TUGAS POKOK DAN FUNGSI PEGAWAI NEGERI SI
TUGAS POKOK DAN FUNGSI PEGAWAI NEGERI SIPIL
DI KEMENTERIAN KEUANGAN, RISIKO, DAN HAMBATAN DALAM
PELAKSANAANNYA
Kelompok IV
Alfiah Kusumaningrum, Fitri Mayang Sari, Langgeng Wahyu Pamungkas, Prajastiono Nur
Trivansyah, Satrya Vandicka
Abstrak – Pegawai Negeri Sipil (PNS) merupakan unsur terpenting dalam berjalannya proses pemerintahan di
segala bidang. Salah satu hal yang mengindikasikan pentingnya hal tersebut adalah kualitas PNS dapat menjadi
salah satu tolak ukur nyata bagi citra suatu instansi pemerintah secara keseluruhan di mata masyarakat. Hal ini
sangat disadari oleh berbagai kementerian dan lembaga di Indonesia, terutama Kementerian Keuangan.
Mengingat pentingnya peranan PNS tersebut, Kementerian Keuangan memiliki tugas pokok dan fungsi yang tidak
hanya ada bagi Kementerian Keuangan itu sendiri, tetapi juga untuk setiap unit eselon I yang berada dalam
naungan Kementerian Keuangan. Namun dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi tersebut, pada
kenyataannya tidak semua PNS mampu menerapkannya dengan benar dan tanpa gangguan. Banyak hambatan
dan risiko yang harus dihadapi oleh setiap PNS di lingkungan Kementerian Keuangan. Mengingat hal tersebut,
penulis kali ini akan memberikan uraian mengenai tugas pokok dan fungsi PNS di Kementerian Keuangan berikut
risiko dan hambatan yang terjadi dalam penerapan tugas pokok dan fungsi tersebut.
Kata Kunci: Tugas dan Fungsi, Risiko, Hambatan, Anti Korupsi
1.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kementerian Keuangan merupakan kementerian yang memegang peranan penting dalam terlaksananya
semua program pemerintahan. Peran Kementerian Keuangan tidak terlepas dari hampir seluruh aspek yang
berhubungan dengan perekonomian dan keuangan negara. Aspek-aspek tersebut antara lain terkait dengan
kebijakan perencanaan, penyusunan, dan pengelolaan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara),
mengelola pendapatan terbesar negara yang berasal dari perpajakan dan bea cukai, pengelolaan kekayaan
negara, dan aspek-aspek lain yang penting kaitannya dengan terselenggaranya pemerintahan.
Sebagai kementerian terbesar dengan peranan yang kompleks dan begitu penting bagi terselenggaranya
pemerintahan, tentunya diperlukan penataan organisasi yang baik. Hal ini akhirnya diwujudkan dengan
dilakukannya Reformasi Birokrasi pada tahun 2007. Reformasi Birokrasi ini merupakan langkah besar yang
diambil oleh Kementerian Keuangan dalam menata organisasi, menyempurnakan proses bisnis, dan
mengembangkan sumber daya manusia. Reformasi Birokrasi ini bertujuan untuk mewujudkan tata kelola
keuangan yang profesional, amanah, dan tepat arah, serta mewujudkan kepercayaan publik melalui
peningkatan pelayanan publik.
Dalam tulisan ini, penulis akan memaparkan mengenai tugas pokok dan fungsi dari beberapa unit eselon I
pada Kementerian Keuangan. Selain itu, penulis juga akan menjelaskan beberapa hambatan dan risiko yang
terjadi bagi PNS dalam melaksanakan tugas dan fungsi tersebut
1.2 Maksud dan Tujuan
Maksud dari dibuatnya tulisan ini adalah penulis dapat memberikan paparan mengenai tugas dan fungsi
Pegawai Negeri Sipil dari beberapa unit eselon I yang berada di lingkup Kementerian Keuangan berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-184/PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Keuangan. Dalam tulisan ini, penulis juga akan menjelaskan hambatan dan risiko yang terjadi
bagi Pegawai Negeri Sipil dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Penulis mengharapkan tulisan ini dapat
memberikan informasi mengenai tugas dan fungsi PNS di lingkungan Kementerian Keuangan. Selain itu,
tulisan ini juga diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai hambatan dan risiko yang terjadi dalam
rangka menjalankan tugas dan fungsi.
1.3 Perumusan Masalah
Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian Keuangan banyak menemui berbagai hambatan dan risiko
dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Hambatan yang paling sering terjadi adalah masalah luasnya
wilayah kerja dari Kementerian Keuangan. Hal ini tentu menyebabkan banyaknya Pegawai Negeri Sipil yang
ditempatkan di wilayah terpencil dan jauh dari tempat tinggal. Tingginya biaya hidup yang disebabkan
penempatan kerja yang kurang sesuai ini juga dapat menjadi risiko tersendiri bagi PNS, karena dapat menjadi
salah satu faktor kuat untuk mendorong PNS melakukan tindakan yang tergolong ke dalam KKN (Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain dari masalah geografis, masih banyak
hambatan dan risiko bagi PNS dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Dalam tulisan ini, penulis akan
mencoba untuk menguraikan hambatan dan risiko yang terjadi pada PNS di lingkungan Kementerian
Keuangan.
1.4 Latar Belakang Masalah
Pegawai Negeri Sipil sebagai unsur terpenting dalam menjalankan pemerintahan yang baik dan bersih, sangat
diharapkan dapat memiliki sikap dan kinerja yang baik. Namun pada kenyataannya, masih banyak Pegawai
Negeri Sipil khususnya di lingkungan Kementerian Keuangan yang belum menunjukkan sikap yang sesuai
dengan tuntutan dari Kementerian Keuangan itu sendiri. Hal ini dapat kita lihat dari masih adanya PNS yang
tidak memberikan kinerja baik dalam bekerja, kurang optimal dalam memberikan pelayanan pada
masyarakat, dan bahkan kasus-kasus korupsi yang masih banyak beredar di media massa. Tentunya
kenyataan-kenyataan yang terjadi di lapangan seperti ini dapat memberikan efek negatif bagi citra
Kementerian Keuangan di mata masyarakat dan dapat menghambat Kementerian Keuangan dalam
menjalankan fungsinya secara optimal.
2.
LANDASAN TEORI
Sebelum membahas mengenai tugas dan fungsi Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian Keuangan,
kita perlu memahami definisi dari PNS itu sendiri. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43
Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian, Pegawai Negeri didefinisikan sebagai setiap warga Negara Republik Indonesia yang telah
memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu
jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pegawai Negeri terdiri dari Pegawai Negeri Sipil (PNS), Anggota Tentara Nasional Indonesia, dan Anggota
Kepolisian Republik Indonesia. Sementara PNS dibagi menjadi dua, yaitu PNS Pusat dan PNS Daerah.
Menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 PNS di Kementerian Keuangan dikelompokkan ke dalam
PNS Pusat yaitu PNS yang gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan
bekerja
pada
Kementerian,
Lembaga
Pemerintah
non-Kementerian,
Kesekretariatan
Lembaga
Tertinggi/Lembaga Tinggi Negara, Instansi Vertikal di Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota, Kepaniteraan
Pengadilan, atau dipekerjakan untuk menyelenggarakan tugas negara lainnya.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-184/PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Keuangan menyebutkan bahwa tugas Kementerian Keuangan adalah menyelenggarakan urusan
di bidang keuangan dan kekayaan negara dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam
menyelenggarakan pemerintahan Negara. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Kementerian Keuangan
menyelenggarakan fungsi sebagai berikut:
a. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang keuangan dan kekayaan negara;
b. pengelolaan Barang Milik/Kekayaan Negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Keuangan;
c. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Keuangan;
d. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Keuangan di daerah;
e. pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional; dan
f. pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah.
Walaupun Kementerian Keuangan sudah memiliki tugas dan fungsinya sendiri, unit-unit eselon I dibawah
Kementerian Keuangan juga memiliki tugas dan fungsinya masing-masing yang akan diuraikan pada bagian
selanjutnya.
2.1 Direktorat Jenderal Anggaran
Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) dapat dikatakan sebagai aktor utama di dalam penyusunan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). DJA merencanakan kebijakan APBN dan berperan aktif dalam
mewujudkan pengeluaran negara dan pengamanan keuangan negara yang efektif dan efisien, mewujudkan
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang optimal serta mewujudkan norma dan sistem penganggaran
yang kredibel, transparan dan akuntabel.
Berdasarkan Pasal 179 PMK Nomor 184/PMK.01/2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Keuangan, Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan
kebijakan dan standardisasi teknis di bidang penganggaran.
Di dalam pelaksanaan tugasnya tersebut, Direktorat Jenderal Anggaran mempunyai fungsi sebagai berikut:
1.
Perumusan kebijakan di bidang penganggaran;
2.
Pelaksanaan kebijakan di bidang penganggaran;
3.
Penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang penganggaran;
4.
Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang penganggaran;
5.
Pelaksanaan administrasi direktorat jenderal anggaran.
Saat ini Direktorat Jenderal Anggaran memiliki 8 unit Eselon II yang terdiri atas:
a. Sekretariat Direktorat Jenderal;
b. Direktorat Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
c. Direktorat Anggaran I;
d. Direktorat Anggaran II;
e. Direktorat Anggaran III;
f. Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak;
g. Direktorat Sistem Penganggaran; dan
h. Direktorat Harmonisasi Peraturan Penganggaran.
2.2 Direktorat Jenderal Pajak
Tugas DJP sesuai amanat Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/ PMK.01/2010 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Keuangan adalah merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis
di bidang perpajakan. Dalam mengemban tugas tersebut, DJP menyelenggarakan fungsi:
a.
perumusan kebijakan di bidang perpajakan;
b.
pelaksanaan kebijakan di bidang perpajakan;
c.
penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang perpajakan;
d.
pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perpajakan; dan
e.
pelaksanaan administrasi DJP.
Organisasi DJP terbagi atas unit kantor pusat dan unit kantor operasional. Kantor pusat terdiri atas Sekretariat
Direktorat Jenderal, direktorat, dan jabatan tenaga pengkaji. Unit kantor operasional terdiri atas Kantor
Wilayah DJP (Kanwil DJP), Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi
Perpajakan (KP2KP), dan Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan (PPDDP).
Organisasi DJP, dengan jumlah kantor operasional lebih dari 500 unit dan jumlah pegawai lebih dari 32.000
orang yang tersebar di seluruh penjuru nusantara, merupakan salah satu organisasi besar yang ada dalam
lingkungan Kementerian Keuangan. Segenap sumber daya yang ada tersebut diberdayakan untuk
melaksanakan pengamanan penerimaan pajak yang beban setiap tahunnya semakin berat.
Tugas Unit dan Jabatan di Kantor Pusat DJP
1.
Sekretariat Direktorat Jenderal
Melaksanakan koordinasi pelaksanaan tugas serta pembinaan dan pemberian dukungan administrasi
kepada semua unsur di DJP.
2.
Direktorat Peraturan Perpajakan I
Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang peraturan KUP, Penagihan
Pajak dengan Surat Paksa, PPN dan PPnBM, serta PTLL, dan PBB dan BPHTB.
3.
Direktorat Peraturan Perpajakan II
Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang peraturan PPh, perjanjian
dan kerjasama perpajakan internasional, bantuan hukum, pemberian bimbingan dan pelaksanaan bantuan
hukum, dan harmonisasi peraturan perpajakan.
4.
Direktorat Pemeriksaan & Penagihan
Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang pemeriksaan dan
penagihan pajak.
5.
Direktorat Intelijen & Penyidikan
Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang intelijen dan penyidikan
pajak.
6.
Direktorat Ekstensifikasi & Penilaian
Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang ekstensifikasi dan
penilaian perpajakan.
7.
Direktorat Keberatan & Banding
Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang keberatan dan banding.
8.
Direktorat Potensi, Kepatuhan & Penerimaan
Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang potensi, kepatuhan, dan
penerimaan.
9.
Direktorat Penyuluhan, Pelayanan & Hubungan Masyarakat
Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang penyuluhan, pelayanan
dan hubungan masyarakat.
10. Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan
Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang teknologi informasi
perpajakan.
11. Direktorat Kepatuhan Internal & Transformasi Sumber Daya Aparatur
Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang kepatuhan internal dan
transformasi sumber daya aparatur.
