Pengaruh Motivasi terhadap Kinerja Bidan dalam Pelayanan KIA di Kota Binjai Tahun 2015

3. Sebagai bahan informasi dan referensi bagi penelitian selanjutnya.
BAB 2
TINJAUAN TEORITIS

2.1. Manajemen Sumber Daya Manusia
2.1.1. Definisi Manajemen Sumber Daya Manusia
Menurut

Flippo

(2000),

manajemen

sumber

daya

manusia

adalah


perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian atas pengadaan tenaga
kerja, pengembangan, kompensasi, integrasi, pemeliharaan, dan pemutusan hubungan
kerja dengan sumber daya manusia untuk mencapai sasaran perorangan, organisasi
dan masyarakat.
Manajemen sumber daya manusia juga bisa dilihat secara mendalam menurut
Gomes (2000), manajemen sumber daya manusia berasal dari dua pengertian utama
yaitu (1) manajemen dan (2) sumber daya manusia. Manajemen berasal dari kata to
manage yang artinya mengatur, mengurus, melaksanakan, dan mengelola. Sedangkan

sumber daya manusia merupakan salah satu sumber daya yang terdapat di organisasi,
meliputi semua orang yang melakukan aktivitas.
2.1.2. Fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia
Arep dan Tanjung (2003), membagi fungsi manajemen sumber daya manusia
menjadi dua bagian, yaitu :

1. Fungsi manajerial, yaitu fungsi manajemen yang berkaitan langsung dengan aspekaspek manajerial seperti fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan
pengendalian.
a. Fungsi perencanaan, yaitu melaksanakan tugas dalam hal merencanakan
10

kebutuhan, pengadaan pengembangan dan pemeliharaan SDM. Termasuk dalam
hal ini adalah merencanakan karir bagi para karyawan.
b. Fungsi pengorganisasian, yaitu menyusun suatu organisasi dengan membentuk
struktur dan hubungan antara tugas yang harus dikerjakan oleh tenaga kerja yang
dipersiapkan. Struktur dan hubungan yang dibentuk, harus disesuaikan dengan
situasi dan kondisi organisasi yang bersangkutan.
c. Fungsi pengarahan, yaitu memberikan dorongan untuk menciptakan kemauan kerja
yang dilaksanakan secara efektif dan efisien.
d. Fungsi pengendalian, yaitu melakukan pengukuran antara kegiatan yang telah
dilakukan dengan standar yang telah ditetapkan, khususnya di bidang tenaga kerja.
2. Fungsi operasional, yaitu fungsi yang berkaitan langsung dengan aspek-aspek
operasional sumber daya manusia di organisasi atau perusahaan meliputi
rekruitmen, seleksi, penempatan, pengangkatan, pelatihan dan pengembangan,
kompensasi, pemeliharaan dan pemutusan hubungan kerja. Fungsi operasional ini
merupakan tindakan pengoperasian yang harus dipertanggung jawabkan oleh
manajer personalia kepada manajemen puncak.
2.2. Motivasi

2.2.1. Pengertian Motivasi
Motivasi merupakan kegiatan yang mengakibatkan, menyalurkan, dan

memelihara perilaku manusia akibat interaksi individu dengan situasi. Umumnya
orang-orang yang termotivasi akan melakukan usaha yang lebih besar daripada yang
tidak melakukan. Kata motivasi berasal dari kata motivation, yang dapat diartikan
sebagai dorongan yang ada pada diri seseorang untuk bertingkah laku mencapai suatu
tujuan tertentu (Rivai, 2004). Motivasi adalah daya pendorong yang mengakibatkan
seseorang anggota organisasi mau dan rela mengerahkan kemampuan dalam bentuk
keahlian atau ketrampilan, tenaga dan waktunya untuk menyelenggarakan berbagai
kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan menunaikan kewajibannya dalam
rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi yang ditentukan (Siagian,
2004). Sedangkan Gerungan (2000), menambahkan bahwa motivasi adalah
penggerak, alasan-alasan, atau dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan
dirinya melakukan suatu tindakan/bertingkah laku.
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa motivasi
merupakan suatu penggerak atau dorongan-dorongan yang terdapat dalam diri
manusia yang dapat menimbulkan, mengarahkan, dan mengorganisasikan tingkah
lakunya. Hal ini terkait dengan upaya untuk memenuhi kebutuhan yang dirasakan,
baik kebutuhan fisik maupun kebutuhan rohani.
Istilah motivasi mengandung tiga hal yang amat penting, yaitu:

a) Pemberian motivasi berkaitan langsung dengan usaha pencapaian tujuan dan

berbagai sasaran organisasional. Tersirat pada pandangan ini bahwa dalam tujuan
dan sasaran organisasi telah tercakup tujuan dan sasaran pribadi anggota
organisasi. Pemberian motivasi hanya akan efektif apabila dalam diri bawahan
yang digerakkan terdapat keyakinan bahwa dengan tercapainya tujuan maka tujuan
pribadi akan ikut pula tercapai.
b) Motivasi merupakan proses keterkaitan antara usaha dan pemuasan kebutuhan
tertentu. Usaha merupakan ukuran intensitas kemauan seseorang. Apabila
seseorang termotivasi, maka akan berusaha keras untuk melakukan sesuatu.
c) Kebutuhan adalah keadaan internal seseorang yang menyebabkan hasil usaha
tertentu menjadi menarik. Artinya suatu kebutuhan yang belum terpuaskan
menciptakan ketegangan yang pada gilirannya menimbulkan dorongan tertentu
pada diri seseorang.
Gitosudarmo dan Sudita (1997), menyatakan motivasi atau dorongan kepada
karyawan untuk bersedia bekerja sama demi tercapainya tujuan bersama atau tujuan
perusahaan ini terdapat dua macam yaitu: (a) motivasi finansial yaitu dorongan yang
dilakukan dengan memberikan imbalan finansial kepada karyawan. Imbalan tersebut
sering disebut Insentif; dan (b) motivasi non finansial yaitu dorongan yang
diwujudkan tidak dalam bentuk finansial, akan tetapi berupa hal-hal seperti pujian,
penghargaan, pendekatan manusiawi dan lain sebagainya.
2.2.2. Teori Motivasi


