Tinjauan Yuridis Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan Yang Objeknya Tanah Dengan Status Hak Guna Usaha Pada Bank Sumut Cabang Medan

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Artadi, I Ketut, dkk, Implementasi Ketentuan Hukum Perjanjian Ke Dalam Perancangan Kontrak,Udayana University Press, Denpasar, 2010.

Basuki, Sunaryo, HGU, HGB, Hak Pakai Sebagaimana diatur Lebih Lanjut Dalam PP No.40 Tahun 1996, Mata Kuliah Hukum Pokok-Pokok Hukum Tanah Nasional, Magister Kenotariatan dan Pertanahan Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, Jakarta, 2007.

Fuady, Munir. Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.

Garner, Bryan A., Black’s Law Dictionary abrid ged seventh edition, West Group, United States of America, 2000.

Harsono, Budi, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan, 2008.

Irmayanto, Juli dkk, Bank dan lembaga keuangan, Universitas Trisakti, jakarta 2004.

Joseph, Nortan (Ed), Commercial Loan Documentation Guide, NewYork, Mathew Bender and co,1989, chapter 11.02 dikutip dari buku Johannes Ibrahim, Bank Sebagai Lembaga Internasional dalam Hukum, CV.Utama, Bandung, 2004.

Jusuf, Jopie. Kriteria Jitu Memperoleh kredit bank, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta 2003.

Kansil, CTS. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002.

Kasmir. Dasar-Dasar Perbankan. Jakarta PT Rajagrafindo Persada, 2010. Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja. Hak Tanggungan. Kencana Prenada Media.

Jakarta, 2005.


(2)

Patrik, Purwahid dan Kashadi, Hukum Jaminan, Edisi Revisi dengan Undang-Undang Hak Tanggungan, Semarang, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 2008.

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,Bandung, 2000.

Santoso, Urip. Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, 2005. Sihombing,BF. Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah

Indonesia, PT. Toko Gunung Agung Tbk, Jakarta,2010.

Subagyo P. Joko, Metode penelitian Dalam Teori dan Praktek ̧ Cetakan Kelima, Rineka Cipta, Jakarta, 2006.

Sutedi, Adrian Hukum Hak Tanggungan,Sinar Grafika, Jakarta, 2012.

Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Alfabeta CV, Bandung, 2003.

Sjahdeni, Sutan Remy. Kredit Sindikasi Proses Pembentukan dan Aspek Hukum, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta,1997.

Sumardjono, Maria. Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2008.

Usman, Rachmadi. Hukum Kebendaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

Widiyono, Try, Agunan Kredit dalam Financial Engineering, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2009.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 23/69/KEP/DIR tentang jaminan pemberian kredit.

Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah.


(3)

Pasal 9 Keppres Nomor 55/1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Makalah

Ni Made Irpiana Prahandari, Penguasaan Hak Milik Atas Tanah Milik Warga Negara Indonesia Oleh Warga Negara Asing Dengan Akta Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (Studi Kasus), Program Magister Program Studi Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar 2014. Website

http://jengjangkrik.blogspot.co.id/2011/05/objek-hak-tanggungan.html (diakses tanggal 3 Januari 2016).

http://myrizal-76.blogspot.co.id/2011/08/komentar-singkat-tentang-hak-tanggungan.html (diakses tanggal 1 Mei 2015)

Wawancara

Hasil wawancara dengan M. Asral Nasution, selaku Pimpinan Divisi Sumber Daya Manusia Bank Sumut Kantor Pusat, 3 Juni 2015.


(4)

A. Pengertian Hak Tanggungan

Hak tanggungan menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 UUHT adalah “hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan atas tanah, yang selanjutnya disebut hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kreditur tertentu dengan kreditur-kreditur lainnya”.

Di samping itu, Pasal 51 UUPA, telah menegaskan jaminan atas tanah, yang menyatakan bahwa hak tanggungan yang dapat dibebankan pada hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan tersebut dalam Pasal 25, 33, dan 39 diatur dengan undang-undang

Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan dari rumusan Pasal 1 angka (1) UUHT dapat diketahui bahwa: “pada dasarnya suatu hak tanggungan adalah suatu bentuk jaminan pelunasan utang, dengan hak mendahului, dengan objek jaminan berupa hak-hak atas tanah yang diatur dalam UUPA”.28

Budi Harsono, pengertian Hak Tanggungan adalah penguasaan hak atas tanah, berisi kewenangan bagi kreditur untuk berbuat sesuatu mengenai tanah       

28Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja. Hak Tanggungan. Kencana Prenada Media. Jakarta, 2005, hal 13.


(5)

yang dijadikan agunan. Tetapi bukan untuk dikuasai secara fisik dan digunakan, melainkan untuk menjualnya jika debitur cidera janji dan mengambil dari hasilnya seluruhnya atau sebagian pembayaran lunas utang debitur kepadanya.29

Prinsipnya, Hak Tanggungan itu merupakan lembaga hak jaminan kebendaan atas hak atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lain. Jaminan yang diberikan yaitu hak yang diutamakan atau mendahulu dari kreditur-kreditur lainnya bagi kreditur-kreditur pemegang hak tanggungan.

Ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUHT menyebutkan bahwa Hak atas Tanah yang dapat dibebani dengan Hak Tanggungan adalah:30

1. Hak Milik; 2. Hak Guna Usaha; 3. Hak Guna Bangunan.

Hak-hak atas Tanah seperti ini merupakan hak-hak yang sudah dikenal dan diatur di dalam UUPA. Namun selain hak-hak tersebut, ternyata dalam Pasal 4 ayat (2) UUHT ini memperluas hak-hak tanah yang dapat dijadikan jaminan hutang selain hak-hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UUHT, objek hak tanggungan dapat juga berupa:

a. Hak Pakai atas tanah Negara. Hak Pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib di daftarkan dan menurut sifatnya dapat di pindahtangankan dan dibebani dengan hak tanggungan;

      

29Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2008, hal. 24

30 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal .146


(6)

b. Begitu pula dengan Rumah Susun dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai yang diberikan oleh Negara (Pasal 27 jo Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun) juga dimasukkan dalam objek hak tanggungan. Bahkan secara tradisional dari Hukum Adat memungkinkan bangunan yang ada diatasnya pada suatu saat diangkat atau dipindahkan dari tanah tersebut.

Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) menetapkan bahwa hak guna bangunan dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan. UUHT tidak memerinci hak guna bangunan yang mana yang dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak tanggungan. Hak guna bangunan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun1996 Tentang Hak Tanggungan ada tiga macam, yaitu Hak Guna Bangunan atas tanah negara, Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan dan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik. Dari tiga macam Hak Guna Bangunan tersebut seharusnya UUHT menetapkan bahwa hanya Hak Guna Bangunan atas tanah negara dan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan yang dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan, sedangkan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik tidak dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan, dikarenakan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik meskipun wajib didaftar akan tetapi tidak dapat dipindahtangankan kepada pihak lain.

Berkenaan dengan subjek Hak Tanggungan ini diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 9 UUHT, dari ketentuan dua Pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa yang


(7)

menjadi subjek hukum dalam hak tanggungan adalah subjek hukum yang terkait dengan perjanjian pemberi hak tanggungan. Di dalam suatu perjanjian hak tanggungan ada dua pihak yang mengikatkan diri, yaitu sebagai berikut:31

1. Pemberi Hak Tanggungan, yaitu orang atau pihak yang menjaminkan objek hak tanggungan (debitur);

2. Pemegang Hak Tanggungan, yaitu orang atau pihak yang menerima Hak Tanggungan sebagai jaminan dari pihutang yang diberikannya.

Ketentuan Pasal 8 dan Pasal 9 UUHT memuat ketentuan mengenai subjek Hak Tanggungan, yaitu sebagai berikut :

1. Pemberi Hak Tanggungan, adalah orang perorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan pada saat pendaftaran hak tanggungan itu dilakukan;

2. Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang mendapatkan pelunasan atas pihutang yang diberikan

Berkenaan Hak Tanggungan yang dapat menjadi subjek hak tanggungan selain Warga Negara Indonesia adalah Warga Negara Asing. Dengan ditetapkannya hak pakai atas tanah negara sebagai salah satu objek hak tanggungan, bagi warga negara asing juga dimungkinkan untuk dapat menjadi subjek hak tanggungan apabila memenuhi syarat. Sebagai pemegang hak tanggungan yang berstatus Warga Negara Indonesia, badan hukum Indonesia, Warga Negara Asing atau badan hukum asing tidak disyaratkan harus       


(8)

berkedudukan di Indonesia. Oleh karena itu jika perjanjian kreditnya dibuat di luar negeri dan pihak pemberi kreditnya orang asing atau badan hukum asing yang berdomisili di luar negeri dapat pula menjadi pemegang Hak Tanggungan, sepanjang perjanjian kredit yang bersangkutan dipergunakan untuk kepentingan pembangunan di wilayah Republik Indonesia penjelasan Pasal 10 ayat (1) UUHT. Apabila salah satu pihak, pemberi hak tanggungan atau pemegang hak tanggungan, berdomisili di luar Indonesia baginya harus pula mencantumkan domisili pilihan di Indonesia dan dalam hal domisili pilihan itu tidak dicantumkan, Kantor Pejabat Pembuat Akta Tanah tempat pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) dianggap sebagai domisili yang dipilih.Bagi mereka yang akan menerima hak tanggungan, haruslah memperhatikan ketentuan dari Pasal 8 ayat (2) UUHT yang menentukan, bahwa kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (1) UUHT tersebut di atas harus ada (harus telah ada dan masih ada) pada pemberi hak tanggungan pada saat pendaftaran hak tanggungan dilakukan.

Pengaturan mengenai jaminan hak tanggungan diatur dalam UUHT, yaitu UUHT. Selain melaksanakan amanat UUPA, kelahiran UUHT didasarkan pula pada pertimbangan untuk member kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam pemberian kredit dengan membebankan hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah sebagai jaminan kredit serta untuk menciptakan keseragaman hukum jaminan hak atas tanah32

      


(9)

B. Hak Guna Usaha Sebagai Objek Hak Tanggungan

Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu paling lama 25 tahun. Hak Guna Usaha merupakan hak khusus untuk mengusahakan tanah yang bukan miliknya sendiri guna perusahaan, pertanian, perikanan dan peternakan Hak guna usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.33 Pengaturan HGU terdapat pada Pasal 28-34 UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Pasal 2-18.

