LAPORAN PENDAHULUAN TYPHOID DI RUANG MEL
LAPORAN PENDAHULUAN
TYPHOID
DI RUANG MELATI RSUD TUGUREJO SEMARANG
Oleh
Nafisah Amalia Mukhtar
22020111120011
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2014
TYPHOID
A. DEFINISI
Demam tifoid atau Typhoid Fever atau Typhus Abdominalis adalah
penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhii yang merupakan
bakteri gram negatif berbentuk batang yang masuk melalui makanan dan
minuman yang terkontaminasi (Tapan, 2004).
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi oleh bakteri Salmonella typhii
dan bersifat endemik yang termasuk dalam penyakit menular (Cahyono, 2010).
Demam tifoid adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella
typhii (Elsevier, 2013).
Jadi, demam tifoid merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
bakteri gram negatif (bakteri Salmonella typhii ) yang menurunkan sistem
pertahanan tubuh dan masuk melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi. Aspek paling penting dari infeksi ini adalah kemungkinan
terjadinya perfusi usus, karena organisme memasuki rongga perut sehingga
menyebabkan timbulnya peritonitis yang mengganas.
B. ETIOLOGI
1. Salmonella typhii
2. S. Paratyphii A, S. Paratyphii B, S. Paratyphii C.
3. S typhii atau S. paratyphii hanya ditemukan pada manusia.
4. Demam bersumber dari makanan-makanan atau air yang dikontaminasi oleh
manusia lainnya.
5. Di USA, kebanyakan kasus demam bersumber baik dari wisatawan
mancanegara atau makanan yang kebanyakan diimpor dari luar.
Salmonella typii, Salmonella paratyphii A, Salmonella Paratyphii B,
Salmonella Paratyphii C merupakan bakteri penyebab demam tifoid yang
mampu menembus dinding usus dan selanjutnya masuk ke dalam saluran
peredaran darah dan menyusup ke dalam sel makrofag manusia. Bakteri ini
masuk melalui air dan makanan yang terkontaminasi dari urin dan feses
yang terinfeksi dengan masa inkubasi 3-25 hari.
Pemulihan mulai terjadi pada minggu ke-empat dalam perjalanan
penyakit. Orang yang pernah menderita demam tifoid akan memperoleh
kekebalan darinya, sekaligus sebagai karier bakteri. Jadi, orang yang pernah
menderita tipus akan menjadi orang yang menularkan tipus pada yang
belum pernah menderita tipus.
C. PATOFISIOLOGI
Bakteri Salmonella typhi bersama makanan/minuman masuk kedalam
tubuh melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH <
2) banyak bakteri yang mati. Keadaan-keadaan seperti aklorhidiria,
gastrektomi, pengobatan dengan antagonis reseptor histamin H2, inhibitor
pompa proton atau antasida dalam jumlah besar, akan mengurangi dosis
infeksi. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus. Di usus halus,
bakteri melekat pada sel-sel mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan
menembus dinding usus, tepatnya di ileum dan jejunum. Sel-sel M, sel epitel
khusus yang melapisi Peyer’s patch, merupakan tempat internalisasi
Salmonella typhi. Bakteri mencapai folikel limfe usus halus, mengikuti aliran
ke kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik
sampai ke jaringan RES di organ hati dan limpa. Salmonella typhi mengalami
multiplikasi di dalam sel fagosit mononuklear di dalam folikel limfe, kelenjar
limfe mesenterika, hati dan limfe. (Soedarmo, dkk, 2012).
Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi) yang lamanya
ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respons imun pejamu maka
Salmonella typhi akan keluar dari habitatnya dan melalui duktus torasikus
masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Dengan cara ini organisme dapat mencapai
organ manapun, akan tetapi tempat yang disukai oeh Salmonella typhi adalah
hati, limpa, sumsum tulang belakang, kandung empedu dan Peyer’s patch dari
ileum terminal. Invasi kandung empedu dapat terjadi baik secara langsung dari
darah atau penyebaran retrograd dari empedu. Ekskresi organisme di empedu
dapat menginvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja.
Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut
terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksindalam sirkulasi penderita
melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari Salmonella typhi
menstimulasi makrofag di dalam hati, limpa, folikel limfoma usus halus dan
kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk
dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem vaskular
yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang belakang, kelainan pada
darah dan juga menstimulasi sistem imunologik (Soedarmo, dkk, 2012).
Pada minggu pertama sakit, terjadi hiperplasia plaks Peyer. Ini terjadi pada
kelenjar limfoid usus halus. Minggu kedua terjadi nekrosis dan pada minggu
ketiga terjadi ulserasi plaks Peyer. Pada minggu keempat terjadi penyembuhan
ulkus yang dapat menimbulkan sikatrik. Ulkus dapat menyebabkan perdarahan,
bahkan sampai perforasi usus. Selain itu hepar, kelenjar-kelenjar mesenterial
dan limpa membesar (Suriadi & Rita, 2006).
Komplikasi infeksi dapat terjadi perforasi atau perdarahan. Kuman
Salmonella typhi terutama menyerang jaringan tertentu, yaitu jaringan atau
organ limfoid seperti limpa yang membesar, juga jaringan limfoid di usus kecil
yaitu plak Peyer terserang dan membesar. Membesarnya plak Peyer membuat
jaringan ini menjadi rapuh dan mudah rusak oleh gesekan makanan yang
melaluinya. Inilah yang menyebabkan pasien tifus harus diberikan makanan
lunak, yaitu konsistensi bubur yang melalui liang usus tidak sampai merusak
permukaan plak Peyer ini. Bila tetap rusak, maka dinding usus setempat yang
memang sudah tipis, makin menipis, sehingga pembuluh darah ikut rusak
akibat timbul perdarahan, yang kadang-kadang cukup hebat. Bila berlangsung
terus, ada kemungkinan dinding usus itu tidak tahan dan pecah (perforasi).,
diikuti peritonitis yang dapat berakhir fatal
D. MANIFESTASI KLINIK
Manisfestasi klinis dari demam tifoid adalah:
1. Gejala pada anak: Inkubasi antara 5- 40 hari dengan rata-rata 10-14 hari.
2. Demam meninggi sampai akhir minggu pertama
3. Demam turun pada minggu ke empat, kecuali demam tidak tertangani akan
menyebabkan shock, stupor dan koma.