Robbin (2006), teori ini mula-mula dipelopori oleh Maslow pada tahun 1954.
Ia menyatakan bahwa manusia mempunyai berbagai keperluan dan mencoba
mendorong untuk bergerak memenuhi keperluan tersebut. Keperluan itu wujud dalam
beberapa tahap kepentingan. Setiap manusia mempunyai keperluan untuk memenuhi
kepuasan diri dan bergerak memenuhi keperluan tersebut. Lima hirarki keperluan
mengikut Maslow adalah kebutuhan: (1) Faali (fisiologis): antara lain rasa lapar,
haus, perlindungan (pakaian dan perumahan), sex dan kebutuhan ragawi lain, (2)
Keamanan : antara lain keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik dan
emosional, (3) Sosial: mencakup kasih sayang, rasa dimiliki, diterima baik, dan
persahabatan, (4) Penghargaan : mencakup faktor rasa hormat internal seperti hargadiri, otonomi, dan prestasi; dan faktor hormat ekstemal seperti status, pengakuan, dan
perhatian. (5) Aktualisasi-diri: dorongan untuk menjadi apa yang ia mampu menjadi;
mencakup pertumbuhan, mencapai potensialnya, dan pemenuhan diri.
Maslow memisahkan kelima kebutuhan sebagai kategori tinggi dan kategori
rendah, kebutuhan faali dan kebutuhan keamanan digambarkan sebagai kebutuhan
kategori rendah dan kebutuhan sosial dan kebutuhan akan penghargaan, dan
aktualisasi diri sebagai kebutuhan kategori tinggi. Pembedaan antara kedua kategori
ini berdasarkan alasan bahwa kebutuhan kategori tinggi dipenuhi secara internal (di
dalam diri orang itu). Sedangkan kebutuhan kategori rendah terutama dipenuhi secara
eksternal (dengan upah, kontrak serikat buruh, dan masa kerja).

2.2.3. Jenis-Jenis Motivasi

Handoko (2001), motivasi terdiri atas: (a) motivasi intrinsik, yaitu motivasi
yang berfungsinya tanpa rangsangan dari luar, karena dalam diri individu tersebut
sudah ada dorongan untuk melakukan tindakan, dan (b) motivasi ekstrinsik, yaitu
motivasi yang berfungsinya karena disebabkan oleh adanya faktor pendorong dari
luar diri individu.
Herzberg dalam (Hasibuan, 2005) menjelaskan bahwa motivasi pada
prinsipnya berkaitan dengan kepuasan dan ketidak puasan kerja. Dalam hal ini
kepuasan kerja atau perasaan positif disebut sebagai hygien. Secara terinci
dikemukakan faktor-faktor yang menimbulkan ketidakpuasan dikalangan karyawan
atau bawahan.
2.2.4. Faktor-faktor yang Memengaruhi Motivasi
Faktor motivasi dibedakan menjadi dua, yang pertama dinamakan situasi
motivasi yang "subjective" atau faktor intrinsik dan yang kedua adalah faktor
"objective" atau faktor ekstrinsik. Faktor-faktor intrinsik adalah faktor-faktor yang

timbul dari individu petugas dengan pekerjaanya yang sering disebut pula sebagai
"job content factor". Faktor tersebut diantaranya meliputi keberhasilan dalam


melaksanakan tugas, memperoleh pengakuan atas prestasinya, memperoleh tanggung
jawab yang lebih besar dan memperoleh kemajuan kedudukan melalui promosi
jabatan. Sejauh mana semuanya itu dapat terpenuhi secara positif bagi petugas, maka
sejauh itu pula dorongan/daya motivasinya untuk bekerja bagi tercapainya tujuan
organisasi

Herzberg dalam (Hasibuan, 2005), menyatakan bahwa faktor-faktor yang
memengaruhi motivasi seorang karyawan ada yang bersifat internal dan eksternal.
Faktor yang bersifat internal (motivatorfactor), antara lain:
1) Tanggung jawab (Responsibility).
Setiap orang ingin diikutsertakan dan ingin diakui sebagai orang yang berpotensi,
dan pengakuan ini akan menimbulkan rasa percaya diri dan siap memikul
tanggung jawab yang lebih besar.
2) Prestasi yang diraih (Achievement)
Setiap orang menginginkan keberhasilan dalam setiap kegiatan. Pencapaian
prestasi dalam melakukan suatu pekerjaan akan menggerakkan yang bersangkutan
untuk melakukan tugas-tugas berikutnya.
3) Pengakuan orang lain (Recognition)
Pengakuan terhadap prestasi merupakan alat motivasi yang cukup ampuh, bahkan
bisa melebihi kepuasan yang bersumber dari kompensasi.

4) Pekerjaan itu sendiri (The work it self)
Pekerjaan itu sendiri merupakan faktor motivasi bagi pegawai untuk berforma
tinggi. Pekerjaan atau tugas yang memberikan perasaan telah mencapai sesuatu,
tugas itu cukup menarik, tugas yang memberikan tantangan bagi pegawai,
merupakan faktor motivasi, karena keberadaannya sangat menentukan bagi
motivasi untuk berforma tinggi.
5) Kemungkinan Pengembangan (The possibility of Growth)

Karyawan hendaknya diberi kesempatan untuk meningkatkan kemampuannya
misalnya melalui pelatihan-pelatihan, kursus dan juga melanjutkan jenjang
pendidikannya. Hal ini memberikan kesempatan kepada karyawan untuk tumbuh
dan berkembang sesuai dengan rencana karirnya yang akan mendorongnya lebih
giat dalam bekerja.
6) Kemajuan (Advancement)
Peluang untuk maju merupakan pengembangan potensi diri seorang pagawai
dalam melakukan pekerjaan, karena setiap pegawai menginginkan adanya promosi
kejenjang yang lebih tinggi, mendapatkan peluang untuk meningkatkan
pengalaman dalam bekerja. Peluang bagi pengembangan potensi diri akan menjadi
motivasi yang kuat bagi pegawai untuk bekerja lebih baik.
Sedangkan yang berhubungan dengan faktor ketidakpuasan dalam bekerja

menurut Herzberg dalam Luthans (2003), dihubungkan oleh faktor ekstrinsik antara
lain :
1) Gaji
Tidak ada satu organisasipun yang dapat memberikan kekuatan baru kepada
tenaga kerjanya atau meningkatkan produktivitas, jika tidak memiliki sistem
kompensasi yang realitis dan gaji bila digunakan dengan benar akan memotivasi
pegawai.
2) Keamanan dan keselamatan kerja.
Kebutuhan akan keamanan dapat diperoleh melalui kelangsungan kerja.

