Analisis Lokasi Pasar Hewan Siborong-Borong Dalam Pengembangan Sub Sektor Peternakan di Kabupaten Tapanuli Utara

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Rinitis Alergi
RA merupakan masalah global yang menyerang 10–20% jumlah populasi
penduduk diseluruh dunia. Studi epidemiologi mengindikasikan bahwa prevalensi
RA semakin meningkat hingga saat ini. RA memiliki angka morbiditas yang
signifikan terhadap perluasan inflamasi mukosa yang menyerang beberapa target
organ dan secara umum dapat menyebabkan malaise, yang berdampak terhadap
performa pada pekerjaan dan sekolah. Selain itu RA juga dapat berdampak
terhadap kondisi sosial ekonomi penderitanya. Prevalensi RA di negara Eropa
berkisar 15%-25%, dengan peningkatan sebesar 3,5% setiap dekade (Elango, 2005;
Peric et al., 2011; Okubo, 2014).
Reaksi hipersensitivitas oleh Robert Coombs dan philip HH (1963) dibagi dalam 4
tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II,
III dan IV. Pada tahun 1995 Janeway dan Travers merevisi tipe IV Gell dan Coombs
menjadi tipe IVa dan IVb. Reaksi tipe I yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi
anafilaksis atau reaksi alergi, timbul segera sesudah tubuh terpajan dengan alergen.
Istilah alergi yang pertama kali digunakan oleh Von Pirquet pada tahun 1906,
diartikan sebagai “reaksi pejamu yang berubah” bila terpajan dengan bahan yang
sama untuk kedua kalinya atau lebih. RA adalah satu jenis alergi yang termasuk
dalam rekasi hipersensitivitas tipe I (Baratawidjaja, 2006).

RA adalah suatu penyakit hipersensitifitas pada mukosa hidung yang diperantarai
oleh imunoglobulin E (IgE) dengan karakterisik berupa bersin, hidung gatal, hidung
berair dan sumbatan pada hidung setelah terpapar oleh alergen. Kemunculan RA
sering dihubungkan dengan konjungtivitis alergi dan asma bronkial. Gambaran
karakteristik dari inflamasi alergi adalah akumulasi sel-sel inflamasi diantaranya
limfosit T, sel mast, eosinofil, basofil dan neutrofil. Pelepasan berbagai jenis
mediator tersebut menimbulkan respon gejala pada RA yang dapat dibagi dalam
respon fase cepat dan respon fase lambat (Chanda et al., 2002).
2.2 Klasifikasi RA
Dahulu RA diklasifikasikan menjadi musiman dan sepanjang tahun. Hal ini
disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas yang diperantarai oleh IgE terhadap alergen
inhalan seperti serbuk sari. Allergic Rhinitis Its Impact on Asthma – World Health

Universitas Sumatera Utara

Organisation (ARIA-WHO) berinisiatif mengklasifikasikan RA menjadi intermiten atau
persisten dan ringan atau sedang berat, berdasarkan frekuensi keluhan dan
dampaknya terhadap kualitas hidup (Canonica & Compalati, 2009; Jimenez et al.,
2012).


Gambar 2.1 Klasifikasi RA berdasarkan ARIA-WHO (Pitarini et al., 2015).
Gambar 2.1 diatas menunjukkan klasifikasi penyakit RA berdasarkan ARIA-WHO.
Penyakit dikategorikan RA intermiten atau sewaktu-waktu bila gejala muncul kurang
dari atau sama dengan 4 hari per minggu atau kurang dari atau sama dengan 4
minggu, dan persisten atau menetap bila gejala timbul lebih dari 4 hari per minggu
dan lebih dari 4 minggu. Derajat penyakit dinilai berdasarkan ada atau tidaknya
hambatan aktivitas yang memengaruhi kualitas hidup. Derajat dikategorikan ringan
apabila tidak terdapat hambatan aktivitas, atau dikategorikan sedang-berat bila
terdapat satu atau lebih hambatan (Pitarini et al., 2015).
2.3 Gejala klinis
Manifestasi klinis RA dapat berupa :
2.3.1 Bersin
Histamin merupakan mediator utama terjadinya bersin pada RA. Bersin
disebabkan oleh stimulasi reseptor H1 pada ujung saraf vidianus (C fiber nerve
ending) (Lumbanraja, 2007; Chaaban & Naclerio, 2014).
2.3.2

Hidung gatal

Rasa gatal pada hidung yang dijumpai pada penderita RA dikarenakan adanya

mediator yang bekerja pada serabut saraf tak bermyelin yang berada dekat dibagian
basal, epidermis atau mukosa, yang terjadi saat histamin berikatan dengan reseptor