4. Ruam muncul pada hari ke 7-10 dan bertahan selama 2-3 hari.
5. Nyeri kepala
6. Nyeri perut
7. Kembung
8. Mual, muntah
9. Diare
10. Konstipasi
11. Pusing
12. Nyeri otot
13. Batuk
14. Epistaksis
15. Bradikardi
16. Lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung merah serta tremor)
17. Hepatomegaly
18. Splenomegaly
19. Meteroismus
20. Gangguan mental berupa somnolen
21. Delirium atau spikosis
22. Dapat timbul dengan gejala yang tidak tipikal terutama pada bayimuda
sebagai penyakit demam akut disertai syok dan hipotermia. (Sudoyo Aru,
2009)
Masa inkubasi biasanya 7-14 hari, tetapi dapat berkisar antara 3-30 hari
tergantung pada besar inokulum yang tertelan:
1. Anak Usia Sekolah dan Remaja
Gejala awal demam, malaise, anokreksia, mialgia, nyeri kepala dan nyeri
perut berkembang selama 2-3 hari. Mual dan muntah dapat menjadi tanda
komplikasi, terutama jika terjadi pada minggu kedua atau ketiga. Pada
beberapa anak terjadi kelesuan berat, batuk, dan epistaksis. Demam yang
terjadi bisa mencapai 40 derajat celsius dalam satu minggu.
Pada minggu kedua, demam masih tinggi, anak merasa kelelahan,
anoreksia, batuk, dan gejala perut bertambah parah. Anak tampak sangat
sakit, bingung, dan lesu disertai mengigau dan pingsan (stupor). Tandatanda fisik berupa bradikardia relatif yang tidak seimbang dengan
tingginya demam. Anak mengalami hepatomegali, splenomegali dan perut
kembung dengan nyeri difus. Pada sekitar 50% penderita demam tifoid
dengan demam enterik, terjadi ruam makulaatau makulo popular (bintik
merah) yang tampak pada hari ke tujuh sampai ke sepuluh. Biasanya lesi
mempunyai ciri tersendiri, eritmatosa dengan diameter 1-5 mm. Lesi
biasanya berkhir dalam waktu 2 atau 3 hari. Biakan lesi 60%
menghasilkan organisme Salmonella.
2. Bayi dan balita
Pada balita dengan demam tifoid sering dijumpai diare, yang dapat
menimbulkan diagnosis gastroenteritis akut.
3. Neonatus
Demam tifoid dapat meyerang pada neonatus dalam usia tiga hari
persalinan. Gejalanya berupa muntah, diare, dan kembung. Suhu tubuh
bervariasi dapat mencapai 40,5 derajat celsius. Dapat terjadi kejang,
hepatomegali, ikterus, anoreksia, dan kehilangan berat badan.
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan fisis
Pemeriksaan fisis pada penderita demam tipoid dilakukan secara berulang
dan regular. Semua tanda-tanda vital merupakan petunjuk yang relevan.
Perhatian khusus harus diberikan pada pemeriksaan jasmani harian yang
kadang-kadang harus dilakukan lebih sering sampai kepastian diagnosis
didapat dan respon yang diperkirakan terhadap pengobatan penyakitnya
sudah tercapai. Begitu juga dilakukan pemeriksaan secara teliti pada kulit,
kelenjar limfe, mata, dasar kuku, sistem kardiovaskuler, dada, abdomen,
sistem musculoskeletal dan sistem saraf.
2. Pemeriksaan laboratorium
a. Hematologi
Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila terjadi penyulit
perdarahan usus.
b. Kimia darah
Pemeriksaan elektrolit, kadar glukosa, blood urea nitrogen dan kreatinin
harus dilakukan.
c. Imunorologi
Widal : pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya
antibody di dalam darah terhadap antigen kuman Salmonella typhi. Hasil
positif dinytakan dengan adanya aglutinasi. Hasil negative palsu dapat
disebabkan oleh karena antara lain penderita sudah mendapatkan terapi
antibiotika, waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu sakit,
keadaan umum pasien buruk, dan adanya penyakit imunologik lain.
d. Urinalis
Protein: bervariasi dari negative sampai positif (akibat demam).
Leukosit dan eritrosit normal : bila meningkat kemungkinan terjadi
penyulit
e. Mikrobiologi
Sediaan apus dan kultur dari tenggorok, uretra, anus, serviks dan vagina
harus dibuat dalam situasi yang tepat. Pemeriksaan sputum diperlukan
untuk pasien yang demam disertai batuk-batuk. Pemeriksaan kultur darah
dan kultur cairan abnormal serta urin diperlukan untuk mengetahui
komplikasi yang muncul.
f. Radiologi
Pembuatan foto toraks biasanya merupakan bagian dari pemeriksaan
untuk setiap penyakit demam yang signifikan.
g. Biologi molekuler
Dengan
PCR
(Polymerase
Chain
Reaction),
dilakukan
dengan
perbanyakan DNA kuman yang kemudian diidentifikasi dengan DNA
probe yang spesifik. Kelebihan uji ini dapat mendeteksi kuman yang
terdapat dalam jumlah sedikit (sensifitas tinggi) serta kekhasan
(spesifitas) yang tinggi pula. Specimen yang digunakan dapat berupa
darah, urin, cairan tubuh lainnya serta jaringan biopsi.
G. PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan pada demam tifoid adalah sebagai berikut:
1.
Perawatan
Pasien dengan demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi,
observasi dan pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai
minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih 14 hari. Mobilisasi pasien
harus dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
Pasien dengan kesadaran yang menurun, posisi tubuhnya harus di ubah –
ubah pada waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia
hipostatik dan dekubitus. Defekasi dan buang air kecil perlu di perhatikan
karena kadang – kadang terjadi obstipasi dan retensi air kemih.
2.
Diet
Makanan yang dikonsumsi adalah makanan lunak dan tidak banyak serat.
3.
Obat
a. Obat - obat antimikroba yang sering dipergunakan ialah:
1)
Kloramfenikol
Menurut Damin Sumardjo, 2009. Kloramfenikol atau kloramisetin
adalah antibiotik yang mempunyai spektrum luas, berasal dai
jamur Streptomyces venezuelae. Dapat digunakan untuk melawan
infeksi yang disebabkan oleh beberapa bakteri gram posistif dan
bakteri gram negatif. Kloramfenikol dapat diberikan secara oral.
