KEBIJAKAN AMERIKA SERIKAT DI ASIA TENGAH

KEBIJAKAN AMERIKA SERIKAT DI ASIA TENGAH
Posted by hary wibowo on 07.29
BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang

Setelah Uni Soviet bubar, dan berganti menjadi Rusia, perlahan-lahan negaranegara di Asia Tengah tersebut melepaskan diri dari negara induknya dan
memerdekakan

diri

menjadi

negara-negara

Republik,

seperti

Kazakhstan,


Turkmenistan, Kyrgystan, Uzbekistan dan Tajikistan. Negara-negara tersebut dikenal
sebagai Central Asian States (CAS). Asia Tengah kira-kira luas wilayahnya seperempat
luas wilayah Rusia. Negara terluas adalah Kazakhstan (2.669.800 km2), Turkmenistan
(488.100 km2), Uzbekistan (425.400 km2), Kyrgystan (101.300 km2) dan terkecil
adalah Tajikistan (142.000 km2)[1].
Secara ekonomi, pasca pemerintahan komunis era globalisasi dan pasar bebas
yang berlaku di sebagian negara-negara di dunia tidak dikenal di wilayah ini. Menurut
studi Bank Dunia, Asia Tengah saat ini keadaannya tidak lebih baik dari pada masa
komunisme.

Standar

kesehatan

dan

pendidikan

yang


buruk

mengakibatkan

kemunduran ataupenurunan dalam Gross Domestic Product (GDP), kecuali negaranegara kaya minyak seperti Kazakhstan, namun negara lain kurang beruntung[2].
Reformasi ekonomi telah dilaksanakan,namun hanya menyebabkan resiko besar tanpa
hasil nyata karena antara satu negara dengan negara lainnya tidak mencapai
kesepakatan.
Namun demikian, wilayah Asia Tengah menyimpan sebuah daya tarik tersendiri bagi
negara-negara besar di dunia. Bahkan sejak abad ke-19, wilayah ini sudah menjadi
wilayah perselisihan diantara negara-negara besar. Wilayah ini tepat berada di tengahtengah antara benua Eropa dan Asia sehingga Asia Tengah selalu menjadi penting dan
strategis sebagai jalur vital yang menghubungkan Eropa dan Asia. Pada awal abad ke20 Sir Halford Mackinder, seorang ahli geografi Inggris, pernah mengatakan bahwa Asia

Tengah akan selalu menjadi kawasan yang sangat penting di dunia, dan penguasaan
Asia Tengah berarti mengontrol rimlands (lingkar benua) dan kemudian dunia[3].
Terdapat beberapa faktor yang menjadikan Asia Tengah sebagai wilayah strategis
bagi negara-negara di dunia, yakni[4] faktor geopolitik, ekonomi, serta budaya dan
agama. Ketika kelima negara merdeka dan secara geopolitik menjadi “new continent”,
saat itu Rusia terbelenggu krisis ekonomi sehingga pengaruhnya atas wilayah itu
berkurang. Terjadilah kekosongan kekuasaan (vacuum of power) selama beberapa

periode, yang mengundang kekuatan asing yang berkepentingan di wilayah itu. Kedua,
faktor ekonomi, dimana Asia Tengah mempunyai tiga keuntungan besar, yakni
keuntungan sumber daya alam, pasar dan keuntungan sebagai jembatan. Dari segi
sumber daya, Asia tengah sangat kaya akan minyak bumi dan gas alam, bahkan
berdasarkan data statistik, cadangan minyak di seluruh kawasan (termasuk laut Kaspia)
mencapai 23 milyar ton, yang berarti kedua terbesar setelah kawasan teluk. Sedang
cadangan gas alamnya mencapai 3000 milyar ton, menempati urutan ketiga di dunia
[5]. Cadangan uranium, dan emas sangat besar dan merupakan produsen kapas
terbesar di dunia.
Makalah ini kami tulis dengan melihat perkembangan tren yang terjadi berupa
semakin intensifnya AS terlibat di wilayah Asia Tengah, terlihat dalam beberapa poin
sebagai berikut: (a)Kehancuran Uni Soviet tahun 1991 langsung disikapi sejumlah
investor AS dengan berburu rente ke negara-negara mantan Uni Soviet[6];
(b)perusahaan-perusahaan dan konsultan AS mendesak ex-Uni Soviet menyetujui rute
jaringan pipa migas yang menghindari negeri-negeri yang dianggap AS sebagai musuh,
yaitu Rusia dan Iran.; (c) pada 3-5 September 2008 (setelah pertempuran di Georgia)
Dick Cheney melakukan kunjungan formal ke Azerbaijan, Georgia, dan Ukraina[7]; (d)
Sebelum administrasi Bush, Bill Clinton pun sudah menaruh perhatian besar terhadap
potensi migas Kaspia à dua proyek jaringan pipa utama untuk mengekspor migas
Kaspia, dengan tidak melalui wilayah Iran, Rusia, dan China[8]. (a) proyek pertama

adalah rencana mengekspor gas Turkmenistan melalui Afganistan dan Pakistan ke
Samudra Hindia. Akan tetapi, proyek ini akhirnya gagal karena keamanan di Afganistan
dan Pakistan yang hingga kini sangat tidak mendukung; (b)proyek kedua adalah
rencana membangun jaringan pipa melingkar ke barat melalui negara-negara pro-AS di

daerah rangkaian pegunungan Kaukasus, yaitu Georgia dan Azerbaijan. Jaringan itu
akan digabung dengan jaringan pipa bawah laut yang menghubungkan Kazakhstan dan
Turkmenistan di sisi timur Kaspia, yang menyambung dengan jaringan pipa Baku
(Azerbaijan)-Tbilisi (Georgia)-Ceyhan (Turki) atau BTC. Jaringan pipa ini menjadi jalan
utama untuk mengirimkan sebagian besar ekspor energi Kaspia ke kawasan
Mediterania, dan diproyeksikan akan menjadi pukulan besar terhadap dominasi rute
energi Rusia dari Kaspia ke Barat. Namun, pelaksanaannya ternyata tidak mudah
karena sejumlah negara bekas Soviet masih sangat memperhitungkan Rusia jika terlalu
pro-Barat. Bahkan kalaupun belum lama ini calon presiden Demokrat, Barack Obama,
menegaskan bahwa AS akan menghilangkan ketergantungan dari minyak Timur Tengah
dalam waktu 10 tahun (jika dia terpilih), hal itu bisa jadi bermakna AS menggeser
prioritas politik migasnya dari Timur Tengah ke wilayah lain, dalam hal ini Kaspia.
·

Cadangan gas terukur di Azerbaijan, Uzbekistan, Turkmenistan, dan Kazakhstan lebih

dari 236 triliun kaki kubik, total cadangan minyak yang kemungkinan lebih dari 60 miliar
barrel dan cukup untuk melayani kebutuhan minyak Eropa selama 11 tahun membuat
wilayah ini terlalu strategis untuk diacuhkan begitu saja[9].

