Analisis Lokasi Pasar Hewan Siborong-Borong Dalam Pengembangan Sub Sektor Peternakan di Kabupaten Tapanuli Utara Chapter III VI

BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini bersifat analitik dengan pendekatan potong lintang yaitu dengan
cara pengumpulan data sekaligus pada satu waktu dengan tujuan untuk mengetahui
hubungan klasifikasi RA dengan kadar IL-5 pada penderita RA di RSUP. H. Adam
Malik Medan.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Poli T.H.T.K.L RSUP. H. Adam Malik Medan. Penelitian
dilakukan sejak penelitian ini disetujui.
3.3 Populasi, Sampel Penelitian, Besar Sampel
3.3.1 Populasi penelitian
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien dengan gejala klinis RA yang
berobat ke Poli T.H.T.K.L RSUP. H. Adam Malik Medan.
3.3.2 Sampel penelitian
Pengambilan sampel menggunakan consecutive sampling
3.3.3 Besar sampel
Besar sampel dihitung dengan rumus :
n = Zα2.p(1-p)
d2
dimana :

n = Besarnya sampel
Zα = Simpangan rata-rata distribusi normal standar pada derajat
kemaknaan α (1,96)
p = proporsi penderita RA (11,5%)
(Bakhshaee, 2010)
d = Kesalahan sampling yang masih dapat ditoleransi (0,1)
n = 1,962. 0,115. 0,885

n = 39 sampel

0,12

3.4 Cara Pengambilan Sampel

Universitas Sumatera Utara

Untuk memperoleh sampel pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan terhadap
penderita RA yang memenuhi kriteria inklusi.
1. Kriteria inklusi :
a. Pasien dengan hasil TCK (+)

b. Tidak Sedang mengkonsumsi obat-obatan antihistamin dan atau
kortikosteroid dalam 3 hari terakhir.
c. Tidak sedang menderita penyakit kulit yang luas terutama pada bagian
volar lengan bawah.
2. Kriteria ekslusi
a. Sampel darah rusak atau tidak dapat diperiksa
3.5 Variabel Penelitian
Variabel penelitian terdiri dari variabel independen yaitu klasifikasi RA dan
variabel dependen yaitu kadar IL-5. Dan variabel lain yang dinilai yaitu keluhan
utama dan riwayat atopi.
3.6 Definisi Operasional
3.6.1 RA adalah penderita dengan keluhan minimal dua gejala klinis dari empat
cardinal symptom RA yaitu hidung buntu, hidung berair, bersin dan hidung
gatal dengan hasil pemeriksaan TCK (+)
3.6.2 Keluhan utama adalah salah satu dari gejala klinis yaitu hidung buntu, hidung
berair, bersin dan hidung gatal yang dialami penderita RA yang menyebabkan
datang berobat.
3.6.3 Riwayat atopi adalah adanya riwayat penyakit alergi atau ada keluarga yang
menderita alergi berdasarkan anamnesis.
3.6.4 Klasifikasi RA adalah pembagian RA berdasarkan lamanya keluhan yang

dialami dan dampaknya terhadap kualitas hidup dibagi berdasarkan klasifikasi
ARIA, yaitu:
a. Intermiten

Gejala muncul ≤ 4 hari per minggu atau ≤ 4

Ringan

minggu serta tidur normal, aktivitas sehari-hari
normal, bekerja dan sekolah normal, dan tidak
ada keluhan mengganggu

b. Intermiten

Gejala muncul ≤ 4 hari per minggu atau ≤ 4

sedang-berat minggu serta tidur normal serta dijumpai satu
atau lebih gejala diantaranya : tidur terganggu

Universitas Sumatera Utara


(tidak normal), aktivitas sehari-hari, saat olah
raga, dan saat santai terganggu, masalah saat
bekerja dan sekolah, dan ada keluhan yang
mengganggu.
c. Persisten

