ETOS KERJA DALAM ISLAM docx

Nama : Marsita Purwanti Ningsih
NIM

: K7614029

Prodi : Pend. Eko PTN
MaKul : Pend. Agama Islam

ETOS KERJA DALAM ISLAM
Etos berasal dari bahasa Yunani yang berarti sesuatu yang diyakini, cara berbuat, sikap
serta persepsi terhadap nilai bekerja. Sedangkan Etos Kerja Muslim dapat didefinisikan
sebagai cara pandang yang diyakini seorang muslim bahwa bekerja tidak hanya bertujuan
memuliakan diri, tetapi juga sebagai suatu manifestasi dari amal sholeh dan mempunyai nilai
ibadah yang luhur. Dalam al-Qur’an dikenal kata itqon yang berarti proses pekerjaan yang
sungguh-sungguh, akurat dan sempurna. (An-Naml : 88). Etos kerja seorang muslim adalah
semangat untuk menapaki jalan lurus, dalam hal mengambil keputusan pun, para pemimpin
harus memegang amanah terutama para hakim. Hakim berlandaskan pada etos jalan lurus
tersebut sebagaimana Dawud ketika ia diminta untuk memutuskan perkara yang adil dan
harus didasarkan pada nilai-nilai kebenaran, maka berilah keputusan (hukumlah) di antara
kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjuklah (pimpinlah)
kami ke jalan yang lurus (QS. Ash Shaad : 22)

Etos kerja, jika dikaitkan dengan agama berarti sikap atau pandangan atau semangat
manusia terhadap kerja yang dilakukan, yang dipengaruhi oleh nilai-nilai yang agama yang
dianutnya.
Konsep Etos Kerja Islami
Ayat Pertama :
Al-Qur’an memandang bekerja keras adalah sangat penting sama dengan jihad. Hal ini
di antaranya terdapat dalam An-Nisa’: 95.
Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai
‘uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya.
Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang
yang duduk satu derajat. kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik
(surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan
pahala yang besar.
Ayat Kedua:
Bahwa bekerja giat (memiliki etos kerja tinggi) adalah manifestasi dari kekuatan iman
seseorang, sebagaimana firman Allah SWT Q.S Al Taubah ayat 105 berikut:
Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, Maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin
akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui
akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang Telah kamu
kerjakan.


Ayat ini didahului dengan ayat sebelumnya yang menjelaskan tentang perintah untuk
bersedekah, kemudian perintah untuk bertaubat. Setelah mereka bertaubat, maka Allah
memerintahkan untuk beramal dalam bentuk bekerja yang baik dan bermanfaat bagi dirinya
maupun bagi orang lain. Allah berjanji, bahwa setiap amal perbuatan yang dilakukannya akan
dilihat dan diberikan penilaian oleh Allah dan orang-orang yang beriman. Allah menjanjikan
setiap amal kebaikan yang dilakukan akan diberikan balasan kebaikan oleh Allah.[21]
Ayat yang memiliki pengertian hampir sama dengan firman Allah SWT diatas yang
menunjukkan bahwa bekerja adalah manifestasi kekuatan iman, yaitu firman Allah yang
berbunyi Q.S. az-Zumar ayat 39 :
Katakanlah: Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu
Sesungguhnya akupun bekerja, maka kelak kamu akan mengetahui.

masing-masing.

Ayat diatas adalah perintah (amar) dan karenanya mempunyai nilai hukum “wajib” untuk
dilaksanakan. Siapapun mereka yang secara pasif berdiam diri tidak mau berusaha untuk
bekerja, maka dia telah menghujat perintah Allah, dan sadar atau tidak, sesungguhnya orang
tersebut telah menggali kubur kenistaan bagi dirinya.
Sebagaimana juga ditegaskan oleh hadis Nabi Saw:

‫ح د عدعثعنا وموعسى ببون إنبسعما ن‬
‫عنن‬
‫حنكيمن ببنن نحعزامم – رضى ال عنه – ع‬
‫عبن أ عنبينه ع‬
‫ح د عدعثعنا نهعشامم ع‬
‫عبن ع‬
‫ب ع‬
‫عيعل ع‬
‫ع‬
‫ح د عدعثعنا ووعهيب م‬
‫ب‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ن‬
‫و‬
‫ع‬
‫عبن ظ عبهنر‬
‫ة‬
‫ق‬
‫د‬