12. Direktorat Transformasi Teknologi Komunikasi & Informasi
Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang transformasi teknologi
komunikasi dan informasi.
13. Direktorat Transformasi Proses Bisnis
Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang transformasi proses bisnis.
14. Tenaga Pengkaji Bidang Ekstensifikasi & Intensifikasi Pajak
Mengkaji dan menelaah masalah di bidang ekstensifikasi dan intensifikasi pajak, serta memberikan
penalaran pemecahan konsepsional secara keahlian.
15. Tenaga Pengkaji Bidang Pengawasan & Penegakan Hukum Perpajakan
Mengkaji dan menelaah masalah di bidang pengawasan dan penegakan hukum perpajakan, serta
memberikan penalaran pemecahan konsepsional secara keahlian.
16. Tenaga Pengkaji Bidang Pembinaan & Penertiban Sumber Daya Manusia
Mengkaji dan menelaah masalah di bidang pembinaan dan penertiban sumber daya manusia, serta
memberikan penalaran pemecahan konsepsional secara keahlian.
17. Tenaga Pengkaji Bidang Pelayanan Perpajakan
Mengkaji dan menelaah masalah di bidang pelayanan perpajakan, serta memberikan penalaran
pemecahan konsepsional secara keahlian.
Tugas unit Kanwil DJP adalah melaksanakan koordinasi, bimbingan, pengendalian, analisis, dan evaluasi
atas pelaksanaan tugas KPP, serta penjabaran kebijakan dari kantor pusat.
Unit ini dapat dibedakan atas:
a.
Kanwil DJP Wajib Pajak Besar dan Kanwil DJP Jakarta Khusus yang berlokasi di Jakarta; dan
b.
Kanwil DJP selain Kanwil DJP Wajib Pajak Besar dan Kanwil DJP Jakarta Khusus yang lokasinya
tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Jumlah Kanwil DJP sebanyak 31 unit.
Unit KPP mempunyai tugas melaksanakan penyuluhan, pelayanan, dan pengawasan kepada wajib pajak.
Unit ini dapat dibedakan berdasarkan segmentasi wajib pajak yang diadministrasikannya, yaitu:
a.
KPP Wajib Pajak Besar, khusus mengadministrasikan wajib pajak besar nasional;
b.
KPP Madya, khusus mengadministrasikan wajib pajak besar regional dan wajib pajak besar khusus yang
meliputi badan dan orang asing, penanaman modal asing, serta perusahaan masuk bursa; dan
c.
KPP Pratama, menangani wajib pajak lokasi.
Jumlah KPP Wajib Pajak Besar sebanyak 4 unit, KPP Madya 28 unit, KPP Pratama 299 unit.
Untuk menjangkau masyarakat yang tinggal di daerah-daerah terpencil yang tidak terjangkau oleh KPP maka
pelaksanaan pelayanan, penyuluhan, dan konsultasi perpajakan dilaksanakan oleh unit KP2KP. Jumlah
KP2KP sebanyak 207 unit.
Satu-satunya unit pelaksana teknis (UPT) DJP saat ini adalah PPDDP. Unit yang berlokasi di Jakarta dan
Makassar ini mempunyai tugas melaksanakan penerimaan, pemindaian, perekaman, dan penyimpanan
dokumen perpajakan dengan memanfaatkan teknologi informasi perpajakan.
2.3 Tugas Pokok Dan Fungsi DJPB
Berdasarkan PMK Nomor 184/PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan,
Direktorat Jenderal Perbendaharaan mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan
standardisasi teknis di bidang perbendaharaan negara.
Visi dari Direktorat Jenderal Perbendaharaan adalah “menjadi pengelola perbendaharaan negara yang unggul
di tingkat dunia” . Adapun Misinya adalah :
a.
Mewujudkan pengelolaan kas dan investasi yang pruden, efisien, dan optimal
b.
Mendukung kinerja pelaksanaan anggaran yang tepat waktu, efektif, dan akuntabel
c.
Mewujudkan akuntansi dan pelaporan keuangan negara yang akuntabel, transparan, dan tepat waktu
d.
Mengembangkan kapasitas pendukung sisten perbendaharaan yang andal, professional, dan modern/
Dalam melaksanakan tugas dimaksud, Direktorat Jenderal Perbendaharaan menyelenggarakan fungsi:
a.
perumusan kebijakan di bidang perbendaharaan negara;
b.
pelaksanaan kebijakan di bidang perbendaharaan negara;
c.
penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang perbendaharaan negara;
d.
pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perbendaharaan negara; dan
e.
pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Berdasarkan PMK Nomor 169/PMK.01/2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat
Jenderal Perbendaharaan, Direktoral Jenderal Perbendaharaan mempunyai instansi vertikal, yaitu KPPN
(Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara).
KPPN mempunyai tugas melaksanakan kewenangan perbendaharaan dan bendahara umum negara,
penyaluran pembiayaan atas beban anggaran, serta penatausahaan penerimaan dan pengeluaran anggaran
melalui dan dari kas negara berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Dalam melaksanakan tugasnya, KPPN menyelenggarakan fungsi:
a.
pengujian terhadap surat perintah pembayaran berdasarkan peraturan perundang-undangan;
b.
penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) dari kas negara atas nama Menteri Keuangan selaku
Bendahara Umum Negara;
c.
penyaluran pembiayaan atas beban APBN;
d.
penilaian dan pengesahan terhadap penggunaan uang yang telah disalurkan;
e.
penatausahaan penerimaan dan pengeluaran negara melalui dan dari Kas Negara;
f.
pengiriman dan penerimaan kiriman uang;
g.
penyusunan laporan pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara;
h.
penyusunan laporan realisasi pembiayaan yang berasal dari pinjaman dan hibah luar negeri;
i.
penatausahaan penerimaan Negara bukan pajak;
j.
penyelenggaraan verifikasi transaksi keuangan dan akuntansi;
k.
pembuatan tanggapan dan penyelesaian temuan hasil pemeriksaan;
l.
pelaksanaan kehumasan; dan
m. pelaksanaan administrasi KPPN.
2.4 Tugas dan Fungsi Badan Kebijakan Fiskal
Badan Kebijakan Fiskal mempunyai tugas melaksanakan analisis di bidang kebijakan fiskal.
Dalam melaksanakan tugas dimaksud, Badan Kebijakan Fiskal menyelenggarakan fungsi:
a.
penyusunan kebijakan teknis, rencana dan program analisis di bidang kebijakan fiskal;
b.
pelaksanaan analisis dan pemberian rekomendasi di bidang kebijakan fiskal;
c.
pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan analisis di bidang kebijakan fiskal; dan
d.
pelaksanaan administrasi Badan Kebijakan Fiskal.
Susunan Organisasi Badan Kebijakan Fiskal terdiri atas 7 unit Eselon II yaitu:
a.
Sekretariat Badan;
b.
Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (PKPN);
c.
Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (PKAPBN);
d.
Pusat Kebijakan Ekonomi Makro (PKEM);
e.
Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal (PPRF);
f.
Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral (PKPPIM); dan
g.
Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral (PKRB).
1.
Sekretariat Badan
Sekretariat Badan mempunyai tugas melaksanakan koordinasi pelaksanaan tugas serta pembinaan dan
pemberian dukungan administrasi kepada semua unsur di lingkungan Badan.
2.
Pusat Kebijakan Pendapatan Negara
Pusat Kebijakan Pendapatan Negara mempunyai tugas merumuskan rekomendasi, analisis, dan evaluasi
kebijakan di bidang pendapatan negara.
3.
Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara mempunyai tugas melaksanakan perumusan
kebijakan APBN dalam rangka penyusunan Nota Keuangan dan RAPBN serta analisis, perumusan
rekomendasi, dan evaluasi kebijakan APBN.
4.
Pusat Kebijakan Ekonomi Makro
Pusat Kebijakan Ekonomi Makro mempunyai tugas melaksanakan pemantauan dini perkembangan
ekonomi makro, analisis kebijakan dan perumusan rekomendasi kebijakan ekonomi makro.
5.
Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal
Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal mempunyai tugas melaksanakan analisis, perumusan rekomendasi, dan
evaluasi pengelolaan risiko ekonomi, keuangan, sosial, BUMN, dan dukungan pemerintah.
6.
Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral
Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral mempunyai tugas melaksanakan
perumusan kebijakan, analisis, evaluasi, pengkajian, koordinasi, kerja sama, pemantauan pendanaan dan
pembiayaan perubahan iklim, dan kerja sama ekonomi dan keuangan G20 dan forum multilateral lainnya,
serta penyertaan modal Pemerintah Indonesia pada organisasi-organisasi internasional.
7.
Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral
Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral mempunyai tugas melaksanakan perumusan rekomendasi
kebijakan, analisis, evaluasi, koordinasi, pelaksanaan, dan pemantauan kerja sama Assosiation of South
East Asian Nations (ASEAN), Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC), forum-forum regional,
bilateral, dan kerja sama teknik luar negeri.
8.
Kelompok Jabatan Fungsional
Kelompok Jabatan Fungsional mempunyai tugas melakukan kegiatan sesuai dengan jabatan fungsional
masing-masing berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
a.
Kelompok jabatan fungsional terdiri dari sejumlah jabatan fungsional yang terbagi dalam berbagai
kelompok sesuai dengan bidang keahliannya.
b.
Setiap kelompok tersebut dikoordinasikan oleh pejabat fungsional senior yang ditunjuk oleh Kepala
Badan.
c.
Jumlah jabatan fungsional tersebut ditentukan berdasarkan kebutuhan dan beban kerja.
d.
Jenis dan jenjang jabatan fungsional diatur sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
2.5 Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan
Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan merupakan unit eselon I yang berada di bawah Kementerian
Keuangan. Saat ini BPPK memiliki delapan unit eselon II, yaitu Sekretariat Badan, Pusdiklat Pengembangan
Sumber Daya Manusia (PSDM), Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan (AP), Pusdiklat Pajak, Pusdiklat
Bea dan Cukai, Pusdiklat Keuangan Umum, Pusdiklat Kekayaan Negara dan Perimbangan Keuangan, dan
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara.
Tugas dan fungsi Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan dijelaskan dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 184/PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan Bab XV, dijelaskan
bahwa Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) mempunyai tugas melaksanakan pendidikan dan
pelatihan di bidang keuangan negara sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam menjalankan tugasnya, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan memiliki fungsi sebagai berikut:
1.
Penyusunan kebijakan teknis, rencana dan program pendidikan pelatihan di bidang keuangan negara.
2.
Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan di bidang keuangan negara.
3.
Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan di bidang keuangan negara;
dan
4.
3.
Pelaksanaan administrasi Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan.
RISIKO
3.1 Risiko Tugas dan Fungsi DJA
Risiko yang mungkin dapat terjadi berkenaan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi Direktorat Jenderal
Anggaran:
1.
Keterlambatan Penerbitan Peraturan Penganggaran
Direktorat Jenderal Anggaran memiliki peranan yang sangat penting di dalam penyusunan APBN,
RKAKL dan DIPA. DJA menerbitkan peraturan-peraturan terkait. Implementasi program kerja yang
tidak tepat waktu dapat berakibat pada keterlambatan suatu peraturan, misalnya DJA pernah terlambat
dalam menerbitkan PMK tentang Standar Biaya sehingga Kementerian/Lembaga terhambat dalam
penyusunan DIPA dan RKAKL.
2.
Kesalahan Prosedur yang Berakibat Pada Kerugian Negara
Direktur Jenderal (Dirjen) Anggaran pernah menyampaikan di dalam acara Rapat Kerja bahwa “Kita
boleh dipanggil apa saja dan oleh siapa saja, asal jangan dipanggil KPK.” Korupsi uang secara relatif
jarang terjadi di DJA, namun kesalahan prosedur dan penafsiran ganda atas suatu peraturan dapat
mengakibatkan kerugian negara. Selaku penerbit peraturan terkait penganggaran, DJA senantiasa
bertindak sebagai oleh berbagai instansi dalam melakukan kegiatannya. DJA harus benar-benar mampu
memberikan penjelasan yang tidak ditafsirkan berbeda dan jelas sesuai aturan. Kesalahpahaman dalam
hal prosedur dan peraturan pernah terjadi di kasus Hambalang di Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Meskipun orang di DJA tidak melakukan korupsi uang tetapi ikut dipanggil KPK untuk memberikan
keterangan terkait dengan izin kontrak tahun jamak (Multiyears Contract) dimana DJA adalah instansi
yang menerbitkan peraturan mengenai hal tersebut.