Gejala > 4 hari per minggu atau > 4 minggu

ringan

serta tidur normal, aktivitas sehari-hari normal,
bekerja dan sekolah normal, dan tidak ada
keluhan mengganggu

d. Persisten

Gejala > 4 hari per minggu atau > 4 minggu

sedang-berat serta


dijumpai

satu

atau

lebih

gejala

diantaranya : tidur terganggu (tidak normal),
aktivitas sehari-hari, saat olah raga, dan saat
santai terganggu, masalah saat bekerja dan
sekolah, dan ada keluhan yang mengganggu.
3.5.5 TCK adalah alat bantu diagnosis RA yang terdiri dari tujuh jenis alergen yang
ditusukkan ke tubuh pada bagian volar lengan bawah untuk menentukan
apakah terdapat respon alergi yang diperantarai oleh IgE dengan menilai
bentol yang ditimbulkannya, yatu:
-


Diameter bentol ± 1mm :

positif 1

-

Diameter bentol < histamin :

positif 2

-

Diameter bentol minimal 3mm atau sama positif 3
dengan reaksi histamin :

-

Diameter bentol > 3mm atau > dari reaksi positif 4
histamin :


Dalam penelitian ini hasil TCK dianggap positif jika terjadi bentol pada alergen
sedikitnya sama dengan bentol dari reaksi histamin yaitu positif 3 dan positif
4.
3.5.6 IL-5 adalah kadar IL-5 yang diperoleh dari serum darah penderita RA yang
diperiksa dengan menggunakan metode ELISA dengan skala rasio dengan
satuan pg/ml.
3. 7 Bahan dan Alat
a. Kuisioner penelitian

Universitas Sumatera Utara

b. Lampu kepala merk Cree Led Headlight
c. Spekulum hidung merk Renz
d. Otoskopi merk Riester
e. Spatel lidah
f. Kaca laringoskopi dan rinoskopi
g. 1 set TCK merk Stallergen (Alergen yang digunakan : Grass bermuda,
Tropicalis blomia, Cockroach B. Germanic, D. Pterissynus, D. Fariane, Cat,
Dog).

Bahan dan alat essay
a. 1 set Human IL-5 Immunoassay merk Quantikine
b. Micro elisa plate
c. Reference standard
d. Reference standard & sample diluent
e. Concentrate biotinylated detection Ab
f. Biotynlated detection Ab diluent
g. Concentrated HRP conjugate
h. HRP conjugate diluent
i.

Concentrated wash buffer (25x)

j. Substrate reagent
h. Stop solution
i.

Plate sealer

j. Manual

k. Certificate of analysis
3.8 Cara Kerja
Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik berupa pemeriksaan T.H.T rutin
pada penderita RA. Kemudian dilakukan pemeriksaan TCK dan dilanjutkan dengan
pengambilan darah.
Persiapan yang harus dilakukan sebelum melakukan TCK adalah sebagai berikut
:
-

Jelaskan apa yang akan dilakukan pada responden dan tujuannya.

-

Pastikan responden tidak mengkonsumsi obat/ makanan yang mempunyai
efek antialergi sistemik 1 minggu sebelumnya.

-

Periksa tekanan darah sebelum tes alergi untuk membandingkan jika
sewaktu-waktu terjadi reaksi sistemik.


Universitas Sumatera Utara

-

Pastikan tidak mengalami serangan alergi berat 24 jam sebelumnya (asma
bronkial).

-

Sediakan semprit 1 cc dan epineprin ampul.

-

Jelaskan kemungkinan timbul tanda dan gejala reaksi alergi sisitemik dari
ringan sampai yang berat selama tes alergi.

-

Tanda tangan informed consent.


-

Desinfeksi daerah lokasi tes kulit (bagian volar lengan bawah).

Prosedur pemeriksaan TCK :
-

Teteskan larutan kontrol positif (histamin) dan buffer fosfat atau kontrol
negatif.

-

Biasakan untuk histamin sebelah radial dan buffer sisi ulnar dengan jarak
minimal 2 jari.

-

Tusuk dengan jarum disposibel steril sedalam lapisan epikutan, dicukit tepat
ditempat tetesan, jangan sampai berdarah. Reaksi ditunggu selama 10-15
menit. Jika sudah berbentuk bentol merah minimal diameter 3 mm pada
tempat histamin dan tidak berbentuk pada bufer atau maksimal diameter
bentol 1 mm maka dilanjutkan dengan penetesan alergen yang akan
diperiksa. Biasakan selalu mulai dari proksimal sisi radial ke distal dengan
jarak kurang-lebih 1 jari, kemudian naik ke sisi ulnar. Reaksi tes kulit dibaca
10-15 menit.

