KONSEPSI MINIMUM MORALITAS DALAM KEHIDUP (4)

KONSEPSI MINIMUM “MORALITAS” DALAM KEHIDUPAN
SEHARI-HARI
Makalah:
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah
Etika Umum

Oleh:
Nama

:

Dedy Agung Winasis

NIM

:

E07215004
Dosen Pengampu:

Drs. H. Mukhlisin Saad, M.Ag


PROGRAM STUDI AKHLAK DAN TASAWUF
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SUNAN AMPEL
SURABAYA
2015

KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur selalu kami panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan
semesta alam. Tuhan yang menganugerahkan akal dan hati kepada manusia
sebagai instrumen untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Hanya atas berkat
limpahan rahmat-Nya, penulis mampu menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas matakuliah Tauhid.
Selawat serta salam selalu kami curahkan kepada public figure / role of
model of the world, junjungan seluruh alam baginda Nabi Muhammad SAW, yang
telah memberantas kebodohan zaman, terutama reformasi pemikiran dan
pencerahan bagi umatnya.
Makalah ini yang berjudul “Konsepsi minimum “moralitas” dalam
kehidupan sehari-hari”. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang
luas dan menjadi sumbangan khazanah pemikiran kepada para pembaca. Kami

menyadari bahwa dalam makalah ini masih sangat banyak kekurangan dan jauh
dari sempurna, baik dari segi penyusunan, bahasan, ataupun penulisannya. Oleh
karena itu, kami mengharapkan kritik dan

saran yang sifatnya membangun,

khususnya dari dosen pengampu matakuliah, guna menjadi acuan dalam bekal
pengalaman bagi kami untuk lebih baik di masa ke depan.

Surabaya, Desember 2015

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dalam keseharian, sering terdengat peristilahan yang menurut
segelintir orang telah dianggap tabu namun mempunyai peran sentral
dalam tatanan hubungan masyarakat. Sebagai makhluk yang dianugerahi

akal budi, naluri dan kesadaran untuk melakukan hubungan tertentu
dengan diri sendiri maupun orang lain—manakala seseorang telah sadar
siapa dirinya, derajat serta martabatnya—lantas mempertanyakan peran
hidupnya, apa yang boleh dilakukan sehingga memang patut dilakukan,
berhak dan pantas dilakukan, dan mana pula hal-hal yang jika dilakukan
akan mendatangkan celaan—sebagai suatu refleksi dari pemikiranpemikiran demikian, oleh karenanya muncullah penilaian perilaku yang
dianggap tidak “etis”, tidak “bermoral” atau tidak “beradab”. Apa
sebanarnya maksud kesemua respon yang tak jarang telah menjadi
fenomena sosial yang membudaya ini? Lalu apa tujuannya? Apakah benar
dan pantas hal demikian disebut penilaian? Atau sekedar gagasan atau
luapan jiwa seseorang yang disematkan kepada orang lain sebagai
perwujudan distorsi pesan dan maksud?
Patut kita sadari dan maklumi, keabsahan informasi memanglah
tidak se-presisi ilmu hitung-menghitung. Sering didapati kerancuan pesan
yang tidak sesuai dengan tujuan informasi semula. Hal yang demikian,
menurut penulis, bukanlah semerta-merta perbedaan dalam hal interpretasi
maupun pemahaman semantic suatu kata, kalimat maupun berita. Namun
lebih dari itu, persoalan paling mendasar adalah pola pikir manusia itu
sendiri yang telah tertanam, ter-mind set sedari kecil—telah tumbuh dalam
kebiasaan sehingga istilah tidak “etis”, tidak bermoral dan beradab