3.
Penyalahgunaan Wewenang
Sebagaimana telah disebutkan di bagian tugas dan fungsi, DJA memiliki peranan aktif di dalam
penyusunan APBN hingga penyusunan RKAKL dan DIPA. Kementerian/Lembaga didalam penyusuna
Rencana Kerja dan Anggaran (DJA) berkoordinasi dan melakukan penelaahan bersama DJA. Terdapat
Kementerian/Lembaga yang bersedia memberikan imbalan agar penelaahan yang dilakukan tidak terlalu
detil sehingga sejumlah anggaran yang diajukan tidak dicoret.
3.2 Risiko Tugas dan Fungsi DJP
Dalam mencapai tujuan, setiap organisasi pasti berhadapan dengan risiko. Risiko dalam berbagai wujud dan
sumber menciptakan tantangan dan sekaligus ketidakpastian. Berikut risiko yang dihadapi pegawai DJP
terkait dengan pelaksanaan tugas dan fungsinya:
1. Jauh dari Homebase
Dengan jumlah kantor operasional lebih dari 500 unit dan jumlah pegawai lebih dari 32.000 orang yang
tersebar di seluruh penjuru nusantara besar kemungkinan pegawai DJP bertugas di tempat yang jauh dari
homebase atau kampung halamannya. Jauh dari homebase juga memberikan risiko tambahan yaitu risiko
perjalanan, dimana untuk mencapai kantor yang berada di pedalaman, medan perjalanan yang dilalui
tidaklah mudah dan melalui berbagai macam moda kendaraan, mulai dari perjalanan darat, laut dan udara.
Selain itu ada juga risiko finansial, untuk pegawai DJP yang berada di tempat terpencil harus bisa
mengatur keuangan sebaik mungkin. Karena selain ongkos perjalanan pulang, biaya hidup di tempat
terpencil juga tinggi.
2. Pandangan miring masyarakat
Sebelum adanya reformasi perpajakan, pegawai pajak banyak yang melakukan berbagai pelanggaran.
Sehingga sudah menjadi momok bagi masyarakat bahwa pegawai pajak pasti korupsi. Apalagi setelah
mencuatnya kasus Gayus, fiskus secara generalisasi dicap oleh masyarakat sebagai PNS yang pasti
melakukan korupsi. Pandangan miring oleh masyarakat yang lainnya adalah karena dianggap pasti
korupsi, fiskus dianggap pasti memiliki kekayaan yang banyak. Hal ini menjadi tekanan bagi fiskus karena
dianggap orang yang kaya baik oleh keluarga, tetangga, atau pun masyarakat.
3. Kriminalisasi petugas pajak
Kriminalisasi yang dimaksud adalah ketika seorang petugas pajak melakukan pekerjaan yang dinilai lalai
atau tidak melakukan satu prosedur pengujian tertentu dari berbagai pilihan teknik pengujian. Dari sinilah
petugas pajak itu berpotensi dikriminalkan (proses mempidanakan seseorang). Risiko ini banyak terjadi
di bidang keberatan banding. Misal, jika keberatan wajib pajak dikabulkan, masyarakat akan menganggap
ada unsur merugikan keuangan negara. Jika dalam suatu pemeriksaan terhadap wajib pajak dinyatakan
ada transaksi objek pajak pertambahan nilai (PPN), maka wajib pajak tersebut tentulah harus membayar
PPN. Namun wajib pajak keberatan. Saat diteliti, ternyata menurut tim yang meneliti keberatan (Penelaah
keberatan, Kasi, Kabid) transaksi tersebut bukan objek PPN artinya mengabulkan keberatan wajib pajak
dan wajib tidak perlu bayar PPN atas transaksi tersebut. Dalam situasi seperti inilah yang membuat
penelaah keberataan rentan dikriminalisasi meski ia tidak menerima sepeser uang pun dari wajib pajak.
Tapi ia bisa dicurigai dan dituduh melakukan tindak pidana korupsi atau menahan masuknya penerimaan
negara.
3.3 Resiko Tugas dan Fungsi DJPB:
1. Resiko bahaya /resiko jabatan
Resiko atas bahaya yang mungkin timbul dan menimpa pegawai sewaktu melakukan tugas jabatannya.
Ilustrasi : Pegawai KPPN cenderung sangat mengenal dan akrab dengan para petugas satuan kerja yang
menjadi stakeholdernya. Hubungan baik yang terjalin antara pegawai dan stakeholder tentu saja berdampak
positif terkait koordinasi dan penyelesaian pekerjaan.. Namun good relationship ini akan berdampak negatif
ketika kepentngan pekerjaan dan kepentngan pribadi saling tumpah tindih. Contoh kasus makan bersama
petugas satuan kerja, atau mendapat hadiah sebagai ucapan terima kasih telah membantu pencairan dana, dll.
PNS Kementerian keuangan harus sebisa mungkin menjaga integritas dan tetap bersikap profesional agar
tidak terjebak gratifkasi dari satuan kerja.
2. Resiko Operasional
Resiko suat jabatan yang mengakibatkan tidak dapat beroperasionalnya jabatan yang lain.
PNS DJPB juga sangat beresiko terlibat kasus korupsi atas keadaan di luar kuasanya. Kesalahan kesalahan
manusia yang tidak disengaja mampu membatnya terlibat kasus korupsi. Misalnya petugas tidak jeli dalam
melakukan pengujian SPM (contoh tanda tangan di SPM berbeda dengan spesimen yang ada di database
KPPN) kemudian ternyata diketahui SPM tersebut fiktif dan dipidanakan. Hal sepele dan yang dianggap tdak
material ini mampu merugikan dan meyeret pegawai tersebut ke ranah hukum.
3. Resiko fiskal
Resiko suatu jabatan yang secara langsung maupun tidak langsung mengakibatkan kerugian keuangan negara.
Dalam internal lingkup Direktorat Jenderal Perbendaharaan sebagai CFO (Chief Financial Offcer), Dirjen
Perbendaharaan juga berfungsi sebagai COO (Chief Operating Officer) yang mengelola dana APBN nya
sendiri. Pejabat pengadaan, pejabat pembuat komitmen, dan pengelola keuangan lainnya sangat rentan
melakukan tindak korpsi atas dana yang dikelolanya. Contoh ; mark up pengadaan, kuitansi kosong,
pembagian komisi antara rekanan dengan pejabat pengelola keuangan
3.4 Resiko Tugas dan Fungsi BKF:
Rumusan kebijakan fiskal yang kurang antisipatif, responsif, dan dipercaya. Dalam rangka penyusunan
APBN setiap tahunnya, pemerintah dituntut untuk dapat menyajikan data-data perekonomian yang akurat
dan realistis. Meskipun asumsi-asumsi ekonomi makro perekonomian didapat melalui datat-data yang
pasti dan sesuai perhitungan, namun pemerintah juga dituntut oleh DPR untuk memberikan proyeksiproyeksi yang optimistis terhadap perekonomian mendatang. Akibat kedua tuntutan tersebut, pemerintah
seringkali dianggap tidak menyajikan data yang lebih optimistis oleh DPR sehingga data-data yang
disampaikan kurang dipercaya.
SDM tidak memiliki kepemimpinan yang memadai. BKF dituntut untuk dapat bekerja secara optimal,
pelayanan yang baik kepada pimpinan dan pengambil keputusan, serta dapat bersinergi baik dengan tim
didalam unit BKF sendiri atau unit lainnya di lingkungan Kementerian Keuangan, sehingga perlu jiwa
kepemimpinan yang memadai untuk menjalankan organisasi.
SDM tidak menyadari tugas, fungsi dan perannya didalam organisasi secara optimal. Seharusnya setiap
pegawai mempunyai kesadaran yang tinggi akan tugas fungsi dan perannya didalam institusi, sehingga
dapat memberikan hasil kerja yang maksimal dan handal.
Adanya persaingan tidak sehat dalam karir. Untuk mencapai visi menjadi unit terpercaya dalam
perumusan kebijakan fiskal yang antisipatif dan responsive, maka misi di bidang SDM Badan Kebijakan
Fiskal adalah mewujudkan SDM yang professional melalui peningkatan kompetensi dan disiplin
pegawai, dengan sasaran strategis, SDM yang berkompetensi dan berintergarsi tinggi.
Untuk melaksanakan beban tugas tersebut, Badan Kebijakan Fiskal didukung oleh 471 pegawai, dimana
69% atau 325 orang diantaranya berlatar belakang pendidikan tinggi, yaitu S1/D4 sebanyak 168 orang,
S2 sebanyak 151 orang dan S3 sebanyak 16 orang (data bulan Oktober 2013).
Resiko integritas, terkait banyaknya informasi penting di tingkat pembuat kebijakan. Informasi penting
ada yang sifatnya rahasia, hal ini perlu dijaga oleh para pegawai yang terlibat langsung dengan pembuat
keputusan agar tidak bocor kepada pihak yang tidak bertanggungjawab.
3.5 Risiko Tugas dan Fungsi BPPK
Risiko yang dapat terjadi pada Pegawai Negeri Sipil BPPK dalam menjalankan tugas dan fungsinya antara
lain:
1.
Konflik kepentingan antara pihak pengajar dan mahasiswa/PNS yang mengikuti pembelajaran
Risiko yang dapat timbul adalah dimungkinkan adanya pengajar yang kurang bertanggung jawab dalam
menjalankan tugasnya karena mengutamakan kepentingan pribadi. Misalnya pengajar sering
mengatakan izin untuk tidak menghadiri kegiatan pembelajaran dengan alasan mendapat tugas lain dari
atasan, namun pada kenyataannya pengajar tersebut tidak mendapatkan tugas melainkan hanya ingin
menghabiskan waktu dirumah.
2.
Pemberian imbalan atau gratifikasi dari pihak yang mengikuti pembelajaran
Pihak yang diberikan pengajaran, tentunya merasa berterima kasih atas bimbingan dan ilmu yang telah
didapatkan selama proses belajar mengajar. Hal ini bagi sebagian orang, dapat menjurus ke arah
pemberian uang/barang tertentu dengan maksud berterima kasih atas jasa-jasa yang telah dilakukan.
Kultur kebudayaan negara kita yang menganggap memberikan sesuatu kepada orang lain atas jasa yang
telah dilakukannya merupakan sesuatu yang lumrah, sangat memungkinkan pemberian gratifikasi ini
terjadi.
3.
Penggunaan aset atau inventori yang dimiliki BPPK untuk kepentingan pribadi
Penggunaan aset dan inventori yang dimiliki oleh BPPK untuk kepentingan pribadi pengajar atau staf
BPPK sangat dimungkinkan terjadi. Jenis korupsi ini merupakan jenis korupsi paling wajar dan paling
sering kita temukan di lingkungan kerja. Pola pikir PNS yang menganggap inventori kecil seperti spidol,
pena, pensil, kertas, dan sebagainya tidak terlalu mahal dan dianggap wajar. Hal ini tentu merupakan
pola pikir yang perlu dijauhi, karena sedikit atau banyak, besar atau kecil, sebuah perilaku korupsi tetap
merupakan korupsi. Selain itu, praktik korupsi kecil seperti ini dikhawatirkan apabila menjadi sebuah
kebiasaan dapat mendorong PNS tersebut untuk melakukan tindak korupsi yang lebih besar jumlahnya.
4.
Adanya kemungkinan KKN yang terjadi pada saat penerimaan mahasiswa tugas belajar
Sulitnya mengikuti tes atau ujian saringan yang diterapkan atas penerimaan mahasiswa tugas belajar
mendorong keinginan bagi sebagian orang untuk bertindak tidak sesuai dengan jalur administrasi yang
berlaku. Sebagian orang mungkin beranggapan bahwa masih ada orang yang berwenang pada BPPK
yang mau diajak bernegosiasi mengenai penerimaan mahasiswa tugas belajar dengan syarat memberikan
uang dengan jumlah tertentu. Hal ini masih dimungkinkan mengingat bahwa sudah menjadi rahasia
umum jika instansi-instansi lain diluar kementerian keuangan masih ada yang menerapkan hal serupa
untuk melewati prosedur standar yang telah ditetapkan.
4.
HAMBATAN
4.1 Hambatan Tugas dan Fungsi DJA
Hambatan yang mungkin terjadi di dalam pelaksanaan tugas dan fungsi DJA:
1.