·

kebutuhan energi AS dan potensi minyak di Laut Kaspia, berkontribusi terhadap
dinamika hubungan internasional di kawasan tersebut.
1.2.

Pertanyaan Permasalahan

”Bagaimanakah Kebijakan Energy Security Amerika Serikat mempengaruhi Dinamika
Kawasan Negara-Negara di Kawasan Asia Tengah terkait dengan Potensi Minyak di
Laut Kaspia?”
1.3.

Konseptualiasi Kerangka Berpikir

1.3.1. Keamanan Energi (Energy Security)

Keamanan energi (energy security) merupakan sebuah konsep dimana sebuah
negara

mampu

mempertahankan

diri

dan

melakukan

pembangunan

dengan

mengutamakan keamanan dan ketersediaan cadangan energi yang memadai dengan
harga yang terjangkau, baik minyak ataupun variasi jenis energi lainnya[10]. Hal ini
semakin penting dengan kenyataan bahwa dinamika ekonomi dan politik turut


mempengaruhi suplai energi yang sangat krusial bagi kegiatan pembangunan sebuah
negara. Hal-hal yang mempengaruhi keberlanjutan cadangan enegri antara lain adalah
ketersediaan cadangan energi, fluktuasi harga, ancaman terorisme, instabilitas
domestic negara pengekspor energi, adanya perang, persaingan geopolitik, hingga peta
energi oleh negara-negara besar pengkonsumsi energi dunia[11].
Ketersediaan suplai energi menjadi masalah yang cukup signifikan dalam hal
ini. Pertama, jika suplai energi menurun, maka akan menimbulkan kenaikan harga
energi yang berakibat pada turunnya daya beli energi[12]. Hal ini akan berimbas pada
kolapsnya kegiatan ekonomi dan bersifat destruktif terhadap kegiatan produksi dan
konsumsinya masyarakat. Kedua, dengan ditemukannya sumber suplai energi baru,
maka hal ini dapat menunda kelangkaan energi yang mungkin terjadi dan
mengamankan cadangan energi dalam kurun waktu tertentu. Suplai memegang
peranan yang sangat penting, karena permintaan akan energi sebagai komoditas
primer cenderung selalu tetap dan bersifat inelastis[13].
1.3.2. Stabilitas Hegemoni (Hegemonic Stability)
Stabilitas hegemoni dicetuskan oleh Hindleberger dan Keohane. Ide dasar dari
teori ini adalah bahwa stabilitas sistem internasional membutuhkan dominasi dari
sebuah negara untuk mengartikulasikan dan mengimplementasikan aturan akan
interaksi antar anggota-anggota dalam sistem internasional tersebut.[14] Sebuah

negara dapat menjadi hegemon apabila negara tersebut dapat memenuhi ketiga atribut,
di antaranya kapabilitas untuk menciptakan aturan dalam sistem, adanya niat atau
kemauan dari negara tersebut untuk melakukan hal tersebut, dan adanya komitmen
terhadap sistem yang dilihat sebagai sebuah bentuk hubungan mutual antar negaranegara tersebut.[15] Kapabilitas negara hegemon sangat menitikberatkan pada kondisi
pertumbuhan ekonomi dan dominasinya pada sektor teknologi dan ekonomi serta
adanya back-up dari kekuatan politik yang ditunjukkan dalam bentuk proyeksi kekuatan
militer. Instabilitas dalam sistem dapat berakibat pada runtuhnya heirarki internasional
dan berimplikasi pada kerapuhan posisi negara dominan.
Secara garis besar, siklus hegemoni dapat digambarkan melalui tahapantahapan atau fase kepemimpinan hegemon.[16] Siklus pertama yaitu kemunculan

perang global yang ditunjukkan dengan adanya kondisi dunia yang chaotic dan tanpa
aturan. Pada masa ini, negara-negara yang berperang saling beradu kekuatan,
khususnya dengan menunjukkan kapabilitas militernya. Hasil akhir atau pemenang dari
perang ini umumnya akan menjadi salah satu kandidat negara dominan atau hegemon.
Siklus kedua ditunjukkan dengan munculnya kepemimpinan dunia dimana pemenang
dari perang global akan menciptakan organisasi internasional yang akan digunakan
hegemon

sebagai


alat

untuk

menginstitusionalisasikan

sistem

atau

tatanan

internasional sesuai dengan pandangannya. Institusi ini juga sekaligus menjadi
legitimasi hegemon dalam pengaturan sistem dunia. Siklus ketiga, delegitimasi. Pada
siklus ini, kemunculan negara-negara semi-pheripheri yang dapat mengimbangi
kekuatan hegemon menjadikan hegemon kehilangan kekuasaannya atau paling tidak,
kekuatan dominasinya mendapatkan tantangan yang cukup serius. Siklus terakhir
adalah siklus dekonsentrasi. Pada fase ini, negara hegemon mulai menggunakan force
atau kekuatannya untuk memelihara kondisi status quo, biasanya melalui jalur militer.
Kondisi ini akan mempercepat keruntuhan hegemoni karena konfrontasi dalam bentuk

militer cenderung memakan biaya yang mahal dan menelan anggaran negara yang
besar. Kondisi ini juga pada umumnya didukung oleh kemunculan aliansi negaranegara semi-pheriperi untuk menggulingkan sang hegemon dari tampuk kekuasaannya.
1.3.3. Kebijakan Luar Negeri (Foreign Policy)
Kebijakan luar negeri merupakan seperangkat kajian tentang bagaimana
sebuah negara membuat kebijakan sehingga melibatkan studi politik internasional dan
domestik yang menyangkut hubungan internasional dan kebijakan publik[17]. Kebijakan
ini didasarkan pada analisa dari diplomasi, perang, hubungan antar organisasi,
maupun perspektif lain seperti ekonomi, yang tergantung bagaimana masing-masing
negara menerapkan kebijakan asing. Dalam proses pembuatannya, kebijakan luar
negeri melibatkan beberapa tahap[18]: (1) Penilaian internasional dan domestik politik
lingkungan; Kebijakan luar negeri dibuat dan dilaksanakan dalam konteks politik
internasional dan domestik, yang harus dipahami oleh negara untuk menentukan pilihan
kebijakan luar negeri terbaik, (2) Tujuan pengaturan; dimana sebuah negara harus
menentukan tujuan yang sangat dipengaruhi oleh internasional dan domestik politik