Universitas Sumatera Utara

histamin 1 (H1), pada ujung serabut saraf trigeminal dan hal ini dapat terjadi
langsung setelah paparan alergen (Lumbanraja, 2007; Chaaban & Naclerio, 2014).
2.3.3 Hidung berair
Hidung berair pada RA didefinisikan sebagai pengeluaran sekresi kelenjar
membran mukosa hidung yang berlebihan, dimulai dalam tiga menit setelah paparan
alergen dan berakhir pada sekitar 20-30 menit kemudian. Sekresi kelenjar tersebut
terjadi akibat terangsangnya saraf parasimpatis dan mengalirnya cairan plasma dan
molekul-molekul protein besar melewati dinding kapiler pembuluh darah hidung. Hal
ini terjadi oleh karena adanya reksi dari histamin. Histamin bekerja dengan
meningkatkan permeabilitas vaskuler melalui reaksi langsung pada reseptor H1
(Lumbanraja, 2007; Chaaban & Naclerio, 2014).
2.3.4 Hidung buntu
Hidung buntu yang dijumpai pada penderita RA terjadi oleh karena terhambatnya
aliran udara akibat kongesti sementara yang bersifat vasodilatasi vaskuler.
Mekanisme


vasodilatasi vaskuler

ini diperantarai

oleh reseptor

H1,

yang

mengakibatkan pelebaran pada vena kavernosa sinusoid dalam mukosa konka, oleh
sebab itu terjadi peningkatan tahanan udara didalam hidung. Hidung berair yang
menghasilkan sekret dan tertimbun didalam rongga hidung juga akan menambah
sumbatan pada hidung. Selain itu peningkatan aktivitas saraf parasimpatis juga
menyebabkan vasodilatasi yang mengakibatkan hidung buntu (Lumbanraja, 2007;
Chaaban & Naclerio, 2014).
Selain gejala klinis diatas pada pemeriksaan fisik pasien dengan RA dapat
ditemukan tanda-tanda objektif yaitu allergic shiners yaitu warna kehitaman pada
daerah infraorbita disertai dengan pembengkakan. Perubahan ini karena adanya

stasis vena yang disebabkan edema dari mukosa hidung dan sinus. Sekret hidung
serous atau mukoserous, konka pucat atau keunguan (livide) dan edema, faring
berlendir. Tanda lain yang sering timbul adalah munculnya garis tranversal pada
punggung hidung berupa allergic crease dan karena gatal penderita RA sering
menggosok-gosok hidung dikenal istilah allergic salute, biasanya timbul setelah
gejala diderita lebih dari dua tahun (Widuri & Suryani, 2011).
2.4 Patofisiologi Rinitis Alergi
Sebagaimana halnya dengan penyakit atopi lainnya seperti asma, eksim dan
alergi

makanan,

RA

juga

merupakan

penyakit


sistemik

yang

kompleks.

Berhubungan dengan paparan alergen, sensitisasi sel mast dan pelepasan berbagai

Universitas Sumatera Utara

mediator inflamasi, yang pada akhirnya akan menimbulkan gejala. Karakteristik yang
membedakan RA dengan rinitis lainnya adalah adanya keterlibatan dari IgE. IgE itu
sendiri adalah suatu fraksi terkecil dari serum manusia, aktifitas biologis IgE
dipengaruhi oleh aktifitas reseptor permukaan spesifik yang berikatan dengannya.
Dampak ikatan antibodi-anti IgE pada gejala RA membuktikan adanya peranan IgE
dalam patofisiologi RA (Gelfand, 2004; Poetker & Smith, 2009).
Patofisiologi RA merupakan suatu proses yang sangat kompleks melibatkan
berbagai sel dan mediator inflamasi yang bisa dijumpai disetiap fase, dimulai sejak
paparan pertama terhadap alergen yang disebut fase sensitisasi sampai timbulnya
gejala alergi yang berlanjut menjadi reaksi alergi fase cepat dan reaksi alergi fase

lambat.

-

Fase sensitisasi

Setiap individu dengan dugaan penyakit alergi, kontak awal dengan alergen akan
menghasilkan produksi molekul IgE spesifik sebagai suatu proses yang dinamakan
sensitisasi. Hal ini dimulai ketika makrofag dan Antigen Presenting Cel (APC)
dipresentasikan pada sel Th, yang kemudian berinteraksi dengan limfosit B dan
mengalami diferensiasi menjadi sel IgE plasma. Bentuk baru molekul antigen IgE
spesifik ini disekresikan dan berikatan dengan reseptor afinitas tinggi (FceRI) yang
berada pada sel mast dan basofil, platelet, eosinofil teraktifasi, dan sel langerhans
dan menjadi afinitas rendah (FceRII/CD23) yang berada pada berbagai jenis sel
termasuk sel B, makrofag, monosit sel dendrit folikular dan eosinofil. Reseptor IgE
afinitas tinggi pada sel mast pada respon alergi awal. Setelah sensitisasi, IL-4 akan
berinteraksi

dengan


antigen-major

histocompatibility

complex

(MHC)

untuk

mengaktivasi APC menstimulasi sel Th0 berdiferensiasi menjadi sel Th2, dimana sel
Th2 akan melepaskan berbagai sitokin proinflamasi seperti (IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IL9, IL-10, IL-13)(Canocia & Compalati, 2009; Poetker & Smith, 2009).
Tahap awal reaksi alergi sebenarnya dimulai dengan respon pengenalan
alergen/antigen oleh APC yaitu sel makrofag, monosit, dan sel dendritik. Setelah
melalui proses internal dalam sel APC dari alergen akan terbentuk fragmen-fragmen
pendek peptida imunogenik. Fragmen pendek peptida ini bergabung dengan molekul
Human Leucocyte Antigen (HLA)-Class II dalam retikulum endoplasma sel APC.
Penggabungan yang terjadi akan membentuk kompleks peptida-MHC Class II (Major

