PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL SESAMA ANAK Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Seksual Sesama Anak Di Bawah Umur (Studi Kasus Di Wilayah Kota Klaten).

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL SESAMA ANAK

DI BAWAH UMUR

(Studi Kasus Di Wilayah Kota Klaten)

NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI

Oleh:

NUR RESTIANA DEVIE C. 100 080 147

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2012


(2)

(3)

(4)

ABSTRAK

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Seksual Sesama Anak Di Bawah Umur (Studi Kasus Di Wilayah Kota Klaten). Nur Restiana Devie. Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta. Penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Seksual Sesama Anak dalam Proses Peradilan Pidana dan sudah terpenuhi atau belum hak-hak pelaku anak di bawah umur berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris bersifat diskriptif, dengan cara melakukan penelitian mengenai Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana di Kota Klaten. Berdasarkan pembahasan dihasilkan 2 (dua) kesimpulan yaitu: Pertama, perlidungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana kekerasan seksual sesama anak di bawah umur berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak belum sepenuhnya dapat diterapkan dalam proses peradilan pidana yang sebenarnya. Kedua, belum terpenuhinya Pemenuhan hak-hak pelaku tindak pidana kekerasan seksual untuk memperoleh Perlindungan Hukum dalam proses peradilan pidana di Kota Klaten.

Kata kunci: perlindungan hukum, anak pelaku tindak pidana kekerasan seksual.

ABSTRACT

Legal Protection Against Child For Crime Perpetrators of Sexual Violence Fellow Children Under Age (Case Studies in Urban Area Klaten). Nur Restiana Devie.Law of Faculty, Muhammadiyah University of Surakarta.

Legal research aims to determine the legal protection against criminal child sexual abuse among children in the criminal justice process and have been met or not the rights of minors offender pursuant to Act No. 3 of 1997 on Anakn Courts and Law 23 Year 2002 on child Protection. This research is descriptive empirical law, by doing research on the legal protection of child offenders in the City of Klaten. Based on the discussion generated 2 (two) conclusion, the first legal protection of children as perpetrators of sexual violence among minors pursuant to Act No. 3 of 1997 on Juvenile Justice has not been fully implemented in the actual process of criminal justice. Second, not being able fulfillment of these rights perpetrators of sexual violence to obtain protection laws in the criminal justice process in the City of Klaten.


(5)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL SESAMA ANAK

DI BAWAH UMUR

(Studi Kasus Di Wilayah Kota Klaten)

PENDAHULUAN

Anak merupakan bagian dari generasi muda yang akan meneruskan perjuangan dan cita-cita bangsa, mereka harus diberikan arahan yang benar agar tidak terjerumus pada perilaku menyimpang. Perilaku-perilaku menyimpang yang dijumpai di kalangan anak, menyebabkan anak tersebut mudah terseret pada pergaulan yang kurang sehat atau sering disebut Pergaulan Bebas, tak terkecuali anak dapat melakukan tindak pidana kekerasan seksual.

Sepanjang tahun 2011 Komisi Nasional Perlindungan Anak menerima 1.851 pengaduan anak yang berhadapan dengan hukum (anak sebagai pelaku) yang diajukan ke pengadilan. Angka ini meningkat dibanding pengaduan pada tahun 2010, yakni 730 kasus. Hampir 52 persen dari angka tersebut adalah kasus pencurian diikuti dengan kasus kekerasan, perkosaan, narkoba, perjudian, serta penganiayaan dan hampir 89,8 persen kasus anak yang berhadapan dengan hukum berakhir pada pemidanaan atau diputus pidana.1

Oleh karena itu, perlu adanya jaminan hukum bagi kegiatan perlindungan anak. Untuk itu, kegiatan perlindungan anak setidak-tidaknya memiliki dua aspek.

1

Komisi Perlindungan Anak, 2011, Menggugat Peran Negara, Pemerintah, Masyarakat dan

Orang Tua dalam Menjaga dan Melindungi Anak,

http://komnaspa.wordpress.com/2011/12/21/catatan-akhir-tahun-2011-komisi-nasional-perlindungan-anak. Diakses tanggal 31 Maret 2012. Pukul 18.35 WIB.