Di dalam UUPA Pasal 28 ayat (1) menyebutkan bahwa Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan. Sebelum terbitnya UUPA, pengertian tanah negara ditemukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1953 (L.N. 1953, No. 14, T.L.N. No. 362). Dalam Peraturan Permerintah tersebut tanah negara dimaknai sebagai tanah yang dikuasai penuh oleh negara. Substansi dari pengertian tanah negara ini adalah tanah-tanah memang bebas dari hak-hak yang melekat diatas tanah tersebut, apakah hak barat maupun hak adat (vrij landsdomein). Dengan terbitnya UUPA tahun 1960, pengertian tanah Negara ditegaskan bukan dikuasai penuh akan tetapi merupakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.34 Artinya, negara di kontruksikan bukan sebagai pemilik tanah. negara sebagai organisasi kekuasaan rakyat yang bertindak selaku badan penguasa, yang diberikan wewenang dalam hal sebagai berikut :

      

33 http://jengjangkrik.blogspot.co.id/2011/05/objek-hak-tanggungan.html (diakses tanggal 3 Januari 2016).

34 Penjelasan Umum II (2) UUPA yang secara jelas meyatakan prinsip untuk mencapai apa yang ditentukan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar tidak perlu dan tidaklah pula pada tempatnya, bahwa bangsa Indonesia ataupun Negara bertindak sebagai pemilik tanah.


(10)

1. mengatur dan menyelengarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya;

2. menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu;

3. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai buni, air dan ruang angkasa.”

Setelah lahirnya UUPA, di dalam berbagai peraturan perundang-undangan disebutkan bahwa pengertian tanah negara adalah tanah yang tidak dilekati dengan sesuatu hak atas tanah. Atas pemahaman konsep dan peraturan perundang-undangan tentang pengertian tanah negara dapat ditarik kesimpulan dalam tataran yuridis bahwa terdapat dua kategori tanah negara dilihat dari asal usulnya:

1. Tanah negara yang berasal dari tanah yang benar-benar belum pernah ada hak atas tanah yang melekatinya atau disebut sebagai tanah negara bebas; 2. Tanah negara yang berasal dari tanah-tanah yang sebelumnya ada haknya,

karena sesuatu hal atau adanya perbuatan hukum tertentu menjadi tanah negara. Tanah bekas hak barat, tanah dengan hak atas tanah tertentu yang telah berakhir jangka waktunya, tanah yang dicabut haknya, tanah yang dilepaskan secara sukarela oleh pemiliknya.35

Ciri-ciri yang melekat pada hak menurut hukum, dalam catatan, mengandung unsur-unsur sebagai berikut :36

      

35 BF Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, PT. Toko Gunung Agung Tbk, Jakarta, 2010, hal. 79


(11)

a. Hak itu dilekatkan kepada seseorang yang disebut sebagai pemilik atau subjek dari hak itu. Ia juga disebut sebagai orang yang memiliki titel atas barang yang menjadi sasaran dari pada hak.

b. Hak itu tertuju kepada orang lain, yaitu yang menjadi pemegang kewajiban. Antara hak dan kewajiban terdapat hubungan korelatif.

c. Hak yang ada pada seseorang ini mewajibkan pihak lain untuk melakukan (commission) atau tidak melakukan (omission) sesuatu perbuatan, yang disebut sebagai isi dari pada hak

d. Commission atau omission itu menyangkut sesuatu yang disebut sebagai objek dari hak,

e. Setiap hak menurut hukum mempunyai titel, yaitu suatu peristiwa tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu kepada pemiliknya.

Suatu hak hanya dimungkinkan diperoleh apabila orang atau badan yang akan memiliki hak tersebut cakap secara hukum untuk menghaki objek yang menjadi haknya. Pengertian yang termasuk pada hak meliputi, hak dalam arti sempit yang dikorelasikan dengan kewajiban, kemerdekaan, kekuasaan dan imunitas. Adapun subjek yang dapat memegang Hak Guna Usaha telah diatur dalam Pasal 30 UUPA yang menjelaskan subjek hukum yang dapat menjadi pemegang hak atas tanah, yaitu :

a. Warga Negara Indonesia

Sebagai subjek hukum, warga negara Indonesia memiliki otoritas untuk melakukan kewajiban dan mendapatkan haknya. Dengan kata lain, warga negara Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan suatu perbuatan


(12)

hukum tertentu, misalnya mengadakan suatu perjanjian, mengadakan perkawinan, membuat surat wasiat, dan lain sebagainya termasuk mengadakan suatu perbuatan hukum yang menyangkut dengan tanah dan hak-hak atas tanah37 Pada prinsipnya setiap orang adalah subjek hukum (natuurljik persoon). Dikaitkan dengan kemampuan menjunjung hak dan kewajiban, orang akan menjadi subjek hukum apabila perorangan tersebut mampu mendukung hak dan kewajibannya. Dalam pengertian ini, maka orang-orang yang belum dewasa, orang yang dibawah perwalian dan orang yang dicabut hak-hak keperdataanya tidak dapat digolongkan sebagai subjek hukum dalam konteks kemampuan menjunjung hak dan kewajiban. Intinya, ada ketentuan-ketentuan tertentu yang harus dipenuhi agar seseorang warga negara dapat digolongkan sebagai subjek hukum, yaitu :

1) telah dewasa (jika telah mencapai usia 21 tahun ke atas)

2) tidak berada dibawah pengampuan (curatele), dalam hal ini seseorang yang dalam keadaan gila, mabuk, mempunyai sifat boros, dan mereka yang belum dewasa.

b. Badan Hukum Indonesia

Badan hukum juga disebut sebagai pendukung hak dan kewajiban yang tidak berjiwa. Perbedaannya dengan subjek hukum orang perorangan adalah badan hukum itu hanya dapat bergerak bila ia dibantu oleh subjek hukum orang. Artinya, ia tidak dapat melakukan perbuatan hukum tanpa didukung oleh

      


(13)

pihak-pihak lain. Selain itu, badan hukum tidak dapat dikenakan hukuman penjara (kecuali hukuman denda).38

Untuk dapat menjadi subjek HGU, badan hukum harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu :

1. Didirikan menurut ketentuan hukum Indonesia 2. Berkedudukan di indonesia.

Hal ini membawa konsekwensi bahwa setiap badan hukum, selama didirikan menurut ketentuan hukum dan berkedudukan di Indonesia dapat menjadi subjek hak guna usaha. Apabila tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana di atas, maka berdasarkan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996, maka dalam jangka waktu satu tahun Hak Guna Usaha tersebut wajib dilepaskan atau dialihkan kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Apabila tidak dialihkan, Hak Guna Usaha tersebut hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah negara.

Objek tanah yang dapat diberikan dengan HGU adalah tanah negara. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, tanah negara adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara dan belum atau tidak terdapat hak-hak lain di atas tanah tersebut. Jika tanah yang diberikan HGU tersebut merupakan tanah negara yang merupakan kawasan hutan, maka pemberian HGU baru dapat dilakukan setelah adanya pencabutan statusnya sebagai kawasan hutan. Demikian juga bila di atas tanah tersebut terdapat hak-hak lain, maka pemberian HGU baru dapat dilakukan apabila pelepasan hak yang sebelumnya telah selesai. Hal ini sesuai       

38CTS Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hal. 118


(14)

dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.

Selanjutnya, dalam rumusan Pasal 4 ayat (4) disebutkan bahwa apabila di atas tanah yang akan diberikan HGU tersebut terdapat bangunan dan/atau tanaman milik pihak lain yang keberadaannya sah secara hukum, maka pemegang Hak Guna Usaha dibebankan untuk memberikan ganti kerugian kepada pemilik bangunan/tanaman yang ada di areal itu sebagai penghargaan terhadap hak atas tanah yang dihaki oleh pemegang hak sebelumnya. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di atasnya menyebutkan bahwa ganti rugi yang layak itu disandarkan pada nilai nyata/sebenarnya dari tanah atau benda yang bersangkutan. Ganti kerugian ini ditetapkan oleh Pemerintah atas usul Panitia Penaksir yang terdiri dari pejabat ahli dalam bidangnya.

Penetapan besarnya ganti rugi terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu penetapannya harus didasarkan atas musyawarah antara Panitia dengan parapemegang hak atas tanah dan penetapannya harus memperhatikan harga umum setempat, disamping faktor-faktor lain yang mempengaruhi harga tanah.39 Selain itu, perlu pula dipertimbangkan adanya faktor-faktor non fisik (immateril) dalam penentuan besarnya ganti rugi. Misalnya, turunnya penghasilan pemegang hak dan ganti kerugian yang disebabkan karena harus melakukan perpindahan tempat/pekerjaan.

      

39Maria Sumardjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Buku Kompas, Jakarta, 2008, hal.251.


(15)

Berdasarkan penjelasan sebelumnya yang menyebutkan bahwa musyawarah merupakan salah satu tahapan yang tidak dapat dikesampingkan dalam proses penetapan ganti kerugian, yaitu peran aktif masyarakat sebagai pemegang hak atas tanah sebelum hak atas tanah tersebut dialihkan kepada pihak lain. Pentingnya jaminan bahwa proses musyawarah berjalan sebagai proses tercapainya kesepakatan secara sukarela dan bebas dari tekanan pihak manapun dan dalam berbagai bentuknya juga sangat diperlukan. Hal ini dikarenakan syarat-syarat untuk tercapainya musyawarah secara sukarela dan bebas tersebut sangat menetukan jalannya proses penetapan ganti kerugian. Adapun syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :

a) Ketersediaan informasi secara jelas dan menyeluruh tentang hal-hal yang berhubungan langsung dengan parapihak (dampak dan manfaat, besarnya ganti kerugian, rencana relokasi bila diperlukan, rencana pemulihan pendapatan dan lain sebaginya),

b) suasana yang kondusif c) keterwakilan parapihak

d) kemampuan para pihak untuk melakukan negosiasi

e) jaminan bahwa tidak adanya tipuan, pemaksaan, atau kekerasan dalam proses musyawarah.40

Walaupun secara prosedural musyawarah telah memenuhi syarat-syarat di atas, namun apabila keputusan yang dihasilkan dilandasi adanya tekanan, maka tidaklah dapat dikatakan telah dicapai kesepakatan karena tekanan itu merupakan       

40Pasal 9 Keppres Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.