Universitas Sumatera Utara


Histocompatibility Complex Class II) yang kemudian berada pada permukaan sel
APC dan dipresentasikan kepada salah satu sel limfosit T klon T CD4+ yang dinamai
sel Th0 (Karya, 2007).
Apabila sel Th0 memiliki molekul reseptor spesifik terhadap molekul peptide
MHC-Class II, maka akan terjadi penggabungan kedua molekul tersebut. Akibatnya,
APC akan melepas sitokin (IL-1). Sitokin ini akan mempengaruhi limfosit T CD4+.
Apabila sinyal kostimulator induksinya cukup memadai, akan terjadi aktivasi dan
proliferasi sel Th0 menjadi Th1 dan Th2. Sel Th1 akan memproduksi Interferon
Gamma (IFN-∂) dan Tumor Necrosis Factor Betha (TNF-β) sedangkan sel Th2 akan
memproduksi antara lain IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. Sitokin IL-4 dan IL-13 akan
ditangkap oleh reseptor pada permukaan sel limfosit B atau sebagai hasil dari
menurunnya IFN-∂ sehingga terjadi aktivasi limfosit B untuk memproduksi IgE. IL-13
juga dapat menggantikan fungsi IL-4 ketika IL-4 berada dalam konsentrasi rendah
sehingga molekul IgE akan berlimpah dan berada pada mukosa hidung atau
peredaran darah (Karya, 2007).

Gambar 2.2 Fase sensistisasi pada RA (Poetker & Smith, 2009).
Gambar 2.2 diatas menggambarkan fase awal pada RA, yaitu dimulainya kontak
pertama dengan


alergen dalam hal ini aeroalergen yang disebut dengan fase

sensitisasi, dimana alergen ditangkap oleh APC dan dipresentasikan ke sel Th0.
-

Reaksi alergi fase cepat

Reaksi alergi fase cepat terjadi dalam beberapa menit setelah terpapar alergen.
Pada individu yang telah tersensitisasi, paparan berulang dengan alergen yang

Universitas Sumatera Utara

sama memulai langkah kedua pada proses respon alergi, yaitu suatu reaksi alergi
fase cepat, dengan karakteristik hidung berair, obstruksi, bersin dan gatal yang
disebabkan oleh pelepasan histamin oleh sel mast yang mengakibatkan
vasodilatasi, edema mukosa dan stimulasi saraf. Dalam fase kedua ini, pada rongga
hidung terjadi interaksi antigen dengan molekul IgE spesifik pada permukaan sel
mast. Eksudasi plasma menghasilkan edema dan pembengkakan pada mukosa
hidung (Poetker & Smith, 2009; Huriyati, Budiman & Octiza, 2014).

Paparan

alergen

pada

kontak

pertama

menimbulkan

sensitisasi,

APC

mengangkap alergen di mukosa hidung. Komplek peptida Major Histocompatibility
Complex (MHC) kelas II terbentuk dan dipresentasikan pada sel T helper (Th0).
Melalui IL-1 Th0 berfroliperasi menjadi Th1 dan Th2. Berbagai sitokin akan
dihasilkan oleh Th2 yang nantinya akan mengaktifkan sel limfosit B sehingga
dihasilkan IgE. Dijaringan mukosa hidung IgE berikatan pada reseptor dipermukaan
sel mast dan basofil. Sel mast dan basofil yang berikatan dengan IgE ini akan
tersensitisasi pada alergen yang sama sehingga terjadi degranulasi. Performed
mediator terutama histamin dan mediator lain seperti prostaglandin, leukotrien,
bradikinin, platelet activating factor (PAF) serta sitokin yang merupakan hasil
degranulasi fase cepat akan akan menimbulkan gejala-gejala dalam hitungan menit.
Mediator-mediator ini merekrut sel-sel inflamasi ke mukosa hidung untuk masuk ke
tahap reaksi alergi fase lambat (Huriyati, Budiman & Octiza, 2014).
-

Reaksi alergi fase lambat

Reaksi alergi fase lambat terjadi beberapa jam setelah terpapar alergen. Pada
fase ini terjadi peningkatan gejala dan karakteristik level mediator dibandingkan
reaksi alergi cepat. Jika dilakukan monitor secara terus menerus terhadap respon
selama beberapa jam, gejala timbul kembali, berhubungan dengan tingginya
mediator inflamasi pada sekitar 50% pasien, menunjukkan adanya fase respon
lambat. Selama fase respon lambat, subjek kembali mengalami bersin-bersin,
hidung berair, dan hidung sumbat yang menjadi keluhan dominan (Poetker & Smith,
2009).
Mediator-mediator pada fase cepat melalui peristiwa yang lebih kompleks
merekrut sel-sel inflamasi lain ke mukosa seperti neutrofil, eosinofil, limfosit dan
makrofag. Dimana mediator yang dihasilkan oleh sel mast memfasilitasi leukosit dari
sirkulasi untuk menempel pada sel endotel melalui proses kemotaktik sehingga
terjadi penumpukan sel inflamasi pada mukosa hidung. Selain itu IL-5 memicu