Rektal atau dalam bentuk salep. Efek samping penggunaan
antibiotik kloramfenikol yang terlalu lama dan dengan dosis yang
berlebihan adalah anemia aplastik. Dosis pada anak : 25 - 50
mg/kg BB/hari per oral atau 75 mg/kg BB/hari secara intravena
dalam empat dosis yang sama.
2)
Thiamfenikol
Menurut Tan Hoan Tjay & Kirana Raharja, (2007, hal: 86).
Thiamfenikol (Urfamycin) adalah derivat p-metilsulfonil (SO2CH3)
dengan
spektrum
kerja
dan
sifat
yang
mirip
kloramfenikol, tetapi kegiatannya agak lebih ringan. Dosis pada
anak : 20 - 30 mg/kg BB/hari.
3)
Ko – trimoksazol
Adalah suatu kombinasi dari trimetoprim-sulfametoksasol (10 mg
TMP dan 50 mg SMX/kg/24 jam). Trimetoprim memiliki daya
kerja
antibakteriil
yang
merupakan
sulfonamida
dengan
menghambat enzim dihidrofolat reduktase. Efek samping yang
ditimbulkan adalah kerusakan parah pada sel – sel darah antara lain
agranulositosis dan anemia hemolitis, terutama pada penderita
defisiensi
glukosa-6-fosfodehidrogenase. efek samping lainnya
adalah reaksi alergi antara lain urticaria, fotosensitasi dan sindrom
Stevens Johnson,
sejenis eritema multiform dengan risiko
kematian tinggi terutama pada anak – anak. kotrimoksazol tidak
boleh diberikan pada bayi di bawah usia 6 bulan. Dosis pada anak
yaitu trimetoprim-sulfametoksasol (10 mg TMP dan 50 mg
SMX/kg/24 jam, secara oral dalam dua dosis). Pengobatan dengan
dosis
tepat
harus
dilanjutkan
minimal
5-7
hari
untuk
menghindarkan gagalnya terapi dan cepatnya timbul resistensi,
(Tan Hoan Tjay & Kirana Rahardja, 2007, hal:140).
4)
Ampisilin dan Amoksilin
Ampisilin :
Penbritin, Ultrapen, Binotal. Ampisilin efektif
terhadap E.coli, H.Inflienzae, Salmonella, dan beberapa suku
Proteus. Efek samping, dibandingkan dengan perivat penisilin lain,
ampisilin lebih sering menimbulkan gangguan lambung usus yang
mungkin ada kaitannya dengan penyerapannya yang kurang baik.
Begitu pula reaksi alergi kulit (rash,ruam) dapat terjadi. Dosis
ampisilin pada anak (200mg/kg/24 jam, secara intravena dalam
empat sampai enam dosis). Dosis amoksilin pada anak (100 mg/kg/
24 jam, secara oral dalam tiga dosis).
b. Obat – obat simptomatik:
1)
Antipiretika (tidak perlu diberikan secara rutin)
2)
Kortikosteroid (dengan pengurangan dosis selama 5 hari)
3) Vitamin B komplek dan C sangat di perlukan untuk menjaga
kesegaran dan kekutan badan serta berperan dalam kestabilan
pembuluh darah kapiler.
Secara fisik :
a. Mengawasi kondisi klien dengan : pengukuran suhu secara berkala setiap 4
– 6 jam. Perhatikan apakah anak tidur gelisah, sering terkejut, atau
mengigau. Perhatikan pula apakah mata anak cenderung melirik keatas, atau
apakah anak mengalami kejang – kejang.
Demam yang disertai kejang yang terlalu lama akan berbahaya bagi
perkembangan otak, karena oksigen tidak mampu mencapai otak.
Terputusnya sulai oksigen ke otak akan berakibat rusaknya sel otak. Dalam
kedaan demikian, cacat seumur hidup dapat terjadi berupa rusaknya
intelektual tertentu.
b. Bukalah pakaian dan selimut yang berlebihan
c. Memperhatikan aliran udara di dalam ruangan
d. Jalan nafas harus terbuka untuk mencegah terputusnya suplai oksigen ke
otak yang akan berakibat rusaknya sel – sel otak.
e. Berikan cairan melalui mulut, minum sebanyak – banyaknya. Minuman
yang diberikan dapat berupa air putih, susu (anak diare menyesuaikan), air
buah atau air teh. Tujuannya agar cairan tubuh yang menguap akibat
naiknya suhu tubuh memperoleh gantinya.
f. Tidur yang cukup agar metabolisme berkurang
g. Kompres dengan air hangat pada dahi, ketiak, lipat paha. Tujuannya untuk
menurunkan suhu tubuh di permukaan tubuh anak.
H. ANALISA DATA KEPERAWATAN
Diagnosa yang muncul
1. Hipertemia berhubungan (00007)
Ds: Ibu klien mengatakan anaknya panas
Do:
a. Suhu Tubuh klien lebih dari 36,50C
b. Kulit terasa hangat
c. Kulit terlihat kemerahan
d. Nadi klien lebih normal {anak,-anak (>120x/menit), prasekolah
(>140x/menit),
dibawah
3tahun
(>150x/menit),
bayi
(>160x/menit)}
e. Nafas klien lebih normal { anak-anak (>30x/menit), prasekolah
(>34x/menit), dibawah 3 tahun (40x/menit), bayi (60x/menit)}
f. Apakah adanya kejang
2. Kekurangan volume cairan (00027)
Ds:
a. ibu klien mengatakan anaknya susah minum
b. klien mengatakan anaknya buang air kecil terus
Do:
a. bibir klien terlihat pecah-pecah
b. mukosa klien kering dan pucat
c. penurunan tugor kulit
d. kulit klien terlihat lembab
e. peningkatan konsentrasi urin
f. klien terlihat lemas
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari tubuh (00002)
Ds:
a. ibu klien mengatakan anaknya susah makan
b. klien mengatakan anaknya mengalami muntah
Do:
a. Klien tampak lemas dan tak memiliki stamina
b. Berat badan klien mengalami penurunan
c. Klien terlihat tidak memilki nafsu makan
d. Membra mukosa klien pucat
e. Adanya sariawan
f. Klien tanpak menghindari makanan
I. RENCANA KEPERAWATAN
No
1.
