, karena keluarga merupakan
suatu tempat dimana setiap individu memperoleh perlindungan dan mendapatkan
kenyamanan. Keluarga adalah kelompok sosial terkecil dan merupakan suatu sistem yang
bersifat dinamis (Gunarsa, 2005).
Setiap pasangan yang menikah umumnya menginginkan anak dalam rumah tangga
mereka untuk meneruskan keturunan. Namun tidak semua pasangan setelah menikah dapat
dengan mudah memiliki anak. Tidak sedikit dari mereka harus menunggu selama bertahuntahun baru memiliki anak. Pasangan yang mengalami kesulitan memiliki anak melakukan
berbagai macam usaha untuk memiliki anak, mulai dari perawatan medis hingga pengobatan
alternatif. Bahkan ada pula yang percaya dengan mitos-mitos zaman dulu demi mendapatkan
anak, tapi tetap tidak bisa mendapatkan anak. Seperti halnya yang dilakukan oleh pasangan
suami istri BY dan JW (Orang tua subjek) yang menganggap bahwa solusi terakhir untuk
memiliki keturunan adalah dengan cara mengambil anak angkat, yang masih memiliki
hubungan keluarga dengan mereka (Wawancara awal peneliti, September – Oktober 2012).

Anak angkat adalah seorang anak yang hak pengasuhannya berada pada orang lain
yang tidak memiliki hubungan darah secara langsung dan mengambil alih peran serta
tanggung jawab dari orang tua kandung anak (Gunarsa, 2005). Kamus Besar Bahasa
Indonesia mengartikan anak angkat sebagai anak orang lain yang dipelihara serta disahkan
secara hukum sebagai anak sendiri. Anak angkat juga sering dipercaya sebagai “anak
pancingan” sambil menunggu anak kandung lahir.
Orang tua angkat tidak jarang berusaha untuk tetap merahasiakan status si anak.
Mereka beralasan dengan merahasiakan status si anak, harapan bahwa hubungan bersama
dengan anak angkatnya terjaga dengan baik dan anak tidak perlu merasa berbeda dengan anak
yang lain (Sarjono, 2012). Memberitahukan identitas anak angkat akan menimbulkan hasil
atau reaksi yang berbeda dari si anak sesuai dengan tahapan usianya. Anak yang usianya lebih
muda, kurang memberi dampak emosional karena bobot emosional yaitu perasaan “saya itu
dibuang atau ditolak, saya tidak diinginkan”, belum ada, kalaupun sudah ada itu masih sedikit
(Smith dan Brodzinsky, 1994). Hal ini disebabkan pada anak usia 5-6 tahun belum memiliki
kemampuan mental untuk mencerna bobot emosional seperti itu. Anak usia remaja, reaksi
awal anak adalah marah. Rasa marah ditunjukkan pada tiga objek. Pertama, pada diri sendiri

3

karena merasa dirinya tak cukup berharga untuk dipertahankan orang tua kandungnya. Kedua,

pada orang tua kandung yang tega membuangnya. Terakhir, pada orang tua angkat yang
dianggap telah menipu dan menutupi asal-usulnya. Jika kemarahan ini tak diselesaikan,
dampaknya fatal. Anak bisa berkembang menjadi sosok yang agresif dan insecure (Smith dan
Brodzinsky, 1994).
Masalah mulai muncul ketika anak memasuki usia remaja. Anak mulai menanyakan
status dan identitas dirinya pada orang tua angkatnya. Menceritakan status sebenarnya pada
anak angkat mereka bukanlah hal yang mudah, dan menjadi hal yang rumit bagi orang tua
angkat, karena ketika anak menanyakan mengenai identitasnya, maka orang tua angkat wajib
memberitahukan kebenaran pada anak tentang yang sebenarnya. Di sisi lain, orang tua angkat
tidak ingin melukai perasaan si anak jika memberitahukan identitas yang sebenarnya dan
membuat anak merasa berbeda dengan teman-temannya.
Masalah akan semakin kompleks, ketika orang tua kandung tiba-tiba muncul dan
menuntut agar anaknya dapat mengetahui siapa orang tua kandung yang sebenarnya, bahkan
lebih ekstremnya lagi meminta si anak untuk kembali hidup bersama dengannya (Amy, 2011).
Hal-hal semacam ini dapat melukai perasaan si anak. Jika ini terjadi, maka keluarga bukan
lagi menjadi tempat bagi seorang individu untuk mendapatkan kenyamanan, melainkan
perasaan tidak nyaman bahkan terancam. Hal ini dikarenakan (Sarjono, 2012) pertama, anak
merasa akan kehilangan orang yang mengasihinya selama ini dan meninggalkan zona
amannya. Kedua, anak merasa takut tidak akan mendapatkan kenyamanan dan kasih sayang
seperti sebelumnya. Ketiga, anak harus beradaptasi dengan keluarga barunya, baik dengan

anggotanya maupun dengan peraturan yang berlaku di dalamnya.
Problema mendasar adalah ketika anak harus kembali diasuh oleh orang tua kandung
yang tidak dikenal oleh si anak. Peralihan pengasuhan dari orang tua angkat ke orang tua
kandung merupakan suatu perubahan situasi dan kondisi di dalam keluarga, yang akan
membawa perubahan psikologis pada diri anak yang sudah beranjak remaja, terutama
terhadap pembentukan kepribadiannya, misalnya munculnya perilaku dan sikap tidak percaya
diri, membantah orang tua, atau serangan agresif terhadap saudara maupun teman sebaya.
Anak harus berinteraksi atau bersosialisasi, dan belajar mengenal orang tua kandung, yang
tentu menimbulkan permasalahan baru lagi karena akan merubah pola komunikasi anak pula.
Salah satu faktor yang menjadi penghambat dalam membangun hubungan yang intim antara
orang tua dan anak adalah kesulitan dalam mengkomunikasikan perasaan secara efektif
(Supratiknya, 1995).