(16)

wujud dari pemaksaan kehendak dari satu pihak untuk menekan pihak lain agar mengikuti kehendaknya. Dengan kata lain, kesepakatan itu terjadi dalam keadaan terpaksa. Di samping itu, keterlibatan orang/pihak di luar kepanitaan yang tidak jelas/fungsi dan tanggungjawabnya akan semakin mengaburkan arti musyawarah tersebut.

Bila dikarenakan ada sebab-sebab tertentu yang terjadi sehingga proses musywarah tidak dapat berlangsung sebagaimana diharapkan, maka upaya parapemegang hak atas tanah tersebut sebelum dialihkan kepada pemegang hak atas tanah yang baru dapat melakukan beberapa upaya penyelesaian sengketa,baik melalui jalur litigasi maupun non litigasi.

Berkenaan dengan pemberian HGU, tidak semua tanah dapat menajdi objek HGU. Adapun tanah-tanah yang dikecualikan sebagai objek HGU tersebut adalah:

a. tanah yang sudah merupakan perkampungan rakyat, b. tanah yang sudah diusahakan oleh rakyat secara menetap, c. tanah yang diperlukan oleh pemerintah.

Dalam konteks luas tanah yang dapat diberikan status HGU, Pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 menyebutkan bahwa luas minimum tanah yang dapat diberikan status HGU adalah lima hektar. Sedangkan luas maksimum dari tanah yang dapat diberikan kepada perorangan adalah dua puluhlima hektar. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (3). Untuk luas tanah yang akan diberikan kepada badan hukum ditetapkan oleh Menteri dengan memperhatikan pertimbangan dari pejabat yang berwenang di bidang usaha yang


(17)

bersangkutan dengan mengingat luas tanah yang diperlukan untuk melaksanakan usaha yang paling berdaya guna di bidang usaha yang bersangkutan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahu 1996.41

Jangka waktu pemberian Hak Guna Usaha dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960. Dalam rumusan Pasal tersebut disebutkan bahwa:

(1) Hak Guna Usaha diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun.

(2) Untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan Hak Guna Usaha untuk waktu paling lama 35 tahun.

(3) Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya jangka waktu yang dimaksud dalam ayat (1) dan (2) Pasal ini dapat diperpanjang dengan waktu yang paling lama 25 tahun.

Berdasarkan rumusan Pasal 29 sebagaimana tersebut di atas, dapat diketahui bahwa Hak Guna Usaha diberikan untuk jangka waktu antara 25 tahun hingga 35 tahun, dengan ketentuan bahwa setelah berakhirnya jangka waktu tersebut, Hak Guna Usaha tersebut dapat diperpanjang untuk masa 25 tahun berikutnya.

Ketentuan mengenai jangka waktu dan perpanjangan Hak Guna Usaha dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Pasal 8 menyatakan bahwa:

       41Ibid.


(18)

(1) Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diberikan untuk jangka waktu paling lama tiga puluh lima tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama dua puluh lima tahun

(2) Sesudah jangka waktu Hak Guna Usaha dan perpanjangannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakhir, kepada pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Guna Usaha di atas tanah yang sama.

Berdasarkan rumusan Pasal 8 tersebut, diketahui bahwa Hak guna Usaha dapat diberikan untuk jangka waktu maksimum (selama-lamanya) enam puluh tahun, dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Tanah tersebut masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian haknya. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 9 peraturan pemerintah nomor 40 tahun 1996.

2. Syarat-syarat pemberian hak tersebut masih dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak

3. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak.

Setelah berakhirnya jangka waktu 35 tahun dengan perpanjangan selama 25 tahun (seluruhnya berjumlah 60 tahun), Hak Guna Usaha hapus demi hukum. Hapusnya Hak Guna Usaha ini bukan berarti tidak dapat diperbaharui. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 9 dan Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 yang menyebutkan bahwa Hak Guna Usaha yang telah berakhir jangka waktunya atau hapus dapat diperpanjang kembali.


(19)

Hapusnya Hak Guna Usaha secara jelas telah diatur di dalam Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 yang menjelaskan sebagai berikut a. Berakhirnya jangka waktu sebagaimana yang ditetapkan dalam keputusan

pemberian hak atau perpanjangannya,

b. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir, karena :

1) pemegang hak tidak melakukan kewajiban-kewajibannya, yaitu : a) Tidak membayar uang pemasukan kepada negara;

b) Tidak melaksanakan usaha dibidang pertanian, perkebunan, perikanan dan/atau peternakan sesuai dengan peruntukan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputuan pemberian haknya;

c) Tidak mengusahakan sendiri tanah Hak Guna Usaha dengan baik sesuai dengan kelayakan usaha berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh instansi teknis;

d) Tidak membangun dan/atau menjaga prasarana lingkungan dan fasilitas tanah yang ada dalam lingkungan areal Hak Guna Usaha; e) Tidak memelihara kesuburan tanah dan tidak mencegah terjadinya

kerusahan sumber daya alam serta kelestarian lingkungan;

f) Tidak menyampaikan laporan secara tertulis setiap akhir tahun mengenai penggunaan dan pengelolaan Hak Guna Usaha;

g) Tidak menyerahkan kembali tanah dengan Hak Guna Usaha kepada negara setelah hak tersebut hapus;

h) Tidak menyerahkan sertifikat Hak Guna Usaha yang telah berakhir jangka waktunya kepada kantor pertanahan.


(20)

2) adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

c. dilepaskan oleh pemegang hak secara sukarela sebelum jangka waktunya berakhir;

d. dicabut untuk kepentingan umum;

e. ditelantarkan (objek Hak Guna Usaha tidak dimanfaatkan sebaik mungkin oleh pemegang hak);

f. tanahnya musnah, misalnya akibat terjadi bencana alam;

g. Pemegang hak tidak lagi memenuhi syarat dan tidak melepaskannya kepada pihak lain yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak.

Didalam UUPA, hak jaminan atas tanah yang dinamakan Hak Tanggungan mendapat pengaturan dalam Pasal 25; Pasal 33; Pasal 39; Pasal 51 dan Pasal 57. Di dalam Pasal 25, Pasal 33 dan Pasal 39 UUPA ditetapkan mengenai hak-hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan, yaitu tanah dengan status hak milik, hak guna usaha serta hak guna bangunan. Menurut Pasal 51 UUPA, Hak Tanggungan itu akan diatur dengan undang dan dalam Pasal 57 UUPA dinyatakan bahwa selama undang-undang tersebut belum terbentuk maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan mengenai Hipotek dan Creditverband.

Dikeluarkannya UUHT, ketentuan-ketentuan mengenai hipotek atas tanah yang terdapat dalam Buku II KUHPerdata dan ketentuan-ketentuan mengenai Creditverband yang terdapat dalam Staatsblad 1937 Nomor 190 dinyatakan sudah tidak berlaku lagi. Karena dipandang tidak sesuai lagi dengan sistem hukum


(21)

keperdataan dalam hukum jaminan dan kebutuhan kegiatan perkreditan, dan sehubungan dengan perkembangan tata ekonomi Indonesia.

Dengan terbitnya UUHT ini sangat berarti terutama di dalam menciptakan unifikasi hukum tanah nasional, khususnya di bidang hak jaminan atas tanah. Dalam Pasal 1 angka (1) UUHT, disebutkan bahwa hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah, sebagaimana dimaksud dalam UUPA, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Hak Tanggungan ini merupakan lembaga hak jaminan yang kuat atas benda tidak bergerak berupa tanah yang dijadikan jaminan, karena memberikan kedudukan yang lebih tinggi (didahulukan) bagi kreditur pemegang hak tanggungan dibandingkan dengan kreditur lainnya.

C. Syarat Sahnya Pembebanan Hak Tanggungan dan Proses Pembebanan

Hak Tanggungan

Pembebanan Hak Tanggungan terdiri dari dua tahap, yaitu pemberian Hak Tanggungan dan pendaftaran Hak Tanggungan. Tata cara pembebanannya wajib memenuhi syarat yang ditetapkan dalam Pasal 10 ayat (1), Pasal 11 ayat (1), Pasal 12, Pasal 13 serta Pasal 14 UUHT.

Syarat sahnya pembebanan Hak Tanggungan yaitu :

a. Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan APHT oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 10 ayat (2) UUHT).


(22)

b. Pemberian Hak Tanggungan wajib memenuhi syarat spesialitas (Pasal 11 ayat (1) UUHT) yang meliputi :

1) Nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan. 2) Domisili para pihak, pemegang dan pemberi Hak Tanggungan 3) Penunjukkan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin

pelunasannya dengan Hak Tanggungan. 4) nilai tanggungan

5) uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan

Dengan demikian yang disebut syarat spesialitas adalah penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan dan jika utangnya belum disebutkan nilai tanggungan serta uraian yang jelas tanah dan bangunan yang ditunjuk sebagai objek Hak Tanggungan.42

c. Pemberian Hak Tanggungan wajib memenuhi syarat publisitas (supaya diketahui oleh siapa saja) melalui pendaftaran Hak Tanggungan pada Kantor Pertanahan setempat (Kabupaten/Kota) batal demi hukum, jika diperjanjikan bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memiliki obyek Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji Pasal 12 UUHT.

Proses pembebanan Hak Tanggungan menurut Penjelasan Umum angka 7 UUHT dilaksanakan melalui dua tahap kegiatan, yaitu:

      

42 Sunaryo Basuki, HGU, HGB, Hak Pakai Sebagaimana diatur Lebih Lanjut Dalam PP No.40 Tahun 1996, Mata Kuliah Hukum Pokok-Pokok Hukum Tanah Nasional, Magister Kenotariatan dan Pertanahan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2007, hal. 13


(23)

1. Tahap pemberian Hak Tanggungan, dengan dibuatnya Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah, untuk selanjutnya disebut PPAT, yang didahului dengan perjanjian utang-piutang yang dijamin;

2. Tahap pendaftarannya oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan saat lahirnya Hak Tanggungan yang dibebankan.

