Penetapan Kadar Fenilbutazon dan Propifenazon dalam Tablet secara Spektrofotometri Derivatif

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Bahan
2.1.1 Fenilbutazon
2.1.1.1 Sifat Fisika dan Kimia
Rumus struktur

Gambar 2.1. Fenilbutazon (Ditjen POM., 2010).
Rumus molekul

: C19H20N2O2

Berat Molekul

: 308,38

Nama IUPAC

: 4-Butil-1,2-difenil-3,5-pirazolidinadion

Pemerian


: Serbuk hablur, putih atau agak putih; tidak berbau.

Kelarutan

: Sangat sukar larut dalam air; mudah larut dalam aseton
dan dalam eter; larut dalam etanol. Larut dala larutan
alkali.

Titik lebur

: 1040-107 0
(Ditjen POM, 2010; The Department of Health, 2002).

2.1.1.2 Farmakologi
Derivat pyrazolidin ini (1949) mirip rumuus intinya dengan fenazon.
Khasiat antiradangnya lebih kuat daripada daya kerja analgetisnya. Oleh karena
obat ini khusus digunakan untuk jenis artritis tertentu (Tjay dan Rahardja, 2007).

6

Universitas Sumatera Utara

Kadangkala fenilbutazon dimasukkan secara ilegal (tanpa dicantumkan
pada etiket) pada produk dari pabrik-pabrik kecil asing atau seringkali dalam
tonika (dengan Ginseng) untuk keadaan lesu dan letih, nyeri otot dan perasaan
lemah. Adalkalanya obat ini dikombinasi dengan kortikosteroida yang dalam
obatt-obat demikian sangat berbahaya berhubung efek merusaknya terhadap selsel darah dan efek memperlemahnya sistem imun (Tjay dan Rahardja, 2007).
Efek sampingnya serius antara lain terhadap darah dan lambung, sehingga
di banyak negara Barat sudah ditarik dari peredaran sejak akhir tahun 1980-an.
Kadangkala fenilbutazon masih digunakan untuk nyeri otot dalam bentuk krem
5% (Tjay dan Rahardja, 2007).
Fenilbutazon digunakan untuk mengobati rematoid artritis dan sejenisnya
sejak tahun 1949, kemudian secara berurutan didapat turunan fenibutazon, yaitu
oksifenbutazon,

sulfinpirazon,

dan

ketofenilbutazon.


Fenilbutazon

juga

mempunyai efek antipiretik dan analgesik. Efek antiinflamasinya sama dengan
salisilat (Kee dan Hayes, 1996).
Bila diberikan per oral, absorpsinya akan cepat dan sempurna. Konsentrasi
tertinggi dicapai dalam waktu 2 jam. Dengan dosis terapi 98% fenilbutazon dalam
plasma terikat pada protein plasma, sedangkan bila konsentrasi lebih tinggi
pengikatan dengan plasma protein mungkin hannya 90%. Masa paruh
fenilbutazon lama, yaitu 50-100 jam (Kee dan Hayes, 1996).

7
Universitas Sumatera Utara

2.1.2 Propifenazon
Rumus Struktur

Gambar 2.2. Propifenazon (Moffat, et al., 2011)

Rumus Molekul

: C14H18N2O

Berat Molekul

: 230,3

Nama IUPAC

: 1,5-dimetil-2-fenil-4-propan-2-nil-pirazol-3-on

Titik lebur

: 103-195 0C

Pemerian

: Berupa kristal putih atau serbuk kristal. Tidak berbau dan
terasa agak pahit


Kelarutan

: Mudah larut dalam etanol dan dalam kloroform. Larut
dalam eter dan sedikit larut dalam air
(Moffat, et al., 2011)

Propifenazon adalah zat analgetik yang telah dikenal cukup lama.
Propifenazon adalah contoh analgetika ringan yang digunakan sesuai permintaan.
Propifenazon biasanya dikombinasikan dengan NSAID lainnya pada tablet, yang
dapat diperoleh tanpa resep di berbagai negara. Propifenazon disebutkan sebagai
pencetus reaksi alergi/pseudoalergi di dalam berbagai textbook dan dalam studi
epidemiologi, dan dalam berbagai laporan propifenazon dapat menginduksi
berbagai tipe reaksi alergi (Himly, et al., 2003).