lingkungan pada suatu waktu yang akan memudahkan negara untuk melakukan
prioritas, (3) Penetapan kebijakan pilihan; Sebuah negara harus menentukan pilihan
kebijakan yang tersedia untuk memenuhi tujuan atau tujuan yang telah ditetapkan
dalam lingkungan politik. Ini akan melibatkan penilaian dari negara kapasitas untuk
melaksanakan kebijakan pilihan dan penilaian tentang konsekuensi dari setiap pilihan

kebijakan, (4) Pengambilan Keputusan Formal; yang biasanya oleh lembaga eksekutif
seperti kepala negara atau kepala pemerintahan, kabinet, atau menteri, dan (5)
Implementasi.
Esensi dari kebijakan luar negeri merupakan rencana dan kebijakan-kebijakan
yang ditujukan kepada tujuan yang satu yakni perwujudan kepentingan nasional demi
mempertahankan kelangsungan hidup negara[19]. Sehingga setiap pengambilan
kebijakan luar negeri, suatu negara selalu mendasarkan pada kepentingan nasional.
1.3.4. Konsep Kepentingan Nasional (National Interest)
Kepentingan nasional adalah tujuan negara baik dalam bidang ekonomi, militer,
atau bahkan budaya dimana hal ini dilihat sebagai kebutuhan dan keinginan yang
dirasakan oleh suatu negara dalam hubungan dengan negara-negara lain yang
merupakan lingkungan eksternalnya. Kepentingan nasional seringkali dipakai sebagai
alat untuk menganalisa tujuan kebijakan luar negeri suatu negara[20]. Menurut Holsti,
kepentingan nasional diidentifikasikan dalam tiga klasifikasi, yaitu (1) kepentingan dan
nilai inti; (2) tujuan jangka menengah; dan (3) tujuan jangka panjang[21]. Pertama,
kepentingan dan Nilai Inti. Kepentingan ini bisa digambarkan sebagai jenis kepentingan
yang untuk mencapainya kebanyakan bersedia melakukan pengorbanan sebesarbesarnya. Kepentingan dan nilai inti merupakan tujuan jangka pendek, karenatujuan
lain jelas tidak dapat dicapai apabila unit politik yang mengejarnya tidak dapat
mempertahankan eksistensinya[22]. Kedua, Tujuan jangka menengah. Dalam tujuan ini,
(1) akan mencakup usaha pemerintah memenuhi tuntutan perbaikan ekonomi melalui
tindakan internasional; (2) meningkatkan prestise negara di dalam sistem itu sendiri,
dimana saat ini prestise sebuah negara diukurdari perkembangan tingkat industri dan
teknologinya; dan (3) mencakup bentuk perluasan diri atau imperialisme, negara lain
tidak menduduki wilayah asing, tetapi mencari keuntungan, termasuk akses pada

bahan mentah, pasar dan rute perdagangan yang tidak dapat mereka perolehdari
perdagangan biasa dan diplomasi[23]. Ketiga, Tujuan Jangka Panjang. dalam tujuan ini,
impian dan pandangan tentang organisasi ideologi terakhir sistem internasional,aturan
yang mengatur hubungan dalam sistem tersebut dan peran negara tertentu di
dalamnya[24].
1.3.5. Geopolitik Kawasan (Geo-political Consideration)
Konsep geopolitik merupakan konsep yang melihat hubungan antara kondisi
bumi (wilayah), institusi politik dan kebijakan dari sebuah negara[25]. Geopolitik adalah
sebuah studi geografi yang dikaitkan dengan kondisi kebijakan luar negeri sebuah
negara dan fenomena politik dengan sumsi bahwa kekuatan sebuah negara bergantung
pada wilayahnya, sungai jalanan, bahan mentah dan makanan dan termasuk
penduduknya, pemerintahnya, ekonominya dan budayanya. Secara abstrak, geopolitik
tradisional menunjukkan hubungan dan pernyataan kausalitas antara kekuatan politik
dan ruang geografis. Terinologi ini sering dianggap sebagai formulasi khusus yang
berhubungan dengan kepentingan strategis relatif dari pentingnya potensi geografis
dalam perspektif dunia internasional. Fokus utama konsep geopolitik berhubungan
dengan korelasi antara kekuatan dalam bidang politik, identifikasi wilayah inti dari
perspektif internasional, dan hubungan antara kapabilitas laut dan darat yang
dimiliki[26].
BAB 2
PEMBAHASAN

2.2.

Kepentingan Nasional AS

2.2.1. Kepentingan Nasional AS perspektif Global
Tujuan jangka panjang yang akan dicapai AS, sesuai dangan apa yang
digariskan dalam “Strategi Kebijakan Nasional Amerika Serikat”, adalah ingin
menciptakan dunia yang tidak saja aman, namun lebih baik yang bertujuan: kebebasan
ekonomi dan politik, hubungan yang serasi dengan negara lain, penghargaan pada

nilai-nilai kemanusiaan. Untuk mencapai tujuan tersebut, salah satunya AS akan
bekerjasama dengan pihak lain untuk menghindari konflik regional, menciptakan era
baru bagi pertumbuhan ekonomi global lewat pasar dan perdagangan bebas, dan lainlain[27]. Menurut Anthony Lake, pada periode pasca Perang Dingin pemerintah AS
perlu menemukan komponen-komponen baru bagi kepentingan nasionalnya. Lake
menggariskan

tujuh

aspek

kepentingan

nasional

AS

yakni[28]:

(1)

untuk

mempertahankan AS, warga negaranya di dalam maupun luar negeri, para sekutu AS
dari berbagai bentuk serangan langsung; (2) untuk mencegah timbulnya agresi yang
dapat mengganggu perdamaian internasional; (3) untuk mempertahankan kepentingan
ekonomi AS; (4) untuk mempertahankan dan menyebarluaskan nilai-nilai demokrasi; (5)
untuk mencegah proliferasi senjata nuklir; (6) untuk menjaga rasa percaya dunia
internasional terhadap AS. Untuk itu AS harus selalu mempertahankan komitmenkomitmen internasionalnya. (7) memerangi kemiskinan, kelaparan serta pelnggaran
terhadap hak-hak asasi manusia
2.2.2. Refleksi Kepentingan Jangka Pendek, Mennengah, dan Panjang AS
Menurut Holsti, kepentingan nasional diidentifikasikan dalam tiga klasifikasi,
yaitu (1) kepentingan dan nilai inti; (2) tujuan jangka menengah; dan (3) tujuan jangka
panjang[29]. Pertama, kepentingan dan Nilai Inti. Kepentingan ini bisadigambarkan
sebagai jenis kepentingan yang untuk mencapainya kebanyakan bersedia melakukan
pengorbanan sebesar-besarnya. Kepentingan dan nilai inti merupakan tujuan jangka
pendek, karenatujuan lain jelas tidak dapat dicapai apabila unit politik yang
mengejarnya tidak dapat mempertahankan eksistensinya[30]. AS menganggap
kawasan Asia Tengah sebagai kepentingan, maka tidak sedikit sumberdaya yang telah
dikeluarkannya demi mempertahankan eksistensinya secara ekonomi, politik dan militer
di kawasan Asia Tengah karena dalam pandangan AS wilayah ini sangat strategis dan
akan menguntungkan di kemudian hari bagi kepentingan nasional AS.
Kedua, Tujuan jangka menengah. Dalam tujuan ini, (1) akan mencakup usaha
pemerintah memenuhi tuntutan perbaikan ekonomi melalui tindakan internasional; (2)
meningkatkan prestise negara di dalam sistem itu sendiri, dimana saat ini prestise
sebuah negara diukurdari perkembangan tingkat industri dan teknologinya; dan (3)

mencakup bentuk perluasan diri atau imperialisme, negara lain tidak menduduki wilayah
asing, tetapi mencari keuntungan, termasuk akses pada bahan mentah, pasar dan rute
perdagangan

yang

tidak

dapat mereka

perolehdari

perdagangan

biasa

dan

diplomasi[31]. Pengendalian dan akses ekslusif mungkin diperoleh melalui kolonisasi,
protektorat, satelit atau lingkup pengaruh. Perluasan diri secara ideologis juga lazim
dalam banyak bentuk, dimana wakil pemerintah berusaha mempromosikan nilai politik,
ekonomi dan sosialnya sendiri di luar negeri. AS sebelum dan pasca perang serangan
11 September 2001, sedang dalam krisis ekonomi yang cukup parah sehingga
memerlukanlangkah-langkah

untuk

membantu

mengatasi

masalah

dalam

negerinya.Seperti AS mendukung kepentingan sejumlah Multinational Corporation
(MNC) di luar negeri demi mendorong perluasan perdagangan atau akses umum pada
pasar luar negeri, dalam hal ini tentu saja pemerintah AS mendapat pengaruh dari
kelompok kepentingan ekonomi untuk mengambil kebijakan ini. Terutama MNC dalam
eksplorasi minyak dan gas atau non-migas. Ketiga, Tujuan Jangka Panjang. dalam
tujuan ini, impian dan pandangan tentang organisasi ideologi terakhir sistem
internasional,aturan yang mengatur hubungan dalam sistem tersebut dan perannegara
tertentu di dalamnya (Ibid, 147).
2.2.3. Implementasi Kebijakan AS di Asia Tengah
Melihat kenyataan tersebut, maka inti keptingan nasional yang ingin dicapai di
Asia Tengah sebenarnya meliputi beberapa hal, yaitu: (1) untuk mencegah munculnya
kembali “ideologi ekpansionisme Rusia yang radikal”, yang akan menciptakan kembali
konfrontasi nuklir dunia; (2) mencegah atau mengisolir konflik yang terjadi; (3)
mencegah pengembangan senjata nuklir; (4) mencegah gerakan radikal anti-barat
dalam bentuk Islam politik; (5) untuk mendorong timbulnya demokratisasi dan
menjujung tinggi hak-hak asasi manusia; dan (6) membolehkan Amerika Serikat untuk
berperan dalampembangunan ekonomi, khususnya akses pada bahan mentah[32].
Peristiwa 11 September 2001, kepentingan AS di Asia Tengah mengalami
beberapa revisi khususnya mengenai masalah keamanan regional, dimana AS
memfokuskan pada perang terhadap terorisme internasional dan mencegah agar
negara-negara di kawasan tersebut tidak menjadi tempat perlindungan para teroris.

Dengan demikian, politik luar negeri AS di Asia Tengah bertujuan untuk mencapai
kepentingan nasionalnya, seperti menjaga stabilitas keamanan regional dari aksi-aksi
terorisme (keamanan), mengamankan suplai minyak Asia Tengah dan kemudian
memasarkannya ke pasaran internasional (ekonomi), dan mengenalkan nilai-nilai
demokratisasi dan hak-hak asai manusia, sehingga diharapkan akan terjadi reformasi
dalam bidang politik.
Munculnya Asia Tengah sebagai kawasan strategis dan kaya akan cadangan
sumber alam, mendorong beberapa kekuatan besar untuk bersaing mencari pengaruh
demi kepentingan strategisnya. Melihat situasi demikian, AS dan negara-negara lainnya
telah “menduduki” beberapa posisi strategis di kawasan ini dengan membawa modal
dan teknologi yang diimplementasikan dalam agenda politik luar negerinya untuk
mencapai kepentingan nasional. Jika dilihat dengan seksama, kepentingan nasional AS
di kawasan Asia Tengah dimana prioritas mencegah bangkitnya ideologi ekspansionis
Rusia yang radikal di kalangan negara-negara bekas Uni Soviet yang dapat
menimbulkan konflik nuklir global, mengisolir konflik yang terjadi di kawasan tersebut
yang dikhawatirkan akan meluap ke negara tetangga, mencegah pengembangan
senjata nuklir, mencegah berkembangnya paham radikal anti-Barat dalam bentuk Islam
politik, mendorong berkembangnya hak-hak asasi manusia, demokrasi, sistem
perekonomian pasar bebas dan lingkungan dunia yang bersih; adalah tujuan yang
berkisar pada agenda pasca perang dingin[33].
Agenda tersebut akhirnya bergeser kepada bagaimana AS untuk berperan
dalam pembangunan ekonomi, khususnya akses pada bahan mentah, serta
membendung pengaruh Rusia dan Iran dan menempatkan kawasan ini sebagai
lingkungan pengaruh dalam kepentingan strategis AS[34]. Setelah peristiwa 11
September, pergeseran prioritas kepentingan nasional AS terfokus pada perang
melawan terorisme, meskipun secara umum idealismenya tetap sama. Sedang secara
luas, tujuan AS mencakup tiga kepentingan strategis, yaitu: keamanan regional,
reformasi politik dan ekonomi, dan pembangunan ekonomi[35].
Dalam bidang keamanan regional, AS mendorong negara-negara di kawasan
Asia Tengah untuk saling bekerjasama, karena Asia Tengah menghadapi ancaman
transnasional yang serius, umumnya berasal dari Afghanistan. Ancaman itu berupa

