Kritik dan tindak tutur mengkritik dalam tiga lagu Iwan Fals versi konser

(1)

i

DALAM TIGA LAGU IWAN FALS VERSI KONSER

Tugas Akhir

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Beto Adhi Nugroho NIM: 134114012

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

MEI 2017


(2)

ii

KRITIK DAN TINDAK TUTUR MENGKRITIK

DALAM TIGA LAGU IWAN FALS VERSI KONSER

Oleh

Beto Adhi Nugroho NIM: 134114012

Telah disetujui oleh

Pembimbing I

Dr. P. Ari Subagyo, M.Hum. tanggal 31 Mei 2017

Pembimbing II


(3)

iii

KRITIK DAN TINDAK TUTUR MENGKRITIK

DALAM TIGA LAGU IWAN FALS VERSI KONSER

Dipersiapkan dan ditulis oleh Beto Adhi Nugroho

134114012

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji Pada tanggal 15 Juni 2017

Dan dinyatakan memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji

Nama Lengkap Tanda Tangan

Ketua Dr. P. Ari Subagyo, M.Hum. ……….

Sekretaris Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum. ……….

Anggota Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. ……….

Dr. P. Ari Subagyo, M.Hum. ……….

Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum. ……….

Yogyakarta, 30 Juni 2017 Fakultas Sastra

Universitas Sanata Dharma Dekan


(4)

iv

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya orang lain atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 29 Mei 2015

Beto Adhi Nugroho 134114012


(5)

v

UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Beto Adhi Nugroho

NIM : 134114012

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul KRITIK DAN TINDAK TUTUR MENGKRITIK DALAM TIGA LAGU IWAN FALS VERSI

KONSER beserta perangkat yang diperlukan (bila ada).

Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak menyimpan, mengalihkan dalam bentuk lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media yang lain untuk kepentinganakademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal 29 Mei 2017

Yang menyatakan,


(6)

vi

Pertama-tama penulis mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat-Nya, tugas akhir ini dapat terselesaikan dengan baik. Tugas akhir yang berjudul “Kritik dan Tindak Tutur Mengkritik dalam Tiga Lagu Iwan Fals Versi Konser” ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra pada Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tugas akhir ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Dengan segala hormat, penulis hendak menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. P. Ari Subagyo, M.Hum., selaku pembimbing I yang dengan sabar menerima keluh kesah penulis dan memberi solusi yang baik bagi penulis.

2. Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum., selaku pembimbing II yang selalu sabar memberi masukan dan motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

3. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Sastra Indonesia, Drs. B. Rahmanto, M.Hum., S. E. Peni Adji, S.S., M.Hum., Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum., Drs. FX. Santosa, M. S., (Alm.) Drs. Herry Antono, M.Hum., yang telah memberikan ilmu serta pengalamannya selama


(7)

vii Dharma Yogyakarta.

4. Dosen sejarah, khususnya Bapak Heri Priyatmoko, M. A., dan Dr. Yerry Wirawan yang sudah memberikan informasi mengenai konteks sejarah dalam penelitian ini.

5. Segenap karyawan Sekretariat Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, yang selalu membantu proses kelancaran perkuliahan.

6. Segenap karyawan Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang dengan ramah melayani dan menyediakan buku yang diperlukan sebagai sumber pustaka.

7. Keluarga tercinta, Bapak FX. Soemanto, Ibu Yulia Lucia, Febrian Cahyadi, dan Anastasia Beta yang selalu mendoakan serta sabar dan memberi semangat penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

8. Stefanus Kendra Dwi Nugraha, S.S. yang telah berbagi cerita sehingga penulis memilih topik ini dan menyelesaikannya.

9. Fepitha Viadolorosa yang selalu sabar dan mendoakan serta menyemangati penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

10.Teman-teman Prodi Sastra Indonesia (Rendra, Galang, Makmur, Cicik, Icak, Apin, Ana, There, Paula, Galih, dll.) dan teman-teman seperjuangan di Jogja (Andrian dan George).

11.Teman-teman UKF Basket Sastra


(8)

viii

yang ada dalam skripsi ini. Segala bentuk kesalahan dan kekurangan yang ada dalam skripsi ini merupakan tanggung jawab penulis. Untuk itu, demi perbaikan tugas akhir ini, kritik dan saran yang membangun akan penulis terima dengan senang hati.

Yogyakarta, 29 Mei 2017 Penulis


(9)

ix

Skripsi ini saya persembahkan untuk keluarga

Bapak Fx. Soemanto, Ibu Yulia Lucia, adik saya terkasih Anastasia Beta, serta kakak saya tersayang Febrian Cahyadi, S.Kom.


(10)

x

“Bukan semua indah pada waktunya namun, semua indah tergantung cara menikmatinya”

“Hiduplah seperti kamu tidak akan bangun esok hari”


(11)

xi

Nugroho, Beto Adhi. 2017. “Kritik dan Tindak Tutur Mengkritik dalam Tiga Lagu Iwan Fals Versi Konser”. Skripsi. Yogyakarta. Program Studi Sastra

Indonesia. Fakultas Sastra. Universitas Sanata Dharma.

Penelitian yang berjudul “Kritik dan Tindak Tutur Mengkritik dalam Tiga Lagu Iwan Fals Versi Konser” ini bertujuan untuk (a) menguraikan hal-hal apa saja yang dikritik Iwan Fals melalui tiga lirik lagunya versi konser serta (b) mendeskripsikan bagaimana tindak tutur mengkritik yang diwujudkan Iwan Fals dalam tiga lirik lagunya versi konser. Data penelitian ini adalah tiga lagu Iwan Fals versi konser yang diciptakan tahun 1978, yakni “Demokrasi Nasi”, “Semar Mendem”, dan “Kisah Sapi Malam/Kisah PSK”. Ketiga lagu tersebut mengangkat tiga tema besar yaitu hukum, ekonomi, dan sosial. Berdasarkan hal itu, dalam satu lagu karya Iwan Fals dapat dijumpai berbagai macam muatan kritik. Oleh karena itu, pembahasan tentang hal-hal yang dikritik dilakukan berdasarkan setiap lagu.

Pengumpulan data dilakukan menggunakan metode simak dan teknik catat. Metode simak dilakukan dengan cara mendengarkan, mengamati, dan menyimak langsung penggunaan bahasa lirik lagu sebagai bahan penelitian. Wujud penyimakan ketiga lirik lagu tersebut berupa kata, frasa, maupun kalimat yang bermuatan kritik. Selanjutnya, dengan teknik catat, peneliti mengklasifikasikan data berupa hal-hal yang dikritik dan berbagai macam perwujudan tindak tuturnya. Analisis data dilakukan dengan menggunakan dua sub-jenis metode padan, yaitu metode padan referensial dan metode padan pragmatis. Metode padan referensial digunakan untuk mendeskripsikan hal-hal yang dikritik pada setiap lagunya. Metode padan pragmatis berfungsi untuk menentukan perwujudan tindak tutur atas hal-hal yang sudah dikritik sebelumnya.

Hasil penelitian ini adalah hal-hal yang dikritik Iwan Fals masa Orde Baru, yaitu (a) ketidakadilan pelaksanaan hukum, (b) lemahnya penegakan hukum, (c) pencitraan pemerintah, (d) tekanan oleh pemerintah, (e) intimidasi oleh pemerintah, (f) penyalahgunaan kekuasaan, (g) mahalnya harga, (h) prostitusi, (i) kesenjangan ekonomi, dan (j) kebohongan. Tindak tutur dikelompokkan menjadi empat macam, yaitu tindak tutur langsung literal, tindak tutur tidak langsung literal, tindak tutur langsung tidak literal, dan tindak tutur tidak langsung tidak literal. Selain itu, penelitian ini juga menemukan 8 (delapan) variasi tindak tutur langsung tidak literal, 5 (lima) variasi tindak tutur langsung literal, 3 (tiga) variasi tindak tutur tidak langsung tidak literal, dan 2 (dua) variasi tindak tutur tidak langsung literal.


(12)

xii Abstract

Nugroho, Beto Adhi. 2017. “Critisism and Speech Act Critics on Three of Iwan Fals’ Concert Version Songs”. Thesis. Yogyakarta. Indonesian Letter Study

Program. Faculty of Letter. Sanata Dharma University.

This research entitled “Critisism and Speech Act Critics on Three of Iwan Fals‟ Concert Version Songs” is aimed to (a) explain what have been criticized by Iwan Fals through his three songs lyric concert version and (b) describe how speech act critics actualized by Iwan Fals in his three songs lyric concert version. Data of this research are three songs of Iwan Fals‟ concert version which are composed in 1978, namely “Demokrasi Nasi”, “Semar Mendem”, and “Kisah Sapi Malam/Kisah PSK”. Those three songs adopt three major theme namely law, Economic and social. Based on those things, some kinds of critics can be found in one of Iwan Fals‟ song. Therefore, the discussion of things that are criticized is done on each song.

Data gathering is done by simak method dan catat technique. Simak method is done by listening, observing and directly scrutinizing the language of song lyric as the research instrument. Words, phrase and sentence that are containing critics are scrutinized in those three songs. Next, by catat technique, the researcher clarifies the data with things that are criticized and some kinds of his speech act actualization. Data analysis is done by using two sub-kind padan methods, namely referential padan and pragmatic padan method. Referential padan method is used to describe things that are critized in each songs. Pragmatic padan method is used to determine the actualization of speech act on things that have been already criticized before.

The findings of the research are things that are critized by Iwan Fals in New Order time which are (a) the injustice of law implementation, (b) the weakness of law maintanance, (c) the image projection of government, (d) pressure by the government, (e) intimidation by the government, (f) the missused of authority, (g) the expensive price, (h) prostitution, (i) economic gap and (j) lie. Then, speech acts is categorized in four kinds, namely direct literal speech act, indirect literal speech act, direct nonliteral speech act, and indirect nonliteral speech act. Besides, this research also produced 8 (eight) variation of direct nonliteral speech act, 5 (five) variation of direct literal speech act, 3 (three) variation of indirect nonliteral speech act, 2 (two) variation of indirect literal speech act.