8
Universitas Sumatera Utara

2.2 Spektrofotometri Ultraviolet-Visibel
2.2.1 Pengertian Spektrofotometri Ultraviolet-Visibel

Spekrofotometri UV-visibel merupakan metode spektrofotometri yang
didasarkan pada adanya serapan sinar pada daerah ultraviolet (UV) dan sinar
tampak (Visibel) dari suatu senyawa. Senyawa dapat dianalisis dengan metode ini
jika memiliki kemampuan menyerap pada daerah UV atau daerah tampak.
Senyawa yang dapat menyerap intensitas pada daerah UV disebut dengan
kromofor, sedangkan untuk melakukan analisis senyawa dalam daerah sinar
tampak, senyawa harus memiliki warna (Fatimah, 2003).
2.2.2 Proses Penyerapan Radiasi pada Spektrofotometer Ultraviolet-Visibel
Radiasi ultravioet dan sinar tampak diabsorpsi oleh molekul organik
aromatik, molekul yang mengandung elektron π terkonyugasi dan/ atom yang
mengandung elektron-n, menyebabkan transisi elektron di orbit terluarnya dari
tingkat enersi elektron dasar ke tingkat enersi elektron tereksitasi lebih tinggi
(Satiadarma, dkk., 2004).
Jika suatu molekul sederhana dikenakan radiasi elektromagnetik maka
molekul tersebut akan menyerap radiasi elektromagnetik yang energinya sesuai.
Interaksi antara molekul dengan radiasi elektromagnetik ini akan meningkatkan
energi potensial elektron pada tingkat keadaan tereksitasi (Rohman, 2007).
Sinar ultraviolet dan sinar tampak (visibel) memberikan energi yang cukup
untuk terjadinya transisi elektron (Rohman, 2007). Elektron yang energinya
tertinggi dalam molekul, berada dalam tingkat energi elektron dasar, terdapat

dalam orbital δ, π, atau n, masing-masing mempunyai keadaan tereksitasi sesuai
dengan energi elektron terendah. Transisi elektron yang terkait dengan absorbsi
radiasi ultraviolet dan sinar tampak adalah
→δ*,
δ n→δ*, n→π*, dan

π→π*

9
Universitas Sumatera Utara

(Satiadarma, dkk., 2004).
Penyerapan radiasi ultraviolet dan sinar tampak dibatasi oleh sejumLah
gugus fungsional (yang disebut dengan kromofor) yang mengandung elektron
valensi dengan tingkat energi eksitasi yang relatif rendah. Elektron yang terlibat
pada penyerapan radiasi ultraviolet dan visibel ini ada tiga, yaitu elektron sigma,
elektron phi, dan elektron bukan ikatan (non bonding electron) (Rohman, 2007).
Menurut Rohman (2007), transisi-transisi elektronik yang terjadi di antara
tingkat-tingkat energi di dalam suatu molekul ada empat yaitu transisi
→δ*,δ

transisi n→δ*, transisi n→π*, dan transisi π→π*. Berikut akan diuraikan keempat
jenis transisi :
1. Transisi δ→δ*
Energi yang diperlukan untuk transisi ini besarnya sesuai dengan energi
sinar yang frekuensinya terletak di antara ultraviolet vakum (kurang dari 180 nm).
Jenis transisi ini terjadi pada daerah ultraviolet vakum sehingga kurang begitu
bermanfaat untuk analisis dengan cara spektrofotometri ultraviolet-visibel.
2. Transisi n→δ*
Jenis transisi ini terjadi pada senyawa organik jenuh yang mengandung
atom-atom yang memiliki elektron bukan ikatan (elektron n). Energi yang
diperlukan untuk transisi jenis ini lebih kecil dibandingkan transisi
→δ* δ
sehingga sinar yang diserap pun mempunyai panjang gelombang lebih panjang,
yakni sekitar 150-250 nm. Kebanyakan transisi ini terjadi pada panjang
gelombang kurang dari 200 nm.
3. Transisi n→π* dan transisi π→π*
Untuk memungkinkan terjadinya transisi ini, maka molekul organik harus
mempunyai gugus fungsional yang tidak jenuh sehingga ikatan rangkap dalam