‫ص‬
‫ال‬
‫ر‬
‫ي‬
‫خ‬
‫و‬
،
‫ل‬
‫عو‬
‫ت‬
‫ن‬
‫م‬
‫ب‬
‫أ‬
‫د‬
‫ب‬
‫وا‬
،
‫لى‬
‫ف‬

‫س‬
‫ال‬
‫د‬
‫ي‬
‫ب‬
‫ل‬
‫ا‬
‫ن‬
‫م‬
‫ر‬
‫ي‬
‫خ‬
‫يا‬
‫ب‬
‫ل‬
‫ع‬
‫ب‬
‫ل‬
‫ا‬
‫د‬

‫ي‬
‫ب‬
‫ل‬
‫ا‬
‫ل‬
‫قا‬

‫وسلم‬
‫عليه‬
‫ال‬
‫صلى‬

‫ى‬
‫ن‬
‫ب‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ع‬
‫ع‬
‫ع‬

‫ن‬
‫ن‬
‫ب‬
‫ع‬
‫ع‬
‫ع‬
‫و‬
‫ع‬
‫ع‬
‫ع‬
‫د‬
‫ب‬
‫دو‬
‫و‬
‫ع‬
‫ع ب‬
‫ع‬
‫ع بو د‬
‫ال د‬
‫و ع بم ع ع‬

‫ع‬
‫ن‬
‫ع‬
‫ع‬
‫ن‬
[25]. ‫ عوعمبن ي عبستعبغنن ي وبغننه الل دوه‬، ‫ عوعمبن ي عبستعبعنفبف ي ونعفد عوه الل دوه‬، ‫غننى‬
“Bahwa Nabi Saw bersabda: tangan diatas lebih baik dari tangan dibawah dan
dahulukanlah orang-orang yang menjadi tanggunganmu…..”
Rasulullah bersabda :
Artinya: “Tiada seorang pun yang makan makanan yang lebih baik dari pada makan yang
diperoleh dari hasil dari keringatnya sendiri. Sesungguhnya Nabi Allah Daud AS itu pun
makan dari hasil karyanya sendiri.
Bekerja untuk mencari fadhilah karunia Allah, menjebol kemiskinan, meningkatkan
taraf hidup dan martabat serta harga diri adalah merupakan nilai ibadah yang esensial, karena
Nabi bersabda: “Kemiskinan itu sesungguhnya lebih mendekati kepada kekufuran”. Bekerja
adalah segala aktivitas dinamis dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan tertentu
(jasmani dan rohani), dan didalam mencapai tujuannya tersebut dia berupaya dengan penuh
kesungguhan untuk mewujudkan prestasi yang optimal sebagai bukti pengabdian dirinya
kepada Allah SWT.


Ayat Ketiga:
Etos kerja tinggi tidak sama sekali terkait persoalan gender (laki-laki atau perempuan),
yang membedakan adalah dasar pengabdiannya yaitu dorongan keimanan yang shahih,
sebagaimana firman Allah SWT QS An-Nahl: 97:
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik
dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang Telah mereka kerjakan.
Ayat diatas mengemukakan tentang prinsip keadilan dalam beramal, yaitu tanpa
membedakan seseorang dengan yang lain kecuali atas dasar pengabdiannya. Prinsip itu
adalah: barang siapa yang mengerjakan amal saleh, apapun jenis kelaminnya, baik laki-laki
maupun perempuan, sedang dia adalah mukmin yakni amal yang dilakukannya lahir atas
dorongan keimanan yang shahih, maka sesungguhnya pasti akan Kami berikan
kepadanya masing-masing kehidupan yang baik di dunia inidan sesungguhnya pasti akan
kami beri balasan kepada mereka semua di dunia dan di akhirat dengan pahala yang lebih
baik dan berlipat ganda dari apa yang telah mereka kerjakan.[27]
Firman Allah SWT: ( ‫ ) وهو مؤمن‬wa huwa mu’min/sedang dia adalah
mukmin, menggarisbawahi syarat mutlak bagi penilaian kesalehan amal. Keterkaitan amal
saleh dan iman menjadikan pelaku amal saleh melakukan kegiatannya tanpa mengandalkan
imbalan segera, serta membekalinya dengan semangat berkorban dan upaya beramal sebaik