(13)

xiii

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v

KATA PENGANTAR ... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ... ix

HALAMAN MOTO ... x

ABSTRAK ... xi

ABSTRACT ... xii

DAFTAR ISI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

1.5 Tinjauan Pustaka ... 8

1.6 Landasan Teori ... 11

1.6.1 Kritik ... 11


(14)

xiv

1.6.4 Pragmatik ... 15

1.6.5 Tindak Tutur dan Jenis-Jenis Tindak Tutur ... 16

1.6.5.1 Tindak Tutur ... 16

1.6.5.2 Jenis-jenis Tindak Tutur ... 19

1.6.5.2.1 Tindak Tutur Langsung dan Tindak Tutur Tidak Langsung ... 19

1.6.5.2.2 Tindak Tutur Literal dan Tindak Tutur Tidak Literal ... 20

1.6.5.3 Interseksi Berbagai Jenis Tindak Tutur ... 20

1.6.5.3.1 Tindak Tutur Langsung Literal ... 21

1.6.5.3.2 Tindak Tutur Tidak Langsung Literal ... 21

1.6.5.3.3 Tindak Tutur Langsung Tidak Literal ... 21

1.6.5.3.4 Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal ... 21

1.7 Metode dan Teknik Penelitian ... 22

1.7.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 22

1.7.2 Metode dan Teknik Analisis Data ... 23

1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data ... 24

1.8 Sistematika Penyajian ... 25

BAB II HAL-HAL YANG DIKRITIK DALAM TIGA LAGU IWAN FALS VERSI KONSER ... 26

2.1 Pengantar ... 26


(15)

xv

2.4 Hal-hal yang Dikritik dalam Lagu Kisah Sapi Malam/Kisah PSK ... 36

2.5 Tabel Rekapitulasi ... 39

BAB III TINDAK TUTUR MENGKRITIK DALAM TIGA LAGU IWAN FALS VERSI KONSER ... 43

3.1 Pengantar ... 43

3.2 Tindak Tutur Mengkritik Ketidakadilan Pelaksanaan Hukum ... 44

3.2.1 Tindak Tutur Mengkritik Ketidakadilan Pelaksanaan Hukum Secara Langsung Literal ... 44

3.2.2 Tindak Tutur Mengkritik Ketidakadilan Pelaksanaan Hukum Secara Tidak Langsung Literal ... 45

3.3 Tindak Tutur Mengkritik Lemahnya Penegakan Hukum ... 46

3.4 Tindak Tutur Mengkritik Pencitraan Pemerintah ... 47

3.5 Tindak Tutur Mengkritik Tekanan oleh Pemerintah ... 49

3.6 Tindak Tutur Mengkritik Intimidasi oleh Pemerintah... 50

3.7 Tindak Tutur Mengkritik Penyalahgunaan Kekuasaan ... 50

3.8 Tindak Tutur Mengkritik Mahalnya Harga ... 51

3.8.1Tindak Tutur Mengkritik Mahalnya Harga Secara Langsung Literal ... 52

3.8.2 Tindak Tutur Mengkritik Mahalnya Harga Secara Langsung Tidak Literal ... 52

3.8.3 Tindak Tutur Mengkritik Mahalnya Harga Secara Tidak Langsung Tidak Literal ... 53


(16)

xvi

3.9.2 Tindak Tutur Mengkritik Prostitusi

Secara Langsung Tidak Literal ... 55

3.10 Tindak Tutur Mengkritik Kesenjangan Ekonomi ... 56

3.11 Tindak Tutur Mengkritik Kebohongan ... 57

3.12 Rekapitulasi ... 58

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 61

4.1 Kesimpulan ... 61

4.2 Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 64

DAFTAR SUMBER DATA DAN LAMPIRAN ... 67


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu penyanyi solo terkenal yang tetap berkarya sampai saat ini adalah Iwan Fals. Penyanyi yang bernama asli Virgiawan Listanto ini lahir di Jakarta tanggal 3 September 1961. Iwan Fals sering membawakan lagu yang

ber-genre balada, pop, rock, dan country. Sampai saat ini Iwan Fals sudah menjadi legenda hidup musik di Indonesia. Karya-karya Iwan Fals cenderung mengangkat kehidupan sosial Indonesia. Kritik atas perilaku seseorang, empati bagi kelompok marginal, dan bencana besar yang melanda Indonesia ataupun dunia juga mendominasi tema lagu-lagu yang dibawakannya (https://id.wikipedia.org/wiki/ Iwan_Fals).

Karisma seorang Iwan Fals sangat besar. Dia sangat dipuja oleh kaum 'akar rumput'. Kesederhanaannya menjadi panutan para penggemarnya yang tersebar di seluruh Nusantara. Para penggemar fanatik Iwan Fals bahkan mendirikan sebuah yayasan pada tanggal 16 Agustus 1999 yang disebut Yayasan Orang Indonesia atau biasa dikenal dengan seruan OI. Yayasan ini mewadahi aktivitas para penggemar Iwan Fals. Hingga sekarang kantor cabang OI dapat ditemui di setiap penjuru nusantara dan beberapa bahkan sampai ke mancanegara (Ibid.).


(18)

Selama Orde Baru, banyak jadwal acara konser Iwan yang dilarang dan dibatalkan oleh aparat pemerintah, karena lirik-lirik lagunya dianggap dapat memancing kerusuhan. Pada awal kariernya, Iwan Fals banyak membuat lagu yang bertema kritikan terhadap pemerintah. Beberapa lagu itu bahkan bisa dikategorikan terlalu keras pada masanya, sehingga perusahaan rekaman yang memayungi Iwan Fals enggan atau lebih tepatnya tidak berani memasukkan lagu-lagu tersebut dalam album untuk dijual bebas (bandingkan https://id. wikipedia.org/ wiki/Iwan_Fals).

Rekaman lagu-lagu yang tidak dipasarkan tersebut kemudian sempat diputar di stasiun radio 8EH Institut Teknologi Bandug. Iwan Fals juga pernah menyanyikan lagu-lagu tersebut dalam beberapa konser musik, yang mengakibatkan dia berulang kali harus berurusan dengan pihak keamanan dengan alasan lirik lagu yang dinyanyikan dapat mengganggu stabilitas negara. Beberapa konser musiknya pada tahun 1980-an juga sempat disabotase dengan cara memadamkan aliran listrik dan pernah juga dibubarkan secara paksa hanya karena Iwan Fals membawakan lirik lagu yang menyindir penguasa saat itu. Pada bulan April tahun 1984, Iwan Fals harus berurusan dengan aparat keamanan dan sempat ditahan dan diinterogasi selama dua minggu gara-gara menyanyikan lirik lagu

Demokrasi Nasi, Pola Sederha, dan Mbak Tini pada sebuah konser di Pekanbaru (bandingkan https://id.wikipedia.org/wiki/Iwan_Fals).

Sebagai salah satu legenda musik Indonesia, Iwan Fals sudah banyak mengeluarkan album dan single sejak tahun 1974 sampai sekarang. Akan tetapi, ada beberapa lagu yang memiliki keunikan.Salah satu keunikannya adalah tindak


(19)

tutur yang mengkritik fenomena-fenomena yang terjadi di Indonesia pada Orde Baru. Berikut akan disajikan contoh-contoh penggalan lirik lagu Iwan Fals versi konser.

(1) Anak seorang menteri membuat onar lagi. Menembak sampai mati kok gak ada sanksi?

(Iwan Fals,”Demokrasi Nasi”,1978)

(2) Dengan langkah tegap berjalan, seorang pria gendut ubanan. Kau menyusuri lorong pasar dikawal ratusan kamera para wartawan untuk bahan obrolan buat isi koran.

(Iwan Fals,”Semar Mendem”,1978) (3) Mengapa semua harga naik edan edanan ?

Tak cocok sama Semar waktu dia umumkan.

(Iwan Fals,”Semar Mendem”,1978)

(4) Hei sapi malam siapa engkau ini? Pinggul digoyang punya kota Karawang. Mata jelalatan cari cukong buncit bermata sipit.

(Iwan Fals, “Kisah Sapi Malam/Kisah PSK”,1978) Penelitian ini mengambil tiga lagu yang diciptakan oleh Iwan Fals karena ketiga lagu tersebut mengangkat tiga tema besar pada masa pemerintahan Orde Baru, yaitu (a) hukum, (b) ekonomi, dan (c) sosial. Ketiga lagu yang menjadi data adalah lagu-lagu versi konser Iwan Fals yang diciptakan pada tahun 1978. Ketiga lagu tersebut adalah (i) ”Demokrasi Nasi”, (ii) “Semar Mendem”, dan (iii) “Kisah Sapi Malam/Kisah PSK”.


(20)

Penelitian ini akan membahas tentang hal-hal yang dikritik dan tindak tutur mengkritik dalam lirik lagu “Demokrasi Nasi”, “Semar Mendem”, dan “Kisah Sapi Malam/Kisah PSK” karya Iwan Fals. Berikut ini merupakan contoh hal-hal yang dikritik oleh Iwan Fals dalam karyanya:

(5) Ibu pejabat yang ikut rombongan, wah kebetulan, mumpung ada Semar harga barang turun dia sikat.

(Iwan Fals, “Semar Mendem”,1978)

(6) Gemetar para pedagang waktu melihat semar datang mengoreksi harga makanan.

(Iwan Fals, “Semar Mendem”,1978)

Pada contoh (5), ditemukan muatan kritik penyalahgunaan kekuasaan. Hal tersebut dibuktikan oleh tuturan kunci Ibu pejabat yang ikut rombongan, wah kebetulan, mumpung ada semar harga barang turun dia sikat. Nama semar dalam tuturan tersebut menggunakan kiasan metafora yang merujuk pada nama Soeharto. Tuturan tersebut bermakna „Ibu pejabat yang ikut rombongan langsung merampas atau menyerobot habis-habisan barang dengan harga murah sewaktu Soeharto mengkoreksi harga barang‟. Menurut KBBI Edisi V, kata sikat dalam tuturan ini merupakan verba dan seharusnya menjadi kata menyikat yang berarti „merampas atau menyerobot habis-habisan‟.

Sementara itu, contoh (6) menunjukan kritik tekanan oleh pemerintah. Hal tersebut dibuktikan oleh tuturan kunci Gemetar para pedagang waktu melihat semar datang mengoreksi harga makanan. Dalam tuturan tersebut, kritik ditunjukkan oleh kata kunci gemetar. Menurut KBBI Edisi V, kata gemetar


(21)

berarti „bergetar anggota badan karena ketakutan (kedinginan dsb); menggigil karena ketakutan dsb‟.

Pada permasalahan kedua, akan dideskripsikan empat macam interseksi tindak tutur mengkritik dalam lagu-lagu Iwan Fals. Berikut merupakan contoh tindak tutur mengkritik dalam lirik lagu Iwan Fals:

(7) Tentu tak sesuai dengan undang-undang di negeri ini yang katanya demokrasi.

(Iwan Fals, “Demokrasi Nasi”,1978)

(8) Kerja lembur, bilang pada bapak Kyai. Pergi pake Damri, pulang diantar Mercy.

(Iwan Fals, “Kisah Sapi Malam/Kisah PSK”,1978)

Contoh (7) merupakan tindak tutur mengkritik tekanan oleh pemerintah secara „langsung literal‟ (LL). Contoh (7) merupakan tindak tutur mengkritik ketidakadilan pelaksanaan hukum secara langsung literal (LL). Dikatakan langsung karena contoh (7) menggunakan kalimat deklaratif untuk mengkritik sehingga modusnya sama dengan maksud tuturannya. Contoh (7) disebut literal karena makna kata-kata penyusunnya sesuai dengan yang dimaksudkan penutur yaitu mengkritik ketidakadilan pelaksanaan hukum. Pada contoh (7) digunakan frasa tak sesuai yang bermakna „tidak selaras‟ untuk mengungkapkan

ketidakadilan pelaksanaan hukum.

Contoh (8) merupakan tindak tutur mengkritik kebohongan secara langsung literal (LL). Dikatakan langsung karena menggunakan kalimat deklaratif


(22)

sehingga modusnya sama dengan maksud tuturannya. Contoh (8) disebut literal karena kata-kata penyusunnya memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya yaitu mengkritik kebohongan. Contoh (8) menggunakan kata lembur

untuk mengkritik kebohongan. Menurut KBBI Edisi V, kata lembur berarti „pekerjaan dinas yang dikerjakan di luar jam dinas‟ Tuturan kerja lembur bilang pada bapak kyai mengandung kritik kebohongan karena dari keseluruhan lagu tidak menceritakan adanya pekerjaan kantor atau pekerjaan pemerintahan.