10

Universitas Sumatera Utara

gugus tersebut memberikan orbital phi yang diperlukan. Jenis transisi ini
merupakan transisi yang paling cocok untuk analisis sebab dengan panjang
gelombang 200-700 nm, dan panjang gelombang ini secara teknis dapat
diaplikasikan pada spektrofotometer ultraviolet-visibel. Perbedaan antara transisi
n→π* dan transisi π→π* dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Perbedaan antara transisi n→π* dan transisi π→π*
Transisi π→π*

Transisi n→π*
Absorptivitas

molar

(ε)

antara Absorptivitas

10-100 Lcm-1mol-1

Biasanya

pelarut

molar (ε) antara

1000-10000 Lcm-1mol-1
yang

polar Biasanya

pelarut

yang

polar

menyebabkan pergeseran biru atau menyebabkan pergeseran merah
hypsocromic shift (pergeseran pita atau bathocromic shift (pergeseran
serapan ke arah panjang gelombang pita serapan ke arah panjang

yang lebih pendek)

gelombang yang lebih panjang)

2.2.3 Kegunaan Spektrofotometri Ultraviolet-Visibel
Data spektrum ultraviolet-visibel secara tersendiri tidak dapat digunakan
untuk identifikasi kualitatif obat karena rentang daerah radiasi yang relatif sempit
hanya dapat menghasilkan sedikit sekali puncak absorbsi maksimum dan
minimum. Akan tetapi jika digabung dengan cara lain seperti spektrofotometri
inframerah, resonansi magnet inti, dan spektrometri massa, maka dapat digunakan
untuk maksud identifikasi kualitatif suatu senyawa tersebut. Penggunaannya
terbatas pada konfirmasi identitas dengan menggunakan parameter panjang
gelombang maksimum, nilai absorptivitas, nilai absorptivitas molar, dan nilai
koefisien ekstingsi yang khas untuk senyawa yang dilarutkan dalam suatu pelarut

11
Universitas Sumatera Utara

tertentu (Satiadarma, dkk., 2004; Rohman, 2007).
Hukum Lambert-Beer menjadi dasar aspek kuantitatif spektrofotometri
ultraviolet-visibel. Menurut Hukum Lambert-Beer, serapan berbanding lurus
terhadap konsentrasi dan ketebalan sel, yang dapat ditulis dengan persamaan :
A = a.b.c (g/liter) atau A = ε. b. c (mol/liter) atau A = A11.b.c (g/100 mL)
Dimana: A
a
b
c
ε
A11

= serapan
= absorptivitas
= ketebalan sel
= konsentrasi
= absorptivitas molar
= absorptivitas spesifik

2.2.4 Komponen Spektrofotometer Ultraviolet-Visibel
Instrumen yang digunakan untuk mempelajari serapan atau emisi
elektromagnetik sebagai fungsi dari panjang gelombang disebut spektrometer atau
spektrofotometer (Sastrohamidjojo, 1985).
Terdapat beberapa tipe spektrofotometer UV-Vis, dengan komponen yang
sama yang terdapat pada laboratorium yang merupakan spektrofotometer double
beam, yang terdiri dari sumber cahaya, dua sel dimana cahaya akan melaluinya,
dan

detektor

untuk

mengukur

jumLah

cahaya

yang

melewati

sel.

Spektrofotometer saat ini biasanya telah dikontrol oleh komputer dan memberikan
fleksibilitas yang lebih besar bagi penggunanya, misalnya dalam menunjukkan
spektrum dari suatu campuran atau dalam menampilkan grafik kalibrasi untuk
menentukan konsentrasi senyawa yang tidak diketahui (Anderson, et al., 2004).
Menurut Satiadarma, dkk., (2004) dan Rohman (2007), komponen
spektrofotometer Ultraviolet-Visibel adalah sebagai berikut:

12
Universitas Sumatera Utara

1. Sumber-sumber lampu: lampu deuterium digunakan untuk daerah ultraviolet
pada panjang gelombang dari 190-350 nm, sementara lampu halogen kuarsa
atau lampu tungsten digunakan untuk daerah visibel pada panjang gelombang
antara 350- 900 nm.
2. Monokromotor:

digunakan

untuk

memperoleh

sumber

sinar

yang

monokromatis.
3. Optik-optik: dapat didesain untuk memecah sumber sinar melewati 2
kompartemen.
4. Detektor: digunakan sebagai alat yang menerima sinyal dalam bentuk radiasi
elektromagnetik, mengubah, dan meneruskannya dalam bentuk sinyal listrik ke
rangkaian sistem penguat elektronika. Respon tiap jenis detektor terhadap
bagian dari spektrum radiasi tidak sama, sehingga setiap spektrofotometer
menggunakan detektor yang paling cocok untuk daerah pengukurannya.