mungkin.[31]
Ayat keempat:
Meskipun Allah mewajibkan bagi setiap manusia untuk bekerja, namun Allah tidak
menghendaki seseorang bekerja di luar batas kemampuan yang dimilikinya. Orang-orang
yang beriman akan senantiasa memohon dan menggantungkan dirinya kepada Allah dan
pertolongan dari Allah SWT. Ini relevan dengan firman Allah QS. Al Baqarah ayat 286 :
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat
pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. (mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami
lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban
yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan
kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. beri
ma’aflah Kami; ampunilah Kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, Maka
tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.”
Di samping itu, al-Qur’an juga menyebutkan bahwa pekerjaan merupakan bagian dari iman,
pembukti bahwa adanya iman seseorang serta menjadi ukuran pahala hukuman, Allah SWT
berfirman:
“…barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan
amal yang saleh…” (Al-Kahfi: 110)


Pengertian ini memperhatikan empat macam pekerja :
a. al-Hirafiyyin; mereka yang mempunyai lapangan kerja, seperti penjahit, tukang kayu, dan
para pemilik restoran. Dewasa ini pengertiannya menjadi lebih luas, seperti mereka yang
bekerja dalam jasa angkutan dan kuli.
b. al-Muwadzofin: mereka yang secara legal mendapatkan gaji tetap seperti para pegawai
dari suatu perusahaan dan pegawai negeri.
c. al-Kasbah: para pekerja yang menutupi kebutuhan makanan sehari-hari dengan cara jual
beli seperti pedagang keliling.
d. al-Muzarri’un: para petani.
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah mencintai salah seorang diantara kamu
yang melakukan pekerjaan dengan itqon (tekun, rapi dan teliti).” (HR. al-Baihaki). Nilai suatu
pekerjaan tergantung kepada niat pelakunya yang tergambar pada firman Allah SWT agar kita
tidak membatalkan sedekah (amal kebajikan) dan menyebut-nyebutnya sehingga
mengakibatkan penerima merasa tersakiti hatinya.
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan
menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan
hartanya Karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari
kemudian…” (al-Baqarah : 264)
Etika kerja dalam Islam yang perlu diperhatikan adalah
1. Adanya keterkaitan individu terhadap Allah sehingga menuntut individu untuk bersikap
cermat dan bersungguh-sungguh dalam bekerja, berusaha keras memperoleh keridhaan
Allah dan mempunyai hubungan baik dengan relasinya.
2. Berusaha dengan cara yang halal dalam seluruh jenis pekerjaan.
3. Tidak memaksakan seseorang, alat-alat produksi atau binatang dalam bekerja, semua
harus dipekerjakan secara professional dan wajar.
4. Tidak melakukan pekerjaan yang mendurhakai Allah yang ada kaitannya dengan minuman
keras, riba dan hal-hal lain yang diharamkan Allah.
5. Professionalisme dalam setiap pekerjaan
Etos Kerja Muslim didefenisikan sebagai sikap kepribadian yang melahirkan keyakinan
yang sangat mendalam bahwa bekerja itu bukan saja untuk memuliakan dirinya,
menampakkan kemanusiaannya, melainkan juga sebagai suatu manifestasi dari amal sholeh.
Sehingga bekerja yang didasarkan pada prinsip-prinsip iman bukan saja menunjukkan fitrah
seorang muslim, melainkan sekaligus meninggikan martabat dirinya sebagai hamba Allah
yang didera kerinduan untuk menjadikan dirinya sebagai sosok yang dapat dipercaya,
menampilkan dirinya sebagai manusia yang amanah, menunjukkan sikap pengabdian
sebagaimana firman Allah, “Dan tidak Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka menyembah-Ku”, (QS. adz-Dzaariyat : 56).
Bekerja adalah fitrah dan merupakan salah satu identitas manusia, sehingga bekerja yang
didasarkan pada prinsip-prinsip iman tauhid, bukan saja menunjukkan fitrah seorang muslim,
tetapi sekaligus meninggikan martabat dirinya sebagai hamba Allah SWT. Apabila bekerja itu
adalah fitrah manusia, maka jelaslah bahwa manusia yang enggan bekerja, malas dan tidak
mau mendayagunakan seluruh potensi diri untuk menyatakan keimanan dalam bentuk amal
kreatif, sesungguhnya dia itu melawan fitrah dirinya sendiri, dan menurunkan derajat identitas
dirinya sebagai manusia.