Motivasi Pegawai Rendah
Tidak adanya tantangan kerja atau kebosanan karena telah berada di suatu posisi yang sama untuk waktu
yang lama dapat menyebabkan rendahnya motivasi pegawai dalam bekerja. Tidak adanya penghargaan
kepada pegawai yang rajin dan berprestasi pun dapat menyebabkan paradigma untuk bekerja biasa-biasa
saja.
2.
Pejabat yang Tidak Berprestasi
Seseorang yang telah dilantik menjadi pejabat, meskipun ia tidak berprestasi dan apabila ia tidak
melakukan pelanggaran berat, maka setidaknya ia akan tetap berada di posisinya hingga pensiun. Ini
merupakan beban birokrasi, kemajuan suatu instansi menjadi terhambat karena adanya pegawai atau
pejabat yang tidak berprestasi baik. Belum adanya peraturan kepegawaian mengenai akibat performa
buruk menyebabkan pegawai dan pejabat merasa aman dengan posisinya masing-masing.
4.2 Hambatan Tugas dan Fungsi DJP
Dalam mencapai tujuan, setiap organisasi pasti berhadapan dengan hambatan. Berikut hambatan yang
dihadapi DJP terkait dengan pelaksanaan tugas dan fungsinya:
1. Terbatasnya Anggaran dan Jumlah Pegawai
Direktorat Jenderal Pajak dibebani target penerimaan pajak yang setiap tahunnya mengalami kenaikan,
kenaikan target ini tidak diimbangi dengan kenaikan anggaran dan jumlah pegawai dalam rangka
mengumpulkan uang pajak tersebut. Pada periode 2006-2012, realisasi penerimaan pajak naik dua kali
lipat. Begitu juga dengan penambahan wajib pajak, dari 15 juta pada tahun 2009 menjadi 24,8 juta pada
2012. Sedangkan pegawai DJP pada 2006 berjumlah 30.196 dan menjadi 31.408 pada 2012. Atau turun
jika dibandingkan pada 2011 sebanyak 31.733 pegawai. Anggaran yang disediakan bagi DJP periode
2009-2012 menurun. Pada 2009, anggaran DJP Rp 5,3 triliun turun menjadi Rp 4,9 triliun. Apabila
dibandingkan dengan target penerimaan pajak, maka cost collection ratio Indonesia rendah yaitu 0,49
persen atau secara sederhana dapat dikatakan setiap 100 rupiah uang pajak yang dihimpun, hanya
membutuhkan biaya 0,49 rupiah. Dibandingkan dengan Jepang yang tax cost collection ratio-nya 1,4
persen atau setiap 100 yen pajak yang dikumpulkan dibutuhkan biaya 1,4 yen.
2. Sulitnya mendapatkan data pembanding
Pajak di Indonesia menggunakan sistem self-assessment dimana Wajib Pajak sendiri yang menghitung,
membayar dan melaporkan pajaknya. DJP sebagai lembaga pengumpul pajak harus dapat
mengoptimalkan penerimaan pajak negara dengan melakukan pengawasan terhadap pemenuhan
kewajiban pajak. Untuk melakukan pengawasan diperlukan data pembanding untuk membuktikan apakah
pemenuhan kewajiban pajak yang dilakukan Wajib Pajak telah sesuai dengan kondisi sesungguhnya. Pada
prakteknya di lapangan sangat sulit mendapatkan data pembanding terutama untuk Wajib Pajak Orang
Pribadi.
3. Kurangnya atau tidak adanya kesadaran masyarakat
Dalam pemungutan pajak dituntut kesadaran warga negara untuk memenuhi kewajiban kenegaraan.
Kurangnya atau tidak adanya kesadaran masyarakat sebagai wajib pajak untuk membayar pajak ke negara
mengakibatkan timbulnya perlawanan terhadap pajak yang merupakan kendala dalam pemungutan pajak
sehingga mengakibatkan berkurangnya penerimaan kas negara.
4.3 Hambatan Tugas dan Fungsi DJPB
1.
Payung hukum terhadap tugas pokok dan fungsi front office serta jajaran pegawai KPPN yang terlibat
pencairan dana belum memadai. Dengan adanya pemisahan kewenangan antara pengujian SPM di level
Kuasa Penggna Anggaran maka seharusnya segala bentuk produk hukum tentang pengeluaran anggaran
mampu melindungi PNS yang telah bekerja sesuai dengan tupoksi.
Saran memperkuat payung hukum dan dukungan hukum bagi para front office agar merasa aman dalam
menjalankan tugasnya.
2.
Kewenangan pengujian SPM di KPPN adalah terbatas pada kelengkapan dokumen hitam diatas putih
yang memenuhi syarat pengujian substantif dan pengujian formal . KPPN tidak berwenang untuk
menguji obyek atau bukti fisik barang yang tagihannya diajukan. Oleh karena itu terdapat stigma bahwa
KPPN “tutup mata” atas kasus kerugian negara yang diakibatkan oleh pencairan dana yang diuji di
KPPN. Contoh kasus : sebuah kontrak atas pembangunan gedung diajukan tagihannya telah selesai
100%, secara kebetulan gedung tersebut berlokasi berdekatan dengan lokasi KPPN dan jelas belum
selesai 100% secara kasat mata. Namun karena tagihan dan dokumen telah lengkap menyatakan bahwa
gedung selesai 100% sebagai bendahara/kasir keuangan negara, maka KPPN akan menilai dokumen
tersebut dianggap sah dan pencairan dana dapat dilakukan.
Saran meningkatkan fungsi lembaga lembaga negara yang berwenang dalam pemeriksaan serta
mengintensifkan pengendalian internal di masing masng pengguna/kuasa pengguna anggaran atas
belanja yang dilakukannya.
3.
Bendahara pengeluaran/penerimaan merupakan pejabat perbendaharaan yang secara fungsional
bertanggung jawab kepada Bendahara/Kuasa BUN. Pada kenyatannya bendahara pengelaran diangkat
oleh menteri/pimpinan lembaga/satuan kerja. Pimpinan satuan kerja/KPA memiliki kewenangan penuh
untuk menunjuk siapa siapa yang menjadi pengelola keuangan APBN. Tidak sedikit KPA yang
menunjuk orang orang terdekatnya atau pegawai yang “manut/nurut” sebagai pengelola keuangan. Satu
contoh adalah jika pengelola keuangan merupakan satu “tim” yang berniat merugikan keuangan negara
maka hal ini menjadi semacam legalisasi atas kecurangan yang akan mereka lakukan. Atau kasus lain
jika bendahara pengeluaran tidak mempu menjaga integritasnya karena merasa sebagai bawahan atau
anak buah dari kuasa pengguna anggaran / atasan maka praktek praktek korupsi yang merugikan
keuangan negara pun dapat diskenariokan dengan baik.
Saran sebuah wacana muncul terkait fungsi bendahara pengeluaran, yaitu bahwa bendahara pengeluaran
dianggap sebagai pegawai fungsional kementerian keuangan yang sifatnya ditugaskan di
kementerian/lembaga untuk mengelola dana APBN. Bendahara pengeluaran yang bukan berasal dr
internal instasi dapat meminimalisasi pratek korupsi dalam rangka pencairan dana APBN. Asumsinya
bendahara pengeluaran dan pejabat pengelola keuangan satuan kerja tidak saling mengenal sehingga
bendahara pengeluaran mampu lebih independen menjalankan tugasnya.
4.4 Hambatan Tugas dan Fungsi BKF
Organisasi tidak memungkinkan memenuhi kriteria kondisi ideal bagi internal. Sebagian besar tugas dan
fungsi di BKF adalah terkait pembuatan kebijakan fiskal. Organisasi menjadi gemuk oleh orang-orang
berkompetensi tinggi di bidang akademis di bidang ekonomi, keuangan, dan moneter sedangkan yang
dibutuhkan organisasi adalah tim yang didukung oleh sub tim yang kuat dari berbagai level dan berbagai
keilmuan.
Organisasi tidak memiliki orientasi eksternal. Badan Kebijakan Fiskal mempunyai tugas membina,
mengkoordinasikan dan menyelenggarakan kegiatan analisis dan pengkajian di bidang ekonomi,
keuangan dan moneter yang outputnya disampaikan kepada pimpinan Kementerian sebagai bahan
masukan dalam menetapkan kebijakan/pengambilan keputusan. Hampir tidak ada sentuhan langsung
dengan masyarakat.
Kegiatan / program yang tentatif. Banyak sekali kegiatan di tingkat pimpinan yang bersifat dinamis, hal
ini terkait dengan perkembangan ekonomi di setiap waktu. BKF dituntut untuk selalu responsive
menyikapi keadaan, dengan demikian banyak kegiatan-kegiatan yang harus telah direncanakan di awal
tahun atau tahun sebelumnya, meskipun kegiatan tersebut bersifat tentatif.
Perencanaan anggaran yang sulit.
Pelaksanaan anggaran sulit untuk dilaksanakan
4.5 Hambatan Tugas dan Fungsi BPPK
Hambatan yang dapat terjadi bagi Pegawai Negeri Sipil di lingkungan BPPK adalah sebagai berikut:
1.
Adanya bujukan dari pihak luar kepada PNS yang berada di lingkungan BPPK
Hal ini dapat terjadi karena masih banyak masyarakat yang menganggap budaya suap untuk
memperlancar suatu urusan itu merupakan suatu hal yang lazim ditemukan diberbagai instansi, tidak
terkecuali pada BPPK. Bujukan-bujukan dari pihak luar ini dapat mengganggu integritas PNS yang
bersangkutan sehingga mendorong terjadinya praktik KKN di lingkungan BPPK. Faktor ini semakin
diperkuat jika PNS yang bersangkutan memiliki jabatan dan wewenang yang cukup dalam memenuhi
tuntutan yang diinginkan oleh pihak eksternal tersebut.
2.
Gaya hidup dan tuntutan dari pihak keluarga PNS yang berada di lingkungan BPPK
Gaya hidup dan tuntutan keluarga merupakan salah satu faktor yang menghambat kinerja PNS dalam
menjalankan tugas dan fungsinya. Gaya hidup yang mewah atau boros membutuhkan biaya yang tinggi
sehingga jika tidak diikuti dengan penghasilan yang mencukupi, berpotensi untuk mendorong seorang
PNS melakukan tindakan korupsi untuk memenuhi kebutuhan gaya hidup dirinya dan keluarga.
3.
Masih adanya PNS yang memiliki moral yang rendah
Praktik KKN yang terjadi pada dasarnya berawal dari dalam diri sendiri. Moral yang rendah dan tidak
memahami dan peduli akan bahaya praktik korupsi di lingkungan kerja akan berdampak pada munculnya
anggapan pada diri PNS itu sendiri bahwa korupsi merupakan hal yang wajar untuk dilakukan.
Banyaknya pembenaran atas tindakan korupsi itu sendiri menjadi bukti nyata bahwa masih kurang
tingginya moral PNS. Pembenaran tersebut antara lain berupa gaji yang rendah, biaya hidup yang tinggi,
tuntutan biaya tiket pesawat untuk pulang, dan pembenaran-pembenaran lain yang menjadi alasan semu
bagi seorang PNS untuk melakukan tindakan korupsi.
4.
Masih adanya PNS di lingkungan BPPK yang belum mengetahui deskripsi pekerjaannya
Budaya kerja PNS yang masih sering kita rasakan adalah masih banyaknya pegawai yang belum
mengetahui deskripsi pekerjaannya sehingga sering kali pegawai tersebut hanya bertanya kepada
pegawai lain atau kepada atasan mengenai apa-apa saja yang perlu dikerjakan. Hal ini tentunya dapat
menghambat kinerja pegawai dan kinerja instansi secara keseluruhan karena hal ini memungkinkan
adanya pekerjaan yang seharusnya diselesaikan oleh PNS pada posisi tersebut menjadi terbengkalai atau
tertunda pengerjaannya. Lebih ironisnya lagi, jika PNS tersebut hanya menyelesaikan pekerjaan yang ia
ketahui saja, dimungkinkan PNS tersebut menjadi bermalas-malasan dan tidak produktif saat sisa jam
kerja yang ada karena merasa tugas dan pekerjaannya sudah terselesaikan seluruhnya.
