Analisis Lokasi Pasar Hewan Siborong-Borong Dalam Pengembangan Sub Sektor Peternakan di Kabupaten Tapanuli Utara

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rinitis Alergi (RA) saat ini sedang menjadi masalah global oleh karena
prevalensinya yang semakin meningkat cepat dalam beberapa dekade terakhir.
Selain itu, RA yang berat memiliki dampak yang signifikan terhadap perubahan
kualitas hidup, gangguan tidur dan pekerjaan bagi penderitanya. RA pada umumnya
bukanlah merupakan penyakit yang fatal tetapi gejalanya dapat mempengaruhi
status kesehatan seseorang dan menurunkan kualitas hidup penderitanya. Hal ini
disebabkan oleh karena penyakit ini bersifat rekuren (mudah kambuh), kronis,
progresif, reversibel pada tahap awal dan irreversibel pada tahap lanjut. Penyakit ini
juga menurunkan produktivitas kerja, waktu efektif kerja, dan menurunnya prestasi di
sekolah pada anak. Adapun dampaknya terhadap kondisi ekonomi, di Amerika
diperkirakan mencapai 3 juta dolar dan tambahan 4 juta dolar akibat komplikasi yang
terjadi seperti otitis dan asma (Sugiarto, 2006; Widuri, 2009; Ashkarali et al., 2015).
RA merupakan penyakit kronis yang paling sering menyerang saluran nafas atas.
Mempengaruhi sekitar 10-25% jumlah populasi. Pada negara maju prevalensi RA
dijumpai lebih tinggi dibandingkan dengan negara berkembang, seperti di Inggris
prevalensinya mencapai 29%, di Denmark sebesar 31,5% dan di Amerika berkisar
33,6%. Sedangkan prevalensi di Indonesia belum diketahui dengan pasti, namun
data dari berbagai rumah sakit menunjukkan bahwa RA memiliki frekuensi berkisar

10-26% dari jumlah populasi. Secara patofisilogi gambaran karakteristik RA berupa
akumulasi sel-sel inflamasi yang meliputi sel limfosit T, sel mast, eosinofil, basofil
dan neutrofil. Dimana, pelepasan berbagai mediator inflamasi inilah nantinya yang
akan berhubungan erat dengan gejala yang ditimbulkan oleh RA setelah terpapar
dengan alergen penyebab (Widuri, 2009; Bakhshaee et al., 2010; Venkateswarlu et
al., 2015).
Berdasarkan klasifikasi Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma-World Health
Organization (ARIA-WHO) RA dapat dibagi berdasarkan waktu dan dampaknya
terhadap kulaitas hidup penderitanya. Dikategorikan kedalam RA intermitten bila
keluhan yang dijumpai muncul kurang dari atau sama dengan 4 hari per minggu atau

Universitas Sumatera Utara

kurang dari atau sama dengan 4 minggu, dan persisten atau menetap bila gejala
timbul lebih dari 4 hari per minggu dan lebih dari 4 minggu. Derajat penyakit dinilai
berdasarkan ada atau tidaknya hambatan aktivitas yang memengaruhi kualitas
hidup. Derajat dikategorikan ringan apabila tidak terdapat hambatan aktivitas, seperti
gangguan tidur, saat bersantai dan berolah raga atau dikategorikan sedang-berat
bila terdapat satu atau lebih hambatan dalam beraktivitas (Pitarini et al., 2015).
Pada penyakit alergi termasuk didalamnya RA terjadi reaksi imunitas antara

penjamu yaitu penderita RA dengan alergen penyebab. Respon imun pada manusia
ada dua yaitu sistem imun bawaan dan sistem imun didapat. Respon imun dimulai
dari stimulasi sel imun oleh patogen, antigen dan sitokin. Stimulus ini memicu respon
melalui reseptor seluler. Respon imun sangat kompleks dan berbeda-beda karena
melibatkan berbagai tipe sel seperti makrofag, sel natural killer dan sel dendrit yang
dapat dijumpai pada sistem imun bawaan sedangkan Limfosit T dan Limfosit B dapat
ditemukan pada sistem imun didapat. Aktivasi reseptor pada permukaan sel sistem
imun bawaan seperti makrofag dan sel dendrit menghasilkan sitokin dan kemokin
yang nantinya akan mengatur fase selanjutnya termasuk respon inflamasi. Sitokin
mengatur komunikasi antara sel-sel dalam sistem imun. Salah satunya sitokin yang
terlibat dalan reaksi alergi adalah Interleukin-5 (IL-5). Dimana IL-5 merupakan sitokin
yang berperan sebagai aktivator utama sel eosinofil yang berasal dari sel T helper 2
(Th2) (Huriyati, Budiman & Octiza, 2014).
Dalam patofisiologi RA, IL-5 dapat dikatakan sebagai sitokin yang sangat penting
dan sangat spesifik untuk maturasi, perkembangan, aktivitas dan kelangsungan
hidup eosinofil, diantara sekian banyak sitokin yang juga terlibat didalam RA.
Sedangkan sel eosinofil sendiri, memiliki peranan penting dalam mengatur
mekanisme yang berhubungan dengan alergi dan berperan dalam patogenesis
inflamasi reaksi alergi dan pada akhirnya erat kaitannya dengan gejala klinis yang
dijumpai khususnya pada RA ( Pitarini, 2015).