Setiap muslim selayaknya tidak asal bekerja, mendapat gaji, atau sekedar menjaga gengsi
agar tidak dianggap sebagai pengangguran. Karena, kesadaran bekerja secara produktif serta
dilandasi semangat tauhid dan tanggung jawab merupakan salah satu ciri yang khas dari
karakter atau kepribadian seorang muslim. Tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk
menjadi pengangguran, apalagi menjadi manusii yang kehilangan semangat inovatif. Karena
sikap hidup yang tak memberikan makna, apalagi menjadi beban dan peminta-minta, pada
hakekatnya merupakan tindakan yang tercela.
Seorang muslim yang memiliki etos kerja adalah mereka yang selalu obsesif atau ingin
berbuat sesuatu yang penuh manfaat yang merupakan bagian amanah dari Allah. Dan cara
pandang untuk melaksanakan sesuatu harus didasarkan kepada tiga dimensi kesadaran, yaitu :
dimensi ma’rifat (aku tahu), dimensi hakikat (aku berharap), dan dimensi syariat (aku
berbuat).
:‫ب? عقاعل‬
‫ي ا عل بك عبس ن‬
‫ أ ع دو‬:‫ععة ببنن عرانفمع – رضي ال عنه – أ ع دعن عالن دعنب دعي – صلى ال عليه وسلم – وسئنعل‬
‫عبن نرعفا ع‬
‫ع‬
‫ب أ عط بيع و‬
‫و‬
‫ن‬
‫ن‬
‫و‬
‫حعحوه ا عل بعحانكم‬
‫ص‬
‫و‬
،‫ر‬
‫زا‬
‫ب‬
‫ب‬
‫ل‬
‫ا‬
‫ه‬
‫وا‬
‫ر‬
}
‫ر‬
‫رو‬
‫ب‬
‫م‬
‫ع‬
‫ي‬
‫ب‬
‫ل‬
‫ك‬
‫و‬
,
‫ه‬
‫د‬
‫ي‬
‫ب‬
‫ل‬
‫ج‬
‫ر‬
‫ال‬
‫ل‬
‫م‬
‫ع‬
‫ع‬
‫ع‬
‫ع‬
‫د‬
‫دع و ن ن ع ع و ع ب م ع ب و م ع ع و ع د و ع ع د ع‬
‫ع ع‬
Dari Rifa’ah Ibnu Rafi’ r.a. bahwa Rasulullah saw. pernah ditanya: Pekerjaan apakah yang
paling baik?. Beliau bersabda: “Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan setiap jual-beli
yang bersih”. (HR Al-Bazzar dan dishahihkan oleh al-Hakim)
Dari hadist di atas dapat kita lihat bahwa Islam sangat menghargai kerja keras, kreatifitas
maupun inovasi yang dihasilkan melalui tangan seseorang dalam melakukan pekerjaan. Islam
juga mengharuskan setiap pekerjaan dilakukan secara mabrur, yakni dilakukan dengan
kejujuran, kejelasan dan sesuai dengan syariat.
Aspek Pekerjaan dalam Islam
Aspek pekerjaan dalam Islam meliputi empat hal yaitu :
1. Memenuhi kebutuhan sendiri
Islam sangat menekankan kemandirian bagi pengikutnya. Seorang muslim harus
mampu hidup dari hasil keringatnya sendiri, tidak bergantung pada orang lain. Hal ini
diantaranya tercermin dalah hadist berikut :
Dari Abu Abdillah yaitu az-Zubair bin al-Awwam r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w.
bersabda: “Niscayalah jikalau seseorang dari engkau semua itu mengambil tali-talinya –
untuk mengikat – lalu ia datang di gunung, kemudian ia datang kembali – di negerinya –
dengan membawa sebongkokan kayu bakar di atas punggungnya, lalu
menjualnya,kemudian dengan cara sedemikian itu Allah menahan wajahnya – yakni
dicukupi kebutuhannya, maka hal yang semacam itu adalah lebih baik baginya daripada
meminta-minta sesuatu pada orang-orang, baik mereka itu suka memberinya atau
menolaknya.” (Riwayat Bukhari)
Rosullah memberikan contoh kemandirian yang luar biasa, sebagai pemimpin nabi dan
pimpinan umat Islam beliau tak segan menjahit bajunya sendiri, beliau juga seringkali
turun langsung ke medan jihad, mengangkat batu, membuat parit, dan melakukan