tersebut akan mudah ditandaskan terhadap ucapan, perilaku dan tata cara
seseorang lantaran hal yang demikian merupakan anomali baginya,
Oleh karenanya, term term sederhana ini—mulai dari hal yang
paling dasar saja, perlulah penulis coba selidiki sebagai sebuah sarana
pembelajaran kognitif dalam rangkaian pengamatan dan penilaian terhadap
masalah sosial dalam sebuah tulisan sederhama yang bertemakan :
“KONSEPSI MINIMUM MORALITAS DALAM KEHIDUPAN SEHARIHARI”.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian moral, moralitas dan kaitannya dengan etika.
2. Menggugah kesadaran moral dalam diri seseorang :
I.
Moral dan kebiasaan
II.
Kebenaran moral
III.
Pengaruh hati nurani
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui makna moral dan moralitas, serta perbedaannya
dengan etika sebagai sebuah ilmu.

2. Untuk menumbuhkan kesadaran moral dalam diri manusia.

BAB II
PEMBAHASAN
“KONSEPSI MINIMUM MORALITAS DALAM KEHIDUPAN
SEHARI-HARI”
A. DEFINISI MORAL, MORALITAS DAN KAITANNYA DENGAN
ETIKA SEBAGAI CABANG FILSAFAT
Filsafat moral adalah upaya untuk mensistematisasikan
pengetahuan tentang hakikat moralitas dan apa yang dituntut dari kita—
meminjam istilah dari Socrates, tentang “bagaimana seharusnya kita
hidup” dan mengapa demikian. Maka akan sangat berguna jikalau kita
dapat memulainya dengan sebuah definisi yang sederhana dan tidak
kontroversial mengenai moralitas.1 Pada kesempatan kali ini, penulis
berusaha mengutarakan apa yang disebut dengan istilah “konsepsi
minimum” dari moral dan moralitas yang mudah diterima, dipahami dan
diterapkan.
Kata “moral” secara etimologi mempunyai arti yang sama dengan
“etika”, sekalipun bahasa asalnya berbeda, namun dalam pemaknaannya
secara garis besar dapat dikatakan sama. Menurut hikmat penulis tetap saja

terdapat perbedaan mendasar antara etika dan moral dalam aspek
penekanannya. Jika moral dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai,
maka etika lebih dipakai untuk pengkajian system nilai-nilai yang ada.2
Moral berorientasi pada nilai-nilai atau norma-norma yang diperoleh
secara turun-temurun. Sedangkan etika lebih terfokus pada hal-hal dimana
seseorang memperanyakan perbuatan baik dan buruk, mencari alasan
kenapa harus melakukan yang baik dan menjauhi yang buruk,
mempertanyakannya, mencari sebab-musababnya, meneliti lalu
menyimpulkannya. Dapat disimpulkan bahwa moral adalah suatu ajaran
atau sekte yang didapat dari wahyu, nenek moyang dan sebagainya, seperti
halnya agama. Sementara etika adalah bidang ilmu yang memfokuskan diri
membahas hal-hal demikian—moral.
Sedangkan “moralitas” (dari kata sifat Latin oralis) mempunyai arti
yang pada dasarnya sama dengan “moral”, hanya saja lebih bersifat
abstrak. Berbicara mengenai “moralitas suatu perbuatan”, artinya dari segi
moral suatu perbuatan dapat bernilai baik ataupun buruk. moralitas adalah

1
2


James Rachels, Filsafat Moral, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 17.
A. Charles Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), 13.

sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik
dan buruk.3
Dalam sebuah wacana, kerapkali istilah baik dan buruk disebut
secara bersamaan dan beriringan, namun pertanyaannya. Apa sebenarnya
baik dan buruk itu? Sehingga benar-benar menuntut kita untuk memilih
diantara keduanya sebagai refleksi dari kebebasan manusia yang
dimerdekakan oleh Tuhan. Lalu apakah ada hubungan diantara keduanya?
Dalam penilaian medis contohnya, terdapat istilah tentang sehat
dan tidak sehat. Dapat dikatakan sehat jika fungsi organ bekerja dengan
semestinya dan sebaliknya. Sehat dan sakit rupa-rupanya saling
bertentangan, sama halnya dengan peristilahan baik dan buruk yang
mempunyai arti kontradiktif. Tanpa mengetahui ukuran indah dengan
tepat, toh kita ketahui bahwa lawannya ialah jelek. Sesuatu dikatakan jelek
karena tidak indah. Begitulah jelek itu menunjukkan ketiadaan indah,
negatiflah pengertian jelek.4 Dapat penulis simpulkan, sesuatu dapat
dikatakan baik bila mengandung nilai-nilai yang positif—menimbulkan
sesuatu yang manfaat bagi khalayak umum atau golongan mayoritas dan