(6)

Aspek pertama, berkaitan dengan kebijkan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan hak-hak anak. Aspek kedua, menyangkut pelaksanaan kebijakan dan peraturan perundang-undangan tersebut.2

Perumusan masalah yang hendak dikemukakan adalah sebagai berikut: (1) Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana kekerasan seksual sesama anak di bawah umur, dan (2) Bagaimana realita perlindungan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana kekerasan seksual sesama anak dalam proses peradilan pidana di Kota Klaten.

Tujuan penelitian dan manfaat penelitian sebagai berikut: (1) Tujuan Penelitian: (a) Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana kekerasan seksual sesama anak di bawah umur, (b) Untuk mengetahui realita perlindungan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana kekerasan seksual sesama anak dalam proses peradilan pidana di Kota Klaten; (2) Manfaat penelitian dibedakan menajdi dua bentuk: (a) Manfaat Teoritis: 1) Diharapkan memberikan pengetahuan tentang perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana kekerasan seksual sesama anak dipandang dalam perspektif hukum pidana Indonesia yang berada di wilayah Kota Klaten, 2) Dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan dalam bidang hukum pidana anak pada khususnya dan hukum pidana pada umumnya, (b) Manfaat Praktis: Sebagai bahan masukan bagi pemerintah, aparat penegak hukum, masyarakat dan juga para orangtua dalam menghadapi anak yang melakukan suatu tindak pidana namun dengan tetap memperhatikan perlindungan terhadap anak.

2 Nashriana, 2011, Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers,


(7)

KERANGKA PEMIKIRAN

Perlindungan anak adalah “suatu usaha melindungi anak agar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya secara seimbang dan manusiawi”.3 Perlindungan anak dapat dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung. Secara langsung, maksudnya kegiatan tersebut langsung ditujukan kepada anak yang menjadi sasaran penanganan langsung. Sementara itu, yang dimaksud dengan perlindungan anak secara tidak langsung adalah kegiatan yang tidak langsung ditujukan kepada anak, melainkan orang lain yang terlibat atau melakukan kegiatan dalam usaha perlindungan terhadap anak tersebut.4 Sistem yang dianut oleh negara Indonesia adalah sistem pertanggung-jawaban yang mengatakan bahwa, “Semua anak, asal jiwanya sehat dianggap mampu bertanggungjawab dan dituntut”.5

METODE PENELITIAN

Pada penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian yuridis empiris. Peneliti selain mempelajari beberapa perundang-undangan dan buku-buku yang merupakan literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti, juga melakukan penelitian lapangan dalam rangka mengolah dan menganalisis data yang dikemukakan sebagai pembahasan.

3

Shanty Dellyana, 2004, Wanita dan Anak di Mata Hukum, Yogyakarta: Liberty, hal. 50.

4

Maidin Gultom, 2010, Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana

Anak di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, hal 37-38.

5 E.Y. Ranter dan S.R. Sianturi, 1982, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,


(8)

PEMBAHASAN

A. Perlindungan Hukum terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Seksual Sesama Anak di Bawah Umur

1. Tingkat Penyidikan

Pada proses peradilan anak, penyidik6 yang melakukan penyidikan7 berdasarkan Pasal 41 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak adalah penyidik anak. Syarat-syarat untuk menjadi Penyidik anak (Pasal 41 ayat (2)). Penyidikan terhadap anak nakal berlangsung dalam suasana kekeluargaan (Pasal 42 ayat (1)), dan untuk itu penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan (Pasal 42 ayat (2)). Proses penyidikan anak nakal, wajib dirahasiakan (Pasal 42 ayat (3)). Tindakan yang dapat dilakukan dalam penyidikan oleh seorang penyidik menurut ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf d KUHAP adalah melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. Tetapi dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak hanya mengatur tentang hal penahanan dan penangkapan.

6

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, “Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai

negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”.

7Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum

Acara Pidana, “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara

yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.