-

Penilaian hasil dibandingkan dengan reaksi histamin pada masing-masing
penderita. Hasil TCK dianggap positif jika terjadi bentol pada alergen
sedikitnya sama dengan bentol pada reaksi histamin.

-

Perhatikan selama tes kulit : kemungkinan terjadi reaksi alergi sistemik.
Gejala : pasien mendadak mengeluh lemas, mual seperti mau pingsan,
penderita tampak pucat. Bila terdapat gejala tersebut penderita diminta
segera lapor.
Bila terdapat gejala tersebut : segera tidurkan penderita tanpa bantal, periksa
tensi dan nadi.
Bila ada gejala shock : suntikkan epineprin 0,2 cc subkutan/intramuskular.
Amati nadi, tensi dan pernafasan dalam 5 menit.Jika belum ada perbaikan
dapat ulangi epineprin setelah 10 menit diikuti pemberian steroid im, pasang
infuse (Modul T.H.T.K.L).

Universitas Sumatera Utara

Pemeriksaan IL-5 dengan menggunakan metode ELISA
Pengumpulan dan penyimpanan sampel :
Pemeriksaan IL-5 dilakukan dengan menggunkan metode ELISA yang diperoleh
dari sampel darah penderita RA yang telah memenuhi kriteria inklusi, serum dari
sampel darah diperoleh dengan menggunakan serum separator tube (SST) dan
sampel siap untuk dibekukan selama 30 menit sebelum di setrifugasi selama 15
menit dengan kecepatan 1000x untuk memisahkan serum dengan plasma.
Kemudian serum diambil dan segera diperiksa atau dapat disimpan terlebih dahulu
pada suhu ≤ -200c.
Persiapan reagen :
-

Buffer pembilas : jika kristal masih dalam bentuk konsentrat, hangatkan
terlebih dahulu didalam suhu kamar sambil di aduk dengan hati-hati
sampai kristal larut dengan sempurna. Tambahkan 20 ml konsentrat buffer
pembilas pada deionized atau air yang disaring sebanyak 500ml.

-

Cairan substrat : warna reagen A dan B harus dicampur bersamaan
dengan volume yang sesuai selama 15 menit. Hindari dari cahaya.
Campuran yang diperlukan masing-masing tabung adalah 200 µl.

-

Lihat label pada vial standard IL-5 untuk reconstitution volume. Lakukan
Reconstitute standard IL-5 dengan deionized atau air yang disaring.
Reconstitution ini menghasilkan 2500 pg/ml. Siapkan standard selama
minimal 15 menit dengan lhati-hati untuk menghasilkan cairan.

Prosedur assay:
-

Siapkan semua reagen dan standard
Buang sisa yang tidak diperlukan dari piring, kembalikan kedalam kantung
kertas timah yang kering, dan tutup kembali

-

Tambahkan 100 μL assay RD1W pada masing-masing tabung

-

Tambahkan 100 μL standard, kontrol atau sampel secara seimbang. Tutup
dengan perekat. Inkubasi selama 2 jam pada suhu kamar pada tempat
yang datar.

-

Hisap masing-masing dan bilas, ulangi proses sebanyak 3x dengan total
pembilasan sebanyak 4x. Bilas masing-masing isinya dengan buffer (400
μL)

dapat

menggunakan

botol

penyemrot,

pipa

dispenser

atau

autowasher. Buang seluruh cairan pada masing-masing langkah dengan
tepat untuk hasil yang lebih baik. Setelah pembilasan terakhir, buang sisa

Universitas Sumatera Utara

buffer dengan menghisap atau dituang. Balikkan piring dan bersihkan
noda dengan lap kertas.
-

Tambahkan 200 μL IL-5 konjugasi pada masing-masing tabung. Tutup
dengan penutup berperekat yang baru. Inkubasi selama 2 jam pada suhu
kamar pada alat pengocok.

-

Ulangi penghisapan/pembilasan seperti pada langkah 5.

-

Tambahkan 200 μL substrat pada masing-masing tabung. Inkubasi
selama 30 menit pada suhu kamar pada benchtop. Hindarkan dari cahaya.

-

Tambahkan 50 μL stop solution pada masing-masing tabung. Warna pada
masing-masing tabung harus berubah dari biru menjadi kuning. Jika warna
pada tabung hijau atau warna berubah tidak merata, ketuk-ketuk piring
untuk memastikan cairan tercampur sempurna.