Alasan peneliti memilih topik hal-hal yang dikritik dan tindak tutur mengkritik dalam lirik lagu “Demokrasi Nasi”, “Semar Mendem”, dan “Kisah Sapi Malam/Kisah PSK” karya Iwan Fals adalah sebagai berikut. Pertama, Iwan Fals merupakan legenda hidup dalam bidang musik di Indonesia dan karya-karyanya merepresentasikan apa yang terjadi pada masanya. Kedua, banyak masyarakat yang tidak tahu bahwa ada karya-karya Iwan Fals yang hanya dibawakan saat konser karena tidak boleh dikomersialkan. Ketiga, penelitian linguistik tentang bahasa, khususnya tindak tutur dalam lirik lagu masih jarang dan kurang mendapat perhatian. Ketiga hal itu melatari penulis untuk meneliti hal-hal yang dikritik dan tindak tutur mengkritik dalam lirik lagu “Demokrasi Nasi”, “Semar Mendem”, dan “Kisah Sapi Malam/Kisah PSK” karya Iwan Fals.


(23)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1.2.1 Apa saja hal-hal yang dikritik dalam tiga lagu Iwan Fals versi konser? 1.2.2 Bagaimana tindak tutur mengkritik yang diwujudkan dalam tiga lagu Iwan

Fals versi konser?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1.3.1 Mendeskripsikan hal-hal yang dikritik dalam tiga lagu Iwan Fals versi konser.

1.3.2 Mendeskripsikan perwujudan tindak tutur mengkritik dalam tiga lagu Iwan Fals versi konser.

1.4 Manfaat Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini berupa deskripsi hal-hal yang dikritik dan tindak tutur mengkritik dalam lirik lagu “Demokrasi Nasi”, “Semar Mendem”, dan “Kisah Sapi Malam/Kisah PSK” karya Iwan Fals. Hasil penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan manfaat praktis sebagai berikut.


(24)

Manfaat teoritis dari hasil penelitian ini adalah memberikan sumbangan terhadap teori wacana khususnya tentang isi dan jenis tindak tutur. Sementara itu, manfaat praktis dari penelitian ini adalah untuk membantu interpretasi terhadap lirik lagu bagi pendengar serta untuk menciptakan lagu yang bertema kritik bagi pencipta lagu.

1.5 Tinjauan Pustaka

Penelitian tentang lirik lagu Iwan Fals sudah pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian tentang lirik lagu Iwan Fals pernah di teliti oleh Soemanang (2013), Mahrofah (2012), Aisah (2010), Puspitasari (2010), Sembiring (2013), dan Rachmawati (2014).

Soemanang (2013) dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Struktur Lagu “Puing” Karya Iwan Fals” mengatakan bahwa syair lagu tersebut bercerita tentang perang yang mengakibatkan gedung-gedung menjadi puing yang berserakan. Lagu ini menggunakan bentuk tiga bagian, A,A',B,B,C,A,A', dengan Birama ¾ serta nada dasar Em = la. Sebagian besar melodi dalam biramanya menggunakan interval perfect unison yang bisa mengakibatkan kebosanan pada penghayat. Akan tetapi, lagu ini sangat unik karena Lagu “Puing” karya Iwan Fals dalam Album Mata Dewa terdiri dari 263 bar yang terdiri atas 176 bar syair yang dinyayikan, 26 bar syair yang dinyanyikan dengan pengulangan, serta 71 iringan tanpa nyanyian dengan bahasa kritik yang mudah dipahami.


(25)

Dalam skripsi yang berjudul “Unsur Kesastraan Lirik Lagu-lagu dalam Album Manusia Setengah Dewa Karya Iwan Fals”, Mahrofah (2012) mengatakan unsur-unsur yang terdapat dalam lirik lagu merupakan unsur-unsur pembangun dalam lirik lagu itu sendiri. Unsur satu dengan unsur yang lain saling berkaitan untuk membangun sebuah maksud yang ingin disampaikan kepada para pendengar. Unsur yang terdapat dalam lirik lagu mampu menimbulkan efek keindahan, efek emotif serta menambah kepuitisan terhadap lirik lagu itu sendiri.

Aisah (2010) dalam penelitian tesisnya yang berjudul ”Metafora dalam Lagu Iwan Fals yang Bertemakan Kritik Sosial” menemukan ranah sumber binatang yang paling dominan digunakan di dalam lirik lagu Iwan Fals. Jenis majas yang terdapat di dalam lagu yang paling sering digunakan pencipta lagu untuk menyampaikan kritik sosial adalah jenis majas perbandingan langsung atau metafora dan perumpamaan atau simile. Jenis ungkapan metaforis berdasarkan teori Lakoff dan Johnson (1980) yang paling dominan terdapat dalam lagu adalah jenis metafora struktural dan ontologis.

Puspitasari (2010) melakukan penelitian yang berjudul tentang Kritik Sosial dalam Lirik Lagu (Studi Semiotik Tentang Pemaknaan Lirik Lagu “Besar dan Kecil” karya Iwan Fals). Metode penelitian ini menggunakan teori semiotik dari Ferdinand de Saussure dengan tipe penelitian deskriptif. Dalam skripsi tersebut ditemukan bahwa kritik sosial yang tersirat dalam lagu “Besar dan Kecil” adalah ketidakadilan pemerintah Orde Baru, khususnya ketika pemilu yang membuat raykat tidak dapat menikmati asas demokrasi yang dianut Negara Indonesia dan dasar Negara yaitu Pancasila.


(26)

Sembiring (2013) dalam skripsinya yang berjudul “Representasi Kehidupan Sosial Masyarakat Indonesia dalam Lirik Lagu Iwan Fals (Analisis Semiotika Lirik Lagu Iwan Fals yang Berjudul „Ujung Aspal Pondok Gede‟)” mengatakan lirik lagu Ujung Aspal Pondok Gede memiliki makna yang kompleks yang meliputi berbagai aspek seperti nilai-nilai moral, budaya, moral, dan hak asasi manusia. Keseluruhan makna yang terkandung dalam lirik lagu Ujung Aspal Pondok Gede saling berkaitan yang satu dengan yang lainnya. Setelah mengetahui seluruh makna yang terkandung, timbul representasi kehidupan masyarakat Indonesia dari makna lirik lagu tersebut. Penelitian ini menggunakan menggunakan analisis Roland Barthes yang berfokus pada penggalian makna menggunakan signifikasi dua tahap, pada tahap signifikasi pertama menggunakan denotasi, dan pada tahap kedua menggunakan konotasi dan mitos.

Sementara itu, Rachmawati (2014) dalam skripsinya yang berjudul “Konteks dan Inferensi Lirik Lagu Iwan Fals : Tinjauan Analisis Wacana”sampai pada dua simpulan, pertama konteks yang membangun lirik lagu Iwan Fals yang mengandung kritik sosial adalah konteks fisik, konteks epistemis, konteks sosial, prinsip penafsiran personal, prinsip penafsiran lokasional, prinsip penafsiran temporal, dan prinsip analogi. Data yang memenuhi tujuh konteks tersebut adalah lirik lagu “Ambulance Zig-Zag”, ”Jangan Bicara”, ”Kontrasmu Bisu”, “Siang Seberang Istana”, “Sumbang”, “Doa Pengobral Dosa”, “Ethiophia”, “Guru Oemar Bakri”, “Sarjana Muda”, “Sore Tugu Pancoran”, “Teman Kawanku Punya Teman”, “Kota, Kupaksa Untuk Melangkah”, “Tak Biru Lagi Lautku”, dan “Ujung Aspal Pondok Gede. Kedua, aspek Inferensi terdapat dalam 18 lagu


(27)

Iwan Fals yang mengandung kritik sosial yaitu ”Ambulance Zig-Zag”, “Galang Rambu Anarki”, “Jangan Bicara”, “Kontrasmu Bisu”, “Siang Seberang Istana”, “Tikus-Tikus Kantor”, “Doa Pengobral Dosa”, “Ethiophia”, “Guru Oemar Bakri”, “Sarjana Muda”, “Sore Tugu Pancoran”, “Teman Kawanku Punya Teman”, “Kota”, “Kupaksa Untuk Melangkah”, “Opiniku”, “Tak Biru Lagi Lautku”, dan “Ujung Aspal Pondok Gede”.

Berdasarkan penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian mengenai lagu-lagu Iwan Fals sudah pernah dilakukan. Akan tetapi, penelitian terhadap lirik lagu ditinjau dari segi pragmatik masih jarang dilakukan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pengkajian tentang hal-hal yang dikritik dan tindak tutur mengkritik dalam lirik lagu Iwan Fals versi konser tahun 1978-2000 belum pernah dilakukan.

1.6 Landasan Teori

Dalam bagian ini, akan dijabarkan tentang kritik, topik wacana, fungsi lagu atau musik, pragmatik, dan tindak tutur berserta jenis-jenis tindak tutur.

1.6.1 Kritik

Menurut KBBI Edisi V, kata kritik berarti kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya


(28)

1.6.2 Topik Wacana

Penelitian ini akan membahas kritik apa saja yang terdapat pada lirik lagu Iwan Fals. Oleh karena itu, untuk mengetahui hal-hal yang di kritik dalam lirik lagu Iwan Fals, topik harus diketahui terlebih dahulu. Hal tersebut akan menunjukkan kritik yang ada dalam lirik lagu dan merupakan sebuah topik dalam lirik lagu.

Baryadi (2002; 54) mengatakan topik (topic) adalah perihal yang dibicarakan dalam wacana. Hal ini berarti topik menjiwai seluruh bagian wacana dan topik menyebabkan lahirnya wacana. Wacana berfungsi dalam proses komunikasi verbal karena wacana akan lahir jika ada yang dibicarakan dan dapat digunakan sebagai alat komunikasi jika mengandung sesuatu yang dibicarakan.

Dalam proses komunikasi, topik dalam wacana memiliki kedudukan yang sangat penting. Kedudukan yang sangat penting ini bersangkutan dengan perannya dalam memperlancar proses komunikasi. Perannya secara potensial dan dalam permukaan tampak baik bagi pembicara ataupun penulis (pembuat wacana) maupun bagi pendengar ataupun pembaca (penerima wacana). Pagi pembuat wacana, topik merupakan informasi embrional dan informasi inti yang menjadi pangkal inspirasi untuk mengungkapkannya secara verbal dalam struktur lahir yang berupa jenis wacana tertentu. Bagi penerima wacana, topik adalah sesuatu yang dicari, diinterpretasikan, dan dipahami serta ditanggapi. Topik menjadi arah utama seseorang untuk memahami wacana (Baryadi, 2002: 55).


(29)

Van Dijk memilah wacana menjadi tiga bagian yang saling mendukung yaitu (i) bagian makro, (ii) bagian superstruktur, dan (iii) bagian mikro. Bagian makro merupakan makna global dari suatu wacana. Bagian superstruktur merupakan kerangka suatu wacana. Bagian mikro merupakan makna wacana yang dapat dipahami dari penggunaan kata, kalimat, dan sebagainya (Baryadi, 2002: 15).

1.6.3 Fungsi Lagu atau Musik

Banoe (2003 : 288) mengatakan bahwa musik berasal dari kata muse yaitu salah satu dewa dalam mitologi Yunani kuno bagi cabang seni dan ilmu; dewa seni dan ilmu pengetahuan. Selain itu, ia juga berpendapat bahwa musik merupakan cabang seni yang membahas dan menetapkan berbagai suara ke dalam pola-pola yang dapat dimengerti dan dipahami oleh manusia. Sementara itu, Jamalus (1988: 1) mengatakan musik adalah suatu hasil karya seni berupa bunyi dalam bentuk lagu atau komposisi yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penciptanya melalui unsur-unsur pokok musik yaitu irama, melodi, harmoni, dan bentuk atau struktur lagu serta ekspresi sebagai suatu kesatuan. Akan tetapi, Sylado (1983: 12) mengatakan bahwa musik adalah waktu yang memang untuk didengar. Musik merupakan wujud waktu yang hidup, yang merupakan kumpulan ilusi dan alunan suara. Alunan musik yang berisi rangkaian nada yang berjiwa akan mampu menggerakkan hati para pendengarnya (www.kajianteori.com).