gerakan kelompok teroris, Islam ekstrimis, penyelundupan narkotika dan senjata.
Masalah-masalah politik-agama merupakan alasan pertama negara-negara Asia
Tengah bergabung dengan koalisi anti terorisme pimpinan AS mengingat mayoritas
negara di kawasan itu sering terlibat kekerasan sebagai akibat gerakan Islam domestik,
yang mempunyai hubungan dengan Taliban dan Al-Qaeda[36]. Dengan mendukung AS
dalam berperang melawan terorisme internasional, negara-negara ini ingin menumpas
kelompok-kelompok ekstremis tersebut tanpa mendapat kritikan dunia internasional dan
organisasi HAM lainnya, sekaligus mengatasi masalah kurangnya dana dan sumber
daya militer[37].
Dari tujuan reformasi politik dan ekonomi, pada dasarnya, Amerika ingin
mendorong demokratisasi dan dari institusi politik dan membangun sebuah sistem
perekonomian pasar bebas agar tidak menghalangi investor dan pedagang asing,
termasuk AS. Namun, sayangnya reformasi berjalan lambat. Pemerintah Turkmenistan
tetap menjadi salah satu rezim represif, di Uzbekistan presiden Islam Karimov dengan
tegas menolak reformasi ekonomi yang ditawarkan AS, dan meskipun Kazakhstan
menyuarakan isu-isu demokrasi namun pengkapan terhadap kelompok oposisi, media
massa dan aktivis NGO terus dilakukan. Serta Kyrgistan yang pernah menjadi
pemimpin regional dalam hal demokratisasi dan pasar bebas, namun dalam dua tahun
terakhir mengalami kemunduran[38]. Sedang Tajikistan, karena pemerintahan pusat
yang kurang kuat, justru melahirkan kebebasan pers, keragaman partai politik, dan
demokrasi.
Janji akan imbalan ekonomi jika mendukung perang AS melawan terorisme
menjadi motivasi negara-negara kawasan Asia Tengah, karena situasi ekonomi
kawasan tersebut (kecuali Kazakhstan) sulit pulih dari krisis paska lepas dari Soviet
tanpa bantuan asing. Bantuan ekonomi AS berkontribusi besar[39] meski tarif untuk
menyediakan pangkalan militer juga merupakan sumber pendapatan tersendiri bagi
negara-negara tersebut[40]. Negara-negara Asia Tengah juga membutuhkan bantuan
untuk mengekspor barang-barang dan sumber daya alamnya agar bisa menembus
pasar internasional karena wilayahnya terisolasi.
Meski kehadiran militer AS di kawasan itu adalah untuk mengamankan
kepentingan sumber energi, namun jika AS membangun pipa minyak dan gas dari Asia

Tengah ke luar, hal itu tidak saja menguntungkan AS tetapi juga negara-negara Asia
Tengah karena mendapatkan keuntungan ekonomis. Pembangunan jalur pipa minyak
dari Asia Tengah yang melintasi Afghanistan menuju teluk akan membawa penghasilan,
lapangan kerja, pelatihan dan pendidikan baik bagi rakyat Afghanistan dan Asia
Tengah[41].
2.3.

Hubungan Asia Tengah dan Amerika Serikat
Bukti bahwa terdapat kepentingan strategis Amerika Serikat, lebih spesifik lagi

berhubungan dengan kepentingan ekonomi strategis; bisa terlihat dari deviasinya saat
menghadapi rezim otoriter di sub-kontinen ini dengan sangat bersahabat; padahal
biasanya AS merupakan pengusung nilai-nilai demokrasi[42]. Jajaran pemerintah AS
yang lekat dengan petinggi-petinggi perusahaan minyak pun menunjukkan betapa
besar signifikansi energi bagi pembangunan AS. Menteri Luar Negeri AS saat ini,
Condoleezza Rice, sebelumnya adalah salah seorang petinggi di perusahaan minyak
terbesar AS, Chevron, pada 1991-1995 sebagai seorang pakar Uni Soviet. Saat itulah
Chevron berhasil menguasai kue terbesar dari ladang minyak Tengiz, Kazakhstan, yang
punya cadangan potensial 25 miliar barrel. Wakil Presiden Dick Cheney juga
merupakan pucuk pimpinan perusahaan infrastruktur perminyakan Halliburton dan
merupakan

anggota

Dewan

Penasihat

Tengizchevroil

(TCO)

di

Kazakhstan,

perusahaan perminyakan yang didirikan Pemerintah Kazakhstan setelah runtuhnya
Soviet, dengan kepemilikan Chevron 50 persen, ExxonMobil 25 persen, dan
Pemerintah Kazakhstan melalui KazMunazGas 20 persen, sisanya 5 persen dimiliki
LukArco Rusia[43].
Tidak heran apabila dalam strategi global Amerika Serikat, Asia Tengah
memegang

posisi

strategis.

Terutama

sejak

tahun

1997

ketika

AS

mulai

memprioritaskan kawasan ini dengan kebijakan “New Central Asia Strategy”[44]. Dalam
strategi ini, AS berusaha membantu negara-negara baru merdeka di Asia Tengah untuk
dapat

keluar

dari

pengaruh

Rusia

dan

benar-benar

merdeka.