dinilai buruk jika bernilai negative dan cenderung merugikan. Tanpa
merujuk pada permasalahan agama pun, semua orang sepakat jikalau
mencuri, merampok, menggunjing dan membunuh itu dianggap buruk dan
bersahaja, toleran dan member pertolongan kepada yang membutuhkan
adalah perbuatan baik. Jadi sebelum adanya wahyu (firman Tuhan) pun,
sesungguhnya akal menusia berpotensi atau mampu membedakan perkara
baik maupun buruk. Permasalahannya, mampukah akal kita berperan hinga
sedemikian kritisnya menilai permasalahan yang amat subtil? Oleh karena
itu, perlulah manusia mulai menumbuhkan kesadarannya guna
memperoleh kebahagiaan serta ketenangan dalam hidupnya.
B. MENGGUGAH KESADARAN MORAL DALAM DIRI
Dimuka telah dijelaskan bahwa moral seringkali disangkutpautkan
dengan kebiasaan yang didapat secara turun-temurun—atau sesuai aturan
serta kaidah yang berlaku. Tidak dapat dipungkiri, fenomena-fenomena
semacam ini memang telah membudaya bagi masyarakat umum. Tak
terkecuali penulis sendiri. Pembahasan pada bab ini akan lebih terfokus
pada proses agar kesadaran moral manusia dapat tergugah yang kemudian
dapat diaplikasikan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.:

K. Bertens, Etika, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011), 7.

Poedjawiyatna, Etika Filsafat Tingkah Laku, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003),
37.
3
4

1. Moral dan adat-istiadat
a. Analisis tentang adat-istiadat
Robert Cavalier membuat pemilahan yang baik antara adat-istiadat
dengan moral, atau menurut istilah dia, antara kebiasaan dan moral.
Menurutnya, kebiasaan dan moral menuntut seseorang untuk berbuat
menurut cara tertentu. Dengan kata lain, keduanya mengarahkan pada
perbuatan volunter atau kesukarelaan. Kegagalan melakukan hal
tersebut biasanya menimbulkan celaan atau hujatan, sementara
menyesuaikan diri dengannya akan mendatangkan pujian. Sebagai adatistiadat murni—tidak berisi atau belum tercampur unsur moral—secara
social dan cultural merupakan peraturan yang disepakati guna
menciptakan keharmonisan dan memungkinkan aspek-aspek social
kehidupan sehari-hari terhindar dari kekacauan dan perselisihan
masyarakat. Adat-istiadat membantu warga setiap masyarakat untuk
menciptakan hubungan social yang harmonis, teratur dan tertib.
Misalnya, kaidah memberi salam dan memperlakukan tamu, hal-hal

