Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Metode Pembelajaran Kontekstual Inkuiri Terhadap Hasil Belajar Siswa Sekolah Dasar pada Mata Pelajaran IPA T1 292008269 BAB II

(1)

5 2.1.1 Hakikat Pembelajaran Kontekstual

Pembelajaran pada hakikatnya adalah proses interaksi antara peserta didik (siswa) dengan lingkungnnya, sehingga terjadi perubahan prilaku (Mulyasa, 2005).,sedangkan Marhaeni (2006) mengatakan bahwa pembelajaran adalah kegiatan yang terprogram dalam desain FEE (facilitating, empowering, enabling ), untuk membuat siswa belajar secara aktif. Pengertian di atas menunjukkan bahwa dalam pembelajaran terjadi interaksi antara peserta didik yang belajar dan pendidik yang membantu proses belajar tersebut.

Pembelajaran Kontekstual menurut Elaine B. Johnson (2007: 67) mengungkapkan bahwa CTL adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan menolong para siswa melihat makna di dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks dalam kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan konteks keadaan pribadi, sosial dan budaya mereka. Sementara itu, Bandono (2008) mengungkapkan bahwa Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan proses pembelajaran yang holistik dan bertujuan membantu siswa untuk memahami makna materi ajar dengan mengaitkannya terhadap konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial dan kultural), sehingga siswa memiliki pengetahuan/keterampilan yang dinamis dan fleksibel untuk mengkonstruksi sendiri secara aktif pemahamannya. Sedangkan, The washington State Consortium for Contextual Teaching and Learning (Nurhadi, 2004: 12) mengungkapkan bahwa pengajaran kontekstual adalah pengajaran yang memungkinkan siswa memperkuat, memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademisnya dalam berbagai latar sekolah dan di luar sekolah untuk memecahkan seluruh persoalan yang ada dalam dunia nyata. Pembelajaran kontekstual terjadi ketika siswa menerapkan dan mengalami apa yang diajarkan dengan mengacu pada masalah-masalah real yang berasosiasi dengan peranan dan tanggung jawab mereka


(2)

sebagai anggota keluarga, anggota masyarakat, siswa dan selaku pekerja. Pengajaran dan pembelajaran kontekstual menekankan berpikir tingkat tinggi, transfer pengetahuan melalui disiplin ilmu, dan mengumpulkan, menganalisis dan mensintesiskan informasi dan data dari berbagai sumber dan sudut pandang. Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar dimana guru menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari; sementara siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan dari konteks yang terbatas, sedikit demi sedikit, dan dari proses mengkonstruksi sendiri, sebagai bekal untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat. Untuk mencapai tujuan ini, menurut Elaine B. Johnson (Nurhadi, 2004: 13-14) ada delapan komponen utama dalam sistem pembelajaran kontekstual yaitu sebagai berikut:

a. Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful connections) Siswa dapat mengatur diri sendiri sebagai orang yang belajar secara aktif dalam mengembangkan minatnya secara individu, orang yang dapat bekerja sendiri atau bekerja dalam kelompok, dan orang yang dapat belajar sambil berbuat.

b. Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan (doing significant work) Siswa membuat hubungan-hubungan antara sekolah dan berbagai konteks yang ada dalam kehidupan nyata sebagai pelaku bisnis dan anggota masyarakat.

c. Belajar yang diatur sendiri (self-regulated learning) Siswa melakukan pekerjaan yang signifikan; ada tujuannya, ada urusannya dengan orang lain, ada hubungannya dengan penentuan pilihan, dan ada produknya/hasilnya yang sifatya nyata.

d. Bekerja sama (collaborating) Siswa dapat bekerja sama. Guru membantu siswa bekerja secara efektif dalam kelompok, membantu mereka memahami bagaimana mereka saling mempengaruhi dan saling berkomunikasi.


(3)

e. Berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking) Siswa dapat menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi secara kritis dan kreatif; dapat menganalisis, membuat sintesis, memecahkan masalah, membuat keputusan, dan menggunakan logika dan bukti-bukti.

f. Mengasuh atau memelihara pribadi siswa (nurturing the individual)Siswa memelihara pribadinya; mengetahui, memberi perhatian,memiliki harapanharapan yang tinggi, memotivasi dan memperkuat diri sendiri.

g. Mencapai standar yang tinggi (reaching high standards) Siswa mengenal dan mencapai standar yang tinggi; mengidentifikasi tujuan dan memotivasi siswa untuk mencapainya.

h. Menggunakan penilaian autentik (using authentic assesment) Siswa menggunakan pengetahuan akademis dalam konteks dunia nyata untuk suatu tujuan yang bermakna. Adapun prinsip-prinsip pembelajaran kontekstual menurut Nurhadi (2004: 20- 21) yang harus dilakukan oleh seorang guru adalah sebagai berikut:

a. Merencanakan pembelajaran sesuai dengan kewajaran perkembangan mental siswa (developmentally). Hubungan antara isi kurikulum dan metodologi yang digunakan untuk mengajar harus didasarkan kepada kondisi sosial, emosional dan perkembangan intelektual siswa. Jadi, usia siswa dan karakteristik individual lainnya serta kondisi sosial dan lingkungan budaya siswa haruslah menjadi perhatian di dalam merencanakan pembelajaran.

b. Membentuk kelompok belajar yang saling tergantung (independent learninggroups) Siswa saling belajar dari sesamanya di dalam kelompok-kelompok kecil dan belajar bekerja sama dalam tim lebih besar (kelas). Kemampuan itu merupakanbentuk kerjasama yang diperlukan oleh orang dewasa di tempat kerja dan kontekslain. Jadi, siswa diharapkan untuk berperan aktif.


(4)

c. Menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri (self-regulated learning) Lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri (self-regulated learning) memiliki tiga karakteristik umum, yaitu kesadaran berpikir, penggunaan strategi dan motivasi berkelanjutan.

d. Mempertimbangkan keragaman siswa (disversity of students) Di kelas guru harus mengajar siswa dengan berbagai keragaman, misalnya latar belakang suku bangsa, status sosial-ekonomi, bahasa utama yang dipakai di rumah, dan berbagai kekurangan yang mungkin mereka miliki. Dengan demikian, guru diharapkan dapat membantu siswa untuk mencapai tujuan pembelajarannya.

e. Memperhatikan multi-intelegensi (multiple intelegences) Dalam melayani siswa di kelas, guru harus memadukan berbagai strategi pendekatan pembelajaran kontekstual sehingga pengajaranakan efektif bagi siswa dengan berbagai intelegensinya.

f. Menggunakan teknik-teknik bertanya (questioning) untuk meningkatkan pembelajaran siswa, perkembangan pemecahan masalah, dan keterampilan berpikir tingkat tinggi

g. Menerapkan penilaian autentik (authentic assessment) Penilaian autentik mengevaluasi penerapan pengetahuan dan bepikir kompleks seorang siswa, daripada hanya sekadar hafalan informasi aktual.

Berdasarkan beberapa pendapat tentang pengertian pembelajaran yang telah diungkapkan di atas, maka yang dimaksud dengan pembelajaran adalah upaya penataan lingkungan (fisik, sosial, kultur dan fsikologis) yang bersifat eksternal (datang dari luar pebelajar) serta sengaja dirancang atau didesain (terprogram) sehingga memberikan suasana tumbuh dan berkembangnya proses belajar.

2.1.2 Landasan Pembelajaran Kontekstual

Komponen utama pembelajaran yang mendasari penerapan pembelajaran kontekstual di kelas adalah kontruktivisme (CONSTRUCTIVISM), bertanya


(5)

(QUESTIONING), menemukan (INQUIRY), masyarakat belajar (LEARNING COMMUNITY), pemodelan (MODELING), refleksi (REFLECTION) dan penilaian sebenarnya (AUTHENTIC ASSEMENT). Kelas dapat dikatakan menggunakan pendekatan kontekstual jika menerapkan komponen-komponen tersebut dalam pembelajarannya (Nurhadi, 2004:31-51). Kontruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Inkuiri adalah proses pembelajaran didasarkan pada pencairan dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Bertanya adalah menggali kemampuan, membangkitkan motivasi dan merangsang keingintahuan siswa. Pemodelan adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh siswa. Refleksi adalah proses mengendapkan pengalaman yang telah dipelajari dengan cara mengurutkan kembali kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah dilalui. Penilaian nyata adalah proses mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar siswa yang diarahkan pada proses belajar bukan hasil belajar.