4

Untuk dapat menciptakan situasi, kondisi, dan iklim yang kondusif di dalam keluarga,
diperlukan hubungan yang baik dari masing-masing anggota keluarga. Keluarga harus
memiliki waktu yang cukup untuk berbincang-bincang dan mengembangkan keterbukaan
antara orang tua dan anak. Menurut Cassagranda (Liliweri, 1997), manusia berkomunikasi
karena memerlukan orang lain untuk saling mengisi kekurangan dan membagi kelebihan,

ingin terlibat dalam proses yang relatif tetap, dan bukan hanya untuk menyampaikan pesan
tetapi juga untuk meningkatkan hubungan antar pribadi.
Hubungan antara orang tua dan anak melibatkan dua unsur pribadi secara penuh
dimana keterbukaan dan kejujuran dalam berkomunikasi sangat dibutuhkan. Menjadi hal yang
sangat penting jika dikaitkan dengan permasalahan yang dihadapi oleh seorang anak yang
semula diasuh oleh orang tua angkat namun kemudian orang tua kandung si anak tiba-tiba
muncul. Terlebih lagi ketika anak memulai untuk hidup bersama orang tua kandung. Anak
dituntut untuk jujur terhadap dirinya dan jujur pula dalam mengekspresikan perasaan,
pendapat dan kebutuhan secara proporsional, tanpa ada maksud untuk memanipulasi,
memanfaatkan atau pun merugikan orang tua kandung yang telah melahirkan dan berniat baik
untuk kembali memberikan kasih sayang sebagai orang tua ataupun orang tua angkatnya yang
telah merawatnya dan mengasuhnya semenjak kecil. Akan tetapi karena adanya permasalahan
anggapan orang tua kandung adalah “orang yang asing” menyebabkan sikap yang tertutup
anak pada orang tua kandungnya. Sebagai akibat dari sikap tertutup anak adalah dapat
terhambat perkembangan si anak.
Sikap tertutup anak dipengaruhi oleh adanya pola pendidikan, sistem nilai yang dianut,
nilai sosial, dan moral keluarga pada orang tua angkat yang umumnya akan berbeda dengan
orang tua kandung (Gunarsa, 2005). Pola pengasuhan orang tua angkat yang memiliki jumlah
anggota keluarga yang lebih kecil karena mengangkat anak dalam rangka sebagai anak
pancingan memberi kesempatan secara optimal kasih sayang kepada anak angkatnya dan

memberi kesempatan membangun komunikasi secara efektif dari awal mula usia
perkembangan (Kompasiana, 2012). Terlebih lagi peralihan pola asuh ini terjadi ditengahtengah usia perkembangan remaja, yakni perubahan dari masa anak ke usia dewasa.
Kesulitan-kesulitan tersebut akan mempengaruhi pola komunikasi secara intensif baik secara
verbal maupun emosional antara anak dengan orang tua kandung.
Ketika segala sesuatu tidak diutarakan dengan baik, biasanya ada pihak yang sakit
hati, atau merasa tidak dihargai dan didengar. Oleh sebab itu dibutuhkan sikap yang dapat
mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan, dan dipikirkan kepada orang tua. Sikap
asertif sering digunakan dalam berkomunikasi untuk menjaga perasaan, baik dirinya sendiri

5

yang merasa dibuang, dan orang tua kandung yang membuangnya, maupun orang tua angkat
yang harus ia tinggalkan. Menurut Cooper dkk (Santrock, 2003) untuk mendukung hubungan
yang baik antar anggota keluarga, perlu adanya atmosfir keluarga yang mendukung
individualitas yang salah satunya berupa asertivitas diri yang merupakan hal penting bagi
perkembangan identitas remaja. Fensterheim menyatakan (Wahyudi, 1999) bahwa seseorang
dikatakan asertif hanya jika dirinya mampu bersikap tulus dan jujur dalam mengekspresikan
perasaan, pikiran dan pandangannya pada pihak lain sehingga tidak merugikan atau
mengancam


integritas

pihak

lain.

Asertivitas

adalah

suatu

kemampuan

untuk

mengekspresikan atau mengkomunikasikan dirinya secara terbuka kepada orang lain namun
dengan tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan orang lain (Verderber, 1996).
Penelitian ini menggunakan subjek seorang remaja. Remaja adalah suatu masa dimana
individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi

dewasa, yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosial (Wirawan, 2010). Periode ini
dianggap sebagai masa-masa yang amat penting dalam kehidupan seseorang, khususnya
dalam pembentukan kepribadian. Masa remaja merupakan masa transisi dalam rentang
kehidupan manusia, menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa. Pada masa
transisi, remaja menjajaki alternatif dan mencoba berbagai pilihan sebagai bagian dari
perkembangan identitas.
Remaja memiliki berbagai peran sesuai dengan lingkungan dia berada. Lingkungan
yang menuntut remaja tersebut untuk lebih mandiri, lebih inisiatif, lebih dewasa, serta lebih
matang dalam berpikir dan berperilaku. Hal ini bukan merupakan proses yang mudah. Remaja
akan memiliki cara yang berbeda dalam menghadapi lingkungan yang berbeda. Artinya dalam
proses menjalin interaksi dengan lingkungannya, remaja bertujuan untuk memenuhi
kebutuhannya. Pemenuhan kebutuhan tersebut, akan memunculkan perilaku yang berbeda
dalam menghadapi sesuatu, ada remaja yang bersikap asertif untuk memenuhi tuntutan
lingkungannya, akan tetapi ada banyak pula yang tidak (Rosita, 2010).
Diketahui dari media internet seorang remaja yang memiliki kasus serupa, dimana ia
berposisi sebagai seorang anak angkat yang diasuh oleh orang lain (namun masih keluarga)
yang tidak mengetahui statusnya yang sebenarnya (Amy, 2011). Tiba-tiba keluarga kandung
muncul dan berusaha mengambil alih kembali si anak ini dari keluarga angkat yang
mengasuhnya. Meskipun keluarga angkat tidak melarangnya untuk kembali ke orang tua
kandungnya, remaja ini tidak ingin berhubungan dan berkomunikasi dengan orang tua

kandungya sendiri dengan alasan ia merasa bahwa tidak memiliki ikatan batin dan yang ada
hanya rasa marah kepada orang tua kandung yang meninggalkannya. Ia lebih menghargai

6

orang tua angkatnya yang telah berkorban banyak dan telah

memberikan berbagai hal

padanya selama ini.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti akan mengkaji bagaimana asertivitas remaja
tersebut kepada orang tuanya, faktor apa saja yang membentuk perilaku asertif yang ada pada
remaja tersebut, serta bagaimana proses terbentuknya perilaku asertif.

TINJAUAN PUSTAKA
A. Asertivitas
Asertivitas

adalah


suatu

kemampuan

untuk

mengekspresikan

atau

mengkomunikasikan dirinya secara terbuka kepada orang lain namun dengan tetap
menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan orang lain (Verderber, 1996). Menurut
Wahyudi (1999), asertivitas adalah kemampuan individu mengekspresikan perasaan (baik
positif maupun negatif) dan pikirannya secara tegas dan bebas dengan tetap
memperhatikan perasaan orang lain atau dengan kata lain mempertahankan hak sendiri
tanpa mengganggu hak orang lain.
B. Tiga Komponen Dasar Perilaku Asertif
Howard dan Stein berpendapat bahwa sikap asertif merupakan ketegasan,
keberanian dalam menyatakan pendapat yang di dalamnya mencakup tiga komponen
dasar (Sundari, 2009), yaitu:
1. Kemampuan mengungkapkan perasaan.
2. Kemampuan mengungkapkan pikiran dan keyakinan secara terbuka, mampu
menyuarakan pendapat, menyatakan ketidaksetujuan dan bersikap tegas, meskipun
secara emosional sulit melakukannya dan bahkan harus mengorbankan sesuatu.
3. Kemampuan untuk mempertahankan hak-hak pribadi.
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Perilaku Asertif
Menurut Galassi dan Galassi (2002), meskipun perkembangan perilaku asertif
setiap orang tidaklah selalu sama, namun pada umumnya seseorang belajar untuk
berperilaku asertif atau tidak asertif dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
a. Hukuman. Seseorang gagal untuk berperilaku secara asertif, karena di masa lalu dalam
situasi yang sama ia merasa terhukum baik secara fisik maupun mental karena
mengungkapkan dirinya. Hukuman yang terjadi berulang-ulang ini, suatu saat akan
membentuk perilaku seseorang apakah sertif, non asertif, atau agresif.