-

Tentukan

densitas

masing-masing

tabung

selama

30

menit,

munggunakan microplate reader set pada 45nm. Jika alat pengkoreksi
panjang gelombang tersedia, set pada 540nm atau 57nm. Jika
pengkoreksi panjang gelombang tidak tersedia, substrat dibaca pada
540nm atau 570nm dari pembacaan 450nm. Pembacaan secara langsung
pada 450nm tanpa koreksi dapat lebih tinggi atau lebih rendah.

Universitas Sumatera Utara

3.9 Kerangka Kerja
Pasien dugaan
RA

Anamnesis

Klasifikasi ARIA :
Intermitten
ringan/intermiten
sedangberat/persisten
ringan/persisten
sedang-berat

Riwayat atopi:
Pemeriksaaan TCK

Atopi/tidak atopi
Keluhan utama:

TCK (+)
hidung buntu/ hidung
berair/ bersin/
hidung gatal
sampel

Pemeriksaan
kadar IL-5
dalam serum
darah
3.10 Pengumpulan Data
Variabel yang dikumpulkan adalah variabel independen dan variabel dependen.
Variabel independen adalah klasifikasi RA dan variabel dependen adalah kadar IL-5.
Dan variabel lain yang dinilai adalah keluhan utama dan riwayat atopi. Pengumpulan
data diperoleh dari status penelitian.

Universitas Sumatera Utara

3.11 Analisis data
Data yang diperoleh dari penelitian akan disajikan dalam bentuk tabel. Data yang
diperoleh dianalisis secara statistik untuk menilai apakah terdapat hubungan antara
klasifikasi RA dengan kadar IL-5 penderita RA.
Data penelitian akan dianalisa sebagai berikut :
1. Analisa univariat
Data disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi sehingga dapat terlihat
gambaran deskriptif dari semua variabel yang diteliti.
2. Analisa bivariat
Untuk menilai hubungan kadar IL-5 dengan klasifikasi RA, keluhan utama dan
riwayat atopi
3.12

Etika penelitian

Semua penderita RA yang menjadi calon subjek penelitian, terlebih dahulu
mendapat penjelasan mengenai penelitian yang akan diikutinya, terutama
penjelasan yang berhubungan dengan tujuan penelitian dan pemeriksaan yang akan
diikutinya serta apa keuntungan dan kerugian yang mungkin dapat ditimbulkannya.
Hal-hal tersebut diatas dijelaskan kepada penderita RA yang menjadi subjek
penelitian. Peserta penelitian menandatangani lembar persetujuan untuk mengikuti
penelitian.
3.13 Jadwal Penelitian
No

Jenis kegiatan

1.

Persiapan proposal

2.

Administrasi

3.

Presentasi proposal

4.

Pengumpulan data

5.

Pengolahan dan pembuatan

Waktu
Sep

Okt

Nov

Feb

2016

2016

2016

2017

April
2017

laporan
6.

Laporan tesis

Universitas Sumatera Utara

BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1 Karakteristik Subjek Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Divisi Rinologi - Alergi Imunologi Poli T.H.T.K.L. RSUP
H. Adam Malik Medan dan pemeriksaan kadar IL-5 dari serum darah dilakukan di
laboratorium Patologi Klinik RSUP. H. Adam Malik Medan. Diagnosis RA ditegakkan
melalui anamnesis serta pemeriksaan TCK dan dilanjutkan dengan pemeriksaan
darah untuk menilai kadar IL-5 dalam serum. Pada penelitian ini diperoleh kelompok
umur terbanyak adalah 21-40 tahun yaitu sebesar 74,35% dengan rerata umur
adalah 29,94 tahun dan jenis kelamin yang terbanyak dijumpai adalah perempuan
yaitu sebesar 69,23%.
Tabel 4.1 Karakteristik subjek penelitian
Karakteristik penderita RA

Jumlah
n

%

≤ 20 tahun

3

7,69

21-40 tahun

29

74,35

≥ 41 tahun

7

17,94

Laki-laki

12

30,76

Perempuan

27

69,23

Umur (tahun)

