Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Kredit Modal Kerja Dengan Jaminan Hak Tanggungan Pada PT. Bank Sumut Cabang Utama Medan

BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

A. Pengertian Perjanjian
Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan.
Perikatan yang berasal dari perjanjian dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak
yang membuat perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang
dibuat atas dasar kehendak yang berhubungan dengan perbuatan manusia yang
terdiri dari dua pihak.6
Dalam bahasa Belanda, perjanjian disebut juga overeenkomst dan hukum
perjanjian disebut overeenkomstenrecht.7 Hukum perjanjian diatur dalam buku III
BW (KUH Perdata). Pada Pasal 1313 KUH Perdata dikemukakan tentang defenisi
daripada perjanjian. Menurut ketentuan pasal ini, perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih.
Para Sarjana Hukum Perdata umumnya berpendapat bahwa defenisi
perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap dan juga
terlalu luas.8
Menurut R. Subekti, suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana
seseorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal.9 R. Setiawan, menyebutkan bahwa perjanjian ialah


6

Suharnoko, Hukum Perjanjian , (Jakarta, Prenada Media, 2004), hal.. 117
C.S.T. Kansil, Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata , (Jakarta,
Pradnya Paramita, 2006), hal. 17
8
Ibid.
9
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata , (Jakarta, Intermasa, 2001), hal. 36
7

22
Universitas Sumatera Utara

23

suatu perbuatan hukum di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau
saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.10
Dari pendapat-pendapat di atas, maka pada dasamya perjanjian adalah

proses interaksi atau hubungan hukum dan dua perbuatan hukum yaitu penawaran
oleh pihak yang satu dan penerimaan oleh pihak yang lainnya sehingga tercapai
kesepakatan untuk menentukan isi perjanjian yang akan mengikat kedua belah
pihak.
Perjanjian merupakan sumber terpenting dalam suatu perikatan. Menurut
R. Subekti, perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua
pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak
yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.11
Perikatan dapat pula lahir dari sumber-sumber lain yang tercakup dengan nama
undang-undang. Jadi, ada perikatan yang lahir dari perjanjian dan ada perikatan
yang lahir dari undang-undang. Perikatan yang lahir dari undang-undang dapat
dibagi lagi ke dalam perikatan yang lahir karena undang-undang saja (Pasal 1352
KUH Perdata) dan perikatan yang lahir dari undang-undang karena suatu
perbuatan orang. Sementara itu, perikatan yang lahir dari undang-undang karena
suatu perbuatan orang dapat lagi dibagi kedalam suatu perikatan yang lahir dari
suatu perbuatan yang diperoleh dan yang lahir dari suatu perbuatan yang
berlawanan dengan hukum (Pasal 1353 KUH Perdata).

10
R. Setiawan, Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya , (Bandung, Bina Cipta,

1987), hal. 27
11
R. Subekti, Hukum Perjanjian , (Jakarta, Intermasa, 2005), hal. 1

Universitas Sumatera Utara

24

B. Syarat Sahnya Perjanjian
Suatu perjanjian akan mengikat para pihak yang membuatnya apabila
perjanjian tersebut dibuat secara sah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Untuk
sahnya suatu persetujuan (perjanjian) diperlukan 4 syarat, sebagaimana tercantum
pada Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
ad. 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Kesepakatan dalam perjanjian
merupakan perwujudan dari kehendak para pihak dalam perjanjian mengenai
apa


yang

mereka

kehendaki

untuk

dilaksanakan,

bagaimana

cara

melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus
melaksanakan. Kesepakatan merupakan kesesuaian, kecocokan, pertemuan
kehendak dari yang mengadakan perjanjian atau pernyataan kehendak yang
disetujui antara pihak-pihak. Adapun Unsur kesepakatan terdiri atas :
a. Offerte (penawaran) adalah pernyataan pihak yang menawarkan

b. Acceptasi (penerimaan) adalah pernyataan pihak yang menerima
penawaran12
Sebelum para pihak melakukan kesepakatan, maka salah satu pihak dalam
perjanjian tersebut akan menyampaikan apa yang dikendakinya, dengan segala
macam persyaratan yang mungkin dan diperkenankan oleh hukum untuk
12

Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III , (Bandung, Alumni, 2006), hal.