7

b. Modeling. Modeling meliputi proses mengamati dan meniru tingkah laku dari orang di
sekitar individu. Dari proses modeling-lah individu belajar untuk berperilaku asertif,
non asertif, atau agresif.
c. Kesempatan untuk mengembangkan perilaku yang sesuai. Banyak orang yang gagal
untuk berperilaku asertif karena mereka tidak mempunyai kesempatan di masa lalu
untuk belajar cara berperilaku yang tepat. Ketika berhadapan dengan situasi yang baru,
mereka tidak harus berperilaku seperti apa, atau mereka akan merasa gugup karena
kurangnya pengetahuan yang mereka miliki. Sedangkan orang di masa lalunya
memiliki banyak kesempatan untuk mengembangkan perilakunya dan akan dapat
mengatasi situasi baru dengan lebih efektif.
d. Keyakinan pribadi. Dalam interaksi sosial, keyakinan pribadi seseorang yang
didasarkan pada pengetahuan dan pengalamannya akan mempengaruhi cara orang
tersebut untuk berperilaku dalam interaksi sosial. Hal ini meliputi keyakinan akan hak
setiap orang dalam hubungannya dengan orang lain.
D. Keluarga
Keluarga merupakan sebuah kesatuan yang terdiri dari sejumlah orang yang saling
berinteraksi dan berkomunikasi dalam rangka memerankan keseharian sebagai suami,
istri, ibu, bapak, anak-anak, anak perempuan, anak laki-laki, saudara laki-laki, saudara
perempuan (Tjeppy, 2005). Menurut Morgan (Setyowati, 2005), keluarga didefinisikan
sebagai hasil proses sosialisasi primer bagi seorang anak di mana pada saatnya anak
tersebut akan dihantarkan untuk memasuki lingkungan masyarakat (struktur sosial) yang
lebih luas.
Menurut Hurlock (2002), orang tua adalah orang dewasa yang membawa anak ke
dewasa, terutama dalam masa perkembangan. Sedangkan menurut Mardiya (2000),
Orang tua adalah ayah dan ibu sebagai figur atau contoh yang akan selalu ditiru oleh
anak-anaknya. Tugas orangtua melengkapi dan mempersiapkan anak menuju ke
kedewasaan dengan memberikan bimbingan dan pengarahan yang dapat membantu anak
dalam menjalani kehidupan. Memberikan bimbingan atau arahan yang dilakukan oleh
orang tua kepada anak-anak disebut pola asuh (Desmita, 2005). Sedangkan menurut
Rusdijana (2006), pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak
dan bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Baumrind (Santrock, 2003)
menekankan tiga jenis gaya atau cara orang tua menjalankan perannya, yaitu:
a. Pengasuhan Otoriter atau Autoritarian (Authoritarian Parenting). Orang tua
memberlakukan peraturan-peraturan yang ketat yang harus dipatuhi oleh anak. Mereka

8

menganggap bahwa anak-anak harus “berada di tempat yang ditentukan” dan tidak
boleh menyuarakan pendapatnya. Pola ini dijalankan berdasarkan pada struktur dan
tradisi yang penuh dengan keteraturan dan pengawasan.
b. Pengasuhan Permisif (Permissive Parenting). Orang tua berusaha menerima dan
mendidik sebaik mungkin tetapi cenderung sangat pasif ketika harus berhadapan
dengan masalah penetapan batas-batas atau menanggapi ketidakpatuhan. Mereka tidak
begitu menuntut, juga tidak menetapkan sasaran yang jelas bagi anaknya karena yakin
bahwa anak-anak seharusnya berkembang sesuai dengan kecenderungan alamiahnya.
Sehingga dalam model pengasuhan ini muncul dua macam pengasuhan permisif
menurut Maccoby dan Martin (Santrock, 2003), yakni:
1) Permisif tidak Peduli (Permissive-indifferent Parenting) adalah suatu pola dimana
si orang tua sangat tidak ikut campur dalam kehidupan remaja.
2) Permisif Memanjakan (Permissive-indulgement Parenting) adalah suatu pola
dimana orang tua sangat terlibat dengan remaja tetapi sedikit sekali menuntut atau
mengendalikan mereka. Pengasuhan ini berkaitan dengan ketidakcakapan sosial
remaja, terutama kurangnya pengendalian diri.
c. Pengasuhan

Autoritatif

(Authoritative

Parenting).

Orang

tua

berusaha

mengembangkan batas-batas yang jelas dan lingkungan yang baik untuk tumbuh.
Mereka memberi bimbingan, tetapi tidak mengatur, memberi penjelasan yang mereka
lakukan serta membolehkan anak memberi masukan atau pendapat. Kemandirian anak
sangat mereka hargai, tetapi anak juga dituntut untuk memenuhi standar tanggung
jawab yang tinggi kepada keluarga, teman, dan masyarakat.
E. Anak Kandung dan Anak Angkat
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia anak kandung adalah seorang anak yang
memiliki hubungan biologis dan sosial dengan kedua orang tuanya. Anak angkat adalah
seorang anak yang hak pengasuhannya berada pada orang lain yang tidak memiliki
hubungan darah dan mengambil alih peran serta tanggung jawab dari orang tua kandung
anak (Gunarsa, 2005). Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan
anak angkat adalah anak orang lain yang (dipelihara) serta disahkan secara hukum
sebagai anak sendiri.

METODE
Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi. Penelitian ini menggunakan 2 remaja. Karakteristik pemilihan subyek yaitu

9

remaja yang diangkat anak sejak lahir oleh orang lain, kemudian bertemu kembali dengan
orang tua kandungnya, dan akhirnya memutuskan untuk kembali hidup bersama dengan
keluarga kandungnya. Selain data primer yaitu remaja, peneliti juga memperoleh data
sekunder dari orang tua kandung dan orang tua angkat subjek.
Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara semi terstruktur dan observasi
partisipan. Teknik analisa data menggunakan horizonalisasi yaitu transcript, horizonalitation,
thematic potrayal, individual description, composite, dan sintesis. Keabsahan data dalam
penelitian ini menggunakan derajat kepercayaan (credibility/ validitas internal), keteralihan
(transferability/ validitas eksternal), keajegan (depenability/ reliabilitas), dan kepastian
(confirmability/ objektivitas).