Universitas Sumatera Utara

kemotaktif eosinofil, neutrofil, basofil, limfosit dan makrofag bermigrasi ke mukosa
hidung dan mempertahankan reaksi inflamasi di hidung (Huriyati, Budiman & Octiza,
2014).
Eosinofil sebagai sel yang predominan dalam proses inflamasi kronik RA,
melepas sejumlah mediator proinflamatory seperti cationic proteins, eosinophil
peroksidase, Major Basic Protein (MBP) dan sistenil leukotrien. Eosinofil juga
melepas sitokin IL-3, IL-5, IL-13, granulocyte-macrophage colony-stimulating factor,
PAF dan TNF(Huriyati, Budiman & Octiza, 2014).
Alergen

Sel APC
(mukosa)

alergen dipecah
peptida ( 7-14 aa.)
+ MHC klas II

kel limfe + Lien

sel Th 0 ( TCR + mol CD4)

orang atopy

MHC klas II + ligand pd APC

Th 1

(+)

Th 2

( IL-2 , IFN-γ )

IL-3, IL-4, IL-5, IL-9

sel B

sel eosinofil

IgE
Sirkulasi
sel basofil

jaringan
sel mast

IgE pd sel mast dan basofil
(penderita sudah sensitif/
tersensitisasi)
Paparan alergen
ulang yang sama
Degranulasi sel mast dan basofil

Mediator penyebab gejala RA
Diagram 1.1 Skema Patogenesis Reaksi Alergi Tipe I

Universitas Sumatera Utara

(Kolegium Ilmu Kesehatan THT-KL, 2008)
Diagram 1.1 diatas menunjukkan patofisilogi terjadinya RA dimulai dari paparan
alergen pada mukosa hidung yang kemudian alergen ditangkap oleh sel APC,
kemudian dipecah menjadi peptida (terdiri atas 7-14 asam amino) kemudian
dipresentasikan oleh MHC klas II pada permukaan sel APC yang berlangsung pada
kelenjar limfe dan lien. Kemudian MHC klas II + peptida dan sel Tho akan
membentuk ikatan (ligand). Peptida diikat oleh Th0 pada bagian reseptornya (PCR),
kemudian Th0 berdiferensiasi menjadi Th1 (IL-2, IFN-gamma) dan Th2 (IL-3, IL-4,
IL-5, IL-9). Pada orang atopi Th2 lebih dominan dibandingkan dengan Th1. Th2
mengaktivasi sel B dan sel eosinofil. Sel B diaktivasi menjadi sel plasma yang akan
menghasilkan IgE dan sel eosinofil dipanggil. IgE akan berikatan dengan
reseptornya di sel Basofil dan sel Mast. Paparan berulang dengan alergen yang
sama akan terjadi ikatan antara alergen dengan IgE, membentuk ikatan cross link
yang menyebabkan degranulasi sel mast dan sel basofil yang merangsang
pelepasan mediator yang menyebabkan gejala pada RA.

Universitas Sumatera Utara

Sel mast/basofil degranulasi
Mediator

Preformed mediators

Newly mediators

Histamin
Heparin
Triptase
Kininogenase

Prostaglandin
Leukotrien C4, D4,
Leukotrien B

Efek mediator kimia pada rinitis alergi

Saraf

Kelenjar

Gatal
Refleks
Bersin
Malaise

Mukus
Eksositosis
Rinore

Pembuluh darah
Vasodilatasi
Penebalan mukosa
Permeabilitas meningkat

Diagram 1.2 Skema Patogenesis Reaksi Alergi pada RA
(Kolegium Ilmu Kesehatan THT-KL, 2008)
Diagram 1.2 menujukkan degranulasi sel mast dan sel basofil akan
menyebabkan pelepasan mediator yang terdiri atas performed mediators dan newly
mediators. Yang termasuk kedalam performed mediators adalah histamin, heparin,
triptase dan kininoginase, sedangkan yang termasuk dalam newly mediators adalah
prostaglandin, leukotrien C4, D4, D4 dan leukotrien B. Mediator-mediator tersebut
akan berikatan dengan reseptornya dan menimbulkan gejala RA. Jika berikatan
dengan reseptornya di saraf akan menimbulkan keluhan hidung gatal, bersin dan
malaise. Jika berikatan dengan reseptornya di kelenjar akan menimbulkan gejala
berupa sekresi mukus dan mengakibatkan hidung berair. Sedangkan jika berikatan
dengan reseptornya di pembuluh darah akan menyebabkan vasodilatasi pembuluh
darah, penebalan mukosa dan meningkatnya permeabilitas kapiler.
2.5 Penatalaksanaan RA
Diganosis RA ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, dan
juga pemeriksaan laboratorium. Dari anamnesis akan dijumpai keluhan hidung