(9)

2. Tingkat Penuntutan

Pada proses peradilan anak, struktur pidana yang selanjutnya yang berperan adalah Jaksa8 atau Penuntut Umum9 anak. Dan yang berwenang untuk melakukan penuntutan terhadap anak yang didakwa melakukan tindak pidana adalah Penuntut Umum Anak. Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.10 Dalam hal jaksa melakukan tugas penuntutan yang sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (7), Pasal 14, Pasal 110 ayat (3), Pasal 138 KUHAP sebagai pedoman pelaksanaan penuntutan dan prapenuntutan; juga harus memperhatikan ketentuan-ketentuan penuntutan yang diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung, Nomor 3 Tahun 1959; khususnya yang mengatur tentang sikap jaksa dan cara jaksa dalam melakukan tugas penuntutan terhadap seorang anak yang menjadi terdakwa.11

3. Tingkat Persidangan a.Hakim Anak

Pada dasarnya, hakim yang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara anak nakal di peradilan tingkat pertama/pengadilan

8 Pasal 1 angka 6 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang

Hukum Acara Pidana, “Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini

untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”

9 Pasal 1 angka 6 huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang

Hukum Acara Pidana, “Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang

ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim” 10 Nashriana, Op.Cit, hal. 129.

11Maulana Hasan Wadong, 2000, Pengantar Advokasi Dan Perlindungan Anak, Jakarta: Grasindo,


(10)

negeri disebut Hakim Anak ( Pasal 1 butir 7 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak). Hakim Anak ini ditetapkan dengan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usul Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan melalui Ketua Pengadilan Tinggi (Pasal 9 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak). Hakim memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat pertama sebagai hakim tunggal. Adapun syarat-syarat untuk dapat diangkat sebagai Hakim Anak sesuai dengan ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

b. Penyidangan Perkara Anak

Berdasarkan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dalam perkara anak nakal, penuntut umum, penasehat hukum, pembimbing kemasyarakatan, orang tua/wali/orang tua asuh, dan saksi wajib hadir di sidang anak. Pada prinsipnya tindak pidana yang dilakukan oleh anak adalah tanggung jawab anak itu sendiri, akan tetapi oleh karena terdakwa adalah seorang anak, maka tidak dapat dipisahkan kehadiran orang tua, wali, orang tua asuhnya.12 Adapun acara pengadilan anak adalah sebagai berikut:13 (a) Hakim, Penuntut Umum, Penyidik dan Penasihat Hukum serta petugas lainnya tidak memakai toga (Pasal 6 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak), (b) Disidangkan dengan Hakim Tunggal (Pasal 11 Undang-undang Nomor

12 Nashriana, Op.Cit, hal. 138


(11)

3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak), (c) Laporan Pembimbing Kemasyarakatan (Pasal 56 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak), (d) Terdakwa Didampingi Orang Tua, Penasehat Hukum, dan Pembimbing Kemasyarakatan (Pasal 57 ayat (2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak), (e) Putusan Hakim (Pasal 59 ayat (3) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak).

B. Realita Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Seksual Sesama Anak Dalam Proses Peradilan Pidana di Kota Klaten

1. Proses Penyidikan

Pada proses penyidikan, pelaku MMR, IRT, dan RWN hak-haknya sebagai pelaku tindak pidana masih terabaikan dan diperlakukan yang seharusnya tidak diperintahkan oleh Undang-undang Pengadilan anak. Dalam pemeriksaan penyidikan, anak diperlakukan tidak layak. Hak-hak anak dari ketiga pelaku tindak pidana kekerasan seksual dalam pemeriksaan penyidikan yang masih dilanggar oleh penyidik berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak yakni sebagai berikut:

a) Pemeriksaan dalam Suasana Kekeluargaan

Pasal 42 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan anak yang berbunyi bahwa:


(12)

“Penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan”.

Tetapi pada kenyataannya dari masing-masing ketiga anak pelaku tindak pidana yakni MMR, IRT, dan RWN tidak mendapatkan perlakuan yang baik dari penyidik yang menyidik ketiga anak tersebut. Ketiga anak tersebut merasa hak-haknya belum terpenuhi dalam pemeriksaan penyidikan. Ketiga anak tersebut diperlakukan sama yakni diperlakukan oleh penyidk dengan cara dipaksa, dibentak-bentak dan ditakut-takuti.

Jadi dalam hal ini, penyidik masih mementingkan dirinya sendiri untuk dapat memperoleh keterangan dari ketiga pelaku tindak pidana tanpa memperhatikan hak-hak mereka sebagai anak. Dalam Pasal 66 ayat (5) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga menyebutkan bahwa:

“Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapat perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali dengan kepentingannya.

