BEBERAPA FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PRAKTIK PEMAKAIAN MASKER PADA POLANTAS UNIT POS TETAP DI POLWILTABES SEMARANG TAHUN 2009.
BEBERAPA FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PRAKTIK PEMAKAIAN MASKER PADA POLANTAS UNIT POS
TETAP DI POLWILTABES SEMARANG TAHUN 2009
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
Oleh: Astri Lestari NIM. 6450404106
JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2009
(2)
ii
ABSTRAK
Astri Lestari, 2009, Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Praktik Pemakaian Masker pada Polantas Unit Pos Tetap di Polwiltabes Semarang Tahun 2009, Skripsi, Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Pembimbing: I. Drs. Herry Koesyanto, M.S., II. Widya Hary C, S.KM., M.Kes.
Kata Kunci: Masker, Polantas
Akibat aktivitas manusia, udara seringkali menurun kualitasnya. Dampak langsung yang dapat dirasakan oleh masyarakat akibat penurunan kualitas udara adalah meningkatnya penyakit gangguan saluran pernafasan. Berdasarkan penelitian di beberapa tempat di Indonesia, menurut Achmadi, Guru Besar Ilmu Kesehatan Lingkungan Universitas Indonesia kelompok orang yang berisiko tinggi mengalami dampak polusi adalah Polisi Lalu Lintas (Polantas). Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah faktor apa sajakah yang berhubungan dengan praktik pemakaian masker pada Polantas Unit Pos Tetap di Polwiltabes Semarang. Tujuan dalam penelitian ini adalah mengetahui beberapa faktor yang berhubungan dengan praktik pemakaian masker pada Polantas Unit Pos Tetap di Polwiltabes Semarang.
Jenis penelitian ini adalah explanatory research dengan metode survei dan pendekatan crossectional. Populasi dalam penelitian ini anggota Polantas Unit Pos Tetap di Polwiltabes Semarang yang berjumlah 72 orang. Jumlah sampel dalam populasi ini adalah 72 orang, teknik pengambilan sampel dengan total random sampling. Data penelitian ini diperoleh dengan wawancara dan angket. Data yang diperoleh dalam penelitian ini diolah dengan menggunakan statistik uji chi-square dengan derajat kemaknaan (α) = 0,05.
Dari hasil penelitian responden didapatkan bahwa faktor yang berhubungan dengan umur, pendidikan, pengetahuan, dan sikap adalah dengan (p value 0.0001 dengan CC=0.600), (p value 0.0001 dengan CC=0.480), (p value 0.0001 dengan CC=0.483), (p value 0.0001 dengan CC=0.535), dan (p value 0.000 dengan CC=0.600).
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan, ada hubungan antara umur, pendidikan, pengetahuan, dan sikap dengan praktik pemakaian masker pada Polantas Unit Pos Tetap di Polwiltabes Semarang Tahun 2009. Saran yang dapat disampaikan adalah perlu adanya penyuluhan tentang pentingnya pemakaian masker pada petugas Polantas Unit Pos Tetap di Polwiltabes Semarang. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui kesehatan petugas Polantas yang berhubungan dengan kapasitas vital paru.
(3)
iii
ABSTRACT
Astri Lestari. 2009. Factors Related to Practice of Mask Usage on Polantas Unit Pos Tetap of Polwiltabes Semarang in 2009. Final Project. Public Health Department, Sportsmanship Faculty, Semarang State University. Counselors: I. Drs. Herry Koesyanto, M.S., II. Widya Hary C., S.KM, M.Kes
Keyword: The Mask, Polantas
As the consequence of human activities, air quality often degrades. The direct impact experienced by people as the degradation of quality air is likely the increasing of respiration dysfunction. Based on some researches conducted in some areas in Indonesia, according to Achmadi, a Professor of Environment Health Science of Indonesia University, a group with high risk of experiencing pollution impact is traffic officer (Polantas). The problem examined in this research is factors related to practice of mask usage on Polantas Unit Pos Tetap of Polwiltabes Semarang. The object in this research is to know any factors related to mask usage on Polantas Unit Pos Tetap of Polwiltabes Semarang.
This is an explanatory research, which using cross-sectional survey method and approach. The population of this research is 72 members of Polantas Unit Pos Tetap in Polwiltabes Semarang. The sample of the population is 72 people, chosen using random sampling method. This data of the research is obtained using interview and questionnaire. The data obtained in this research was processed using test statistic of Chi-Square with coefficient (α) = 0,05.
The result of the research explains that factors related to between age, education, knowledge, and attitude it got (p value 0.0001 dengan CC=0.600), (p value 0.0001 dengan CC=0.480), (p value 0.0001 dengan CC=0.483), (p value 0.0001 dengan CC=0.535), dan (p value 0.000 dengan CC=0.600).
Based on the result of the research, it can be concluded that there is relation between age, education, knowledge, and attitude with practice of mask usage on Polantas Unit Pos Tetap of Polwiltabes Semarang in 2009. It is suggested that it need to conduct counselling about the importance of mask usage on officers of Polantas Unit Pos Tetap of Polwiltabes Semarang. It needs further research to know Polantas officers’ health related to vital lung capacities.
(4)
iv
PENGESAHAN
Skripsi yang berjudul “Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Praktik Pemakaian Masker pada Polantas Unit Pos Tetap di Polwiltabes Semarang Tahun 2009” telah dipertahankan di hadapan Sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang.
Pada hari : Kamis
Tanggal : 27 Agustus 2009
Panitia Ujian
Ketua, Sekretaris,
Drs. H. Harry Pramono, M.Si. Irwan Budiono, SKM, M.Kes.
NIP.131 469 638 NIP.132 308 392
Penguji,
1. Drs. Sugiharto, M. Kes. (Ketua) NIP.131 571 557
2.Drs. Herry Koesyanto, M.S. (Anggota) NIP. 131 571 549
3.Widya Hary C, SKM, M.Kes. (Anggota) NIP. 132 308 386
(5)
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
Pelindung pernafasan atau yang biasa disebut masker adalah salah satu bagian dari APD yang berfungsi sebagai pelindung hidung dan mulut. Masker sangat diperlukan sekali oleh tenaga kerja, terutama pada tenaga kerja yang setiap harinya terpapar oleh debu (Herrington, 2005:246).
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan skripsi ini untuk:
1. Ayah (H. Abdul Rochman) dan Ibu (Hj. Alim Mahrum) sebagai dharma bakti Ananda.
(6)
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga skripsi yang berjudul “Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Praktik Pemakaian Masker pada Polantas Unit Pos Tetap di Polwiltabes Semarang Tahun 2009”dapat terselesaikan dengan baik. Penyelesaian skripsi ini dimaksudkan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang.
Sehubungan dengan pelaksanaan penelitian sampai tersusunnya skripsi ini, dengan rasa rendah hati disampaikan terima kasih kepada yang terhormat :
1. Pembantu Dekan Bidang Akademik Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang, Bapak Drs. Moh. Nasution, M. Kes., atas ijin penelitian. 2. Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan,
Universitas Negeri Semarang, Bapak dr. H. Mahalul Azam, M. Kes., atas persetujuan penelitian.
3. Pembimbing I, Bapak Drs. Herry Koesyanto, M.S, atas arahan, bimbingan, dan masukannya dalam penyelesaian skripsi ini.
4. Pembimbing II, Ibu Widya Hary Cahyati, S.KM, M.Kes, atas arahan, bimbingan, dan masukannya dalam penyelesaian skripsi ini.
5. Dosen Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, atas ilmunya selama kuliah.
6. Kasatlantas Polwiltabes Semarang AKBP Guritno Wibowo, SH, Sik, M.Si, atas ijin penelitian.
(7)
vii
7. Pengurus Bagian Operasional Satlantas Polwiltabes Semarang Brigadir Yunanto atas bantuan dalam proses pengambilan data.
8. Segenap Anggota Satlantas Polwiltabes Semarang, atas kesediaannya menjadi responden dan meluangkan waktunya dalam proses pengambilan data.
9. Ayah dan Ibu tercinta, atas perhatian, kasih sayang, motivasi dan doa, sungguh berarti bagiku hingga akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan.
10.Adik-adikku, atas dorongan dan semangatnya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
11.Suami dan Anakku atas kasih sayang dan semangat yang telah diberikan dan yang telah mengajarkanku tentang arti kesabaran dalam menjalani hidup. 12.Sahabatku Tyas, Ika Siswi, dan Wakhdatun, atas bantuan dan motivasinya
dalam penyelesaian skripsi ini.
13.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas bantuan dalam penyelesaian skripsi ini.