Universitas Sumatera Utara

berupa hidung buntu, hidung berair, hidung gatal dan bersin. Sedangkan dari
pemeriksaan fisik dapat ditemukan konka inferior yang pucat dan kadang dijumpai
sekret hidung yang encer dan tidak berbau. Pada pemeriksaan laboratorium, ada
beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dalam mendiagnosis RA,
dan diklasifikasikan kedalam dua kelompok : definitive dan adjunctive. TCK
termasuk pemeriksaan definitive pada atopi. Pemeriksaan adjunctive termasuk
eosinofil sekret mukosa hidung dan nilai total IgE. Untuk mendeteksi kebaradaan IgE
dapat dillakukan pemerikasan TCK. Dasar dari prosedur pemeriksaan ini adalah
reaksi antara antigen dan sensitisasi sel mast pada kulit, yang menghasilkan respon
berupa bentol dan kemerahan pada kulit. Dimana reaksi yang menghasilkan IgE
hanya dapat ditemui pada reaksi alergi. Inilah yang membedakan anatara RA
dengan rinitis lainnya (Sanli et al., 2006; Chan, 2014).
Atopi merupakan predisposisi genetik untuk membentuk antibodi alergi (IgE)
dalam memberikan respons terhadap alergen spesifik. Atopi merupakan faktor risiko
terjadinya asma dan RA. Periode kritis sensitisasi alergen didapatkan riwayat atopi
pada kedua orang tuanya, kemungkinan risiko alergi lebih besar dibandingkan
apabila salah satu dari orang tuanya yang atopi, namun perlu diketahui lebih lanjut
bahwa RA disebabkan oleh multifaktorial. Seseorang tanpa riwayat keluarga atopi
dapat menderita RA. Individu atopi mewariskan kecenderungan terjadinya respons
imun limfosit Th2 dengan pembentukan IgE-sel mast (Harsono et al., 2007).
Penatalaksanaan RA merupakan kombinasi dari 4 kategori yaitu : 1. Menghindari
kontak dengan alergen penyebab dan kontrol lingkungan. 2. Farmakoterapi. 3.
Imunoterapi. 4. Edukasi kepada pasien dan keluarga. Saat ini kortikostreoid
intranasal dan antihistamin oral merupakan terapi pilihan karena efektivitasnya yang
tinggi namun dengan efek samping yang rendah. Tindakan operasi yang dilakukan
untuk mengkoreksi kelainan anatomi yang dapat memperberat gejala alergi dan
menghambat aliran udara hidung atau penghantaran obat ke mukosa hidung
(Pitarini et al., 2015; Seidman et al., 2015).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.3 Algoritma diagnosis dan tatalaksana RA
(Bosquet et al., 2008).

Gambar 2.3 menunjukkan algoritma penatalaksanaan RA, dimana RA terlebih
dahulu ditegakkan dari riwayat penyakit, tes cukit kulit atau pemeriksaan IgE
spesifik, jika sudah diketahui alergen penyebabnya kemudian dihindari, setelah itu
tentukan klasifikasi RA berdasarkan lama gejala yang dialami dan dampaknya
terhadap kualitas hidup sesuai dengan klasifikasi menurut ARIA. Jika gejala yang
dialami bersifat intemitten ringan maka dapat diberikan terapi oral maupun nasal
antihistamin. Jika intermitten sedang-berat atau persisten ringan diberikan oral atau
nasal antihistamin kemudian kontrol kembali setelah 2-4 minggu jika tidak ada
perbaikan dosis dapat dinaikkan, jika ada perbaikan obat diteruskan sampai 1 bulan.
Sedangkan jika persisten sedang-berat diberikan steroid intranasal dan kontrol
kembail 2-4 minggu kemudian, jika ada perbaikan dosis diteruskan dan diberikan
selama 1 bulan. Jika tidak ada perbaikan nilai kembali diagnosis yang telah
ditentukan, amati adanya kemungkinan infeksi lain atau penyebab lainnya. Dosis
steroid intranasal dapat ditingkatkan. Jika ada keluhan hidung gatal dan bersihkan
dapat ditambahkan antihistamin, jika ada keluhan hidung berair tambahkan