semacam ini telah ditentukan oleh budaya masyarakat dan telah
berlangsung sejak dahulu.5
Sudah barang tentu, sebagian parameter factual dapat
mempengaruhi pembentukan adat-istiadat atau kebiasaan, seperti alam,
iklim, keadaan ekonomi, penduduk dan keyakinan agama. Rachels
menekankan fakta adanya banyak factor yang memengaruhi penciptaan
adat istiadat selain dari nilai-nilai yang dianut masyarakat setempat.
Itulah sebabnya, perbedaan dalam adat-istiadat semata tidak
menimbulkan perbedaan dalam segi nilai dan kandungannya.6
b. Analisis tentang moral
Menurut pandangan Aristotelian, yang merupakan pandangan
filsafat Yunani pada umumnya yang dianut luas belakangan, masalah
pokok penelitian etika adalah segala hal yang tercakup dalam gagasan,
apa yang sebenarnya baik atau dikehendaki oleh manusia itu? segala hal
yang secara sadar dipilih atau dilakukan olehnya, bukan sebagai serana
untuk mencapai sebagian tujuan tersembunyi, tetapi untuk dirinya
sendiri.7 Dari paparan pendapat tersebut, didapat bahwa “etika” lebih
pada sifat pribadi dan “moral” cenderung pada adat-istiadat social.
Moral berfungsi untuk menata perbuatan maupun mengarahkan
manusia kepada cita-cita atau tujuan tertentu. Adat-istiadat tidak dengan

Mohammad A. Shomali, Relativisme Etika, (Jakarta: PT Ikrar Mandiriabadi,
2005), 276.
6
Ibid, 278.
7
Ibid.
5

sendirinya—semerta-merta mengarah kepada cita-cita seseorang. Jika
cara bertindak tertentu membantu seseorang dalam mencapai cita-cita
kehidupannya, tentunya ia memiliki anasir moral di dalamnya.
Misalnya, “jika salah satu cara memperlakukan jenazah para kerabat
menunjukkan penghargaan terhadap mereka, tetapi adat atau kebiasaan
lain tidak melakukannya, maka satu unsure moral sosial moralitas
terlibat.” Menjalankan moralitas membutuhkan upaya spiritual yang
sungguh-sungguh dan kebulatan tekad yang kuat, diperlukan kesadaran,
karena biasanya ia bertentangan dengan sifat mementingkan diri sendiri
dan keinginan langsung. Akan tetapi, sejauh menyangkut adat-istiadat
dan tidak ada konflik batin yang terjadi, maka hal itu adalah hasrat
pribdi. Oleh kerena itu, jauh lebih mudah melaksanakan adat-istiadat
sosial daripada kaidah moral. Lagi pula, adat-istiadat sosial merupakan
fenomena sosial sehingga dengan sendirinya tidak berkaitan dengan
kehidupan pribadi yang berada di luar konteks sosial, sementara
moralitas melibatkan aspek-aspek sosial maupun nonsosial.
Sesungghnya moralitas bermula ketika sesorang membuka matanya
pada dunia dan merasakan sendiri kebutuhan untuk menentukan
hubungan tertentu dengan makhluk lain bahkan dengan dirinya sendiri,
baik dalam hal teoritis maupun praksisnya.8
Kini muncul pertanyaan,factor-faktor apa saja yang berpengaruh
dalam menentukan hubungan seseorang dengan makhluk lain atau
dirinya sendiri? Apa yang harus dilakukan dalam hubungan seseorang
dengan orang tuanya? Hubungan dengan kerabatnya maupun hubungan
dengan orang asing? Lalu Apa yang harus dilakukan dalam
hubungannya dengan masyarakat dan alam raya?
Sebagai refleksi dari pertanyaan-pertanyaan di atas, muncul respon
yang beralasan terhadap pertanyaan bergantung pada dua hal. Pertama,
menentukan cita-cita atau tujuan yang relevan. Kedua, menentukan cara
praktis guna merealisasikan cita-cita atau tujuan tersebut. Tanpa
memahami cita-cita yang layak, orang tidak dapat memutuskan apa
yang harus dilakukan. Hanya setelah menimbang cita-citanya, orang
dapat memilih sebuah kebajikan tindakan dan mampu menemukan
alasannya mendasar bagi dirinya maupun orang lain.9
Setelah menentukan cita-citanya, orang menyadari bahwa setiap
hubungan yang mungkin ingin ditetapkan terhadap makhlauk lain (atau
bahkan dirinya sendiri) berada pada satu dari tiga keadaan yang terkait
dengan cita-cita seseorang. Yakni perihal merugikan, netral atau
Ibid, 281.
Franz Magnis Suseno, Model Pendekatan Etika, (Yogyakarta: Kanisius, 2004),
123.
8
9