(Sanjaya, 2006:118-122). Dalam komponen kontruktivisme sebagai filosofi dapat dikembangkan pemikiran bahwa siswa akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya. Dengan demikian siswa belajar sedikit demi sedikit dari konteks terbatas, siswa mengkonstruksi sendiri pemahamannya. Pemahaman yang mendalam diperoleh melalui pengalaman belajar yang bermakna. Komponen inkuiri sebaga strategi belajar dapat dilaksanakan untuk mencapai kompetensi yang diinginkan. Siklus yang terdiri dari mengamati, bertanya, menganalisis dan merumuskan teori baik perorangan maupun kelompok. Diawali dengan pengamatan, lalu berkembang untuk memahami konsep / fenomena. Dalam hal ini mengembangkan dan menggunakan keterampilan berpikir kritis. Komponen bertanya sebagai keahlian dasar yang dikembangkan, bertanya sebagai alat belajar mengembangkan sifat ingin tahu siswa. Mendorong siswa untuk mengetahui sesuatu, mengarahkan siswa untuk memperoleh informasi, digunakan untuk menilai kemampuan siswa berfikir kritis dan melatih siswa untuk berfikir kritis.


(6)

Komponen masyarakat belajar sebagai penciptaan lingkungan belajar yaitu menciptakan masyarakat belajar atau belajar dalam kelompok-kelompok. Dalam hal ini berbicara dan berbagi pengalaman dengan orang lain. Bekerja sama dengan orang lain untuk menciptakan pembelajaran yang lebih baik dibandingkan dengan belajar sendiri. Komponen permodelan, model sebagai acuan pencapaian kompetensi yaitu menunjukkan model sebagai contoh pembelajaran (benda-benda, guru, siswa lain, karya inovasi dll). Membahasakan gagasan yang dipikirkan, mendemonstrasi bagaimana menginginkan siswa untuk belajar, dan melakukan apa yang diinginkan agar siswa untuk belajar, dan melakukan apa yang diinginkan agar siswa melakukannya. Komponen refleksi sebagai langkah akhir dari belajar yaitu melakukan refleksi di akhir pertemuan agar siswa merasa bahwa hari ini mereka belajar sesuatu. Dalam hal ini refleksi berarti cara-cara berpikir tentang apa yang telah dipelajari. Menelaah dan merespon terhadap kejadian, aktivitas dan pengalaman. Mencatat apa yang telah dipelajari dan merasakan ide-ide baru. Komponen penilaiannya sebenarnya dalah melakukan penilaian yang sebenarnya dari berbagai sumber dan dengan berbagai cara. Dalam hal ini mengukur pengetahuan dan keterampilan siswa. Mempersyaratkan penerapan pengetahuan atau pengalaman. Tugas-tugas yang kontekstual dan relevan. Proses dan produk kedua-duanya dapat diukur.

Jadi dalam pembelajaran kontekstual berarti melaksanakan komponen-komponen atau aspek-aspek pembelajaran kontekstual, dalam hal ini guru memegang peranan penting dalam menciptakan pembelajaran yang menggairahkan atau menyenangkan sehingga guru harus kreatif memilih metode pembelajaran yang efektif dalam menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif. Dari segi proses guru dikatakan berhasil apabila mampu melibatkan sebagian besar siwa secara aktif, baik fisik, mental, maupun sosial dalam proses pembelajaran. Sedangkan dari segi hasil guru dikatakan berhasil apabila pembelajaran yang diberikan mampu mengubah perilaku sebagian besar siswa kea rah penguasaan kompetensi dasar yang lebih baik.


(7)

2.1.3 Pengertian Pembelajaran kontekstual

Nurhadi (2005: 5) berpendapat bahwa pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari dengan melibatkan ketujuh komponen utama pembelajaran efektif yaitu kontruktivisme, bertanya, menemukan, masyarakat belajar, permodelan, dan penilaian sebenarnya atau authentic assessment.

Suherman, Erman (2003: 3) menyatakan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual adalah pembelajaran yang mengambil (menstimulasikan, menceritakan berdialog, atau tanya jawab) kejadian pada dunia nyata kehidupan sehari-hari yang dialami siswa kemudian diangkat kedalam konsep yang dibahas. Istiqomah, Lailatul (2009: 30) menyampaikan pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata siswa, dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan pendekatan konsektual memberikan penekanan pada penggunaan berpikir tingkat tinggi, transfer pengetahuan, permodelan, informasi

dan data dari berbagai sumber.

Pembelajaran kontekstual dapat dikatakan sebagai sebuah pendekatan pembelajaran yang mengakui dan menunjukkan kondisi alamiah pengetahuan. Melalui hubungan di dalam dan di luar ruang kelas, suatu pendekatan pembelajaran kontekstual menjadikan pengalaman lebih relevan dan berarti bagi siswa dalam membangun pengetahuan yang akan mereka terapkan dalam pembelajaran seumur hidup. Pembelajaran kontekstual menyajikan suatu konsep yang menaitkan materi pelajaran yang dipelajari siswadengan konteks materi tersebut digunakan, serta hubungan bagaimana seseorang belajar atau cara siswa belajar.

Dengan demikian, dalam kegiatan pembelajaran perlu adanya upaya membuat belajar lebih mudah, sederhana, bermakna dan menyenangkan agar siswa mudah


(8)

menerima ide, gagasan, mudah memahami permasalahan dan pengetahuan serta dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuan barunya secara aktif, kreatif dan produktif. Untuk mencapai usaha tersebut segala komponen pembelajaran harus dipertimbangkan termasuk pendekatan kontekstual. Dalam kaitan dengan evaluasi, pembelajaran dengan kontekstual lebih menekankan pada authentic assesmen yang diperoleh dari berbagai kegiatan. Alwasih, Chaedar (2002:289) berpendapat bahwa keuntungan penilaian autentik bagi siswa antara lain: (1) mengungkapkan secara total seberapa baik pemahaman materi akademik mereka, (2) mengungkapkan dan memperkuat penguasaan kompetensi mereka seperti mengumpulkan informasi, menggunakan sumber daya, mengani teknologi, dan berfikir secara sistematis, (3) menhubungkan pembelajaran dengan pengalaman mereka sendiri, dunia mereka, dan masyarakat luas, (4) mempertajam keahlian berfikir dalam tingkatan yang lebih tinggi saat mereka menganalisis, memadukan, mengidentifikasi masalah, menciptakan solusi, dan menghubungkan sebab akibat, (5) menerima tanggung jawab dan membuat pilihan, (6) berhubungan dan bekerja sama dengan orang lain dalam mengerjakan tugas, dan (7) belajar mengevaluasi tingkat prestasi sendiri. Jenis penilaian autentik yaitu portofolio, pengukuran kinerja, proyek, dan jawaban tertulis secara lengkap.