Universitas Sumatera Utara

ipratropium, untuk hidung tersumbat dapat ditambahkan steroid oral dalam waktu
yang singkat. Jika tidak terdapat perbaikan direkomendasikan untuk dilakukan
tindakan pembedahan. Untuk keluhan mata dapat ditambahkan antihistamin oral
atau intraokular. Terakhir pertimbangkan tindakan imunoterapi.
Penderita RA mempunyai risiko berlanjut menjadi asma. RA dan asma
merupakan penyakit inflamasi yang sering timbul bersamaan. Perlu adanya evaluasi
riwayat asma pada pasien dengan gejala RA yang menetap. Adanya potensi
keterkaitan antara RA dan asma menunjukkan pentingnya pengendalian RA.
Disamping itu RA yang tidak dikendalikan dengan baik akan mengganggu aktivitas
sehari-hari. Strategi pengendalian RA harus diawali dengan mengenali berbagai
faktor yang menjadi risiko atau pencetus terjadinya RA (Harsono et al., 2007).
Akumulasi sel mast pada saluran napas merupakan patofisiologi penting baik
pada asma maupun RA. Efek biokimia spesifik akibat degranulasi sel mast hampir
sama pada saluran napas atas maupun bawah. Sedangkan efek fisiologis memiliki
perbedaan. Edema mukosa yang dimediasi oleh sel mast terjadi baik di saluran atas
maupun bawah, akan menyebabkan obstruksi. Sedangkan kontraksi otot polos
saluran napas bawah lebih berat dalam merespon inflamasi dibanding saluran napas
atas. Histamin tidak begitu kuat dalam menyebabkan bronkokonstriksi, sehingga
perannya pada saluran napas atas dan bawah berbeda. Akibatnya efek antihistamin
lebih bermakna pada RA daripada asma (Surjanto & Purnomo, 2009).
Terapi RA harus mempertimbangkan gejala utama, derajat, kualitas hidup, dan
cost effectiveness. Bila secara farmakoterapi mengalami kegagalan bisa dilanjutkan
dengan imunoterapi dan sebagai wacana baru adalah terapi anti IgE antibodi yang
merupakan alternatif dalam penatalaksaan pasien dengan penyakit alergi.
Imunoterapi memberikan kesembuhan yang permanen, tetapi memerlukan waktu
terapi jangka lama sehingga memiliki keterbatasan, dapat diberikan hanya pada
pasien tertentu, oleh dokter spesialis dan tidak bisa diberikan pada pasien dengan
multipel alergi (Widuri, 2009).
Diagnosa dini RA merupakan hal yang penting, karena dengan demikian dapat
diberikan pengobatan sedini mungkin sehingga dampak yang merugikan dikemudian
hari dapat dicegah (Sugiarto, Takumansang, & Peleau, 2006).
2.6 IL- 5 pada Rinitis Alergi
Reaksi inflamasi merupakan fitur utama pada beberapa penyakit alergi termasuk
asma bronkial, dermatitis atopi dan RA. Asma mempengaruhi hampir 15 juta orang

Universitas Sumatera Utara

di Amerika Serikat, begitu juga dengan RA dan dermatitis atopi telah mengenai 1020 juta orang dan mempengaruhi kualitas hidup penderitanya (Huriyati, Budiman &
Octiza, 2014).
Proses inflamasi di saluran nafas diatur oleh interaksi sitokin dan growth factor
yang disekresi tidak hanya oleh sel inflamasi tetapi juga oleh komponen jaringan
diantaranya sel epitel, fibroblas dan sel otot polos. Secara keseluruhan sitokin dapat
dikelompokkan sebagai :
1. Sitokin Th2 seperti IL-4, IL-5, IL-9 dan IL-13
2. Sitokin proinflamasi diantaranya tumor necrosis factor α (TNF-α) dan IL-1β
3. Kemokin seperti RANTES, eotaksin dan MCP-1
4. Growth factor seperti transforming growth factor –β dan epidermal growth
factor.
Sitokin adalah polipeptida yang diproduksi tubuh sebagai respons terhadap
rangsang mikroba dan antigen lainnya dan berperan sebagai mediator pada reaksi
imun dan inflamasi. Ada banyak sitokin yang dilepaskan pada reaksi alergi. Tetapi
sitokin yang spesifik untuk eosinofil adalah IL-5 (Sujanto & Purnomo, 2009).
IL-5 pada dasarnya memegang peranan penting dalam penyakit-penyakit alergi
yang dapat menyerang berbagai organ seperti saluran nafas (RA dan asma), kulit
(dermatitis atopi), esofagus (esofagitis eosinofilk). Penyakit-penyakit alergi tersebut
ditandai dengan adanya keterlibatan IgE, sel Th 2, dan eosinofil yang paling
mencolok dan sering dibicarakan. Dimana eosinofil sendiri adalah sel efektor utama
yang terlibat dalam inflamasi akibat alergi. Eosinofil dibentuk di sumsum tulang
dirangsang oleh aktivasi sitokin, dan dilepaskan ke dalam sirkulasi susuai dengan
rangsangan yang diterimanya. Eosinofil merupakan sel inflamasi yang beperan
dalam patofisologi berbagai penyakit, yang memulai pelepasan mediator inflamasi
lainnya seperti sitokin dan lain-lain. Eosinofil juga memproduksi faktor fibrogenik
seperti transforming growth factor dan platelet derived growth factor. Eosinofil
menginduksi proliferasi fibroblas dan jumlahnya akan meningkat pada daerah yang
sakit (Greenfeder et al., 2001; Tanaka et al., 2004; Stein & Munitz, 2010; Pitarini et
al., 2015).
Sensitisasi alergen spesifik sangat dipengaruhi oleh faktor genetik, walaupun
faktor lingkungan juga sangat berpengaruh untuk timbulnya penyakit alergi. Pada
bayi baru lahir yang berasal dari keluarga atopi sampai usia 1 tahun respons
interleukin-5 (IL-5) meningkat sedangkan respons inteferon gamma dan interleukin-

Universitas Sumatera Utara

13 (IL-13) rendah. Sebuah studi mengatakan bahwa penurunan kadar interferron
gamma dan IL-13 makin bertambah bila bayi telah disensitisasi oleh telur. Dan
ditemukan bukti bahwa pada bayi baru lahir polarisasi keseimbangan lebih ke arah
Th2 (peningkatan IL-5 dan IL-13) (Siregar, 2005; Mukherjee, Sehmi dan Nair,
(2014).