mendapat bermanfaat. Dengan kata lain, berbagai cara untuk
membentuk sebuah hubungan, maka memungkinkan adanya sesuatu
yang tidak dikehendaki (tidak menyenangkan, netral ataukah
dikehendaki (menyenangkan). Layak dicatat bahwa keadaan ini pada
dasarnya tidak dapat mendorong atau memenuhi perilaku. Hanya saja,
setelah tahu apakah sesuatu itu merugikan, kebanyakan seseorang akan
enggan menjalankannya. Misalnya, orang dapat menjauhkan diri
melakukan hal itu, atau setelah mempertimbangkan sesuatu sebagai
manfaat atau menyenangkan, orang mungkin akan memutuskan untuk
melakukannya. Dengan demikian, factor pendorong atau penentu
apakah seseorang memilih melakukan, diam atau menanggalkan sesuatu
hal adalah apa yang menurutnya merugikan, netral atau bermanfaat
menurut si pelaku, bukan menurut realitas kenyataan. Contoh kecilnya
yakni orang yang tahu bahwa secara fisik merokok merugikan mungkin
saja tetap merokok, jika dia memang yakin bahwa itu bermanfaat atau
menyenangkan, kerena dia mendapatkan hiburan atau ketenangan yang
lebih besar daripada kerugian yang diterimanya.10
Bagaimanapun juga tidak perlu ditekankan bahwa apa yang
sebenarnya mendekatkan seseorang pada cita-cita tujuannya adalah
perbuatan nyata yang benar-benar mendekatkan atau bahkan membawa
orang itu menuju pada cita-cita yang diinginkannya. Karena itu, terlepas
dari fakta bahwa pada saat yang berbeda orang mungkin saja
mempunyai konsepsi yang berbeda, interpretasi yang tidak sama
tentang perbuatan apa yang pantas menurut kasus tertentu, atau dalam
konteks yang berbeda dalam memandang dan juga memberi penilaian
terhadap apa yang harus dilakukan pelaku untuk mendekatkan dirinya
pada cita-citanya tadi, yang dikatakan perbuatan yang benar adalah
perbuatan yang sungguh-sungguh mewujudkan cita-cita tersebut—
kemudian menimbulkan kepuasan batin yang luar biasa..11
2.

Kebenaran moral

Banyak perbuatan manusia berkenaan dengan baik atau buruk—
acapkali moralitas menempati posisi sentral dalam hal penilaian seperti
ini. Moralitas merupakan suatu dimensi nyata dalam kehidupan setiap
manusia, baik pada tahap perorangan maupun sosial. Semua orang
sepakat bahwa moralitas hanya terdapat pada manusia dan tidak
terdapat pada makhluk lain. Perbedaan khas manusia dengan makhluk
William M. Kurtnes & Jacob Gerwitz, Moralitas, Perilaku Moral, Dan
Perkembangan Moral, (Jakarta: UI Press, 1992), 543.
11
Mohammad A. Shomali, Relativisme Etika…, 282.
10