98

Universitas Sumatera Utara

25

disepakati para pihak. Pernyataan kehendak yang disampaikan tersebut dikenal
dengan nama penawaran. Jadi penawaran itu berisikan kehendak dari salah satu
pihak dalam perjanjian, yang disampaikan kepada lawan pihaknya, untuk
memperoleh persetujuan dari lawan pihaknya tersebut.
Pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran selanjutnya harus

menentukan apakah ia menerima tawaran yang disampaikan. Apabila ia menerima
maka tercapailah kesepakatan tersebut. Sedangkan jika ia tidak menyetujui, maka
dapat saja ia mengajukan tawaran balik, yang memuat ketentuan-ketentuan yang
dianggap dapat ia penuhi atau yang sesuai dengan kehendaknya yang dapat
diterima atau dilaksanakan olehnya. Dalam hal terjadi demikian maka
kesepakatan belum tercapai. Keadaan tawar-menawar ini akan terus berlanjut
hingga pada akhirnya para pihak mencapai kesepakatan mengenai hal-hal yang
harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh para pihak dalam perjanjian tersebut. Jadi
kesepakatan itu penting diketahui karena merupakan awal terjadinya perjanjian.
untuk mengetahui kapan kesepakatan itu terjadi ada beberapa macam teori/ajaran
yaitu:
1. Teori pernyataan, mengajarkan bahwa sepakat terjadi saat kehendak pihak
yang menerima tawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu,
misalnya saat menjatuhkan bolpoin untuk menyatakan menerima.
Kelemahannya sangat teoritis karena dianggap terjadinya kesepakatan
secara otomatis.
2. Teori pengiriman, mengajarkan bahwa sepakat terjadi pada saat kehendak
yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran.

Universitas Sumatera Utara


26

Kelemahannya adalah bagaimana hal itu bisa diketahui? Bisa saja
walaupun sudah dikirim tetapi tidak diketahui oleh pihak yang
menawarkan.
3. Teori pengetahuan, mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan
seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima. (walaupun
penerimaan itu belum diterimanya dan tidak diketahui secara langsung).
Kelemahannya, bagaimana ia bisa mengetahui isi penerimaan itu apabila
ia belum menerimanya.
4. Teori penerimaan, mengajarkan kesepakatan terjadi pada saat pihak yang
menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan13
Pernyataan kehendak itu dapat dilakukan secara tegas ataupun secara
diam-diam. Jika dilakukan secara tegas dapat dilakukan secara tertulis,
secara lisan ataupun dengan tanda. Pernyataan kehendak secara tegas yang
dilakukan secara tertulis dapat dilakukan dengan akta di bawah tangan
ataupun dengan akta autentik.
Selanjutnya menurut Pasal 1321 KUH Perdata, kata sepakat harus
diberikan secara bebas, dalam arti tidak ada paksaan, penipuan, dan kekhilafan.

Masalah lain yang dikenal dalam KUH Perdata yakni yang disebut cacat kehendak
(kehendak yang timbul tidak murni dari yang bersangkutan). Tiga unsur cacat
kehendak (Pasal 1321 KUH Perdata)14

13
Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia , (Bandung, Sinar
Grafika, 2003), hal. 30-31.
14
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia , Cet. 1, (Yogyakarta, Pustaka Yustisia,
2009), hal. 51

Universitas Sumatera Utara

27

1. Kekhilafan/kekeliruan/kesesatan/dwaling (Pasal 1322 KUH Perdata):
Sesat dianggap ada apabila pernyataan sesuai dengan kemauan tapi
kemauan itu didasarkan atas gambaran yang keliru baik mengenai orangnya
(disebut eror in persona ) atau objeknya (disebut eror in subtantia ). Cirinya, yakni
tidak ada pengaruh dari pihak lain