Pembuat Pejabat Akta Tanah/PPAT adalah sebagai pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan. PPAT diangkat oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional dan masing-masing diberi daerah kerja. Ia hanya berwenang membuat akta mengenai tanah yang ada di wilayah daerah kerjanya, kecuali dalam hal-hal khusus dengan ijin Kepala Kantor BPN Wilayah Provinsi. Akta yang dibuat oleh PPAT merupakan akta otentik Pasal 11 ayat (1) UUHT menyebutkan bahwa APHT wajib mencantumkan :

1. Nama dan identitas pemegang dan pemberi hak tanggungan. Apabila Hak Tanggungan dibebankan pula pada benda-benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah milik orang perseorangan atau badan hukum lain daripada pemegang hak atas tanah, pemberi Hak Tanggungan adalah pemegang hak atas tanah bersama-sama pemilik benda tersebut;

2. Domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan apabila di antara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia, baginya harus pula dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia, dan dalam hal domisili


(24)

pilihan itu tidak dicantumkan, kantor PPAT tempat pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dianggap sebagai domisili yang dipilih;

3. Penunjukkan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 10 ayat (1). Penunjukan utang atau utang-utang yang dijamin sebagaimana dimaksud pada huruf ini meliputi juga nama dan identitas debitur yang bersangkutan;

4. Nilai tanggungan;

5. Uraian yang jelas mengenai objek hak tanggungan. Uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada huruf ini meliputi rincian mengenai sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan atau bagi tanah yang belum terdaftar sekurang-kurangnya memuat uraian mengenai kepemilikan, letak, batas-batas, dan luas tanahnya.

Pemberian hak tanggungan dilakukan dengan pembuatan APHT oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila objek hak tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan pemberian hak tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan. Dalam pemberian hak tanggungan dihadapan PPAT, wajib dihadiri oleh pemberi hak tanggungan dan penerima hak tanggungan dan disaksikan oleh dua orang saksi.43

Pasal 13 UUHT, Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya tujuh hari kerja setelah penandatanganan       

43 Purwahid Patrik dan Kashadi, Hukum Jaminan, Edisi Revisi dengan Undang-Undang Hak Tanggungan, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2008, hal. 64


(25)

APHT, PPAT wajib mengirimkan APHT yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan. Dengan pengiriman oleh PPAT berarti akta dan warkah lain yang diperlukan itu disampaikan ke Kantor Pertanahan melalui petugasnya atau dikirim melalui pos tercatat. Pendaftaran hak tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan buku tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan. Mengenai tanggal buku-buku hak tanggungan adalah tanggal hari ke tujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dan jika hari ke tujuh itu jatuh pada hari libur, buku-tanah yang bersangkutan diberi tanggal hari kerja berikutnya. Kepastian tanggal buku-tanah itu dimaksudkan agar pembuatan buku-tanah Hak Tanggungan tidak berlarut-larut sehingga dapat merugikan pihak-pihak yang berkepentingan dan mengurangi kepastian hukum. Dengan adanya hari tanggal buku-tanah hak tanggungan, maka hak tanggungan itu lahir, asas publisitas terpenuhi dengan dibuatnya buku-tanah hak tanggungan dan hak tanggungan mengikat kepada pihak ketiga.

Menurut Pasal 14 ayat (1) UUHT. sebagai tanda bukti telah adanya hak tanggungan, kepada pemegang hak tanggungan akan diberikan Sertipikat Hak Tanggungan yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan. Oleh karena Sertipikat Hak Tanggungan merupakan tanda bukti adanya hak tanggungan, maka sertipikat tersebut membuktikan sesuatu yang pada saat pembuatannya sudah ada.


(26)

Bentuk Sertipikat Hak Tanggungan, diatur lebih lanjut dalam Pasal 1 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996 tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku Tanah Hak Tanggungan, dan Sertipikat, bahwa Sertipikat Hak Tanggungan itu terdiri atas salinan Buku Tanah Hak Tanggungan dan salinan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan, yang dibuat oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dan dijahit menjadi satu dalam sampul dokumen dengan bentuk sebagaimana telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996.

D. Hapusnya Hak Tanggungan

Hapusnya Hak tanggungan diatur dalam Pasal 18 sampai dengan 19 UUHT, yang dimaksud dengan hapusnya Hak Tanggungan adalah tidak berlakunya lagi Hak Tanggungan.

Ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUHT dinyatakan bahwa hak tanggungan berakhir atau hapus karena beberapa hal sebagai berikut:44

1. Hapus utang yang dijamin dengan hak tanggungan, sebagai hak accessoir menjadi hapus. Hal ini terjadi karena adanya hak tanggungan tersebut adalah untuk menjamin pelunasan dari utang debitur menjadi perjanjian pokoknya. Dengan demikian, hapusnya utang tersebut juga mengakibatkan hapusnya hak tanggungan.

      


(27)

2. Dilepaskannya hak tanggungan tersebut oleh pemegang hak tanggungan, dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai hal dilepaskannya hak tanggungan kepada pemberi hak tanggungan.

3. Pembersihan hak tanggungan berdasarkan suatu penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri

4. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan

Walaupun hak atas tanah itu hapus, namun pemberian Hak Tanggungan tetap berkewajiban untuk membayar hutangnya. Hapusnya Hak Tanggungan yang dilepas oleh pemegang Hak Tanggungan dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis, mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan. Hapusnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan pringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadinya karen permohonan pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari beban Hak Tanggungan.

Sedangkan persyaratan untuk hapusnya Hak Tanggungan adalah:45 1. Surat Permohonan dari pemegang hak atau kuasanya.

2. Identitas diri pemegang hak dan atau kuasanya (fotocopy KTP yang dilegalisir oleh Pejabat yang berwenang)

3. Sertipikat Hak Atas Tanah 4. Sertipikat Hak Tanggungan.

5. Concent Roya, apabila tidak diserahkan sertipikat Hak Tanggungan.       

45 http://myrizal-76.blogspot.co.id/2011/08/komentar-singkat-tentang-hak-tanggungan.html (diakses tanggal 1 Mei 2015)


(28)

6. Surat Keterangan tentang hapusnya HT yang dibuktikan dengan: a. Pernyataan dari kreditor bahwa hutangnya telah lunas, atau b. Risalah lelang, atau

c. Pembersihan HT berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan, atau Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.

Setelah Hak Tanggungan hapus, Kantor Pertanahan mencoret catatan Hak Tanggungan tersebut pada buku hak atas tanah dan sertipikatnya. Dengan hapusnya Hak Tanggungan, sertipikat Hak Tanggungan yang bersangkutan dicabut bersama-sama buku-tanah Hak Tanggungan serta dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Kantor Pertanahan.


(29)

A. Pelaksanaan Pemberian Kredit dengan Jaminan Hak Tanggungan yang Objeknya Hak Guna Usaha pada PT. Bank Sumut Cabang Medan

Pembebanan Hak Tanggungan didahului dengan perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum hutang piutang yang dijamin pelunasannya, yang merupakan perjanjian pokoknya. Hal ini adalah sebagai mana tersebut dalam Pasal 10 ayat (1) UUHT yang menyatakan bahwa pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai mana jaminan pelunasan hutang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian hutang piutang yang bersangkutan.

Ketentuan Pasal 10 ayat (2) UUHT pemberian Hak Tanggungan yang wajib dihadiri oleh pemberi Hak Tanggungan, pemegang Hak Tanggungan dan dua orang saksi, dilakukan dengan pembuatan APHT yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sesuai peraturan Perundang-undangan yang berlaku. APHT yang dibuat oleh PPAT tersebut merupakan akta otentik.

Pasal 11 ayat (1) UUHT disebutkan hal-hal yang wajib dicantumkan dalam APHT, yaitu:46

a. Nama dan identitas pemberi dan pemegang Hak Tanggungan;

b. Domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada angka 1, dan apabila diantara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia, baginya harus pula dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia. Penunjukan secara jelas       


(30)

hutang atau hutang-hutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan dan meliputi juga nama dan identitas debitur yang bersangkutan; c. Nilai tanggungan;

d. Uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan.2

Selanjutnya APHT dan Blangko permohonan pemberian Hak Tanggungan didaftarkan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) melalui bagian pendaftaran tanah untuk penerbitan sertifikat Hak Tanggungan oleh BPN.

Pelaksanaan pembebanan Hak Tanggungan atas tanah biasanya didahului dengan adanya perjanjian pokok yaitu perjanjian utang-piutang atau disebut juga dengan perjanjian kredit. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada PT. Bank Sumut Cabang Medan, dimana bank tersebut pernah menerima jaminan berupa tanah dengan status Hak Guna Usaha, yang dijadikan jaminan dalam perjanjian kredit

Pelaksanaan pemberian kredit, PT. Sumut Cabang Medan tetap berpegang pada asas perkreditan yang sehat dan prinsip kehati-hatian. Prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Perbankan, menegaskan bahwa sebelum merealisasikan kreditnya bank wajib mempunyai keyakinan atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan calon debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan apa yang diperjanjikan berdasarkan analisis yang mendalam.


(31)

Dari hasil penelitian diperoleh mengenai pembebanan Hak Tanggungan atas tanah Hak Guna Usaha di PT. Bank Sumut Cabang Medan antara lain :47 1. Tahap perjanjian utang piutang

a. Calon debitur datang ke PT. Bank Sumut Cabang Medan dan mengisi permohonan kredit secara lengkap pada formulir yang telah disediakan pihak bank, dengan dilampiri data, antara lain meliputi : Foto copy identitas debitur, seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) debitur beserta istri/ suami dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) penjamin beserta suami/ istri, Akta Nikah, Kartu Keluarga, Surat Bukti Kewarganegaraan (SBKRI), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan ganti nama jika debitur/penjamin Warga Negara Keturunan. Hal ini diperlakukan jika debitur adalah debitur perorangan.

b. Jika debitur adalah Badan Usaha/Badan Hukum, ditambahkan dengan Akta Pendirian berikut perubahannya, sampai perubahan yang terakhir. Hal ini untuk menentukan siapakah yang berhak mewakili Badan Usaha/ Badan Hukum, baik dalam meminjam uang maupun menjaminkan. Berkaitan dengan hal ini pihak bank biasanya meminta agar debitur membuat pernyataan bahwa akta-akta yang diserahkan adalah akta yang berlaku sampai perubahan terakhir pada badan Usaha/Badan Hukum tersebut serta membebaskan pihak bank bila ternyata ada kekeliruan dalam hal siapa yang mewakili Badan Usaha/ Badan Hukum tersebut, karena memang akta yang diserahkan pada bank tidak lengkap.