Semoga amal baik dari semua pihak mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT. Disadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan guna penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Semarang, Agustus 2009
(8)
viii
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ... i
ABSTRAK ... ii
ABSTRACT ... iii
PENGESAHAN ... iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 5
1.3 Tujuan Penelitian ... 6
1.4 Manfaat Penelitian ... 7
1.5 Keaslian Penelitian ... 7
(9)
ix
BAB II LANDASAN TEORI ... 10
2.1 Pencemaran Udara ... 10
2.2 Alat Pelindung Diri ... 17
2.3 Beberapa Teori Perubahan Perilaku ... 21
2.4 Polantas... 23
2.5 Kerangka Teori ... 25
BAB III METODE PENELITIAN ... 26
3.1 Kerangka Konsep ... 26
3.2 Hipotesis Penelitian ... 26
3.3 Jenis dan Rancangan Penelitian ... 27
3.4 Variabel Penelitian ... 27
3.5 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran ... 27
3.6 Populasi dan Sampel Penelitian ... 29
3.7 Sumber Data Penelitian ... 29
3.8 Instrumen Penelitian ... 30
3.9 Pengambilan Data ... 32
3.10Pengolahan dan Analisis Data ... 32
BAB IV HASIL PENELITIAN ... 34
4.1 Deskripsi Data ... 34
4.2 Hasil Penelitian ... 34
4.3 Analisis Univariat ... 34
(10)
x
BAB V PEMBAHASAN ... 43
5.1 Hubungan antara Umur dengan Praktik Pemakaian Masker pada Polantas ... 43
5.2 Hubungan antara Pendidikan dengan Praktik Pemakaian Masker pada Polantas ... 44
5.3 Hubungan antara Masa Kerja dengan Praktik Pemakaian Masker pada Polantas ... 45
5.4 Hubungan antara Pengetahuan dengan Praktik Pemakaian Masker pada Polantas ... 46
5.5 Hubungan antara Sikap dengan Praktik Pemakaian Masker pada Polantas ... 47
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 49
6.1 Simpulan ... 49
6.2 Saran ... 49
DAFTAR PUSTAKA ... 50
(11)
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.1 Keaslian Penelitian ... 7
Tabel 1.2 Perbedaan Penelitian ... 8
Tabel 2.1 Sumber Pencemar Udara di Amerika Serikat Tahun 1968 ... 12
Tabel 2.2 Perkiraan Prosentase Komponen Pencemar Udara dari Sumber Pencemar Transportasi di Indonesia ... 12
Tabel 3.1 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran ... 28
Tabel 4.1 Distribusi Responden berdasarkan Umur ... 34
Tabel 4.2 Distribusi Responden berdasarkan Pendidikan ... 35
Tabel 4.3 Distribusi Responden berdasarkan Masa Kerja ... 35
Tabel 4.4 Distribusi Responden berdasarkan Pengetahuan ... 36
Tabel 4.5 Distribusi Responden berdasarkan Sikap ... 36
Tabel 4.6 Distribusi Responden berdasarkan Pemakaian Masker ... 37
Tabel 4.7 Hubungan antara Umur dengan Pemakaian Masker pada Polantas ... 37
Tabel 4.8 Hubungan antara Pendidikan dengan Pemakaian Masker pada Polantas... 38
Tabel 4.9 Hubungan antara Masa Kerja dengan Pemakaian Masker pada Polantas... 39
Tabel 4.10 Hubungan antara Pengetahuan dengan Pemakaian Masker pada Polantas... 40
Tabel 4.11 Hubungan antara Sikap dengan Pemakaian Masker pada Polantas ... 41
(12)
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1 Kerangka Teori ... 25
3.1 Kerangka Konsep ... 26
4.1Distribusi Frekuensi Umur dan Pemakaian Masker ... 38
4.2Distribusi Frekuensi Pendidikan dan Pemakaian Masker ... 39
4.3Distribusi Frekuensi Masa Kerja dan Pemakaian Masker... 40
4.4Distribusi Frekuensi Pengetahuan dan Pemakaian Masker ... 41
(13)
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Kuesioner Penelitian ... 52
2. Lembar Pengamatan ... 56
3. Identitas dan Karakteristik Responden ... 58
4. Pengetahuan Polantas ... 60
5. Sikap Polantas ... 63
6. Praktik Pemakaian Masker ... 65
7. Hasil Analisis Univariat ... 67
8. Hasil Analisis Bivariat ... 69
9. Surat Keputusan Dosen Pembimbing... 74
10.Surat Keterangan Penguji dari Fakultas ... 75
11.Surat Ijin Penelitian dari Fakultas ... 76
12.Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian ... 77
(14)
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Pembangunan kesehatan diharapkan dapat lebih ditekankan ke arah yang produktif yang dapat dilaksanakan melalui kebijaksanaan paradigma sehat dalam Indonesia Sehat 2010. Tercapainya Indonesia sehat 2010 ditandai dengan mayoritas penduduk yang hidup dalam lingkungan dan perilaku sehat, memiliki kemampuan menjangkau pelayanan kesehatan serta berada pada derajat kesehatan yang optimal (Bapelkes, 2002:7).
Kualitas lingkungan sangat mempengaruhi kualitas hidup manusia. Kualitas lingkungan merupakan resultan kualitas daya lingkungan melawan pencemar lingkungan. Jaminan tetap terjaganya kualitas lingkungan harus menjadi perhatian, mengingat pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia ternyata sering menekan bahkan merusak lingkungan. Hal inilah yang mendorong perkembangan pemikiran tentang pembangunan berkelanjutan (Juli Soemirat Slamet, 2002:19).
Udara di dalamnya terkandung sejumlah oksigen, merupakan komponen esensial bagi kehidupan, baik manusia maupun makhluk hidup lainnya. Udara merupakan campuran dari gas yang terdiri dari sekitar 78% Nitrogen, 20% Oksigen, 0,93% Argon, 0,03% Karbondioksida, dan sisanya terdiri dari Neon (Ne), Helium (He), Metan (CH4), dan Hidrogen (H2). Udara dikatakan normal dan
(15)
2
atas. Sedangkan apabila terjadi penambahan gas-gas lain yang menimbulkan gangguan serta perubahan komposisi tersebut, maka dikatakan udara sudah tercemar atau terpolusi (Indah Kastiyowati, 2003:1).
Akibat aktivitas manusia, udara seringkali menurun kualitasnya. Perubahan kualitas ini dapat berupa perubahan sifat-sifat fisis maupun sifat-sifat kimiawi. Perubahan kimiawi dapat berupa pengurangan maupun penambahan salah satu komponen kimia yang terkandung dalam udara, yang lazim dikenal sebagai pencemaran udara. Kualitas udara yang dipergunakan untuk kehidupan tergantung dari lingkungannya, kemungkinan di suatu tempat dijumpai debu yang bertebaran dimana-mana dan berbahaya bagi kesehatan. Demikian juga suatu kota yang terpolusi oleh asap kendaraan bermotor atau angkutan yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang dapat mengakibatkan seseorang kehilangan produktivitasnya (Indah Kastiyowati, 2003:1).
Dampak langsung yang dapat dirasakan oleh masyarakat akibat penurunan kualitas udara seperti meningkatnya penyakit gangguan saluran pernafasan, kerusakan hasil pertanian dan perikanan akibat hujan asam. Selain itu juga dapat mengakibatkan menurunnya kecerdasan anak karena terpapar timbal udara yang tercemar (Juli Soemirat Slamet, 2002:22).
Kualitas udara di 10 kota besar Indonesia umumnya sudah dalam kondisi sangat mengkhawatirkan. Jakarta adalah kota yang kondisinya paling parah. Pengukuran kualitas udara ini dilakukan oleh Pelangi, sebuah LSM yang peduli dengan lingkungan terutama masalah pencemaran udara, yang melibatkan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dengan menggunakan metode Air Quality
(16)
Monitoring System (AQSM) yang dilakukan sepanjang tahun 2002. Kategori pertama, terdapat 6 kota besar di Indonesia, yaitu Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Jambi dan Pekanbaru. Di enam kota tersebut, kondisi udara dalam kategori baik hanya 22-62 hari dalam satu tahun atau tidak lebih dari 17% satu tahunnya, 4 hari sangat tidak sehat, 95 hari tidak sehat, dan 223 hari dalam tingkat sedang. Kategori kedua terdapat Kota Pontianak dan Palangkaraya. Di kedua kota tersebut kondisi udara dengan kategori berbahaya terjadi selama 88 dan 22 hari dalam satu tahun. Kategori ketiga terdapat Kota Semarang dan Denpasar. Di kedua kota tersebut dibandingkan delapan kota lainnya, secara umum kualitas udaranya lebih baik. Hari berudara bersihnya di atas 178 hari dalam setahun dan kondisi udara tidak ada dalam kategori berbahaya, tetapi dalam strata sedang (Indah Kastiyowati, 2003:3).
Udara dapat dikategorikan berkualitas baik bila memiliki Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) 1-50, berkulitas sedang 51-100, berkualitas tidak sehat 101-199, berkulitas sangat tidak sehat 200-299, sedangkan kualitas udara berbahaya bernilai ISPU 300-500 (Bapedal, 2007:1).
Berdasarkan penelitian di beberapa tempat di Indonesia, menurut Achmadi, Guru Besar Ilmu Kesehatan Lingkungan Universitas Indonesia kelompok orang yang berisiko tinggi mengalami dampak polusi adalah Polisi Lalu Lintas (Polantas), petugas DLLAJR, pedagang kaki lima, wanita hamil, siswa SD/TK yang lokasinya di pingir jalan raya, penderita jantung koroner, dan penduduk yang tinggal di daerah yang lalu lintasnya padat (Kompas, 2007:1).
(17)
4
Penelitian terhadap kadar Pb dalam darah Polantas di Satlantas Poltabes Semarang oleh Nurjannah (1998:57) dengan mengambil sampel sebanyak 14 orang, sebanyak 85% kadar Pb-nya di atas ambang batas. Pencemaran udara akibat asap yang dikeluarkan dari knalpot kendaraan bermotor sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Dalam asap kendaraan bermotor mengandung zat-zat kimia yang dapat mengganggu keseimbangan metabolisme dalam tubuh manusia, antara lain karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NOX), dan timbal (Pb).
Zat-zat yang keluar dari knalpot dalam bentuk gas ini, terbuang ke udara dan akan bersenyawa dengan polutan-polutan, sehingga konsentrasi udara terganggu dan terjadilah pencemaran udara yang mengganggu kesehatan manusia (Nurjanah, 1998:57).
Timbal masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pernafasan dan saluran pencernaan dalam bentuk senyawa organometal, serta mampu menembus kulit sehingga dapat menimbulkan keracunan. Gejalanya antara lain, mudah marah, lesu, nafsu makan menurun dan melemahkan otot kerja. Sedangkan pada konsentrasi yang tinggi keracunan logam ini dapat merusak ginjal, hati, lambung, kesuburan, dan mengakibatkan kehamilan yang tidak normal (Juli Soemirat Slamet, 2002:52).
Akibat lain yang dapat langsung dirasakan oleh orang yang terpapar pencemar udara adalah iritasi saluran nafas dengan gejala batuk-batuk hingga sesak nafas, terutama disebabkan oleh bahan pencemar sulfur dioksida (SO2).
Dalam jangka pendek juga menyebabkan asma dan sakit kepala. Hal ini banyak disebabkan oleh bahan pencemar hidrokarbon, sedangkan akibat jangka panjang
(18)
yang ditimbulkan oleh pencemaran udara adalah paru-paru yang rusak karena secara terus-menerus nitrogen oksida yang terdapat dalam udara melemahkan sistem pertahanan tubuh dan saluran nafas sehingga paru-paru mudah terinfeksi (Juli Soemirat Slamet, 2002:53).
Sebagai orang yang mendapat eksposur berupa hasil pembakaran kendaraan bermotor tiap harinya, maka untuk menunjang kesehatannya, Polantas berhak untuk menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) berupa masker, mengingat risiko yang harus ditanggungnya cukup besar.
Berdasarkan hasil observasi awal yang telah dilakukan, dari 5 unit pos tetap yang diamati, masing-masing pos terdiri dari 2 orang, Polantas yang memakai masker hanya 2 orang dan itu pun bukan masker standar, tetapi hanya sapu tangan yang ditutupkan ke hidung. Masker standar yang dimaksud di sini adalah masker yang memakai filter karbon aktif, yang secara signifikan terbukti dapat mengurangi dampak buruk pencemaran udara bagi kesehatan.