3) Kondisi kerja
Dengan kondisi kerja yang nyaman, aman dan tenang serta didukung oleh
peralatan yang memadai, karyawan akan merasa betah dan produktif dalam
bekerja sehari-hari.
4) Hubungan kerja
Untuk dapat melaksanakan pekerjaan dengan baik, haruslah didukung oleh
suasana atau hubungan kerja yang harmonis antara sesama pegawai maupun
atasan dan bawahan.
5) Prosedur perusahaan.
Keadilan dan kebijakasanaan dalam mengahadapi pekerja, serta pemberian

evaluasi dan informasi secara tepat kepada pekerja juga merupakan pengaruh
terhadap motivasi pekerja.
6) Status
Merupakan posisi atau peringkat yang ditentukan secara sosial yang diberikan
kepada kelompok atau anggota kelompok dari orang lain. Status pekerja
memengaruhi motivasinya dalam bekerja. Status pekerja yang diperoleh dari
pekerjaannya antara lain ditunjukkan oleh klasifikasi jabatan, hak-hak istimewa
yang diberikan serta peralatan dan lokasi kerja yang dapat menunjukkan statusnya.
2.2.5. Manfaat Motivasi
Manfaat motivasi yang utama adalah menciptakan gairah kerja, sehingga
produktivitas kerja meningkat. Sementara itu manfaat yang diperoleh karena bekerja

dengan orang-orang yang termotivasi adalah pekerjaan dapat diselesaikan dengan
tepat. Artinya pekerjaan diselesaikan sesuai standar yang ditetapkan dan dalam skala
waktu yang sudah ditentukan, serta orang senang melakukan pekerjaannya.
Sesuatu yang dikerjakan dengan adanya motivasi yang mendorongnya akan
membuat orang senang melakukannya. Orang pun akan merasa dihargai atau diakui,
hal ini terjadi karena pekerjaannya itu betul-betul berharga bagi orang yang
termotivasi, sehingga orang tersebut akan bekerja keras. Hal ini dimaklumi karena
dorongan yang begitu tinggi menghasilkan sesuai target yang mereka tetapkan.

Kinerjanya akan dipantau oleh individu yang bersangkutan dan tidak akan
membutuhkan terlalu banyak pengawasan serta semangat juangnya akan tinggi (Arep
dan Tanjung, 2003).
2.3. Bidan
2.3.1. Sejarah Bidan
Sejarah menunjukkan bahwa kebidanan merupakan salah satu profesi tertua di
dunia sejak adanya peradaban umat manusia. Bidan lahir sebagai perempuan
terpercaya dalam mendampingi dan menolong ibu- ibu yang melahirkan. Profesi ini
telah mendudukkan peran dan posisi seorang bidan menjadi terhormat di masyarakat,
karena tugas yang diembannya sangat mulia dalam upaya memberikan semangat dan
membesarkan hati ibu-ibu. Disamping itu, bidan dengan setia mendampingi dan
menolong ibu-ibu dalam melahirkan sampai sang ibu mampu merawat bayinya
dengan baik. Sejak zaman prasejarah, dalam naskah kuno telah tercatat bidan dari

Mesir (Siphrah dan Poah), yang berani mengambil resiko membela keselamatan bayibayi laki-laki bangsa Yahudi (sebagai orang-orang yang terjajah oleh bangsa Mesir),
yang diperintahkan oleh Firaun untuk dibunuh. Mereka sudah menunjukkan sikap
etika moral yang tinggi dan takwa kepada Tuhan dalam membela orang-orang yang
berada pada posisi lemah, yang pada zaman modern ini kita sebut peran advokasi.
Dalam menjalankan tugas dan praktiknya, bidan bekerja berdasarkan pada pandangan
filosofi yang dianut, keilmuan, metode kerja, standart praktik pelayanan dan kode etik
profesi yang dimilikinya (Asrinah et all, 2010).
2.3.2. Definisi Bidan
Bidan merupakan profesi yang diakui secara nasional maupun internasional
dengan sejumlah praktisi di seluruh dunia. Pengertian Bidan dan bidang prakteknya
secara internasional telah diakui oleh International Confederation of Midwives (ICM)
tahun 1972 dan International Federation of International Gynaecologist and
Obstetritian (FIGO) tahun 1973, WHO dan badan lainnya. Pada tahun 1990 pada
pertemuan dewan di Kobe, ICM menyempurnakan defenisi tersebut yang kemudian
disahkan oleh FIGO (1991) dan WHO (1992).
Bidan adalah seseorang yang telah menyelesaikan program pendidikan Bidan
yang diakui oleh negara serta memperoleh kualifikasi dan diberi izin untuk
menjalankan praktek kebidanan di negeri itu. Dia harus mampu memberikan
supervisi, asuhan dan memberikan nasehat yang dibutuhkan kepada wanita selama
masa hamil, persalinan desa ,masa pasca persalinan (postpartum period), memimpin

persalinan atas tanggung jawabnya sendiri serta asuhan pada bayi baru lahir dan anak.
Asuhan ini termasuk tindakan preventif, pendeteksian kondisi abnormal pada ibu dan
bayi, dan mengupayakan bantuan medis serta melakukan tindakan pertolongan gawat
darurat pada saat tidak hadirnya tenaga medik lainnya. Dia mempunyai tugas penting
dalam konsultasi dan pendidikan kesehatan, tidak hanya untuk wanita tersebut, tetapi
juga termasuk keluarga dan komunitasnya. Pekerjaan itu termasuk pendidikan
antenatal, dan persiapan untuk menjadi orang tua, dan meluas ke daerah tertentu dari
ginekologi, keluarga berencana, dan asuhan anak. Dia bisa berpraktek di rumah sakit,
klinik, unit kesehatan, rumah perawatan atau tempat-tempat pelayanan lainnya. (PP
IBI, 2005).
Bidan adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan yang
diakui pemerintah dan organisasi profesi di wilayah negara RI serta memiliki
kompetensi dan mendapat lisensi untuk menjalankan praktek kebidanan. (Permenkes,
2007). Bidan adalah seorang yang telah secara teratur mengikuti suatu program
pendidikan kebidanan yang diakui negara. Program tersebut diselenggarakan dan
telah berhasil menyelesaikan serangkaian pendidikan kebidanan yang ditetapkan dan
telah memperoleh kualifikasi yang diperlukan untuk bisa didaftarkan dan secara
hukum memperoleh ijin untuk melakukan praktek kebidanan. (Helen Varney, 2007).
Bidan menurut WHO adalah seorang yang telah diakui secara reguler dalam
pendidikan diakui secara yuridis, ditempatkan dan mendapat kualifikasi, serta

terdaftar di sektor dan memperoleh ijin melaksanakan praktek kebidanan (Salmah,
2006).
Demikian luas dan dalamnya profesi bidan maka dapat dikatakan bahwa bidan
Indonesia adalah seorang wanita yang telah mengikuti dan menyelesaikan pendidikan
bidan yang telah diakui pemerintah dan lulus ujian dengan persyaratan yang berlaku.
Jika melakukan praktek, yang bersangkutan harus mempunyai kualifikasi agar
mendapatkan lisensi untuk praktek (PP IBI, 2005).