      

47 Hasil wawancara dengan M. Asral Nasution, selaku Pimpinan Divisi Sumber Daya Manusia Bank Sumut Kantor Pusat, 3 Juni 2015


(32)

c. Laporan keuangan 3 (tiga) bulan terakhir.

d. Foto copy sertifikat jaminan, berikut foto copy IMB dan PBB tahun terakhir yang telah dibayarkan

e. Foto copy izin usaha 2. Tahap pengikatan jaminan

Tahap pengikatan jaminan yang berupa Hak Tanggungan dihadapan PPAT yang ditunjuk oleh pihak bank, yaitu dengan dibuatnya APHT dalam bentuk akta otentik. Pengikatan kredit harus diikuti dengan proses pemberian Hak Tanggungan, yaitu dengan dibuatkannya APHT. Dalam pembuatan APHT, pemberi Hak Tanggungan wajib hadir secara langsung untuk menandatangani APHT tersebut. Hal ini menyangkut kewenangannya untuk melakukan perbuatan hukum terhadap tanah yang akan dibebankan Hak Tanggungan, meskipun kepastian kewenangan tersebut baru dipersyaratkan pada waktu pendaftaran Hak Tanggungan di Kantor Pertanahan, baik itu dilakukan untuk diri sendiri, bertindak berdasarkan kuasa, atau bertindak berdasarkan persetujuan suami/isteri untuk menjamin harta bersama.

3. Tahap proses pendaftaran Hak Tanggungan oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan saat lahirnya Hak Tanggungan yang dibebankan.

Sesuai dengan apa yang telah ditentukan dalam Pasal 13 UUHT, maka pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan, karena hal ini merupakan syarat mutlak untuk lahirnya Hak Tanggungan dan mengikatnya terhadap pihak ketiga. Tidaklah adil bagi pihak ketiga untuk terkait dengan pembebanan suatu Hak Tanggungan atas suatu obJek Hak Tanggungan


(33)

apabila pihak ketiga tidak dimungkinkan untuk mengetahui tentang pembebanan itu. Hanya dengan cara pencatatan atau pendaftaran yang terbuka bagi umum yang memungkinkan pihak ketiga dapat mengetahui tentang adanya pembebanan Hak Tanggungan atas suatu hak atas tanah.

Proses pendaftaran ini, setelah APHT dan warkah lainnya diterima oleh Kantor Pertanahan, maka akan dibuatkan buku tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan, serta menyalin catatan tersebut pada sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan. Berdasarkan Pasal 13 ayat (4) dan (5) UUHT, Hak Tanggungan lahir pada tanggal dibuatnya buku tanah, ini berarti bahwa sejak hari, tanggal itulah kreditur resmi menjadi pemegang Hak Tanggungan, dengan kedudukan yang istimewa (droit de preference dan droit de suite). Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, maka Kantor Pertanahan akan menerbitkan sertipikat Hak Tanggungan dan kemudian diserahkan kepada pemegang Hak Tanggungan dalam hal ini kreditur sedangkan sertipikat hak atas tanah diserahkan kepada pemilik tanah, namun demikian dalam praktiknya sertipikat hak atas tanah tidak dipegang oleh pemilik tanah melainkan oleh pemegang Hak Tanggungan demi keamanan modal dan kepastian pengembalian pinjamannya apabila debitur wanprestasi.

4. Tahap keputusan pemberian kredit

Keputusan kredit baik yang telah disetujui maupun ditolak oleh bank, diberitahukan oleh Account Officer untuk disampaikan kepada calon debitur. Terhadap kredit yang telah disetujui oleh bank dan calon debitur marketing akan membuat Surat Persetujuan Kredit yang berisi uraian jenis kredit, plafond, provisi


(34)

dan administrasi, biaya-biaya lain seperti biaya materai, biaya taksasi, asuransi serta biaya notaris. Selain itu dalam Surat persetujuan pemberian kredit juga diuraikan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh debitur juga uraian tentang berapa jumlah Hak Tanggungan yang akan dipasang. Terhadap kredit yang ditolak, marketing memberitahukan keputusan komite kredit beserta alasan penolakannya, dan terhadap semua data yang telah diterima dari calon debitur, wajib dikembalikan kembali kepada calon debitur.

5. Tahap persetujuan pemberian kredit

Setelah Persetujuan Pemberian Kredit tersebut diberitahukan dan disetujui oleh calon debitur, maka seluruh berkas pengajuan kredit berikut Persetujuan Pemberian Kredit diserahkan kepada Legal Officer untuk dilakukan pengikatan kredit dan pengikatan jaminan secara notariil, melalui Notaris/ PPAT yang ditunjuk oleh pihak bank.

6. Penandatanganan akad kredit/perjanjian lainnya

Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari diputuskannya kredit, maka sebelum kredit dicairkan maka terlebih dulu calon nasabah menandatangani akad kredit, mengikat jaminan dengan hipotek dan surat perjanjian atau pernyataan yang dianggap perlu. Penandatangan dilaksanakan :

a. Antara kreditur dengan debitur secara langsung atau b. Dengan melalui notaris.


(35)

7. Realisasi kredit

Realisasi kredit diberikan setelah penandatanganan surat-surat yang diperlukan dengan membuka rekening giro atau tabungan di bank yang bersangkutan.

8. Penyaluran atau penarikan dana

Pencairan atau pengambilan uang dari rekening sebagai realisasi dari pemberian kredit dan dapat diambil sesuai ketentuan dan tujuan kredit yaitu sekaligus atau secara bertahap.48

Kebijakan Perkreditan Bank sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 27/162/KEP/DIR, tanggal 31 maret 1995 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan Bank bagi Bank Umum sekurang-kurangnya memuat dan mengatur hal-hal pokok sebagaiman ditetapkan dalam Pedoman Penyusunan Kebijaksaan Perkreditan Bank, sebagai berikut :

a. Prinsip Kehati-hatian dalam perkreditan. b. Organisasi dan manajemen perkreditan. c. Kebijaksanaan persetujuan kredit. d. Dokumentasi dan administrasi kredit. e. Penyelesaian kredit bermasalah.

Setelah melalui tahapan-tahapan pelaksanaan pemberian kredit usaha rakyat tersebut, maka secara otomatis perjanjian kredit telah lahir setelah ditandatangani oleh kedua belah pihak yaitu pihak debitur dan bank, dimana       

48 Hasil wawancara dengan M. Asral Nasution, selaku Pimpinan Divisi Sumber Daya Manusia Bank Sumut Kantor Pusat, 3 Juni 2015.


(36)

debitur sudah menerima penyerahan uang atas pinjamannya dari pihak bank. Hal ini sesuai dengan sifat perjanjian itu sendiri yaitu konsensuilobligatoir. Sifat konsensuil dari perjanjian itu ada setelah tercapai kesepakatan diantara pihak bank dengan debitur yang dituangkan dalam bentuk penandatanganan perjanjian kredit itu sendiri, sedangkan sifat obligatoir terlihat dengan adanya hak dan kewajiban yang timbul karena adanya perjanjian tersebut. Atas lahirnya perjanjian kredit maka secara otomatis lahir pula hubungan hokum antara keduanya yaitu nasabah debitur dan pihak bank sebagai kreditur. Hubungan hukum pada perjanjian itu mengawali adanya hak dan kewajiban dari masing-masing pihak yang berbeda satu sama lainnya. Bagi pihak bank kewajiban yang dimilikinya merupakan hak yang harus diterima oleh debiturnya, begitu juga sebaliknya.

B. Kendala dalam Pelaksanaan Perjanjian Kredit Menggunakan Hak

Tanggungan yang Objeknya Hak Guna Usaha pada Bank Sumut Cabang Medan

Permasalahan di dalam pemberian kredit terutama pada kredit dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang objeknya HGU pada PT. Bank Sumut Cabang Medan pada umumnya adalah ketidaklancaran debitur dalam pengembalian pinjamannya.

Berdasarkan hasil wawancara diperoleh bahwa kendala dalam pelaksanaan perjanjian kredit menggunakan hak tanggungan yang objeknya hak guna usaha pada Bank Sumut Cabang Medan, antara lain :49

      

49Hasil wawancara dengan M. Asral Nasution, selaku Pimpinan Divisi Sumber Daya Manusia Bank Sumut Kantor Pusat, 3 Juni 2015


(37)

1. HGU dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain melalui (i) jual-beli, (ii) tukar-menukar, (iii) penyertaan dalam modal, (iv) hibah, dan (v) pewarisan. 2. Tanah yang dijaminkan jangka waktu akan berakhir.

3. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, oleh pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sebelum jangka waktu berakhir karena alasanalasan tertentu, yaitu :

a. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh pemegang hak;

b. Tidak dipenuhinya syarat atau kewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian HGU antara pemegang HGU dan pemegang Hak Milik atau dengan pejanjian penggunaan Hak Pengelolaan tanah;

c. Adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap Kendala-kendala yang sering terjadi dalam pemberian kredit Hak Guna Usaha adalah terjadinya wanprestasi dari pihak debitur. Keadaan-keadaan yang dapat dikatakan debitur wanprestasi adalah dimana debitur tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana yang diperjanjikan, seperti debitur tidak membayar angsuran bulanannya ataupun jumlah angsuran bulanannya kurang dari jumlah yang telah ditetapkan dalam perjanjian kredit dan atau tidak melunasi kewajiban angsuran bulanannya menurut batas waktu yang ditetapkan.50

       50Ibid


(38)

C. Penyelesaian Wanprestasi dalam Perjanjian Kredit Menggunakan Hak Tanggungan yang Objeknya Hak Guna Usaha pada Bank Sumut Cabang Medan

Pemenuhan prestasi merupakan hakekat dari perikatan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1234 KUHPerdata yang berbunyi:”Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.” debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk berprestasi kepada kreditur dapat disebabkan dua kemungkinan alasan, yaitu pertama, karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban maupun karena kelalaian. Kedua, karena keadaan memaksa (overmarcht) di luar kemampuan debitur, debitur tidak bersalah. Dalam hal debitur tak dapat memenuhi prestasi dan ada unsur salah pada dirinya, maka dapat dikatakan debitur dalam keadaan wanprestasi.

Hak dan kewajiban masing-masing pihak yang telah disebutkan diatas apabila dihubungkan dengan Pasal 1234 KUHPerdata, jika para pihak tidak berprestasi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya, maka pihak yang tidak melaksanakan kewajiban dikatakan dalam wanprestasi.