Fenomena pemakaian masker ini menarik untuk dikaji karena sudah banyak penelitian yang mengungkap tentang kadar bahan pencemar yang melebihi ambang batas di tubuh orang-orang yang berisiko tinggi terkena pencemaran udara berikut uraian bahayanya, tetapi justru orang yang berisiko tinggi terkena dampaknya belum tampak melakukan pencegahan, mengingat akibat jangka panjang yang dapat mengganggu kesehatan tubuh bagi orang itu sendiri. Oleh karena itu peneliti ingin mengetahui faktor-faktor apa sajakah yang berhubungan dengan praktik pemakaian masker pada Polantas unit pos tetap di Polwiltabes Semarang.
(19)
6
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:
1.2.1 Rumusan Masalah Umum
Faktor apakah yang berhubungan dengan praktik pemakaian masker pada Polantas Unit Pos Tetap di Polwiltabes Semarang?
1.2.2 Rumusan Masalah Khusus
1. Adakah hubungan antara umur dengan praktik pemakaian masker pada Polantas Unit Pos Tetap di Polwiltabes Semarang?
2. Adakah hubungan antara pendidikan dengan praktik pemakaian masker pada Polantas Unit Pos Tetap di Polwiltabes Semarang?
3. Adakah hubungan antara masa kerja dengan praktik pemakaian masker pada Polantas Unit Pos Tetap di Polwiltabes Semarang?
4. Adakah hubungan antara pengetahuan dengan praktik pemakaian masker pada Polantas Unit Pos Tetap di Polwiltabes Semarang?
5. Adakah hubungan antara sikap dengan praktik pemakaian masker pada Polantas Unit Pos Tetap di Polwiltabes Semarang?
1.3Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui beberapa faktor yang berhubungan dengan praktik pemakaian masker pada Polantas Unit Pos Tetap di Polwiltabes Semarang.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui hubungan antara umur dengan praktik pemakaian masker pada Polantas Unit Pos Tetap di Polwiltabes Semarang.
(20)
2. Untuk mengetahui hubungan antara pendidikan dengan praktik pemakaian masker pada Polantas Unit Pos Tetap di Polwiltabes Semarang.
3. Untuk mengetahui hubungan antara masa kerja dengan praktik pemakaian masker pada Polantas Unit Pos Tetap di Polwiltabes Semarang.
4. Untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan dengan praktik pemakaian masker pada Polantas Unit Pos Tetap di Polwiltabes Semarang.
5. Untuk mengetahui hubungan antara sikap dengan praktik pemakaian masker pada Polantas Unit Pos Tetap di Polwiltabes Semarang.
1.4Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Kepolisian, khususnya Polantas di Polwiltabes Semarang
Sebagai masukan untuk peningkatan jaminan kesehatan kerja dengan mengambil kebijakan yang sesuai.
1.4.2 Bagi Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya.
1.4.3 Bagi Peneliti
Melatih cara berpikir secara ilmiah dalam menemukan serta menganalisa masalah berdasarkan teori maupun pengetahuan yang didapat di bangku kuliah.
1.5Keaslian Penelitian
Keaslian penelitian ini merupakan matrik yang memuat tentang judul penelitian, nama peneliti, tahun dan tempat penelitian, rancangan penelitian, variabel yang diteliti dan hasil yang diteliti yang membandingkan dua penelitian sebelumnya (Tabel 1.1).
(21)
8
Tabel 1.1 Keaslian Penelitian
No Judul Penelitian/ Tahun Nama Peneliti Rancangan Penelitian Variabel Penelitian Hasil Penelitian
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1. Faktor-faktor yang Berhubungan
dengan Perilaku Pemakaian APD (Alat Pelindung Diri) Masker pada Tenaga Kerja di Penggilingan Padi di Kecamatan Gajah Kabupaten Demak/2006 Yuniarti Metode explanatory research dengan pendekatan cross sectional Variabel bebas : karakte-ristik (umur, pendidi-kan, masa kerja) dan pengetahuan tenaga kerja mengenai APD masker Variabel terikat : pemakaian APD masker Tidak adanya hubungan antara umur, tingkat pendidikan, masa kerja dengan pemakaian APD masker, dan ada hubungan antara pengetahuan tenaga kerja dengan pemakaian APD masker
2. Analisa Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Pemakaian Masker pada Polantas di Satlantas Poltabes Semarang/2003 Silmy Suksesie Noviaty Metode kualitatif Variabel bebas : karakte-ristik dan pengetahuan Polantas Variabel terikat : pemakaian masker pada Polantas Subyek memandang perlu untuk memakai masker karena bisa memberikan keuntungan terutama untuk kesehatan, tapi ada hambatan yaitu lebih susah untuk meniup peluit dan berteriak pada sopir-sopir yang membandel
Berdasarkan tabel keaslian penelitian di atas, maka yang membedakan penelitian terdahulu dengan penelitian ini (Tabel 1.2).
Tabel 1.2 Perbedaan Penelitian
No Penelitian Yuniarti Silmy Suksesie
N Astri Lestari
(1) (2) (3) (4) (5)
1. Judul Faktor-faktor yang Berhubungan dengan
Analisa Faktor-faktor yang
Beberapa Faktor yang
(22)
Perilaku Pemakaian APD Masker pada Tenaga Kerja di Penggilingan Padi. Melatarbelakang i Pemakaian APD Masker pada Polantas. Berhubungan dengan Praktik Pemakaian Masker pada Polantas Unit Pos Tetap di Polwiltabes Semarang Tahun 2009 2. Jenis Penelitian Explanatory research
dengan pendekatan
cross sectional
Metode Kualitatif
Explanatory research dengan pendekatan
cross sectional
3. Variabel bebas Umur, pendidikan, masa kerja dan pengetahuan tenaga kerja
Karakteristik (umur, pendidikan, masa kerja) dan pengetahuan tentang masker oleh Polantas Karakteristik (umur, pendidikan, masa kerja), faktor internal (pengetahuan dan sikap). 4. Variabel terikat Pemakaian APD masker Pemakaian
masker pada Polantas Praktik pemakaian masker pada Polantas
Dari penelitian terdahulu yang telah dilakukan, penelitian ini terdapat beberapa perbedaan, yaitu:
1. Obyek dari penelitian ini adalah Polantas Unit Pos Tetap.
2. Adanya satu variabel dalam penelitian ini yang tidak diteliti oleh peneliti-peneliti sebelumnya yaitu variabel sikap.
3. Tempat dari penelitian ini adalah di Polwiltabes Semarang dan Unit-unit Pos Tetap yang berada pada wilayah kerja Polwiltabes Semarang.
1.6Ruang Lingkup Penelitian
1.6.1 Ruang Lingkup Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2009. 1.6.2 Ruang Lingkup Tempat
Lokasi penelitian di kantor Polwiltabes Semarang. 1.6.3 Ruang Lingkup Materi
Materi yang berhubungan dengan penelitian ini termasuk dalam materi Ilmu Kesehatan Masyarakat khususnya kesehatan dan keselamatan kerja.
(23)
10
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pencemaran Udara
2.1.1 Pengertian Pencemaran Udara
Menurut Chambers dan Masters dalam H.J. Mukono (2000:14), yang dimaksud pencemaran udara adalah bertambahnya bahan atau substrat fisik atau kimia ke dalam lingkungan udara normal yang mencapai sejumlah tertentu, sehingga dapat dideteksi oleh manusia (atau yang dapat dihitung dan diukur) serta dapat memberikan efek pada manusia, binatang, vegetasi, dan material.
Menurut Wisnu Arya Wardhana (2004:27), pencemaran udara adalah adanya bahan-bahan atau zat-zat asing di dalam udara yang menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari keadaan normalnya. Kehadiran bahan atau zat asing di dalam udara dalam jumlah tertentu serta berada di udara dalam waktu yang cukup lama, akan dapat mengganggu kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan. Bila keadaan seperti tersebut terjadi maka udara dikatakan telah tercemar.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara Pasal 1 Ayat (1) menyebutkan bahwa pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain ke udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya (H.J. Mukono, 2000:14).
(24)
2.1.2 Penyebab Pencemaran Udara
Pembangunan yang berkembang pesat dewasa ini, khususnya dalam industri dan teknologi, serta meningkatnya jumlah kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar fosil (minyak) menyebabkan udara yang kita hirup di sekitar kita menjadi tercemar oleh gas-gas buangan hasil pembakaran (Wisnu Arya Wardhana, 2004:28).
Menurut Wisnu Arya Wardhana (2004:28), secara umum penyebab pencemaran udara ada 2 macam, yaitu :
1. Karena faktor internal (secara alamiah), contoh : 1. Debu yang beterbangan akibat tiupan angin.
2. Abu (debu) yang dikeluarkan dari letusan gunung berapi berikut gas-gas vulkanik.
3. Proses pembusukan sampah organik.
2. Karena faktor eksternal (karena ulah manusia), contoh : 1. Hasil pembakaran bahan bakar fosil.
2. Debu/serbuk dari kegiatan industri.
3. Pemakaian zat-zat kimia yang disemprotkan ke udara.
Udara bersih yang dihirup merupakan gas yang tidak tampak, tidak berbau, tidak berwarna, maupun berasa. Akan tetapi udara yang benar-benar bersih sudah sulit diperoleh, terutama di kota-kota besar yang banyak industrinya dan padat lalu-lintasnya. Udara yang tercemar dapat merusak lingkungan dan kehidupan manusia. Terjadinya kerusakan lingkungan berarti berkurangnya (rusaknya) daya dukung alam yang selanjutnya akan mengurangi kualitas hidup manusia (Wisnu Arya Wardhana, 2004:29).
(25)
12
Menurut Wisnu Arya Wardhana (2004:31), dari beberapa macam komponen pencemar udara, maka yang paling banyak berpengaruh dalam pencemaran udara adalah komponen-komponen berikut ini :
1. Karbon Monoksida (CO) 2. Nitogen Oksida (NOX)
3. Belerang Oksida (SOX)
4. Hidro Karbon (HC)
5. Partikel (Particulate), dan lain-lain.
Jumlah komponen pencemar udara tergantung pada sumbernya. Untuk mendapatkan gambaran tersebut dapat dilihat data pencemaran udara di Amerika Serikat. Data ini diperoleh dari hasil pengukuran pada tahun 1968 (Tabel 2.1).