Jenis kelamin

4.2 Distribusi Frekuensi Penderita RA Berdasarkan Klasifikasi RA Dan
Hubungannya Dengan Kadar IL-5
Tabel 4.2 menunjukkan distribusi frekuensi penderita RA berdasarkan klasifikasi
RA serta hubungannya dengan kadar IL-5. Diperoleh klasifikasi RA terbanyak
adalah persisten sedang-berat yaitu sebesar 43,58%. Dilakukan uji t untuk
mengetahui hubungan klasifikasi RA intermiten ringan dan intermiten sedang-berat
dengan rerata kadar IL-5 diperoleh nilai p=0,085, dan klasifikasi RA persisten ringan
dan persisten sedang-berat dengan rerata IL-5 diperoleh nilai p=0,235. Tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara klasifikasi RA intermiten dan persisten
dengan kadar IL-5.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 4.2 Klasifikasi RA dan kadar IL-5
Klasifikasi RA

n(%)

Kadar IL-5

p-value

(mean±SD)
(pg/ml)
Intermiten ringan

14(35,89)

(55,03±7,77)

Intermiten sedang-berat

2(5,12)

(56,11±7,73)

Persisten ringan

6(15,38)

(51,45±3,53)

Persisten sedang-berat

17(43,58)

(56,25±9,27)

p=0,858

p=0,235

4.3 Distribusi Frekuensi Penderita RA Berdasarkan Keluhan Utama Dan
Hubungannya Dengan Kadar IL-5
Tabel 4.3 menunjukkan distribusi frekuensi penderita RA berdasarkan keluhan
utama penderita RA serta hubungannya dengan kadar IL-5. Diperoleh keluhan
utama terbanyak adalah hidung buntu yaitu sebesar 46,15%. Berdasarkan uji
Kruskal-wallis diperoleh nilai p= 0,427 berarti tidak diperoleh hubungan yang
signifikan antara keluhan utama dengan kadar IL-5.
Tabel 4.3 Keluhan utama dan kadar IL-5
Keluhan utama

n(%)

Kadar IL-5

p-value

(mean±SD)
(pg/ml)
Hidung buntu

18(46,15)

(56,86±9,37)

Hidung berair

8(20,51)

(54,71±5,41)

Bersin

7(17,94)

(54,57±8,49)

Hidung gatal

6(15,38)

(50,61±4,12)

p=0,427

4.4 Distribusi Frekuensi Penderita RA Berdasarkan Riwayat Atopi Dan
Hubungannya Dengan Kadar IL-5
Tabel 4.4 menunjukkan distribusi frekuensi penderita RA berdasarkan riwayat
atopi penderita RA serta hubungannya dengan kadar IL-5. Diperoleh penderita RA
dengan riwayat atopi adalah yang terbanyak dijumpai yaitu sebesar 64,10%

Universitas Sumatera Utara

dilakukan uji t dengan nilai p=0,081 yang berarti tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara riwayat atopi dengan kadar IL-5.
Tabel 4.4 Riwayat atopi dan IL-5
Riwayat atopi

n(%)

Kadar IL-5

p-value

(mean±SD)
(pg/ml)
Atopi

25(64,10)

(57,49±8,39)

Tidak atopi

14(35,89)

(52,83±6,77)