Diagnosa
Tujuan
Intervensi
keperawatan
Hipertermia
NOC:
NIC:
(00007)
1. Hidration
Temperature
2. Adherence behavior
(pengaturan suhu)
3. Immune status
1. Monitor suhu minimal tiap
4. Risk control
dua jam
5. Risk detection
2. Rencanakan monitoring suhu
Kriteria hasil:
1. Keseimbangan
regulation
secara kontinyu
antara 3. Monitor tekanan darah, nadi
produksi panas, panas yang
dan respiratory rate
diterima, dan kehilangan 4. Monitor warna dan suhu kulit
panas
5. Monitor
2. Seimbang antara produksi
tanda-tanda
hipertermi dan hipotermi
panas, panas yang diterima, 6. Tingkatkan intake cairan dan
dan
kehilangan
panas
nutrisi
selama 28 hari pertama 7. Selimuti
kehidupan
mencegah
3. Keseimbangan asam basa
bayi baru lahir
37,5°C
hilangnya
kehangatan tubuh
cara
mencegah
keletihan
akibat panas
5. Tidak ada kejang
9. Diskusikan
6. Tidak ada perubahan warna
kulit
hipertermia
untuk
8. Ajarkan pada orang tua pasien
4. Temperature stabil : 36,5 –
7. Pengendalian
pasien
pentingnya pengaturan suhu
dan
risiko:
tentang
kemungkinan
efek
negative dari kedinginan
10.Beritahu
tentang
indikasi
8. Pengendalian
risiko:
hipotermia
keletihan
dan
penanganann emergency yang
9. Pengendalian risiko: proses
menular
10.
terjadinya
diperlukan
11.Ajarkan
Pengendalian
risiko:
paparan sinar matahari
indikasi
dari
hipotermia dan penanganan
yang
diperlukan
yang
diperlukan
12.Berikan
2.
Kekurangan
volume
(00027)
anti
piretik
jika
diperlukan
NIC
NOC
cairan 1. Fluid balance
Fluid management
2. Hydration
1. Timbang popok jika perlu
3. Nutritional status: food and
2. Pertahankan
fluid intake
catatan
intake
dan output yang akurat
Kriteria hasil:
3. Monitor
1. Mempertahankan
urine
status
(kelembaban
hidrasi
membrane
output sesuai dengan usia
mukosa, nadi adekuat, tekanan
dan berat badan, berat jenis
darah
urine normal , HT normal
diperlukan
2. Tekanan darah, nadi, suhu
tubuh dalam batas normal
3. Tidak
ada
tanda-tanda
dehidrasi, elastisitas turgor
kulit
baik,
membran
mukosa lembab, tidak ada
rasa haus yang berlebihan.
ortostatik)
jika
4. Monitor vital sign
5. Monitor masukan makanan
atau cairan dan hitung intake
kalori harian
6. Kolaborasikan
pemberian
cairan IV
7. Berikan cairan IV pada suhu
ruangan
8. Dorong masukan oral
9. Berikan
nasogastrik
sesuai
output
10.
Dorong keluarga untuk
membantu pasien makan
11.
Tawarkan makanan ringan
(jus buah, buah segar) untuk
anak usia bermain sampai
remaja/dewasa
12.
Kolaborasi dengan dokter
apabila diperlukan transfusi
Hypovolemia management
1. Monitor
status
cairan
termasuk intake dan output
cairan
2. Pelihara IV line
3. Monitor tingkat Hb dan Ht
4. Monitor tanda vital
5. Monitor
respon
pasien
terhadap penambahan cairan
6. Monitor berat badan
7. Dorong pasien atau orang tua
pasien
untuk
menambah
intake oral
8. Pemberian cairan IV monitor
untuk mengindikasi adanya
tanda dan gejala kelebihan
volume cairan yang diberikan
9. Monitor adanya tanda gagal
3.
Ketidakseimban
gan
kurang
nutrisi 1. Nutritional status
dari 2. Nutritional
kebutuhan tubuh
(00002)
ginjal
NIC
NOC:
status:
Weight Management (1260)
Food
and fluid intake
3. Nutritional status: nutrient
intake
4. Weight control
1. Bina
hubungan
dengan
keluarga klien
2. Jelaskan
keluarga
klien
mengenai
pentingnya
pemberian
makanan,
penambahan berat badan dan
Kriteria Hasil:
kehilagan berat badan
1. Adanya peningkatan berat
badan sesuai dengan tujuan
2. Berat badan ideal sesuai
dengan tinggi badan
3. Mampu
kebutuhan nutrisi
peningkatan
pengecapan
dari
menelan
6. Tidak
terjadi
4. Jelaskan
5. Berikan
klien
4. Tidak ada tanda malnutrisi
fungsi
kondisi berat badan klien
resiko
dari
kekurangan berat badan
mengidentifikasi
5. Menunjukan
3. Jelaskan kelurga klien tentang
penurunan
berat badan yang berarti
motivasi
untuk
keluarga
meningkatkan
berat badan klien
6. Pantau porsi makan klien
7. Anjurkan klien makan teratur
DAFTAR PUSTAKA
Cahyono, J.B. Suharyo B. 2010. Vaksinasi, Cara Ampuh Cegah Penyakit Infeksi.
Yogyakarta: Kanisius
Damin, Sumardjo. 2009. Pengantar Kimia: Buku Panduan Kuliah Mahasiswa
Kedokteran dan Program Strata I Fakultas Bioeksata. Jakarta: EGC
http://www.slideshare.net/septianraha/penatalaksanaan-medik.
tanggal senin, 3 maret 2014, 16:05 WIB
Diakses
pada
Muslim. 2009. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC
Rubenstein, David. et all. 2007. Kedokteran Klinis. Jakarta: Erlangga
Soedarmo, Sumarmo S Poorwo., dkk. 2012. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis.
Jakarta: IDAI
Sukandarrumidi. 2010. Bencana Alam dan Bencana Anthoropogene. Yogyakarta:
Kanisius
Sidoyo Aru, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi keempat. Jakarta:
Internal Publishing
Tapan, Erik. 2004. Flu, HFMD, Diare pada Pelancong, Malaria, Demam
Berdarah, Tifus. Jakarta: Pustaka Populer Obor
Team Elsevier. 2013. Ferri’s Clinical Advisor 2013: 5 Books in 1. Philadelphia:
Elsevier, Inc
Tjay, Tan Hoan dan Raharja, Kirana. 2007. Obat-obat Penting: Kasiat,
Penggunaan, dan Efek – Efek Sampingnya. Ed 6. Jakarta: EGC
Weller, Barbara F. 2005. Kamus Saku Perawat. Jakarta: EGC.