HASIL
Berdasarkan analisa hasil penelitian yang dilakukan pada kedua subyek menggunakan
coding sehingga menghasilkan ringkasan sebagai berikut:
Tabel 1
Perbandingan Perilaku Asertif dan Faktor Pembentuk pada Subjek DP dan FA
Subjek
DP

Perilaku Asertif
Faktor Pembentuk
1. Hukuman
1. Kemampuan mengungkapkan perasaan
Bersama Orang tua Angkat
Bersama Orang Tua Angkat
- Sering mendapat pujian dan memberikan
Dulu saat masih kanak-kanak, semenjak
pujian.
remaja tidak pernah dihukum
- Jarang meminta bantuan karena merasa dapat
melakukannya sendiri, kecuali dalam
Bersama Orang Tua Kandung
pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan
Tidak pernah dihukum
sekolah.
- Dapat meng-ungapkan rasa cinta dan sayang
secara lisan maupun melalui perbuatan.
- Mengekspresikan kekecewannya dengan cara
mengacuhkan.
- Tidak pernah mengungkapkan rasa marah
Bersama Orang tua Kandung
- Sering mendapatkan pujian, namun jarang
memberikan pujian.
- Tidak pernah meminta bantuan, kecuali
dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan
sekolah.
- Mengungkapkan
rasa cinta dan sayang
melalui perbuatan.
- Mengekspresikan kekecewannya dengan cara
berdiam diri.
- Pernah mengungkapkan rasa marahnya sekali
saat pertama kali mengetahui statusnya
dengan cara mengacuhkan orang tuanya.
Semanjak itu, tidak pernah merasa marah
lagi.

10

Subjek

Perilaku Asertif
Faktor Pembentuk
2. Kemampuan Mengungkapkan Pikiran dan 2. Modelling
Bersama Orang Tua Angkat
Keyakinan Secara Terbuka
Bersama Orang Tua Angkat
Mencontoh perilaku orang tua dalam hal
- Mampu dan sering memulai suatu
memuji dan mengungkapkan rasa sayang.
pembicaraan ataupun terlibat aktif dalam
suatu pembicaraan.
Bersama Orang Tua Kandung
- Mampu mengutarakan apa yang ada
Mencontoh perilaku orang tua dalam hal
dipikirannya
dengan
jujur.
Mampu
memuji dan mengungkapkan rasa sayang
mengutarakan ketidaksepahaman. Dapat
mencari
penyelesaian
konflik
yang
memuaskan kedua belah pihak.
Bersama Orang Tua Kandung
- Malas untuk memulai pembicaraan, namun
dapat melibatkan diri dalam suatu
pembicaraan.
- Mengutarakan berbagai pendapat untuk
menolak dengan berbagai alasan yang dapat
diterima.
3. Kemampuan untuk mempertahankan hak- 3. Kesempatan mengembang-kan perilaku
hak pribadi dan menolak permintaan
yang sesuai
Bersama Orang Tua Angkat
Bersama Orang Tua Angkat
- Dalam mempertahankan hak, mampu
- Mendapatkan nasehat dan pengarahan
bertindak demi kepentingan sendiri.
untuk melakukan dengan benar
- Mampu menolak permintaan secara langsung
- Mempercayai DP
telah mengetahui
dengan sopan.
benar-salah, dan yang seharusnya dan
tidak seharusnya
Bersama Orang Tua Kandung
- Dalam mempertahankan hak, mampu
Bersama Orang Tua Kandung
bertindak demi kepentingan sendiri.
- Menghormati privasi DP dan memberikan
- Mampu menolak permintaan secara langsung
kesempatan kepada DP untuk mengdengan sopan.
ugkapkan pendapatnya
- Mempercayai DP
telah mengetahui
benar-salah, dan yang seharusnya dan
tidak seharusnya
4. Keyakinan pribadi
- Merasa mengalami perubahan dalam pola
pikirnya ketika masih kecil dan saat
remaja
- DP lebih memilih mengurung diri di
kamar dari pada harus berkumpul dengan
anggota keluarga yang lain dikarenakan
DP merasa malas dan kurang percaya diri
untuk terlibat dalam suatu pembicaraan
dengan ayah kandungnya saat pertama
kali tinggal dengan orang tua kandungnya
- Secara emosional, DP merasa bahwa
selama dia dapat melakukan segala
sesuatunya sendiri, maka dia tidak akan
meminta bantuan orang tuanya
- Menurut DP tidak semua hal dapat
diceritakan kepada orang tua angkat
maupun orang tua kandungnya
- DP meyakini bahwa ketika dia merasa
pendapatya benar, maka dia tidak takut
untuk mengungkapkannya

11

Subjek
FA

Perilaku Asertif
Faktor Pembentuk
1. Hukuman
1. Kemampuan Mengungkapkan Perasaan
Bersama Orang Tua Angkat
Bersama Orang Tua Angkat
- Sering mendapat pujian dan memberikan
Dulu saat masih kanak-kanak, semenjak
pujian.
remaja tidak pernah dihukum
- Jarang meminta bantuan karena ibunya selalu
menawari bantuan terlebih dahulu.
Bersama Orang Tua Kandung
- Sering mengungapkan rasa cinta dan sayang
Tidak pernah dihukum
secara lisan maupun melalui perbuatan.
- Pernah merasa kecewa dengan orang tuanya
dan mengungkap-kannya dengan cara
mengambek.
- Saat marah, FA mengacuhkan ibunya.
Bersama Orang Tua Kandung
- Sering mendapatkan pujian, namun jarang
memberikan pujian.
- Sering meminta bantuan, jika merasa ibunya
yang dapat membantunya.
- Sering meng-ungapkan rasa cinta dan sayang
secara lisan maupun melalui perbuatan.
- Pernah merasa kecewa. Cara mengungkapkannya dengan cara menjadi diam dan sedikit
acuh hingga kecewanya hilang.
- Tidak pernah merasa marah pada orang tua.
2. Kemampuan Mengungkapkan Pikiran dan 2. Modelling
Bersama Orang Tua Angkat
Keyakinan Secara Terbuka
Bersama Orang Tua Angkat
Mencontoh perilaku orang tua dalam hal
- Mampu dan sering memulai suatu
memuji dan mengungkapkan rasa sayang
pembicaraan ataupun terlibat aktif dalam
suatu pembicaraan.
Bersama Orang Tua Kandung
- Mampu mengutarakan apa yang ada
Mencontoh perilaku orang tua dalam hal
dipikirannya terutama jika ditanya terlebih
memuji dan mengungkapkan rasa sayang
dahulu.
Bersama Orang Tua Kandung
- Mampu dan sering memulai suatu
pembicaraan ataupun terlibat aktif dalam
suatu pembicaraan.
- Mampu mengutarakan pendapatnya.
3.