lain menurut pelbagai filsuf ialah factor rasio, kemampuan dalam
menggunakan bahasa, kesanggupan tertawa, dan seterusnya. Mungkin
semua ciri ini dapat diterima sebagai sifat khas manusia. Namun yang
terpenting, manusia dijuluki sebagai binatang plus—oleh sebahagian
filsuf dikarenakan mempunyai kesadaran moral. Moralitas merupakan
suatu cirri khas manusia yang tidak dapat ditemukan pada makhluk
dibawah tingkat manusiawi. Pada tahap binatang contohnya, tidak
ditemukan indikasi kesadaran tentang baik dan buruk, tentang yang
boleh dan tidak boleh, tentang yang harus dilakukan dengan yang
pantas dilakukan.12
Hikmah yang dapat dipetik dari semua peristiwa yang menyangkut
hakikat moralitas ialah pertama, keputusan moral harus didukung oleh
akal yang baik. Kedua, moralitas menuntut pertimbangan
ketidakberpihakan dari setiap kepentingan individual. Seperti, moralitas
dan akal dalam kasus bayi Theresa, Jody dan Mary, dan Tracy Latimer
dan lain sebagainya pastilah melibatkan luapan emosi yang luar biasa
tinggi. Perasaan seperti ini sering merupakan tanda dari seriusnya
masalah moral dan karenanya patut dikagumi. Tetapi perasaan kuat
semacam ini juga dapat menjadi penghambat untuk menemukan
kebenaran jikalau kita merasakan emosi yang kuat terhadap suatu
masalah—lantas memunculkan dugaan bahwa kita tahu manakah
kebenaran yang sesungguhnya, bahkan tanpa harus mempertimbangkan
argumentasi dari sisi lawan. Sayang, kita tidak dapat mengandalkan
perasaan-perasaan demikian karena merupakan hal irasional, semua itu
bukanlah apa-apa selain hasil dari kecurigaan, penekanan kepentingan
diri ataupun pengondisian cultural.13
Jadi, kalaupun seseorang ingin menemukan kebenaran, maka
haruslah mencoba membiarkan perasaan seseorang itu dibimbing—
dituntun sejauh mungkin oleh akal budi dan argumentasinya yang dapat
diberikan untuk melawan pandangan atau khayalannya itu. Moralitas,
pertama-tama dan terutama, merupakan keadaan yang senantiasa
bertautan dengan akal, hal yang secara moral benar dilakukan dalam
lingkup apapun, tetaplah ditentukan dan dilatarbelakangi oleh alasanalasan terbaik untuk melakukannya.14

3. Intervensi hati nurani terhadap kesadaran moral
K. Bertens, Etika…, 14-15.
James Rachels, Filsafat Moral…, 34-35.
14
Ibid, 36.
12
13

Secara harfiah, suara hati (hati nurani) adalah “suara” yang berasal
dari kedalaman hati atau pusat kedirian seseoang dan menegaskan
benar-salahnya suatu tindakan atau kelakuan tertentu berdasarkan suatu
prinsip atau kaidah moral. Dalam kaitan ini suara hati sering kali
disebut sebagai suara Tuhan. Seperti pernah dikatakan oleh John Henry
Newman (1801-1890), “karena sifat mutlak penegasan atau
tuntutannya, suara hati merupakan suatu gejala manusiawi yang
mengatasi keterbatasan manusia dan menunujuk pada realitas yang
mengatasi manusia, yakni Allah sendiri sebagai Maha Mutlak.”15
Secara umum dapat dikatakan, hati nurani adalah “instansi” dalam
diri yang menilai tentang moralitas perbuatan, secara langsung, kini
dan di sini. Dengan hati nurani, manusia melakukan penghayatan
tentang baik atau buruk yang berhubungan dengan tingkah laku konkret
manusia. Menurut K. Bertens, “tidak mengikuti hati nurani berarti
secara tidak langsung telah menghancurkan integritas pribadi dan
menghianati martabat terdalam manusia.16 Lalu? Apa kesamaan suara
hati (hati nurani) dengan kesadaran moral? Apa hati nurani mempunyai
peran dalam menggugah kesadaran moral?
Kesadaran moral merupakan factor penting untuk memungkinkan
tindakan manusia selalu bermoral, berperilaku susila, dan sesuai dengan
norma-norma yang berlaku. Kesadaran moral didasarkan atas nilai-nilai
yang benar-benar esensial dan fundamental. Perilaku manusia yang
berdasarkan atas kesadaran moral, perilakunya akan selalu
direalisasikan sebagaimana yang seharusnya, kapan saja dan dimana
saja. Sekalipun tidak ada orang yang melihatnya, tindakan bermoral
akan selalu dilakukan. Sebab, tindakannya berdasarkan kesadaran,
bukan berdasar pada suatu kekuasaan apa pun dan juga bukan karena
sesuatu paksaan, tetapi berdasarkan “kekuasaan” kesadaran moralnya
itu sendiri.17
kesadaran moral yang telah muncul, berkembang, dan tertuang
dalam kehidupan inilah yang oleh sebagian ilmuan atau peneliti disebut
sebagai kata hati atau suara hati. 18—dan dengan kesadaran ini
diharapkan agar manusia dapat mengenal dirinya sendiri—yang
kemudian berefleksi tentang dirinya. Manusia bukan saja melihat pohon
di kejauhan sana, tetapi ia menyadari juga bahwa dialah yang
melihatnya. Untuk menunjukkan kesadaran moral seseorang, dalam
bahasa latin suara hati biasa disebut conscientia, berasal dari akar kata
J. Sudarminta, Etika Umum; Kajian Tentang Beberapa Masalah Pokok Dan
Teori Etika Normatif, (Yogyakarta: Kanisius, 2013), 63.
16
K. Bertens, Etika…, 56.
17
A. Charles Zubair, Kuliah Etika…, 51.
18
Poedjawiyatna, Etika Filsafat Tingkah Laku…, 28.
15