Jadi dalam hal apapun anak tetap berhak mendapat perlakukan secara manusiawi tanpa mengurangi hak-hak anak meskipun anak secara hukum telah melakukan perbuatan pidana. Karena menurut petugas BAPAS juga menjelaskan bahwa selama anak dimintai keterangan seputar kehidupan sehari-harinya dan peristiwa yang terjadinya waktu itu, pihak BAPAS tidak ada


(13)

kendala sama sekali untuk memeproleh keterangan dari anak tersebut.

RWN bisa berkata bahwa “Hukum di indosesia tidak adil untuk kami, hukum di indoseia bobrok (hukum di Indonesia rusak)”.

b) Penyidik Wajib Meminta Pertimbangan Pembimbing Kemasyarakatan

Hasil studi dilapangan dalam hal penyidik wajib meminta pertimbangan Pembimbing Kemasyarakatan juga masih diabaikan oleh penyidik, sesuai dengan ketentaun Pasal 42 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang pengadilan anak.

Pada dasarnya Pasal tersebut memang tidak mengatur secara khusus prosedur yang seharusnya dilaksanakan oleh Petugas BAPAS. Karena dalam realita ketiga anak pelaku tindak pidana dalam pemeriksaan penyidikan, mereka tidak didampingi oleh pembimbing kemasyarakatan yang seharusnya ada di samping mereka. Petugas Bapas juga menjelaskan bahwa “Selama ini petugas BAPAS belum pernah mendampingi anak pelaku tindak pidana dalam proses penyidikan. Karena penyidik melakukan penyidikan di malam hari atau di luar jam kerja. Jadi petugas BAPAS hanya mendampingi anak pelaku tindak pidana dalam proses persidangan”. Karena penyidik baru mengirimkan surat untuk melakukan peneletian terhadap pelaku tindak pidana setelah


(14)

BAP jadi. Padahal seharusnya di dalam Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan Anak, waktu penyidik melakukan penyidikan terhadap anak pelaku tindak pidana untuk membuat BAP penyidik harus melihat atau mempertimbangkan saran-saran dari hasil penelitan kemasyarakatan (LITMAS).

Berdasarkan realita ketiga anak pelaku tindak pidana dalam pemeriksaan penyidikan, mereka tidak didampingi oleh pembimbing kemasyarakatan. Karena penyidik melakukan penyidikan di malam hari atau di luar jam kerja, Petugas BAPAS hanya mendampingi anak pelaku tindak pidana dalam proses persidangan”.

Berdasarkan Undang-undang yang mengatur kewajiban seorang penyidik anak masih diabaikan oleh penyidik. Yang seharusnya dalam hal ini penyidik wajib meminta pertimbangan dan saran dari Pembimbing Kemasyarakatan.

c) Tempat Penahanan Terpisah dari Tahanan Dewasa

Pasal 44 ayat (6) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak yang mengatur tentang Penahanan terhadap anak dilaksanakan di tempat khusus untuk anak di lingkungan Rumah Tahanan Negara, Cabang Rumah Tahanan Negara, atau di tempat tertentu. Tetapi pada kenyataannya aparat penegak hukum khususnya penyidik di Kepolisian Resor Klaten tidak memperhatikan ketentuan-ketentuan yang mengatur adanya


(15)

penahanan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dengan secara sengaja mengabaikan hak-hak mereka.

2. Proses Penuntutan

Pada proses penuntutan pelaku MMR, IRT, dan RWN hak-haknya sebagai pelaku tindak pidana juga masih terabaikan. Sesuai dengan ketentuan mengenai Pasal 51 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak pada pemeriksaan penuntutan, anak berhak berhubungan langsung dengan Penasehat hukum. Meskipun penuntut umum menawarkan bantuan penasehat hukum kepada pelaku tindak pidana, tetapi mketiga anak pelaku tindak pidana dalam pemeriksaan penuntutan tidak didampingi oleh penasehat hukum mereka. Karena baik orangtua, Penasehat hukum dan petugas Balai Pemasyarakatan harus selalu mendampingi anak pelaku tindak pidana dalam setiap tahap proses peradilan pidana agar hak-hak anak pelaku tindak pidana tidak terabaikan oleh aparat penegak hukum.