Menurut Subekti bentuk wanprestasi yang dapat dilakukan oleh debitur dapat berupa tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya yaitu apabila debitur tidak memenuhi syarat-syarat efektif penarikan kredit yang ditentukan.51 Sedangkan bentuk wanprestasi yang dapat dilakukan di PT. Sumut Cabang Medan dapat berupa tidak melaksanakan apa yang dijanjikannya yaitu       


(39)

apabila debitur telah memenuhi syarat-syarat efektif penarikan kredit yang ditentukan, tetapi PT. Sumut Cabang Medan tidak jadi merealisasikan kredit.

Berkaitan dengan bentuk wanprestasi maka akibat hukum wanprestasi seorang debitur menurut Subekti ada empat macam:52

1. Membayar kerugian yang diderita kreditur atau ganti rugi;

2. Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian 3. Peralihan risiko;

4. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim. Penyelesaian wanprestasi terkait perjanjian kredit menggunakan Hak Tanggungan yang objeknya HGU di PT. Bank Sumut Cabang Medan, pertama kali yang dilakukan adalah dengan musyawarah, yakni melalui musyawarah dengan debitur. Dimana musyawarah tersebut diharapkan akan tercapai mufakat untuk menyelesaikan masalah yang timbul dalam perjanjian kredit antara kreditur dengan debitur.53

Faktor waktu penyelesaian kewajiban oleh debitur menjadi ukuran dari kualitas tersebut. Kategori “Kredit lancar” berarti debitur lancar dalam membayar angsuran pokok dan/atau kurang bunga. Kategori “Kurang lancar” berarti terdapat angsuran pokok dan/atau bunga dari 90 hari sampai kurang dari 180 hari. Apabila ada perbaikan angsuran pokok dan / atau bunga dari debitur sebelum jatuh tempo maka kualitas kredit meningkat menjadi lancar. Kategori “pengawasan khusus” berarti terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga kurang dari 90 hari.       

52 Hasil wawancara dengan M. Asral Nasution, selaku Pimpinan Divisi Sumber Daya Manusia Bank Sumut Kantor Pusat, 3 Juni 2015.

53 Hasil wawancara dengan M. Asral Nasution, selaku Pimpinan Divisi Sumber Daya Manusia Bank Sumut Kantor Pusat, 3 Juni 2015.


(40)

Apabila ada perbaikan angsuran pokok dan/atau bunga dari debitur sebelum jatuh tempo maka kualitas kredit meningkat menjadi lancar. Kategori “ diragukan” berarti terdapat tunggakan angsuran pokok dan / atau bunga dari 180 hari sampai kurang dari 270 hari. Apabila ada perbaikan angsuran pokok dan / atau bunga dari debitur sebelum jatuh tempo maka kualitas kredit menjadi lancar. Kategori “mancet” berarti terdapat tunggakan angsuran pokok dan / atau bunga lebih dari 270 hari. Dalam kredit mancet apabila ada perbaikan angsuran dari debitur atau melunasi tunggakan tepat jatuh tempo maka kredit mancet akan meningkat kualitasnya hanya sampai pada kurang lancar, setelah 3 (tiga) bulan berturut-turut mengangsur sesuai perjanjian, kredit mancet baru bisa dikatakan lancar.

Tindakan yang dilakukan terhadap PT. Bank Sumut Cabang Medan terhadap kategori diatas tetap mengedepankan asas kekeluargaan dan secara administrasi perkreditan. Tindakan pertama-tama secara langsung menagih terus-menerus, pemanggilan debitur dan melalui program pembinaan kredit dengan menyelidiki faktor apa yang menyebabkan keterlambatan pembayaran tersebut dan juga berusaha untuk memulihkan usaha debitur dengan cara mencarikan jalan keluar yang terbaik. Di PT. Bank Sumut Cabang Medan juga dapat melakukan upaya penyelamatan kredit dengan :

1. Penjadwalan kembali (Resceduling)

Upaya berupa melakukanperubahan syarat-syarat yang berkenaan dengan jadwal pembayaran kembali kredit atau jangka waktu kredit, termasuk masa tenggang, baik perubahan besarnya angsuran jumlah angsuran maupun tidak.Hal ini ditempuh dengan tujuan memberikan kemudahan dan keringanan


(41)

bagi debitur yang mengalami kesulitan, hambatan dalam mengembalikan kredit beserta bunganya kepada PT. Bank Sumut Cabang Medan berusaha mengubah komposisi klausul-klausul yang berkaitan dengan perjanjian kredit juga mengenai jangka waktu.

2. Persyaratan kembali (reconditioning)

Upaya berupaya melakukan perubahan atas seluruh syarat-syarat perjanjian kredit yang tidak terbatas hanya kepada perubahan jadwal angsuran dan jangka waktu kredit. Namun perubahan tersebut tanpa memberikan tambahan kredit atau tanpa melakukan konversi atau seluruh atau sebagian dari kredit menjadi equity perusahaan. Dalam hal ini tindakan yang dilakukan PT. Bank Sumut Cabang Medan berupa keringanan atau perubahan persyaratan :

a. Pembebasan bunga yaitu dalam hal nasabah dinilai tidak sanggup membayar bunga karena usaha nasabah hanya mencapai tingkat kembali pokok.

b. Penundaan pembayaran bunga, yaitu bunga tetap dihitung, tetapi penagihan kepada nasabah tidak dilaksanakan sampai nasabah mempunyai kesanggupan. Atas bunga yang terutang tersebut tidak dikenakan bunga dan tidak menambah plafon kredit.

c. Pengkonversian kredit jangka pendek menjadi kredit jangka panjang dengan syarat lebih ringan.

d. Penurunan suku bunga yaitu dalam hal nasabah masih mampu membayar bunga pada waktunya tetapi suku bunga yang dikenakan terlalu tinggi untuk tingkat aktivitas dan hasil usaha pada waktu itu. Cara ini ditempuh jika hasil


(42)

operasi nasabah menunjukan laba dan likuiditas memungkinkan membayar bunga.

e. Kapasitas bunga yaitu bunga dijadikan utang pokok sehingga nasabah untuk waktu tertentu tidak membayar bunga tetapi nanti utang pokoknya dapat melebihi plafon yang disetujui. Cara ini ditempuh dalam hal prospek usaha nasabah baik.

3. Penataan kembali (restucturing)

Upaya berupa melakukan perubahan syarat-syarat perjanjian kredit berupa pemberian tambahan kredit atau melakukan konversi atas seluruh atau sebagian dari kredit menjadi equity perusahaan yang dilakukan dengan atau tanpa rescheduling. Tindakan penyelamatan dapat juga merupakan kombinasi misalnya rescheduling dan reconditioning rescheduling dengan restructuring, serta gabungan ketiganya. Jika penilaian PT. Bank Sumut Cabang Medan tentang kegiatan usaha debitur dapat dipertahankan atau bahkan ditingkatkan maka perlu dilakukan tindakan penyelamatan yang sesuai kondisi perusahaan. Hal ini diperlukan pengetauan mengenai kondisi dan sebab-sebab kesulitan debitur serta prospek dimasa mendatang. Misalnya kesulitan perusahaan dalam aspek pemasaran tentang kesulitan pemasaran disebabkan mutu, model desain, dan servis maka perlu dibicarakan dengan nasabah kemungkinan untuk memperbaiki kekurangan tersebut untuk selanjutnya tindakan PT. Bank Sumut Cabang Medan yaitu dipertimbangkan tindakan rescheduling dan kalau perlu penambahan kredit.

Prakteknya di PT. Bank Sumut Cabang Medan setelah dilakukan upaya penyelamatan kredit maka usaha debitur dapat segera bangkit kembali dan


(43)

beroperasi sebagaimana mestinya. Jika pembinaan kredit tidak berhasil, maka PT. Bank Sumut Cabang Medan melakukan upaya penyelamatan kredit, yaitu PT. Bank Sumut Cabang Medan harus menyerahkan pengurusannya kepada pihak ketiga. Di Indonesia dikenal dengan tiga lembaga yang dapat dibebani tugas untuk menyelesaikan kredit mancet, yaitu Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), Peradilan Umum dan Arbitrase. Tugas pokok PUPN adalah mengurusi piutang-piutang, mengawasi piutang-piutang dan melikuidasi PT. Bank Sumut Cabang Medan yang bermasalah. Tugas peradilan umum adalah memeriksa dan mengadili perkara pidana, memeriksa dan mengadili perkara perdata di tingkat perdata. Arbitrase merupakan lembaga penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan dengan menggunakan wait atau juru pisah. Lembaga ini bukan lembaga peradilan. Apabila penyelesaian sebagaimana tersebut di atas tidak berhasil dilaksanakan, pada umumnya upaya yang dilakukan bank dilakukan melalui prosedur hukum. Sehubungan dengan hal tersebut, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku terdapat beberapa lembaga dan berbagai sarana hukum yang dapat dipergunakan untuk mempercepat penyelesaian masalah kredit macet perbankan.

Prakteknya cara yang ditempuh PT. Bank Sumut Cabang Medan, yaitu : a. Melalui penjualan objek hak tanggungan di bawah tangan Hal ini lebih

menguntungkan karena bisa diperoleh harga yang lebih tinggi serta proses dan prosedurnya tidak berbelit-belit.

b. Melalui Kontor Lelang PT. Bank Sumut Cabang Medan meminta langsung kepada kantor untuk menjual objek hak tanggungan yang bersangkutan dalam


(44)

pelelangan umum di pihak PT. Bank Sumut Cabang Medan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil lelang kemudian dilakukan pembersihan pada jaminan, dilanjutkan pencoretan buku dan sertifikat Hak Tanggungan oleh kantor pertanahan.

c. Melalui Badan Peradilan PT. Bank Sumut Cabang Medan mengajukan gugatan untuk memperoleh keputusan pengadilan yang menyelesaikan dan menangani kredit bermasalah yaitu peradilan umum melalui gugatan perdata dan peradilan niaga melalui gugatan kepailitan.


(45)

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan hak tanggungan yang objeknya Hak Guna Usaha pada PT. Bank Sumut Cabang Medan, Calon debitur datang ke PT. Bank Sumut Cabang Medan dan mengisi permohonan kredit secara lengkap pada formulir yang telah disediakan pihak bank, dengan dilampiri data, antara lain meliputi : Foto copy identitas debitur, seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) debitur beserta istri/ suami dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) penjamin beserta suami/ istri, Akta Nikah, Kartu Keluarga, Surat Bukti Kewarganegaraan (SBKRI), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan ganti nama jika debitur/penjamin Warga Negara Keturunan. Hal ini diperlakukan jika debitur adalah debitur perorangan.