2.3 Spektrofotometri Derivatif
2.3.1 Pengertian Spektrofotometri Derivatif
Metode spektrofotometri derivatif atau metode kurva turunan adalah salah
satu metode spektrofotometri yang dapat digunaan untuk analisis campuran
beberapa zat secara langsung tanpa harus melakukan pemisahan terlebih dahulu
waaupun dengan panjang gelombang yang berdekatan (Nurhidayati, 2007).
Aplikasi spektrofotometri derivatif menyediakan teknik yang baik untuk
menganalisis

campuran

multikomponen

secara

kuantitatif.

Metode

spektrofotometri derivatif telah digunakan secara luas untuk memperbesar sinyal
dan menjelaskan puncak-puncak yang saling tumpang tindih disebabkan oleh
kemampuannya dalam mendiferensiasi puncak-puncak yang berdekatan, dan

13
Universitas Sumatera Utara

mengidentifikasi puncak-puncak lemah yang dihalangi oleh puncak yang lebih
tajam (Ojeda dan Rojas, 2012).
Spektrofotometri derivatif adalah teknik yang didasarkan pada derivatisasi
spektrum dasar yakni spektrum orde nol. Hasil derivatisasi fungsi dijelaskan lari
dari absorbansi kurva disebut spektrum derivatif dan dapat dinyatakan sebagai :
n

Dxλ = dnA / dλn = f(λ) atau nDxv = dnA / dvn = f(v)

Dimana: n : orde derivatif, nDxλ atau nDxv menunjukkan nilai dari orde derivatif ken suatu analit (x) pada panjang gelombang analisis (λ) atau pada bilangan panjang
gelombang (v), A : absorbansi (Karpinska, 2012).
Spektrum serapan normal sampai derivat ke-n dapat dilihat pada Gambar
2.3.

Gambar 2.3. Spektrum serapan normal sampai derivat ke-n (Karpinska, 2012)
Dalam spektrum derivatif, kemampuan untuk mendeteksi dan mengukur
gambaran spektrum minor telah jauh ditingkatkan. Peningkatan karakteristik
detail spektrum yaitu dapat membedakan spektrum yang sangat mirip dan

14
Universitas Sumatera Utara

mengikuti perubahan halus pada spektrum. Lebih daripada itu, teknik ini dapat
digunakan dalam analisis kuantitatif untuk mengukur konsentrasi analit dimana
puncaknya dihalangi oleh puncak yang lebih besar dan saling tumpang tindih
(Willard, et al., 1988).
2.3.2 Teknik Pengukuran Nilai Derivatif
Spektrum derivatif beberapa orde merupakan hasil diferensiasi spektrum
orde nol (dasar) dari campuran beberapa komponen. Diferensiasi spektrum
dilakukan dengan berbagai metode, biasanya dengan metode analog atau metode
numerik. Hasilnya, terlepas dari modus diferensiasi, dapat disajikan secara grafis
di atas kertas atau terdaftar dalam memori komputer. Penentuan nilai-nilai
derivatif dilakukan dengan cara salah satu dari tiga metode berikut.
Pengukuran

Grafis

yang

terdapat

dalam

rekaman

pada

kertas

(menggunakan plot XY) yaitu spektrum derivatif dan zero line. Panjang
gelombang dimana nilai derivatif akan diukur kemudian ditandai, dan pada titik
ini sebuah garis ditarik tegak lurus terhadap zero line. Panjang A-B adalah nilai
derivatif yang dinyatakan dalam satuan panjang (misalnya mm). Kelemahan
teknik ini adalah ketidaktelitian pengukuran, terutama bila dilakukan pada sisi
curam dari kurva (garis tegak lurus melintasi spektrum derivatif di bawah sudut
akut). Kerugian ini dapat dihilangkan dengan menentukan nilai derivatif secara
numerik (Kus, et al., 1996).
Pengukuran numerik dari nilai-nilai derivatif dilakukan dengan membaca
nilai derivatif pada panjang gelombang tertentu (bilangan gelombang) dari set
poin (nilai panjang gelombang-derivatif). Suatu set diperoleh sebagai hasil dari
diferensiasi spektrum menggunakan algoritma numerik yang tepat untuk
memperoleh derivatif. Ketika melihat di spektrum derivatif, misalnya pada

15
Universitas Sumatera Utara

monitor komputer yang terhubung ke spektrofotometer, salah satunya dapat
membaca nilai derivatif pada panjang gelombang yang berubah secara bertahap
(Kus, et al., 1996).