Depdiknas, 2002 menyampaikan bahwa pendekatan kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Selain itu pembelajaran kontekstual merupakan suatu konsep tentang pembelajaran yang membantu guru-guru untuk menghubungkan isi bahan ajar dengan situasi-situasi dunia nyata serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari sebagai anggota keluarga, warga negara, dan pekerja serta terlibat aktif dalam kegiatan belajar mengajar yang dituntut dalam pelajaran. Pendekatan kontekstual ini merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam


(9)

kehidupan mereka sehari-hari sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Tugas guru dalam kelas kontekstual adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan suatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Pendekatan kontekstual ini perlu diterapkan mengingat bahwa selama ini pendidikan masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihapalkan. Dalam hal ini fungsi dan peranan guru masih dominan sehingga siswa menjadi pasif dan tidak kreatif. Melalui pendekatan kontekstual ini siswa diharapkan belajar dengan cara mengalami sendiri bukan menghapal. Pada dasarnya pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang membantu guru untuk mengaitkan materi yang dipelajari dengan kehidupan nyata, dan memotivasi siswa untuk mengaitkan pengetahuan yang didapatnya dengan kehidupan mereka sehari-hari. Nurhadi (2004: 13) menyatakan bahwa pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar dimana guru menghadirkan dunia nyata kedalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang memotivasi siswa untuk menghubungkan antara pengetahuan yang diperolehnya dari proses belajar dengan kehidupan mereka sehari-hari, yang bermanfaat bagi mereka untuk memecahkan suatu masalah di lingkungan sekitarnya. Sehingga pembelajaran yang diperoleh siswa lebih bermakna.

Dari uraian tentang pengertian dan karakteristik pembelajaran konsektual dapat disimpulkan bahwa pembelajaran konsektual memenuhi syarat sebagai pembelajaran efektif pada bidang studi IPA. Pembelajaran kontekstual juga dapat meningkatkan peran siswa dalam proses belajar mengajar. Serta pembelajaran kontekstual dapat memotivasi siswa untuk menghubunngkan pengetahuan yang mereka peroleh dalam kehidupan sehari-hari. Setelah mereka berhasil menghubungkan pengetahuan yang mereka tersebut, diharapkan mereka berhasil menghubungkan tersebut dan mereka dapat menerapkan pengetahuan tersebut


(10)

untuk memecahkan masalah pribadi maupun masalah di lingkungan sekitarnya. Sehingga pembelajaran yang mereka lakukan lebih bermakna dan sesuai dengan kebutuhan mereka sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat.

2.1.4 Penerapan Pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran IPA

langkah-langkah penerapan pembelajaran kontekstual di kelas adalah sebagai berikut:

1. Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan ketrampilan barunya.

2. Laksanakan sebanyak mungkin kegiatan menemukan (inkuri) untuk semua topik.

3. Kembangkan sikap ingin tahu siswa dengan bertanya.

4. Ciptakan “masyarakat belajar” (belajar dalam kelompok-kelompok) 5. Hadirkan “model” sebagai contoh pembelajaran.

6. Lakukan refleksi di akhir pertemuan.

7. Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.

Pembelajaran IPAyang dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah seperti yang disebutkan di atas, akan membantu siswa belajar secara bermakna. Konsep-konsep materi yang dipelajari akan lebih tahan lama ada di benak siswa, karena mereka belajar melalui bekerja dan menemukan sendiri. Dalam pembelajaran kontekstual guru tidak secara langsung memberikan generalisasi suatu konsep atau prinsip yang dipelajari siswa, tetapi guru melibatkan siswa dalam proses mendapatkannya. Guru menyusun situasi belajar sedemikian rupa sehingga siswa belajar bagaimana bekerja dengan data untuk membuat kesimpulan.


(11)

2.1.5 Pembelajaran Kontekstual Tipe Inkuiri 2.1.5.1 Landasan Pemikiran Pembelajaran Inkuiri

Pendekatan inkuiri pada dasarnya adalah menggunakan pendekatan konstruktivistik, di mana setiap siswa sebagai subyek belajar, dibebaskan untuk menciptakan makna dan pengertian baru berdasarkan interaksi antara apa yang telah dimiliki, diketahui, dipercayai, dengan fenomena, ide, atau informasi baru yang dipelajari. Dengan demikian, dalam proses belajar mahasiswa telah membawa pengertian dan pengetahuan awal yang harus ditambah, dimodifikasi, diperbaharui, direvisi, dan diubah oleh informasi baru yang diperoleh dalam proses belajar.

Siswa dibebaskan untuk mengungkapkan pendapatnya secara bebas tanpa ada rasa takut akan terjadi kesalahan. Semakin banyak mahasiswa yang berani mengemukakan pendapat, dapat diartikan bahwa pendekatan inkuiri dalam proses pembelajaran di kelas dapat meningkatkan partisipasi siswa.Proses belajar tidak dapat dipisahkan dari aktivitas dan interaksi, karena persepsi dan aktivitas berjalan seiring secara dialogis. Pengetahuan tidak dipisahkan dari aktivitas di mana pengetahuan itu dikonstruksikan, dan di mana makna diciptakan, serta dari komunitas budaya di mana pengetahuan didesiminasikan dan diterapkan. Dalam pembelajaran dengan pendekatan inkuiri ini siswa akan dihadapkan pada suatu permasalahan yang harus diamati, dipelajari, dan dicermati, yang pada akhirnya dapat meningkatkan pemahaman konsep mata kuliah dalam kegiatan pembelajaran. Secara logika apabila siswa meningkat partisipasinya dalam kegiatan pembelajaran, maka secara otomatis akan meningkatkan pemahaman konsep materi pembelajaran, dan pada akhirnya akan dapat meningkatkan prestasi belajar.

1.1.5.2. Pengertian Inkuiri

Kata inkuiri sering juga dinamakan heuriskin yang berasal dari bahasa yunani, yang memiliki arti saya menemukan. Metode inkuiri berkaitan dengan aktivitas pencarian pengetahuan atau pemahaman untuk memuaskan rasa ingin tahu sehingga siswa akan menjadi pemikir kreatif yang mampu memecahkan


(12)

masalah. Hal ini sejalan dengan pendapat Sanjaya (2006:196) bahwa “Metode inkuiri adalah suatu metode pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu permasalahan yang dipertanyakan”.

Sementara itu menurut Sagala (2004:34) yang mendefenisikan metode inkuiri sebagai berikut: Metode inkuiri merupakan metode pembelajaran yang berupaya menanamkan dasar-dasar berfikir ilmiah pada diri siswa yang berperan sebagai subjek belajar, sehingga dalam proses pembelajaran ini siswa lebih banyak belajar sendiri, mengembangkan kreativitas dalam memecahkan masalah.

Sedangkan Piaget (Mulyasa,2008:108) mendefenisikan metode inkuiri sebagai berikut: Metode inkuiri adalah metode yang mempersiapkan siswa pada situasi untuk melakukan eksperimen sendiri secara luas agar melihat apa yang terjadi, ingin melakukan sesuatu, mengajukan pertanyaan-pertanyaan, dan mencari jawabannya sendiri, serta menghubungkan penemuan yang satu dengan penemuan yang lain, membandingkan apa yang ditemukannya dengan yang ditemukan peserta didik lain.

Sedangkan menurut Aziz (2007:92) memiliki defenisi lain mengenai pengertian metode inkuiri sebagaimana yang tertulis sebagai berikut: Metode inkuiri adalah metode yang menempatkan dan menuntut guru untuk membantu siswa menemukan sendiri data, fakta dan informasi tersebut dari berbagai sumber agar dengan kegiatan itu dapat memberikan pengalaman kepada siswa. Pengalaman ini akan berguna dalam menghadapi dan memecahkan masalah-masalah dalam kehidupannya. Berdasarkan beberapa pendapat para ahli yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan bahwa metode inkuiri adalah metode yang memberi kesempatan kepada siswa untuk terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran melalui percobaan maupun eksperimen sehingga melatih siswa berkreativitas dan berpikir kritis untuk menemukan sendiri suatu pengetahuan yang pada akhirnya mampu menggunakan pengetahuannya tersebut dalam memecahkan masalah yang dihadapi.

Langkah-langkah kegiatan pembelajaran dengan pendekatan inkuiri adalah sebagai berikut:


(13)

1. Merumuskan masalah 2. Mengamati atau observasi

3. Menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lainnya

4. Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atau audien yang lain.