Tabel 2.1 Sumber Pencemar Udara di AS tahun 1968
Sumber Pencemaran Jumlah komponen pencemar, juta ton/tahun
CO NOX SOX HC Part. Total
Transportasi 63,8 8,1 0,8 16,6 1,2 90,5
Industri 9,7 0,2 7,3 4,6 7,5 29,3
Pembuangan Sampah 7,8 0,6 0,1 1,6 1,1 11,2 Pembakaran Stationer 1,9 10,0 24,4 0,7 8,9 45,9
Lain-lain 16,9 1,7 0,6 8,5 9,6 37,3
Sumber: Wisnu Arya Wardhana, 2004:32
Sumber pencemar udara di Indonesia pada saat ini masih terus diteliti. Akan tetapi kalau dilihat prosentase komponen pencemar udara dari sumber transportasi, seperti terlihat pada tabel di atas, mungkin data tersebut dapat diolah dari data di atas karena sama-sama menggunakan bahan bakar fosil (Tabel 2.2).
(26)
Tabel 2.2 Perkiraan Prosentase Komponen Pencemar Udara dari Sumber Pencemar Transportasi di Indonesia
Komponen Pencemar Prosentase
CO 70,50
NOX 8,89
SOX 0,88
HC 18,34 Partikel 1,33
Total 100,00 Sumber: Wisnu Arya Wardhana, 2004:33
Perkiraan prosentase di atas dengan anggapan gas buangan dari hasil pembakaran yang keluar dari corong knalpot kendaraan transportasi memenuhi persyaratan teknis pembakaran yang benar. Apabila gas buangan yang keluar dari knalpot kendaraan berupa asap tebal berwarna hitam maka tentu saja prosentase HC dan partikelnya akan lebih besar dari perkiraan data di atas (Wisnu Arya Wardhana, 2004:32).
2.1.2.1Karbon Monoksida (CO)
Karbon monoksida atau CO adalah suatu gas yang tidak berwarna, tidak berbau, dan juga tidak berasa. Gas CO dapat berbentuk cairan pada suhu di bawah -1920C. Gas CO sebagian besar berasal dari pembakaran bahan bakar fosil dengan udara, berupa gas buangan. Kota besar yang padat lalu-lintasnya akan banyak menghasilkan gas CO sehingga kadar CO dalam udara relatif tinggi dibandingkan dengan daerah pedesaan. Secara alamiah gas CO juga dapat terbentuk, walaupun
(27)
14
jumlahnya relatif sedikit, seperti gas hasil kegiatan gunung berapi, proses biologi, dan lain-lain (Wisnu Arya Wardhana, 2004:41).
2.1.2.2Nitrogen Oksida (NOX)
Nitrogen oksida sering disebut dengan NOX karena oksida nitrogen
mempunyai 2 macam bentuk yang sifatnya beda, yaitu gas NO2 dan gas NO. Sifat
gas NO2 adalah berwarna merah kecoklatan dan berbau tajam menyengat hidung,
sedangkan gas NO tidak berwarna dan tidak berbau. Berbagai macam kegiatan yang menunjang kehidupan manusia akan menambah kadar NOX di udara, seperti
transportasi, generator pembangkit listrik, pembuangan sampah (Wisnu Arya Wardhana, 2004:43).
2.1.2.3Belerang Oksida (SOX)
Gas belerang oksida terdiri atas gas SO2 dan gas SO3 yang keduanya
mempunyai sifat berbeda. Gas SO2 berbau tajam dan tidak mudah terbakar,
sedangkan gas SO3 bersifat sangat reaktif, mudah bereaksi dengan uap air yang
ada di udara untuk membentuk asam sulfat atau H2SO4. Asam sulfat ini mudah
bereaksi yang mengakibatkan kerusakan pada benda-benda lain, seperti proses korosi. Gas buangan hasil pembakaran pada umumnya mengandung gas SO2 lebih
banyak daripada gas SO3 (Wisnu Arya Wardhana, 2004:47).
2.1.2.4Hidrokarbon (HC)
Hidrokarbon adalah pencemar udara yang dapat berupa gas, cairan, maupun padatan. HC dapat berasal dari proses alamiah dan buatan manusia. Secara alamiah HC diproduksi oleh tanaman, atau dekomposisi zat organik.
(28)
Sumber alamiah bagi HC adalah sumur-sumur minyak dan gas bumi. Sumber buatan utama HC adalah asap kendaraan bermotor. HC total yang ada di dalam atmosfir menunjukkan korelasi yang positif dengan kepadatan lalu-lintas (Juli Soemirat Slamet, 2002:60).
2.1.2.5Partikel
Yang dimaksud dengan partikel adalah zat padat/cair yang halus, dan tersuspensi di udara, misalnya kabut, debu, asap, fumes dan fog. Debu adalah zat padat berukuran antara 0,1-25 mikron, sedangkan fumes adalah zat padat hasil kondensasi gas yang biasanya terjadi setelah proses penguapan logam cair. Asap adalah karbon (C) yang berdiameter kurang dari 0,1 mikron, akibat pembakaran hidrat karbon yang kurang sempurna. Sumber alamiah partikel adalah debu yang memasuki atmosfer karena terbawa oleh angin. Sumber artifisial debu pembakaran, yaitu segala proses yang menimbulkan debu seperti pabrik semen, industri kontruksi, dan juga kendaraan bermotor (Juli Soemirat Slamet, 2002:60).
2.1.3 Dampak Pencemaran Udara
2.1.3.1Dampak Bahan Pencemar Udara Terhadap Lingkungan
2.1.3.1.1 Dampak terhadap kondisi fisik atmosfir
Dampak negatif bahan pencemar udara terhadap kondisi fisik atmosfer antara lain adalah :
1. Gangguan jarak pandang (visibility) 2. Memberikan warna tertentu pada atmosfer 3. Mempengaruhi struktur dari awan
4. Mempengaruhi keasaman air hujan 5. Mempercepat pemanasan atmosfer.
(29)
16
2.1.3.1.2 Dampak terhadap faktor ekonomi
Dampak negatif bahan pencemar udara terhadap faktor yang berhubungan dengan ekonomi antara lain :
1. Meningkatkan biaya rehabilitasi karena rusaknya bahan (keropos) 2. Meningkatnya biaya pemeliharaan (pelapisan, pengecatan)
3. Kerugian akibat kontaminasi bahan pencemar udara pada makanan atau minuman oleh bahan beracun
4. Meningkatnya biaya perawatan atau pengobatan penyakit yang disebabkan oleh pencemaran udara
2.1.3.1.3 Dampak terhadap estetik
Dampak estetik yang diakibatkan adanya bahan pencemar udara antara lain timbulnnya bau dan lapisan debu pada bahan yang mengakibatkan perubahan warna permukaan bahan dan mudahnya terjadi kerusakan bahan tersebut (H.J. Mukono, 2000:16).
2.1.3.2Dampak Terhadap Kesehatan Manusia Pada Umumnya
Secara umum dampak pencemaran udara terhadap individu atau masyarakat dapat berupa:
2.1.3.2.1 Sakit, baik yang akut maupun kronis
2.1.3.2.2 Penyakit yang tersembunyi, yang dapat memperpendek umur, menghambat pertumbuhan, dan perkembangan
2.1.3.2.3 Mengganggu fungsi fisiologis dari : 1. Paru
2. Saraf
3. Transpor oksigen oleh hemoglobin 4. Kemampuan sensorik
(30)
2.1.3.2.4 Kemunduran penampilan, misalnya pada : 1. Aktivitas atlet
2. Aktivitas motorik 3. Aktivitas belajar 2.1.3.2.5 Iritasi sensorik
2.1.3.2.6 Penimbunan bahan berbahaya dalam tubuh
2.1.3.2.7 Rasa tidak nyaman atau bau (H.J. Mukono, 2000:17).
2.1.3.3Dampak Terhadap Saluran Pernafasan
Secara umum dampak pencemaran udara terhadap saluran pernafasan dapat menyebabkan terjadinya :
1. Iritasi pada saluran pernafasan yang dapat menyebabkan pergerakan silia menjadi lambat, bahkan dapat terhenti, sehingga tidak dapat membersihkan saluran pernafasan
2. Peningkatan produksi lendir, akibat iritasi oleh bahan pencemar 3. Produksi lendir dapat menyebabkan penyempitan saluran pernafasan 4. Rusaknya sel pembunuh bakteri di saluran pernafasan
5. Pembengkakan saluran pernafasan dan merangsang pertumbuhan sel, sehingga saluran pernafasan menjadi menyempit
6. Lepasnya silia dan lapisan sel selaput lendir
7. Akibat dari semua tersebut di atas, akan menyebabkan terjadinya kesulitan bernafas, sehingga benda asing termasuk bakteri atau mikroorganisme lain tidak dapat dikeluarkan dari saluran pernafasan dan hal ini akan memudahkan terjadinya infeksi saluran pernafasan (H.J. Mukono, 2000:17).
(31)
18
2.2 Alat Pelindung Diri (APD)
Secara sederhana yang dimaksud alat pelindung diri adalah seperangkat alat yang digunakan tenaga kerja untuk melindungi sebagian atau seluruh tubuhnya dari adanya bahaya atau kecelakaan kerja (A.M. Sugeng Budiono, 2003:329).
Perlindungan tenaga kerja melalui usaha-usaha teknis pengaman tempat, peralatan, dan lingkungan kerja sangat perlu diutamakan. Namun terkadang keadaan bahaya masih belum dapat dikendalikan sepenuhnya, sehingga digunakan alat-alat pelindung diri (personal protective devices).
Alat pelindung diri yang telah dipilih hendaknya memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1. Dapat memberikan perlindungan terhadap bahaya 2. Berbobot ringan
3. Dapat dipakai secara fleksibel (tidak membedakan jenis kelamin) 4. Tidak menimbulkan bahaya tambahan
5. Tidak mudah rusak
6. Memenuhi dari standar yang ada 7. Pemeliharaan mudah
8. Penggantian suku cadang mudah 9. Tidak membatasi gerak
10.Rasa ”tidak nyaman” tidak berlebihan (rasa ”tidak nyaman” tidak mungkin hilang sama sekali, namun diharapkan masih dalam batas toleransi)
(32)
Secara umum masalah alat pelindung diri ini diatur dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 pasal 9 dan pasal 10 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja, yang memuat ketentuan-ketentuan pokok tentang tenaga kerja, mengatur higiene perusahaan dan kesehatan kerja (Suma’mur P.K, 1996:28).
Selain itu masalah alat pelindung diri juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja pada pasal 9, pasal 12, pasal 13 dan pasal 14 (Suma’mur P.K, 1996:39).