PENUTUP Kesimpulan

1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak telah merumusakan beberapa ketentuan yang mengatur mengenai cara bagaimana para aparat penegak hukum dapat melaksanakan tugasnya sebagai alat negara sesuai dengan ketentuan yang sudah ada dalam KUHAP untuk menjatuhkan pidana kepada anak pelaku tindak pidana kekerasan seksual. Berikut ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai bagaimana alat Negara tersebut


(16)

dapat melaksanakan kewajibannya dalam proses peradilan pidana yakni sebagai berikut: a. Tingkat penyidikan: Pasal 41 ayat (1), Pasal 41 ayat (2), Pasal 42 ayat (1), Pasal 42 ayat (2), Pasal 42 ayat (3), Pasal 44 ayat (2), Pasal 44 ayat (3), Pasal 45 ayat (3), dan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak; b. Tingkat Penuntutan: Pasal 53, Pasal 54 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak merumuskan mengenai dari hasil penyidikan, maka Penuntut umum wajib dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana; c. Tingkat Sidang di Pengadilan: Pasal 6 Pasal 11, Pasal 57 ayat (2), Pasal 59 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

2. Realita perlindungan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana dalam proses peradilan pidana ada bebrapa hak-hak anak pelaku tindak pidana yang dilanggar oleh aparat penegak hukum dan tidak sesuai dengan yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yakni sebagai berikut: a. Proses Penyidikan: Dari ketiga kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak, Penyidik anak melanggar ketentuan Pasal 42 ayat (1) mengenai Pemeriksaan dalam Suasana Kekeluargaan, Pasal 42 ayat (2) mengenai Penyidik Wajib Meminta Pertimbangan Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pasal 44 ayat (6) mengenai Tempat penahanan terpisah dari tahanan dewasa yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak; b. Proses Penuntutan: Pada proses penuntutan penuntut anak, melanggar ketentuan Pasal 53 ayat (3) mengenai


(17)

pemeriksaan penuntutan, anak berhak berhubungan langsung dengan Penasehat hukum sesuai dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan anak.

Dengan demikian perlindungan hukum terhadap anak pelaku tindak kekerasan seksual belum sepenuhnya dilaksanakan seperti yang telah diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan anak. Masih banyak hak-hak anak yang belum dilaksanakan dengan baik. Oleh karena itu dibutuhkan kerjasana yang menyeluruh bukan hanya dari aparat penegak hukum dan anak pelaku tindak pidana, akan tetapi juga dari pemerintah untuk lebih mengawasi terlaksananya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan anak dan memperhatikan sarana dan prasarana serta fasilitas agar hukum dapat berjalan dengan semestinya.

Saran

1. Bagi para pihak pembuat Undang-Undang, hendaknya diadakakan pengkajian ulang terhadap Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak agar hak-hak anak dalam proses peradilan pidana tidak diabaikan oleh aparat penegak hukum, dan tidak hanya itu saja akan tetapi juga pemerintah harus lebih mengawasi terlaksananya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak setelah diamandemen karena untuk lebih mengedepankan kepentingan anak.

2. Bagi pihak yang menangani perkara anak pelaku tindak pidana, hendaknya para aparat penegak hukum lebih bisa melakukan pendekatan psikologis


(18)

dengan anak pelaku tindak pidana agar dapat lebih dipahami dengan baik oleh anak, karena perlindungan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana kekerasan seksual dalam proses peradilan pidana memang belum terlaksana dengan baik sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Dengan demikian diharapkan anak pelaku tindak pidana lebih bisa bekerjasama selama menjalani pemeriksaan di setiap tingkatan dan aparat penegak hukum dapat melaksanakan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.


(19)

DAFTAR PUSTAKA Buku

Dellyana, Shanty, 2004, Wanita dan Anak di Mata Hukum, Yogyakarta: Liberty. Gultom, Maidin, 2010, Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Sistem

Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung : Refika Aditama.

Nashriana, 2011, Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers.

Ranter, E.Y. & Sianturi S.R, 1982, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni AHM-PTHM.

Wadong, Maulana Hasan, 2000, Pengantar Advokasi Dan Perlindungan Anak, Jakarta: Grasindo.

Wahid, Abdul & Muhammad Irfan, 2011, Perlidungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan), Bandung: Rafika Adhitama.

Willis, Sofyan S, 2008, “Remaja dan Masalahnya”, Bandung: Alfabeta.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Sumber Lain

Internet:

Komisi Perlindungan Anak, 2011, Menggugat Peran Negara, Pemerintah, Masyarakat dan Orang Tua dalam Menjaga dan Melindungi Anak, http://komnaspa.wordpress.com/2011/12/21/catatan-akhir-tahun-2011-komisi-nasional-perlindungan-anak. Diakses tanggal 31 Maret 2012. Pukul 18.35 WIB.