2. Kendala dalam pelaksanaan perjanjian kredit menggunakan hak tanggungan yang objeknya hak guna usaha pada Bank Sumut Cabang Medan, HGU dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain melalui (i) jual-beli, (ii) tukar-menukar, (iii) penyertaan dalam modal, (iv) hibah, dan (v) pewarisan, Tanah yang dijaminkan jangka waktu akan berakhir. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, oleh pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sebelum jangka waktu berakhir karena alas an-alasan tertentu.


(46)

3. Penyelesaian wanprestasi terkait perjanjian kredit menggunakan Hak Tanggungan yang objeknya HGU di PT. Bank Sumut Cabang Medan, pertama kali yang dilakukan adalah dengan musyawarah, yakni melalui musyawarah dengan debitur. Dimana musyawarah tersebut diharapkan akan tercapai mufakat untuk menyelesaikan masalah yang timbul dalam perjanjian kredit antara kreditur dengan debitur.

B. Saran

Berdasarkan uraian dan kesimpulan yang penulis kemukakan di atas maka dalam hal ini penulis memberikan saran-saran sebagai berikut:

1. Bagi masyarakat, terutama calon debitur untuk lebih memahami dan mematuhi segala aturan yang ada dan berlaku serta perlu dipikirkan lebih matang jika ingin mengambil kredit di perbankan. Apabila keadaan finansial tidak memadai alangkah baiknya jika tidak memaksakan diri untuk mengambil kredit yang terlalu tinggi.

2. Kepada lembaga Perbankan selaku kreditur diharapkan pencairan dana sebaiknya menunggu pada waktu APHT didaftarkan di Kantor Pertanahan yang bersangkutan sehingga kreditur memiliki kedudukan sebagai kreditur preferent.

3. Menghindari masalah yang timbul dalam pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan hak tanggungan sebaiknya pihak PT. Bank Sumut Cabang Medan harus selalu mengawasi barang jaminan yang diberikan oleh debitur yaitu dengan cara melakukan pengawasan secara rutin.


(47)

A. Pengertian Perjanjian Kredit

Istilah perjanjian kredit ditemukan dalam instruksi pemerintah yang ditujukan kepada masyarakat bahwa memberi kredit dalam bentuk apapun bank-bank wajib mempergunakan "akad perjanjian "instruksi demikian dimuat dalam instruksi presiden kabinet No 15/EKA/10/1996 jo Surat Edaran Bank Negara Indonesia No.2/539/Upk/Pemb/1996 dan Surat edaran Bank Negara Indonesia No.2/643/UPK/Pemb/1960 tentang pedoman kebijaksanaan dibidang perkreditan.

Menurut Pasal 1 angka (11) Undang-undang No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan mengatur bahwa “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Pengertian perjanjian kredit, dari berbagai jenis perjanjian yang diatur dalam Bab V sampai dengan XVIII Buku III KUH Perdata tidak terdapat ketentuan tentang perjanjian kredit bank. Bahkan dalam Undang Perbankan sendiri yakni Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan tidak mengenal istilah perjanjian kredit, tetapi istilah perjanjian kredit ditemukan dalam Instruksi Presidium Kabinet nomor 15/EK/10 Tanggal 3 Oktober 1996 Jo. Surat Edaran Bank Negara Indonesia unit I No.


(48)

2/539/UPK/Pemb Tanggal 8 Oktober 1996 yang menginstruksikan kepada masyarakat perbankan bahwa dalam memberikan kredit dalam bentuk apapun, bank-bank wajib mempergunakan akad perjanjian. Ketentuan yang berlaku bagi perjanjian diatur dalam buku ketiga KUHPerdata yang berjudul “Tentang Perikatan”, terdapat dalam bab kedua. Perjanjian diatur dalam buku ketiga KUHPerdata karena perjanjian merupakan salah satu sumber dari perikatan. Perjanjian terdapat dalam buku III KUHPerdata pada Pasal 1313 KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Perjanjian memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak yang terlibat di dalamnya untuk dapat melaksanakan hak dan kewajiban. Perjanjian ditujukan untuk memperjelas hubungan hukum dan memberikan kepastian dalam penyelesaian suatu sengketa.13

Buku III KUHPerdata Bab XIII Pasal 1754 menjelaskan bahwa pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula. Dalam Instruksi Presidium Kabinet Nomor 15/EK/10 Tanggal 3 Oktober 1966 jo. Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I Nomor 2/539/UPK/Pemb Tanggal 8 Oktober 1966 yang menginstrusikan kepada masyarakat perbankan bahwa dalam memberikan kredit dalam bentuk apapun, Bank-bank wajib mempergunakan perjanjian kredit.       

13 I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Implementasi Ketentuan Hukum Perjanjian Ke Dalam Perancangan Kontrak,Udayana University Press, Denpasar, 2010, hal. 28.


(49)

Suatu kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan sebab apapun yang halal. Pengertian perjanjian menurut Bryan A. Garner dalam bukunya Black’s Law Dictionary menyatakan bahwa “Agreement in which the law requires not only the consent of the parties but also a manifestation of the agreement in some particular form in default of which the agreement” (Perjanjian di mana hukum tidak hanya menuntut persetujuan para pihak, tetapi juga merupakan manifestasi dari perjanjian dalam beberapa bentuk tertentu dalam standar yang perjanjiannya).14

Setiap pemberian kredit dan kredit yang telah disepakati oleh pemberi kredit dan penerima kredit maka dari itu para pihak tersebut yang wajib dituangkan dalam bentuk perjanjian sebagaimana diketahui termasuk dalam perjanjian kredit. Perjanjian itu sendiri yang sudah diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata sehingga perjanjian kredit itu sendiri yang berakar pada suatu perjanjian pinjam meminjam sebagaimana yang sudah diatur dalam Pasal 1754 KUHPerdata. Bahwa di dalam pembuatan perjanjian kredit tersebut para pihak harus sudah memenuhi syarat-syarat dari sahnya suatu perjanjian yang dapat dilihat dan dipahami tentang syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu :

a. Para pihak telah sepakat untuk membuat perjanjian; b. Para pihaknya cakap untuk membuat perjanjian;

      

14Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary abrid ged seventh edition, West Group, United States of America, 2000, hal 54.


(50)

c. Ada hal tertentu yang diperjanjikan;

d. Perjanjian tersebut didasarkan pada sebab yang halal.

Perjanjian kredit yang mempunyai fungsi penting baik fungsi tersebut bagi kreditur maupun debitur adalah sebagai berikut :

a. Berfungsi sebagai perjanjian pokok;

b. Berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan hak antara kreditur dan debitur;

c. Berfungsi sebagai alat monitoring kredit. B. Bentuk Perjanjian Kredit Bank

Perjanjian kredit dapat dilakukan secara lisan atau tertulis yang terpenting memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUH Perdata. Namun dari sudut pembuktian, perjanjian yang dilakukan secara lisan sulit untuk dijadikan sebagai alat bukti, karena hakekat pembuatan perjanjian adalah sebagai alat bukti bagi para pihak yang membuatnya. Dalam dunia modern yang kompleks ini perjanjian lisan tentu sudah tidak dapat disarankan untuk digunakan meskipun secara teori diperbolehkan karena perjanjian secara lisan sulit dijadikan sebagai alat pembuktian bila terjadi masalah dikemudian hari. Untuk itu setiap transaksi apapun haruslah dibuat secara tertulis yang digunakan sebagai alat bukti. Menyimpan tabungan atau deposito di bank maka akan memperoleh tabungan atau bilyet deposito sebagai alat bukti. Untuk pemberian kredit perlu dibuat perjanjian kredit sebagai alat bukti.

Berdasarkan Pasal 1 angka (11) Undang-undang Perbankan, yang dimaksud persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam adalah bentuk


(51)

perjanjian kredit, sehingga nama perjanjian tersebut adalah perjanjian kredit. Meskipun pada umumnya perjanjian tidak perlu dibuat secara tertulis (asalkan kedua belah pihak sepihak

Dasar hukum yang mengharuskan perjanjian kredit harus tertulis adalah 1. Instruksi presidium

Kabinet Nomor 115/EK/IN/10/1996 Tanggal 10 Oktober 1996, menegaskan bahwa bank dilarang melakukan pemberian kredit dalam berbagai bentuk tanpa ada perjanjian kredit yang jelas antara bank dengan debitur, nasabah atau bank-bank sentral dan bank-bank-bank-bank lainnya. Dari sini jelaslah bahwa dalam memberikan kredit dalam berbagai bentuk wajib dibuatkan perjanjian atau akad kreditnya. 2. Surat Keputusan Direksi bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/DIR dan Surat

Edaran Bank Indonesia Nomor 27/17/UPB Tanggal 31 Maret 1995 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan Bank Bagi Bank Umum,yang menyatakan bahwa setiap kredit yang telah disetujui dan disepakti pemohon kredit dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis

3. Surat Bank Indonesia yang ditujukan kepada segenap bank devisa No. 03/1093/UPK/PKD Tanggal 29 Desember 1970, khususnya angka 4 yang berbunyi untuk pemberian kredit harus dibuat surat perjanjian kredit.

Dengan keputusan-keputusan tersebut maka pemberian kredit oleh bank kepada debiturnya menjadi pasti bahwa:

a. Perjanjian diberi nama perjanjian kredit b. Perjanjian kredit harus dibuat secara tertulis


(52)

Perjanjian kredit termasuk salah satu jenis/bentuk akta yang dibuat sebagai alat bukti. Setiap kredit yang diberikan harus dituangkan dalam perjanjian kredit secara tertulis yang sekurang-kurangnya harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:15

1. Memenuhi keabsahan dan persyaratan hukum yang dapat melindungi kepentingan bank;

2. Memuat jumlah, jangka waktu, tata cara pembayaran kembali kredit serta persyaratan-persyaratan kredit lainnya sebagaimana ditetapkan dalam keputusan persetujuan kredit dimaksud.

Praktek bank ada dua bentuk perjanjian kredit yaitu :

1. Perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan dinamakan akta di bawah tangan.Menurut Pasal 1874 KUH Perdata yang dimaksud akta di bawah tangan adalah surat atau tulisan yang dibuat oleh para pihak tidak melalui perantara pejabat yang berwenang (pejabat umum) untuk dijadikan alat bukti. Pengikatan yang dilakukan antara bank dan nasabah tanpa dihadapan notaris.16 Artinya perjanjian yang disiapkan dan dibuat sendiri oleh bank kemudian ditawarkan kepada debitur untuk disepakati. Untuk mempermudah dan mempercepat kerja bank, biasanya bank sudah menyiapkan formulir perjanjian dalam bentuk standard (standard form) yang isi, syarat-syarat dan ketentuannya disiapkan terlebih dahulu secara lengkap. bentuk perjanjian kredit yang dibuat sendiri oleh bank tersebut termasuk jenis akta di bawah tangan.