2.4. Teori tentang Kinerja
2.4.1. Pengertian Kinerja
Menurut Robbins (2006), kinerja merupakan pencapaian yang optimal sesuai
dengan potensi yang dimiliki seorang karyawan merupakan hal yang selalu menjadi
perhatian para pemimpin organisasi. Kinerja ini menggambarkan sejauh mana
aktivitas seseorang dalam melaksanakan tugas dan berusaha dalam mencapai tujuan
yang ditetapkan. Menurut Triffin dan Mac Cormick (1979), kinerja individu
berhubungan dengan individual variable dan situational variable. Perbedaan individu
akan menghasilkan kinerja yang berbeda pula. Individual variabel adalah variabel
yang berasal dari dalam diri individu yang bersangkutan, misalnya kemampuan,
kepentingan, dan kebutuhan-kebutuhan tertentu. Sedangkan situational variable
adalah variabel yang bersumber dari situasi pekerjaan yang lebih luas (lingkungan

organisasi), misalnya pelaksanaan supervisi, karakteristik pekerjaan, hubungan
dengan teman sekerja dan pemberian imbalan.
Sementara kinerja menurut Mangkunegara (2002), adalah hasil kerja secara
kuantitas dan kualitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan
tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Baik tidaknya
karyawan dalam menjalankan tugas yang diberikan perusahaan dapat diketahui
dengan melakukan penilaian terhadap kinerja karyawannya. Penilaian kinerja
merupakan alat yang sangat berpengaruh untuk mengevaluasi kerja karyawan bahkan
dapat memotivasi dan mengembangkan karyawan.

2.4.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja
Mangkunegara (2002), mengemukakan bahwa faktor yang memengaruhi
kinerja adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation).
a. Faktor Kemampuan (ability).

Karyawan yang memiliki pengetahuan yang memadai untuk jabatannya dan
terampil dalam mengerjakan pekerjaannya sehari hari, maka ia lebih mudah untuk
mencapai kinerja yang diharapkan.
b. Faktor Motivasi (motivation).
Motivasi terbentuk dari sikap karyawan dalam menghadapi situasi kerja. Motivasi
merupakan kondisi yang terarah untuk mencapai tujuan kerja atau organisasi.
Pimpinan organisasi sangat menyadari adanya perbedaan kinerja antara satu

karyawan dengan karyawan lainnya yang berada dibawah pengawasannya. Secara
garis besar, perbedaan kinerja ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor individu
dan situasi kerja.
Menurut Gibson et al. (1996), ada tiga perangkat variabel yang memengaruhi
kinerja seseorang, yaitu:
1. Variabel Individual, terdiri dari:
a) Kemampuan dan Keterampilan
Kondisi mental dan fisik seseorang dalam menjalankan suatu aktivitas atau
pekerjaan.
b) Latar belakang
Kondisi dimasa lalu yang memengaruhi karakteristik dan sikap mental seseorang,
biasanya dipengaruhi oleh faktor keturunan serta pengalaman dimasa lalu.
c) Demografis
Kondisi kependudukan yang berlaku pada individu atau karyawan, dimana
lingkungan sekitarnya akan membentuk pola tingkah laku individu tersebut
berdasarkan adat atau norma sosial yang berlaku.
2. Variabel Organisasional, terdiri dari:
a) Sumber Daya
Sekumpulan potensi atau kemampuan organisasi yang dapat diukur dan dinilai,
seperti sumber daya alam, sumber daya manusia.
b) Kepemimpinan

Suatu seni mengkoordinasi yang dilakukan oleh pimpinan dalam memotivasi
pihak lain untuk meraih tujuan yang diinginkan oleh organisasi.
c) Imbalan
Balas jasa yang diterima oleh pegawai atau usaha yang telah dilakukan di dalam
proses aktivitas organisasi dalam jangka waktu tertentu secara intrinsik maupun
ekstrinsik.
d) Struktur
Hubungan wewenang dan tanggungjawab antar individu di dalam organisasi,
dengan karakteristik tertentu dan kebutuhan organisasi.

e) Desain Pekerjaan
Job Description yang diberikan kepada pegawai, apakah pegawai dapat

melakukan pekerjaan sesuai dengan job description.
3. Variabel Psikologis, terdiri dari:
a) Persepsi
Suatu proses kognitif yang digunakan oleh seseorang untuk menafsirkan dan
memahami dunia sekitarnya.
b) Sikap
Kesiapsiagaan mental yang dipelajari dan diorganisir melalui pengalaman dan
mempunyai pengaruh tertentu atas cara tanggap seseorang terhadap orang lain.

c) Kepribadian
Pola perilaku dan proses mental yang unik, mencirikan seseorang.
d) Belajar
Proses yang dijalani seseorang dari tahap tidak tahu menjadi tahu dan memahami
akan sesuatu terutama yang berhubungan dengan organisasi dan pekerjaan.
Menurut Werther dan Davis (1996), faktor-faktor yang memengaruhi kinerja
adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation). Secara
psikologis, kemampuan karyawan terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan
kemampuan reality (knowledge+ skill). Artinya, pegawai yang memiliki IQ di atas
rata-rata dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan ketrampilan dalam
mengerjakan pekerjaan, maka ia akan lebih mudah mencapai kinerja yang
diharapkan. Sedangkan Robbin (2006), menambahkan dimensi baru yang
menentukan kinerja seseorang, yaitu kesempatan. Menurutnya, meskipun seseorang
bersedia (motivasi) dan mampu (kemampuan). Mungkin ada rintangan yang menjadi
kendala kinerja seseorang, yaitu kesempatan yang ada, mungkin berupa lingkungan
kerja tidak mendukung, peralatan, pasokan bahan, rekan kerja yang tidak mendukung
prosedur yang tidak jelas dan sebagainya.
2.4.3. Penilaian Kinerja
Menurut Simamora (2004), penilaian kinerja (performance appraisal) adalah
prosesnya organisasi mengevaluasi pelaksanaan kerja individu. Penilaian kinerja
memberikan mekanisme penting bagi manajemen untuk digunakan dalam

menjelaskan tujuan-tujuan dan standar kinerja individu di waktu berikutnya.
Sedangkan menurut Rivai (2005), penilaian kinerja merupakan kajian sistematis
tentang kondisi kerja karyawan yang dilaksanakan secara formal yang dikaitkan
dengan standar kerja yang telah ditentukan perusahaan. Penilaian kinerja merupakan
proses yang dilakukan perusahaan dalam mengevaluasi kinerja pekerjaan seseorang,
meliputi dimensi kinerja karyawan dan akuntabilitas.
Rivai (2005), mengemukakan pada dasarnya ada 2 (dua) model penilaian
kinerja :
1. Penilaian Kinerja Berorientasi Masa Lalu
(a) Skala Peringkat (Rating Scale)
Metode ini merupakan metode yang paling tua yang digunakan dalam penilaian
prestasi, di mana para penilai diharuskan melakukan suatu penilaian yang
berhubungan dengan hasil kerja karyawan dalam skala-skala tertentu, mulai dari
yang paling rendah sampai yang paling tinggi.
(b) Daftar Pertanyaan (Checklist)
Metode ini menggunakan formulir isian yang menjelaskan beraneka macam
tingkat perilaku bagi suatu pekerjaan tertentu. Penilai hanya perlu kata atau
pertanyaan yang mengambarkan karakteristik dan hasil kerja karyawan.
Keuntungan dari cheklist adalah biaya yang murah, pengurusannya mudah, penilai
hanya membutuhkan pelatihan yang sederhana dan distandarisasi.
(c) Metode Dengan Pilihan Terarah