(1)

BAP jadi. Padahal seharusnya di dalam Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan Anak, waktu penyidik melakukan penyidikan terhadap anak pelaku tindak pidana untuk membuat BAP penyidik harus melihat atau mempertimbangkan saran-saran dari hasil penelitan kemasyarakatan (LITMAS).

Berdasarkan realita ketiga anak pelaku tindak pidana dalam pemeriksaan penyidikan, mereka tidak didampingi oleh pembimbing kemasyarakatan. Karena penyidik melakukan penyidikan di malam hari atau di luar jam kerja, Petugas BAPAS hanya mendampingi anak pelaku tindak pidana dalam proses persidangan”.

Berdasarkan Undang-undang yang mengatur kewajiban seorang penyidik anak masih diabaikan oleh penyidik. Yang seharusnya dalam hal ini penyidik wajib meminta pertimbangan dan saran dari Pembimbing Kemasyarakatan.

c) Tempat Penahanan Terpisah dari Tahanan Dewasa

Pasal 44 ayat (6) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak yang mengatur tentang Penahanan terhadap anak dilaksanakan di tempat khusus untuk anak di lingkungan Rumah Tahanan Negara, Cabang Rumah Tahanan Negara, atau di tempat tertentu. Tetapi pada kenyataannya aparat penegak hukum khususnya penyidik di Kepolisian Resor Klaten tidak memperhatikan ketentuan-ketentuan yang mengatur adanya


(2)

penahanan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dengan secara sengaja mengabaikan hak-hak mereka.

2. Proses Penuntutan

Pada proses penuntutan pelaku MMR, IRT, dan RWN hak-haknya sebagai pelaku tindak pidana juga masih terabaikan. Sesuai dengan ketentuan mengenai Pasal 51 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak pada pemeriksaan penuntutan, anak berhak berhubungan langsung dengan Penasehat hukum. Meskipun penuntut umum menawarkan bantuan penasehat hukum kepada pelaku tindak pidana, tetapi mketiga anak pelaku tindak pidana dalam pemeriksaan penuntutan tidak didampingi oleh penasehat hukum mereka. Karena baik orangtua, Penasehat hukum dan petugas Balai Pemasyarakatan harus selalu mendampingi anak pelaku tindak pidana dalam setiap tahap proses peradilan pidana agar hak-hak anak pelaku tindak pidana tidak terabaikan oleh aparat penegak hukum.

PENUTUP Kesimpulan

1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak telah merumusakan beberapa ketentuan yang mengatur mengenai cara bagaimana para aparat penegak hukum dapat melaksanakan tugasnya sebagai alat negara sesuai dengan ketentuan yang sudah ada dalam KUHAP untuk menjatuhkan pidana kepada anak pelaku tindak pidana kekerasan seksual. Berikut


(3)

dapat melaksanakan kewajibannya dalam proses peradilan pidana yakni sebagai berikut: a. Tingkat penyidikan: Pasal 41 ayat (1), Pasal 41 ayat (2), Pasal 42 ayat (1), Pasal 42 ayat (2), Pasal 42 ayat (3), Pasal 44 ayat (2), Pasal 44 ayat (3), Pasal 45 ayat (3), dan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak; b. Tingkat Penuntutan: Pasal 53, Pasal 54 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak merumuskan mengenai dari hasil penyidikan, maka Penuntut umum wajib dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana; c. Tingkat Sidang di Pengadilan: Pasal 6 Pasal 11, Pasal 57 ayat (2), Pasal 59 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

2. Realita perlindungan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana dalam proses peradilan pidana ada bebrapa hak-hak anak pelaku tindak pidana yang dilanggar oleh aparat penegak hukum dan tidak sesuai dengan yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yakni sebagai berikut: a. Proses Penyidikan: Dari ketiga kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak, Penyidik anak melanggar ketentuan Pasal 42 ayat (1) mengenai Pemeriksaan dalam Suasana Kekeluargaan, Pasal 42 ayat (2) mengenai Penyidik Wajib Meminta Pertimbangan Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pasal 44 ayat (6) mengenai Tempat penahanan terpisah dari tahanan dewasa yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak; b. Proses Penuntutan: Pada proses penuntutan penuntut anak, melanggar ketentuan Pasal 53 ayat (3) mengenai


(4)

pemeriksaan penuntutan, anak berhak berhubungan langsung dengan Penasehat hukum sesuai dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan anak.