DAFTAR REFERENSI:
http://www.pajak.go.id/content/selayang-pandang
http://satudpajak2011.blogspot.com/2012/06/kendala-pemungutan-pajak-di-indonesia.html
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt51bfdd1d5769d/alasan-djp-ingin-menambah-pegawai
DI KEMENTERIAN KEUANGAN, RISIKO, DAN HAMBATAN DALAM
PELAKSANAANNYA
Kelompok IV
Alfiah Kusumaningrum, Fitri Mayang Sari, Langgeng Wahyu Pamungkas, Prajastiono Nur
Trivansyah, Satrya Vandicka
Abstrak – Pegawai Negeri Sipil (PNS) merupakan unsur terpenting dalam berjalannya proses pemerintahan di
segala bidang. Salah satu hal yang mengindikasikan pentingnya hal tersebut adalah kualitas PNS dapat menjadi
salah satu tolak ukur nyata bagi citra suatu instansi pemerintah secara keseluruhan di mata masyarakat. Hal ini
sangat disadari oleh berbagai kementerian dan lembaga di Indonesia, terutama Kementerian Keuangan.
Mengingat pentingnya peranan PNS tersebut, Kementerian Keuangan memiliki tugas pokok dan fungsi yang tidak
hanya ada bagi Kementerian Keuangan itu sendiri, tetapi juga untuk setiap unit eselon I yang berada dalam
naungan Kementerian Keuangan. Namun dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi tersebut, pada
kenyataannya tidak semua PNS mampu menerapkannya dengan benar dan tanpa gangguan. Banyak hambatan
dan risiko yang harus dihadapi oleh setiap PNS di lingkungan Kementerian Keuangan. Mengingat hal tersebut,
penulis kali ini akan memberikan uraian mengenai tugas pokok dan fungsi PNS di Kementerian Keuangan berikut
risiko dan hambatan yang terjadi dalam penerapan tugas pokok dan fungsi tersebut.
Kata Kunci: Tugas dan Fungsi, Risiko, Hambatan, Anti Korupsi
1.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kementerian Keuangan merupakan kementerian yang memegang peranan penting dalam terlaksananya
semua program pemerintahan. Peran Kementerian Keuangan tidak terlepas dari hampir seluruh aspek yang
berhubungan dengan perekonomian dan keuangan negara. Aspek-aspek tersebut antara lain terkait dengan
kebijakan perencanaan, penyusunan, dan pengelolaan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara),
mengelola pendapatan terbesar negara yang berasal dari perpajakan dan bea cukai, pengelolaan kekayaan
negara, dan aspek-aspek lain yang penting kaitannya dengan terselenggaranya pemerintahan.
Sebagai kementerian terbesar dengan peranan yang kompleks dan begitu penting bagi terselenggaranya
pemerintahan, tentunya diperlukan penataan organisasi yang baik. Hal ini akhirnya diwujudkan dengan
dilakukannya Reformasi Birokrasi pada tahun 2007. Reformasi Birokrasi ini merupakan langkah besar yang
diambil oleh Kementerian Keuangan dalam menata organisasi, menyempurnakan proses bisnis, dan
mengembangkan sumber daya manusia. Reformasi Birokrasi ini bertujuan untuk mewujudkan tata kelola
keuangan yang profesional, amanah, dan tepat arah, serta mewujudkan kepercayaan publik melalui
peningkatan pelayanan publik.
Dalam tulisan ini, penulis akan memaparkan mengenai tugas pokok dan fungsi dari beberapa unit eselon I
pada Kementerian Keuangan. Selain itu, penulis juga akan menjelaskan beberapa hambatan dan risiko yang
terjadi bagi PNS dalam melaksanakan tugas dan fungsi tersebut
1.2 Maksud dan Tujuan
Maksud dari dibuatnya tulisan ini adalah penulis dapat memberikan paparan mengenai tugas dan fungsi
Pegawai Negeri Sipil dari beberapa unit eselon I yang berada di lingkup Kementerian Keuangan berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-184/PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Keuangan. Dalam tulisan ini, penulis juga akan menjelaskan hambatan dan risiko yang terjadi
bagi Pegawai Negeri Sipil dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Penulis mengharapkan tulisan ini dapat
memberikan informasi mengenai tugas dan fungsi PNS di lingkungan Kementerian Keuangan. Selain itu,
tulisan ini juga diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai hambatan dan risiko yang terjadi dalam
rangka menjalankan tugas dan fungsi.
1.3 Perumusan Masalah
Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian Keuangan banyak menemui berbagai hambatan dan risiko
dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Hambatan yang paling sering terjadi adalah masalah luasnya
wilayah kerja dari Kementerian Keuangan. Hal ini tentu menyebabkan banyaknya Pegawai Negeri Sipil yang
ditempatkan di wilayah terpencil dan jauh dari tempat tinggal. Tingginya biaya hidup yang disebabkan
penempatan kerja yang kurang sesuai ini juga dapat menjadi risiko tersendiri bagi PNS, karena dapat menjadi
salah satu faktor kuat untuk mendorong PNS melakukan tindakan yang tergolong ke dalam KKN (Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain dari masalah geografis, masih banyak
hambatan dan risiko bagi PNS dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Dalam tulisan ini, penulis akan
mencoba untuk menguraikan hambatan dan risiko yang terjadi pada PNS di lingkungan Kementerian
Keuangan.
1.4 Latar Belakang Masalah
Pegawai Negeri Sipil sebagai unsur terpenting dalam menjalankan pemerintahan yang baik dan bersih, sangat
diharapkan dapat memiliki sikap dan kinerja yang baik. Namun pada kenyataannya, masih banyak Pegawai
Negeri Sipil khususnya di lingkungan Kementerian Keuangan yang belum menunjukkan sikap yang sesuai
dengan tuntutan dari Kementerian Keuangan itu sendiri. Hal ini dapat kita lihat dari masih adanya PNS yang
tidak memberikan kinerja baik dalam bekerja, kurang optimal dalam memberikan pelayanan pada
masyarakat, dan bahkan kasus-kasus korupsi yang masih banyak beredar di media massa. Tentunya
kenyataan-kenyataan yang terjadi di lapangan seperti ini dapat memberikan efek negatif bagi citra
Kementerian Keuangan di mata masyarakat dan dapat menghambat Kementerian Keuangan dalam
menjalankan fungsinya secara optimal.
2.
LANDASAN TEORI
Sebelum membahas mengenai tugas dan fungsi Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian Keuangan,
kita perlu memahami definisi dari PNS itu sendiri. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43
Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian, Pegawai Negeri didefinisikan sebagai setiap warga Negara Republik Indonesia yang telah
memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu
jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pegawai Negeri terdiri dari Pegawai Negeri Sipil (PNS), Anggota Tentara Nasional Indonesia, dan Anggota
Kepolisian Republik Indonesia. Sementara PNS dibagi menjadi dua, yaitu PNS Pusat dan PNS Daerah.
Menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 PNS di Kementerian Keuangan dikelompokkan ke dalam
PNS Pusat yaitu PNS yang gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan
bekerja
pada
Kementerian,
Lembaga
Pemerintah
non-Kementerian,
Kesekretariatan
Lembaga
Tertinggi/Lembaga Tinggi Negara, Instansi Vertikal di Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota, Kepaniteraan
Pengadilan, atau dipekerjakan untuk menyelenggarakan tugas negara lainnya.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-184/PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Keuangan menyebutkan bahwa tugas Kementerian Keuangan adalah menyelenggarakan urusan
di bidang keuangan dan kekayaan negara dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam
menyelenggarakan pemerintahan Negara. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Kementerian Keuangan
menyelenggarakan fungsi sebagai berikut:
a. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang keuangan dan kekayaan negara;
b. pengelolaan Barang Milik/Kekayaan Negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Keuangan;
c. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Keuangan;
d. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Keuangan di daerah;
e. pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional; dan
f. pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah.
Walaupun Kementerian Keuangan sudah memiliki tugas dan fungsinya sendiri, unit-unit eselon I dibawah
Kementerian Keuangan juga memiliki tugas dan fungsinya masing-masing yang akan diuraikan pada bagian
selanjutnya.
2.1 Direktorat Jenderal Anggaran
Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) dapat dikatakan sebagai aktor utama di dalam penyusunan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). DJA merencanakan kebijakan APBN dan berperan aktif dalam
mewujudkan pengeluaran negara dan pengamanan keuangan negara yang efektif dan efisien, mewujudkan
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang optimal serta mewujudkan norma dan sistem penganggaran
yang kredibel, transparan dan akuntabel.
Berdasarkan Pasal 179 PMK Nomor 184/PMK.01/2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Keuangan, Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan
kebijakan dan standardisasi teknis di bidang penganggaran.
Di dalam pelaksanaan tugasnya tersebut, Direktorat Jenderal Anggaran mempunyai fungsi sebagai berikut:
1.
Perumusan kebijakan di bidang penganggaran;
2.
Pelaksanaan kebijakan di bidang penganggaran;
3.
Penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang penganggaran;
4.
Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang penganggaran;
5.
Pelaksanaan administrasi direktorat jenderal anggaran.
Saat ini Direktorat Jenderal Anggaran memiliki 8 unit Eselon II yang terdiri atas:
a. Sekretariat Direktorat Jenderal;
b. Direktorat Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
c. Direktorat Anggaran I;
d. Direktorat Anggaran II;
e. Direktorat Anggaran III;
f. Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak;
g. Direktorat Sistem Penganggaran; dan
h. Direktorat Harmonisasi Peraturan Penganggaran.
2.2 Direktorat Jenderal Pajak
Tugas DJP sesuai amanat Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/ PMK.01/2010 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Keuangan adalah merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis
di bidang perpajakan. Dalam mengemban tugas tersebut, DJP menyelenggarakan fungsi:
a.
perumusan kebijakan di bidang perpajakan;
b.
pelaksanaan kebijakan di bidang perpajakan;
c.
penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang perpajakan;
d.
pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perpajakan; dan
e.
pelaksanaan administrasi DJP.
Organisasi DJP terbagi atas unit kantor pusat dan unit kantor operasional. Kantor pusat terdiri atas Sekretariat
Direktorat Jenderal, direktorat, dan jabatan tenaga pengkaji. Unit kantor operasional terdiri atas Kantor
Wilayah DJP (Kanwil DJP), Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi
Perpajakan (KP2KP), dan Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan (PPDDP).
Organisasi DJP, dengan jumlah kantor operasional lebih dari 500 unit dan jumlah pegawai lebih dari 32.000
orang yang tersebar di seluruh penjuru nusantara, merupakan salah satu organisasi besar yang ada dalam
lingkungan Kementerian Keuangan. Segenap sumber daya yang ada tersebut diberdayakan untuk
melaksanakan pengamanan penerimaan pajak yang beban setiap tahunnya semakin berat.
Tugas Unit dan Jabatan di Kantor Pusat DJP
1.
Sekretariat Direktorat Jenderal
Melaksanakan koordinasi pelaksanaan tugas serta pembinaan dan pemberian dukungan administrasi
kepada semua unsur di DJP.
2.
Direktorat Peraturan Perpajakan I
Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang peraturan KUP, Penagihan
Pajak dengan Surat Paksa, PPN dan PPnBM, serta PTLL, dan PBB dan BPHTB.
3.
Direktorat Peraturan Perpajakan II
Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang peraturan PPh, perjanjian
dan kerjasama perpajakan internasional, bantuan hukum, pemberian bimbingan dan pelaksanaan bantuan
hukum, dan harmonisasi peraturan perpajakan.
4.
Direktorat Pemeriksaan & Penagihan
Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang pemeriksaan dan
penagihan pajak.
5.
Direktorat Intelijen & Penyidikan
Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang intelijen dan penyidikan
pajak.
6.
Direktorat Ekstensifikasi & Penilaian
Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang ekstensifikasi dan
penilaian perpajakan.
7.
Direktorat Keberatan & Banding
Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang keberatan dan banding.
8.
Direktorat Potensi, Kepatuhan & Penerimaan
Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang potensi, kepatuhan, dan
penerimaan.
9.
Direktorat Penyuluhan, Pelayanan & Hubungan Masyarakat
Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang penyuluhan, pelayanan
dan hubungan masyarakat.
10. Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan
Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang teknologi informasi
perpajakan.
11. Direktorat Kepatuhan Internal & Transformasi Sumber Daya Aparatur
Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang kepatuhan internal dan
transformasi sumber daya aparatur.
12. Direktorat Transformasi Teknologi Komunikasi & Informasi
Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang transformasi teknologi
komunikasi dan informasi.