conscire yang berarti “mengetahui bersama” atau “turut mengetahui”.
Suara hati adalah instansi yang “turut mengetahui” perbuatan-perbuatan
moral kita sebelum menjatuhkan penilaian terhadapnya.19—belum
menjurus ke suatu hubungan baik-buruknya perbuatan, baik-buruknya
manusia.20 Suara manjadi “saksi” sekaligus “hakim” yang menjatuhkan
penilaian dan putusan atas perbuatan manusia. Penegasan suara hati
mendasarkan diri pada pengetahuan tentang hokum moral yang bukan
ciptaan atau berasal dari manusia sendiri, melainkan suatu hokum yang
telah ditetapkan dalam hati setiap insan oleh Tuhan. Manusia sebagai
makhluk rasional turut andil dalam bagian
pengetahuan atau
kebijaksanaan Sang Pencipta. Inilah yang membuat manusia sadar dan
bebas. Berkat rasionalitasnya, manusia menyadari bahwa hokum yang
ditetapkan dari luar oleh Sang Pencipta itu sekaligus merupakan
ketetapannya sendiri dari dalam—terjalinnya korelasi yang bersifat
dinamis antara kesadaran dirinya dan intervensi Tuhan.21
Suara hati (hati nurani) secara ringkas dapat dirumuskan sebagai
kesadaran manusia akan kewajiban moralnya dalam kondisi konkret
atau penegasan tentang benar salahnya suatu tindakan manusia dalam
situasi tertentu berdasarkan hokum moral.22 Sebagai suatu kesadaran,
suara hati mengandaikan adanya pertimbangan akal budi, dan bukan
sekedar ungkapan perasaan spontan belaka. Kesadaran tersebut
memang sering kali bersifat spontan dan tidak menentu—dalam arti
munculnya tidak dapat dikendalikan menurut kemauan seseorang dan
merupakan suatu endapan kesadaran akan nilai yang sudah dibatinkan
atau tertanam sejak kecil. Kesadaran tersebut menegaskan apa yang
menjadi kewajiban moral (tindakan mana yang dianggap baik/wajib
dilaksanakan dan buruk/harus dihindari) oleh seseorang dalam situasi
yang pasti.23 Selain itu, kesadaran moral yang penulis maksudkan
diharapkan dapat berperan penting dan masif sebagai pedoman,
pegangan moral manusia dalam situasi tertentu di saat harus mengambil
suatu keputusan dalam bertindak.24