Untuk

megimplementasikan strategi ini, secara ekonomi AS berusaha menjadikan kawasan ini
sebagai basis suplai energinya yang baru, dengan menanamkan investasi, bantuan
ekonomi, dan pembangunan. Secara militer AS mulai memberikan bantuan militer

berupa peralatan, pelatihan personil militer, latihan militer berkelanjutan dan akhirnya
berusahan mendirikan pangkalan militer disana[45]. Hal ini berlanjut dengan intens
pasca tragedi 11 September 2001, ketika AS mulai mengembangkan doktrin
pertahanan baru dengan mengedepankan pre-emptive strike dan defensive intervention
yang sangat berbeda dengan saat perang dingin yang menggunakan doktrin
containtment dan deterrence[46]. Sejak itu, AS mulai aktif secara diplomatik, politik dan
militer di Asia Tengah dan Uzbekistan menjadi sekutu kunci AS dengan mengijinkan
pangkalannya dipakai oleh tentara AS[47] dan dengan cepat pengaruh militer AS
meluas ke negara-negara Asia Tengah lainnya. Belum lagi invasi AS ke Afghanistan –
yang tidak lepas dari kepentingan pembangunan pipa minyak, dijadikan justifikasi AS
untuk menempatkan pasukannya dekat Bishkek serta meningkatkan tensi dengan
Rusia.
Hal itu dilakukan untuk mengejar sumber energi potensial di Laut Kaspia yang
sangat dibutuhkan untuk kelangsungan industri AS. Jika dirunut satu persatu,
Kazkhstan yang berpotensi menjadi satu dari lima teratas sebagai eksportir minyak,
mengingat produksinya pada tahun 2002 mencapai 900.000 barel per hari dan dapat
meningkat menjadi 5 juta barel per hari pada tahun 2015 hingga melebihi produksi Iran
atau Kuwait. Turkmenistan merupakan salah satu negara yang mempunyai sumber gas
alam terbesar di dunia, mencapai 101 trilyun kaki kabik dan produksi minyaknya
160.000 per hari. Sementara itu Tajikistan dan Kyrgistan menyimpan sumber alam yang
dapat dijasikan pembangkit listrik tenaga air yang potensial untuk dapat memenuhi
kebutuhan energi listrik di Asia Tengah, Afghanistan dan Asia Selatan[48]. Dari energi
hidrokarbon, wilayah Kaspia memiliki cadangan hidrokarbon besar yang belum
tersentuh. Cadangan gas terukur di Azerbaijan, Uzbekistan, Turkmenistan, dan
Kazakhstan lebih dari 236 triliun kaki kubik. Cukup untuk melayani kebutuhan minyak
Eropa selama 11 tahun[49].
Akan tetapi, sebagai landlocked countries, kawasan sekitar laut Kaspia
terisolasi, menjadikannya sulit untuk mendistribusikan sumber-sumber energi ini untuk
dapat mencapai pasaran dunia. Padahal, sumber daya energi Asia Tengah ini dapat
menghadirkan tiga keuntungan baru, yakni bagi pasar dunia, kawasan dan Amerika
Serikat[50]. Pertama, munculnya pasokan energi baru akan membuat pasokan di dunia

menjadi beragam dan dapat mengendalikan harga minyak yang naik ketika permintaan
akan minyak meningkat. Banyaknya pasokan minyak dari laut Kaspia akan
mengamankan suplai minyak dunia (khususnya sekutu AS) karena suplai terbesar saat
ini berasal dari teluk Persia (sebesar 66 %), dimana daerah tersebut rawan konflik dan
politisasi sehingga menganggu pasokan energi dunia[51]. Kedua, apabila dikendalikan
dengan baik, maka keuntungan dari penjualan minyak dan gas akan memperbaiki
pertumbuhan ekonomi negara-negara di Asia Tengah, dimana kemampuan laut Kaspia
untuk memasok energi pada pasaran dunia akan memperkuat prospek bagi
pertumbuhan ekonomi dan kestabilan politik di kawasan tersebut. Ketiga, ada
kesempatan yang sangat besar bagi perusahaan minyak multinasional AS dan negaranegara Barat untuk melakukan investasi pada minyak di laut Kaspia dan juga pada
bidang-bidang lain.
Meski demikian, tetap harus disadari bahwa kendala geografis – tidak ada jalan
yang mudah untuk mengekspor energi posisinya yang terisolasi dan bergantung pada
kerjasama dengan negara tetangga yang konfliktual dan ‘tidak dapat dipercaya’ secara
politis oleh AS; kendala teknologi dan biaya transportasi, kurangnya sumber daya
manusia, masalah politik dan instabilitas domestik, serta minimnya perangkat hukum
untuk melindungi para investor, juga menghambat kertumbuhan ekonomi wilayah ini.
2.4.

Asia Tengah dan Major Power lainnya
Dengan kenyataan seperti itu, tentu bukan hanya AS yang mengincar minyak

Kaspia. Rusia sangat memahami betapa berharga energi migas dalam meningkatkan
pendapatan negara itu dan gencar mengincar migas di negara-negara tetangganya.
Desember 2007, Rusia berhasil membuat kesepakatan dengan Kazakhstan dan
Turkmenistan untuk membangun sebuah jaringan pipa gas baru sepanjang pantai timur
Kaspia menuju Rusia. Pembangunan jaringan pipa yang diharapkan bisa mengekspor
20 miliar meter kubik per tahun pada tahapan awalnya, dipandang sebagai sebuah
pukulan atas harapan AS yang menginginkan pemerintah negara-negara Asia Tengah
berkomitmen mengirimkan migasnya ke jaringan pipa trans-Kaspia yang bersambung
dengan jaringan pipa di Kaukasus yang dibangun dengan dukungan AS[52].

China juga berusaha mengamankan suplai energi melalui jaringan pipa Asia
Tengah dari negara-negara tetangganya di barat. Sebuah jaringan pipa minyak
Kazakhstan-China, yang menghubungkan ladang minyak Kazakh di utara Kaspia
dengan jaringan pipa di China di Wilayah Otonomi Xinjiang, barat laut China, tengah
dibangun dan akan beroperasi Oktober 2009[53]. Sebuah jaringan paralel pipa gas
alam juga tengah dibangun menuju ladang-ladang di Uzbekistan dan Turkmenistan.
Negara-negara lain juga tidak mau ketinggalan. India ingin mencegah supaya
Pakistan tidak memakai Asia Tengah sebagai kegiatan teroris, dan India juga tidak ingin
Cina mengepung wilayahnya[54]. Kemudian masih ada Iran yang melihat pentingnya
kawasan di luar perbatasannya. Teheran tidak ingin pengaruh terlalu besar Amerika
Serikat yang akhirnya akan mengepung Iran[55]. Setiap negara punya kepentingan
mendasar di sana. Bahkan jika menganalisa konflik yang terjadi di Georgia bukan
semata konflik politik peninggalan masa lalu saat Soviet pecah. Lebih dari itu adalah
konflik memburu perdagangan migas dari Kaspia. Dalam hal ini, AS yang sangat
bernafsu menguasai sumber daya migas itu hanya bisa berkomentar cukup keras
mengenai serbuan tentara Rusia ke Georgia. Namun, walau bagaimanapun, Rusia
masih jauh lebih berpengaruh di Asia Tengah ketimbang AS, dan negara-negara kaya
migas di Kaspia, yaitu Turkmenistan, Kazakhstan, Uzbekistan, dan Kirgistan, masih
lebih memperhitungkan Rusia.
BAB 3
PENUTUP
3.1.