2. Paksaan/dwang (Pasal 1323-1327 KUH Perdata).
Paksaan bukan karena kehendaknya sendiri,namun dipengaruhi orang lain.
Paksaan telah terjadi bila perbuatan itu sedemikian rupa sehingga dapat
menakutkan seseorang yang berpikiran sehat dan apabila perbuatan itu dapat
menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya
terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata. Dengan demikian maka
pengertian paksaan adalah kekerasan jasmani atau ancaman (akan membuka
rahasia) dengan sesuatu yang diperbolehkan hukum yang menimbulkan ketakutan
kepada seseorang sehingga ia membuat perjanjian.
3. Penipuan/bedrog (Pasal 1328 KUH Perdata) pihak menipu dengan daya
akalnya menanamkan suatu gambaran yang keliru tentang orangnya atau
objeknya sehingga pihak lain bergerak untuk menyepakati.
Perjanjian itu dapat dibatalkan, apabila terjadi ketiga hal yang disebut di
atas. Dalam perkembangannya muncul unsur cacat kehendak yang keempat yaitu
penyalahgunaan keadaan/undue influence (KUH Perdata tidak mengenal). Pada
hakikatnya ajaran penyalahgunaan keadaan bertumpu pada kedua hal berikut,
yaitu :

Universitas Sumatera Utara


28

a. Penyalahgunaan keunggulan ekonomi;
b. Penyalahgunaan keunggulan kejiwaan termasuk tentang psikologi,
pengetahuan, dan pengalaman.
Di dalam penyalahgunaan keadaan tidak terjadi ancaman fisik hanya
terkadang salah satu pihak punya rasa ketergantungan, suatu hal darurat, tidak
berpengalaman, atau tidak tahu. Jika hal ini dikaitkan dengan pelayanan kesehatan
dalam hal informed consent (Persetujuan Tindakan Kedokteran), maka
kesepakatan para pihak untuk saling mengikatkan dirinya timbul jika pasien atau
keluarga terdekat pasien setuju untuk dilakukannnya tindakan medis/kedokteran,
setelah sebelumnya dokter memberikan informasi atau penjelasan yang jelas
mengenai apa saja yang berkaitan dengan tindakan medis/kedokteran yang akan
dilakukan terhadap pasien sebagaimana tercantum pada Pasal 7 ayat (3)
PERMENKES No 290 tahun 2008.
ad.2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Pada Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah
cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika ia oleh undang-undang tidak
dinyatakan tak cakap. Pada Pasal 1330 KUH Perdata lebih lanjut dinyatakan
bahwa yang tidak cakap membuat perjanjian adalah :

a. Orang-orang yang belum dewasa;
b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
c. Orang-orang perempuan (wanita bersuami);
d. Orang yang dilarang undang-undang untuk membuat perjanjian tertentu.

Universitas Sumatera Utara

29

e. Mengenai ketentuan yang ada pada nomor urut ketiga pada Pasal 1330
KUH Perdata yang ada di atas, berkenaan dengan kedudukan orang-orang
perempuan (wanita bersuami) yang dianggap tidak cakap untuk membuat
perjanjian telah dihapus, dengan keluarnya SEMA (Surat Edaran
Mahkamah Agung) Nomor 3 Tahun 1963 (selanjutnya disebut SEMA No.
3/1963), yang menyatakan bahwa perempuan bersuami cakap untuk
melakukan perbuatan hukum. Serta keluarnya Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (Selanjutnya disebut UUP No. 1/1974)
yang menyatakan bahwa hak dan kedudukan suami-istri seimbang dan
masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum, hal ini dapat
dilihat pada Pasal 31 undang-undang tersebut.
Mereka yang belum cukup umur menurut Pasal 1330 KUH Perdata adalah
mereka yang belum genap 21 tahun dan belum menikah. Agar mereka yang belum
dewasa dapat melakukan perbuatan hukum maka harus diwakili oleh
wali/perwalian (Pasal 331-414 KUH Perdata). Perwalian adalah pengawasan atas
orang (anak-anak yang belum dewasa yang tidak ada di bawah kekuasaan
orangtua) sebagaimana diatur dalam undang-undang dan pengelolaan barangbarang dari anak yang belum dewasa15
Mereka yang diletakkan di bawah pengampuan diatur dalam Pasal 433462 KUH Perdata tentang pengampuan. Pengampuan adalah keadaan dimana
seseorang (disebut curandus) karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap
atau tidak di dalam segala hal cakap untuk bertindak sendiri (pribadi) di dalam