Metode ini dirancang untuk meningkatkan objektivitas dan mengurangi
subjektivitas dalam penilaian. Salah satu sasaran dasar pendekatan pilihan ini
adalah untuk mengurangi dan menyingkirkan kemungkinan berat sebelah
penilaian dengan memaksa suatu pilihan antara pernyataan-pernyataan deskriptif
yang kelihatannya mempunyai nilai yang sama.
(d) Metode Peristiwa Kritis (Critical Incident Method)
Metode ini bermanfaat untuk memberi karyawan umpan balik yang terkait
langsung dengan pekerjaannya.
(e) Metode Catatan Prestasi
Metode ini berkaitan erat dengan metode peristiwa kritis, yaitu catatan
penyempurnaan, yang banyak digunakan terutama oleh para profesional, misalnya
penampilan, kemampuan berbicara, peran kepemimpinan dan aktivitas lain yang
berhubungan dengan pekerjaan.
(f) Skala Peringkat dikaitkan dengan Tingkah Laku (Behaviorally Anchored Rating
cale=BARS)
Penggunaan metode ini menuntut diambilnya 3 (tiga) langkah, yaitu:
1) Menentukan skala peringkat penilaian prestasi kerja
2) Menentukan kategori prestasi kerja dengan skala peringkat
3) Uraian prestasi kerja sedemikian rupa sehingga kecenderungan perilaku karyawan
yang dinilai dengan jelas.
(g) Metode Peninjauan Lapangan (Field Review Method)

Di sini penilai turun ke lapangan bersama-sama dengan ahli dari SDM. Spesialis
SDM mendapat informasi dari atasan langsung perihal karyawannya, lalu
mengevaluasi berdasarkan informasi tersebut.
(h) Test dan Observasi Prestasi Kerja (Performance Test and Observation)
Karyawan dinilai, diuji kemampuannya, baik melalui ujian tertulis yang
menyangkut berbagai hal seperti tingkat pengetahuan tentang prosedur dan
mekanisme kerja yang telah ditetapkan dan harus ditaati atau melalui ujian praktik
yang langsung diamati oleh penilai.
(i) Pendekatan Evaluasi Komparatif (Comparative Evaluation Approach)
Metode ini mengutamakan perbandingan prestasi kerja seseorang dengan
karyawan lain yang menyelenggarakan kegiatan sejenis.
2. Penilaian Kinerja Berorientasi Masa Depan
a. Penilaian Diri Sendiri (Self Appraisal)
Penilaian diri sendiri adalah penilaian yang dilakukan oleh karyawan sendiri
dengan harapan karyawan tersebut dapat lebih mengenal kekuatan-kekuatan dan
kelemahan dirinya sehingga mampu mengidentifikasi aspek-aspek perilaku kerja
yang perlu diperbaiki pada masa yang akan datang.
b. Manajemen Berdasarkan Sasaran (Management by Objective) Merupakan suatu
bentuk penilaian di mana karyawan dan penyelia bersama-sama menetapkan
tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran pelaksanaan kerja karyawan secara individu di
waktu yang akan datang.

c. Penilaian dengan Psikolog
Penilaian ini lazimnya dengan teknik terdiri atas wawancara, tes psikologi,
diskusi-diskusi dengan penyelia-penyelia.
3. Organisasi dengan Tingkat Manajemen Majemuk
Pada organisasi dengan tingkat manajeman majemuk, personel biasanya
dinilai oleh manajer yang tingkatnya lebih tinggi. Penilaian termasuk yang dilakukan
oleh penyelia atau atasan langsung kepadanya laporan kerja personel disampaikan.
Penilaian ini dapat juga melibatkan manajer lini unit lain. Sebagai contoh, personel
bagian pembelian dapat dinilai oleh manajer produksi sebagai sebagai pemakai
barang yang dibeli. Hal ini normal terjadi bila interaksi antara personel dan unit lain
cukup tinggi. Sebaiknya penggunaan penilaian atasan dari bagian lain dibatasi, hanya
pada situasi kerja kelompok dimana individu sering melakukan interaksi. Pada
penilaian manajer, biasanya dilakukan oleh beberapa atasan manajer dengan tingkat
lebih tinggi yang sering bekerja sama dalam kelompok kerja. Penilaian kerja
kelompok akan sangat bernilai jika penilaian dilakukan dengan bebas dan kemudian
dilakukan mufakat dengan diskusi.
Hasil penilaian akhir seharusnya tidak dihubungkan dengan kemungkinan
adanya

perbedaaan

pendapat

diantara

penilai.

Penilaian

kelompok

dapat

menghasilkan gambaran total kinerja personel lebih tepat, tetapi kemungkinan terjadi
bias dengan kecenderungan penilaian lebih tinggi sehingga menghasilkan penilaian
yang merata. Penilaian atasan langsung sangat penting dari seluruh sistem penilaian

kinerja. Hal ini disebabkan karena madah untuk memperoleh hasil penilaian atasan
dan dapat diterima oleh akal sehat. Para atasan merupakan orang yang tepat untuk
mengamati dan menilai kinerja bawahannya. Oleh sebab itu, seluruh sistem penilaian
umumnya sangat tergantung pada evaluasi yang dilakukan oleh atasan (Rivai, 2005).
2.4.4. Tujuan Penilaian Kinerja
Menurut Simamora (2004), tujuan penilaian kinerja digolongkan kedalam
tujuan evaluasi dan tujuan pengembangan.
a. Tujuan Evaluasi
Melalui pendekatan evaluatif, dilakukan penilaian kinerja masa lalu seorang
karyawan. Evaluasi yang digunakan untuk menilai kinerja adalah rating deskriptif.
Hasil evaluasi digunakan sebagai data dalam mengambil keputusan-keputusan
mengenai promosi dan kompensasi sebagai penghargaan atas peningkatan kinerja
karyawan.

b. Tujuan Pengembangan
Pendekatan pengembangan diharapkan dapat meningkatkan kinerja karyawan di
masa yang akan datang. Aspek pengembangan dari penilaian kinerja mendorong
perbaikan karyawan dalam menjalankan pekerjaannya.
2.4.5. Manfaat Penilaian Kinerja
Manfaat penilaian kinerja yang dikemukakan oleh Mulyadi (1997), yaitu:

1. Mengelola operasi organisasi secara efektif dan efisien melalui pemotivasian
karyawan secara maksimum.
2. Membantu pengambilan keputusan yang bersangkutan dengan karyawan, seperti
promosi, transfer dan pemberhentian.
3. Mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan karyawan dan
menyediakan kriteria seleksi dan evaluasi program pelatihan karyawan.
4. Menyediakan umpan balik bagi karyawan mengenai bagaimana atasan mereka
menilai kinerja mereka.
5. Menyediakan suatu dasar distribusi penghargaan
2.4.6. Kinerja Bidan
Kinerja bidan dapat dinilai dari kesesuaian target cakupan pelayanan yang
dilakukannya dengan jumlah sasaran yang ada di wilayah kerjaannya. Oleh karena
itu, bidan di desa harus mengetahui jumlah sasaran program KIA (ibu hamil, bersalin,
bayi). Apabila hasil pendataan yang sebenarnya tidak dimiliki, maka dapat dilakukan
perkiraan jumlah ibu hamil (2,7-3% dari jumlah penduduk), dan jumlah bayi (2,52,7% dari jumlah penduduk) per tahun. Untuk validasi data maka jumlah yang dicatat
bidan di desa tidak boleh berbeda (10%) dari patokan di atas. Untuk cakupan K1
pertahun tidak boleh kurang dari 90%, bila kurang di asumsikan pemahaman tentang
indikator cakupan dan penghitungan oleh bidan desa masih kurang, maka perlu
ditindak lanjuti dalam supervisi dengan pembinaan intensif dan sebagai bahan
informasi mengenai kinerja bidan di desa (Depkes RI, 2003).

2.5. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)
Pembangunan kesehatan dilakukan dengan prioritas pada upaya peningkatan
kesehatan masyarakat dan keluarga melalui peningkatan kualitas pelayanan
kesehatan. Derajat kesehatan masyarakat dan keluarga antara lain ditentukan oleh
derajat KIA sebagai kelompok penduduk yang rawan dan strategis. Oleh karena itu
perlu diupayakan penurunan AKI dan AKB yang merupakan indikator penilaian
derajat kesehatan masyarakat (Depkes RI, 2003). Upaya penurunan kematian ibu dan
bayi dapat dilakukan dengan peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan KIA,
sehingga program KIA tetap diharapkan menjadi kegiatan prioritas (Depkes RI,
2009).
Beberapa pelayanan KIA menurut Kemenkes 2010 adalah sebagai berikut :
1. Pelayanan Antenatal
Pelayanan antenatal adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga
kesehatan untuk ibu selama masa kehamilannya, dilaksanakan sesuai dengan standar
pelayanan antenatal yang ditetapkan dalam Standar Pelayanan Kebidanan (SPK).
Pelayanan antenatal sesuai standar meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik (umum dan
kebidanan), pemeriksaan laboratorium rutin dan khusus, serta intervensi umum dan
khusus (sesuai risiko yang ditemukan dalam pemeriksaan). Dalam penerapannya
terdiri atas:
a. Timbang berat badan dan ukur tinggi badan dengan alat timbangan dan mikrotois.
b. Ukur tekanan darah dengan alat tensimeter.

c. Nilai Status Gizi (ukur lingkar lengan atas) dengan meteran.
d. Ukur tinggi fundus uteri.
e. Tentukan presentasi janin dan denyut jantung janin dengan alat stetostop.
f. Skrining status imunisasi Tetanus dan berikan imunisasi Tetanus Toksoid (TT) bila
diperlukan dengan alat form skrining.
g. Pemberian Tablet zat besi minimal 90 tablet selama kehamilan.
h. Test laboratorium (rutin dan khusus).
i. Tatalaksana kasus.
j. Temu wicara (konseling), termasuk Perencanaan Persalinan dan Pencegahan
Komplikasi (P4K) serta KB pasca persalinan.
Pemeriksaan laboratorium rutin mencakup pemeriksaan golongan darah,
hemoglobin, protein urine dan gula darah puasa. Pemeriksaan khusus dilakukan di
daerah prevalensi tinggi dan atau kelompok berisiko, pemeriksaan yang dilakukan
adalah hepatitis B, HIV, sifilis, malaria, tuberkulosis, kecacingan dan thalasemia.
Dengan demikian maka secara operasional, pelayanan antenatal disebut lengkap
apabila dilakukan oleh tenaga kesehatan serta memenuhi standar tersebut. Ditetapkan
pula bahwa frekuensi pelayanan antenatal adalah minimal 4 kali selama kehamilan,
dengan ketentuan waktu pemberian pelayanan yang dianjurkan sebagai berikut :
a. Minimal 1 kali pada triwulan pertama.
b. Minimal 1 kali pada triwulan kedua.
c. Minimal 2 kali pada triwulan ketiga.

Standar waktu pelayanan antenatal tersebut dianjurkan untuk menjamin
perlindungan kepada ibu hamil, berupa deteksi dini faktor risiko, pencegahan dan
penanganan komplikasi. Tenaga kesehatan yang berkompeten memberikan pelayanan
antenatal kepada ibu hamil adalah : dokter spesialis kebidanan, dokter, bidan dan
perawat.
2. Pertolongan Persalinan
Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan adalah pelayanan persalinan
yang aman yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten. Pada kenyataan di
lapangan, masih terdapat penolong persalinan yang bukan tenaga kesehatan dan
dilakukan di luar fasilitas pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, secara bertahap
seluruh persalinan akan ditolong oleh tenaga kesehatan kompeten dan diarahkan ke
fasilitas pelayanan kesehatan.
Pada prinsipnya, penolong persalinan harus memperhatikan hal-hal sebagai
berikut :
a. Pencegahan infeksi.
b. Metode pertolongan persalinan yang sesuai standar.
c. Merujuk kasus yang tidak dapat ditangani ke tingkat pelayanan yang lebih tinggi.
d. Melaksanakan Inisiasi Menyusu Dini.
e. Memberikan Injeksi Vit K1 dan salep mata pada bayi baru lahir.
Tenaga kesehatan yang berkompeten memberikan pelayanan pertolongan
persalinan adalah : dokter spesialis kebidanan, dokter dan bidan.