Jenis-jenis alat pelindung diri yang ada adalah sebagai berikut: 2.2.1 Pelindung Kepala
Alat pelindung kepala berfungsi untuk melindungi kepala dari benturan, terantuk benda tajam atau benda keras, atau terpukul oleh benda-benda yang melayang atau meluncur di udara, radiasi panas api, dan percikan bahan-bahan kimia.
Berdasarkan fungsinya alat pelindung kepala dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu:
2.2.1.1Topi Pengaman (Safety Helmet)
Topi ini digunakan untuk melindungi kepala dari bahaya kejatuhan benda, terbentur, terpukul benda keras atau tajam.
2.2.1.2Tudung Kepala (Hood)
Tudung kepala untuk melindungi kepala dari bahaya terkena atau kontak dengan bahan-bahan kimia, api, panas radiasi.
(33)
20
Digunakan untuk melindungi kepala dan rambut dari kotoran, serta untuk melindungi rambut dari bahaya terjerat mesin-mesin yang berputar.
2.2.2 Pelindung Mata dan Muka
Fungsi kacamata pengaman adalah untuk melindungi mata dari bahan-bahan korosif, kemasukan debu-debu atau partikel yang melayang di udara, dan pemajanan gas-gas atau uap kimia yang dapat menyebabkan iritasi pada mata. Jenis pelindung mata dan muka, yaitu:
1. Kacamata 2. Googles
3. Tameng muka (face shield) 2.2.3 Pelindung Pendengaran
Pelindung pendengaran berfungsi untuk melindungi telinga akibat kebisingan dan dari percikan api atau logam-logam yang panas. Jenis pelindung pendengaran, yaitu:
1. Sumbat telinga atau ear plug yaitu alat pelindung telinga yang cara penggunaannya dimasukkan pada telinga. Sumbat telinga dapat mengurangi intensitas suara 10-15 dB dan dibedakan menjadi dua jenis yaitu sumbat telinga sekali pakai (disposable plug) dan sumbat telinga dapat dipakai kembali (reusable plug).
2. Tutup telinga (ear muff) adalah domes atau kubah plastik yang menyelimuti telinga dan dihubungkan dengan pita pegas atau per. Pita tersebut dapat disesuaikan dengan bervariasi bentuk, ukuran kepala, dan posisi telinga.
(34)
Fungsi pelindung tangan adalah untuk melindungi tangan dan jari-jari tangan dari pajanan api, panas, dingin, radiasi elektromagnetik, sengatan listrik, bahan kimia, benturan, pukulan, tergores, dan terinfeksi. Pelindung tangan biasa disebut sarung tangan.
Menurut bentuknya alat pelindung tangan dibedakan menjadi empat jenis, yaitu:
1. Sarung tangan biasa atau gloves
2. Mitten yaitu sarung tangan dengan ibu jari terpisah sedang empat jari lainnya menjadi satu.
3. Hand pad hanya untuk melindungi telapak tangan
4. Sleeve adalah alat pelindung dari pergelangan tangan sampai lengan 2.2.5 Pelindung Kaki
Alat pelindung kaki atau safety shoes berfungsi melindungi kaki dari tertimpa benda-benda berat, tertuang logam panas, bahan kimia korosif, kemungkinan tersandung, terpeleset dan tergelincir.
2.2.6 Pelindung Pernafasan
Pelindung pernafasan atau yang biasa disebut masker adalah salah satu bagian dari APD yang berfungsi sebagai pelindung hidung dan mulut, merupakan alat pelindung pernafasan dari pemaparan debu, gas, uap, kabut, asap dan lain-lain. Masker sangat diperlukan sekali oleh tenaga kerja, terutama pada tenaga kerja yang setiap harinya terpapar oleh debu (Herrington, 2005:246).
(35)
22
Masker berguna untuk melindungi masuknya debu atau partikel-partikel yang lebih besar ke dalam saluran pernafasan, dapat terbuat dari kain dengan ukuran pori-pori tertentu.
2.2.6.1Masker Penyaring Debu
Masker ini berguna untuk melindungi pernafasan dari asap pembakaran, abu hasil pembakaran, dan debu.
2.2.6.2Masker Berhidung
Masker ini dapat menyaring debu atau benda sampai ukuran 0,5 mikron. 2.2.6.3Masker Bertabung
Masker ini punya filter yang lebih baik daripada masker berhidung. Masker ini dapat digunakan untuk melindungi pernafasan dari gas tertentu.
2.3 Beberapa Teori Perubahan Perilaku
Perilaku manusia merupakan hasil atau resultan antara stimulus (faktor eksternal) dengan respon (faktor internal) dalam subyek atau orang yang berperilaku tersebut. Perilaku mencakup 3 hal yaitu : pengetahuan, sikap, dan tindakan atau praktik (Soekidjo Notoatmodjo, 2005:45).
Rogers mengatakan bahwa sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru, di dalam orang tersebut terjadi proses berurutan, yakni :
1. Mengetahui atau menyadari tentang adanya ide baru itu (awareness) 2. Menaruh perhatian pada ide itu (interest)
3. Memberikan penilaian (evaluation)
4. Mencoba memakainya (trial) dan kalau menyukainya maka setuju untuk menerima ide atau hal baru itu (Solita Sarwono, 1993:59).
(36)
2.3.1 Teori Lawrence Green
Green membedakan adanya dua masalah kesehatan, yakni behavioral factors (faktor perilaku) dan non-behavioral factors (faktor non-perilaku). Faktor perilaku ditentukan oleh 3 faktor utama, yaitu :
2.3.1.1Faktor Predisposisi (predisposing factors)
Faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi, dan sebagainya.
2.3.1.2Faktor Pemungkin (enabling factors)
Yang dimaksud dengan faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan, misalnya: posyandu, puskesmas, rumah sakit.
2.3.1.3Faktor Penguat (reinforcing factors)
Faktor yang mendorong terjadinya perilaku. Kadang-kadang, meskipun seseorang tahu dan mampu untuk berperilaku sehat, tetapi tidak melakukannya (Soekidjo Notoatmodjo, 2005:60).
2.3.2 Teori Snehandu B. Karr
Karr mengidentifikasi adanya 5 faktor perilaku, yaitu:
1. Adanya niat (intention) seseorang untuk bertindak sehubungan dengan objek atau stimulus di luar dirinya.
(37)
24
3. Terjangkaunya informasi (accessibility of information), adalah tersedianya informasi-informasi terkait dengan tindakan yang akan diambil oleh seseorang.
4. Adanya kebebasan pribadi (personal autonomy) untuk mengambil keputusan. 5. Adanya kondisi dan situasi yang memungkinkan (action situation). Kondisi
dan situasi mempunyai pengertian yang luas, baik fasilitas yang tersedia maupun kemampuan yang ada (Soekidjo Notoatmodjo, 2005:62).
2.4 Polantas
Polantas (polisi lalu-lintas) secara umum bertugas untuk menjaga keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu-lintas. Polantas tergabung dalam Satuan Lalu-lintas (Satlantas) merupakan unsur pelaksanaan utama Polwiltabes Semarang yang berada di bawah Kepala Satuan Lalu-lintas (Kasatlantas) Polwiltabes Semarang.
Polantas secara umum bertugas membina dan menyelenggarakan fungsi lalu lintas yang meliputi kegiatan pendidikan masyarakat, penegak hukum, pengkajian masalah lalu-lintas, administrasi registrasi, identifikasi pengemudi dan kendaraan bermotor, serta melaksanakan patroli jalan raya antar wilayah.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana tersebut di atas, Polantas menyelenggarakan fungsi :
1. Pembinaan fungsi lalu-lintas kepolisian dalam lingkungan Polwiltabes Semarang.
2. Penyelenggaraan dan pembinaan partisipasi masyarakat melalui kerjasama lintas sektoral, pendidikan masyarakat dan pengajian masalah di bidang lalu-lintas.
(38)
3. Penyelenggaraan operasi kepolisian bidang lalu-lintas dalam rangka penegakan hukum dan ketertiban lalu-lintas.
4. Penyelenggaraan administrasi registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor dan pengemudi yang dilaksanakan oleh Polwiltabes Semarang.
5. Penyelenggaraan patroli jalan raya dan penindakan pelanggaran serta penanganan kecelakaan lalu-lintas dalam rangka penegakan hukum dan ketertiban lalu-lintas
serta menjamin kelancaran arus lalu-lintas di jalan raya.
Satlantas dipimpin oleh kasatlantas yang bertanggung jawab kepada kepala polwiltabes Semarang dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari di bawah kendali wakil kepala Polwiltabes Semarang (Polwiltabes Semarang, 2008).
Dalam pelaksanaannya sehari-hari polantas unit pos tetap bertugas di pos-pos tetap yang telah ada, yang merupakan wilayah kerja Polwiltabes Semarang dan menjalankan tugasnya, yaitu sebagai berikut:
1. Melaksanakan pos harian pagi, pos harian sore, pos harian malam, dan pengamanan giat insidentil.
2. Melaksanakan pengaturan wilayah pos-pos tetap atau sementara.
3. Melaporkan kegiatan yang berlangsung selama 1 hari ke operator 5 naga. 4. Melaksanakan penindakan pelanggaran.
5. Melaksanakan penjagaan dan pengawasan di pos tetap atau sementara selama 16 jam per 2 shift.
6. Dipimpin oleh seorang Pama dengan anggota 36 Polki (Polwiltabes Semarang, 2008).
(39)
26
Berdasarkan uraian dalam landasan teori, maka disusun kerangka teori mengenai beberapa faktor yang berhubungan dengan praktik pemakaian masker. Praktik pemakaian masker pada Polantas Unit Pos Tetap di Polwiltabes Semarang dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya: faktor predisposisi yaitu karakteristik, pengetahuan, sikap, niat dan personal autonomy selain itu ada faktor enabling dan faktor reinforcing (Gambar 2.1).