pekerjaan-pekerjaan lainnya. Para sahabat juga memberikan contoh bagaimana mereka
bersikap mandiri, selama sesuatu itu bisa dia kerjakan sendiri maka dia tidak akan
meminta tolong orang lain untuk mengerjakannya. Contohnya, ketika mereka menaiki
unta dan ada barangnya yang jatuh maka mereka akan mengambilnya sendiri tidak
meminta tolong lain.
2. Memenuhi kebutuhan keluarga
Bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang menjadi tanggungannya adalah
kewajian bagi seorang muslim, hal ini bisa dilihat dari hadist berikut :
Rasulullah saw bersabada, “Cukuplah seseorang dianggap berdosa jika ia
menelantarkan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya”. (HR. Ahmad, Abu Daud
dan al-Hakim). Menginfaqkan harta bagi keluarga adalah hal yang harus diutamakan, baru
kemudian pada lingkungan terdekat, dan kemudian lingkungan yang lebih luas.
3. Kepentingan seluruh makhluk
Pekerjaan yang dilakukan seseorang bisa menjadi sebuah amal jariyah baginya,
sebagaimana disebutkan dalam hadist berikut :
Dari Anas, Rasulullah saw bersabda, “tidaklah seorang mukmin menanam tanaman,
atau menabur benih, lalu burung atau manusia atau hewan pun makan darinya kecuali
pasti bernilai sedekah baginya. (HR Bukhari)
4. Bekerja sebagai wujud penghargaan terhadap pekerjaan itu sendiri
Islam sangat menghargai pekerjaan, bahkan seandainya kiamat sudah dekat dan kita
yakin tidak akan pernah menikmati hasil dari pekerjaan kita, kita tetap diperintahkan
untuk bekerja sebagai wujud penghargaan terhadap pekerjaan itu sendiri. Hal ini bisa
dilihat dari hadist berikut :
Dari Anas RA, dari Rasulullah saw, beliau bersabda, “Jika hari kiamat terjadi, sedang di
tanganmu terdapat bibit tanaman, jika ia bisa duduk hingga dapat menanamnya, maka
tanamlah. (HR Bukhari / Kitab Adab al-Mufrad)

Kualitas Etik Kerja
Al-Qur’an menanamkan kesadaran bahwa dengan bekerja berarti kita merealisasikan
fungsi kehambaan kita kepada Allah, dan menempuh jalan menuju ridha-Nya, mengangkat
harga diri, meningkatkan taraf hidup, dan memberi manfaat kepada sesama, bahkan kepada
makhluk lain. Dengan tertanamnya kesadaran ini, seorang muslim atau muslimah akan
berusaha mengisi setiap ruang dan waktunya hanya dengan aktivitas yang berguna.
Semboyangnya adalah “tiada waktu tanpa kerja, tiada waktu tanpa amal.’ Adapun agar nilai
ibadahnya tidak luntur, maka perangkat kualitas etik kerja yang Islami harus diperhatikan.