15

Ibid., hal. 53

Universitas Sumatera Utara

30

lalu lintas hukum, karena orang tersebut (curandus) oleh putusan hakim
dimasukkan ke dalam golongan orang yang tidak cakap bertindak dan lantas
diberi seorang wakil menurut undang-undang yang disebut pengampu
(curator/curatrice), sedangkan pengampuannya disebut curatele. Sifat-sifat
pribadinya yang dianggap tidak cakap adalah (Pasal 433 KUH Perdata) :
1. Keadaan dungu;
2. Sakit ingatan/gila/mata gelap (dianggap tidak cakap melaksanakan sendiri
hak dan kewajibannya);
3. Pemboros dan pemabuk (ketidakcakapan bertindak terbatas pada
perbuatan-perbuatan dalam bidang hukum harta kekayaan saja).16
Pengampuan terjadi karena putusan hakim yang didasarkan adanya
permohonan. Yang dapat mengajukan permohonan diatur di dalam Pasal 434-435
KUH Perdata yaitu, keluarga, diri sendiri, dan jaksa dari kejaksaan.17 Akibat
hukum dari perbuatan yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap berbuat
berdasar penentuan hukum ialah dapat dimintakan pembatalan (Pasal 1331 ayat
(1) KUH Perdata).18
ad.3. Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu disini berbicara tentang objek perjanjian (Pasal 1332 s/d
1334 KUH Perdata). Objek perjanjian yang dapat dikategorikan dalam Pasal
tersebut yaitu :

16

Ibid., hal. 53-54
Juni Rahardjo, Hukum Administrasi Indonesia Pengetahuan Dasar , (Yogyakarta,
Atma Jaya, 1995), hal. 79.
18
Handri Raharjo, Op.Cit.
17

Universitas Sumatera Utara

31

a. Objek yang akan ada (kecuali warisan), asalkan dapat ditentukan jenis dan
dapat dihitung
b. Objek yang dapat diperdagangkan (barang-barang yang dipergunakan
untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi objek perjanjian)19
Suatu perjanjian harus mempunyai objek suatu barang yang paling sedikit
ditentukan jenisnya, sedangkan mengenai jumlahnya dapat tidak ditentukan pada
waktu dibuat perjanjian asalkan nanti dapat dihitung atau ditentukan jumlahnya
(Pasal 1333 KUH Perdata).
ad.4. Suatu sebab yang halal
Sebab yang dimaksud adalah isi perjanjian itu sendiri atau tujuan dari para
pihak mengadakan perjanjian (Pasal 1337 KUH Perdata). Halal adalah tidak
bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan20
Syarat ini merupakan mekanisme netralisasi, yaitu sarana untuk
menetralisir terhadap prinsip hukum perjanjian yang lain yaitu prinsip kebebasan
berkontrak. Prinsip mana dalam KUH Perdata ada dalam Pasal 1338 ayat (1) yang
pada intinya menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah memiliki
kekuatan yang sama dengan undang-undang. Adanya suatu kekhawatiran terhadap
azas kebebasan berkontrak ini bahwa akan menimbulkan perjanjian-perjanjian
yang dibuat secara ceroboh, karenanya diperlukan suatu mekanisme kebebasan
berkontrak ini tidak disalahgunakan. Sehingga diperlukan penerapan prinsip moral
dalam suatu perjanjian. sehingga timbul syarat suatu sebab yang halal sebagai
salah satu syarat sahnya perjanjian. Itu sebabnya suatu perjanjian dikatakan tidak
19
20

Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit., hal. 104-105
Handri Raharjo, Op.Cit., hal. 57.