p=0,081

Universitas Sumatera Utara

BAB 5
PEMBAHASAN
5.1 Karakteristik Subjek Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Poli THTKL RSUP. H. Adam Malik Medan dan
melibatkan 39 orang penderita RA yang menjadi subjek penelitian dan telah
memenuhi kriteria inklusi. Pada penelitian ini diperoleh kelompok umur terbanyak
adalah 21-40 yaitu sebesar 74,35% dengan rerata umur adalah 29,94 tahun dan
jenis kelamin yang terbanyak dijumpai adalah perempuan yaitu sebesar 69,23%. RA
pertama sekali muncul pada umur remaja, kemudian menetap saat dewasa dan
kembali menghilang pada usia tua. Kelompok umur 21-40 tahun merupakan usia
dewasa, pada umur ini gejala klinis RA dirasakan menetap dan menjadi lebih berat
dari sebelumnya, oleh sebab itu kelompok umur ini lebih cenderung mencari
pegobatan ke Rumah Sakit, sehinga lebih banyak yang dapat dijadikan subjek
penelitian. Saat usia remaja, jenis kelamin laki-laki adalah yang paling banyak
menderita RA tetapi pada usia dewasa perempuan justru yang lebih banyak dijumpai
menderita RA, mungkin hal tersebut lah yang melatarbelakangi kelompok umur 2140 tahun dan jenis kelamin perempuan adalah yang paling banyak dijumpai pada
penelitian ini.
Bachert dalam penelitiannya di Belgia mengenai prevalensi RA seperti yang
dikutip oleh Pitarini et al (2015) juga mendapatkan perempuan sebagai jumlah
penderita RA terbanyak dari 4959 sampel yaitu sebesar 52,2%. Sedangkan Nathan
et al pada penelitiannya menjumpai kelompok umur terbanyak menderita RA adalah
18-49 tahun. Hal yang sama diperoleh oleh Nurjannah pada tahun 2011 yang
memperoleh perempuan sebagai penderita RA terbanyak sebesar 52,59%, dengan
rerata umur adalah 33,15 tahun (Nurjannah, 2011; Pitarini et al, 2015).
5.2 Distribusi Frekuensi Penderita RA Berdasarkan Klasifikasi RA dan
Hubungannya dengan Kadar IL-5
Pada penelitian ini diperoleh klasifikasi RA berdasarkan tipe dan derajat yang
paling banyak dijumpai adalah RA persisten sedang-berat yaitu sebesar 43,58%.
Pada penelitian ini, secara statistik tidak dijumpai hubungan yang signifikan antara
klasifikasi RA dengan kadar IL-5. Meskipun demikian dari hasil penelitian ini
diperoleh peningkatan rerata kadar IL-5 yang lebih tinggi pada klasifikasi RA

Universitas Sumatera Utara

sedang-berat dibandingkan dengan klasifikasi RA ringan. Dengan uji normalitas
diperoleh penyebaran data yang tidak terdistribusi dengan normal, hal ini bisa
disebabkan jumlah sampel yang kurang, yang diduga menjadi menyebab hubungan
yang tidak signifikan pada penelitian ini.
Pitarini et al (2015) menilai kadar IL-5 dalam serum darah penderita RA persisten
sedang berat sebelum dan sesudah pemberian terapi steroid topikal hidung
(fluticasone furoate 110 µg/hari) dan antihistamin (cetirizine 10mg/hari) selama dua
minggu. Diperoleh kadar IL-5 yang responsif pada penelitian ini, dimana kadar IL-5
sesudah terapi ditemukan lebih rendah dibandingkan sebelum pemberian terapi.
Dengan kata lain terdapat penurunan kadar IL-5 dengan pemberian terapi yang
pada akhirnya dapat menurunkan jumlah eosinofil dalam darah yang diharapkan
dapat memperbaiki gejala klinis RA. Pada penelitian ini tidak terdapat hubungan
yang bermakna antara kualitas hidup penderita RA dengan perubahan nilai IL-5
dalam serum (Pitarini et al, 2015).
IL-5 pada penderita asma tidak berperan pada fase akut. Sama halnya dalam
patogensis RA, IL-5 berperan pada reaksi alergi fase lambat yaitu sekitar 4-6 jam
setelah terpapar alergen dan gejala klinis dapat menetap selama 8-24 jam. Pada
fase ini terjadi akumulasi sel-sel inflamasi salah satunya adalah limfosit T, basofil
dan eosinofil, dimana pembentukan, maturasi, migrasi, diferensiasi, aktivasi dan
apoptosis eosinofil diatur oleh IL-5 (Greenfeder, 2011; Pawankar, 2011).
Motojima et al, membandingkan kadar IL-5 dalam serum penderita asma yang
sedang mengalami eksaserbasi dan pasien asma yang telah mengalami remisi.
Terjadi peningkatan kadar IL-5 dalam serum pasien dengan asma berat atau yang
sedang mengalami eksaserbasi bila dibandingkan dengan orang normal atau asma
ringan. Kadar IL-5 yang lebih tinggi pada RA persisten sedang berat,

dapat

menguatkan pernyataan Papanthanassiou yang menyatakan anti IL-5 dapat
digunakan dalam pengobatan asma yang berat, karena keduanya adalah penyakit
alergi (Greenfeder, 2011).
ARIA-WHO membuat klasifikasi RA menggunakan tipe dan derajat RA
berdasarkan lamanya keluhan dialami dan dampaknya terhadap kualitas hidup
penderitanya. Klasifikasi berdasarkan tipe dan derajat RA dapat dengan mudah
diperoleh secara langsung melalui anamnesis yang cermat pada penderita RA.
Berdasarkan klasifikasi tersebut RA persisten sedang-berat adalah tipe dan derajat
RA yang paling berat karena gejala klinis yang dialami oleh penderitanya timbul lebih