Merriam (via Nugraha, 2015: 11-14) dalam bukunya The Anthropology of Music menyatakan ada 10 fungsi musik. Pertama, fungsi pengungkapan


(30)

emosional yang berarti musik sebagai suatu media bagi seseorang untuk mengungkapkan perasaan atau emosinya. Dengan kata lain, pemusik mengungkapkan perasaan atau emosinya melalui musik. Kedua, fungsi penghayatan estetis yang berarti musik merupakan karya seni. Suatu karya dapat dikatakan karya seni jika memiliki unsur estetika atau keindahan didalamnya. Melalui musik kita dapat merasakan nilai-nilai keindahan baik melalui melodi ataupun dinamikanya. Ketiga, fungsi hiburan yang berarti musik memiliki fungsi hiburan mengacu pada pengertian sebuah musik mengandung unsur-unsur menghibur. Hal ini dapat dinilai dari melodi ataupun liriknya.

Keempat, fungsi komunikasi yang berarti musik memiliki fungsi komunikasi berarti bahwa sebuah musik yang berlaku disuatu daerah kebudayaan mengandung isyarat-isyarat tertentu yang hanya diketahui oleh masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Hal ini dapat dilihat melalui teks atau didengar melalui melodi musik tersebut. Kelima, fungsi perlambangan yang berarti musik memiliki fungsi dalam melambangkan suatu hal. Hal ini dapat dilihat dari aspek-aspek musik tersebut, misalnya tempo. Jika tempo musik itu lambat, kebanyakan teksnya menceritakan hal-hal yang menyedihkan sehingga musik itu melambangkan kesedihan. Keenam, fungsi reaksi jasmani yang berarti jika sebuah musik dimainkan, musik tersebut dapat merangsang sel-sel saraf manusia sehingga tubuh kita bergerak mengikuti irama musik tersebut. Jika musiknya cepat maka gerakan kita juga cepat dan sebaliknya.

Ketujuh, fungsi yang berkaitan dengan norma sosial yang berarti musik sebagai media pengajaran akan norma-norma atau peraturan-peraturan.


(31)

Penyampaian kebanyakan melalui tek-teks nyanyian yang berisi aturan-aturan. Kedelapan, fungsi pengesahan lembaga sosial yang berarti musik memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu upacara. Musik menjadi bagian yang penting dalam suatu upacara dan bukan hanya sekedar pengiring. Kesembilan, fungsi kesinambungan budaya yang berarti musik berisi tentang ajaran-ajaran untuk meneruskan sistem-sistem dalam kebudayaan kepada generasi berikutnya. Kesepuluh, fungsi pengintegrasian masyarakat yang berarti musik yang dimainkan secara bersama-sama secara tidak langsung akan menimbulkan rasa kebersamaan antara sesama pemainnya ataupun penikmatnya. Oleh karena itu, musik memiliki fungsi pengintegrasian masyarakat.

1.6.4 Pragmatik

Kasher (1998) mendefinisikan pragmatik sebagai ilmu yang mempelajari bahasa yang digunakan dan bagaimana bahasa tersebut diintegrasikan kedalam konteks (Putrayasa 2014: 1). Leech menyebutkan pragmatik adalah studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situations). Makna memiliki hubungan dengan penutur dan pemakai bahasa (Leech, 1993: 8). Stalnaker (1972) (dikutip Nadar, 2009) mengatakan bahwa pragmatik adalah kajian antara lain mengenai deiksis, implikatur, presuposisi, tindak tutur, dan aspek-aspek struktur wacana. Sementara itu, Parker (dalam Rahardi, 2009) mendefinisikan pragmatik sebagai cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal. Maksudnya adalah bagaimana satuan lingual tertentu dapat digunakan dalam komunikasi yang sebenarnya (Putrayasa, 2014: 1).


(32)

Di sisi lain, Yule (1996) membagi definisi pragmatik ke dalam empat ruang lingkup. Pertama, pragmatik didefinisikan sebagai studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur dan ditafsirkan oleh pendengar. Kedua, pragmatik adalah studi tentang makna konteksual. Ketiga, pragmatik adalah studi tentang bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan daripada yang dituturkan. Sementara itu, definisi keempat pragmatik adalah studi tentang ungkapan dari jarak hubungan (Putrayasa, 2014: 1).

Berbagai pengertian di atas menyimpulkan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari segala bentuk tuturan yang maknanya terikat oleh konteks. Konteks menjadi hal yang penting dan berpengaruh pada perbuatan mitra tutur terhadap tuturan.

1.6.5 Tindak Tutur dan Jenis-jenis Tindak Tutur

Tindak tutur dan jenis-jenis tindak tutur akan dijelaskan sebagai berikut.

1.6.5.1 Tindak Tutur

Dalam bukunya yang berjudul How to Do Things with Words, J.L. Austin memaparkan teori tindak tutur (speech act). Austin (1962: 98-99) menjelaskan bahwa pada dasarnya ketika seseorang mengatakan suatu hal, dia juga melakukan sesuatu. Austin (1962) mengemukakan bahwa setiap tuturan mengandung tiga jenis tindakan, yaitu tindak lokusioner (locusionary act), tindak ilokusioner

(ilocusionary act), dan tindak perlokusioner (perlocusionary act) (bdk. Baryadi, 2015: 81-83). Setelah itu, teori tindak tutur diteruskan oleh Searle dalam bukunya


(33)

yang berjudul Speech Acts: An Essay in The Philosophy of Language. Dalam buku tersebut, Searle (1969: 23-24) juga mengemukakan hal yang sama. Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu dan disebut sebagai the act of saying something. Tindak tutur ilokusi adalah tindak tutur yang selain berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu, dapat juga dipergunakan untuk melakukan sesuatu dan disebut sebagai the act of doing something. Tindak tutur perlokusi adalah tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk memperngaruhi lawan tutur dan disebut sebagai the act of affecting someone (bdk. Wijana, 1996:17-20).

Leech (1983: 104) dalam bukunya Principles of Pragmatics mengatakan bahwa, situasi yang berbeda menuntut adanya jenis-jenis derajat sopan santun yang berbeda pula. Pada tingkatan yang paling umum, fungsi- fungsi ilokusi diklasifikasikan menjadi empat jenis, sesuai dengan hubungan fungsi-fungsi tersebut dengan tujuan-tujuan sosial berupa pemeliharaan perilaku yang sopan dan terhormat. Keempat jenis ilokusi tersebut ialah ilokusi kompetitif (competitive),

ilokusi konvivial (convivial), ilokusi kolaboratif (collaborative), dan ilokusi konfliktif (conflictive). Ilokusi dikatakan berjenis kompetitif jika tujuan ilokusi bersaing dengan tujuan sosial; misalnya: memerintah, meminta, menuntut, atau mengemis. Ilokusi dikatakan berjenis konvivial jika tujuan ilokusi sejalan dengan tujuan sosial; misalnya: menawarkan, mengajak/mengundang, menyapa, mengucapkan terima kasih, atau mengucapkan selamat. Ilokusi dikatakan berjenis kolaboratif jika tujuan ilokusi tidak menghiraukan tujuan sosial; misalnya: menyatakan, melapor, mengajarkan, atau mengumumkan. Ilokusi dikatakan


(34)

berjenis konfliktif jika tujuan ilokusi bertentangan dengan tujuan sosial; misalnya: mengancam, menuduh, menyumpahi, atau memarahi.

Leech (1983: 105) mengatakan keempat jenis ilokusi tersebut dibedakan berdasarkan kesopanan. Pada ilokusi berjenis kompetitif, kesopanan bersifat negatif karena tujuan kompetitif pada dasarnya memang tidak bertata krama. Sebaliknya, pada ilokusi berjenis konvivial, kesopanan bersifat positif karena pada dasarnya memang bersifat tata krama. Pada ilokusi berjenis kolaboratif tidak melibatkan kesopanan karena pada jenis ilokusi ini kesopanan memang tidak relevan. Sementara itu, pada ilokusi berjenis konfliktif, kesopanan tidak ada sama sekali sebab ilokusi ini memang bertujuan menimbulkan kemarahan atau ketakutan.

Kridalaksana (1993) mengatakan tindak tutur adalah pengujaran kalimat untuk menyatakan agar suatu maksud dari pembicara diketahui pendengar. Sementara itu, Hudson (dikutip Alwasilah, 1993) mengatakan tindak tutur adalah ujaran yang dibuat sebagai bagian dari interaksi sosial. Oleh karena itu, tindak tutur dapat diartikan sebagai kegiatan seseorang menggunakan bahasa kepada mitra tutur dalam rangka mengkomunikasikan sesuatu (Putrayasa, 2014: 85. 86).

Tindak tutur merupakan gejala individu, bersifat psikologis, dan ditentukan oleh kemampuan bahasa penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Dalam tindak tutur, terjadi peristiwa tutur yang dilakukan oleh penutur kepada mitra tutur dalam rangka menyampaikan komunikasi (Ibid.).


(35)

1.6.5.2 Jenis-jenis Tindak Tutur

Wijana (1996: 29-30) mengatakan tindak tutur dapat dibedakan menjadi tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung serta tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal. Berikut akan didefinisikan kedua jenis tindak tutur tersebut.

1.6.5.2.1 Tindak Tutur Langsung dan Tindak Tutur Tidak Langsung

Menurut Wijana (1996: 30-31), secara formal, berdasarkan modusnya, kalimat dibedakan menjadi kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya (interogatif), dan kalimat perintah (imperatif). Secara konvensional, kalimat berita digunakan untuk memberitakan sesuatu (informasi), kalimat tanya digunakan untuk menanyakan sesuatu, dan kalimat perintah untuk menyatakan perintah, ajakan, permintaan, atau permohonan. Jika kalimat berita difungsikan secara konvensional untuk mengatakan sesuatu, kalimat tanya untuk bertanya, dan kalimat perintah untuk menyuruh, mengajak, memohon, dsb., tindak tutur yang terbentuk adalah tindak tutur langsung (direct speech act). Sementara itu, untuk berbicara secara sopan, perintah dapat diutarakan dengan kalimat berita atau kalimat tanya agar orang yang diperintah tidak merasa dirinya diperintah. Bila hal ini terjadi akan terbentuk tindak tutur tidak langsung (indirect speech act).

Wijana (1996: 32) menunjukan perbedaan tuturan langsung dan tidak langsung melalui bagan berikut.


(36)

Tabel 1: Skema Penggunaan Modus

Modus

Tindak Tutur

Langsung Tidak Langsung

Berita Memberitahukan Menyuruh

Tanya Bertanya Menyuruh

Perintah Memerintah -

Berdasarkan tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa kalimat berita dapat digunakan untuk untuk memberitakan ataupun menyuruh, demikian pula kalimat tanya yang dapat digunakan untuk bertanya dan juga menyuruh. Walaupun demikian, kalimat perintah hanya dapat digunakan untuk memerintah.

1.6.5.2.2 Tindak Tutur Literal dan Tindak Tutur Tidak Literal

Wijana (1996: 32) mengatakan tindak tutur literal (literal speech act)

adalah tindak tutur yang maksudnya sama dengan makna kata-kata penyusunnya. Sementara itu, tindak tutur tidak literal (nonliteral speech act) adalah tindak tutur yang maksudnya tidak sama dengan atau berlawanan dengan makna kata-kata yang menyusunnya.