TYPHOID
DI RUANG MELATI RSUD TUGUREJO SEMARANG
Oleh
Nafisah Amalia Mukhtar
22020111120011
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2014
TYPHOID
A. DEFINISI
Demam tifoid atau Typhoid Fever atau Typhus Abdominalis adalah
penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhii yang merupakan
bakteri gram negatif berbentuk batang yang masuk melalui makanan dan
minuman yang terkontaminasi (Tapan, 2004).
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi oleh bakteri Salmonella typhii
dan bersifat endemik yang termasuk dalam penyakit menular (Cahyono, 2010).
Demam tifoid adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella
typhii (Elsevier, 2013).
Jadi, demam tifoid merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
bakteri gram negatif (bakteri Salmonella typhii ) yang menurunkan sistem
pertahanan tubuh dan masuk melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi. Aspek paling penting dari infeksi ini adalah kemungkinan
terjadinya perfusi usus, karena organisme memasuki rongga perut sehingga
menyebabkan timbulnya peritonitis yang mengganas.
B. ETIOLOGI
1. Salmonella typhii
2. S. Paratyphii A, S. Paratyphii B, S. Paratyphii C.
3. S typhii atau S. paratyphii hanya ditemukan pada manusia.
4. Demam bersumber dari makanan-makanan atau air yang dikontaminasi oleh
manusia lainnya.
5. Di USA, kebanyakan kasus demam bersumber baik dari wisatawan
mancanegara atau makanan yang kebanyakan diimpor dari luar.
Salmonella typii, Salmonella paratyphii A, Salmonella Paratyphii B,
Salmonella Paratyphii C merupakan bakteri penyebab demam tifoid yang
mampu menembus dinding usus dan selanjutnya masuk ke dalam saluran
peredaran darah dan menyusup ke dalam sel makrofag manusia. Bakteri ini
masuk melalui air dan makanan yang terkontaminasi dari urin dan feses
yang terinfeksi dengan masa inkubasi 3-25 hari.
Pemulihan mulai terjadi pada minggu ke-empat dalam perjalanan
penyakit. Orang yang pernah menderita demam tifoid akan memperoleh
kekebalan darinya, sekaligus sebagai karier bakteri. Jadi, orang yang pernah
menderita tipus akan menjadi orang yang menularkan tipus pada yang
belum pernah menderita tipus.
C. PATOFISIOLOGI
Bakteri Salmonella typhi bersama makanan/minuman masuk kedalam
tubuh melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH <
2) banyak bakteri yang mati. Keadaan-keadaan seperti aklorhidiria,
gastrektomi, pengobatan dengan antagonis reseptor histamin H2, inhibitor
pompa proton atau antasida dalam jumlah besar, akan mengurangi dosis
infeksi. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus. Di usus halus,
bakteri melekat pada sel-sel mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan
menembus dinding usus, tepatnya di ileum dan jejunum. Sel-sel M, sel epitel
khusus yang melapisi Peyer’s patch, merupakan tempat internalisasi
Salmonella typhi. Bakteri mencapai folikel limfe usus halus, mengikuti aliran
ke kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik
sampai ke jaringan RES di organ hati dan limpa. Salmonella typhi mengalami
multiplikasi di dalam sel fagosit mononuklear di dalam folikel limfe, kelenjar
limfe mesenterika, hati dan limfe. (Soedarmo, dkk, 2012).
Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi) yang lamanya
ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respons imun pejamu maka
Salmonella typhi akan keluar dari habitatnya dan melalui duktus torasikus
masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Dengan cara ini organisme dapat mencapai
organ manapun, akan tetapi tempat yang disukai oeh Salmonella typhi adalah
hati, limpa, sumsum tulang belakang, kandung empedu dan Peyer’s patch dari
ileum terminal. Invasi kandung empedu dapat terjadi baik secara langsung dari
darah atau penyebaran retrograd dari empedu. Ekskresi organisme di empedu
dapat menginvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja.
Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut
terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksindalam sirkulasi penderita
melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari Salmonella typhi
menstimulasi makrofag di dalam hati, limpa, folikel limfoma usus halus dan
kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk
dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem vaskular
yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang belakang, kelainan pada
darah dan juga menstimulasi sistem imunologik (Soedarmo, dkk, 2012).
Pada minggu pertama sakit, terjadi hiperplasia plaks Peyer. Ini terjadi pada
kelenjar limfoid usus halus. Minggu kedua terjadi nekrosis dan pada minggu
ketiga terjadi ulserasi plaks Peyer. Pada minggu keempat terjadi penyembuhan
ulkus yang dapat menimbulkan sikatrik. Ulkus dapat menyebabkan perdarahan,
bahkan sampai perforasi usus. Selain itu hepar, kelenjar-kelenjar mesenterial
dan limpa membesar (Suriadi & Rita, 2006).
Komplikasi infeksi dapat terjadi perforasi atau perdarahan. Kuman
Salmonella typhi terutama menyerang jaringan tertentu, yaitu jaringan atau
organ limfoid seperti limpa yang membesar, juga jaringan limfoid di usus kecil
yaitu plak Peyer terserang dan membesar. Membesarnya plak Peyer membuat
jaringan ini menjadi rapuh dan mudah rusak oleh gesekan makanan yang
melaluinya. Inilah yang menyebabkan pasien tifus harus diberikan makanan
lunak, yaitu konsistensi bubur yang melalui liang usus tidak sampai merusak
permukaan plak Peyer ini. Bila tetap rusak, maka dinding usus setempat yang
memang sudah tipis, makin menipis, sehingga pembuluh darah ikut rusak
akibat timbul perdarahan, yang kadang-kadang cukup hebat. Bila berlangsung
terus, ada kemungkinan dinding usus itu tidak tahan dan pecah (perforasi).,
diikuti peritonitis yang dapat berakhir fatal
D. MANIFESTASI KLINIK
Manisfestasi klinis dari demam tifoid adalah:
1. Gejala pada anak: Inkubasi antara 5- 40 hari dengan rata-rata 10-14 hari.
2. Demam meninggi sampai akhir minggu pertama
3. Demam turun pada minggu ke empat, kecuali demam tidak tertangani akan
menyebabkan shock, stupor dan koma.