3. Pelayanan Nifas
Pelayanan kesehatan ibu nifas adalah pelayanan kesehatan sesuai standar pada
ibu mulai 6 jam sampai 42 hari pasca bersalin oleh tenaga kesehatan. Untuk deteksi
dini komplikasi pada ibu nifas diperlukan pemantauan pemeriksaan terhadap ibu nifas
dan meningkatkan cakupan KB pasca. Pelayanan yang diberikan adalah :
a. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu dengan alat tensimeter, jam
dan termometer.
b. Pemeriksaan tinggi fundus uteri (involusi uterus).
c. Pemeriksaan lokchia dan pengeluaran per vaginam lainnya.
d. Pemeriksaan payudara dan anjuran ASI eksklusif 6 bulan.
e. Pemberian kapsul Vitamin A 200.000 IU sebanyak dua kali , pertama segera
setelah melahirkan, kedua diberikan setelah 24 jam pemberian kapsul Vitamin A
pertama.
f. Pelayanan KB pasca salin adalah pelayanan yang diberikan kepada ibu yang mulai
menggunakan alat kontrasepsi langsung sesudah melahirkan (sampai dengan 42
hari sesudah melahirkan).
4. Pelayanan Kesehatan Neonatus
Pelayanan kesehatan neonatus adalah pelayanan kesehatan sesuai standar
yang diberikan oleh tenaga kesehatan yang kompeten kepada neonatus sedikitnya 3
kali, selama periode 0 sampai dengan 28 hari setelah lahir, baik di fasilitas kesehatan
maupun melalui kunjungan rumah. Pelaksanaan pelayanan kesehatan neonatus :

a. Kunjungan Neonatal ke-1 (KN 1) dilakukan pada kurun waktu 6-48 Jam setelah
lahir.
b. Kunjungan Neonatal ke-2 (KN 2) dilakukan pada kurun waktu hari ke 3 sampai
dengan hari ke 7 setelah lahir.
c. Kunjungan Neonatal ke-3 (KN 3) dilakukan pada kurun waktu hari ke 8 sampai
dengan hari ke 28 setelah lahir.
Kunjungan neonatal bertujuan untuk meningkatkan akses neonatus terhadap
pelayanan

kesehatan

dasar,

mengetahui

sedini

mungkin

bila

terdapat

kelainan/masalah kesehatan pada neonatus. Risiko terbesar kematian neonatus terjadi
pada 24 jam pertama kehidupan, minggu pertama dan bulan pertama kehidupannya.
Sehingga jika bayi lahir di fasilitas kesehatan sangat dianjurkan untuk tetap tinggal di
fasilitas kesehatan selama 24 jam pertama. Pelayanan kesehatan neonatal dasar
dilakukan secara komprehensif dengan melakukan pemeriksaan dan perawatan bayi
baru lahir dan pemeriksaan menggunakan pendekatan Manajemen Terpadu Bayi
Muda (MTBM) untuk memastikan bayi dalam keadaan sehat, yang meliputi :
a. Pemeriksaan dan Perawatan Bayi Baru Lahir
1) Perawatan Tali pusat
2) Melaksanakan ASI Eksklusif
3) Memastikan bayi telah diberi Injeksi Vitamin K1
4) Memastikan bayi telah diberi Salep Mata Antibiotik
5) Pemberian Imunisasi Hepatitis B-0

b. Pemeriksaan menggunakan pendekatan MTBM
1) Pemeriksaan tanda bahaya seperti kemungkinan infeksi bakteri, ikterus, diare,
berat

badan rendah dan masalah pemberian ASI.

2) Pemberian imunisasi hepatitis B-0 bila belum diberikan pada waktu perawatan
bayi baru lahir.
3) Konseling terhadap ibu dan keluarga untuk memberikan ASI eksklusif,
pencegahan hipotermi dan melaksanakan perawatan bayi baru lahir di rumah
dengan menggunakan buku KIA.
4) Penanganan dan rujukan kasus bila diperlukan.
5. Deteksi dini faktor risiko dan komplikasi kebidanan dan neonatus oleh tenaga
kesehatan maupun masyarakat.
Deteksi dini kehamilan dengan faktor risiko adalah kegiatan yang dilakukan
untuk menemukan ibu hamil yang mempunyai faktor risiko dan komplikasi
kebidanan. Kehamilan merupakan proses reproduksi yang normal , tetapi tetap
mempunyai risiko untuk terjadinya komplikasi. Oleh karenanya deteksi dini oleh
tenaga kesehatan dan masyarakat tentang adanya faktor risiko dan komplikasi, serta
penanganan yang adekuat sedini mungkin, merupakan kunci keberhasilan dalam
penurunan angka kematian ibu dan bayi yang dilahirkannya.
6. Penanganan Komplikasi Kebidanan
Penanganan komplikasi kebidanan adalah pelayanan kepada ibu dengan
komplikasi kebidanan untuk mendapat penanganan definitif sesuai standar oleh

tenaga kesehatan kompeten pada tingkat pelayanan dasar dan rujukan. Diperkirakan
sekitar 15-20% ibu hamil akan mengalami komplikasi kebidanan. Komplikasi dalam
kehamilan dan persalinan tidak selalu dapat diduga sebelumnya, oleh karenanya
semua persalinan harus ditolong oleh tenaga kesehatan agar komplikasi kebidanan
dapat segera dideteksi dan ditangani. Untuk meningkatkan cakupan dan kualitas
penanganan komplikasi kebidanan maka diperlukan adanya fasilitas pelayanan
kesehatan yang mampu memberikan pelayanan obstetri dan neonatal emergensi
secara berjenjang mulai dari polindes/poskesdes, puskesmas mampu PONED sampai
rumah sakit PONEK 24 jam. Pelayanan medis yang dapat dilakukan di Puskesmas
mampu PONED meliputi :
a. Pelayanan obstetri :
1) Penanganan perdarahan pada kehamilan, persalinan dan nifas.
2) Pencegahan dan penanganan hipertensi dalam kehamilan (pre-eklampsi dan
eklampsi)
3) Pencegahan dan penanganan infeksi.
4) Penanganan partus lama/macet.
5) Penanganan abortus.
6) Stabilisasi komplikasi obstetrik untuk dirujuk dan transportasi rujukan.
b. Pelayanan neonatus :
1) Pencegahan dan penanganan asfiksia.
2) Pencegahan dan penanganan hipotermia.