Gambar 2.4 Pengukuran sinyal derivatif dengan metode Grafik (a) dan metode
numerik (b) (Kus, et al., 1996).
Teknik zero-crossing terdiri dari pengukuran nilai derivatif pada panjang
gelombang (bilangan gelombang), di mana turunan dari komponen campuran
menerima nilai nol - melintasi garis nol (Gambar 2.5 a). Kurva A melintasi garis
nol pada titik Z, dan kurva B pada titik P- derivatif menerima nilai nol pada titiktitik ini. Dengan cara ini tidak ada efek dari satu komponen pada komponen yang
lain. Teknik zero crossing mengizinkan untuk menghilangkan pengaruh komponen
yang mengganggu komponen yang ditentukan. Kelemahan dari teknik pengukuran
ini adalah presisi pengukuran yang tidak terlalu besar. Titik zero crossing suatu
derivat harus ditentukan oleh setidaknya dua konsentrasi (Kus, et al., 1996).
Teknik peak-to-peak terdiri dari pengukuran nilai derivatif pada panjang
gelombang di mana rasio dari nilai-nilai derivatif HA dari komponen A dengan
nilai-nilai derivatif HB dari komponen campur B mencapai nilai terbesar ( Gambar

16
Universitas Sumatera Utara

2.5 b). Penentuan dilakukan dengan mengukur amplitudo (dari kurava maksimum
ke kurva minimum) (Kus, et al., 1996).
Teknik baseline-to-peak terdiri dari pengukuran nilai derivatif pada
panjang gelombang di mana rasio dari nilai derivat HA dari komponen A dengan
nilai derivat HB dari komponen campuran B mencapai nilai paling besar ( Gambar
2.5 c). Pengukuran dilakukan dari titik maksimum ke garis nol atau dari titik
minimum ke garis nol. Teknik ini adalah versi dari teknik peak-to-peak,
dibandingkan dengan yang kurang sensitif (rasio nilai derivatif lebih kecil di sini)
(Kus, et al., 1996).

Gambar 2.5 Teknik pengukuran zerro crossing (a), peak-to-peak (b), dan
baseline-to-peak (c)
2.3.3 Kegunaan Spektrofotometri Derivatif
Metode spektrofotometri derivatif dapat digunakan untuk analisis
kuantitatif zat dalam campuran yang spektrumnya mungkin tersembunyi dalam
suatu bentuk spektrum besar yang saling tumpang tindih dengan mengabaikan
proses pemisahan zat yang bertingkat-tingkat. Dalam bidang farmasi, karena
terkait terapi, penetapan kadar obat adalah kontrol kualitas pada industri farmasi.

17
Universitas Sumatera Utara

Metode spektrofotometri derivatif adalah teknik analisis dengan kemampuan
memisahkan campuran obat yang memiliki spektra tumpang tindih (Nurhidayati,
2007).

2.4 Validasi metode
Validasi metode menurut United States Pharmacopeia (USP) diakukan
untuk menjamin bahwa metode analisis akurat, spesifik, reprodusibel, dan tahan
pada kisaran analit yang akan dianalisis. Suatu metode analisis harus divalidasi
untuk melakukan verifikasi bahwa parameter-parameter kinerjanya cukup mampu
untuk mengatasi problem analisis (Rohman, 2007).
2.4.1 Akurasi
Akurasi adalah kedekatan nilai hasil uji yang diperoleh melalui metode
analisis dengan nilai yang sebenarnya. Akurasi dinyatakan dengan persen
perolehan kembali (% recovery). Akurasi dapat ditentukan dengan dua metode,
yaitu spiked-placebo recovery (metode simulasi) dan standard addition method
(metode penambahan baku). Pada metode spiked-placebo recovery, analit murni
ditambahkan (spiked) ke dalam campuran bahan pembawa sediaan farmasi, lalu
campuran tersebut dianalisis dan jumLah analit yang dianalisis dibandingkan
dengan jumLah analit yang telah diketahui konsentrasinya dapat ditambahkan
langsung ke dalam sediaan farmasi. Metode ini dinamakan metode penambahan
baku (Ermer dan Mcb.Miller, 2005; Harmita, 2004).
Menurut Harmita (2004), dalam metode penambahan baku, sejumLah
sampel yang dianalisis ditambah analit dengan konsentrasi biasanya 80% sampai
120% dari kadar analit yang diperkirakan, dicampur, dan dianalisis kembali.
Selisih kedua hasil dibandingkan dengan kadar yang sebenarnya. Dalam kedua