13. Direktorat Transformasi Proses Bisnis
Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang transformasi proses bisnis.
14. Tenaga Pengkaji Bidang Ekstensifikasi & Intensifikasi Pajak
Mengkaji dan menelaah masalah di bidang ekstensifikasi dan intensifikasi pajak, serta memberikan
penalaran pemecahan konsepsional secara keahlian.
15. Tenaga Pengkaji Bidang Pengawasan & Penegakan Hukum Perpajakan
Mengkaji dan menelaah masalah di bidang pengawasan dan penegakan hukum perpajakan, serta
memberikan penalaran pemecahan konsepsional secara keahlian.
16. Tenaga Pengkaji Bidang Pembinaan & Penertiban Sumber Daya Manusia
Mengkaji dan menelaah masalah di bidang pembinaan dan penertiban sumber daya manusia, serta
memberikan penalaran pemecahan konsepsional secara keahlian.
17. Tenaga Pengkaji Bidang Pelayanan Perpajakan
Mengkaji dan menelaah masalah di bidang pelayanan perpajakan, serta memberikan penalaran
pemecahan konsepsional secara keahlian.
Tugas unit Kanwil DJP adalah melaksanakan koordinasi, bimbingan, pengendalian, analisis, dan evaluasi
atas pelaksanaan tugas KPP, serta penjabaran kebijakan dari kantor pusat.
Unit ini dapat dibedakan atas:
a.
Kanwil DJP Wajib Pajak Besar dan Kanwil DJP Jakarta Khusus yang berlokasi di Jakarta; dan
b.
Kanwil DJP selain Kanwil DJP Wajib Pajak Besar dan Kanwil DJP Jakarta Khusus yang lokasinya
tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Jumlah Kanwil DJP sebanyak 31 unit.
Unit KPP mempunyai tugas melaksanakan penyuluhan, pelayanan, dan pengawasan kepada wajib pajak.
Unit ini dapat dibedakan berdasarkan segmentasi wajib pajak yang diadministrasikannya, yaitu:
a.
KPP Wajib Pajak Besar, khusus mengadministrasikan wajib pajak besar nasional;
b.
KPP Madya, khusus mengadministrasikan wajib pajak besar regional dan wajib pajak besar khusus yang
meliputi badan dan orang asing, penanaman modal asing, serta perusahaan masuk bursa; dan
c.
KPP Pratama, menangani wajib pajak lokasi.
Jumlah KPP Wajib Pajak Besar sebanyak 4 unit, KPP Madya 28 unit, KPP Pratama 299 unit.
Untuk menjangkau masyarakat yang tinggal di daerah-daerah terpencil yang tidak terjangkau oleh KPP maka
pelaksanaan pelayanan, penyuluhan, dan konsultasi perpajakan dilaksanakan oleh unit KP2KP. Jumlah
KP2KP sebanyak 207 unit.
Satu-satunya unit pelaksana teknis (UPT) DJP saat ini adalah PPDDP. Unit yang berlokasi di Jakarta dan
Makassar ini mempunyai tugas melaksanakan penerimaan, pemindaian, perekaman, dan penyimpanan
dokumen perpajakan dengan memanfaatkan teknologi informasi perpajakan.
2.3 Tugas Pokok Dan Fungsi DJPB
Berdasarkan PMK Nomor 184/PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan,
Direktorat Jenderal Perbendaharaan mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan
standardisasi teknis di bidang perbendaharaan negara.
Visi dari Direktorat Jenderal Perbendaharaan adalah “menjadi pengelola perbendaharaan negara yang unggul
di tingkat dunia” . Adapun Misinya adalah :
a.
Mewujudkan pengelolaan kas dan investasi yang pruden, efisien, dan optimal
b.
Mendukung kinerja pelaksanaan anggaran yang tepat waktu, efektif, dan akuntabel
c.
Mewujudkan akuntansi dan pelaporan keuangan negara yang akuntabel, transparan, dan tepat waktu
d.
Mengembangkan kapasitas pendukung sisten perbendaharaan yang andal, professional, dan modern/
Dalam melaksanakan tugas dimaksud, Direktorat Jenderal Perbendaharaan menyelenggarakan fungsi:
a.
perumusan kebijakan di bidang perbendaharaan negara;
b.
pelaksanaan kebijakan di bidang perbendaharaan negara;
c.
penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang perbendaharaan negara;
d.
pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perbendaharaan negara; dan
e.
pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Berdasarkan PMK Nomor 169/PMK.01/2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat
Jenderal Perbendaharaan, Direktoral Jenderal Perbendaharaan mempunyai instansi vertikal, yaitu KPPN
(Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara).
KPPN mempunyai tugas melaksanakan kewenangan perbendaharaan dan bendahara umum negara,
penyaluran pembiayaan atas beban anggaran, serta penatausahaan penerimaan dan pengeluaran anggaran
melalui dan dari kas negara berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Dalam melaksanakan tugasnya, KPPN menyelenggarakan fungsi:
a.
pengujian terhadap surat perintah pembayaran berdasarkan peraturan perundang-undangan;
b.
penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) dari kas negara atas nama Menteri Keuangan selaku
Bendahara Umum Negara;
c.
penyaluran pembiayaan atas beban APBN;
d.
penilaian dan pengesahan terhadap penggunaan uang yang telah disalurkan;
e.
penatausahaan penerimaan dan pengeluaran negara melalui dan dari Kas Negara;
f.
pengiriman dan penerimaan kiriman uang;
g.
penyusunan laporan pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara;
h.
penyusunan laporan realisasi pembiayaan yang berasal dari pinjaman dan hibah luar negeri;
i.
penatausahaan penerimaan Negara bukan pajak;
j.
penyelenggaraan verifikasi transaksi keuangan dan akuntansi;
k.
pembuatan tanggapan dan penyelesaian temuan hasil pemeriksaan;
l.
pelaksanaan kehumasan; dan
m. pelaksanaan administrasi KPPN.
2.4 Tugas dan Fungsi Badan Kebijakan Fiskal
Badan Kebijakan Fiskal mempunyai tugas melaksanakan analisis di bidang kebijakan fiskal.
Dalam melaksanakan tugas dimaksud, Badan Kebijakan Fiskal menyelenggarakan fungsi:
a.
penyusunan kebijakan teknis, rencana dan program analisis di bidang kebijakan fiskal;
b.
pelaksanaan analisis dan pemberian rekomendasi di bidang kebijakan fiskal;
c.
pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan analisis di bidang kebijakan fiskal; dan
d.
pelaksanaan administrasi Badan Kebijakan Fiskal.
Susunan Organisasi Badan Kebijakan Fiskal terdiri atas 7 unit Eselon II yaitu:
a.
Sekretariat Badan;
b.
Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (PKPN);
c.
Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (PKAPBN);
d.
Pusat Kebijakan Ekonomi Makro (PKEM);
e.
Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal (PPRF);
f.
Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral (PKPPIM); dan
g.
Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral (PKRB).
1.
Sekretariat Badan
Sekretariat Badan mempunyai tugas melaksanakan koordinasi pelaksanaan tugas serta pembinaan dan
pemberian dukungan administrasi kepada semua unsur di lingkungan Badan.
2.
Pusat Kebijakan Pendapatan Negara
Pusat Kebijakan Pendapatan Negara mempunyai tugas merumuskan rekomendasi, analisis, dan evaluasi
kebijakan di bidang pendapatan negara.
3.
Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara mempunyai tugas melaksanakan perumusan
kebijakan APBN dalam rangka penyusunan Nota Keuangan dan RAPBN serta analisis, perumusan
rekomendasi, dan evaluasi kebijakan APBN.
4.
Pusat Kebijakan Ekonomi Makro
Pusat Kebijakan Ekonomi Makro mempunyai tugas melaksanakan pemantauan dini perkembangan
ekonomi makro, analisis kebijakan dan perumusan rekomendasi kebijakan ekonomi makro.
5.
Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal
Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal mempunyai tugas melaksanakan analisis, perumusan rekomendasi, dan
evaluasi pengelolaan risiko ekonomi, keuangan, sosial, BUMN, dan dukungan pemerintah.
6.
Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral
Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral mempunyai tugas melaksanakan
perumusan kebijakan, analisis, evaluasi, pengkajian, koordinasi, kerja sama, pemantauan pendanaan dan
pembiayaan perubahan iklim, dan kerja sama ekonomi dan keuangan G20 dan forum multilateral lainnya,
serta penyertaan modal Pemerintah Indonesia pada organisasi-organisasi internasional.
7.
Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral
Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral mempunyai tugas melaksanakan perumusan rekomendasi
kebijakan, analisis, evaluasi, koordinasi, pelaksanaan, dan pemantauan kerja sama Assosiation of South
East Asian Nations (ASEAN), Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC), forum-forum regional,
bilateral, dan kerja sama teknik luar negeri.
8.
Kelompok Jabatan Fungsional
Kelompok Jabatan Fungsional mempunyai tugas melakukan kegiatan sesuai dengan jabatan fungsional
masing-masing berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
a.
Kelompok jabatan fungsional terdiri dari sejumlah jabatan fungsional yang terbagi dalam berbagai
kelompok sesuai dengan bidang keahliannya.
b.
Setiap kelompok tersebut dikoordinasikan oleh pejabat fungsional senior yang ditunjuk oleh Kepala
Badan.
c.
Jumlah jabatan fungsional tersebut ditentukan berdasarkan kebutuhan dan beban kerja.
d.
Jenis dan jenjang jabatan fungsional diatur sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
2.5 Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan
Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan merupakan unit eselon I yang berada di bawah Kementerian
Keuangan. Saat ini BPPK memiliki delapan unit eselon II, yaitu Sekretariat Badan, Pusdiklat Pengembangan
Sumber Daya Manusia (PSDM), Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan (AP), Pusdiklat Pajak, Pusdiklat
Bea dan Cukai, Pusdiklat Keuangan Umum, Pusdiklat Kekayaan Negara dan Perimbangan Keuangan, dan
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara.
Tugas dan fungsi Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan dijelaskan dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 184/PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan Bab XV, dijelaskan
bahwa Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) mempunyai tugas melaksanakan pendidikan dan
pelatihan di bidang keuangan negara sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam menjalankan tugasnya, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan memiliki fungsi sebagai berikut:
1.
Penyusunan kebijakan teknis, rencana dan program pendidikan pelatihan di bidang keuangan negara.
2.
Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan di bidang keuangan negara.
3.
Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan di bidang keuangan negara;
dan
4.
3.
Pelaksanaan administrasi Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan.
RISIKO
3.1 Risiko Tugas dan Fungsi DJA
Risiko yang mungkin dapat terjadi berkenaan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi Direktorat Jenderal
Anggaran:
1.
Keterlambatan Penerbitan Peraturan Penganggaran
Direktorat Jenderal Anggaran memiliki peranan yang sangat penting di dalam penyusunan APBN,
RKAKL dan DIPA. DJA menerbitkan peraturan-peraturan terkait. Implementasi program kerja yang
tidak tepat waktu dapat berakibat pada keterlambatan suatu peraturan, misalnya DJA pernah terlambat
dalam menerbitkan PMK tentang Standar Biaya sehingga Kementerian/Lembaga terhambat dalam
penyusunan DIPA dan RKAKL.
2.
Kesalahan Prosedur yang Berakibat Pada Kerugian Negara
Direktur Jenderal (Dirjen) Anggaran pernah menyampaikan di dalam acara Rapat Kerja bahwa “Kita
boleh dipanggil apa saja dan oleh siapa saja, asal jangan dipanggil KPK.” Korupsi uang secara relatif
jarang terjadi di DJA, namun kesalahan prosedur dan penafsiran ganda atas suatu peraturan dapat
mengakibatkan kerugian negara. Selaku penerbit peraturan terkait penganggaran, DJA senantiasa
bertindak sebagai oleh berbagai instansi dalam melakukan kegiatannya. DJA harus benar-benar mampu
memberikan penjelasan yang tidak ditafsirkan berbeda dan jelas sesuai aturan. Kesalahpahaman dalam
hal prosedur dan peraturan pernah terjadi di kasus Hambalang di Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Meskipun orang di DJA tidak melakukan korupsi uang tetapi ikut dipanggil KPK untuk memberikan
keterangan terkait dengan izin kontrak tahun jamak (Multiyears Contract) dimana DJA adalah instansi
yang menerbitkan peraturan mengenai hal tersebut.
3.