Universitas Sumatera Utara

32

memiliki suatu sebab yang halal atau suatu sebab yang terlarang jika perjanjian
tersebut antara lain melanggar prinsip kesusilaan atau ketetiban umum disamping
melanggar perundang-undangan hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 1337
KUH Perdata.
“Syarat kesepakatan dan syarat kecakapan di atas biasa disebut syarat
subjektif, yakni mengenai subjeknya, bila syarat ini tidak dipenuhi maka
perjanjian dapat dibatalkan (untuk membatalkan perjanjian itu harus ada inisiatif
minimal dari salah satu pihak yang merasa dirugikan untuk membatalkannya)”21
Batas waktu untuk membatalkannya 5 tahun (Pasal 1454 KUH Perdata). Syarat
suatu hal tertentu dan sebab yang halal disebut syarat objektif yaitu syarat
mengenai objeknya, bila syarat ini tidak dipenuhi maka perjanjian batal demi
hukum (sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian sehingga tidak perlu
pembatalan)22

C. Asas-asas Hukum Perjanjian
Asas-asas hukum adalah pikiran-pikiran dasar yang ada di dalam dan
belakang tiap-tiap sistem hukum, yang telah mendapat bentuk sebagai perundangundangan atau putusan pengadilan, dan ketentuan-ketentuan dan keputusan itu
dapat dipandang sebagai penjabarannya. Dengan demikian, asas-asas hukum
selalu merupakan fenomena yang penting dan mengambil tempat yang sentral
dalam hukum positif.23

21

R. Subekti, Op.Cit., hal. 20.
Ibid.
23
Nyoman Serikat Putra Jaya, Politik Hukum, (Semarang, Undip, 2007), hal. 23
22

Universitas Sumatera Utara

33

Asas-asas hukum berfungsi sebagai pendukung bangunan hukum,
menciptakan harmonisasi, keseimbangan dan mencegah adanya tumpang tindih
diantara semua norma hukum yang ada. Asas hukum juga menjadi titik tolak
pembangunan

sistem

hukum

dan

menciptakan

kepastian

hukum

yang

diberlakukan dalam masyarakat. Berdasarkan teori ini, di dalam suatu hukum
kontrak terdapat lima asas yang dikenal menurut ilmu hukum perdata. Kelima
asas itu antara lain adalah: asas kebebasan berkontrak (freedom of contract), asas
konsensualisme (consensualism), asas kepastian hukum (pacta sunt servanda ),
asas itikad baik (good faith) dan asas kepribadian (personality). Berikut ini adalah
penjelasan mengenai asas-asas dimaksud antara lain:24
1. Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract)
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat
(1) KUH Perdata, didalam pasal tersebut dinyatakan bahwa : “Semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.” Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan
kepada para pihak untuk:
a. Membuat atau tidak membuat perjanjian;
b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun;
c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
d. Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.25
2. Asas konsensualisme (consensualism)

24
S. Imran, Asas-Asas Dalam Berkontrak: Suatu Tinjauan Historis Yuridis Pada Hukum
Perjanjian (Artikel Hukum Perdata: www.legalitas.org, 2007), diakses tanggal 10 Oktober 2014
25
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

34

Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH
Perdata. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian
adalah adanya kata sepakat antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas
yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal,
melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan
adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah
pihak. Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum
Jerman. Dalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi
lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil
adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum
adat disebut secara kontan). Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian
yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun
akta bawah tangan). Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis
litteris dan contractus innominati. Artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila

memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal
dalam KUH Perdata adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.26
3. Asas kepastian hukum (pacta sunt servanda )
Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda
merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt
servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati

substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah
undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi

26

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

35

kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan
dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata27
4. Asas itikad baik (good faith)
Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata
didalam pasal tersebut dinyatakan bahwa: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan
itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan
debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau
keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik
terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada
itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata
dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan
keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak
memihak) menurut norma-norma yang objektif.28
5. Asas kepribadian (personality)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang
yang akan melakukan perjanjian hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal
ini dapat dikatakan dari isi Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Dalam Pasal
1315 KUH Perdata dinyatakan bahwa: Pada umumnya seseorang tidak dapat
mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.29 Inti ketentuan
ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus
untuk kepentingan dirinya sendiri. Dalam Pasal 1340 KUH Perdata dinyatakan
bahwa, “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.” Hal ini
27