2.1.5.3 Penerapan Pendekatan Inkuiri

Dalam implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), para ahli menyarankan menciptakan iklim pembelajaran sains yang kondusif. Melalui pembelajaran sains di sekolah dasar siswa dilatih untuk berpikir, membuat konsep ataupun dalil melalui pengamatan, dan percobaan. Selain itu juga melalui pembelajaran sains diharapkan dapat menumbuhkan sikap dan nilai yang positif serta memupuk rasa cinta kepada alam sekitar dan keagungan Tuhan Yang Maha Esa. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Patta Bundu (2007:18) bahwaPembelajaran sains merupakan wahana bagi siswa untuk memiliki kemampuan untuk mengembangkan pengetahuan, gagasan, dan menerapkan konsep yang diperolehnya untuk menjelaskan dan memecahkan masalah yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari; dan dari segi sikap dan nilai siswa diharapkan mempunyai minat untuk mempelajari benda-benda di lingkungannya, bersikap ingin tahu, tekun, kritis, mawas diri, bertanggung jawab, dapat bekerja sama dan mandiri, sera mengenal dan memupuk rasa cinta terhadap alam sekitar sehingga menyadari keagungan Tuhan Yang Maha esa.

Untuk mewujudkan keinginan pembelajaran Sains di Sekolah Dasar yang tertuang di dalam kurikulum, guru harus mampu menjadi fasilitator dalam pembelajaran sains yang mampu menciptakan pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan siswanya sehingga siswa mampu bereksplorasi untuk membentuk kompetensi dengan menggali berbagai potensi dan keberanian ilmiah.


(14)

Salah satu metode pembelajaran dalam bidang sains, yang sampai sekarang masih tetap dianggap sebagai metode yang cukup efektif adalah metode inkuiri. Dalam penerapan metode inkuiri untuk pembelajaran sains di sekolah dasar, guru memiliki peranan yang sangat penting. Sebagaimana yang dikemukakan Gulo (2002:86) Seorang guru akan memiliki beberapa peran dalam menerapkan metode inkuiri, yaitu:

a) Motivator, yang memberi rangsangan supaya siswa aktif dan gairah berpikir.

b) Fasilitator, yang menunjukkan jalan keluar jika ada hambatan dalam proses berpikir siswa.

c) Penanya, untuk menyadarkan siswa dari kekeliruan yang mereka perbuat dan memberi keyakinan pada diri sendiri.

d) Administrator, yang bertanggungjawab terhadap seluruh kegiatan di dalam kelas. Pengarah, yang memimpin arus kegiatan berpikir siswa pada tujuan yang diharapkan.

e) Manajer, yang mengelola sumber belajar, waktu, dan organisasi kelas. f) Rewarder, yang memberi penghargaan pada prestasi yang dicapai

dalam rangka peningkatan semangat heuristik pada siswa.

Kelebihan dan Kelemahan Metode Inkuiri Adapun teknik penggunaan metode inkuiri memiliki kelebihan sebagai berikut :

Metode inkuiri merupakan salah satu metode yang sangat dianjurkan untuk diterapkan dalam proses pembelajaran, sebab metode inkuiri sebagai sebagai metode pembelajaran memiliki beberapa keunggulan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sanjaya (2006:2008) bahwa metode inkuiri memiliki beberapa keunggulan, diantaranya:

1. Metode inkuiri merupakan metode pembelajaran yang menekankan kepada pengembangan aspek kognitif, afektif dan psikomotor secara seimbang sehingga pembelajaran akan lebih bermakna.

2. Metode inkuiri memberikan ruang kepada siswa untuk belajar sesuai dengan gaya belajar mereka.


(15)

3. Metode inkuiri merupakan metode yang dianggap sesuai dengan perkembangan psikologi belajar modern yang menganggap belajar adalah proses perubahan tingkah laku berkat adanya perubahan.

4. Keuntungan lain adalah metode pembelajaran ini dapat melayani kebutuhan siswa yang memiliki kemampuan di atas rata-rata. Artinya, siswa yang memiliki kemampuan belajar yang bagus tidak akan terhambat oleh siswa yang lemah dalam belajar.

Selain mempunyai kelebihan metode inkuiri yang memiliki kelemahan atau kekurangan adalah:

1. Metode inkuiri terlalu menekankan pada proses/aspek intelektual atau kognitif dan kurang memperhatikan dominan afektif atau aspek emosional dari proses belajar mengajar.

2. Metode ini tidak efektif bagi kelas bersiswa banyak karena setiap siswa mungkin membutuhkan waktu banyak dari guru untuk menuntunnya.

3. Harapan akan hasil penyelidikan mungkin tidak terpenuhi atau mengecewakan terutama bagi guru yang sudah terbiasa dengan perencanaan dan pengajaran tradisional.

4. Sarana untuk mengetes penyelidikan belum cukup tersedia.

Jadi Metode inkuiri ini bertujuan untuk menolong siswa dalam mengembangkan disiplin intelektual dan keterampilan yang dibutuhkan serta mengajak siswa untuk aktif dalam memecahkan satu masalah. Penggunaan metode inkuiri dalam pembelajaran Biologi besar manfaatnya dalam meningkatkan kualitas pembelajaran, karena dengan penggunaan metode inkuiri dalam proses pembelajaran dapat mendorong siswa untuk berpikir dan bekerja atas inisiatifnya sendiri, bersifat objektif, jujur, dan terbuka, serta memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar sendiri dan dapat mengembangkan bakat dan kecakapan individunya. Dengan pelaksanaan metode inkuiri diharapkan bagi siswa termotivasi dalam proses pembelajaran dan dapat meningkatkan hasil belajar yang maksimal.


(16)

2.1.6 Hasil Belajar

Menurut Sudjana (2007:3), “hasil belajar ialah perubahan tingkah laku yang mencakup bidang kognitif, afektif, dan psikomotorik yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya”. Hasil belajar manajemen sistem penyelenggaraan makanan institusi merupakan tingkat kemampuan yang dapat dikuasai dari materi yang telah diajarkan mencakup tiga kemampuan sebagaimana diungkapkan oleh bloom di dalam Sudjana (2007:22-32).

Berdasarkan teori Taksonomi Bloom hasil belajar dalam rangka studi dicapai melalui tiga kategori ranah antara lain:

1. Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari 6 aspek yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan penilaian

2. Ranah afektif berkenaan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif meliputi lima jenjang kemampuan yaitu menerima, menjawab tahu reaksi, menilai, organisasi dan karakterisasi dengan suatu nilai atau kompleks nilai.

3. Ranah psikomotor meliputi motorik, manipulasi benda-benda, koordinasi neuromuscular (menghubungkan, mengamati).

Tipe hasil belajar kognitif lebih dominan daripada afektif dan psikomotor karena lebih menonjol, namun hasil belajar psikomotor dan afektif juga harus menjadi bagian dari hasil penilaian dalam proses pembelajaran di sekolah. Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Hasil belajar digunakan oleh guru untuk dijadikan ukuran atau kriteria dalam mencapai suatu tujuan pendidikan. Hal ini dapat tercapai apabila siswa sudah memahami belajar dan diiringi oleh perubahan tingkah laku yang lebih baik lagi.

Menurut Dimyati dan Mudjiono (2006 :250-251), hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa dan dari sisi guru. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum belajar. Tingkat perkembangan mental tersebut


(17)

terwujud pada jenis-jenis ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Sedangkan dari sisi guru, hasil belajar merupakan saat terselesaikannya bahan pelajaran.

Untuk mengetahui keberhasilan proses dan hasil belajar siswa digunakan alat penilaian untuk mengetahui sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan tercapai atau tidak. Hasil belajar yang berupa aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek psikomotorik menggunakan alat penilaian yang berbeda-beda. Untuk aspek kognitif digunakan alat penilaian yang berupa tes, sedangkan untuk aspek afektif digunakan alat penilaian yaitu skala sikap (ceklist) untuk mengetahui sikap siswa dalam mengikuti pembelajaran, dan aspek psikomotorik digunakan lembar observasi.