Dengan demikian perlindungan hukum terhadap anak pelaku tindak kekerasan seksual belum sepenuhnya dilaksanakan seperti yang telah diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan anak. Masih banyak hak-hak anak yang belum dilaksanakan dengan baik. Oleh karena itu dibutuhkan kerjasana yang menyeluruh bukan hanya dari aparat penegak hukum dan anak pelaku tindak pidana, akan tetapi juga dari pemerintah untuk lebih mengawasi terlaksananya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan anak dan memperhatikan sarana dan prasarana serta fasilitas agar hukum dapat berjalan dengan semestinya.

Saran

1. Bagi para pihak pembuat Undang-Undang, hendaknya diadakakan pengkajian ulang terhadap Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak agar hak-hak anak dalam proses peradilan pidana tidak diabaikan oleh aparat penegak hukum, dan tidak hanya itu saja akan tetapi juga pemerintah harus lebih mengawasi terlaksananya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak setelah diamandemen karena untuk lebih mengedepankan kepentingan anak.

2. Bagi pihak yang menangani perkara anak pelaku tindak pidana, hendaknya para aparat penegak hukum lebih bisa melakukan pendekatan psikologis


(5)

dengan anak pelaku tindak pidana agar dapat lebih dipahami dengan baik oleh anak, karena perlindungan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana kekerasan seksual dalam proses peradilan pidana memang belum terlaksana dengan baik sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Dengan demikian diharapkan anak pelaku tindak pidana lebih bisa bekerjasama selama menjalani pemeriksaan di setiap tingkatan dan aparat penegak hukum dapat melaksanakan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.


(6)

DAFTAR PUSTAKA Buku

Dellyana, Shanty, 2004, Wanita dan Anak di Mata Hukum, Yogyakarta: Liberty. Gultom, Maidin, 2010, Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Sistem

Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung : Refika Aditama.

Nashriana, 2011, Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers.

Ranter, E.Y. & Sianturi S.R, 1982, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni AHM-PTHM.

Wadong, Maulana Hasan, 2000, Pengantar Advokasi Dan Perlindungan Anak, Jakarta: Grasindo.

Wahid, Abdul & Muhammad Irfan, 2011, Perlidungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan), Bandung: Rafika Adhitama.

Willis, Sofyan S, 2008, “Remaja dan Masalahnya”, Bandung: Alfabeta.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Sumber Lain Internet:

Komisi Perlindungan Anak, 2011, Menggugat Peran Negara, Pemerintah, Masyarakat dan Orang Tua dalam Menjaga dan Melindungi Anak, http://komnaspa.wordpress.com/2011/12/21/catatan-akhir-tahun-2011-komisi-nasional-perlindungan-anak. Diakses tanggal 31 Maret 2012. Pukul 18.35 WIB.


Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridi Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak Yang Menyebabkan Kematian (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No.791/Pid.B/2011/PN.SIM)

5 130 108

Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Hukuman Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Nomor : 06/Pid.Sus-Anak/2014/Pn.Mdn)

2 50 101

Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Tindak Pidana Hubungan Seksual Sedarah (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Binjai

7 146 111

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan

20 276 107

Penerapan Sanksi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pencurian (Studi Kasus Putusan No 2.235./Pid.B/2012/PN.Mdn.)

10 234 98

Pertanggungjawaban Pidana Bagi Terdakwa Anak Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Sesuai Dengan PASAL 340 KUHP(Studi Kasus Putusan No. 3.682 / Pid.B / 2009 / PN. Mdn)

5 97 123

Eksistensi Perdamaian Antara Korban dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

1 81 147

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA KESUSILAAN Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Kesusilaan (Studi Kasus Proses Peradilan Pidana Terhadap Anak di Kabupaten Klaten).

0 3 12

SKRIPSI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Seksual Sesama Anak Di Bawah Umur (Studi Kasus Di Wilayah Kota Klaten).

0 3 13

PENDAHULUAN Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Seksual Sesama Anak Di Bawah Umur (Studi Kasus Di Wilayah Kota Klaten).

0 1 16