Kemampuan untuk mempertahankan hak- 3. Kesempatan mengembangkan perilaku
hak pribadi dan menolak permintaan
yang sesuai
Bersama Orang Tua Angkat
Bersama Orang Tua Angkat
- Dalam mempertahankan haknya, FA lebih
- Mendapatkan nasehat dan pengarahan
memilih untuk berdebat dengan cara
untuk melakukan dengan benar
mengungkap-kan pendapat yang dirasanya
- Mempercayai FA
telah mengetahui
benar.
benar-salah, dan yang seharusnya dan
- Sering kali menolak permintaan dengan cara
tidak seharusnya.
melontarkan argumennya atau mencari
alasan, bahkan berbohong.
Bersama Orang Tua Kandung
- Kakak kandung FA memberikan nasehat
Bersama Orang Tua Kandung
dan pengarahan agar berperilaku sesuai
- Tidak pernah, karena merasa haknya tidak
tanpa ada paksaan.
pernah dilanggar.
- Orang tua kandung FA tidak berusaha
- Mampu menolak permintaan secara langsung
membatasi FA ketika di rumah, hanya
dengan sopan.
jika FA berbuat salah maka perlu
diberikan arahan.

12

Subjek

Perilaku Asertif
4.

Faktor Pembentuk
Keyakinan pribadi
- Merasa mengalami perubahan dalam
pola pikirnya ketika masih kecil dan saat
remaja.
- FA yakin bahwa semua yang terjadi
adalah rahasia Tuhan, suatu saat jika
Tuhan mengijinkan, maka ia akan tahu
dengan sendirinya.
- FA meyakini bahwa ada saat dimana dia
bisa
mengungkapkan
berbagai
perasaannya, dan ada saat dimana dia
tidak dapat mengungkapkannya secara
langsung. Semua FA dasarkan atas
situasi dan kondisi di sekitarnya, terlebih
lagi jika ingin mengatakan hal-hal yang
bersifat sensitif.
- FA yakin apa yang dia lakukan adalah
untuk kepentingan semua orang,
termasuk dirinya

DISKUSI
Fenomena yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah fenomena remaja
yang berstatus anak angkat yang memutuskan untuk hidup kembali dengan orang tua
kandungnya. Kedua subjek yang digunakan adalah remaja yang berada pada masa remaja
madya (15-18 tahun), yakni DP yang berusia 17 tahun, dan FA yang berusia 18 tahun ketika
mengetahui statusnya bahwa mereka adalah anak angkat dan akhirnya memutuskan untuk
kembali hidup bersama orang tua kandungnya.
Kedua subjek mengalami perubahan dalam berperilaku, untuk dapat diterima dengan
baik oleh keluarga kandung. Salah satunya adalah dengan mengembangkan perilaku asertif
yang sebelumnya pernah mereka pelajari dan terapkan bersama dengan orang tua angkatnya.
Mereka melakukannya untuk dapat diterima oleh orang tua kandung melalui suatu proses.
Proses asertif yang terjadi pada kedua subjek adalah karena adanya pola asuh yang diterapkan
oleh orang tua angkat subjek. Orang tua angkat subjek yang pertama kali membentuk faktor
internal (yang melekat dalam diri) subjek saat ini. Pola asuh yang terintegrasi dengan faktor
internal subjeklah yang akhirnya menentukan karakteristik perilaku asertif pada diri subjek.
Adapun pola asuh yang diterapkan oleh orang tua ini, meliputi bentuk pola asuh yang
diterapkan, faktor hukuman, faktor modelling, dan faktor kesempatan yang diberikan orang
tua untuk mengembangkan perilaku yang sesuai. Sedangkan faktor intenal subjek meliputi
usia, pola pikir, cara pandang suatu masalah, dan faktor keyakinan pribadi. Adapun bagan
dari proses terbentuknya asertif subjek dapat digambarkan sebagai berikut:

13

Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama bagi anak. Anak mempelajari berbagai
hal untuk pertama kali dari keluarga, dengan kata lain, sistem yang membentuk pribadi anak
adalah keluarga. Dari kepribadian yang terbentuk itulah yang nantinya juga akan menentukan
perilaku anak. Hal ini sesuai dengan pendapat Harris (Marini dan Andriani, 2005), bahwa
kualitas perilaku asertif seseorang dipengaruhi oleh pengalaman yang berupa interaksi dengan
orang tua melalui pola asuh yang diterapkan dalam keluarga, dan menentukan pola respon
seseorang dalam menghadapi masalah.

Skema 1
Proses Terbentuknya Asertif pada Subjek DP

Skema 2
Proses Terbentuknya Asertif pada Subjek FA

Proses terbentuknya asertif pada kedua subjek pertama kali dimulai dan dipelajari dari
lingkungan keluarga yang berkaitan erat dengan pola asuh. Peneliti mencoba untuk lebih
memfokuskan pada interaksi antara orang tua dan anak, serta melihat pula bagaimana
asertifitas dapat terbentuk dilihat dari faktor-faktor dalam lingkup keluarga. Meskipun remaja
sangat berkaitan erat dengan adanya peer-group, namun kita tetap tidak dapat
mengesampingkan adanya peran orang tua dalam sistem keluarga. Hal ini dikarenakan orang
tua tetap memiliki peran penting dalam pembentukan kepribadian maupun perilaku atau sikap
pada remaja (Santrock, 2007). Selain itu, keluarga yang merupakan sistem sosial terkecil bagi
remaja tetap menuntut adanya interaksi antara orang tua dan remaja sehingga terjalin
hubungan yang harmonis diantara keduanya.
Orang tua angkat DP memberikan batasan-batasan yang jelas kepada seluruh anakanaknya mana yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan dengan cara memberikan
bimbingan, namun tidak mengatur. Orang tua angkat DP selalu memberikan pengarahan dan
penjelasan mengenai bagaimana seharusnya berperilaku asertif. Pola asuh semacam ini
termasuk pada kategori pengasuhan autoritatif (Santrock, 2003). Pola asuh yang demikian
membuat DP memiliki lebih banyak jenis perilaku asertif saat bersama dengan orang tua
angkatnya dari pada saat bersama dengan orang tua kandungnya. Hal ini dikarenakan orang
tua angkat DP selalu memberikan kesempatan untuk dapat mengungkapkan pendapat
sehingga DP berani untuk terlibat dalam suatu pembicaraan. Selain itu, intensitas komunikasi