1.6.5.3 Interseksi Berbagai Jenis Tindak Tutur

Wijana (1996: 33-36) mengatakan bila tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung disinggungkan (diinterseksikan) dengan tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal, akan didapatkan tindak tutur-tindak tutur sebagai berikut.


(37)

1.6.5.3.1 Tindak Tutur Langsung Literal (LL)

Tindak tutur langsung literal adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama sesuai dengan maksud pengutaraannya.

1.6.5.3.2 Tindak Tutur Tidak Langsung Literal (TLL)

Tindak tutur tidak langsung literal adalah tindak tutur yang diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud pengutaraannya, tetapi makna kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa yang dimaksudkan penutur.

1.6.5.3.3 Tindak Tutur Langsung Tidak Literal (LTL)

Tindak tutur langsung tidak literal adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya.

1.6.5.3.4 Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal (TLTL)

Tindak tutur tidak langsung tidak literal adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat dan makna kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang hendak diutarakan.


(38)

1.7 Metode dan Teknik Penelitian

Penelitian ini dilakukan melaui tiga tahap yaitu: (a) pengumpulan data, (b) analisis data, dan (c) penyajian hasil analisis data. Berikut pemaparan tentang metode dan teknik penelitian yang akan dilakukan.

1.7.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Objek dalam penelitian ini adalah hal-hal yang dikritik dan tindak tutur mengkritik dalam lirik lagu “Demokrasi Nasi” (1978), “Semar Mendem” (1978), dan “Kisah Sapi Malam/Kisah PSK” (1978) karya Iwan Fals. Objek penelitian itu terdapat dalam data berupa tuturan pada tiga lagu tersebut.

Data dalam penelitian dikumpulkan menggunakan metode simak. Menurut Sudaryanto (1993: 133), metode simak adalah metode yang digunakan untuk menyimak penggunaan bahasa yang dijadikan objek penelitian. Dalam penelitian ini, penyimakan dilakukan terhadap lirik-lirik lagu Iwan Fals yang berupa wacana tulis sebagai objek penelitian.

Tahap selanjutnya, penelitian ini menggunakan teknik catat. Teknik catat dilakukan dengan mencatat data-data dalam lirik lagu Iwan Fals yang berisi hal-hal yang dikritik dan tindak tutur mengkritik serta diklasifikasikan berdasarkan jenisnya. Data-data tersebut ditulis pada buku ataupun diketik pada komputer guna memudahkan pengerjaan penelitian ini serta mencari referen bahasa (segala sesuatu diluar bahasa) pada internet sebagai data pendukung.


(39)

1.7.2 Metode dan Teknik Analisis Data

Metode yang akan digunakan dalam menganalisis penelitian ini adalah metode padan. Menurut Sudaryanto (2015: 15), metode padan merupakan metode analisis data yang alat penentunya terletak di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan. Penelitian ini akan menggunakan metode padan referensial untuk mengetahui hal-hal apa saja yang dikritik dalam lirik lagu “Demokrasi Nasi”, “Semar Mendem”, dan “Kisah Sapi Malam/Kisah PSK”. Metode padan referensial adalah metode padan yang alat penentunya berupa referen bahasa. Referen bahasa adalah kenyataan atau unsur di luar bahasa yang ditunjuk oleh satuan kebahasaan (Kesuma, 2007: 48). Berikut ini contoh penerapan metode padan referensial:

(9) Ketika ku belanja di pasar kaget melihat harga barang. (Iwan Fals, “Semar Mendem”,1978)

Pada contoh (9), ditemukan kritik tentang mahalnya harga. Hal tersebut dibuktikan oleh tuturan kunci Ketika ku belanja di pasar kaget melihat harga barang. Dalam tuturan tersebut, kritik ditunjukkan oleh kata kunci kaget.Menurut KBBI Edisi V, kaget memiliki arti „terperanjat; terkejut (karena heran)‟. Dalam

hal ini, kaget berisi muatan kritik mahalnya harga karena adanya ketidakselarasan antara surat kabar dan kenyataan yang ada sehingga dilontarkan pertanyaan-pertanyaan seputar harga bahan pokok.

Selain metode padan referensial, peneliti juga menggunakan metode padan pragmatik untuk mengetahui tindak tutur mengkritik dalam lirik lagu “Demokrasi


(40)

Nasi”, “Semar Mendem”, dan “Kisah Sapi Malam/Kisah PSK” karya Iwan Fals. Metode padan pragmatis adalah metode padan yang alat penentunya lawan atau mitra wicara. Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi, misalnya, satuan kebahasaan menurut reaksi atau akibat yang terjadi atau timbul pada lawan atau mitra wicara ketika satuan kebahasaan itu dituturkan oleh pembicara (Kesuma, 2007: 49). Berikut ini merupakan contoh penerapan metode padan pragmatis:

(10) Langsung harga turun sekejap karena takut semar menindak. (Iwan Fals, “Demokrasi Nasi”,1978)

Contoh (10) menggunakan tindak tutur mengkritik tekanan oleh pemerintah secara langsung literal. Dikatakan langsung karena menggunakan kalimat deklaratif untuk mengkritik sehingga modus kalimat sesuai dengan maksud tuturan. Disebut tidak literal karena menggunakan kata Semar untuk menyebut Soeharto sehingga kata-kata penyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya.

1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Hasil penelitian selanjutnya disajikan dengan metode informal dan metode formal. Menurut Sudaryanto (1993: 145), metode informal adalah perumusan dengan kata-kata biasa sedangkan metode formal dalam penelitian ini disajikan menggunakan tabel-tabel.


(41)

1.8 Sistematika Penyajian

Hasil penelitian ini disusun menjadi empat bab. Bab I merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode dan teknik penelitian, serta sistematika penyajian. Bab II berisi klasifikasi tentang hal-hal yang dikritik dalam lirik lagu Iwan Fals dan dipaparkan dalam bentuk uraian ataupun deskripsi. Bab III berisi tentang uraian tindak tutur mengkritik dalam lirik lagu Iwan Fals. Dalam bab ini, tindak tutur mengkritik dalam lirik lagu Iwan Fals akan dideskripsikan kedalam empat jenis tindak tutur yaitu, tindak tutur langsung literal, tindak tutur tidak langsung literal, tindak tutur langsung tidak literal, dan tindak tutur tidak langsung tidak literal. Bab IV berisi kesimpulan dan saran. Pada bab ini, hasil penelitian yang telah dilakukan akan disimpulkan. Hal tersebut bertujuan untuk membentuk suatu kesimpulan yang mewakili seluruh isi penelitian.


(42)

BAB II

HAL-HAL YANG DIKRITIK

DALAM TIGA LAGU IWAN FALS VERSI KONSER

2.1 Pengantar

Bab ini membahas tentang hal-hal yang dikritik dalam tiga lirik lagu Iwan Fals versi konser. Ketiga lirik lagu tersebut ialah “Demokrasi Nasi”, “Semar Mendem”, dan “Kisah Sapi Malam/Kisah PSK”. Lirik-lirik lagu tersebut memiliki tema besar yang berbeda-beda yaitu hukum, ekonomi, dan sosial. Ketiga lirik lagu tersebut mengkritik pemerintahan pada Orde Baru. Hal itu dibuktikan oleh tahun terciptanya lagu tersebut yaitu tahun 1978. Walaupun lagu-lagu tersebut diciptakan tahun 1978, konteks dalam lagu tersebut banyak terjadi sebelum tahun 1978 sehingga lagu tersebut mengangkat kejadian yang pernah terjadi selama Orde Baru. Dalam satu lagu karya Iwan Fals, dapat dijumpai berbagai macam muatan kritik. Oleh karena itu, pembahasan tentang hal-hal yang dikritik dilakukan berdasarkan setiap lagu.

2.2 Hal-hal yang Dikritik dalam Lagu “Demokrasi Nasi”

Lagu ini diciptakan Iwan Fals pada tahun 1978 (https://id.wikipedia.org/ wiki/Iwan_Fals). Dalam lagu ini, terdapat satu tema besar yaitu hukum. Kritik yang disampaikan dalam lagu ini ada dua, yaitu ketidakadilan pelaksanaan hukum


(43)

dan lemahnya penegakan hukum. Berikut ini akan disajikan kritik ketidakadilan pelaksanaan hukum dan lemahnya penegakan hukum dalam bentuk tabel.

Tabel 2: Hal-hal yang Dikritik dalam Lagu “Demokrasi Nasi” No.

Data

Lirik Lagu Hal yang Dikririk

11 Ada lagi sebuah perkara tentang nyawa manusia.

Kisah ini memang sudah lama tapi benar terjadi.

Anak seorang menteri membuat onar lagi, menembak sampai mati, kok nggak ada sangsi?

Tentu tak sesuai dengan undang-undang di negeri ini yang katanya demokrasi.

Lain lagi dengan orang biasa, bila mereka curiga, langsung masuk penjara tanpa bukti nyata

Mengapa? Mengapa?

Ketidakadilan Pelaksanaan Hukum

12 Undang-undang tampaknya sakit perut. Tuan tolong panggilkan dokter ahli untuk Indonesia yang kita cinta mungkin terkena wabah kolera.

Undang-undang tampaknya sedang sakit jiwa.

Tuan tolong panggilkan dokter ahli untuk Indonesia mungkin terkena wabah selesma

Lemahnya Penegakan Hukum

Konteks dari lagu ini terjadi pada Orde Baru tahun 1970 tepatnya pada tanggal 6 Oktober di Bandung pada saat pertandingan sepak bola antara pihak AKABRI Kepolisian dengan mahasiswa ITB yang berakhir ricuh. Peristiwa yang


(44)

terjadi pada saat itu menewaskan seorang mahasiwa bernama Rene Louis Conrad. Rene sebetulnya tidak terlibat dalam pertandingan sepak bola itu, ataupun menyaksikannya. Ia hanya kebetulan berkeliling kampus dengan sepeda motor Harley Davidson. Kebetulan ketika terjadi keributan, Rene lewat di depan kampus dan ia ditembak hingga tewas. Mayatnya dibuang ke atas kendaraan polisi begitu saja, lalu ditaruh di gudang (https://id.wikipedia.org/wiki/Rene_Louis_Conrad) (Bandingkan pula Kompasiana.com/Ingat Jendral, Hari ini 42 Tahun yang Lalu).

Peristiwa itu diusut bahkan sampai kepada proses peradilan di Mahkamah Militer. Para mahasiswa menduga bahwa pelaku pembunuhan itu adalah Nugroho Djajusman yang merupakan putera seorang Jenderal Polisi, yaitu Jenderal Djajusman. Akan tetapi, Nugroho Djajusman dinyatakan tidak bersalah dalam kasus tersebut ( http://s-kisah.blogspot.co.id/2011/10/6-oktober-1970-luka-perta-ma-dalam.html) (Bandingkan Kompasiana.com/Ingat Jendral, Hari ini 42 Tahun yang Lalu). Untuk menutup kasus tersebut, dicarilah kambing hitam yaitu seorang anggota Brimob, Brigadir Polisi Dua Djani Maman Surjaman. Pada saat anggota Brimob itu diajukan ke pengadilan, mahasiswa justru melakukan protes karena menyadari ketidakadilan yang berlangsung. Meskipun anggota Brimob itu dibela oleh pengacara terkenal Adnan Buyung Nasution, ia tetap dinyatakan bersalah. Sidang Mahkamah Militer Priangan-Bogor pada Desember 1970 memberikan vonis 5 tahun 8 bulan tetapi kemudian pengadilan banding Mahkamah Kepolisian Tinggi 13 April 1972 memberikan vonis berbeda yaitu 1 tahun 6 bulan. Selesai menjalani hukuman, Djani Maman Surjaman kembali berdinas pada kesatuan


(45)

Brimob dan pada permulaan 1974 berpangkat Pembantu Letnan II (https:// id.wikipedia.org/wiki/Rene_Louis_Conrad).