Berikut ini adalah kualitas etik kerja yang terpenting untuk dihayati :
1) Ash Sholah (baik dan bermanfaat)
Islam hanya memerintahkan atau menganjurkan pekerjaan yang baik dan bermanfaat
bagi kemanusiaan, agar setiap pekerjaan mampu memberi nilai tambah dan mengangkat
derajat manusia baik secara individu maupun kelompok. “Dan masing-masing orang
memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya.” (al-An’am:
132)
2) Al Itqon (Kemantapan atau perfectness)
Kualitas kerja yang itqan atau perfect merupakan sifat pekerjaan Tuhan (baca:
Rabbani), kemudian menjadi kualitas pekerjaan yang islami (an-Naml: 88). Rahmat Allah
telah dijanjikan bagi setiap orang yang bekerja secara itqan, yakni mencapai standar ideal
secara teknis. Untuk itu, diperlukan dukungan pengetahuan dan skillyang optimal.
Dalam konteks ini, Islam mewajibkan umatnya agar terus menambah atau
mengembangkan ilmunya dan tetap berlatih. Suatu keterampilan yang sudah dimiliki
dapat saja hilang, akibat meninggalkan latihan, padahal manfaatnya besar untuk
masyarakat. Karena itu, melepas atau menterlantarkan ketrampilan tersebut termasuk
perbuatan dosa. Konsep itqanmemberikan penilaian lebih terhadap hasil pekerjaan yang
sedikit atau terbatas, tetapi berkualitas, daripadaoutput yang banyak, tetapi kurang
bermutu (al-Baqarah: 263).
3) Al Ihsan (Melakukan yang terbaik atau lebih baik lagi)
Kualitas ihsan mempunyai dua makna dan memberikan dua pesan, yaitu sebagai berikut.
Pertama, ihsan berarti ‘yang terbaik’ dari yang dapat dilakukan. Dengan makna pertama
ini, maka pengertian ihsan sama dengan ‘itqan’. Pesan yang dikandungnya ialah agar
setiap muslim mempunyai komitmen terhadap dirinya untuk berbuat yang terbaik dalam
segala hal yang ia kerjakan.
Kedua ihsan mempunyai makna ‘lebih baik’ dari prestasi atau kualitas pekerjaan
sebelumnya. Makna ini memberi pesan peningkatan yang terus-menerus, seiring dengan
bertambahnya pengetahuan, pengalaman, waktu, dan sumber daya lainnya. Adalah suatu
kerugian jika prestasi kerja hari ini menurun dari hari kemarin, sebagaimana dinyatakan
dalam sebuah hadits Nabi saw. Keharusan berbuat yang lebih baik juga berlaku ketika
seorang muslim membalas jasa atau kebaikan orang lain. Bahkan, idealnya ia tetap
berbuat yang lebih baik,hatta ketika membalas keburukan orang lain (Fusshilat :34, dan
an Naml: 125)
4) Al Mujahadah (Kerja keras dan optimal)
Dalam banyak ayatnya, Al-Qur’an meletakkan kulaitas mujahadah dalam bekerja
pada konteks manfaatnya, yaitu untuk kebaikan manusia sendiri, dan agar nilai guna dari
hasil kerjanya semakin bertambah. (Ali Imran: 142, al-Maidah: 35, al-Hajj: 77, alFurqan: 25, dan al-Ankabut: 69).

Mujahadah dalam maknanya yang luas seperti yang didefinisikan oleh Ulama adalah
”istifragh ma fil wus’i”, yakni mengerahkan segenap daya dan kemampuan yang ada
dalam merealisasikan setiap pekerjaan yang baik. Dapat juga diartikan sebagai mobilisasi
serta optimalisasi sumber daya. Sebab, sesungguhnya Allah SWT telah menyediakan
fasilitas segala sumber daya yang diperlukan melalui hukum ‘taskhir’, yakni
menundukkan seluruh isi langit dan bumi untuk manusia (Ibrahim: 32-33). Bermujahadah
atau bekerja dengan semangat jihad (ruhul jihad) menjadi kewajiban setiap muslim dalam
rangka tawakkal sebelum menyerahkan (tafwidh) hasil akhirnya pada keputusan Allah
(Ali Imran: 159, Hud: 133).
5) Tanafus dan Ta’awun (Kompetisi dan tolong menolong)
Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyerukan persaingan dalam kualitas amal solih.
Pesan persaingan ini kita dapati dalam beberapa ungkapan Qur’ani yang bersifat “amar”
atau perintah. Ada perintah “fastabiqul khairat”(maka, berlomba-lombalah kamu sekalian
dalam kebaikan) (al-Baqarah: 108). Begitu pula perintah “wasari’u ilaa magfirain min
Rabbikum wajannah” `bersegeralah lamu sekalian menuju ampunan Rabbmu dan
surga` Jalannya adalah melalui kekuatan infaq, pengendalian emosi, pemberian maaf,
berbuat kebajikan, dan bersegera bertaubat kepada Allah (Ali Imran 133-135).
Kita dapati pula dalam ungkapan “tanafus” untuk menjadi hamba yang gemar berbuat
kebajikan, sehingga berhak mendapatkan surga, tempat segala kenikmatan (alMuthaffifin: 22-26). Dinyatakan pula dalam konteks persaingan dan ketaqwaan, sebab
yang paling mulia dalam pandangan Allah adalah insan yang paling taqwa(al Hujurat: 13).
Semua ini menyuratkan dan menyiratkan etos persaingan dalam kualitas kerja.
6) Mencermati Nilai Waktu
Jika kita melihat mengenai kaitan waktu dan prestasi kerja, maka ada baiknya dikutip
petikan surat Khalifah Umar bin Khatthab kepada Gubernur Abu Musa al-Asy’ari ra,
sebagaimana dituturkan oleh Abu Ubaid, ”Amma ba’du. Ketahuilah, sesungguhnya
kekuatan itu terletak pada prestasi kerja. Oleh karena itu, janganlah engkau tangguhkan
pekerjaan hari ini hingga esok, karena pekerjaanmu akan menumpuk, sehingga kamu tidak
tahu lagi mana yang harus dikerjakan, dan akhirnya semua terbengkalai.” (Kitab alAmwal, 10)