18
Universitas Sumatera Utara

metode tersebut, persen perolehan kembali dinyatakan sebagai rasio antara hasil
yang diperoleh dengan hasil yang sebenarnya.
2.4.2 Presisi
Presisi adalah derajat kesesuaian diantara masing-masing hasil uji, jika
prosedur analisis diterakan berulang kali pada sejumLah cuplikan yang diambi
dari satu sampel yang homogen.. Sesuai dengan ICH, presisi dilakukan pada 3
tingkattan yang berbeda yaitu keterulangan (repeatability), presisi antara
(intermediate precision), dan ketertiruan (reproducibility). Keteruangan yaitu
ketepatan (precision) pada kondisi percobaan yang sama(berulang) baik orangnya,
peralatannya, tempatnya, maupun waktunya. Presisi antara yaitu ketepatan
(precision) pada kondisi percobaan yang berbeda, baik orangnya, peralatannya,
tempatnya maupun waktunya. Ketertiruan merujuk pada hasi-hasil laboratorium
yang lain (Satiadarma, dkk., 2004; Rohman, 2007).
2.4.3 Spesifisitas
Spesifitas adalah suatu ukuran seberapa mampu metode tersebut mengukur
analit saja dengan adanya senyawa-senyawa lain yang terkandung di dalam
sampel (Watson, 2009). ICH membagi spesifisitas dalam 2 kategori, yakni uji
identifikasi dan uji kemurnian atau pengukuran. Untuk tujuan identifikasi,
spesifisitas ditunjukkan dengan kemampuan suatu metode analisis untuk
membedakana antar senyawa yang memiliki struktur molekul yang hampir sama.
Untuk tujuan uji kemurnian dan tujuan pengukuran kadar, spesifisitas ditunjukkan
oleh daya pisah 2 senyawa yang berdekatan. Jika dalam suatu uji terdapat suatu
pengotor maka metode uji harus tidak terpengaruh dengan adanya pengtor ini
(Rohman, 2007).

19
Universitas Sumatera Utara

2.4.4 Batas Deteksi dan Batas Kuantifikasi
Batas deteksi didefinisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam
sampel yang masih dapat dideteksi, meskipun tidak dapat dikuantifikasi. Batas
deteksi merupakan batas uji yang spesifik menyatakan apakah analit di atas atau
dibawah nilai tertentu. Batas Kuantifikasi didefinisikan sebagai konsentrasi analit
terendah dalam sampel yang dapat ditentukan dengan presisi dan akurasi yang
dapat diterima pada kondisi operasional metode yang digunakan (Rohman, 2007).
2.4.5 Linieritas
Linieritas adalah kemampuan suatu metode untuk memperoleh nilai hasil
uji langsung atau setelah diolah secara metematika proporsional dengan
konsentrasi analit dalam sampel dalam batas rentang konsentrasi tertentu
(Satiadarma, dkk., 2004). Linieritas dapat ditentukan secara langsung dengan
pengukuran analit pada konsentrasi sekurang-kurangnya lima titik konsentrasi
yang mencakup seluruh rentang konsentrasi kerja (Ermer dan Mcb.Miller, 2005).
2.4.6 Rentang
Rentang adalah interval antara batas konsentrasi tertinggi dan terendah
analit yang terbukti dapat ditentukan menggunakan prosedur analisis, dengan
presisi, akurasi, dan linieritas yang baik. Rentang biasanya dinyatakan dalam
satuan yang sama dengan hasil uji (persen, bagian per sejuta) (Satiadarma, dkk.,
2004).

20
Universitas Sumatera Utara