Pada contoh (11) berisi muatan kritik ketidakadilan pelaksanaan hukum. Hal tersebut dibuktikan oleh tuturan kunci Anak seorang menteri membuat onar lagi, menembak sampai mati, kok gak ada sanksi?. Tuturan tersebut bermakna „terjadi ketidakadilan pelaksanaan hukum karena anak menteri yang membunuh tidak diadili‟. Akan tetapi, perkara yang terjadi bukan merupakan anak seorang Menteri melainkan anak seorang Jendral Polisi. Nama anak Jendral itu adalah Nugroho Djajusman. Walaupun begitu, Nugroho Djajusman dinyatakan tidak bersalah dan terkesan dilindungi sehingga mengkambinghitamkan anggota Brimob, Brigadir Polisi Dua Djani Maman Surjaman sebagai pelaku pembunuhan.

Tuturan kunci Tentu tak sesuai dengan undang-undang di negeri ini yang katanya demokrasi. juga berisi kritik ketidakadilan pelaksanaan hukum. Pada tuturan tersebut terdapat frasa tak sesuai yang menjadi frasa kunci dari kritik ketidakadilan hukum. Frasa tak sesuai bermakna „tidak selaras‟ dan mengacu

pada „ketidaksesuaian antara Undang-Undang dan demokrasi‟.

Selain itu, kritik ketidakadilan pelaksanaan hukum terdapat dalam tuturan kunci Lain lagi dengan orang biasa, bila mereka curiga langsung masuk penjara tanpa bukti nyata. Tuturan tersebut bermakna „rakyat yang curiga akan masuk

penjara walaupun tidak ada bukti yang menyatakan mereka bersalah‟. Kata

mereka dalam tuturan tersebut merujuk pada orang biasa yang berarti rakyat. Pada Orde Baru, rakyat yang menentang pemerintahan ataupun yang sekedar


(46)

berprasangka akan langsung ditangkap karena dianggap sebagai tindakan subversif terhadap negara. Contohnya adalah pada tahun 1974 terjadi pembredelan beberapa koran dan majalah, seperti Indonesia Raya yang dipimpinan Muchtar Lubis ( https://ithum.wordpress.com/2008/02/28/data-data-kasus-pelanggaran-ham-semasa-orde-baru).

Sementara itu, contoh (12) mengkritik tentang lemahnya penegakan hukum. Hal tersebut dibuktikan oleh tuturan kunci Undang-Undang tampaknya sakit perut.Tuan tolong panggilkan dokter ahli untuk Indonesia yang kita cinta mungkin terkena wabah kolera. Dalam tuturan Undang-Undang tampaknya sakit perut terdapat frasa kunci, yaitu sakit perut. Tuturan tersebut menggunakan kiasan personifikasi karena Undang-Undang disamakan dengan manusia yang dapat menderita sakit perut. Menurut KBBI Edisi V, kata sakit perut berarti „berasa

tidak nyaman di tubuh bagian perut‟. Selain itu, terdapat pula kiasan allegori dalam tuturan Tuan tolong panggilkan dokter ahli untuk Indonesia yang kita cinta mungkin terkena wabah kolera. Tuturan tersebut menggunakan kiasan allegori untuk mengatakan bahwa Indonesia membutuhkan pemimpin baru agar lemahnya penegakan hukum tidak terus terjadi dan menular ke lembaga lainnya. Menurut KBBI Edisi V, kata kolera berarti „penyakit perut, disertai buang-buang air dan muntah-muntah, dapat menular disebabkan oleh basil, kuman‟.

Kritik tentang lemahnya penegakan hukum juga terdapat dalam tuturan kunci Undang-undang tampaknya sedang sakit jiwa. Tuan tolong panggilkan dokter ahli untuk Indonesia mungkin terkena wabah selesma. Dalam tuturan


(47)

jiwa. Tuturan tersebut menggunakan kiasan personifikasi karena Undang-Undang disamakan dengan manusia yang bisa sakit jiwa. Menurut KBBI Edisi V, kata

sakit jiwa berarti „sakit ingatan; gila‟. Selain itu, terdapat pula kiasan allegori dalam tuturan Tuan tolong panggilkan dokter ahli untuk Indonesia mungkin terkena wabah selesma. Tuturan tersebut menggunakan kiasan allegori untuk mengatakan bahwa Indonesia membutuhkan pemimpin baru agar tegas dan tidak takut dalam menegakan hukum. Menurut KBBI Edisi V, kata selesma berarti „sakit kedinginan sehingga mengeluarkan ingus; pilek‟.

2.3 Hal-hal yang Dikritik dalam Lagu “Semar Mendem”

Lagu ini diciptakan Iwan Fals pada tahun 1978 (https://id.wikipedia.org/ wiki/Iwan_Fals). Dalam lagu ini, terdapat satu tema besar yaitu ekonomi. Kritik yang disampaikan dalam lagu ini ada lima, yaitu pencitraan pemerintah, tekanan oleh pemerintah, intimidasi oleh pemerintah, penyalahgunaan kekuasaan, dan mahalnya harga. Berikut ini akan disajikan kritik pencitraan pemerintah, tekanan oleh pemerintah, intimidasi oleh pemerintah, penyalahgunaan kekuasaan, dan mahalnya harga dalam bentuk tabel.

Tabel 3: Hal-hal yang Dikritik dalam Lagu “Semar Mendem” No.

Data

Lirik Lagu Hal yang Dikritik

13 Dengan langkah tegap berjalan, seorang pria gendut ubanan, kau menyusuri lorong pasar dikawal ratusan kamera para wartawan untuk bahan obrolan buat isi koran.

Pencitraan Pemerintah


(48)

14 Gemetar para pedagang waktu melihat Semar datang mengoreksi harga makanan.

Mengoreksi harga makanan

Tekanan oleh Pemerintah

15 Langsung harga turun sekejap karena takut Semar menindak.

Intimidasi oleh penguasa 16 Ibu pejabat yang ikut rombongan, wah

kebetulan, mumpung ada Semar harga barang turun dia sikat.

Penyalahgunaan Kekuasaan

17 Setelah Semar selesai mengoreksi harga makanan, terpampang dalam surat kabar. Dengan resmi dia umumkan, harga sembilan bahan pokok tiada perubahan.

Pencitraan Pemerintah

18 Ketika ku belanja di pasar, kaget melihat harga barang.

Lalu kuhampiri seorang pedagang dan

kutanyakan, berapa harga daging ?, berapa sayur mayur?, berapa gula kopi?, berapa bawang putih?, berapa cabe merah?

Mengapa semua harga naik edan edanan? Tak cocok sama Semar waktu dia umumkan. “Baik adik akan saya tunjukkan” Kata para pedagang.

“Bila adik mau belanja lebih murah Pergi saja sana ke Semar ubanan Pergi saja sana ke Semar ubanan”.

Mahalnya harga

Konteks dalam lagu ini adalah ketidakstabilan ekonomi yang terjadi di Indonesia. Hal tersebut ditunjukkan oleh lirik dalam lagu ini yang mengkritik tentang harga bahan pokok yang mahal. Pada tahun 1973/1974, indeks biaya hidup mengalami kenaikan tertinggi selama pelaksanaan Repelita I. Dalam tahun tersebut, kenaikan angka indeks tercatat sebesar 47,4%. Kenaikan angka indeks tersebut terutama disebabkan oleh naiknya indeks sektor makanan, sektor perumahan, sektor pakaian dan sektor lain-lain ma-sing-masing sebesar 52,4%%,


(49)

32,2%, 55,3% dan 43,4% (www.bappenas.go.id/index.php/download_file/view/ 9885/1802).

Pada Repelita II, kenaikan harga barang berhasil ditekan dan terus menurun namun, kembali meningkat walaupun jumlahnya kecil. Dalam tahun 1977/78 sampai dengan akhir Pebruari 1978, kenaikan angka indeks biaya hidup baru mencapai 9,5%. Selama semester pertama tahun 1977/1978 indeks biaya hidup meningkat dengan 6,4% atau setiap bulannya naik dengan rata rata 1,0%. Kenaikan ter tinggi terjadi pada bulan September 1977 yaitu sebesar 1,6% hal mana disebabkan oleh kenaikan harga-harga yang umumnya terjadi men¬jelang Hari Raya Lebaran. Hampir semua bahan makanan harganya naik dengan pesat, tetapi harga beras menurun 1,5% sehingga sektor makanan hanya mengalami kenaikan sebesar 6,5% dalam semester 1977/1978 (www.bappenas.go.id /index.php/download_file/view/ 9885/1802).

Contoh (13) berisi kritik tentang pencitraan penguasa. Hal tersebut dibuktikan oleh tuturan kunci Dengan langkah tegap berjalan, seorang pria gendut ubanan, kau menyusuri lorong pasar dikawal ratusan kamera para wartawan untuk bahan obrolan buat isi koran. Kritik pencitraan pemerintah ditunjukkan oleh frasa kunci dikawal ratusan kamera yang berarti „diliput oleh ratusan wartawan‟. Tuturan tersebut menggunakan kiasan metafora yaitu seorang pria gendut ubanan yang mengacu pada Soeharto. Tuturan tersebut bermakna „Soeharto datang ke pasar dan diliput oleh ratusan wartawan hanya untuk dijadikan bahan omong kosong pada koran‟. Menurut KBBI Edisi V, kata obrolan


(50)

Pada contoh (14), berisi muatan kritik tekanan oleh pemerintah. Hal tersebut dibuktikan oleh tuturan kunci Gemetar para pedagang waktu melihat semar datang mengoreksi harga makanan. Dalam tuturan tersebut, kritik ditunjukkan oleh kata kunci gemetar. Menurut KBBI Edisi V, kata gemetar

berarti „bergetar anggota badan karena ketakutan (kedinginan dsb); menggigil karena ketakutan dsb‟.

Contoh (15) berisi muatan kritik tentang intimidasi oleh penguasa. Hal tersebut dibuktikan oleh tuturan kunci Langsung harga turun sekejap karena takut semar menindak. Dalam tuturan tersebut, kritik ditunjukkan oleh kata kunci takut.

Menurut KBBI Edisi V, kata takut berarti „merasa gentar (ngeri) menghadapi

sesuatu yang dianggap akan mendatangkan bencana‟.

Pada contoh (16), ditemukan muatan kritik penyalahgunaan kekuasaan. Hal tersebut dibuktikan oleh tuturan kunci Ibu pejabat yang ikut rombongan, wah kebetulan, mumpung ada semar harga barang turun dia sikat. Nama semar dalam tuturan tersebut menggunakan kiasan metafora yang merujuk pada nama Soeharto. Tuturan tersebut bermakna „Ibu pejabat yang ikut rombongan langsung merampas atau menyerobot habis-habisan barang dengan harga murah sewaktu Soeharto mengkoreksi harga barang‟. Menurut KBBI Edisi V, kata sikat dalam tuturan ini merupakan verba dan seharusnya menjadi kata menyikat yang berarti „merampas atau menyerobot habis-habisan‟.