14

antara orang tua dan DP tinggi, sehingga DP dapat dengan leluasa untuk memulai suatu
pembicaraan.
Pola pengasuhan autoritatif ini, sangat mendukung salah satu tugas perkembangan
remaja madya, yakni seorang remaja mengandalkan kemampuan dan sumber-sumber yang
ada pada dirinya (Agustiani, 2006). Semenjak remaja DP menjadi lebih jarang meminta
bantuan kepada orang tua karena merasa sanggup melakukan segala sesuatunya sendiri
sehingga orang tua-pun menetapkan bahwa mereka tidak akan membantu sebelum DP
meminta. Hal ini bentuk dari usaha orang tua dalam memberikan perhatian, mendidik, dan
menghargai kemandirian DP. Namun demikian, tidak serta merta orang tua meninggalkan DP,
melainkan memberitahukan kepada DP bahwa mereka siap membantu jika memang
membutuhkan bantuan. Hal ini yang mendasari bahwa DP bukan tidak asertif untuk meminta
bantuan, melainkan karena orang tua memberinya kesempatan mengembangkan apa yang ada
dalam dirinya untuk berusaha mandiri.
Berbeda hal-nya dengan DP, orang tua angkat FA lebih cenderung menggunakan
model pengasuhan permisif memanjakan (permissive-indulgement parenting). Menurut
Maccoby dan Martin (Santrock, 2003), orang tua sangat terlibat dengan subjek, tetapi sedikit
sekali menuntut atau mengendalikan mereka, sehingga yang terjadi adalah kurangnya
pengendalian diri pada diri subjek yang nampak dari cara yang digunakannya ketika marah
saat kanak-kanak. Hal ini mengakibatkan subjek FA memiliki karakteristik perilaku asertif
yang berbeda ketika tinggal dengan orang tua angkatnya. Hal ini sesuai dengan pendapat
Harris (Marini dan Andriani, 2005) bahwa kualitas perilaku asertif seseorang sangat
dipengaruhi oleh pengalaman pada masa kanak-kanaknya. Pengalaman tersebut berupa
interaksi dengan orang tua melalui pola asuh yang ada dalam keluarga yang akhirnya akan
menentukan pola respon subjek dalam menghadapi berbagai masalah setelah dia menjadi
remaja dan tinggal dengan orang tua kandungnya.
Proses yang kedua adalah pemberian contoh perilaku oleh orang tua atau modelling.
Modelling adalah salah satu cara belajar melalui proses mengamati dan meniru tingkah laku
dari orang disekitarnya (Galassi dan Galassi, 2002). Subjek meniru tingkah laku dari perilaku
yang ditunjukkan oleh orang tua yang merupakan figur otoritas dan sebagai teladan di rumah.
Proses modelling ini, dipelajari subjek untuk berperilaku asertif. Seperti yang telah tercantum
pada tabel 5, kedua subjek mempelajari bagaimana cara memuji untuk pertama kali adalah
dari orang tua angkatnya. Kedua subjek sering mendapatkan pujian dari orang tua angkat
ketika mereka berbuat baik atau menunjukkan prestasinya. Hal ini dipelajari dan dicontoh
oleh kedua subjek sehingga, mereka dapat memuji orang tuanya tanpa merasa malu untuk

15

melakukannya. Selain itu, FA juga dapat mengungkapkan rasa cinta dan sayangnya secara
lisan karena orang tua angkatnya yang sering mengungkapkan rasa sayangnya pada FA.
Proses yang ketiga berlanjut dengan proses yang keempat, yakni keyakinan pribadi.
Keyakinan seseorang turut mempengaruhi penyesuaian dirinya dengan lingkungan (Rathus
dan Nevid, 2000). Keyakinan pula yang mendasari seseorang untuk menentukan tindakan
yang akan dilakukan. Orang yang memiliki keyakinan diri yang tinggi memiliki kekhawatiran
sosial yang rendah sehingga mampu mengungkapkan pendapat dan perasaan tanpa merugikan
orang lain dan diri sendiri. Begitupula yang terjadi pada DP dan FA, meskipun bentuk
keyakinan yang ada pada diri mereka berbeda, namun tetap berpengaruh pada perkembangan
perilaku asertif mereka.
Subjek DP meyakini bahwa rasa hormatnya pada orang tua merupakan cerminan dari
rasa sayang dan cintanya, sehingga bentuk perilaku asertifnya yang memilih untuk
mengutarakan melalui perbuatan yang nyata dari pada hanya sekedar kata-kata. Keyakinan
pribadi dalam diri DP mendorongnya untuk tetap dapat mempertahankan haknya, dapat
menolak suatu permintaan dengan baik dan sopan, serta tidak mengalami kesulitan dalam
mengungkapkan pendapat pribadinya kepada orang tua angkat. Subjek FA juga mengalami
hal yang serupa dimana dia dapat menolak permintaan meskipun jarang dilakukannya karena
rasa baktinya pada orang tua. Ketika FA masih kanak-kanak, dia mempertahankan haknya
dengan cara tantrum. Namun ketika remaja, FA yakin bahwa cara tersebut adalah salah,
sehingga dia perlu untuk merubah cara yang digunakan agar dia tetap dapat menyampaikan
maksudnya tanpa harus melukai perasaan orang tua.
Proses kelima adalah terbentuknya perilaku asertif ketika tinggal dengan orang tua
angkat ang dapat terlhat pada tabel 1 di atas.
Proses keenam adalah dimana subjek mulai mengetahui statusnya sebagai anak
angkat. Antara subjek DP dan subjek FA memiliki perbedaan kisah proses mengetahui
statusnya hingga akhirnya memutuskan untuk tinggal dengan orang tua kandungnya. Pada
tahap ini, peneliti memasukkannya menjadi satu rangkaian proses. Pada subjek DP, orang tua
kandungnya-lah yang muncul menemuinya dan memintanya untuk hidup bersama. Proses
yang terjadi pada subjek DP, DP yang berusia 17 tahun berada pada masa remaja madya
(Santrock, 2003). Secara kognitif, remaja memiliki kemampuan berpikir yang baru dan
memungkinkan subjek berpikir abstrak, kontrafaktual (berlawanan menurut fakta), yang
memberikan peluang bagi DP untuk memikirkan apa yang akan dilakukannya dalam
hidupnya. Dari masa kanak-kanak ke masa remaja terjadi perubahan pola pikir. Sehingga dari
adanya perubahan pola pikir ini mempengaruhi perilaku asertif DP dalam bertindak