4. Ruam muncul pada hari ke 7-10 dan bertahan selama 2-3 hari.
5. Nyeri kepala
6. Nyeri perut
7. Kembung
8. Mual, muntah
9. Diare
10. Konstipasi
11. Pusing
12. Nyeri otot
13. Batuk
14. Epistaksis
15. Bradikardi
16. Lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung merah serta tremor)
17. Hepatomegaly
18. Splenomegaly
19. Meteroismus
20. Gangguan mental berupa somnolen
21. Delirium atau spikosis
22. Dapat timbul dengan gejala yang tidak tipikal terutama pada bayimuda
sebagai penyakit demam akut disertai syok dan hipotermia. (Sudoyo Aru,
2009)
Masa inkubasi biasanya 7-14 hari, tetapi dapat berkisar antara 3-30 hari
tergantung pada besar inokulum yang tertelan:
1. Anak Usia Sekolah dan Remaja
Gejala awal demam, malaise, anokreksia, mialgia, nyeri kepala dan nyeri
perut berkembang selama 2-3 hari. Mual dan muntah dapat menjadi tanda
komplikasi, terutama jika terjadi pada minggu kedua atau ketiga. Pada
beberapa anak terjadi kelesuan berat, batuk, dan epistaksis. Demam yang
terjadi bisa mencapai 40 derajat celsius dalam satu minggu.
Pada minggu kedua, demam masih tinggi, anak merasa kelelahan,
anoreksia, batuk, dan gejala perut bertambah parah. Anak tampak sangat
sakit, bingung, dan lesu disertai mengigau dan pingsan (stupor). Tandatanda fisik berupa bradikardia relatif yang tidak seimbang dengan
tingginya demam. Anak mengalami hepatomegali, splenomegali dan perut
kembung dengan nyeri difus. Pada sekitar 50% penderita demam tifoid
dengan demam enterik, terjadi ruam makulaatau makulo popular (bintik
merah) yang tampak pada hari ke tujuh sampai ke sepuluh. Biasanya lesi
mempunyai ciri tersendiri, eritmatosa dengan diameter 1-5 mm. Lesi
biasanya berkhir dalam waktu 2 atau 3 hari. Biakan lesi 60%
menghasilkan organisme Salmonella.
2. Bayi dan balita
Pada balita dengan demam tifoid sering dijumpai diare, yang dapat
menimbulkan diagnosis gastroenteritis akut.
3. Neonatus
Demam tifoid dapat meyerang pada neonatus dalam usia tiga hari
persalinan. Gejalanya berupa muntah, diare, dan kembung. Suhu tubuh
bervariasi dapat mencapai 40,5 derajat celsius. Dapat terjadi kejang,
hepatomegali, ikterus, anoreksia, dan kehilangan berat badan.
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan fisis
Pemeriksaan fisis pada penderita demam tipoid dilakukan secara berulang
dan regular. Semua tanda-tanda vital merupakan petunjuk yang relevan.
Perhatian khusus harus diberikan pada pemeriksaan jasmani harian yang
kadang-kadang harus dilakukan lebih sering sampai kepastian diagnosis
didapat dan respon yang diperkirakan terhadap pengobatan penyakitnya
sudah tercapai. Begitu juga dilakukan pemeriksaan secara teliti pada kulit,
kelenjar limfe, mata, dasar kuku, sistem kardiovaskuler, dada, abdomen,
sistem musculoskeletal dan sistem saraf.
2. Pemeriksaan laboratorium
a. Hematologi
Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila terjadi penyulit
perdarahan usus.
b. Kimia darah
Pemeriksaan elektrolit, kadar glukosa, blood urea nitrogen dan kreatinin
harus dilakukan.
c. Imunorologi
Widal : pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya
antibody di dalam darah terhadap antigen kuman Salmonella typhi. Hasil
positif dinytakan dengan adanya aglutinasi. Hasil negative palsu dapat
disebabkan oleh karena antara lain penderita sudah mendapatkan terapi
antibiotika, waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu sakit,
keadaan umum pasien buruk, dan adanya penyakit imunologik lain.
d. Urinalis
Protein: bervariasi dari negative sampai positif (akibat demam).
Leukosit dan eritrosit normal : bila meningkat kemungkinan terjadi
penyulit
e. Mikrobiologi
Sediaan apus dan kultur dari tenggorok, uretra, anus, serviks dan vagina
harus dibuat dalam situasi yang tepat. Pemeriksaan sputum diperlukan
untuk pasien yang demam disertai batuk-batuk. Pemeriksaan kultur darah
dan kultur cairan abnormal serta urin diperlukan untuk mengetahui
komplikasi yang muncul.
f. Radiologi
Pembuatan foto toraks biasanya merupakan bagian dari pemeriksaan
untuk setiap penyakit demam yang signifikan.
g. Biologi molekuler
Dengan
PCR
(Polymerase
Chain
Reaction),
dilakukan
dengan
perbanyakan DNA kuman yang kemudian diidentifikasi dengan DNA
probe yang spesifik. Kelebihan uji ini dapat mendeteksi kuman yang
terdapat dalam jumlah sedikit (sensifitas tinggi) serta kekhasan
(spesifitas) yang tinggi pula. Specimen yang digunakan dapat berupa
darah, urin, cairan tubuh lainnya serta jaringan biopsi.
G. PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan pada demam tifoid adalah sebagai berikut:
1.
Perawatan
Pasien dengan demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi,
observasi dan pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai
minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih 14 hari. Mobilisasi pasien
harus dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
Pasien dengan kesadaran yang menurun, posisi tubuhnya harus di ubah –
ubah pada waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia
hipostatik dan dekubitus. Defekasi dan buang air kecil perlu di perhatikan
karena kadang – kadang terjadi obstipasi dan retensi air kemih.
2.
Diet
Makanan yang dikonsumsi adalah makanan lunak dan tidak banyak serat.
3.
Obat
a. Obat - obat antimikroba yang sering dipergunakan ialah:
1)
Kloramfenikol
Menurut Damin Sumardjo, 2009. Kloramfenikol atau kloramisetin
adalah antibiotik yang mempunyai spektrum luas, berasal dai
jamur Streptomyces venezuelae. Dapat digunakan untuk melawan
infeksi yang disebabkan oleh beberapa bakteri gram posistif dan
bakteri gram negatif. Kloramfenikol dapat diberikan secara oral.