Contoh (17) berisi muatan kritik pencitraan pemerintah. Hal tersebut dibuktikan oleh tuturan kunci Setelah Semar selesai mengoreksi harga makanan, terpampang dalam surat kabar, dengan resmi dia umumkan, harga sembilan


(51)

bahan pokok tiada perubahan. Tuturan tersebut bermakna „Soeharto

mengumumkan tidak ada kenaikan harga bahan pokok hanya dalam surat kabar karena diliput oleh ratusan wartawan, sedangkan kenyataan di pasar, harga bahan pokok tetap tinggi‟.

Pada contoh (18), ditemukan kritik tentang mahalnya harga. Hal tersebut dibuktikan oleh tuturan kunci Ketika ku belanja di pasar kaget melihat harga barang. Dalam tuturan tersebut, kritik ditunjukkan oleh kata kunci kaget.Menurut KBBI Edisi V, kaget memiliki arti „terperanjat; terkejut (karena heran)‟. Dalam

hal ini, kaget berisi muatan kritik mahalnya harga karena adanya ketidakselarasan antara surat kabar dan kenyataan yang ada sehingga dilontarkan pertanyaan-pertanyaan seputar harga bahan pokok.

Kritik tentang mahalnya harga juga terdapat dalam tuturan kunci Mengapa semua harga naik edan-edanan? Tak cocok waktu Semar umumkan. Pada tuturan tersebut terdapat kata kunci edan-edanan. Menurut KBBI Edisi V, kata edan-edanan berarti „gila-gilaan‟. Tuturan tersebut bermakna „harga bahan pokok naik

besar-besaran dan tidak sesuai dengan berita di koran‟.

Selain itu, kritik tentang mahalnya harga juga dibuktikan oleh tuturan kunci “Baik adik akan saya tunjukkan” Kata para pedagang. “Bila adik mau belanja lebih murah, pergi saja sana ke Semar ubanan". Tuturan tersebut bermakna „harga bahan pokok di pasar tetap mahal‟.


(52)

2.4 Hal-hal yang Dikritik dalam Lagu “Kisah Sapi Malam/Kisah PSK” Lagu ini diciptakan Iwan Fals pada tahun 1978 (https://id.wikipedia.org/ wiki/Iwan_Fals). Dalam lagu ini, terdapat satu tema besar yaitu sosial. Kritik yang disampaikan dalam lagu ini ada tiga, yaitu prostitusi, kesenjangan ekonomi, dan kebohongan. Berikut ini akan disajikan kritik prostitusi, kesenjangan ekonomi, dan kebohongan dalam bentuk tabel.

Tabel 4: Hal-hal yang Dikritik dalam Lagu “Kisah Sapi Malam /Kisah PSK”

No. Data

Lirik Lagu Hal yang Dikritik

19 Hei sapi malam siapa engkau ini?

Pinggul digoyang punya kota Karawang, mata jelalatan cari cukong buncit bermata sipit.

Prostitusi

20 Kau tertawa genit. Tampak si om buncit pakai Mercy biru, Bemo butut tak laku.

Kesenjangan Ekonomi 21 Soal materi atau cuma hobi?

Bila pulang kandang hari sudah pagi, muka pucat pasi jalan sruduk kanan kiri mirip orang mabuk terasi.

Kau tertawa genit. Tampak si om buncit pakai Mercy biru, Bemo butut tak laku.

Ayahmu nona seorang kyai. Ibumu nona pun guru ngaji.

Mengapa kau jalani hidup penuh dosa ini? Soal materi atau cuma hobi?

Bila pulang kandang hari sudah pagi, muka pucat pasi jalan seruduk kanan kiri mirip orang mabuk terasi.

Prostitusi

22 Kerja lembur, bilang pada bapak kyai Pergi pake Damri, pulang diantar Mercy. Mercy punya Pak Kusnadi


(53)

Konteks lagu ini adalah seorang gadis yang kecanduan prostitusi di Kerawang. Hal tersebut dibuktikan dari lirik lagu itu sendiri seperti tidak menghiraukan ayah dan ibunya yang merupakan tokoh agama. Di Kerawang, tempat prostitusi bernama Seer sudah ada sejak tahun 1970-an (http://www. karawanginfo.com/?p=9226). Hal tersebut mendukung konteks lagu ini karena lagu ini diciptakan tahun 1978 dan membuktikan bahwa kegiatan prostitusi sudah ada di Kerawang sekitar tahun tersebut.

Contoh (19) berisi kritik tentang prostitusi. Hal itu dibuktikan oleh tuturan kunci Hei sapi malam siapa engkau ini? Pinggul digoyang punya kota Karawang. Mata jelalatan cari cukong buncit bermata sipit. Kritik tentang prostitusi dibuktikan oleh penggunaan idiom sapi malam. Idiom sapi malam belum terdapat dalam kamus idiom namun, idiom kupu-kupu malam sudah terdapat dalam kamus idiom (Bandingkan Abdul Chaer 1984: 94). Kritik terhadap prostitusi yang melibatkan idiom sapi malam akan dibuktikan menggunakan teori semiotika Roland Barthes tentang makna denotatif dan makna konotatif. Makna denotatif dari sapi malam adalah sapi yang ada pada malam hari, sedangkan makna konotatif dari sapi malam adalah pekerja seks komersial. Hal ini terbukti dari kalimat hei sapi malam siapa engkau ini. Kata engkau pada kalimat tersebut menunjuk kepada seseorang yaitu sapi malam.

Pada contoh (20), terdapat muatan kritik kesenjangan ekonomi. Hal tersebut dibuktikan oleh tuturan kunci Kau tertawa genit. Tampak si om buncit pakai Mercy biru, Bemo butut tak laku. Tuturan tersebut bermakna „PSK ini lebih


(54)

Tuturan tersebut menunjukkan adanya kesenjangan ekonomi yang ditandai oleh perbandingan antara kendaraan mercy biru dan bemo butut.

Contoh (21) berisi kritik tentang prostitusi. Hal tersebut dibuktikan oleh tuturan kunci Soal materi atau cuma hobi?Bila pulang kandang hari sudah pagi. Muka pucat pasi jalan seruduk kanan kiri mirip orang mabuk terasi. Tuturan tersebut mengandung kritik prostitusi karena bermakna „seseorang pulang pagi dengan terburu-buru hingga tidak memperhatikan sekelilingnya karena bekerja sebagai PSK yang disebabkan masalah ekonomi atau hanya untuk menjalankan hobinya‟.

Kritik prostitusi juga terdapat dalam tuturan kunci Ayahmu nona seorang Kyai. Ibumu nona pun guru ngaji. Mengapa kau jalani hidup penuh dosa ini?

Kritik tentang prostitusi dibuktikan oleh kata kunci dosa. Menurut KBBI Edisi V, kata dosa berarti „perbuatan yang melanggar hukum Tuhan atau agama‟. Tuturan

tersebut bermakna „seseorang yang memiliki latar belakang keluarga yang agamis juga dapat terjerat oleh prostitusi‟.

Pada contoh (22) terdapat kritik tentang kebohongan. Hal tersebut dibuktikan oleh tuturan kunci Kerja lembur, bilang pada bapak Kyai. Pergi pake Damri, pulang diantar Mercy. Menurut KBBI Edisi V, lembur berarti „pekerjaan

dinas yang dikerjakan di luar jam dinas‟ dan kata dinas berarti „bagian kantor

pemerintahan yang mengurus pekerjaan tertentu‟. Berdasarkan pengertian tersebut, tuturan kerja lembur bilang pada bapak kyai terbukti mengandung kritik


(55)

kebohongan karena dari keseluruhan lagu tidak menceritakan adanya pekerjaan kantor atau pekerjaan pemerintahan.

2.5 Tabel Rekapitulasi

Dari ke tiga lagu yang dikaji, ditemukan sepuluh hal yang di kritik, yaitu (a) ketidakadilan pelaksanaan hukum, (b) lemahnya penegakan hukum, (c) pencitraan pemerintah, (d) tekanan oleh pemerintah, (e) intimidasi oleh pemerintah, (f) penyalahgunaan kekuasaan, (g) mahalnya harga, (h) prostitusi, (i) kesenjangan ekonomi, dan (j) kebohongan. Berdasarkan temuan pada butir 2.2 s.d. 2.4, dapat dibuat tabel rekapitulasi tentang hal-hal yang dikritik dalam lirik lagu “Demokrasi Nasi”, “Semar Mendem”, dan “Kisah Sapi Malam/Kisah PSK” karya Iwan Fals sebagai berikut.

Tabel 5: Hal-hal yang Dikritik dalam Lirik Lagu “Demokrasi Nasi”, “Semar Mendem”, dan “Kisah Sapi Malam” Karya Iwan Fals

Judul Lagu Tema Besar

Hal yang Dikritik Contoh Tuturan 1. Demokrasi Nasi Hukum 1. Ketidakadilan

Pelaksanaan Hukum

Anak seorang menteri membuat onar lagi, menembak sampai mati, kok gak ada sanksi?

Tentu tak sesuai dengan undang-undang di negeri ini yang katanya demokrasi.


(56)

Lain lagi dengan orang biasa, bila mereka curiga, langsung masuk penjara tanpa bukti nyata. 2. Lemahnya Penegakan Hukum Undang-Undang tampaknya sakit perut. Tuan tolong panggilkan dokter ahli untuk Indonesia yang kita cinta mungkin terkena wabah kolera. Undang-undang tampaknya sedang sakit jiwa. Tuan tolong panggilkan dokter ahli untuk Indonesia mungkin terkena wabah selesma. 2. Semar Mendem Ekonomi 3. Pencitraan

Pemerintah

Dengan langkah tegap berjalan, seorang pria gendut ubanan. Kau menyusuri lorong pasar dikawal ratusan kamera para

wartawan untuk bahan obrolan buat isi koran.

Setelah Semar selesai mengoreksi harga makanan, terpampang dalam surat kabar. Dengan resmi dia umumkan, harga sembilan bahan pokok tiada perubahan. 4. Tekanan oleh

Pemerintah

Gemetar para pedagang waktu melihat semar datang mengoreksi harga makanan.


(57)

5. Intimidasi oleh Pemerintah

Langsung harga turun sekejap karena takut semar menindak. 6. Penyalahgunaan

Kekuasaan

Ibu pejabat yang ikut rombongan,

wah kebetulan, mumpung ada semar harga barang turun dia sikat.

7. Mahalnya Harga Ketika ku belanja di pasar kaget melihat harga barang. Mengapa semua harga naik edan-edanan? Tak cocok waktu Semar umumkan.

“Baik adik akan saya tunjukkan” Kata para pedagang. “Bila adik mau belanja lebih murah, pergi saja sana ke Semar ubanan" 3 Kisah Sapi

Malam/Kisah PSK

Sosial 8. Prostitusi Hei sapi malam siapa engkau ini? Pinggul digoyang punya kota Karawang. Mata jelalatan cari cukong buncit bermata sipit. Soal materi atau cuma hobi? Bila pulang kandang hari sudah pagi. Muka pucat pasi jalan sruduk kanan kiri mirip orang mabuk terasi. Ayahmu nona seorang kyai. Ibumu nona pun guru ngaji. Mengapa kau jalani hidup penuh dosa ini?


(58)

9. Kesenjangan Ekonomi

Kau tertawa genit. Tampak si om buncit pakai Mercy biru, Bemo butut tak laku. 10. Kebohongan Kerja lembur, bilang

pada bapak Kyai. Pergi pake Damri pulang diantar Mercy.