Berdasarkan pendapat beberapa para ahli tentang pengertian hasil belajar, maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar merupakan hasil akhir dari proses kegiatan belajar siswa dari seluruh kegiatan siswa dalam mengikuti pembelajaran di kelas dan menerima suatu pelajaran untuk mencapai kompetensi yang berupa aspek kognitif yang diungkapkan dengan menggunakan suatu alat penilaian yaitu tes evaluasi dengan hasil yang dinyatakan dalam bentuk nilai, aspek afektif yang menunjukkan sikap siswa dalam mengikuti pembelajaran, dan aspek psikomotorik yang menunjukkan keterampilan dan kemampuan bertindak siswa dalam mengikuti pembelajaran.

2.1.7 IPA

2.1.7.1 Hakikat IPA

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) didefinisikan sebagai kumpulan pengetahuan yang tersusun secara terbimbing. Hal ini sejalan dengan kurikulum KTSP (Depdiknas, 2006) bahwa “IPA berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta, konsep, atau prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan”. Selain itu IPA juga merupakan ilmu yang bersifat empirik dan membahas tentang fakta serta gejala alam. Fakta dan gejala alam tersebut menjadikan pembelajaran IPA tidak hanya verbal tetapi juga faktual. Hal ini menunjukkan bahwa, hakikat IPA sebagai proses diperlukan untuk


(18)

menciptakan pembelajaran IPA yang empirik dan faktual. Hakikat IPA sebagai proses diwujudkan dengan melaksanakan pembelajaran yang melatih ketrampilan proses bagaimana cara produk sains ditemukan.

IPA disiplin ilmu memiliki ciri-ciri sebagaimana disiplin ilmu lainnya. Setiap disiplin ilmu selain mempunyai ciri umum, juga mempunyai ciri khusus/karakteristik. Adapun ciri umum dari suatu ilmu pengetahuan adalah merupakan himpunan fakta serta aturan yang yang menyatakan hubungan antara satu dengan lainnya. Ciri-ciri khusus tersebut dipaparkan berikut ini.

a. IPA mempunyai nilai ilmiah artinya kebenaran dalam IPA dapat dibuktikan lagi oleh semua orang dengan menggunakan metode ilmiah dan prosedur seperti yang dilakukan terdahulu oleh penemunya.

b. IPA merupakan suatu kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis, dan dalam penggunaannya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam.

c. IPA merupakan pengetahuan teoritis. Teori IPA diperoleh atau disusun dengan cara yang khas atau khusus, yaitu dengan melakukan observasi, eksperimentasi, penyimpulan, penyusunan teori, eksperimentasi, observasi dan demikian seterusnya kait mengkait antara cara yang satu dengan cara yang lain.

d. IPA merupakan suatu rangkaian konsep yang saling berkaitan. Dengan bagan-bagan konsep yang telah berkembang sebagai suatu hasil eksperimen dan observasi, yang bermanfaat untuk eksperimentasi dan observasi lebih lanjut (Depdiknas, 2006).

IPA meliputi empat unsur, yaitu produk, proses, aplikasi dan sikap. Produk dapat berupa fakta, prinsip, teori, dan hukum. Proses merupakan prosedur pemecahan masalah melalui metode ilmiah; metode ilmiah meliputi pengamatan, penyusunan hipotesis, perancangan eksperimen, percobaan atau penyelidikan, pengujian hipotesis melalui eksperimentasi; evaluasi, pengukuran, dan penarikan kesimpulan.


(19)

2.1.7.2. Karakteristik IPA

Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. IPA diperlukan dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui pemecahan masalah-masalah yang dapat diidentifikasikan. Oleh karena itu, karakteristik belajar IPA meliputi:

a. Hampir semua indera, seluruh proses berpkir, dan berbagai gerakan otot. b. Berbagai teknik (cara), seperti observasi, eksplorasi, dan eksperimentasi. c. Alat bantu pengamatan untuk memperoleh data yang obyektif, sesuai sifat

IPA yang mengutamakan obyektivitas.

d. Kegiatan temu ilmiah, mengunjungi objek, studi pustaka, dan penyusunan hipotesis untuk mempeloleh pengakuan kebenaran temuan yang benar-benar obyektif.

e. Proses aktif, artinya belajar IPA merupakan suatu yang harus dilakukan siswa, bukan suatu yang dilakukan untuk siswa.

2.1.7.3. Tujuan IPA

Mata Pelajaran IPA di SD/MI bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut.

1. Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya. 2. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang

bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

3. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positip dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat.


(20)

4. Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan.

5. Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam.

6. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan.

7. Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs.

2.1.7.4. Ruang Lingkup IPA

1. Ruang Lingkup bahan kajian IPA untuk SD/MI meliputi aspek-aspek berikut:

1. Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan dan interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan.

2. Benda/materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi: cair, padat dan gas. 3. Energi dan perubahannya meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet, listrik,

cahaya dan pesawat sederhana.

4. Bumi dan alam semesta meliputi: tanah, bumi, tata surya, dan benda-benda langit lainnya.

2.1.7.5. Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar

Pembelajaran IPA di SD merupakan interaksi antara siswa dengan lingkungan sekitanya. Hal ini mengakibatkan pembelajaran IPA perlu mengutamakan peran siswa dalam kegiatan belajar mengajar. Sehingga pembelajaran yang terjadi adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa dan guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran tersebut. Guru berkewajiban untuk meningkatkan pengalaman belajar siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran IPA. Tujuan ini tidak terlepas dari hakikat IPA sebagai produk, proses dan sikap ilmiah. Oleh sebab itu, pembelajaran IPA perlu menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran yang tepat. Asy’ari, Muslicah (2006:25) memaparkan beberapa prinsip pembelajaran IPA di SD sebagai berikut:


(21)

1. Empat Pilar Pendidikan Global, yang meliputi learning to know, learning to do, learning to be, learning to live together. Learning to know, artinya dengan meningkatkan interaksi siswa dengan lingkungan fisik dan sosialnya diharapkan siswa mampu membangun pemahaman dan pengetahuan tentang alam sekitarnya. Learning to do, artinya pembelajaran IPA tidak hanya menjadikan siswa sebagai pendengar melainkan siswa diberdayakan agar mau dan mampu untuk memperkaya pengalaman belajarnya. Learning to be, artinya dari hasil interaksi dengan lingkungan siswa diharapkan dapat membangun rasa percaya diri yang pada akhirnya membentuk jati dirinya. Learning to live together, artinya dengan adanya kesempatan berinteraksi dengan berbagai individu akan membangun pemahaman sikap positif dan toleransi terhadap kemajemukan dalam kehidupan bersama.

2. Prinsip Inkuiri, prinsip ini perlu diterapkan dalam pembelajaran IPA karena pada dasarnya anak memiliki rasa ingin tahu yang besar, sedang alam sekitar penuh dengan fakta atau fenomena yang dapat merangsang siswa ingin tahu lebih banyak.

3. Prinsip Konstruktivisme. Dalam pembelajaran IPA sebaiknya guru dalam mengajar tidak memindahkan pengetahuan kepada siswa. Melainkan perlu dibangun oleh siswa dengan cara mengkaitkan pengetahuan awal yang mereka miliki dengan struktur kognitifnya.

4. Prinsip Salingtemas (sains, lingkungan, teknologi, masyarakat). IPA memiliki prinsip-prinsip yang dibutuhkan untuk pengembangan teknologi. Sedang perkembangan teknologi akan memacu penemuan prinsip-prinsip IPA yang baru.

5. Prinsip pemecahan masalah. Pembelajaran IPA perlu menerapkan prinsip ini agar siswa terlatih untuk menyelesaikan suatu masalah.

6. Prinsip pembelajaran bermuatan nilai. Pembelajaran IPA perlu dilakukan secara bijaksana agar tidak berdampak buruk terhadap lingkungan atau kontradiksi dengan nilai-nilai yang diperjuangkan masyarakat sekitar.