Gambar 2.1 Kerangka Teori
Sumber : Modifikasi Teori Green dan Snehandu B. Karr (Soekidjo Notoatmodjo, 2005:60)
Faktor Predisposisi
1. Karakteristik (umur, pendidikan, masa kerja)
2. Pengetahuan Polantas tentang pencemaran udara dan pemakaian masker
3. Sikap Polantas tentang pencemaran udara dan pemakaian masker
4. Niat untuk memakai masker Faktor Enabling
1. Situasi yang memungkinkan 2. Keterjangkauan informasi Faktor Reinforcing
1 S i l t
Praktik pemakaian masker pada Polantas Unit Pos Tetap di
(40)
27
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep
Gambar 3.1 Kerangka Konsep 3.2 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan landasan teori di atas, maka diturunkan suatu hipotesis penelitian sebagai berikut :
1. Ada hubungan antara umur Polantas dengan praktik pemakaian masker pada Polantas Unit Pos Tetap di Polwiltabes Semarang
2. Ada hubungan antara pendidikan Polantas dengan praktik pemakaian masker pada Polantas Unit Pos Tetap di Polwiltabes Semarang
Praktik pemakaian masker pada Polantas Unit Pos Tetap di Polwiltabes Semarang Faktor Internal :
1. Pengetahuan Polantas tentang pencemaran udara dan
pemakaian masker 2. Sikap Polantas tentang
pemakai masker
Karakteristik (umur, pendidikan, masa kerja) Polantas
(41)
28
3. Ada hubungan antara masa kerja Polantas dengan praktik pemakaian masker pada Polantas Unit Pos Tetap di Polwiltabes Semarang
4. Ada hubungan antara pengetahuan Polantas dengan praktik pemakaian masker pada Polantas Unit Pos Tetap di Polwiltabes Semarang
5. Ada hubungan antara sikap Polantas dengan praktik pemakaian masker pada Polantas Unit Pos Tetap di Polwiltabes Semarang
3.3 Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian korelasional dengan menggunakan pendekatan cross sectional. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya hubungan dan jika ada seberapa besar derajat hubungan tersebut.
3.4 Variabel Penelitian 3.4.1 Variabel Bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah faktor yang berhubungan dengan praktik pemakaian masker pada Polantas yaitu meliputi: (1) umur, (2) pendidikan, (3) masa kerja, (4) pengetahuan, dan (5) sikap.
3.4.2 Variabel Terikat
Variabel terikat pada penelitian ini adalah praktik pemakaian masker pada Polantas Unit Pos Tetap di Polwiltabes Semarang.
3.5 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran
Definisi operasional merupakan suatu definisi yang diberikan kepada suatu variabel atau konstrak dengan cara memberikan arti atau mendefinisikan kegiatan
(42)
atau memberikan suatu operasional yang diperlukan untuk mengukur konstrak atau variabel tersebut (Moh. Nasir, 1999:152).
Penjelasan definisi operasional merupakan matrik yang memuat tentang variabel penelitian, kategori, dan skala pengukuran (Tabel 3.1).
Tabel 3.1 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran
Variabel Keterangan Kategori Skala
Umur Usia subyek penelitian sejak dilahirkan sampai saat pengambilan data
1. Muda/dewasa: 25-49 tahun 2. Tua: > 50 tahun
Ordinal
Pendidikan Sekolah formal yang pernah dicapai oleh subyek penelitian.
1. Rendah: tamat SMA/ D3
2. Tinggi: tamat perguruan tinggi
Ordinal
Masa kerja Lama kerja subyek penelitian mulai bertugas di Polantas sampai saat pengambilan data berlangsung.
1. Baru: < 5 tahun 2. Lama: ≥ 5 tahun
Ordinal
Pengetahuan Polantas
Pemahaman Polantas mengenai pencemaran udara dan masker
1. Kurang, bila
< 60 % jawaban benar 2. Cukup, bila
60-80 % jawaban benar
3. Baik, bila
> 80 % jawaban benar (Yayuk Farida Baliwati, 2004: 118)
Ordinal
Sikap Polantas
Tanggapan Polantas terhadap penggunaan masker pada saat bertugas
1. Positif, bila skor 15-21
2. Negatif, bila skor 7-14
Ordinal
Praktik Pemakaian Masker
Praktik pemakaian masker pada Polantas Unit Pos Tetap di Polwiltabes Semarang
1. Tidak memakai, bila Polantas tidak memakai masker < 5 hari (selama 10 hari masa pengamatan) 2) Memakai, bila
Polantas memakai masker ≥ 5 hari (selama 10 hari masa pengamatan)
Ordinal
(43)
30
3.6.1 Populasi
Populasi penelitian adalah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang diterapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2003:55). Adapun yang menjadi populasi penelitian, yaitu anggota Polantas Unit Pos Tetap di Polwiltabes Semarang yang berjumlah 72 orang.
3.6.2 Sampel
Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling karena jumlah populasi kurang dari 100, maka jumlah populasi sama dengan jumlah sampel (Suharsimi Arikunto, 2002:110). Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah berjumlah 72 orang.
3.7 Sumber Data Penelitian 3.7.1 Data Primer
Data primer adalah data yang diambil dari responden atau sampel penelitian yang diperoleh langsung pada saat penelitian dan dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner. Adapun data yang diambil berupa umur, pendidikan, masa kerja, pengetahuan, sikap, dan praktik pemakaian masker pada Polantas Unit Pos Tetap di Polwiltabes Semarang.
3.7.2 Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari jurnal, referensi yang mendukung, dan data dari Polantas Unit Pos Tetap di Polwiltabes Semarang.
(44)
3.8 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk pengambilan data dalam penelitian (Soekidjo Notoadmodjo, 2005:48). Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang bersifat tertutup (multiple choise) yaitu berupa pertanyaan dimana responden harus memilih jawaban yang tersedia.
3.8.1 Validitas dan Reliabilitas
3.8.1.1Validitas
Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-benar mengukur apa yang di ukur (Soekidjo Notoadmodjo, 2002:129). Sebuah instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang hendak di ukur. Tinggi rendahnya validitas instrumen menunjukkan sejauh mana data yang terkumpul tidak menyimpang dari gambaran tentang validitas yang dimaksud. Untuk menguji validitas dilakukan uji coba instrumen, kemudian dihitung dengan uji korelasi product moment menggunakan bantuan komputer program SPSS windows 12,00. Uji validitas dilakukan di anggota unit pos PAM (Pengamanan) Satuan Lalu Lintas Polwiltabes Semarang dengan jumlah responden sebanyak 20 orang.
Teknik korelasi yang dipakai adalah teknik korelasi “product moment” yang rumusnya sebagai berikut:
r
xy =( )
{
2 2}
{
2( )
2}
) )( (∑
∑
∑
∑
∑
∑
∑
− − − Y Y N X X N Y X XY N Keterangan:(45)
32
rxy = Koefisien korelasi antara variabel X dan Y
N = Jumlah subyek
X = skor indikator yang diuji
Y = Jumlah skor indikator (Suharsimi Arikunto, 2002:146).
Hasil rxy yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan hasil pada tabel
product moment, nilai r untuk 20 sampel yaitu 0,444 dengan taraf signifikan 5% atau taraf kepercayaan 95%. Jika rxy >rtabel maka butir soal dalam kuesioner
dinyatakan valid.
Berdasarkan hasil perhitungan dari pertanyaan tentang beberapa faktor yang berhubungan dengan praktik pemakaian masker mempunyai r hitung > 0,444.
3.8.1.2Reliabilitas
Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan (Soekidjo Notoadmodjo, 2002:133). Ini berarti menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukuran itu tetap konsisten bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama, dengan menggunakan alat ukur yang sama.
Untuk uji reliabilitas instrumen dilakukan setelah uji validitasnya. Uji reliabilitas instrumen untuk pertanyaan yang valid diuji dengan rumus Alpha dengan bantuan komputer program SPSS windows 12,00.
r
11=( )
⎟⎟⎠⎞⎜⎜⎝⎛ − ⎟⎟⎠⎞ ⎜⎜⎝⎛
−
∑
22 1
1 t
b k
k
σσ
Keterangan :
(46)
K = Banyaknya butir pertanyaan
∑
2 =b
σ Jumlah varians =
2 t
σ Varians total (Suharsimi Arikunto, 2002:173).
Untuk menghitung reliabilitas instrumen digunakan program SPSS windows 12,00. Pada perhitungan tentang beberapa faktor yang berhubungan dengan praktik pemakaian masker diperoleh r Alpha 0,963 > r tabel 0,444 sehingga instrumen dinyatakan reliabel.
3.9 Pengambilan Data 3.9.1 Kuesioner
Kuesioner ini digunakan untuk tujuan mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari seseorang responden atau informan, dengan bercakap-cakap berhadapan muka. Dalam hal ini pengambilan data dilakukan pada saat subyek penelitian berada di tempat kerja yaitu kantor Polwiltabes Semarang. Adapun data yang diambil berupa umur, pendidikan, masa kerja, pengetahuan dan sikap tentang pemakaian masker.
3.9.2 Observasi
Dilakukan saat subyek penelitian bertugas melaksanakan pos tetap terutama pada jam-jam sibuk yaitu pada jam 06.00-08.00 WIB di pos tetap pagi atau saat pos tetap sore yaitu jam 16.00-18.00 WIB. Observasi dilakukan peneliti untuk mengambil data tentang praktik pemakaian masker pada Polantas saat bertugas di jalan raya.
3.9.3 Dokumentasi
(47)
34
3.10Pengolahan dan Analisis Data 3.10.1Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi dan presentase dari tiap variabel (Soekidjo Notoatmodjo, 2002:188).
3.10.2Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berkorelasi (Soekidjo Notoatmodjo, 2002:188). Analisis bivariat yang dilakukan untuk mengetahui adakah hubungan antara umur, pendidikan, masa kerja, pengetahuan, dan sikap Polantas dengan praktik pemakaian masker pada Polantas Unit Pos Tetap di Polwiltabes Semarang dengan menggunakan uji chi square. Uji chi square adalah teknik statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis bila dalam populasi terdiri atas dua atau lebih kelas, data berbentuk nominal dan sampelnya besar (Sugiyono, 2003:104).
Rumus uji yang digunakan adalah chi square (x2), sebagai berikut:
(
)
∑
= − = ki i
i i
E E O 1
2 2
χ
Keterangan:
2
χ = chi square
Oi = Frekuensi yang diobservasi
(48)
35
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1Deskripsi Data
Penelitian tentang beberapa faktor yang berhubungan dengan praktik pemakaian masker pada Polantas Unit Pos Tetap di Polwiltabes Semarang Tahun 2009 ini menggunakan 72 orang (responden).
Kantor Polwiltabes Semarang beralamat di Jalan Dr.Sutomo nomor 19. Sebelah barat Polwiltabes Semarang berbatasan dengan Asrama Polisi Kalisari, sebelah timur berbatasan dengan Rumah Sakit Umum Daerah Kariadi Semarang, sebelah selatan berbatasan dengan Asrama TNI-AD, dan sebelah utara berbatasan dengan Kantor PLN (Polwiltabes Semarang, 2008).