Kesimpulan
Pada intinya, Asia Tengah merupakan daerah yang diperebutkan hingga

sekarang karena mempunyai arti strategis secara politik, ekonomi, geografi dan
kebudayaan. Karena secara ekonomi, kawasan ini kaya energi minyak dan gas, dan
dalam perspektif AS Asia Tengah potensial sebagai lahan investasi baru bagi
perusahaan-perusahaan minyaknya. Oleh karena itulah, pasca kehancuran Uni Soviet
dan terjadi vacuum of power, sehingga AS berusaha mengambil peluang untuk
berperan menggantikan posisi Soviet dengan membantu negara-negara tersebut agar

lebih mandiri dan stabil sehingga dapat mencegah masuknya kembali peran Rusia.
Untuk mencapai tujuan tersebut, AS melakukan berbagai pendekatan baik politik,
ekonomi, bahkan militer.
Dalam rangka mencapai ekpentingan nasionalnya, yakni melanggengkan
keamanan energi yang bisa didapatkan dari potensi minyak di laut kaspia, Amerika
Serikat memberlakukan “New Central Asia Strategy”. Dalam strategi ini, AS berusaha
membantu negara-negara baru merdeka di Asia Tengah untuk dapat keluar dari
pengaruh Rusia dan benar-benar merdeka. Untuk mengimplementasikan strategi ini,
secara ekonomi AS berusaha menjadikan kawasan ini sebagai basis suplai energinya
yang baru, dengan menanamkan investasi, bantuan ekonomi, dan pembangunan.
Secara militer AS mulai memberikan bantuan militer berupa peralatan, pelatihan
personil militer, latihan militer berkelanjutan dan akhirnya berusahan mendirikan
pangkalan militer disana dengan invasi ke Afghanistan sebagai justifikasi. Hal ini
berlanjut dengan intens pasca tragedi 11 September 2001, ketika AS mulai
mengembangkan doktrin pertahanan baru dengan mengedepankan pre-emptive strike
dan defensive intervention yang sangat berbeda dengan saat perang dingin yang
menggunakan doktrin containtment dan deterrence. Sejak itu, AS mulai aktif secara
diplomatik, politik dan militer di Asia Tengah dan dengan cepat pengaruh militer AS
meluas ke negara-negara Asia Tengah lainnya.

DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Clarke, M. and B. White (eds) Understanding Foreign Policy: The Foreign Policy Systems Approach
(Cheltenham: Edward Elgar 1989)
Codevilla, Angelo and Paul Seabury, War: Ends and Means, 2nd edition (Potomac Books Inc. 2006)
Luong, Pauline Jones, The Transformation of Central Asia: States and Societies from Soviet Rule to
Independence, (Cornell University Press, 2003)
Malik, Hafeez . Central Asia’s Geopolitical Significance and Problems of Independence: An
Introductions, (New York: St. Martin Press, 1994)

Pacicolan, Paolo. US and Asia Statistic Handbook 2001-2002.Washington D.C.: The Heritage
Foundations, 2001.
Roy, Olivier The New Central Asia: Geopolitics and the Birth of Nations, (New York: NYU Press ,
2007)
Rall, Ted Silk Road to Ruin: Is Central Asia the New Middle East? (Nantier Beall Minoustchine
Publishing, 2006)
Sokolsky, Richard and Tanya Charlek-Paley, “NATO Caspian Security: A Mission to Far?”. Santa
Monica: Rani, 1999)
Sudarsono,Juwono dkk., Perkembangan Studi Hubungan Internasional dan Tantangan Masa
Depan. (Jakarta: Pustaka Jaya, 1996 )
Jurnal:
Baumann, Florian Energy Security as multidimensional concept, dalam jurnal CAP policy analysis,
no. 1 March 2008
Cornell, Svante E. and Regine A. Spector,:”Central Asia More than Islamic Extremist”, dalam The
Washington Quarterly, Vol.25/No.I, Winter, 2002
Globe, Paul A. “Back on the Map: The Geopolitics of Central Asia”, dalam jurnal Central Asia, No. 2
(8), 1997
Haiyun, Wang. “The Security Situation In Central Asia”, International Strategic Studies, No.1,
January, 2001
Maynes, Charles William. “America Discoves Central Asia”, Jurnal Foreign Affairs, Vol. 82/No.2,
March/April 2003
Sulaiman, Sadia. ”The Role of Central Asia in War Against Global Terrorism: Futuristic Apprisal”,
dalam Strategic Studies, Vol.XXII/No.2, Summer, 2002)
Osterud, Oyvind "The Uses and Abuses of Geopolitics", Journal of Peace Research , no. 2, 1988, p.
2, 1988
Yergin, Daniel “Ensuring Energy Security”, dalam jurnal foreign affairs . Volume 85 No. 2
March/April 2006
Internet:
Alex

Lantier,

US

oil

pipeline

politics

and

the

Russia-Georgia

conflict,

diakses

dari

http://www.wsws.org/articles/2008/aug2008/pipe-a21.shtml pada tanggal 12 Desember 2008
Pk. 20.34

Hans de Vreij, Persaingan Sengit Asia Tengah-Asia Selatan jadi ajang persaingan politik
internasional,

diakses

dari

http://www.ranesi.nl/arsipaktua/asiapasifik/persaingan_sengit_asteng.html. pada tanggal 12
Desember 2008 pukul. 20.14
Rakaryan Sukarjaputra, Konflik Georgia: Perburuan Migas di Kaspia, dalam Kompas 14 september
2008,

diakses

dari

http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/09/14/22234348/perburuan.migas.di.kaspia
pada tanggal 12 Desember 2008 pk. 20.45
___,

US

Policy

in

Asia,

2004,

http://www.uyghuramerica.org/researchanalysis/Uspolicycenasia.html

diakses
pada

tanggal

dari
27

November 2008
Lainnya:
Husaini, Adian. “Doktrin Ofensif AS, Gejala Paranoid”, dalam Kompas 11 Juli 2002