(22)

7. Prinsip Pakem (pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan). Prinsip ini pada dasarnya merupakan prinsip pembelajaran yang berorientasi pada siswa aktif untuk melakukan kegiatan baik aktif berfikir maupun kegiatan yang bersifat motorik.

Ketujuh prinsip itu perlu dikembangkan dalam pembelajaran IPA yang kontekstual di SD. Hal ini bertujuan agar pembelajaran IPA lebih bermakna dan menyenangkan bagi siswa, sehingga hasil belajar yang diperoleh siswa maksimal. 2.2 Kajian Yang Relevan

Zahara, Laxmi. Penerapan Pembelajaran Kontekstual Model Inkuiri Terbimbing Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Fisika Siswa Kelas VIII-C MTs Al-Maarif 02 Singosari. Skripsi, Jurusan Fisika. Program Studi Pndidikan Fisika, Falkutas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Malang. Pembimbing (I) Dra. Endang Purwaningsih, M.Si. (II) Drs. Yudyanto, M.Si.Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah dengan menerapakan pemebelajaran kontekstual model inkuiri terbimbing, nilai rata-rata kognitif dan nilai rata-rata psikomotorik siswa kelas VIII-C mengalami peningkatan dari siklus I sampai ke siklus III hingga mencapai ketuntasan belajar yang diterapkan oleh seklah. Nilai rata-rata afektif kelas VIII-C mengalami peningkatan siklus I sampai siklus III namaun mencapai standar yang diterapkan oleh sekolah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, pembelajaran kontekstual model inkuiri terbimbing dapat meningkatkan hasil belajar fisika siswa kelas VIII-C Al-Maarif 02.

Laelah Nur. 2010. Penerapan Pembelajaran Kontekstual Inkuiri Dalam Meningkatkan Prestasi Belajar IPA siswa kelas V SD Negeri 03 Kaliprau Pemalang. Skripsi, Jurusan Pendidikan GuruSekolah Dasar, FIP UNNES. Fakultas Ilmu Pendidikan. Universitas Negeri Semarang. Di SD Negeri 03 Kaliprau proses pembelajaran IPA belum dapat mengoptimalkan Hasil belajar dan aktivitas siswa dalam proses pembelajaran, terutama kelas V. Sehingga prestasi belajar yang diperoleh rendah sesuai keterangan guru yang menyatakan bahwa Kriteria Ketuntasan Minimal hanya sebesar 60%. Hal yang melatar belakangi rendahnya prestasi belajar siswa kelas v salah satunya Metode pembelajaran yang


(23)

digunakan guru belum bervariasi, guru hanya menggunakan metode caramah. Sedangkan Pembelajaran yang diinginkan siswa adalah yang langsung dengan siswa sendiri yang menemukan konsep materi tersebut. Oleh karena itu, dalam pembelajaran mengenai materi cahaya guru menerapkan pembelajaran kontekstual dengan pendekatan inkuiri dengan tujuan aktivitas dan hasil belajar siswa dapat meningkat. Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas yang terdiri dari dua siklus dan setiap siklusnya terdiri dari empat tahap, yaitu perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. Subjek penelitian tindakan kelas ini adalah kelas V SD Negeri 03 Kaliprau semester 2 tahun ajaran 2009/2010. Jenis data yang diperoleh adalah data kuantitatif dan data kualitatif. Data Kualitatif meliputi aktivitas belajar siswa selama proses pembelajaran. Data Kuantitatif meliputi Hasil tes formatif siswa. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa aktivitas siswa mengalami peningkatan siklus 1 sebesar 61% dan siklus 2 sebesar 85% siswa yang memiliki nilai sekurang-kurangnya dengan kategori cukup, sedangkan hasil belajar siswa mengalami peningkatan dari 32,55% pada siklus 1 dan 95,34% siklus 2 siswa yang mencapai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Dari paparan hasil penelitian yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual dengan pendekatan inkuiri dapat meningkatkan hasil belajar siswa dan aktivitas belajar siswa dalam kegiatan pembelajaran mengenai materi cahaya.

Luthfin, Ahmad. 2009. Penerapan Model Inkuiri Induktif dengan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Keterampilan Proses dan Prestasi Belajar Siswa Kelas X SMA Ardjuna Malang. Skripsi, Jurusan Pendidikan Fisika FMIPA Universitas Negeri Malang. Pembimbing: (1) Drs. Eddy Supramono. (II) Drs. Subani. Perkembangan teknologi dan pengetahuan itu menuntut penggantian kurikulum yang terdahulu dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP ). KTSP diberlakukan di SMA Ardjuna akan tetapi pembelajaran fisika disana mengutamakan model ceramah. Hal tersebut menjadikan siswa jenuh dan konsentrasi belajarnya berkurang sehingga prestasi belajar dan keterampilan proses siswa rendah. Hakekat Pembelajaran dalam KTSP menuntut siswa untuk mengembangkan kemampuan ketrampilan proses. Tampak siswa kelas X SMA


(24)

Ardjuna Malang prestasi belajarany rendah dibawah 5 dan salah dalam mengoprasikan dan memegang ala, hal ini menunjukkan keterampilan prosesnya masih renda. Sehingga perlu dilakukan pembelajaran yang menuntut keterlibatan siswa secara aktif yakni model pembelajaran inkuiri induktif dengan pendekatan kontekstual untuk meningkatkan ketrampilan proses dan prestasi belajar siswa. Tujuan pada penelitian adalah untuk mengetahui penerapan model inkuiri induktif untuk meningkakan ketrampilan proses dan prestasi belajar serta untuk mengetahui besarnya peningkatan ketrampilan proses dan prestasi belajar siswa kelas X SMA Ardjuna Malang Penelitian yang dilakukan adalah penelitian tindakan kelas. Model pembelajaran ini dilakukan dua siklus dengan siklus pertama dilakukan pada bahasan Asas Black dengan durasi waktu 4x45 menit untuk dua kali pertemuan. Siklus II dilakukan pada bahasan perpindahan kalor dengan lama pembelajaran 4x45 menit untuk dua kali pertemuan. Keterlaksanaan pembelajaran pada siklus I 64% meningkat menjadi 92% pada siklus II. Berdasarkan data hasil observasi didapatkan skor ketercapaian keterampilan proses 55% pada siklus I dan meningkat menjadi 88% pada siklus II. Berdasarkan skor tersebut dapat diperoleh besarnya peningkatan ketrampilan proses dari siklus I sampai siklus II sebesar 29%. Persentase siswa yang mencapai SKM untuk 47% pada siklus I dan meningkat menjadi 80% pada siklus II. Berdasarkan data tersebut tampak peningkatan pada prestasi belajar siswa dari siklus I sampai siklus II besarnya peningkatannya adalah 33%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa model inkuiri induktif dengan pendekatan kontekstual dapat meningkatkan ketrampilan proses dan prestasi belajar siswa kelas X SMA Ardjuna Malang.

Astri setiawati. Pendidikan Biologi FKIP Universitas Sebelas maret Surakarta. Implikasi inkuiri tergadap hasil belajar biologi SMA Negeri 2 surakarta tahun pelajaran 2009/2010. Hasil penelitian disimpulkan sebagai berikut : 1) terdapat pengaruh yang signifikan pengunaan pendekatan inkuiri terhadap hasil belajar ranah kognitif ; 2) tidak terdapat pengaruh yang signifikan pengunaan pendekatan inkuiri terhadap hasil belajar ranah afektif ; 3) terdapat pengaruh yang signifikan pengunaan yang paling efektif adalah pendekatan modefed free inkuiri.