4.2Hasil Penelitian 4.2.1 Analisis Univariat 4.2.1.1 Umur Responden
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan distribusi responden berdasarkan umur dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Tabel 4.1).
Tabel 4.1 Distribusi Responden Berdasarkan Umur
No. Umur Jumlah %
1. Muda 38 52,80
2. Tua 34 47,20
(49)
36
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa frekuensi terbesar responden dalam kategori umur muda, yaitu sebesar 52,80% (38 orang), sedangkan responden yang mempunyai kategori umur tua sebesar 47,20% (34 orang).
4.2.1.2 Pendidikan Responden
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan distribusi responden berdasarkan pendidikan dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Tabel 4.2).
Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan
No. Pendidikan Jumlah %
1. Rendah 56 77,80
2. Tinggi 16 22,20
Total 72 100,00
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa sebagian besar responden mempunyai tingkat pendidikan rendah, hampir sebesar 77,80% (56 orang), sedangkan responden yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi yaitu sebesar 22,20% (16 orang).
4.2.1.3 Masa Kerja Responden
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan distribusi responden berdasarkan masa kerja dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Tabel 4.3).
Tabel 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Masa Kerja
No. Masa Kerja Jumlah %
1. Baru 32 44,40
2. Lama 40 55,60
(50)
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa frekuensi terbesar responden mempunyai masa kerja lama, yaitu sebesar 55,60% (40 orang), sedangkan responden yang mempunyai masa kerja baru yaitu sebesar 44,40% (32 orang).
4.2.1.4 Pengetahuan Responden
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan distribusi responden berdasarkan pengetahuan dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Tabel 4.4).
Tabel 4.4 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan
No. Pengetahuan Jumlah %
1. Rendah 14 19,40
2. Sedang 39 54,20
3. Tinggi 19 26,40
Total 72 100,00
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa frekuensi terbesar responden mempunyai pengetahuan sedang, yaitu sebesar 54,20% (39 orang), sedangkan responden yang mempunyai pengetahuan tinggi sebesar 26,40% (19 orang), serta responden yang mempunyai pengetahuan rendah sebesar 19,40% (14 orang).
4.2.1.5 Sikap Responden
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan distribusi responden berdasarkan sikap dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Tabel 4.5).
Tabel 4.5 Distribusi Responden Berdasarkan Sikap
No. Sikap Jumlah %
1. Negatif 38 52,80
2. Positif 34 47,20
(51)
38
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa frekuensi terbesar responden mempunyai sikap negatif terhadap pemakaian masker, yaitu sebesar 52,80% (38 orang), dan responden yang mempunyai sikap positif sebesar 47,20% (34 orang).
4.2.1.6 Pemakaian Masker (Alat Pelindung Diri)
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan distribusi responden berdasarkan pemakaian masker dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Tabel 4.6).
Tabel 4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Pemakaian Masker
No. Pemakaian Masker Jumlah %
1. Tidak Memakai 41 56,90
2. Memakai 31 43,10
Total 72 100,00
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa frekuensi terbesar responden tidak memakai masker, yaitu sebesar 56,90% (41 orang), sedangkan responden yang memakai masker sebesar 43,10% (31 orang).
4.2.2 Analisis Bivariat
4.2.2.1 Hubungan antara Umur dengan Pemakaian Masker pada Polantas
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hubungan antara umur dengan pemakaian maskerdapat dilihat pada tabel di bawah ini (Tabel 4.7).
Tabel 4.7 Hubungan antara Umur dengan Pemakaian Masker pada Polantas
No. Umur
Pemakaian Masker (APD) Total
p CC
Tidak
Memakai Memakai N %
N % N %
1. Muda 35 92,10 3 7,90 38 100,00
0,0001 0,600 2. Tua 6 17,60 28 82,40 34 100,00
(52)
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa dari 38 responden yang mempunyai umur muda 92,10% (35 orang) tidak memakai masker, sedangkan 7,9 % (3 orang) memakai masker. Dari 34 responden yang berumur kategori tua 17,60% (6 orang) tidak memakai masker, sedangkan 82,40% (28 orang) memakai masker.
Hubungan antara umur dengan pemakaian masker digambarkan dengan grafik batang (Gambar 4.1).
Gambar 4.1 Distribusi Frekuensi Umur dan Pemakaian Masker
4.2.2.2 Hubungan antara Pendidikan dengan Pemakaian Masker pada Polantas
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hubungan antara pendidikan dengan pemakaian maskerdapat dilihat pada tabel di bawah ini (tabel 4.8).
Tabel 4.8 Hubungan antara Pendidikan dengan Pemakaian Masker pada Polantas
No. Pendidikan Pemakaian Masker
(APD) Total p CC
Distribusi Frekuensi Umur dan Pemakaian Masker
35
6 3
28 0
20 40
muda tua
Kategori Frekuensi
Tidak Memakai Pakai
(53)
40
Tidak
Memakai Memakai N %
N % N %
1. Rendah 40 71,40 16 28,60 56 100,00
0,0001 0,480 2. Tinggi 1 6,30 15 6,90 16 100,00
Total 41 59,90 31 43,10 72 100,00
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui dari 56 responden yang mempunyai tingkat pendidikan rendah sebesar 71,40% (40 orang) tidak memakai masker, sedangkan 28,60% (16 orang) memakai masker. Dari 16 responden yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi 6,30% (1 orang) tidak memakai masker sedangkan 6,90% (15 orang) memakai masker. Hubungan antara pendidikan dengan pemakaian masker digambarkan dengan grafik batang (Gambar 4.2).
Gambar 4.2 Distribusi Frekuensi Pendidikan dan Pemakaian Masker
4.2.2.3 Hubungan antara Masa Kerja dengan Pemakaian Masker pada Polantas
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hubungan antara masa kerja dengan pemakaian maskerdapat dilihat pada tabel di bawah ini (tabel 4.9).
Distribusi Frekuensi Pendidikan dan Pemakaian Masker
40
1 16 15 0
20 40 60
Rendah Tinggi
Kategori Frekuensi
Tidak Memakai Pakai
(54)
Tabel 4.9 Hubungan antara Masa Kerja dengan Pemakaian Masker pada Polantas
No. Masa Kerja
Pemakaian Masker (APD) Total
p CC
Tidak
Memakai Memakai N %
N % N %
1. Baru 28 87,50 4 12,50 32 100,00
0,0001 0,483 2. Lama 13 32,50 27 67,50 40 100,00
Total 41 59,90 31 43,10 72 100,00
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui dari 32 responden yang mempunyai masa kerja baru, sebesar 87,50% (28 orang) tidak memakai masker, sedangkan 12,50% (4 orang) memakai masker. Dari 40 responden yang mempunyai masa kerja lama 32,50% (13 orang) tidak memakai masker, sedangkan 67,50% (27 orang) memakai masker. Hubungan antara masa kerja dengan pemakaian masker digambarkan dengan grafik batang (Gambar 4.3).
Gambar 4.3 Distribusi Frekuensi Masa Kerja dan Pemakaian Masker
Distribusi Frekuensi Masa Kerja dan
Pemakaian Masker
28
13 4
27
0 10 20 30
Baru Lama
Kategori Frekuensi
Pakai
(55)
42
4.2.2.4 Hubungan antara Pengetahuan dengan Pemakaian Masker pada Polantas
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hubungan antara pengetahuan dengan pemakaian maskerdapat dilihat pada tabel di bawah ini (tabel 4.10).
Tabel 4.10 Hubungan antara Pengetahuan dengan Pemakaian Masker pada Polantas
No. Pengetahuan
Pemakaian Masker (APD) Total
p CC
Tidak
Memakai Memakai N %
N % N %
1. Rendah 12 85,70 2 14,30 14 100
0,0001 0,535 2. Sedang 28 71,80 11 28,20 39 100
3. Tinggi 1 5,30 18 94,70 19 100 Total 41 5,90 31 43,10 72 100
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui dari 14 responden yang mempunyai tingkat pengetahuan rendah, 85,70% (12 orang) tidak memakai masker, sedangkan 14,30% (2 orang) memakai masker. Dari 39 responden yang mempunyai tingkat pengetahuan sedang 71,80% (28 orang) tidak memakai masker, sedangkan 28,20% (11 orang) memakai masker. Dari 19 responden yang mempunyai tingkat pengetahuan yang tinggi 5,30% (1 orang) tidak memakai masker dan 94,70% (18 orang) memakai masker. Hubungan antara pengetahuan dengan pemakaian masker digambarkan dengan grafik batang (Gambar 4.4).
(56)
Gambar 4.4 Distribusi Frekuensi Pengetahuan dan Pemakaian Masker 4.2.2.5 Hubungan antara Sikap dengan Pemakaian Masker pada Polantas
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hubungan antara sikap dengan pemakaian maskerdapat dilihat pada tabel di bawah ini (tabel 4.11).
Tabel 4.11 Hubungan antara Sikap dengan Pemakaian Masker pada Polantas
No. Sikap
Pemakaian Masker (APD) Total
P CC
Tidak
Memakai Memakai N %
N % N %
1. Negatif 35 92,10 3 7,90 38 100,00
0,0001 0,600 2. Positif 6 17,60 28 82,40 34 100,00
Total 41 59,90 31 43,10 72 100,00
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui dari 38 responden yang mempunyai sikap negatif 92,10% (35 orang) tidak memakai masker, sedangkan 7,90% (3 orang) memakai masker. Dari 34 responden yang mempunyai sikap
Ristribusi Frekuensi Pengetahuan
dan Pemakaian Masker
12
28
1 2
11 18
0 10 20 30
Rendah Sedang Tinggi Kategori
Frekuensi
Tidak Memakai Pakai
(57)
44
positif 17,60% (6 orang) tidak memakai masker, sedangkan 82,40% (28 orang) memakai masker.
Hubungan antara sikap dengan pemakaian masker digambarkan dengan grafik batang (Gambar 4.5).
Gambar 4.5 Distribusi Frekuensi Sikap dan Pemakaian Masker
Distribusi Frekuensi Sikap dan
Pemakaian Masker
0 20 40
Negatif Positif Kategori Frekuensi
Tidak Memakai Pakai
(58)
45
BAB V PEMBAHASAN
5.1 Hubungan antara Umur dengan Praktik Pemakaian Masker pada Polantas
Pelindung pernafasan atau yang biasa disebut masker adalah salah satu bagian dari APD yang berfungsi sebagai pelindung hidung dan mulut merupakan alat pelindung pernafasan dari pemaparan debu, gas, uap, kabut, asap dan lain-lain. Sehingga masker sangat diperlukan sekali oleh tenaga kerja, terutama pada tenaga kerja yang setiap harinya terpapar oleh debu (Herrington, 2005:246).