Universitas Sumatera Utara

dari 4 hari per minggu dan lebih dari 4 minggu serta dijumpai adanya satu atau lebih
gejala diantaranya yaitu: gangguan tidur dan aktivitas sehari-hari, saat olah raga,
serta saat santai terganggu, masalah saat bekerja dan sekolah, sehingga
berdampak buruk tehadap kualitas hidup penderitanya. Pada tipe dan derajat ini
penderita RA harus menggunakan terapi steroid intranasal untuk mengurangi
keluhannya dan selain itu dapat juga ditambahkan obat-obatan lainnya seperti
antihistamin untuk mendapatkan efek pengobatan yang lebih optimal (Jimenez et al.,
2012).
5.3 Distribusi Frekuensi Penderita RA Berdasarkan Keluhan Utama dan
Hubungannya dengan Kadar IL-5
Pada penelitian ini diperoleh keluhan utama yang paling banyak dijumpai adalah
hidung buntu sebesar 46,15%. Hal ini disebabkan hidung buntu secara langsung
mengganggu kenyamanan penderita oleh karena berhubungan dengan udara
pernafasan yang dihirup. Sehingga penderita cenderung merasa tidak nyaman bila
proses tersebut terganggu, dan berusaha untuk segera berobat ke dokter. Pada
penelitian ini tidak dijumpai hubungan yang signifikan antara keluhan utama dengan
kadar IL-5, dari keempat keluhan utama yang dinilai dari penelitian ini dijumpai
rerata kadar IL-5 yang hampir sama pada setiap keluhan utamanya, meskipun
demikian keluhan utama dijumpai sedikit lebih tinggi dibandingkan keluhan utama
hidung berair, bersin dan hidung gatal. Hasil yang tidak signifikan dijumpai antara
hubungan keluhan utama dengan IL-5 dapat disebabkan oleh karena, yang memiliki
peranan dominan dalam reaksi alergi pada RA dan berkaitan dengan gejalanya
adalah histamin sehingga apapun keluhan yang dijumpai pada RA yang berperan
tetaplah kedudukan histamin terhadap reseptornya dan sel yang dominan adalah
eosinofil yang mana proses produksi dan maturasi nya diatur oleh IL-5, sehingga
ketika penderita tidak dalam keadaan serangan alergi berat kadar IL-5 dalam
darahnya sama dengan normal.
Penelitian ini sejalan dengan dengan survey yang dilakukan oleh Roper Group
tahun 2004, dari 2355 jumlah responden penderita RA dijumpai sebesar 85%
mengalami keluhan hidung buntu sebagai keluhan utama, 40% diantaranya
mengeluhkan gejala hidung buntu yang sangat berat yaitu pada skala 9-10 (Stewart,
Ferguson dan Fromer, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Hidung buntu pada RA terjadi oleh karena adanya vasodilatasi vaskuler.
Mekanisme vasodilatasi ini diperantarai reseptor H1, yang mengakibatkan pelebaran
pada vena kavernosa sinusoid di dalam mukosa konka, sehingga terjadi
peningkatan tahanan udara dalam hidung akibat edema konka, terutama pada
konka inferior. Penumpukan seket yang terjadi di dalam hidung juga menambah
beratnya sumbatan pada hidung. Selain itu peningkatan aktivitas parasimpatis juga
menyebabkan vasodilatasi sinusoid tersebut.
5.4 Distribusi Frekuensi Penderita RA Berdasarkan Riwayat Atopi dan
Hubungannya dengan Kadar IL-5.
Pada penelitian ini distribusi frekuensi penderita RA berdasarkan riwayat atopi
lebih banyak dijumpai dibanding penderita RA tanpa riwayat atopi dalam keluarga
yaitu sebesar 64,10%. Pada penelitian ini tidak dijumpai hubungan yang signifikan
antara riwayat atopi dengan kadar IL-5. Meskipun demikian dijumpai proporsi yang
besar rerata kadar IL-5 pada penderita RA dengan riwayat atopi dibanding kadar IL5 penderita RA tanpa atopi. Kekurangan penelitian ini adalah penegakan riwayat
atopi hanya berdasarkan anamnesis, sedangkan untuk menentukan riwayat atopi
pada seseorang dibutuhkan pembuktian adanya IgE melalui pemeriksaan TCK
ataupun pemeriksaan IgE spesifik pada seseorang yang diduga atopi. Selain itu
tidak semua penderita atopi akan menampilkan manifestasi gejala klinis alergi,
sehingga bisa saja subjek tidak memberikan keterangan yang sebenarnya, hal ini
merupakan keterbatasan yang dijumpai pada penelitian ini.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurjannah (2011) yang
menemukan penderita RA dengan riwayat atopi dalam keluarga ditemukan lebih
banyak