(25)

Suyoto: Keefektifan Model Inkuiri pada Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar. Tesis. Yogyakarta Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta, 2009.Hasil penelitian menunjukan bahwa: (1) terdapat perbedaan prestasi hasil belajar siswa aspek (kognitif, afektif dan sosial) pada mata pelajaran IPA Sekolah Dasar antara model pembelajaran inkuiri dengan model pembelajaran konvensional. Hasil ini didasarkan pada prosedur Tests of Between-Subjects Effects dengan melihat probabilitas F hitung yang secara umum lebih kecil 0,05; (2) terdapat perbedaan keefektifan pada rencana dan pelaksanaan pembelajaran berdasarkan penilaian kepala sekolah dan guru IPA antara kelompok konvensional dengan kelompok inkuiri. Hasil ini didasarkan pada nilai kategori efektif (17.5 - 22.75) dan sangat efektif (22.75 – 28); dan (3) terdapat perbedaan keefektifan pada proses kegiatan pembelajaran pada aspek afektif dan aspek sosial berdasarkan penilaian siswa dalam kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Model pembelajaran inkuiri lebih baik daripada model pembelajaran konvensional pada Sekolah Dasar.

2.3 Kerangka Berpikir

Kerangka berfikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah di identifikasi sebagai masalah yang penting. Dalam penelitian ini, peneliti akan membandingkan hasil belajar IPA antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Pada kelas eksperimen akan dilakukan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kontekstual inkuiri. Sedangkan pada kelas kontrol akan dilakukan pembelajaran seperti biasa guru mengajar atau konvensional. Untuk soal pretest akan diambil dari alat evaluasi yang telah diuji coba pada kelas uji coba. Hasil pretest di kelas eksperimen dan kelas kontrol dilakukan uji beda rata-rata dan harus menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan. Kemudian setelah dilakukan pembelajaran kontekstual inkuiri di kelas eksperimen dan pembelajaran konvensional di kelas kontrol maka hasil belajar dari kedua kelompok tersebut di lakukan uji beda rata-rata hasil posttest untuk melihat apakah ada pengaruh yang signifikan dengan penggunaan model pembelajaran kontekstual inkuiri. Kerangka berpikir ini dapat dilihat dalam bagan alur kerangka berpikir berikut ini:


(26)

Gambar 2.1 Alur kerangka berfikir

Penelitian ini akan membandingkan antara kelas kontrol dan kelas eksperimen di mana kelas kontrol menggunakan metode ceramah yang sudah biasa digunakan dalam kelas sedangkan kelas eksperimen menggunaakan model pembelajaran inkuiri. Dalam alat ukur hasil evaluasi antara kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah sama. Untuk pretest diambil dari alat evaluasi pada kelas uji coba dan hasil pretest kedua kelas yaitu kelas kontrol dan kelas eksperimen tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan.

Kelas

Kontrol Pre Test

Pembelajaran menggunakan metode konvensional

Post Test

Hasil pre test tidak boleh ada perbedaan yang

signifikan

Uji beda hasil pos test apakah ada

pengaruh yang signifikan dengan penggunaan model pembelajaran inkuiri

Kelas

Eksperimen Pre Test

Pembelajaran menggunakan model

pembelajaran inkuiri


(27)

2.4 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka berpikir dapat dirumuskan hipotesis sementara dalam penelitian ini adalah dengan menerapkan model pembelajaran kontekstual tipe inkuiri dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa pada kelas V SDN 03 Kebumen Kec. Banyubiru Kab. Semarang tahun pelajaran 2011/2012


(1)

7. Prinsip Pakem (pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan). Prinsip ini pada dasarnya merupakan prinsip pembelajaran yang berorientasi pada siswa aktif untuk melakukan kegiatan baik aktif berfikir maupun kegiatan yang bersifat motorik.

Ketujuh prinsip itu perlu dikembangkan dalam pembelajaran IPA yang kontekstual di SD. Hal ini bertujuan agar pembelajaran IPA lebih bermakna dan menyenangkan bagi siswa, sehingga hasil belajar yang diperoleh siswa maksimal.

2.2 Kajian Yang Relevan

Zahara, Laxmi. Penerapan Pembelajaran Kontekstual Model Inkuiri Terbimbing Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Fisika Siswa Kelas VIII-C MTs Al-Maarif 02 Singosari. Skripsi, Jurusan Fisika. Program Studi Pndidikan Fisika, Falkutas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Malang. Pembimbing (I) Dra. Endang Purwaningsih, M.Si. (II) Drs. Yudyanto, M.Si.Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah dengan menerapakan pemebelajaran kontekstual model inkuiri terbimbing, nilai rata-rata kognitif dan nilai rata-rata psikomotorik siswa kelas VIII-C mengalami peningkatan dari siklus I sampai ke siklus III hingga mencapai ketuntasan belajar yang diterapkan oleh seklah. Nilai rata-rata afektif kelas VIII-C mengalami peningkatan siklus I sampai siklus III namaun mencapai standar yang diterapkan oleh sekolah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, pembelajaran kontekstual model inkuiri terbimbing dapat meningkatkan hasil belajar fisika siswa kelas VIII-C Al-Maarif 02.

Laelah Nur. 2010. Penerapan Pembelajaran Kontekstual Inkuiri Dalam Meningkatkan Prestasi Belajar IPA siswa kelas V SD Negeri 03 Kaliprau Pemalang. Skripsi, Jurusan Pendidikan GuruSekolah Dasar, FIP UNNES. Fakultas Ilmu Pendidikan. Universitas Negeri Semarang. Di SD Negeri 03 Kaliprau proses pembelajaran IPA belum dapat mengoptimalkan Hasil belajar dan aktivitas siswa dalam proses pembelajaran, terutama kelas V. Sehingga prestasi belajar yang diperoleh rendah sesuai keterangan guru yang menyatakan bahwa Kriteria Ketuntasan Minimal hanya sebesar 60%. Hal yang melatar belakangi rendahnya prestasi belajar siswa kelas v salah satunya Metode pembelajaran yang


(2)

digunakan guru belum bervariasi, guru hanya menggunakan metode caramah. Sedangkan Pembelajaran yang diinginkan siswa adalah yang langsung dengan siswa sendiri yang menemukan konsep materi tersebut. Oleh karena itu, dalam pembelajaran mengenai materi cahaya guru menerapkan pembelajaran kontekstual dengan pendekatan inkuiri dengan tujuan aktivitas dan hasil belajar siswa dapat meningkat. Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas yang terdiri dari dua siklus dan setiap siklusnya terdiri dari empat tahap, yaitu perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. Subjek penelitian tindakan kelas ini adalah kelas V SD Negeri 03 Kaliprau semester 2 tahun ajaran 2009/2010. Jenis data yang diperoleh adalah data kuantitatif dan data kualitatif. Data Kualitatif meliputi aktivitas belajar siswa selama proses pembelajaran. Data Kuantitatif meliputi Hasil tes formatif siswa. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa aktivitas siswa mengalami peningkatan siklus 1 sebesar 61% dan siklus 2 sebesar 85% siswa yang memiliki nilai sekurang-kurangnya dengan kategori cukup, sedangkan hasil belajar siswa mengalami peningkatan dari 32,55% pada siklus 1 dan 95,34% siklus 2 siswa yang mencapai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Dari paparan hasil penelitian yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual dengan pendekatan inkuiri dapat meningkatkan hasil belajar siswa dan aktivitas belajar siswa dalam kegiatan pembelajaran mengenai materi cahaya.