Penyalahgunaan Wewenang
Sebagaimana telah disebutkan di bagian tugas dan fungsi, DJA memiliki peranan aktif di dalam
penyusunan APBN hingga penyusunan RKAKL dan DIPA. Kementerian/Lembaga didalam penyusuna
Rencana Kerja dan Anggaran (DJA) berkoordinasi dan melakukan penelaahan bersama DJA. Terdapat
Kementerian/Lembaga yang bersedia memberikan imbalan agar penelaahan yang dilakukan tidak terlalu
detil sehingga sejumlah anggaran yang diajukan tidak dicoret.
3.2 Risiko Tugas dan Fungsi DJP
Dalam mencapai tujuan, setiap organisasi pasti berhadapan dengan risiko. Risiko dalam berbagai wujud dan
sumber menciptakan tantangan dan sekaligus ketidakpastian. Berikut risiko yang dihadapi pegawai DJP
terkait dengan pelaksanaan tugas dan fungsinya:
1. Jauh dari Homebase
Dengan jumlah kantor operasional lebih dari 500 unit dan jumlah pegawai lebih dari 32.000 orang yang
tersebar di seluruh penjuru nusantara besar kemungkinan pegawai DJP bertugas di tempat yang jauh dari
homebase atau kampung halamannya. Jauh dari homebase juga memberikan risiko tambahan yaitu risiko
perjalanan, dimana untuk mencapai kantor yang berada di pedalaman, medan perjalanan yang dilalui
tidaklah mudah dan melalui berbagai macam moda kendaraan, mulai dari perjalanan darat, laut dan udara.
Selain itu ada juga risiko finansial, untuk pegawai DJP yang berada di tempat terpencil harus bisa
mengatur keuangan sebaik mungkin. Karena selain ongkos perjalanan pulang, biaya hidup di tempat
terpencil juga tinggi.
2. Pandangan miring masyarakat
Sebelum adanya reformasi perpajakan, pegawai pajak banyak yang melakukan berbagai pelanggaran.
Sehingga sudah menjadi momok bagi masyarakat bahwa pegawai pajak pasti korupsi. Apalagi setelah
mencuatnya kasus Gayus, fiskus secara generalisasi dicap oleh masyarakat sebagai PNS yang pasti
melakukan korupsi. Pandangan miring oleh masyarakat yang lainnya adalah karena dianggap pasti
korupsi, fiskus dianggap pasti memiliki kekayaan yang banyak. Hal ini menjadi tekanan bagi fiskus karena
dianggap orang yang kaya baik oleh keluarga, tetangga, atau pun masyarakat.
3. Kriminalisasi petugas pajak
Kriminalisasi yang dimaksud adalah ketika seorang petugas pajak melakukan pekerjaan yang dinilai lalai
atau tidak melakukan satu prosedur pengujian tertentu dari berbagai pilihan teknik pengujian. Dari sinilah
petugas pajak itu berpotensi dikriminalkan (proses mempidanakan seseorang). Risiko ini banyak terjadi
di bidang keberatan banding. Misal, jika keberatan wajib pajak dikabulkan, masyarakat akan menganggap
ada unsur merugikan keuangan negara. Jika dalam suatu pemeriksaan terhadap wajib pajak dinyatakan
ada transaksi objek pajak pertambahan nilai (PPN), maka wajib pajak tersebut tentulah harus membayar
PPN. Namun wajib pajak keberatan. Saat diteliti, ternyata menurut tim yang meneliti keberatan (Penelaah
keberatan, Kasi, Kabid) transaksi tersebut bukan objek PPN artinya mengabulkan keberatan wajib pajak
dan wajib tidak perlu bayar PPN atas transaksi tersebut. Dalam situasi seperti inilah yang membuat
penelaah keberataan rentan dikriminalisasi meski ia tidak menerima sepeser uang pun dari wajib pajak.
Tapi ia bisa dicurigai dan dituduh melakukan tindak pidana korupsi atau menahan masuknya penerimaan
negara.
3.3 Resiko Tugas dan Fungsi DJPB:
1. Resiko bahaya /resiko jabatan
Resiko atas bahaya yang mungkin timbul dan menimpa pegawai sewaktu melakukan tugas jabatannya.
Ilustrasi : Pegawai KPPN cenderung sangat mengenal dan akrab dengan para petugas satuan kerja yang
menjadi stakeholdernya. Hubungan baik yang terjalin antara pegawai dan stakeholder tentu saja berdampak
positif terkait koordinasi dan penyelesaian pekerjaan.. Namun good relationship ini akan berdampak negatif
ketika kepentngan pekerjaan dan kepentngan pribadi saling tumpah tindih. Contoh kasus makan bersama
petugas satuan kerja, atau mendapat hadiah sebagai ucapan terima kasih telah membantu pencairan dana, dll.
PNS Kementerian keuangan harus sebisa mungkin menjaga integritas dan tetap bersikap profesional agar
tidak terjebak gratifkasi dari satuan kerja.
2. Resiko Operasional
Resiko suat jabatan yang mengakibatkan tidak dapat beroperasionalnya jabatan yang lain.
PNS DJPB juga sangat beresiko terlibat kasus korupsi atas keadaan di luar kuasanya. Kesalahan kesalahan
manusia yang tidak disengaja mampu membatnya terlibat kasus korupsi. Misalnya petugas tidak jeli dalam
melakukan pengujian SPM (contoh tanda tangan di SPM berbeda dengan spesimen yang ada di database
KPPN) kemudian ternyata diketahui SPM tersebut fiktif dan dipidanakan. Hal sepele dan yang dianggap tdak
material ini mampu merugikan dan meyeret pegawai tersebut ke ranah hukum.
3. Resiko fiskal
Resiko suatu jabatan yang secara langsung maupun tidak langsung mengakibatkan kerugian keuangan negara.
Dalam internal lingkup Direktorat Jenderal Perbendaharaan sebagai CFO (Chief Financial Offcer), Dirjen
Perbendaharaan juga berfungsi sebagai COO (Chief Operating Officer) yang mengelola dana APBN nya
sendiri. Pejabat pengadaan, pejabat pembuat komitmen, dan pengelola keuangan lainnya sangat rentan
melakukan tindak korpsi atas dana yang dikelolanya. Contoh ; mark up pengadaan, kuitansi kosong,
pembagian komisi antara rekanan dengan pejabat pengelola keuangan
3.4 Resiko Tugas dan Fungsi BKF:
Rumusan kebijakan fiskal yang kurang antisipatif, responsif, dan dipercaya. Dalam rangka penyusunan
APBN setiap tahunnya, pemerintah dituntut untuk dapat menyajikan data-data perekonomian yang akurat
dan realistis. Meskipun asumsi-asumsi ekonomi makro perekonomian didapat melalui datat-data yang
pasti dan sesuai perhitungan, namun pemerintah juga dituntut oleh DPR untuk memberikan proyeksiproyeksi yang optimistis terhadap perekonomian mendatang. Akibat kedua tuntutan tersebut, pemerintah
seringkali dianggap tidak menyajikan data yang lebih optimistis oleh DPR sehingga data-data yang
disampaikan kurang dipercaya.
SDM tidak memiliki kepemimpinan yang memadai. BKF dituntut untuk dapat bekerja secara optimal,
pelayanan yang baik kepada pimpinan dan pengambil keputusan, serta dapat bersinergi baik dengan tim
didalam unit BKF sendiri atau unit lainnya di lingkungan Kementerian Keuangan, sehingga perlu jiwa
kepemimpinan yang memadai untuk menjalankan organisasi.
SDM tidak menyadari tugas, fungsi dan perannya didalam organisasi secara optimal. Seharusnya setiap
pegawai mempunyai kesadaran yang tinggi akan tugas fungsi dan perannya didalam institusi, sehingga
dapat memberikan hasil kerja yang maksimal dan handal.
Adanya persaingan tidak sehat dalam karir. Untuk mencapai visi menjadi unit terpercaya dalam
perumusan kebijakan fiskal yang antisipatif dan responsive, maka misi di bidang SDM Badan Kebijakan
Fiskal adalah mewujudkan SDM yang professional melalui peningkatan kompetensi dan disiplin
pegawai, dengan sasaran strategis, SDM yang berkompetensi dan berintergarsi tinggi.
Untuk melaksanakan beban tugas tersebut, Badan Kebijakan Fiskal didukung oleh 471 pegawai, dimana
69% atau 325 orang diantaranya berlatar belakang pendidikan tinggi, yaitu S1/D4 sebanyak 168 orang,
S2 sebanyak 151 orang dan S3 sebanyak 16 orang (data bulan Oktober 2013).
Resiko integritas, terkait banyaknya informasi penting di tingkat pembuat kebijakan. Informasi penting
ada yang sifatnya rahasia, hal ini perlu dijaga oleh para pegawai yang terlibat langsung dengan pembuat
keputusan agar tidak bocor kepada pihak yang tidak bertanggungjawab.
3.5 Risiko Tugas dan Fungsi BPPK
Risiko yang dapat terjadi pada Pegawai Negeri Sipil BPPK dalam menjalankan tugas dan fungsinya antara
lain:
1.
Konflik kepentingan antara pihak pengajar dan mahasiswa/PNS yang mengikuti pembelajaran
Risiko yang dapat timbul adalah dimungkinkan adanya pengajar yang kurang bertanggung jawab dalam
menjalankan tugasnya karena mengutamakan kepentingan pribadi. Misalnya pengajar sering
mengatakan izin untuk tidak menghadiri kegiatan pembelajaran dengan alasan mendapat tugas lain dari
atasan, namun pada kenyataannya pengajar tersebut tidak mendapatkan tugas melainkan hanya ingin
menghabiskan waktu dirumah.
2.
Pemberian imbalan atau gratifikasi dari pihak yang mengikuti pembelajaran
Pihak yang diberikan pengajaran, tentunya merasa berterima kasih atas bimbingan dan ilmu yang telah
didapatkan selama proses belajar mengajar. Hal ini bagi sebagian orang, dapat menjurus ke arah
pemberian uang/barang tertentu dengan maksud berterima kasih atas jasa-jasa yang telah dilakukan.
Kultur kebudayaan negara kita yang menganggap memberikan sesuatu kepada orang lain atas jasa yang
telah dilakukannya merupakan sesuatu yang lumrah, sangat memungkinkan pemberian gratifikasi ini
terjadi.
3.
Penggunaan aset atau inventori yang dimiliki BPPK untuk kepentingan pribadi
Penggunaan aset dan inventori yang dimiliki oleh BPPK untuk kepentingan pribadi pengajar atau staf
BPPK sangat dimungkinkan terjadi. Jenis korupsi ini merupakan jenis korupsi paling wajar dan paling
sering kita temukan di lingkungan kerja. Pola pikir PNS yang menganggap inventori kecil seperti spidol,
pena, pensil, kertas, dan sebagainya tidak terlalu mahal dan dianggap wajar. Hal ini tentu merupakan
pola pikir yang perlu dijauhi, karena sedikit atau banyak, besar atau kecil, sebuah perilaku korupsi tetap
merupakan korupsi. Selain itu, praktik korupsi kecil seperti ini dikhawatirkan apabila menjadi sebuah
kebiasaan dapat mendorong PNS tersebut untuk melakukan tindak korupsi yang lebih besar jumlahnya.
4.
Adanya kemungkinan KKN yang terjadi pada saat penerimaan mahasiswa tugas belajar
Sulitnya mengikuti tes atau ujian saringan yang diterapkan atas penerimaan mahasiswa tugas belajar
mendorong keinginan bagi sebagian orang untuk bertindak tidak sesuai dengan jalur administrasi yang
berlaku. Sebagian orang mungkin beranggapan bahwa masih ada orang yang berwenang pada BPPK
yang mau diajak bernegosiasi mengenai penerimaan mahasiswa tugas belajar dengan syarat memberikan
uang dengan jumlah tertentu. Hal ini masih dimungkinkan mengingat bahwa sudah menjadi rahasia
umum jika instansi-instansi lain diluar kementerian keuangan masih ada yang menerapkan hal serupa
untuk melewati prosedur standar yang telah ditetapkan.
4.
HAMBATAN
4.1 Hambatan Tugas dan Fungsi DJA
Hambatan yang mungkin terjadi di dalam pelaksanaan tugas dan fungsi DJA:
1.