dibanding

penderita

RA

tanpa

riwayat

atopi

yaitu

sebesar

56,90%(Nurjannah, 2011).
Pada pasien dengan asma atopi terjadi peningkatan ekspresi Th2-tipe sitokin (IL2, IL-3, IL-4 dan IL-5). Beberapa penelitian berusaha mengungkapkan hubungan
riwayat keluarga atopi dengan terjadinya atopi pada anak. Menurut Anandan, sekitar
50% bayi memiliki risiko alergi jika salah satu orang tua memiliki penyakit alergi,
sedangkan jika kedua orang tua memiliki penyakit alergi maka 75% bayi mempunyai
risiko alergi. Sedangkan menurut Koning, apabila kedua orang tua memiliki riwayat
alergi maka 40-60% bayi berisiko terkena alergi, namun jika kedua orang tuanya
memilki manifestasi alergi yang sama maka risikonya akan meningkat menjadi 60-

Universitas Sumatera Utara

80%. Dalam hal ini komponen genetik yang diwariskan kepada anak melalui orang
tuanya adalah berupa kemampuan untuk memberikan reaksi terhadap suatu alergen
tertentu yang diturunkan. Ada pun gen yang terlibat dalam reaksi RA antara lain
3q21, 5q31-q33, 7p1-p15, 14q24. Menurut Blumenthal, peranan penurunan atopi
ayah dengan keturunannya tidak sebesar atopi pada ibu, hal ini diakibatkan sewaktu
genome imprinting pada saat spermatogenesis terjadi penekanan pada gen atopi
tersebut. Meskipun demikian meningkatnya prevalensi RA akhir-akhir ini tidaklah
disebabkan oleh perubahan gen semata. Bukti-bukti menunjukkan bahwa ibu yang
perokok berat (20 batang/hari) pada tahun pertama kehidupan anaknya serta
tingginya kadar IgE merupakan pemicu terjadinya RA pada tahun pertama
kehidupan. Fakta ini mendukung bahwa RA merupakan manifestasi awal penyakit
atopi yang kemudian dipicu oleh paparan lingkungan yang dini (Utama, 2010;
Greenfeeder, 2011; Greiner, et al., 2011; Nurjannah, 2011).

Universitas Sumatera Utara

BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Distribusi frekuensi penderita RA berdasarkan klasifikasi RA yang paling
banyak dijumpai adalah persisten sedang-berat dan tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara klasifikasi RA dengan kadar IL-5
2. Distribusi frekuensi penderita RA berdasarkan keluhan utama yang paling
banyak dijumpai adalah hidung buntu dan tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara keluhan utama dengan kadar IL-5
3. Distribusi frekuensi penderita RA berdasarkan riwayat atopi yang paling
banyak dijumpai adalah penderita RA dengan riwayat atopi dan tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara riwayat atopi dengan kadar IL-5
6.2 Saran
1. Pemeriksaan kadar IL-5 dalam darah belum dapat dijadikan sebagai alat
bantu diagnostik RA, oleh karena hubungannya yang tidak signifikan dijumpai
pada penderita RA
2. Perlu dipertimbangkan untuk menilai kadar IL-5 pada saat penderita dalam
keadaan serangan alergi, diharapkan hasilnya dapat lebih bermakna
dibandingkan dengan kadar IL-5 dalam darah penderita RA yang tidak dalam
keadaan serangan alergi.
3. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan membandingkan rerata kadar IL-5
penderita RA sebelum dan sesudah terapi standar, untuk mengetahui
efektivitas terapi yang diberikan.

Universitas Sumatera Utara