3) Penanganan bayi berat lahir rendah (BBLR).
4) Pencegahan dan penanganan infeksi neonatus, kejang neonatus, ikterus ringan
sedang.
5) Pencegahan dan penanganan gangguan minum
6) Stabilisasi komplikasi neonatus untuk dirujuk dan transportasi rujukan.
7. Pelayanan Kesehatan Bayi
Pelayanan kesehatan bayi adalah pelayanan kesehatan sesuai standar yang
diberikan oleh tenaga kesehatan kepada bayi sedikitnya 4 kali, selama periode 29 hari
sampai dengan 11 bulan setelah lahir.
Pelaksanaan pelayanan kesehatan bayi :
a. Kunjungan bayi satu kali pada umur 29 hari sampai 2 bulan.
b. Kunjungan bayi satu kali pada umur 3 sampai 5 bulan.
c. Kunjungan bayi satu kali pada umur 6 sampai 8 bulan.
d. Kunjungan bayi satu kali pada umur 9 sampai 11 bulan.
Kunjungan bayi bertujuan untuk meningkatkan akses bayi terhadap pelayanan
kesehatan dasar, mengetahui sedini mungkin bila terdapat kelainan pada bayi
sehingga cepat mendapat pertolongan, pemeliharaan kesehatan dan pencegahan
penyakit melalui pemantauan pertumbuhan, imunisasi, serta peningkatan kualitas
hidup bayi dengan stimulasi tumbuh kembang. Dengan demikian hak anak
mendapatkan pelayanan kesehatan terpenuhi. Pelayanan kesehatan tersebut meliputi :

a. Pemberian imunisasi dasar lengkap (BCG, Polio 1,2,3,4, DPT/HB1,2,3, Campak)
sebelum bayi berusia 1 tahun.
b. Stimulasi deteksi intervensi dini tumbuh kembang bayi.
c. Pemberian vitamin A 100.000 IU (6 - 11 bulan).
d. Konseling ASI eksklusif, pemberian makanan pendamping ASI, tanda tanda sakit
dan perawatan kesehatan bayi di rumah menggunakan Buku KIA.
e. Penanganan dan rujukan kasus bila diperlukan.
8. Pelayanan Kesehatan Anak Balita
Lima tahun pertama kehidupan, pertumbuhan mental dan intelektual
berkembang pesat. Masa ini merupakan masa keemasan atau golden period dimana
terbentuk dasar-dasar kemampuan keindraan, berfikir, berbicara serta pertumbuhan
mental intelektual yang intensif dan awal pertumbuhan moral. Pada masa ini
stimulasi sangat penting untuk mengoptimalkan fungsi-fungsi organ tubuh dan
rangsangan pengembangan otak. Upaya deteksi dini gangguan pertumbuhan dan
perkembangan pada anak usia dini menjadi sangat penting agar dapat dikoreksi sedini
mungkin dan atau mencegah gangguan ke arah yang lebih berat. Kematian bayi dan
balita merupakan salah satu parameter derajat kesejahteraan suatu negara. Sebagian
besar penyebab kematian bayi dan balita dapat dicegah dengan teknologi sederhana
di tingkat pelayanan kesehatan dasar, salah satunya adalah dengan menerapkan
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di tingkat pelayanan kesehatan dasar.

Pelayanan kesehatan anak balita meliputi pelayanan pada anak balita sakit dan sehat.
Pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan sesuai standar yang meliputi :
a. Pelayanan pemantauan pertumbuhan minimal 8 kali setahun yang tercatat dalam
Buku KIA/KMS. Pemantauan pertumbuhan adalah pengukuran berat badan anak
balita setiap bulan yang tercatat pada Buku KIA/KMS. Bila berat badan tidak naik
dalam 2 bulan berturut-turut atau berat badan anak balita di bawah garis merah
harus dirujuk ke sarana pelayanan kesehatan.
b. Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK) minimal 2
kali dalam setahun. Pelayanan SDIDTK meliputi pemantauan perkembangan
motorik kasar, motorik halus, bahasa, sosialisasi dan kemandirian minimal 2 kali
pertahun (setiap 6 bulan). Pelayanan SDIDTK diberikan di dalam gedung (sarana
pelayanan kesehatan) maupun di luar gedung.
c. Pemberian Vitamin A dosis tinggi (200.000 IU), 2 kali dalam setahun.
d. Kepemilikan dan pemanfaatan buku KIA oleh setiap anak balita
e. Pelayanan anak balita sakit sesuai standar dengan menggunakan pendekatan
MTBS.
9. Pelayanan KB Berkualitas
Pelayanan KB berkualitas adalah pelayanan KB sesuai standar dengan
menghormati hak individu dalam merencanakan kehamilan sehingga diharapkan
dapat berkontribusi dalam menurunkan angka kematian Ibu dan menurunkan tingkat
fertilitas (kesuburan) bagi pasangan yang telah cukup memiliki anak (2 anak lebih

baik) serta meningkatkan fertilitas bagi pasangan yang ingin mempunyai anak.
Pelayanan KB bertujuan untuk menunda (merencanakan) kehamilan. Bagi Pasangan
Usia Subur yang ingin menjarangkan dan/atau menghentikan kehamilan, dapat
menggunakan metode kontrasepsi yang meliputi :
a. KB alamiah (sistem kalender, metode amenore laktasi, coitus interuptus).
b. Metode KB hormonal (pil, suntik, susuk).
c. Metode KB non-hormonal (kondom, AKDR/IUD, vasektomi dan tubektomi).
2.6. Landasan Teori
Landasan teori adalah menggunakan teori Herzberg yang melihat ada dua
faktor yang mendorong karyawan termotivasi yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik,
yang merupakan daya dorong yang timbul dari dalam diri masing-masing orang, dan
faktor ekstrinsik yaitu daya dorong yang datang dari luar diri seseorang, terutama dari
organisasi tempatnya bekerja. Faktor-faktor yang termasuk dalam motivasi intrinsik
yaitu tanggung jawab, penghargaan, pekerjaan itu sendiri. Motivasi ekstrinsik yaitu
daya dorong yang datang dari luar diri seseorang terutama dari organisasi tempat
bekerja. Faktor-faktor yang termasuk dalam motivasi ekstrinsik adalah gaji,
kebijakan, hubungan kerja, lingkungan kerja, supervise.
2.7. Kerangka Konsep
Kerangka konsep dalam penelitian ini mengacu kepada landasan teori yang telah
diuraikan di atas, dapat dilihat pada Gambar 2.1. berikut ini :

Variabel Independen
1. Motivasi Intrinsik
a. Tanggungjawab
b. Prestasi yang diraih
c. Pengakuan orang lain

2. Motivasi Ekstrinsik
a. Imbalan
b. Kondisi kerja
c. Hubungan kerja

Variabel Dependen
Kinerja Bidan dalam KIA :
pelayanan antenatal
pertolongan persalinan
pelayanan nifas
pelayanan kesehatan neonatus
deteksi dini faktor risiko
penanganan komplikasi kebidanan
pelayanan neonates dengan komplikasi
pelayanan kesehatan bayi
pelayanan kesehatan anak balita
pelayanan KB

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian
Pada Gambar 2.1. diatas, dapat kita ketahui bahwa dalam penelitian ini, variabel
penelitian di atas terdiri atas variabel independen motivasi intrinsik (Tanggung jawab,
prestasi yang diraih, pengakuan orang lain) dan ekstrinsik (Imbalan, Kondisi kerja,
hubungan kerja) dan variabel dependen, yaitu kinerja bidan.