Ibid.
Ibid.
29
Ibid.
28

Universitas Sumatera Utara

36

mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku
bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu

ada

pengecualiannya sebagaimana diintridusir dalam Pasal 1317 KUH Perdata
dinyatakan bahwa “dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak
ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian
kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.” Pasal ini
mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian/kontrak untuk
kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan
di dalam Pasal 1318 KUH Perdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri
sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang
yang memperoleh hak daripadanya. Jika dibandingkan kedua pasal itu maka pasal
1317 KUH Perdata mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan
dalam Pasal 1318 KUH Perdata untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya
dan orang-orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya. Dengan demikian,
Pasal 1317 KUH Perdata mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal
1318 KUH Perdata memiliki ruang lingkup yang luas.30

D. Bentuk-Bentuk dan Fungsi Perjanjian
Fungsi perjanjian dapat dibedakan menjadi dua macam 31, yaitu fungsi
yurudis dan fungsi ekonomis. Fungsi yuridis perjanjian adalah dapat memberikan
kepastian hukum para pihak, sedangkan fungsi ekonomis adalah menggerakkan
(hak milik) sumber daya dari nilai penggunaan yang lebih rendah menjadi nilai

30

Ibid.
Eghasyamgrint.Wordpress.Com/2011/05/21/Fungsi Perjanjian, diakses tanggal 10
Oktober 2014
31

Universitas Sumatera Utara

37

yang lebih tinggi. Biaya dalam Pembuatan Perjanjian Biaya penelitian, meliputi
biaya penentuan hak milik yang mana yang diinginkan dan biaya penentuan
bernegosiasi, Biaya negosiasi, meliputi biaya persiapan, biaya penulisan kontrak,
dan biaya tawar-menawar dalam uraian yang rinci, Biaya monitoring, yaitu biaya
penyelidikan tentang objek, Biaya pelaksanaan, meliputi biaya persidnagan dan
arbitrase, Biaya kekeliruan hukum, yang merupakan biaya sosial.

E. Berakhirnya Perjanjian
Suatu perjanjian pada umumnya berakhir apabila tujuan itu telah tercapai,
dimana masing-masing pihak telah memenuhi prestasi yang diperjanjikan
sebagaimana yang merupakan kehendak bersama dalam mengadakan perjanjian
tersebut. Selain cara berakhirnya perjanjian seperti yang disebutkan di atas,
terdapat beberapa cara lain untuk mengakhiri perjanjian, yaitu :32
1. Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak. Misalnya, dalam perjanjian
itu telah ditentukan batas berakhirnya perjanjian dalam waktu tertentu;
2. Undang-undang menentukan batas berlakunya perjanjian. Misalnya, Pasal
1250 KUH Perdata yang menyatakan bahwa hak membeli kembali tidak
boleh diperjanjikan untuk suatu waktu tertentu yaitu tidak boleh lebih dari
5 tahun;
3. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan
terjadinya peristiwa tertentu maka perjanjian akan berakhir. Misalnya,
apabila salah satu pihak meninggal dunia maka perjanjian akan menjadi

32

Gunawan Widjaja, Memahami Prinsip Keterbukaan dalam Hukum Perdata , (Jakarta,
Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 387

Universitas Sumatera Utara

38

hapus (Pasal 1603 KUH Perdata) yang menyatakan bahwa hubungan kerja
berakhir dengan meninggalnya si buruh;
4. Karena persetujuan para pihak;
5. Pernyataan penghentian pekerjaan dapat dikarenakan oleh kedua belah
pihak atau oleh salah satu pihak hanya pada perjanjian yang bersifat
sementara;
6. Berakhirnya perjanjian karena putusan hakim;
7. Tujuan perjanjian sudah tercapai;
8. Karena pembebasan utang.

Universitas Sumatera Utara