Rektal atau dalam bentuk salep. Efek samping penggunaan
antibiotik kloramfenikol yang terlalu lama dan dengan dosis yang
berlebihan adalah anemia aplastik. Dosis pada anak : 25 - 50
mg/kg BB/hari per oral atau 75 mg/kg BB/hari secara intravena
dalam empat dosis yang sama.
2)
Thiamfenikol
Menurut Tan Hoan Tjay & Kirana Raharja, (2007, hal: 86).
Thiamfenikol (Urfamycin) adalah derivat p-metilsulfonil (SO2CH3)
dengan
spektrum
kerja
dan
sifat
yang
mirip
kloramfenikol, tetapi kegiatannya agak lebih ringan. Dosis pada
anak : 20 - 30 mg/kg BB/hari.
3)
Ko – trimoksazol
Adalah suatu kombinasi dari trimetoprim-sulfametoksasol (10 mg
TMP dan 50 mg SMX/kg/24 jam). Trimetoprim memiliki daya
kerja
antibakteriil
yang
merupakan
sulfonamida
dengan
menghambat enzim dihidrofolat reduktase. Efek samping yang
ditimbulkan adalah kerusakan parah pada sel – sel darah antara lain
agranulositosis dan anemia hemolitis, terutama pada penderita
defisiensi
glukosa-6-fosfodehidrogenase. efek samping lainnya
adalah reaksi alergi antara lain urticaria, fotosensitasi dan sindrom
Stevens Johnson,
sejenis eritema multiform dengan risiko
kematian tinggi terutama pada anak – anak. kotrimoksazol tidak
boleh diberikan pada bayi di bawah usia 6 bulan. Dosis pada anak
yaitu trimetoprim-sulfametoksasol (10 mg TMP dan 50 mg
SMX/kg/24 jam, secara oral dalam dua dosis). Pengobatan dengan
dosis
tepat
harus
dilanjutkan
minimal
5-7
hari
untuk
menghindarkan gagalnya terapi dan cepatnya timbul resistensi,
(Tan Hoan Tjay & Kirana Rahardja, 2007, hal:140).
4)
Ampisilin dan Amoksilin
Ampisilin :
Penbritin, Ultrapen, Binotal. Ampisilin efektif
terhadap E.coli, H.Inflienzae, Salmonella, dan beberapa suku
Proteus. Efek samping, dibandingkan dengan perivat penisilin lain,
ampisilin lebih sering menimbulkan gangguan lambung usus yang
mungkin ada kaitannya dengan penyerapannya yang kurang baik.
Begitu pula reaksi alergi kulit (rash,ruam) dapat terjadi. Dosis
ampisilin pada anak (200mg/kg/24 jam, secara intravena dalam
empat sampai enam dosis). Dosis amoksilin pada anak (100 mg/kg/
24 jam, secara oral dalam tiga dosis).
b. Obat – obat simptomatik:
1)
Antipiretika (tidak perlu diberikan secara rutin)
2)
Kortikosteroid (dengan pengurangan dosis selama 5 hari)
3) Vitamin B komplek dan C sangat di perlukan untuk menjaga
kesegaran dan kekutan badan serta berperan dalam kestabilan
pembuluh darah kapiler.
Secara fisik :
a. Mengawasi kondisi klien dengan : pengukuran suhu secara berkala setiap 4
– 6 jam. Perhatikan apakah anak tidur gelisah, sering terkejut, atau
mengigau. Perhatikan pula apakah mata anak cenderung melirik keatas, atau
apakah anak mengalami kejang – kejang.
Demam yang disertai kejang yang terlalu lama akan berbahaya bagi
perkembangan otak, karena oksigen tidak mampu mencapai otak.
Terputusnya sulai oksigen ke otak akan berakibat rusaknya sel otak. Dalam
kedaan demikian, cacat seumur hidup dapat terjadi berupa rusaknya
intelektual tertentu.
b. Bukalah pakaian dan selimut yang berlebihan
c. Memperhatikan aliran udara di dalam ruangan
d. Jalan nafas harus terbuka untuk mencegah terputusnya suplai oksigen ke
otak yang akan berakibat rusaknya sel – sel otak.
e. Berikan cairan melalui mulut, minum sebanyak – banyaknya. Minuman
yang diberikan dapat berupa air putih, susu (anak diare menyesuaikan), air
buah atau air teh. Tujuannya agar cairan tubuh yang menguap akibat
naiknya suhu tubuh memperoleh gantinya.
f. Tidur yang cukup agar metabolisme berkurang
g. Kompres dengan air hangat pada dahi, ketiak, lipat paha. Tujuannya untuk
menurunkan suhu tubuh di permukaan tubuh anak.
H. ANALISA DATA KEPERAWATAN
Diagnosa yang muncul
1. Hipertemia berhubungan (00007)
Ds: Ibu klien mengatakan anaknya panas
Do:
a. Suhu Tubuh klien lebih dari 36,50C
b. Kulit terasa hangat
c. Kulit terlihat kemerahan
d. Nadi klien lebih normal {anak,-anak (>120x/menit), prasekolah
(>140x/menit),
dibawah
3tahun
(>150x/menit),
bayi
(>160x/menit)}
e. Nafas klien lebih normal { anak-anak (>30x/menit), prasekolah
(>34x/menit), dibawah 3 tahun (40x/menit), bayi (60x/menit)}
f. Apakah adanya kejang
2. Kekurangan volume cairan (00027)
Ds:
a. ibu klien mengatakan anaknya susah minum
b. klien mengatakan anaknya buang air kecil terus
Do:
a. bibir klien terlihat pecah-pecah
b. mukosa klien kering dan pucat
c. penurunan tugor kulit
d. kulit klien terlihat lembab
e. peningkatan konsentrasi urin
f. klien terlihat lemas
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari tubuh (00002)
Ds:
a. ibu klien mengatakan anaknya susah makan
b. klien mengatakan anaknya mengalami muntah
Do:
a. Klien tampak lemas dan tak memiliki stamina
b. Berat badan klien mengalami penurunan
c. Klien terlihat tidak memilki nafsu makan
d. Membra mukosa klien pucat
e. Adanya sariawan
f. Klien tanpak menghindari makanan
I. RENCANA KEPERAWATAN
No
1.