      

15 Rachmadi Usman, Hukum Kebendaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal. 267

16Jopie Jusuf, Kriteria Jitu Memperoleh kredit bank, Elex Media Komputindo, Jakarta 2003, hal 165.


(53)

Berkenaan dalam rangka penandatangan perjanjian kredit, formulir perjanjian kredit yang isinya sudah disiapkan bank kemudian disodorkan kepada setiap calon debitur untuk dipahami mengenai syarat-syarat dan ketentuan pemberian kredit tersebut yang sebelumnya syarat-syarat tersebut tidak pernah dirundingkan atau dinegosiasikan dengan calon debitur. Debitur mau tidak mau harus menerima semua persyaratan yang tercantum dalam formulir perjanjian kredit karena calon debitur dalam posisi lemah karena sangat membutuhkan kredit sehingga apapun persyaratan yang tercantum dalam formulir perjanjian kredit calon debitur dapat menyetujui.

2. Perjanjian kredit yang dibuat oleh dan dihadapan notaris atau pengikatan yang dilakukan dihadapan notaris yang dinamakan akta otentik atau akta notariil. Pasal 1868 KUHPerdata akta otentik adalah akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang yang dibuat atau dihadapan pegawai yang berkuasa untuk itu, ditempat dimana akta dibuatnya. Yang menyiapkan dan membuat perjanjian ini adalah seorang notaris namun dalam praktek semua syarat dan ketentuan perjanjian kredit disiapkan oleh bank kemudian diberikan kepada kepada notaris untuk dirumuskan dalam akta notaril dimana notaris dalam membuat perjanjian hanyalah merumuskan apa yang diinginkan para pihak yang bersangkutan dalam bentuk akta notaris atau akta otentik. Perjanjian kredit yang dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta otentik biasanya untuk pemberian kredit dalam jumlah yang besar dengan jangka waktu menengah atau panjang, seperti kredit investasi, kredit modal kerja,


(54)

kredit sindikasi (kredit yang diberikan lebih dari satu kreditur atau lebih dari satu bank).17

Perjanjian kredit wajib dituangkan dalam perjanjian kredit secara tertulis, baik dengan akta dibawah tangan maupun akta notariil. Perjanjian kredit termasuk salah satu jenis akta yang dibuat sebagai alat bukti sehingga dalam menyusun dan membuat perjanjian kredit harus memenuhi syarat hukum yaitu mencakup: 1. Judul

Perjanjian kredit tidak termasuk perjanjian bernama yang diatur dalam KUH Perdata. Dalam praktek perbankan judul yang digunakan untuk membuat perjanjian kredit berbeda-beda. Ada yang menggunakan judul perjanjian kredit, perjanjian membuka kredit, perjanjian pinjaman, perjanjian pinjam uang. Judul berfungsi sebagai nama dari perjanjian yang dibuat, setidaknya kita akan mengetahui bahwa akta atau surat itu merupakan perjanjian kredit bank.

2. Komparasi

Sebelum memasuki substansi perjanjian kredit bank, terlebih dahulu diawali dengan kalimat komparasi yang berisikan identitas, dasar hukum, dan kedudukan para pihak yang akan mengadakan perjanjian kredit bank. Disini menjelaskan sejelasnya tentang identitas, dasar hukum, dan kedudukan subjek hukum perjanjian kredit bank. Sebuah perjanjian kredit bank akan dianggap sah bila ditandatangani oleh subjek hukum yang berwenang untuk melakukan perbuatan hukum yang demikian itu.

      

17 Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Alfabeta, Bandung, 2003. hal 101.


(1)

ABSTRAK Ahmad Hafiz *

Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., MS** Syamsul Rizal, S.H., M.Hum***

Hak Guna Usaha diatur dalam UUPA. Berdasarkan Pasal 29 UU Agraria, HGU dapat diberikan untuk jangka waktu maksimal 25 tahun (untuk perusahaan dengan kebutuhan tertentu, dapat diberikan dengan jangka waktu maksimal 35 tahun). Setelah habis jangka waktunya, HGU dapat diperpanjang untuk waktu yang paling lama 25 tahun.Permasalahan dalam penelitian ini adalah pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan hak tanggungan yang objeknya hak guna usaha pada PT. Bank Sumut Cabang Medan. Kendala dalam pelaksanaan perjanjian kredit menggunakan hak tanggungan yang objeknya hak guna usaha pada Bank Sumut Cabang Medan. Penyelesaian wanprestasi dalam perjanjian kredit menggunakan hak tanggungan yang objeknya hak guna usaha pada Bank Sumut Cabang Medan.

Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah bersifat deskriptif yaitu penelitian yang menggambarkan, menelaah, dan menjelaskan serta menganalisa suatu peraturan hukum.

Pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan hak tanggungan yang objeknya hak guna usaha pada PT. Bank Sumut Cabang Medan, beberapa tahap perjanjian utang piutang, Tahap pengikatan jaminan, Tahap proses pendaftaran Hak Tanggungan oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan saat lahirnya Hak Tanggungan yang dibebankan, Tahap Keputusan pemberian kredit, Tahap persetujuan pemberian kredit, Penandatanganan akad kredit/perjanjian lainnya, Realisasi kredit dan Penyaluran atau penarikan dana. Kendala dalam pelaksanaan perjanjian kredit menggunakan hak tanggungan yang objeknya hak guna usaha pada Bank Sumut Cabang Medan, HGU dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain melalui (i) jual-beli, (ii) tukar-menukar, (iii) penyertaan dalam modal, (iv) hibah, dan (v) pewarisan, Tanah yang dijaminkan jangka waktu akan berakhir. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, oleh pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sebelum jangka waktu berakhir karena alas an-alasan tertentu. Penyelesaian wanprestasi terkait perjanjian kredit menggunakan Hak Tanggungan yang objeknya HGU di PT. Bank Sumut Cabang Medan, pertama kali yang dilakukan adalah dengan musyawarah, yakni melalui musyawarah dengan debitur. Dimana musyawarah tersebut diharapkan akan tercapai mufakat untuk menyelesaikan masalah yang timbul dalam perjanjian kredit antara kreditur dengan debitur.

Kata Kunci: Jaminan, Hak Tanggungan, Hak Guna Usaha * Ahmad Hafiz, Mahasiswa


(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmad dan karunia-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Adapun judul dari skripsi ini adalah Tinjauan Yuridis Kredit dengan Jaminan Hak Tanggungan Yang Objeknya Tanah dengan Status Hak Guna Usaha Pada Bank Sumut Cabang Medan.

Untuk penulisan skripsi ini penulis berusaha agar hasil penulisan skripsi ini mendekati kesempurnaan yang diharapkan, tetapi walaupun demikian penulisan ini belumlah dapat dicapai dengan maksimal, karena ilmu pengetahuan penulis masih terbatas. Oleh karena itu, segala saran dan kritik akan penulis terima dari semua pihak dalam rangka penyempurnaan penulisan skripsi ini.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak sehingga pada kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kapada :

1. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara. 2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. OK. Saidin, SH, MHum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(3)

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Prof. Dr. Tan Kamello, SH., MS, selaku Dosen Pembimbing I, yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan petunjuk dan bimbingan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Bapak Syamsul Rizal, SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II, yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan petunjuk dan bimbingan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Seluruh staf dan pengajar Fakultas Hukum USU yang dengan penuh dedikasi menuntun dan membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan sampai dengan menyelesaikan skripsi ini.

9. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis ayahanda H. Alm. Taufik Idham dan Ibunda Hj. Nurhaida, yang telah banyak memberikan dukungan moril, materil, dan kasih sayang mereka yang tidak pernah putus sampai sekarang dan selamanya.

10.Buat teman-teman stambuk 08, Nanda, Obet, Nicky Chatrine, Frank Zebua, Iman Ananda, Adiatma Murdhani, Fahrur Rozi, Ami, Yopi, Fitra, Kibul yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu terima kasih atas dukungan dan motivasinya sehingga terselesaikan skripsi ini.


(4)

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, semoga apa yang telah kita lakukan mendapatkan Balasan dari Allah SWT. Penulis memohon maaf kepada Bapak atau Ibu dosen pembimbing, dan dosen penguji atas sikap dan kata yang tidak berkenan selama penulisan skripsi ini.

Medan, Mei 2016 Penulis,

Ahmad Hafiz 080200196


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 7

C. Tujuan Penulisan ... 7

D. Manfaat Penulisan ... 8

E. Metode Penelitian ... 8

F. Keaslian Penulisan ... 11

G. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDIT BERMASALAH ... 15

A. Pengertian Perjanjian Kredit ... 15

B. Bentuk Perjanjian Kredit Bank ... 18

C. Hapusnya Perjanjian Kredit ... 26

D. Prinsip-Prinsip Pemberian Kredit ... 31

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN ... 37

A. Pengertian Hak Tanggungan ... 37

B. Hak Guna Usaha sebagai Objek Hak Tanggungan ... 42 C. Syarat Sahnya Pembebanan Hak Tanggungan dan Proses


(6)

Pembebanan Hak Tanggungan ... 54

D. Hapusnya Hak Tanggungan ... 59

BAB IV KREDIT DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN YANG OBJEKNYA TANAH DENGAN STATUS HAK GUNA USAHA PADA BANK SUMUT CABANG MEDAN ... 62

A. Pelaksanaan Pemberian Kredit dengan Jaminan Hak

Tanggungan yang Objeknya Hak Guna Usaha pada PT. Bank Sumut Cabang Medan ... ... 62 B. Kendala dalam Pelaksanaan Perjanjian Kredit dengan

Menggunakan Hak Tanggungan yang Objeknya Hak Guna Usaha pada PT. Bank Sumut Cabang Medan ... ... 69 C. Penyelesaian Wanprestasi dalam Perjanjian Kredit dengan

Menggunakan Hak Tanggungan yang Objeknya Hak Guna Usaha pada PT. Bank Sumut Cabang Medan ... ... 71 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...

78

A. Kesimpulan ... ... 78 B. Saran ... ... 79