Luthfin, Ahmad. 2009. Penerapan Model Inkuiri Induktif dengan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Keterampilan Proses dan Prestasi Belajar Siswa Kelas X SMA Ardjuna Malang. Skripsi, Jurusan Pendidikan Fisika FMIPA Universitas Negeri Malang. Pembimbing: (1) Drs. Eddy Supramono. (II) Drs. Subani. Perkembangan teknologi dan pengetahuan itu menuntut penggantian kurikulum yang terdahulu dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP ). KTSP diberlakukan di SMA Ardjuna akan tetapi pembelajaran fisika disana mengutamakan model ceramah. Hal tersebut menjadikan siswa jenuh dan konsentrasi belajarnya berkurang sehingga prestasi belajar dan keterampilan proses siswa rendah. Hakekat Pembelajaran dalam KTSP menuntut siswa untuk mengembangkan kemampuan ketrampilan proses. Tampak siswa kelas X SMA


(3)

Ardjuna Malang prestasi belajarany rendah dibawah 5 dan salah dalam mengoprasikan dan memegang ala, hal ini menunjukkan keterampilan prosesnya masih renda. Sehingga perlu dilakukan pembelajaran yang menuntut keterlibatan siswa secara aktif yakni model pembelajaran inkuiri induktif dengan pendekatan kontekstual untuk meningkatkan ketrampilan proses dan prestasi belajar siswa. Tujuan pada penelitian adalah untuk mengetahui penerapan model inkuiri induktif untuk meningkakan ketrampilan proses dan prestasi belajar serta untuk mengetahui besarnya peningkatan ketrampilan proses dan prestasi belajar siswa kelas X SMA Ardjuna Malang Penelitian yang dilakukan adalah penelitian tindakan kelas. Model pembelajaran ini dilakukan dua siklus dengan siklus pertama dilakukan pada bahasan Asas Black dengan durasi waktu 4x45 menit untuk dua kali pertemuan. Siklus II dilakukan pada bahasan perpindahan kalor dengan lama pembelajaran 4x45 menit untuk dua kali pertemuan. Keterlaksanaan pembelajaran pada siklus I 64% meningkat menjadi 92% pada siklus II. Berdasarkan data hasil observasi didapatkan skor ketercapaian keterampilan proses 55% pada siklus I dan meningkat menjadi 88% pada siklus II. Berdasarkan skor tersebut dapat diperoleh besarnya peningkatan ketrampilan proses dari siklus I sampai siklus II sebesar 29%. Persentase siswa yang mencapai SKM untuk 47% pada siklus I dan meningkat menjadi 80% pada siklus II. Berdasarkan data tersebut tampak peningkatan pada prestasi belajar siswa dari siklus I sampai siklus II besarnya peningkatannya adalah 33%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa model inkuiri induktif dengan pendekatan kontekstual dapat meningkatkan ketrampilan proses dan prestasi belajar siswa kelas X SMA Ardjuna Malang.

Astri setiawati. Pendidikan Biologi FKIP Universitas Sebelas maret Surakarta. Implikasi inkuiri tergadap hasil belajar biologi SMA Negeri 2 surakarta tahun pelajaran 2009/2010. Hasil penelitian disimpulkan sebagai berikut : 1) terdapat pengaruh yang signifikan pengunaan pendekatan inkuiri terhadap hasil belajar ranah kognitif ; 2) tidak terdapat pengaruh yang signifikan pengunaan pendekatan inkuiri terhadap hasil belajar ranah afektif ; 3) terdapat pengaruh yang signifikan pengunaan yang paling efektif adalah pendekatan modefed free inkuiri.


(4)

Suyoto: Keefektifan Model Inkuiri pada Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar. Tesis. Yogyakarta Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta, 2009.Hasil penelitian menunjukan bahwa: (1) terdapat perbedaan prestasi hasil belajar siswa aspek (kognitif, afektif dan sosial) pada mata pelajaran IPA Sekolah Dasar antara model pembelajaran inkuiri dengan model pembelajaran konvensional. Hasil ini didasarkan pada prosedur Tests of Between-Subjects Effects dengan melihat probabilitas F hitung yang secara umum lebih kecil 0,05; (2) terdapat perbedaan keefektifan pada rencana dan pelaksanaan pembelajaran berdasarkan penilaian kepala sekolah dan guru IPA antara kelompok konvensional dengan kelompok inkuiri. Hasil ini didasarkan pada nilai kategori efektif (17.5 - 22.75) dan sangat efektif (22.75 – 28); dan (3) terdapat perbedaan keefektifan pada proses kegiatan pembelajaran pada aspek afektif dan aspek sosial berdasarkan penilaian siswa dalam kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Model pembelajaran inkuiri lebih baik daripada model pembelajaran konvensional pada Sekolah Dasar.

2.3 Kerangka Berpikir

Kerangka berfikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah di identifikasi sebagai masalah yang penting. Dalam penelitian ini, peneliti akan membandingkan hasil belajar IPA antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Pada kelas eksperimen akan dilakukan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kontekstual inkuiri. Sedangkan pada kelas kontrol akan dilakukan pembelajaran seperti biasa guru mengajar atau konvensional. Untuk soal pretest akan diambil dari alat evaluasi yang telah diuji coba pada kelas uji coba. Hasil pretest di kelas eksperimen dan kelas kontrol dilakukan uji beda rata-rata dan harus menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan. Kemudian setelah dilakukan pembelajaran kontekstual inkuiri di kelas eksperimen dan pembelajaran konvensional di kelas kontrol maka hasil belajar dari kedua kelompok tersebut di lakukan uji beda rata-rata hasil posttest untuk melihat apakah ada pengaruh yang signifikan dengan penggunaan model pembelajaran kontekstual inkuiri. Kerangka berpikir ini dapat dilihat dalam bagan alur kerangka berpikir berikut ini:


(5)

Gambar 2.1 Alur kerangka berfikir

Penelitian ini akan membandingkan antara kelas kontrol dan kelas eksperimen di mana kelas kontrol menggunakan metode ceramah yang sudah biasa digunakan dalam kelas sedangkan kelas eksperimen menggunaakan model pembelajaran inkuiri. Dalam alat ukur hasil evaluasi antara kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah sama. Untuk pretest diambil dari alat evaluasi pada kelas uji coba dan hasil pretest kedua kelas yaitu kelas kontrol dan kelas eksperimen tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan.

Kelas

Kontrol Pre Test

Pembelajaran menggunakan metode konvensional

Post Test

Hasil pre test tidak boleh ada perbedaan yang

signifikan

Uji beda hasil pos test apakah ada

pengaruh yang signifikan dengan penggunaan model pembelajaran inkuiri

Kelas

Eksperimen Pre Test

Pembelajaran menggunakan model

pembelajaran inkuiri


(6)

2.4 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka berpikir dapat dirumuskan hipotesis sementara dalam penelitian ini adalah dengan menerapkan model pembelajaran kontekstual tipe inkuiri dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa pada kelas V SDN 03 Kebumen Kec. Banyubiru Kab. Semarang tahun pelajaran 2011/2012


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Penerapan Pembelajaran Outdoor Activities pada Mata Pelajaran IPA Terhadap Hasil Belajar Siswa Sekolah Dasar.

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Penerapan Pembelajaran Outdoor Activities pada Mata Pelajaran IPA Terhadap Hasil Belajar Siswa Sekolah Dasar. T1 292008271 BAB I

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Penerapan Pembelajaran Outdoor Activities pada Mata Pelajaran IPA Terhadap Hasil Belajar Siswa Sekolah Dasar. T1 292008271 BAB II

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Penerapan Pembelajaran Outdoor Activities pada Mata Pelajaran IPA Terhadap Hasil Belajar Siswa Sekolah Dasar. T1 292008271 BAB IV

0 0 19

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Penerapan Pembelajaran Outdoor Activities pada Mata Pelajaran IPA Terhadap Hasil Belajar Siswa Sekolah Dasar. T1 292008271 BAB V

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Metode Pembelajaran Kontekstual Inkuiri Terhadap Hasil Belajar Siswa Sekolah Dasar pada Mata Pelajaran IPA

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Metode Pembelajaran Kontekstual Inkuiri Terhadap Hasil Belajar Siswa Sekolah Dasar pada Mata Pelajaran IPA T1 292008269 BAB I

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Metode Pembelajaran Kontekstual Inkuiri Terhadap Hasil Belajar Siswa Sekolah Dasar pada Mata Pelajaran IPA T1 292008269 BAB IV

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Metode Pembelajaran Kontekstual Inkuiri Terhadap Hasil Belajar Siswa Sekolah Dasar pada Mata Pelajaran IPA T1 292008269 BAB V

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Metode Pembelajaran Kontekstual Inkuiri Terhadap Hasil Belajar Siswa Sekolah Dasar pada Mata Pelajaran IPA

0 0 42