Diagnosa
Tujuan
Intervensi
keperawatan
Hipertermia
NOC:
NIC:
(00007)
1. Hidration
Temperature
2. Adherence behavior
(pengaturan suhu)
3. Immune status
1. Monitor suhu minimal tiap
4. Risk control
dua jam
5. Risk detection
2. Rencanakan monitoring suhu
Kriteria hasil:
1. Keseimbangan
regulation
secara kontinyu
antara 3. Monitor tekanan darah, nadi
produksi panas, panas yang
dan respiratory rate
diterima, dan kehilangan 4. Monitor warna dan suhu kulit
panas
5. Monitor
2. Seimbang antara produksi
tanda-tanda
hipertermi dan hipotermi
panas, panas yang diterima, 6. Tingkatkan intake cairan dan
dan
kehilangan
panas
nutrisi
selama 28 hari pertama 7. Selimuti
kehidupan
mencegah
3. Keseimbangan asam basa
bayi baru lahir
37,5°C
hilangnya
kehangatan tubuh
cara
mencegah
keletihan
akibat panas
5. Tidak ada kejang
9. Diskusikan
6. Tidak ada perubahan warna
kulit
hipertermia
untuk
8. Ajarkan pada orang tua pasien
4. Temperature stabil : 36,5 –
7. Pengendalian
pasien
pentingnya pengaturan suhu
dan
risiko:
tentang
kemungkinan
efek
negative dari kedinginan
10.Beritahu
tentang
indikasi
8. Pengendalian
risiko:
hipotermia
keletihan
dan
penanganann emergency yang
9. Pengendalian risiko: proses
menular
10.
terjadinya
diperlukan
11.Ajarkan
Pengendalian
risiko:
paparan sinar matahari
indikasi
dari
hipotermia dan penanganan
yang
diperlukan
yang
diperlukan
12.Berikan
2.
Kekurangan
volume
(00027)
anti
piretik
jika
diperlukan
NIC
NOC
cairan 1. Fluid balance
Fluid management
2. Hydration
1. Timbang popok jika perlu
3. Nutritional status: food and
2. Pertahankan
fluid intake
catatan
intake
dan output yang akurat
Kriteria hasil:
3. Monitor
1. Mempertahankan
urine
status
(kelembaban
hidrasi
membrane
output sesuai dengan usia
mukosa, nadi adekuat, tekanan
dan berat badan, berat jenis
darah
urine normal , HT normal
diperlukan
2. Tekanan darah, nadi, suhu
tubuh dalam batas normal
3. Tidak
ada
tanda-tanda
dehidrasi, elastisitas turgor
kulit
baik,
membran
mukosa lembab, tidak ada
rasa haus yang berlebihan.
ortostatik)
jika
4. Monitor vital sign
5. Monitor masukan makanan
atau cairan dan hitung intake
kalori harian
6. Kolaborasikan
pemberian
cairan IV
7. Berikan cairan IV pada suhu
ruangan
8. Dorong masukan oral
9. Berikan
nasogastrik
sesuai
output
10.
Dorong keluarga untuk
membantu pasien makan
11.
Tawarkan makanan ringan
(jus buah, buah segar) untuk
anak usia bermain sampai
remaja/dewasa
12.
Kolaborasi dengan dokter
apabila diperlukan transfusi
Hypovolemia management
1. Monitor
status
cairan
termasuk intake dan output
cairan
2. Pelihara IV line
3. Monitor tingkat Hb dan Ht
4. Monitor tanda vital
5. Monitor
respon
pasien
terhadap penambahan cairan
6. Monitor berat badan
7. Dorong pasien atau orang tua
pasien
untuk
menambah
intake oral
8. Pemberian cairan IV monitor
untuk mengindikasi adanya
tanda dan gejala kelebihan
volume cairan yang diberikan
9. Monitor adanya tanda gagal
3.
Ketidakseimban
gan
kurang
nutrisi 1. Nutritional status
dari 2. Nutritional
kebutuhan tubuh
(00002)
ginjal
NIC
NOC:
status:
Weight Management (1260)
Food
and fluid intake
3. Nutritional status: nutrient
intake
4. Weight control
1. Bina
hubungan
dengan
keluarga klien
2. Jelaskan
keluarga
klien
mengenai
pentingnya
pemberian
makanan,
penambahan berat badan dan
Kriteria Hasil:
kehilagan berat badan
1. Adanya peningkatan berat
badan sesuai dengan tujuan
2. Berat badan ideal sesuai
dengan tinggi badan
3. Mampu
kebutuhan nutrisi
peningkatan
pengecapan
dari
menelan
6. Tidak
terjadi
4. Jelaskan
5. Berikan
klien
4. Tidak ada tanda malnutrisi
fungsi
kondisi berat badan klien
resiko
dari
kekurangan berat badan
mengidentifikasi
5. Menunjukan
3. Jelaskan kelurga klien tentang
penurunan
berat badan yang berarti
motivasi
untuk
keluarga
meningkatkan
berat badan klien
6. Pantau porsi makan klien
7. Anjurkan klien makan teratur
DAFTAR PUSTAKA
Cahyono, J.B. Suharyo B. 2010. Vaksinasi, Cara Ampuh Cegah Penyakit Infeksi.
Yogyakarta: Kanisius
Damin, Sumardjo. 2009. Pengantar Kimia: Buku Panduan Kuliah Mahasiswa
Kedokteran dan Program Strata I Fakultas Bioeksata. Jakarta: EGC
http://www.slideshare.net/septianraha/penatalaksanaan-medik.
tanggal senin, 3 maret 2014, 16:05 WIB
Diakses
pada
Muslim. 2009. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC
Rubenstein, David. et all. 2007. Kedokteran Klinis. Jakarta: Erlangga
Soedarmo, Sumarmo S Poorwo., dkk. 2012. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis.
Jakarta: IDAI
Sukandarrumidi. 2010. Bencana Alam dan Bencana Anthoropogene. Yogyakarta:
Kanisius
Sidoyo Aru, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi keempat. Jakarta:
Internal Publishing
Tapan, Erik. 2004. Flu, HFMD, Diare pada Pelancong, Malaria, Demam
Berdarah, Tifus. Jakarta: Pustaka Populer Obor
Team Elsevier. 2013. Ferri’s Clinical Advisor 2013: 5 Books in 1. Philadelphia:
Elsevier, Inc
Tjay, Tan Hoan dan Raharja, Kirana. 2007. Obat-obat Penting: Kasiat,
Penggunaan, dan Efek – Efek Sampingnya. Ed 6. Jakarta: EGC
Weller, Barbara F. 2005. Kamus Saku Perawat. Jakarta: EGC.