Gambar. 2.4 Sensitisasi alergen dan pelepasan mediator proinflamasi
Gambar 2.4 menunjukkan fase sensitisasi pada RA dimulai dari adanya paparan
alergen yang ditangkap oleh sel APC (sel dendrit) yang merangsang sel T untuk
berdiferensiasi dan menghasilkan berbagai sitokin. IL-3 menghasilkan sel Basofil, IL4 menghasilkan sel B, IL-5 spesifik terhadap eosinofil dan IL-9 menghasilkan sel
Mast.
IL-5 merupakan sitokin penting dalam fungsi eosinofil primer, dihasilkan oleh sel
T CD4+ dan sel T CD8+. IL-5 berperan pada beberapa fungsi dari eosinofil, di
antaranya ialah menurunkan modulasi Mac-1, regulasi dari reseptor untuk IgA dan
IgG, menstimulasi sekresi mediator lipid (leukotrien C4 dan PAF), dan menginduksi
pelepasan granul. IL-5 juga memengaruhi pertumbuhan dan diferensiasi eosinofil.
Hingga saat ini IL-5 sudah lama dikaitkan dengan penyebab alergi termasuk RA dan
asma (Pitarini et al., 2015).
Pada manusia, IL-5 selektif terhadap eosinofil dan basofil, sedangkan pada tikus
juga berperan pada limfosit B. Eosinofil dan basofil adalah tipe sel yang dominan
dijumpai pada alergi inflamasi. Selain IL-5 juga terdapat sitokin lain yang berperan
dalam reaksi alergi diantaranya adalah IL-3. Tetapi IL-3 dianggap kurang selektif
karena juga berperan dalam produksi granulosit lain seperti sel mast dan neutrofil.
Oleh karena eosinofil merupakan sel yang dominan pada reaksi alergi, maka sitokin
yang paling spesifik adalah IL-5. Pada dasarnya, kelangsungan hidup dan
menurunnya

apoptosis

eosinofil

disebabkan

oleh

IL-5

yang

diatur

oleh

Universitas Sumatera Utara

glukokortikoid. Oleh karena aktivitas IL-5 terbatas pada eosinofil, hal ini merupakan
jalan yang baik untuk memblok respon tersebut. Gen mRNA IL-5 juga ditemukan
pada eosinofil dan sel mast jaringan yang teraktivasi pada pasien dermatitis alergi,
RA dan asma. Hal ini meningkatkan dugaan bahwa IL-5 terdapat pada pasien atopi
(Greenfeder et al., 2001; Surjanto & Purnomo, 2009).
Data yang diperoleh dari sebuah penelitian eksperimental, model hewan coba
dan uji coba klinis mengkonfirmasikan bahwa pemberian IL-5 inhibitor efektif bila
diberikan sebagai pengobatan asma, kuhususnya asma yang berat. Mengganggu
fungsi eosinofil dan menurunkan jumlahnya merupakan tujuan penting dalam
pengobatan yang menggunakan antibodi monoklonal tersebut (Garcia et al., 2013).
2.7 Tes Cukit Kulit
Sel mast dengan IgE spesifik untuk alergen tertentu berlekatan dengan reseptor
dengan afinitas tinggi pada kulit pasien dengan alergi. Kontak sejumlah kecil alergen
pada kulit pasien yang alergi dengan alergen akan menimbulkan hubungan silang
antara alergen dengan sel mast permukaan kulit, yang akhirnya mencetuskan
aktivasi sel mast dan melepaskan berbagai performed dan newly generated
mediator. Histamin merupakan mediator utama dalam timbulnya reaksi bentul, gatal
dan kemerahan pada kulit. Dimana rekasi kemerahan ini terjadi segera, mencapai
puncak 20-30 menit (Nucifera et al., 2015).
Ada tiga jenis pemeriksaan kulit yang digunakan dalam mendiagnosa RA,
diantaranya adalah pemeriksaan TCK yaitu merupakan metode pemeriksaan kulit
primer untuk alergi yang diperantarai oleh IgE. Mudah dilakukan dan risiko efek
samping yang minimal terhadap pasien dan memberikan informasi yang berkualitas
ketika pemeriksaan dan interpretasi dilakukan dengan optimal.
Pemeriksaan TCK pertama kali digunakan oleh Dr. Charles Blackley dalam
mendiagnosa serbuk sari sebagai penyebab demamnya pada tahun 1873. Pada
tahun 1924 metode TCK baru diperkenalkan dan pada tahun 1974 Prof. Jack Pepys
melakukan modifikasi pada pemeriksaan ini. Saat ini alergen dan lanset yang
dipergunakan sudah terstandardisasi dan teknik ini sudah digunakan secara umum
untuk mendiagnosa alergi yang diperantarai oleg IgE. TCK merupakan prosedur
yang relatif aman untuk dilakukan dan hanya satu orang yang pernah dilaporkan
meninggal dalam pemeriksaan ini. Meskipun demikian secara teoritis memungkinkan
untuk terjadinya reaksi anafiksis, sedangkan reaksi sistemik ringan yang mungkin