(59)

BAB III

TINDAK TUTUR MENGKRITIK

DALAM TIGA LAGU IWAN FALS VERSI KONSER

3.1 Pengantar

Menurut Wijana (1996: 33) tindak tutur dapat dibedakan menjadi tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung, serta tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal. Bila tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung diinterseksikan dengan tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal, akan didapatkan empat interseksi tindak tutur, yaitu (a) tindak tutur langsung literal (LL), (b) tindak tutur tidak langsung literal (TLL), (c) tindak tutur langsung tidak literal (LTL), dan (d) tindak tutur tidak langsung tidak literal (TLTL).

Tindak tutur langsung literal (LL) adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama sesuai dengan maksud pengutaraannya. Tindak tutur tidak langsung literal (TLL) adalah tindak tutur yang diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud pengutaraannya, tetapi makna kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa yang dimaksudkan penutur. Tindak tutur langsung tidak literal (LTL) adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya. Tindak tutur tidak langsung tidak literal (TLTL)


(60)

adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat dan makna kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang hendak diutarakan (Bandingkan Wijana dan Rohmadi, 2011: 31).

Bab ini membahas interseksi berbagai jenis tindak tutur mengkritik dalam lirik lagu Iwan Fals versi konser yang berjudul “Demokrasi Nasi”, “Semar Mendem”, dan “Kisah Sapi Malam/Kisah PSK”. Interseksi berbagai jenis tindak tutur mengkritik didasarkan oleh hal-hal yang dikritik dalam lagu-lagu tersebut, yakni kritik tentang (a) ketidakadilan pelaksanaan hukum, (b) lemahnya penegakan hukum, (c) pencitraan pemerintah, (d) tekanan oleh pemerintah, (e) intimidasi oleh pemerintah, (f) penyalahgunaan kekuasaan, (g) mahalnya harga, (h) prostitusi, (i) kesenjangan ekonomi, dan (j) kebohongan.

3.2 Tindak Tutur Mengkritik Ketidakadilan Pelaksanaan Hukum

Untuk mengkritik ketidakadilan pelaksanaan hukum, Iwan Fals menggunakan dua tindak tutur, yaitu (a) tindak tutur langsung literal (LL) dan (b) tindak tutur tidak langsung literal (TLL).

3.2.1 Tindak Tutur Mengkritik Ketidakadilan Pelaksanaan Hukum Secara Langsung Literal (LL)

Berikut ini disajikan tindak tutur mengkritik ketidakadilan pelaksanaan hukum secara langsung literal (LL).

(23) Tentu tak sesuai dengan undang-undang di negeri ini yang katanya demokrasi.

(24) Lain lagi dengan orang biasa, bila mereka curiga langsung masuk penjara tanpa bukti nyata.


(61)

Contoh (23) dan (24) merupakan tindak tutur mengkritik ketidakadilan pelaksanaan hukum secara langsung literal (LL). Dikatakan langsung karena contoh (23) dan (24) menggunakan kalimat deklaratif untuk mengkritik sehingga modusnya sama dengan maksud tuturannya.

Contoh (23) dan (24) disebut literal karena makna kata-kata penyusunnya sesuai dengan yang dimaksudkan penutur yaitu mengkritik ketidakadilan pelaksanaan hukum. Pada contoh (23) digunakan frasa tak sesuai yang bermakna „tidak selaras‟ untuk mengungkapkan ketidakadilan pelaksanaan hukum. Contoh (24) menggunakan kalimat deklaratif Lain lagi dengan orang biasa, bila mereka curiga langsung masuk penjara tanpa bukti nyata yang bermakna „rakyat yang

curiga akan masuk penjara walaupun tidak ada bukti yang menyatakan mereka bersalah‟ untuk menerangkan kritik ketidakadilan pelaksanaan hukum.

3.2.2 Tindak Tutur Mengkritik Ketidakadilan Pelaksanaan Hukum Secara Tidak Langsung Literal (TLL)

Berikut ini disajikan tindak tutur mengkritik ketidakadilan pelaksanaan hukum secara tidak langsung literal (TLL).

(25) Anak seorang menteri membuat onar lagi, menembak sampai mati, kok nggak ada sangsi?

Contoh (25) merupakan tindak tutur mengkritik ketidakadilan pelaksanaan hukum secara tidak langsung literal (TLL). Dikatakan tidak langsung karena menggunakan kalimat interogatif yang ditunjukkan oleh frasa nggak ada sanksi


(1)

Baryadi, I. Praptomo. 2015. Teori-Teori Linguistik Pascastruktural Memasuki Abad Ke-21. Yogyakarta: PT Kanisius.

Chaer, Abdul. 1984. Kamus Idiom Bahasa Indonesia. Ende-Flores: Nusa Indah.

Kesuma, Tri Mastoyo Jati. 2007. Pengantar (Metode) Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Carasvatibooks.

Leech, Geoffrey. 1983. Principles of Pragmatics. USA: Longman Group Limited.

Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Diterjemahkan oleh Oka, M.D.D. Jakarta: Universitas Indonesia.

Mahrofah. 2012. “Unsur Kesastraan Lirik Lagu-lagu dalam Album Manusia Setengah Dewa karya Iwan Fals”. Skripsi di program Studi Pendidikan Bahasa dan Seni, Universitas Jember, Jember.

Nugraha, Stefanus Kendra. 2015. “Hal-hal yang Dikritik dan Tindak Tutur Mengkritik dalam 16 Lagu Grup Musik “SLANK”. Skripsi di program Studi Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Puspitasari, Widia Santi. 2010. “Kritik Sosial dalam Lirik Lagu (Studi

Semiotik tentang Pemaknaan Lirik Lagu “Besar dan Kecil” karya

Iwan Fals)”. Skripsi di Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran”, Surabaya.

Putrayasa, Ida Bagus. 2014. Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Rachmawati, Previ Windi. 2014. “Konteks dan Inferensi Lirik Lagu Iwan Fals : Tinjauan Analisis Wacana”. Skripsi di Program Studi Sastra Indonesia, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Sembiring, Jusia. 2013. “Representasi Kehidupan Sosial Masyarakat Indonesia dalam Lirik Lagu Iwan Fals (Analisis Semiotika Lirik

Lagu Iwan Fals yang Berjudul „Ujung Aspal Pondok Gede‟)”. Skripsi di Program Studi Ilmu Komunikasi Ekstensi, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Soemanang, Muttaqin. 2013. ”Analisis Struktur Lagu “Puing” Karya Iwan Fals”. Skripsi di Program Studi Pendidikan Seni, Drama, tari, dan Musik, Universitas Negeri Semarang, Semarang.


(2)

Sudaryanto, 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Sudaryanto, 2015. Metode dan Teknik Analisis Bahasa: Pengantar

Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press.

Sugiyono, dkk. (eds.). 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi V (edisi daring). Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Sutondo, Agus. 2015. “Ingat Jendral, Hari ini 42 tahun yang Lalu”.

www.kompasiana.com/tamanaspirasitumaritis-agussutondo/ingat-jenderal-hari-ini-42-tahun-yang-lalu_5518215281331101699de7cf diunduh pada Rabu, 3 Mei 2017 pukul 13.16 WIB.

Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Offset.

Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2011. Analisis Wacana Pragmatik: Kajian Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka. KarIn, Tim. 2012. “Seer, Lokalisasi PSK Di Pusat Karawang”.

www.karawanginfo.com/?p=9226 diunduh pada 1 Mei 2017 pukul 19.36 WIB.


(3)

LAMPIRAN

LIRIK LAGU DAN SUMBER DATA

(Data diambil dari iwanfalsmania.blogspot.co.id)

1. Demokrasi Nasi (1978)

Ada lagi sebuah perkara Tentang nyawa manusia Kisah ini memang sudah lama Tapi benar terjadi

Anak seorang menteri Membuat onar lagi Menembak sampai mati Kok nggak ada sangsi?

Tentu tak sesuai dengan undang-undang Di negeri ini yang katanya demokrasi Lain lagi dengan orang biasa

Bila mereka curiga Langsung masuk penjara Tanpa bukti nyata Mengapa?

Mengapa?

Undang-undang tampaknya sakit perut Tuan tolong panggilkan dokter ahli Untuk Indonesia yang sisa hidupnya Mungkin terkena wabah kolera

Undang-undang tampaknya sedang sakit Tuan tolong panggilkan dokter ahli Untuk Indonesia


(4)

2. Semar Mendem (1978)

Dengan langkah tegap berjalan Seorang pria gendut ubanan Kau menyusuri lorong pasar

Dikawal ratusan kamera para wartawan Untuk bahan obrolan buat isi koran Gemetar para pedagang

Waktu melihat Semar datang Mengoreksi harga makanan Mengoreksi harga makanan Langsung harga turun sekejap Karena takut Semar menindak Ibu pejabat yang ikut rombongan Wah kebetulan mumpung ada semar Harga barang turun dia sikat

Setelah Semar selesai Mengoreksi harga makanan Terpampang dalam surat kabar Dengan resmi dia umumkan

Harga sembilan bahan pokok tiada perubahan Ketika ku belanja di pasar

Kaget melihat harga barang Lalu kuhampiri seorang pedagang Dan kutanyakan

Berapa harga daging ? Berapa sayur mayur ? Berapa gula kopi ? Berapa bawang putih ? Berapa cabe merah ?

Mengapa semua harga naik edan edanan ? Tak cocok sama Semar waktu dia umumkan Baik adik akan saya tunjukkan

Kata para pedagang

Bila adik mau belanja lebih murah Pergi saja sana ke Semar ubanan Pergi saja sana ke Semar ubanan


(5)

3. Kisah Sapi Malam/Kisah PSK (1978)

Hei sapi malam siapa engkau ini? Pinggul digoyang punya kota Karawang Mata jelalatan cari cukong buncit bermata sipit

Kau tertawa genit tampak si om buncit Pakai Mercy biru bemo butut tak laku

Soal materi atau cuma hobi?

Bila pulang kandang hari sudah pagi Muka pucat pasi jalan sruduk kanan kiri Mirip orang mabuk terasi

Kau tertawa genit tampak si om buncit Pakai mercy biru bemo butut tak laku

Ayahmu nona seorang kyai Ibumu nona pun guru ngaji

Mengapa kau jalani hidup penuh dosa ini?

Soal materi atau cuma hobi

Bila pulang kandang hari sudah pagi Muka pucat pasi jalan sruduk kanan kiri Mirip orang mabuk terasi

Kerja lembur bilang pada bapak kyai Pergi pake Damri pulang diantar Mercy Mercy punya pak Kusnadi


(6)

BIOGRAFI

Beto Adhi Nugroho atau yang lebih akrab disapa Beto lahir di Pangkalpinang, 13 Januari 1995. Pria asal Bangka Belitung ini merupakan anak ke dua dari tiga bersaudara. Ia memiliki hobi olahraga, bernyanyi, menulis, bermain game, dan mendengarkan musik. Pada tahun 2007, ia lulus dari SD ST. Theresia I. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan ke SMP ST. Theresia dan lulus pada tahun 2010. Setelah lulus SMP, ia melanjutkan sekolah ke SMA Santo Yosef dan dinyatakan lulus pada tahun 2013.

Setelah lulus SMA, ia memutuskan untuk kuliah di Universitas Sanata Dharma jurusan Sastra Indonesia. Selama menjadi mahasiswa, ia aktif dalam kegiatan Himpunan Mahasiswa Prodi Sastra Indonesia (HMPS) dan Bengkel Sastra. Selain itu, ia juga aktif di UKF Basket sastra dan UKM Band SEXEN Sanata Dharma.