16

menghadapi suatu masalah. Cara pandang subjek dalam menghadapi suatu masalah dapat
mempengaruhi keputusan subjek dalam bersikap. Pada tugas perkembangan remaja madya
menurut Konopka, Pikunas dan Ingersoll (Agustiani, 2006), remaja sudah lebih mampu
mengarahkan diri sendiri (self directed). Dalam hal ini ditunjukkan oleh DP yang berusaha
untuk ikhlas menerima statusnya dan menjalaninya dengan baik.
Secara psikososial DP untuk memilih dan memutuskan apa yang terbaik untuk dirinya
dan seluruh orang tuanya ketika mengambil keputusan untuk ikut dengan orang tua kandung.
Hal ini merupakan bentuk dari autonomy Hill, dimana subjek berusaha mengurangi ikatan
emosional pada orang tua dengan cara menetapkan rasa nyaman dalam ketidaktergantungan
(Agustiani, 2006). DP mampu untuk mengambil keputusan secara mandiri untuk kepentingan
dirinya tanpa menyakiti atau melanggar hak orang tua kandungnya yang memiliki keinginan
baik untuk mengasuhnya, ataupun hak orang tua angkatnya untuk merasa sedikit teringankan
beban mereka.
Proses keenam pada subjek FA orang tua angkat memberitahukan mengenai
kebenaran akan statusnya sebagai anak angkat ketika dia masih kanak-kanak. Pada masa ini,
subjek belum begitu memahami apa yang dimaksudkan oleh kedua orang tuanya hingga
diberikan pemahaman yang dapat diterima oleh anak seusianya, sehingga tanggapan FA saat
itu tidak membuat orang tua khawatir. Ketika ibu angkatnya meninggal dan ayahnya yang
harus bekerja di luar negeri membuat FA kesepian dan membutuhkan kasih sayang dari orang
tuanya. FA yang sebelumnya telah mengetahui bahwa sebenarnya ibu kandungnya juga
berusaha menemuinya dan merupakan orang yang baik. Hal ini yang mendasari FA untuk
memutuskan ingin mencari orang tua kandungnya dan ingin hidup kembali dengan orang tua
kandungnya. Pengambilan keputusan pada FA didasarkan atas pengalamannya dan kebutuhan
akan kasih sayang.
FA yang berusia 18 tahun juga masuk dalam masa remaja madya (15-18 tahun).
Menurut Hill (Agustiani, 2006), remaja berkaitan erat dengan identitas diri atau identity.
Identity adalah mengemukakan dan mengerti siapa dirinya sebagai individu. FA yang
berstatus anak angkat ini, tidak berusaha untuk mencari pengakuan dari orang lain dan dari
lingkungan bahwa dirinya merupakan individu yang unik dan khusus, melainkan dia perlu
mengetahui dan mendapatkan pengakuan bahwa siapa sebenarnya dirinya, dan dari mana dia
berasal. Sehingga, hal ini yang mendasari bahwa dia merasa memiliki hak untuk mengenal
siapa dan bagaimana orang tua kandungnya dan berhak untuk menentukan jalan hidupnya.
Serupa dengan DP, FA memiliki perkembangan kognitif yang sama dimana FA telah
mampu berpikir abstrak, lebih kompleks dan lebih rasional. FA juga memilih dan

17

memutuskan apa yang terbaik untuk dirinya dan seluruh orang tuanya ketika mengambil
keputusan untuk ikut dengan orang tua kandung. Hal ini juga merupakan salah satu dari
bentuk autonomy, dimana mereka mampu untuk mengambil keputusan secara mandiri untuk
kepentingan dirinya tanpa menyakiti atau melanggar hak orang tua kandungnya yang
memiliki keinginan baik untuk mengasuhnya, ataupun hak orang tua angkatnya untuk merasa
sedikit teringankan beban mereka. Selain itu, FA yang memutuskan untuk tinggal kembali
dengan ibu kandungnya karena ingin mengenal ibu kandungnya dan berbakti juga kepada ibu
yang telah melahirkannya merupakan bagian dari perkembagan psikososial pada remaja yang
bekaitan dengan intimacy. Terlihat dari usaha FA untuk menjalin kedekatan dengan ibu
kandungnya yang di dalamnya melibatkan keterbukaan, kejujuran, dan kepercayaan. Menurut
Maslow, hal ini merupakan bagian dari usaha FA untuk memenuhi kebutuhan akan kasih
sayang dan kebutuhan akan rasa aman (Alwisol, 2002).
Proses ketujuh adalah pola asuh orang tua kandung. Karena subjek telah memutuskan
untuk hidup kembali dengan orang tua kandungnya, maka kedua subjek dikenai sistem yang
berbeda dengan sebelumnya. Pola asuh merupakan salah satu sistem yang berubah. Pola asuh
yang diterapkan oleh orang tua kandung DP adalah kategori pengasuhan autoritatif (Santrock,
2003). Orang tua kandung DP memberikan batasan-batasan yang jelas kepada seluruh anakanaknya mana yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan dengan cara memberikan
bimbingan, namun tidak mengatur. Orang tua angkat DP selalu memberikan pengarahan dan
penjelasan mengenai bagaimana seharusnya berperilaku asertif. Orang tua DP tidak pernah
melarang anak-anak mereka untuk mengungkapkan pendapatnya. Orang tua kandung DP
selalu menghargai kemandirian DP dalam pekerjaannya, namun tetap berusaha memberikan
bantuan jika DP benar-benar merasa mengalami kesulitan. Namun demikian, orang tua
kandung DP tetap menetapkan standart tanggung jawab kepada DP sebagai anak tertua untuk
memberikan contoh kepada adik-adiknya, serta tanggung jawab sebagai anak untuk berbakti,
berperilaku sopan, dan memberikan hasil yang terbaik dalam akademiknya.
Pola pengasuhan autoritatif ini, sebenarnya sangat mendukung salah satu tugas
perkembangan remaja madya, yakni seorang remaja mengandalkan kemampuan dan sumbersumber yang ada pada dirinya (Agustiani, 2006). Namun, jika tidak disertai dengan
komunikasi yang baik antara orang tua dan anak, maka tidak dapat mendukung
berkembangnya asertifitas, terutama pada remaja yang tinggal dengan orang tua kandungnya
yang masih ‘baru’ dikenalnya.
Orang tua kandung FA lebih kepada pola pengasuhan permissive-indifferent parenting
(permisi tidak perduli). Ibu kandung FA sangat tidak ingin mencampuri kehidupan FA. Ibu