Universitas Sumatera Utara

dijumpai adalah rasa gatal dan kemerahan yang jarang tetapi pernah dilaporkan
sekitar 1:3000 pasien yang menjalani pemeriksaan (Morris, 2006).
TCK adalah suatu metode pemeriksaan yang aman dan sederhana untuk
mengetahui keberadaan IgE pada penyakit alergi yang diperantarai oleh IgE
terhadap alergen inhalan atau alergi makanan, untuk membantu menegakkan
diagnosa melalui kulit. TCK merupakan alat diagnostik utama dan direkomendasikan
sebagai alat diagnostik untuk mendeteksi reaksi alergi tipe cepat karena terdapat
korelasi yang tinggi dengan tingkat gejala sehingga dapat menjadi standar bila
dibandingkan dengan alat diagnostik lainnya, selain itu tes kulit juga dapat
diandalkan untuk mendiagnosa penyakit alergi yang diperantarai oleh IgE pada
pasien-pasien dengan rinokonjunctivitis, asthma, urtikaria, anapilaksis, eksim atopik
dan dugaan alergi makanan dan obat-obatan (Sudiro, Mediapora & Purwanto, 2010).
Penggunaan ekstrak alergen yang telah distandarisasi dianjurkan supaya
keamanan tetap terjaga. Kekurangannya adalah kemungkinan untuk tidak
memberikan hasil yang signifikan pada individu dengan sensitivitas antigen yang
rendah

sehingga

memerlukan

pemeriksaan

lanjut

berupa

tes

intradermal.

Pemeriksaan ini pun tidak selalu tersedia di rumah sakit atau ruang praktik swasta
sehigga perlu dipikirkan tes penunjang lain yang mudah di lakukan (Sudiro,
Mediapora & Purwanto, 2010).
TCK dimulai dengan menusukkan alergen dengan dosis yang rendah. Setetes
alergen ditusukkan pada kulit di bagian volar lengan bawah, ditusukkan dengan
menggunakan benda yang runcing. Respon positif timbul setelah 10-15 menit dan
menimbulkan tanda yang khas berupa indurasi pada daerah tengah dengan eritema
pada daerah sekitarnya. Reaksi ini dibandingkan dengan reaksi positif pada kodein
atau histamin, dan kontrol negatif dengan ekstrak alergen yang termasuk sebagai
kontrol untuk reaksi nonspesifik. Tes positif menunjukkan adanya

reaksi

hipersensitifitas tipe-I (reaksi alergi tipe cepat), atau dengan kata lain, pada epikutan
individu tersebut terdapat komplek IgE-sel mast (Naclerio & Yilmaz, 2009).
Seperti halnya tes diagnosis lainnya, tes ini juga memiliki kekurangan yaitu tidak
dapat dilakukan pada pasien-pasien yang menderita penyakit kulit seperti
dermatografisme dan eksim yang luas, terutama pada anak-anak karena
pemeriksaan ini menggunakan tusukan pada kulit, serta penggunaan obat-obatan
antihistamin yang dapat mengganggu dan adanya kemungkinan reaksi sistemik. Tes

Universitas Sumatera Utara

positif menunjukkan adanya reaksi hipersensitifitas tipe-I (reaksi alergi tipe cepat),
atau dengan kata lain, pada epikutan individu tersebut terdapat kompleks IgE-sel
mast. Untuk menjamin akurasinya, TCK harus dilaksanakan setelah terlampaui
masa wash out obat anti alergi terakhir yang dikonsumsinya paling tidak selama 3
hari sebelum pemeriksaan TCK (Skoner, 2001; Krzanowska, 2014).
2.8 Kerangka Teori

Sel
APC
Th1 (IL-2,
IFN-gama)

Riwayat
atopi

Peptida + MHC
klas II

Th0

Th2 (IL-3, IL-4, IL-5, IL-9)

Sel B

IgE

Sirkulasi

eosinofil

Jaringan

Degranulasi sel mast dan basofil

Paparan alergen
berulang

Mediator inflamasi
Performed mediator

Newly mediator

Efek mediator inflamasi pada RA (gejala klinis)

Saraf (gatal
dan bersin)

Kelenjar
(hidung
berair)

Pembuluh
darah –
vasodilatasi
(hidung
buntu)

Klasifikasi RA
(ARIA)

Intermitten/
Persisten

Ringan/
sedangberat

Universitas Sumatera Utara

2.9 Kerangka Konsep

Mukosa
hidung

TCK

Jaringan
penderita
RA

Darah
penderita
RA

Klasifikasi RA
Riwayat atopi/
Keluhan utama/

Kadar IL-5

Gejala
klinis RA

Keterangan :
Variabel dependen
Variabel independen

Universitas Sumatera Utara