Etika Umum; Kajian Tentang Beberapa Masalah Pokok Dan Teori Etika
Normatif…, 64.
20
A. Charles Zubair, Kuliah Etika…, 52.
21
Etika Umum; Kajian Tentang Beberapa Masalah Pokok Dan Teori Etika
Normatif…, 65.
22
Djuretna A. Imam Muhni, Moral Dan Religi, (Yogyakarta: Kanisius, 1994),35.
23
Franz Magnis Suseno, Model Pendekatan Etika…, 142-143.
19

24

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Mengutip ungkapan dari seorang tokoh sosialis sekaligus filsuf
Islam—Al Kindi (w. 801) “manusia mempunyai 3 jiwa : jiwa rakus, jiwa
pemarah dan jiwa berakal budi, jikalau manusia dapat menguasai jiwa
yang terakhir (akal budi) niscaya manusia akan dapat mengendalikan
jiwa yang lainnya”. Jika diamati sekilas, tanpa ada intervensi dari manusia
dalam usahanya memaksa kehendak untuk berbuat secara moral dan etika
yang baik, secara fitrah manusia memang cenderung pada arah kebaikan—
jika akal budinya sehat dan mampu melawan daya-daya yang timbul dari
sisi negative manusia itu sendiri. Dapat dikatakan, istilah pembelajaran
moral sebenarnya kurang tepat jika dikaitkan dengan realitas kehidupan
bahwasannya moral atau moralitas itu lebih pada dimana kita melatih diri,
membiasakan diri dalam mengaktualisasikan nilai-nilai positive yang
tertanam dalam hati manusia. Pembelajaran (etika) berfungsi sebagai
factor pendukung saja—terlepas apakah keengganan untuk melakukan
sesuatu selalu berdasar pada tiga hal : apakah itu merugikan, tidak
berdampak (netral) ataupun menguntungkan.
Yang perlu dilakukan sekarang, apakah pendampingan moral
dalam hal teoritis itu cukup dengan mengesampingkan aspek-aspek
empiritas untuk membentuk sebuah karakter? Jika ingin mendapati
jawaban yang relevan atas pertanyaan tersebut, perlu kiranya kita
mengembalikannya kepada kesadaran tiap-tiap individu untuk membuka
diri—minimalnya dapat mengetuk hati dan kemudian memikirkannya.
Diharapkan, tidak hanya lewat pembelajaran teoritis namun juga melatih
diri, menanamkan, mengemplementasikan dan membiasakan untuk
berperilaku etis kepada diri sendiri, orang lain dan lingkungan sekitar
dalam dunia factual.

B. SARAN
Diharapkan agar para pembaca—terutama para mahasiswa maupun
mahasiswi agar ikut terlibat dalam mensukseskan pembentukan karakter
Bangsa sesuai nilai-nilai Islam dan Pancasila. Mengutip fragmen mashur
yang berbunyi “jadikanlah hokum tidak berfungsi dengan cara kita
bermoral.” Suatu jargon singkat penuh arti yang secara tidak langsung
mendiskripsikan kedudukan manusia yang tinggi jika mampu
memfaktualkan nilai-nilai universalitasnya.

DAFTAR PUSTAKA

Suseno, Franz Magnis. 2004. Model Pendekatan Etika. Yogyakarta: Kanisius.
Kurtines, William M & Jacob L. Gerwitz. 1992. Moralitas, Perilaku Moral, Dan
Perkembangan Moral. Jakarta: UI Press.
Rachels, James. 2004. Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius.
K. Bertens. 2011. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Muhni, Djuretna A. Imam. 1994. Moral Dan Religi. Yogyakarta: Kanisius.
Shomali, Mohammad A. 2005. Relativisme Etika. Jakarta: PT Ikrar Mandiriabadi.
Zubair, A. Charris. 1995. Kuliah Etika. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Poedjawiyatna. 2003. Etika Filsafat Tingkah Laku. Jakarta: PT Rineka Cipta.
J. Sudarminta. 2013. Etika Umum; Kajian Tentang Beberapa Masalah Pokok Dan
Teori Etika Normatif. Yogyakarta: Kanisius.