Motivasi Pegawai Rendah
Tidak adanya tantangan kerja atau kebosanan karena telah berada di suatu posisi yang sama untuk waktu
yang lama dapat menyebabkan rendahnya motivasi pegawai dalam bekerja. Tidak adanya penghargaan
kepada pegawai yang rajin dan berprestasi pun dapat menyebabkan paradigma untuk bekerja biasa-biasa
saja.
2.
Pejabat yang Tidak Berprestasi
Seseorang yang telah dilantik menjadi pejabat, meskipun ia tidak berprestasi dan apabila ia tidak
melakukan pelanggaran berat, maka setidaknya ia akan tetap berada di posisinya hingga pensiun. Ini
merupakan beban birokrasi, kemajuan suatu instansi menjadi terhambat karena adanya pegawai atau
pejabat yang tidak berprestasi baik. Belum adanya peraturan kepegawaian mengenai akibat performa
buruk menyebabkan pegawai dan pejabat merasa aman dengan posisinya masing-masing.
4.2 Hambatan Tugas dan Fungsi DJP
Dalam mencapai tujuan, setiap organisasi pasti berhadapan dengan hambatan. Berikut hambatan yang
dihadapi DJP terkait dengan pelaksanaan tugas dan fungsinya:
1. Terbatasnya Anggaran dan Jumlah Pegawai
Direktorat Jenderal Pajak dibebani target penerimaan pajak yang setiap tahunnya mengalami kenaikan,
kenaikan target ini tidak diimbangi dengan kenaikan anggaran dan jumlah pegawai dalam rangka
mengumpulkan uang pajak tersebut. Pada periode 2006-2012, realisasi penerimaan pajak naik dua kali
lipat. Begitu juga dengan penambahan wajib pajak, dari 15 juta pada tahun 2009 menjadi 24,8 juta pada
2012. Sedangkan pegawai DJP pada 2006 berjumlah 30.196 dan menjadi 31.408 pada 2012. Atau turun
jika dibandingkan pada 2011 sebanyak 31.733 pegawai. Anggaran yang disediakan bagi DJP periode
2009-2012 menurun. Pada 2009, anggaran DJP Rp 5,3 triliun turun menjadi Rp 4,9 triliun. Apabila
dibandingkan dengan target penerimaan pajak, maka cost collection ratio Indonesia rendah yaitu 0,49
persen atau secara sederhana dapat dikatakan setiap 100 rupiah uang pajak yang dihimpun, hanya
membutuhkan biaya 0,49 rupiah. Dibandingkan dengan Jepang yang tax cost collection ratio-nya 1,4
persen atau setiap 100 yen pajak yang dikumpulkan dibutuhkan biaya 1,4 yen.
2. Sulitnya mendapatkan data pembanding
Pajak di Indonesia menggunakan sistem self-assessment dimana Wajib Pajak sendiri yang menghitung,
membayar dan melaporkan pajaknya. DJP sebagai lembaga pengumpul pajak harus dapat
mengoptimalkan penerimaan pajak negara dengan melakukan pengawasan terhadap pemenuhan
kewajiban pajak. Untuk melakukan pengawasan diperlukan data pembanding untuk membuktikan apakah
pemenuhan kewajiban pajak yang dilakukan Wajib Pajak telah sesuai dengan kondisi sesungguhnya. Pada
prakteknya di lapangan sangat sulit mendapatkan data pembanding terutama untuk Wajib Pajak Orang
Pribadi.
3. Kurangnya atau tidak adanya kesadaran masyarakat
Dalam pemungutan pajak dituntut kesadaran warga negara untuk memenuhi kewajiban kenegaraan.
Kurangnya atau tidak adanya kesadaran masyarakat sebagai wajib pajak untuk membayar pajak ke negara
mengakibatkan timbulnya perlawanan terhadap pajak yang merupakan kendala dalam pemungutan pajak
sehingga mengakibatkan berkurangnya penerimaan kas negara.
4.3 Hambatan Tugas dan Fungsi DJPB
1.
Payung hukum terhadap tugas pokok dan fungsi front office serta jajaran pegawai KPPN yang terlibat
pencairan dana belum memadai. Dengan adanya pemisahan kewenangan antara pengujian SPM di level
Kuasa Penggna Anggaran maka seharusnya segala bentuk produk hukum tentang pengeluaran anggaran
mampu melindungi PNS yang telah bekerja sesuai dengan tupoksi.
Saran memperkuat payung hukum dan dukungan hukum bagi para front office agar merasa aman dalam
menjalankan tugasnya.
2.
Kewenangan pengujian SPM di KPPN adalah terbatas pada kelengkapan dokumen hitam diatas putih
yang memenuhi syarat pengujian substantif dan pengujian formal . KPPN tidak berwenang untuk
menguji obyek atau bukti fisik barang yang tagihannya diajukan. Oleh karena itu terdapat stigma bahwa
KPPN “tutup mata” atas kasus kerugian negara yang diakibatkan oleh pencairan dana yang diuji di
KPPN. Contoh kasus : sebuah kontrak atas pembangunan gedung diajukan tagihannya telah selesai
100%, secara kebetulan gedung tersebut berlokasi berdekatan dengan lokasi KPPN dan jelas belum
selesai 100% secara kasat mata. Namun karena tagihan dan dokumen telah lengkap menyatakan bahwa
gedung selesai 100% sebagai bendahara/kasir keuangan negara, maka KPPN akan menilai dokumen
tersebut dianggap sah dan pencairan dana dapat dilakukan.
Saran meningkatkan fungsi lembaga lembaga negara yang berwenang dalam pemeriksaan serta
mengintensifkan pengendalian internal di masing masng pengguna/kuasa pengguna anggaran atas
belanja yang dilakukannya.
3.
Bendahara pengeluaran/penerimaan merupakan pejabat perbendaharaan yang secara fungsional
bertanggung jawab kepada Bendahara/Kuasa BUN. Pada kenyatannya bendahara pengelaran diangkat
oleh menteri/pimpinan lembaga/satuan kerja. Pimpinan satuan kerja/KPA memiliki kewenangan penuh
untuk menunjuk siapa siapa yang menjadi pengelola keuangan APBN. Tidak sedikit KPA yang
menunjuk orang orang terdekatnya atau pegawai yang “manut/nurut” sebagai pengelola keuangan. Satu
contoh adalah jika pengelola keuangan merupakan satu “tim” yang berniat merugikan keuangan negara
maka hal ini menjadi semacam legalisasi atas kecurangan yang akan mereka lakukan. Atau kasus lain
jika bendahara pengeluaran tidak mempu menjaga integritasnya karena merasa sebagai bawahan atau
anak buah dari kuasa pengguna anggaran / atasan maka praktek praktek korupsi yang merugikan
keuangan negara pun dapat diskenariokan dengan baik.
Saran sebuah wacana muncul terkait fungsi bendahara pengeluaran, yaitu bahwa bendahara pengeluaran
dianggap sebagai pegawai fungsional kementerian keuangan yang sifatnya ditugaskan di
kementerian/lembaga untuk mengelola dana APBN. Bendahara pengeluaran yang bukan berasal dr
internal instasi dapat meminimalisasi pratek korupsi dalam rangka pencairan dana APBN. Asumsinya
bendahara pengeluaran dan pejabat pengelola keuangan satuan kerja tidak saling mengenal sehingga
bendahara pengeluaran mampu lebih independen menjalankan tugasnya.
4.4 Hambatan Tugas dan Fungsi BKF
Organisasi tidak memungkinkan memenuhi kriteria kondisi ideal bagi internal. Sebagian besar tugas dan
fungsi di BKF adalah terkait pembuatan kebijakan fiskal. Organisasi menjadi gemuk oleh orang-orang
berkompetensi tinggi di bidang akademis di bidang ekonomi, keuangan, dan moneter sedangkan yang
dibutuhkan organisasi adalah tim yang didukung oleh sub tim yang kuat dari berbagai level dan berbagai
keilmuan.
Organisasi tidak memiliki orientasi eksternal. Badan Kebijakan Fiskal mempunyai tugas membina,
mengkoordinasikan dan menyelenggarakan kegiatan analisis dan pengkajian di bidang ekonomi,
keuangan dan moneter yang outputnya disampaikan kepada pimpinan Kementerian sebagai bahan
masukan dalam menetapkan kebijakan/pengambilan keputusan. Hampir tidak ada sentuhan langsung
dengan masyarakat.
Kegiatan / program yang tentatif. Banyak sekali kegiatan di tingkat pimpinan yang bersifat dinamis, hal
ini terkait dengan perkembangan ekonomi di setiap waktu. BKF dituntut untuk selalu responsive
menyikapi keadaan, dengan demikian banyak kegiatan-kegiatan yang harus telah direncanakan di awal
tahun atau tahun sebelumnya, meskipun kegiatan tersebut bersifat tentatif.
Perencanaan anggaran yang sulit.
Pelaksanaan anggaran sulit untuk dilaksanakan
4.5 Hambatan Tugas dan Fungsi BPPK
Hambatan yang dapat terjadi bagi Pegawai Negeri Sipil di lingkungan BPPK adalah sebagai berikut:
1.
Adanya bujukan dari pihak luar kepada PNS yang berada di lingkungan BPPK
Hal ini dapat terjadi karena masih banyak masyarakat yang menganggap budaya suap untuk
memperlancar suatu urusan itu merupakan suatu hal yang lazim ditemukan diberbagai instansi, tidak
terkecuali pada BPPK. Bujukan-bujukan dari pihak luar ini dapat mengganggu integritas PNS yang
bersangkutan sehingga mendorong terjadinya praktik KKN di lingkungan BPPK. Faktor ini semakin
diperkuat jika PNS yang bersangkutan memiliki jabatan dan wewenang yang cukup dalam memenuhi
tuntutan yang diinginkan oleh pihak eksternal tersebut.
2.
Gaya hidup dan tuntutan dari pihak keluarga PNS yang berada di lingkungan BPPK
Gaya hidup dan tuntutan keluarga merupakan salah satu faktor yang menghambat kinerja PNS dalam
menjalankan tugas dan fungsinya. Gaya hidup yang mewah atau boros membutuhkan biaya yang tinggi
sehingga jika tidak diikuti dengan penghasilan yang mencukupi, berpotensi untuk mendorong seorang
PNS melakukan tindakan korupsi untuk memenuhi kebutuhan gaya hidup dirinya dan keluarga.
3.
Masih adanya PNS yang memiliki moral yang rendah
Praktik KKN yang terjadi pada dasarnya berawal dari dalam diri sendiri. Moral yang rendah dan tidak
memahami dan peduli akan bahaya praktik korupsi di lingkungan kerja akan berdampak pada munculnya
anggapan pada diri PNS itu sendiri bahwa korupsi merupakan hal yang wajar untuk dilakukan.
Banyaknya pembenaran atas tindakan korupsi itu sendiri menjadi bukti nyata bahwa masih kurang
tingginya moral PNS. Pembenaran tersebut antara lain berupa gaji yang rendah, biaya hidup yang tinggi,
tuntutan biaya tiket pesawat untuk pulang, dan pembenaran-pembenaran lain yang menjadi alasan semu
bagi seorang PNS untuk melakukan tindakan korupsi.
4.
Masih adanya PNS di lingkungan BPPK yang belum mengetahui deskripsi pekerjaannya
Budaya kerja PNS yang masih sering kita rasakan adalah masih banyaknya pegawai yang belum
mengetahui deskripsi pekerjaannya sehingga sering kali pegawai tersebut hanya bertanya kepada
pegawai lain atau kepada atasan mengenai apa-apa saja yang perlu dikerjakan. Hal ini tentunya dapat
menghambat kinerja pegawai dan kinerja instansi secara keseluruhan karena hal ini memungkinkan
adanya pekerjaan yang seharusnya diselesaikan oleh PNS pada posisi tersebut menjadi terbengkalai atau
tertunda pengerjaannya. Lebih ironisnya lagi, jika PNS tersebut hanya menyelesaikan pekerjaan yang ia
ketahui saja, dimungkinkan PNS tersebut menjadi bermalas-malasan dan tidak produktif saat sisa jam
kerja yang ada karena merasa tugas dan pekerjaannya sudah terselesaikan seluruhnya.
DAFTAR REFERENSI:
http://www.pajak.go.id/content/selayang-pandang
http://satudpajak2011.blogspot.com/2012/06/kendala-pemungutan-pajak-di-indonesia.html
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt51bfdd1d5769d/alasan-djp-ingin-menambah-pegawai