18

FA merasa bahwa FA sudah besar sehingga dapat melakukan segala sesuatunya sendiri,
kecuali FA merasa tidak mampu, maka ibu akan membantu. Ibu FA juga tidak menetapkan
batasan-batasan yang jelas kepada FA dalam berperilaku, dan tidak menetapkan standart
tanggung jawab pada FA sebagai anak mengenai apa yang seharusnya dilakukan. Pola
pengasuhan ini secara tidak langsung justru menuntut FA untuk dapat bertanggung jawab atas
dirinya sendiri. Karena dia merasa meskipun ibunya memberikan kebebasan tidak serta-merta
FA bebas. FA harus dapat mempertanggungjawabkan kebebasannya tersebut sesuai dengan
prinsip dan norma yang berlaku di rumah.
Proses kedelapan adalah keyakinan pribadi. Keyakinan seseorang turut mempengaruhi
penyesuaian dirinya dengan lingkungan (Rathus dan Nevid, 2000). Dan keyakinan pula yang
mendasari seseorang untuk mengambil suatu kuputusan dan menentukan tindakan yang akan
dilakukan. Berbeda dengan keyakinan yang sebelumnya, pada keyakinan pribadi ini, lebih
berkaitan dengan keyakinan saat menyikapi permasalahan yang dihadapi terkait dengan
statusnya yang telah berubah. Setiap individu memiliki keyakinan pribadi yang positif dan
negatif sesuai dengan pengalaman yang dihadapiya. DP meyakini bahwa jika kejadian yang
terjadi saat ini tidak menutup kemungkinan akan terjadi dikemudian hari. Hal ini merupakan
bentuk dari pengalaman hidup yang didapat oleh DP selama tinggal bersama orang tua angkat
dan orang tua kandung. DP yang pernah mendapatkan pengalaman yang kurang
menyenangkan ketika harus memulai suatu pembicaraan dengan ayah kandungnya membuat
dia berpikir dan percaya bahwa akan terjadi hal yang sama ketika dia harus memulai
pembicaraan dengan ayah kandungnya lagi. Pengalaman ini yang membuat DP kesulitan
dalam memulai suatu pembicaraan.
Subjek FA tinggal dengan orang tua kandungnya, dia tidak pernah mempertahankan
haknya karena merasa tidak pernah dilanggar haknya. FA juga tetap dapat mengungkapkan
pendapatnya jika dirasanya benar dengan baik dan sopan. Sebagai pendorong dari seluruh
perilaku asertifnya, FA yang meyakini bahwa semua yang terjadi padanya adalah rahasia
Tuhan dan atas ijin Tuhan, merupakan cara baginya dalam memperkuat kontrol diri yang
didasarkan atas nilai-nilai religiusitas dan prinsip-prinsip keagamaan yang ada. Dengan
demikian, FA dapat mengurangi kekuatirannya mengenai permasalahan yang dihadapi dan
dapat menjadikannya pembelajaran untuk dapat lebih asertif lagi.
Proses yang terakhir adalah munculnya perilaku asertif kepada orang tua kandung
yang juga dapat terlihat pada tabel 1 di atas.

19

KESIMPULAN
Berperilaku asertif atau tidak asertif-nya kedua subjek dipengaruhi oleh faktor
modelling, faktor kesempatan mengembangkan perilaku, dan faktor keyakinan pribadi.
Proses terbentuknya perilaku asertif kedua subjek adalah karena adanya pola asuh
orang tua angkat. Pola asuh dimana orang tua memberikan kesempatan pada subjek untuk
mengembangkan perilaku dan disertai interaksi antara orang tua dan remaja memunculkan
perilaku modelling. Selanjutnya pola asuh akan terintegrasi dengan keyakinan pribadi untuk
mengungkapkan perasaannya, sehingga menentukan perilaku asertif pada remaja tersebut.
Adapun perilaku asertif yang muncul pada kedua subjek selama tingggal bersama
orang tua angkat dan kandungnya adalah sebagai berikut:
a. Subjek DP, memenuhi ketiga komponen dasar perilaku asertif. Adapun perilaku asertif saat
bersama orang tua angkat, dalam mengungkapkan perasaannya DP dapat melakukan
perilaku: memberikan pujian, meminta bantuan atau pertolongan, mengungkapkan rasa
cinta dan sayang, dan mengekspresikan kekecewaannya. Sedangkan saat bersama orang
tua kandungnya, DP hanya dapat mengungkapkan rasa cinta dan sayangnya. Kemampuan
mengungkapkan pikiran dan keyakinan secara terbuka dapat dilakuakn DP baik saat
bersama orang tua kandung maupun orang tua angkatnya. Perilaku yang diterapkan adalah
memulai dan terlibat pembicaraan dan mengungkapkan pendapatnya. Namun, DP sedikit
mengalami kesulitan dalam memulai pembicaraan dengan ayah kandungnya. DP juga
mampu untuk mempertahankan hak pribadinya dan menolak permintaan baik dengan
orang tua kandung, maupun dengan orang tua angkat.
b. Subjek FA mengalami hal yang sama, dimana sama-sama memenuhi kriteria tiga
komponen dasar perilaku asertif saat bersama orang tua kandungmaupun dengan orang tua
angkat. Adapun perilaku asertif yang ada pada FA ketika tinggal dengan orang tua
angkatnya adalah, pada mengungkapkan perasaannya, FA dapat melakukan perilaku
memberikan pujian, meminta bantuan atau pertolongan, mengungkapkan rasa cinta dan
sayangnya, mengungkapkan kekecewaan dan mengekspresikan kemarahan. Sedangkan
ketika bersama orang tua kandung, FA tidak pernah mengungkapkan rasa marah karena
tidak pernah merasa marah. Kemampuan mengungkapkan pikiran dan keyakinan secara terbuka,
FA dapat memulai atau bahkan terlibat suatu perbincangan, serta mampu mengungkapkan

pendapatnya dalam keluarga baik saat bersama orang tua angkat maupun kandung.
Sedangkan dalam hal mempertahankan hak pribadi dan menolak permintaan, FA dapat
melakukannya. Namun, terdapat perbedaan dalam menerapkannya, khususnya perilaku
menolak permintaan. Saat bersama orang tua angkat, FA lebih sering menggunakan cara

20

berbohong untuk menghindar. Saat bersama orang tua kandungnya, FA lebih jujur dalam
menolak dengan mengungkapkan alasannya menolak.

SARAN
Keluarga berperan penting bagi perkembangan remaja, khususnya dalam proses
asertivitas remaja yang berstatus anak angkat. Untuk itu, orang tua sebagai figur otoritas di
dalam lingkungan keluarga berperan besar untuk mengembangkannya agar remaja dapat
merasa yakin pada diri mereka sendiri bahwa orang tua sangat menyayanginya dan akan
memberikan yang terbaiknya. Sehingga, ketika remaja dapat lebih asertif saat berhubungan
dengan orang tua, remaja akan merasa lebih nyaman ketika bersama dan berkeluh kesah
dengan orang tua. Selanjutnya, remaja akan lebih mudah ketika mereka harus berinteraksi
dengan teman sebaya atau orang dewasa lainnya, dan ketika beranjak dewasa nantinya.
Perilaku asertif sangat penting bagi seorang individu dalam menjalin hubungan dengan
keluarga maupun dengan orang lain. Untuk itu, sebaiknya remaja perlu untuk terus
memperhatikan setiap perilakunya agar sesuai dengan yang diharapkan oleh keluarga maupun
masyarakat,

serta

mempelajari

bagaimana

berperilaku

asertif

dan

selanjutnya,

mempraktekkannya setiap hari pada setiap orang agar tidak mengalami kesulitan ketika
menemui situasi yang baru.

DAFTAR PUSTAKA
Agustina, H. (2006). Psikologi Perkembangan: Pendekatan Ekologi Kaitanya dengan Konsep
Diri dan Penyesuaian Diri pada Remaja. Bandung: Refika Aditama.
Alberti, R dan Emmons, R. (2002). Your Pe