Penelitian mengenai IL-5 kaitannya dengan penyakit yang berhubungan dengan
reaksi alergi sudah banyak dilakukan. Pada penelitian yang telah dilakukan terhadap
manusia dan hewan coba, pemberian inhibitor IL-5 dengan antibodi monoklonal
dapat menurunkan kadar eosinofil dalam darah oleh karena alergi dan penyakit
kronik. (Greenfeder et al., 2001).
Pitarini et al, melakukan penelitian mengenai perubahan kualitas hidup, jumlah
eosinofil mukosa hidung, dan IL-5 serum darah pasien RA paska terapi dan

Universitas Sumatera Utara

memperoleh hasil bahwa terjadi perubahan kualitas hidup, jumlah eosinofil mukosa
hidung, dan kadar IL-5 serum darah dapat digunakan sebagai penanda objektif
terhadap keberhasilan terapi pada RA yang dapat dipakai dalam praktik klinis seharihari maupun kepentingan riset (Pitarini, 2015).
Papanthanassiou et al, menyatakan bahwa pengobatan dengan menggunakan
anti IL-5 memberikan hasil yang cukup baik bila diberikan pada pasien dengan asma
yang berat, meskipun biaya yang dikeluarkan cukup tinggi (Papanthanassiou et al.,
2016).
Sesuai dengan perannya yang cukup penting dalam reaksi alergi, penelitian
mengenai IL-5 sudah banyak dilakukan pada penyakit-penyakit alergi lainnya,
seperti pada asma dan dermatitis atopi. Sebagian besar penelitian IL-5 dihubungkan

dengan keberadaan eosinofil baik pada mukosa jaringan yang terlibat maupun pada
darah penderitanya. Selain itu juga dikaitkan dengan derajat keparahan penyakit.
Bahkan sudah banyak penelitian yang dilakukan mengenai pengobatan penyakit
alergi dengan pemberian antibodimonoklonal IL-5. Meskipun pemberian anti IL-5
telah banyak dilakukan untuk pengobatan penyakit alergi yang berat, tetapi belum
ada yang menyatakan bahwa terjadi peningkatan kadar IL-5 yang lebih tinggi pada
penyakit alergi berat bila dibandingkan dengan penyakit alergi yang lebih ringan.
Oleh sebab itu perlu adanya data yang membuktikan bahwa penyakit alergi berat
meiliki kadar IL-5 yang lebih tinggi. Berdasarkan prevalensinya yang cukup tinggi,
dan perjalanan penyakitnya yang kronis dapat berdampak buruk terhadap kualitas
hidup penderitanya, serta tingkat keparahan gejalanya berdasarkan klasifikasi ARIA
yang dihubungkan dengan kadar IL-5 belum pernah dilaporkan, maka berdasarkan
latar belakang diatas perlu diteliti bagaimana Hubungan klasifikasi rinitis alergi
dengan kadar interleukin-5 (IL-5) pada penderita rinitis alergi di RSUP. H.
Adam Malik Medan.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan permasalahan penelitian
adalah bagaimana hubungan klasifikasi RA dengan kadar IL-5 pada penderita RA di
RSUP. H. Adam Malik Medan.
1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum
Mengetahui distribusi klasifikasi RA, rerata kadar IL-5 dan hubungan keduanya.

Universitas Sumatera Utara

1.3.2 Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui distribusi frekuensi penderita RA berdasarkan klasifikasi
RA
2. Untuk mengetahui distribusi frekuensi penderita RA berdasarkan keluhan
utama dan hubungannya dengan kadar IL-5
3. Untuk mengetahui distribusi frekuensi penderita RA berdasarkan riwayat atopi
dan hubungannya dengan kadar IL-5

1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat antara lain untuk :
-

Dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan di bidang Ilmu Telinga
Hidung Tenggorok Kepala Leher


-

Dapat digunakan sebagai rujukan untuk penelitian selanjutnya yang
berhubungan dengan kadar IL-5

-

Dengan diketahuinya keluhan RA yang paling dominan dijumpai peningkatan
kadar IL-5 sehingga dapat dipertimbangkan untuk pemberian anti IL-5
sebagai pilihan terapi untuk memperbaiki kualitas hidup penderita RA.

Universitas Sumatera Utara