Lima Prinsip Kerja Seorang Muslim
Berikut adalah lima prinsip kerja seorang muslim:
a. Kerja, Aktivitas, dan Amal
Kerja, aktivitas, amal dalam Islam adalah perwujudan rasa syukur kita kepada nikmat
Allah SWT.
……‫اعملوا آل داود شكرا وقليلل ممن عبادي الشكور‬
“……Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari
hamba-hambaKu yang berterima kasih”, (QS. Saba’ : 13).

b. Berorientasi Pada Pencapaian
Seorang Muslim hendaknya berorientasi pada pencapaian hasil: hasanah fi ad-dunyaa
dan hasanah fi al-Akhirah

‫وومنهم ممن يقول رمبنا آتنا في المدنيا حسنة وفي الخرة حسنة وقنا عذاب المنار‬
“Dan di antara mereka ada orang yang bendo'a: "Ya Tuhan kami, berilah kami
kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka’”,
(QS. Al-Baqarah : 201).
c. Berkarakter al-Qawiyy dan al-Amiin
Dua karakter utama yang hendaknya kita miliki, yaitu: al-Qawiyy dan al-Amiin.
‫قالت إحداههما يا أبت استأجره إمن خير من استأجرت القومي اللأمين‬
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang
yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu
ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya", (QS. AlQashash:
26).
Al-Qawiyy merujuk kepada: reliability, dapat diandalkan. Juga berarti, memiliki
kekuatan fisik dan mental (emosional, intelektual, spiritual). Sementara al-Amiin,
merujuk kepada integrity, satunya kata dengan perbuatan alias jujur, dapat memegang
amanah.
d. Kerja Keras
Ciri pekerja keras adalah sikap pantang menyerah; terus mencoba hingga
berhasil. Kita dapat meneladani ibunda Ismail AS Sehingga seorang pekerja keras
tidak mengenal kata gagal (atau memandang kegagalan sebagai sebuah kesuksesan
yang tertunda).
e. Kerja Cerdas
Cirinya memiliki pengetahuan dan keterampilan; terencana; memanfaatkan
segenap sumberdaya yang ada. Seperti yang tergambar dalam kisah Nabi Sulaeman
AS (Alaihi Salam) jika etos kerja dimaknai dengan semangat kerja, maka etos kerja
seorang Muslim bersumber dari visinya: meraih hasanah fiddunya dan hasanah fi alAkhirah. Jika etos kerja difahami sebagai etika kerja; sekumpulan karakter, sikap,
mentalitas kerja, maka dalam bekerja, seorang Muslim senantiasa menunjukkan
kesungguhan.

Ciri-Ciri Etos Kerja Muslim












Hidup berhemat dan efisien
Ikhlas
Jujur
Memiliki komitmen → Tekad dan
keyakinan, tidak mudah menyerah
Istiqomah
Berdisiplin → berhati-hati dan
tanggungjawab dalam kerja
Konsekuen dan berani menghadapi
tantangan
Memiliki sikap percaya diri
Kreatif
Bertanggungjawab → kerja sebagai
amanah
Mereka bahagia karena melayani/
menolong















Memiliki harga diri
Memiliki jiwa kepemimpinan
Berorientasi ke masa depan
Memiliki jiwa wiraswasta
Memiliki insting bertanding
Mandiri (Independent)
Kecanduan belajar dan haus
mencari ilmu
Memiliki semangat perantauan
Memperhatikan kesehatan dan gizi
Tangguh dan pantang menyerah
Berorientasi pada produktivitas
Memperkaya jaringan silaturahim
Memiliki semangat perubahan.