Pacicolan, Paolo. US and Asia Statistic Handbook 2001-2002.Washington D.C.: The
Heritage Foundations, 2001. hlm. 123-127
[2]Maynes, Charles William. “America Discoves Central Asia”, Jurnal Foreign Affairs,
Vol. 82/No.2, March/April 2003 hlm. 122
[3] Wang Haiyun. “The Security Situation In Central Asia”, International Strategic
Studies, No.1, January, 2001 hlm. 17
[4] Ibid.. Hlm. 14
[5] Paolo, Pacicolan. US and Asia Statistic Handbook 2001-2002.Washington D.C.: The
Heritage Foundations, 2001.
[6] Hans de Vreij, Persaingan Sengit Asia Tengah-Asia Selatan jadi ajang persaingan
politik internasional, artikel ditulis pada 14 Januari 2004, diakses dari
http://www.ranesi.nl/arsipaktua/asiapasifik/persaingan_sengit_asteng.html.
pada
tanggal 12 Desember 2008 pukul. 20.14
[7] Rakaryan Sukarjaputra, Konflik Georgia: Perburuan Migas di Kaspia, artikel dimuat
dalam
harian
Kompas
14
september
2008,
diakses
dari
http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/09/14/22234348/perburuan.migas.di.k
aspia pada tanggal 12 Desember 2008 pk. 20.45
[8] Alex Lantier, US oil pipeline politics and the Russia-Georgia conflict, artikel ditulis
pada August 21, 2008 diakses dari http://www.wsws.org/articles/2008/aug2008/pipea21.shtml pada tanggal 12 Desember 2008 Pk. 20.34
[9] Pacicolan, Paolo. US and Asia Statistic Handbook 2001-2002.Washington D.C.: The
Heritage Foundations, 2001. hlm. 123-127
[10] Daniel Yergin, “Ensuring Energy Security”, dalam jurnal foreign affairs . Volume 85
No. 2 March/April 2006
[1]

Ibid.
Florian Baumann, Energy Security as multidimensional concept, dalam jurnal CAP
policy analysis, no. 1 March 2008
[13] Ibid.
[14] C.P. Kindleberger, “Dominance and Leadership in the International Economy:
Exploitation, Public Goods, and Free Rides”, dalam International Studies Quarterly, 25
1982, hal. 242-254.
[15] Ibid., “Dominance and Leadership in the International Economy: Exploitation, Public
Goods, and Free Rides”
[16]
_____,
“Hegemonic
Stability
Theory”
diakses
dari
http://www.angelfire.com/ok3/meredith/realism.html
[17] M. Clarke, ‘The Foreign Policy System: A Framework for Analysis’, in M. Clarke and
B. White (eds) Understanding Foreign Policy: The Foreign Policy Systems Approach
(Cheltenham: Edward Elgar 1989), pp.27–59.
[18] Ibid. hlm. 25
[19] Ibid. hlm. 25
[20] Angelo Codevilla and Paul Seabury, War: Ends and Means, 2nd edition (Potomac
Books Inc. 2006) hlm. 120
[21] Ibid., hlm 141
[22] Ibid., hlm. 142
[23] Ibid, hlm. 145-147
[24] Ibid, hlm. 147
[25] Olivier Roy, The New Central Asia: Geopolitics and the Birth of Nations, (New York:
NYU Press ,2007) hlm. 7
[26] Oyvind Osterud, "The Uses and Abuses of Geopolitics", Journal of Peace
Research , no. 2, 1988, p. 2, 1988, hal 192
[27] (Kompas, 23 Maret 2003)
[28] Indrya Smita Notosusanto,.”Politik Global Amerika Serikat Pasca Perang
Dingin”,dalam Juwono Sudarsono, dkk., Perkembangan Studi Hubungan Internasional
dan Tantangan Masa Depan. (Jakarta: Pustaka Jaya, 1996 ) hlm. 117
[29] (Ibid., 141).
[30] (Ibid., 142)
[31] (ibid, 145-147)
[32] Hafeez Malik. Central Asia’s Geopolitical Significance and Problems of
Independence: An Introductions, (New York: St. Martin Press, 1994) hlm, 130
[33] Ibid. hlm. 131
[34] Wang Haiyun. Opcit. Hlm. 47
[35] ___, US Policy in Asia, 2004, diakses dari
http://www.uyghuramerica.org/researchanalysis/Uspolicycenasia.html pada tanggal 27
November 2008
[36] Svante E. Cornell, and Regine A. Spector,:”Central Asia More than Islamic
Extremist”, dalam The Washington Quarterly, Vol.25/No.I, Winter, 2002 hlm. 193
[37] Sulaiman, Sadia. ”The Role of Central Asia in War Against Global Terrorism:
Futuristic Apprisal”, dalam Strategic Studies, Vol.XXII/No.2, Summer, 2002) hlm. 86
[38] US Policy in Asia, Loc.cit.
[11]
[12]

[39] Sulaiman, Op.Cit. hlm. 85
[40] Ibid, hlm. 86

Paul A. Globe, “Back on the Map: The Geopolitics of Central Asia”, dalam jurnal
Central Asia, No. 2 (8), 1997
[42] Ted Rall, Silk Road to Ruin: Is Central Asia the New Middle East? (Nantier Beall
Minoustchine Publishing, 2006) hlm. 5
[43] Ibid. hlm. 112
[44] Ibid. hlm. 3
[45] Wang Haiyun. “The Security Situation In Central Asia”, International Strategic
Studies, No.1, January, 2001 hlm. 17
[46] Husaini, Adian. “Doktrin Ofensif AS, Gejala Paranoid”, dalam Kompas 11 Juli 2002
[47] Svante E. Cornell, and Regine A. Spector,:”Central Asia More than Islamic
Extremist”, dalam The Washington Quarterly, Vol.25/No.I, Winter, 2002 hlm. 193
[48] Pacicolan, Paolo.Opcit. hlm. 110
[49] Pacicolan, Paolo.Opcit. hlm. 115
[50] Sokolsky, Richard and Tanya Charlek-Paley, “NATO Caspian Security: A Mission to
Far?”. Santa Monica: Rani, 1999) hlm. 69-70
[51] Hafeez Malik, Op.cit. hlm. 142
[52] Pauline Jones Luong, The Transformation of Central Asia: States and Societies
from Soviet Rule to Independence, (Cornell University Press, 2003) hlm. 136
[53] Ibid. hlm. 138
[54] Ibid. hlm. 142
[55] Ibid. Hlm. 143
[41]