Masker berguna untuk melindungi masuknya debu atau partikel-partikel yang lebih besar ke dalam saluran pernafasan, dapat terbuat dari kain dengan ukuran pori-pori tertentu.
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa pemakaian masker pada Polantas dikategorikan menjadi dua, yaitu kategori responden yang tidak memakai masker, dan responden yang memakai masker. Responden yang tidak memakai masker, yaitu sebesar 56,90% (41 orang), dan responden yang memakai masker sebesar 43,10% (31 orang).
Kelompok umur pada responden dikategorikan menjadi dua, yaitu kategori kelompok umur muda (25-49 tahun) dan kelompok umur tua (> 50 tahun). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa responden dalam kategori umur muda yaitu sebesar 52,80% (38 orang), dan responden yang mempunyai kategori umur tua sebesar 47,20% (34 orang).
(59)
46
Berdasarkan hasil analisis hubungan antara umur dengan praktik pemakaian masker pada Polantas menggunakan uji chi square didapatkan nilai p value sebesar = 0,0001 (p value < 0,05) dengan koefisien kontingensi (CC) sebesar 0,600. Karena nilai p value lebih kecil dari 0,05 dengan demikian Ha diterima, yang berarti ada hubungan antara umur dengan praktik pemakaian masker pada Polantas Unit Pos Tetap di Polwiltabes Semarang tahun 2009. Sedangkan untuk keeratan hubungan atau koefisien kontingensi (CC) antara umur dengan praktik pemakaian masker adalah 0,600 termasuk kategori kuat.
Berdasarkan data ternyata responden yang umurnya muda cenderung tidak memakai masker, sebaliknya bagi responden yang umurnya tua cenderung memakai masker. Demikian semakin tua responden semakin memakai masker ketika menjalankan tugasnya.
5.2 Hubungan antara Pendidikan dengan Praktik Pemakaian Masker pada Polantas
Dalam penelitian ini pendidikan dikategorikan menjadi dua, yaitu tingkat pendidikan rendah (SLTA-D3) dan tingkat pendidikan tinggi (Perguruan tinggi). Dari penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai tingkat pendidikan rendah, yaitu sebesar 77,80% (56 orang), sedangkan responden yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi sebesar 22,20% (16 orang).
Berdasarkan hasil analisis hubungan antara pendidikan dengan praktik pemakaian masker pada Polantas menggunakan uji chi square didapatkan nilai p value sebesar = 0,0001 (p value < 0,05) dengan koefisien kontingensi (CC) sebesar 0,480. Karena nilai p value lebih kecil dari 0,05 dengan demikian Ha
(60)
diterima, yang berarti ada hubungan antara pendidikan dengan praktik pemakaian masker pada Polantas Unit Pos Tetap di Polwiltabes Semarang tahun 2009.
Sedangkan untuk keeratan hubungan atau koefisien kontingensi (CC) antara umur dengan praktik pemakaian masker adalah 0,480 termasuk kategori sedang.
5.3 Hubungan antara Masa Kerja dengan Praktik Pemakaian Masker pada Polantas
Masa kerja adalah lamanya tenaga kerja bekerja dari pertama mulai masuk hingga sekarang masih bekerja. Masa kerja dapat diartikan sebagai sepenggalan waktu yang agak lama dimana seorang tenaga kerja masuk dalam satu wilayah tempat usaha sampai batas waktu tertentu (Suma’mur P.K, 1996:193).
Masa kerja dalam penelitian ini dikategorikan menjadi dua, yaitu masa kerja lama (≥ 5 tahun) dan masa kerja baru (< 5 tahun). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa responden yang mempunyai masa kerja lama sebesar 55,60% (40 orang), dan responden yang mempunyai masa kerja baru sebesar 44,40% (32 orang).
Hasil analisis hubungan antara masa kerja dengan praktik pemakaian masker pada Polantas menggunakan uji chi square didapatkan nilai p value sebesar = 0,0001 (p value < 0,05) dengan koefisien kontingensi sebesar 0,483. Karena nilai p value lebih kecil dari 0,05 dengan demikian Ha diterima, yang berarti ada hubungan antara masa kerja dengan praktik pemakaian masker pada Polantas Unit Pos Tetap di Polwiltabes Semarang tahun 2009.
(61)
48
Sedangkan untuk keeratan hubungan atau koefisien kontingensi (CC) antara masa kerja dengan praktik pemakaian masker adalah 0,483 termasuk kategori sedang.
Semakin lama seseorang dalam bekerja maka semakin banyak dia telah terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut (Suma’mur P.K., 1995:70). Polantas yang tidak menggunakan masker, mempunyai faktor risiko terjadinya penyakit pada pernafasan atau pada kapasitas vital paru.
Mekanisme penimbunan debu dalam paru dapat terjadi pada saat bernapas, dengan menarik napas udara yang mengandung debu masuk ke dalam paru. Jalur yang ditempuh adalah hidung, faring, trakea, bronkus, broncheoli, dan alveoli.
Debu yang masuk ke saluran pernapasan tergantung pada ukuran partikel debu tersebut. Ukuran-ukuran debu yang dapat masuk ke dalam saluran pernapasan adalah sebagai berikut: (1) ukuran 5-10 mikro (ditahan oleh jalan bernafas bagian atas), (2) ukuran 4-5 mikro (ditahan oleh bagian tengah jalan pernafasan), (3) ukuran 1-3 mikro (akan ditempatkan langsung ke permukaan alveoli paru), (4) ukuran 0,1-1 mikro (tidak begitu gampang hinggap di alveoli karena tidak mengendap), (5) ukuran < 0,1 mikro (bermasa terlalu kecil sehingga tidak hinggap di permukaan alveoli atau selaput lendir) (Suma’mur P.K, 1996:126).
5.4 Hubungan antara Pengetahuan dengan Praktik Pemakaian Masker pada Polantas
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang atau anak usia sekolah dasar melakukan penginderaan terhadap suatu obyek
(62)
tertentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Soekidjo Notoatmodjo, 2003:121).
Polantas yang mengetahui pentingnya penggunaan masker akan cenderung menggunakan masker saat bekerja sehingga akan dapat mengurangi faktor risiko terjadinya penyakit atau gangguan pada pernafasan yang berasal dari debu ketika bekerja sebagai Polantas di jalan raya.
Hasil analisis hubungan antara pengetahuan dengan praktik pemakaian masker pada Polantas, menggunakan uji chi square didapatkan nilai p value sebesar = 0,0001 (p value < 0,05) dengan koefisien kontingensi sebesar 0,535. Karena nilai p value lebih kecil dari 0,05 dengan demikian Ha diterima, yang berarti ada hubungan antara pengetahuan dengan praktik pemakaian masker pada Polantas Unit Pos Tetap di Polwiltabes Semarang tahun 2009. Sedangkan untuk keeratan hubungan atau koefisien kontingensi (CC) antara pengetahuan dengan praktik pemakaian masker adalah 0,535 termasuk kategori sedang.
Menurut Soekidjo Notoatmodjo (2003:122) pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu tahu (know), memahami (comprehension), aplikasi (aplication), analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan evaluasi (evaluation).
Hasil penelitian tentang pengetahuan ini menunjukkan bahwa sebagian responden yang mempunyai pengetahuan sedang sebesar 54,20% (39 orang), yang mempunyai pengetahuan tinggi sebesar 26,40% (19 orang), serta responden yang mempunyai pengetahuan rendah sebesar 19,40% (14 orang).
(63)
50
5.5 Hubungan antara Sikap dengan Praktik Pemakaian Masker pada Polantas
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek (Soekidjo Notoatmodjo, 2003:124).
Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap obyek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap obyek (Soekidjo Notoatmodjo, 2003:124).
Sikap dikategorikan menjadi dua, yaitu sikap positif, dan sikap negatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai sikap negatif terhadap pemakaian masker, yaitu sebesar 52,80% (38 orang), dan responden yang mempunyai sikap positif sebesar 47,20% (34 orang).
Hasil analisis hubungan antara sikap dengan praktik pemakaian masker pada Polantas menggunakan uji chi square didapatkan nilai p value sebesar = 0,0001 (p value < 0,05) dengan koefisien kontingensi sebesar 0,600. Karena nilai p value lebih kecil dari 0,05 dengan demikian Ha diterima, yang berarti ada hubungan antara sikap dengan praktik pemakaian masker pada Polantas Unit Pos Tetap di Polwiltabes Semarang tahun 2009.
(64)
Sedangkan untuk keeratan hubungan atau koefisien kontingensi (CC) antara masa kerja dengan praktik pemakaian masker adalah 0,600 termasuk kategori kuat.
(1)
HASIL ANALISIS BIVARIAT
1. Crosstabs Umur dan Pemakaian Masker
Umur * Pemakaian Masker Crosstabulation
35 3 38
21.6 16.4 38.0
92.1% 7.9% 100.0%
6 28 34
19.4 14.6 34.0
17.6% 82.4% 100.0%
41 31 72
41.0 31.0 72.0
56.9% 43.1% 100.0%
Count
Expected Count % within Umur Count
Expected Count % within Umur Count
Expected Count % within Umur Muda
Tua Umur
Total
Tidak
Memakai Memakai
Pemakaian Masker
Total
Chi-Square Tests
40.576b 1 .000
37.596 1 .000
45.741 1 .000
.000 .000
40.013 1 .000
72 Pearson Chi-Square
Continuity Correctiona
Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Computed only for a 2x2 table a.
0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14. 64.
(2)
2. Crosstabs Pendidikan dan Pemakaian Masker
Symmetric Measures.600 .000
72 Contingency Coefficient
Nominal by Nominal N of Valid Cases
Value Approx. Sig.
Not assuming the null hypothesis. a.
Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. b.
Pendidikan * Pemakaian Masker Crosstabulation
40 16 56
31.9 24.1 56.0 71.4% 28.6% 100.0%
1 15 16
9.1 6.9 16.0 6.3% 93.8% 100.0%
41 31 72
41.0 31.0 72.0 56.9% 43.1% 100.0% Count
Expected Count % within Pendidikan Count
Expected Count % within Pendidikan Count
Expected Count % within Pendidikan Rendah
Tinggi Pendidikan
Total
Tidak
Memakai Memakai Pemakaian Masker
Total
Chi-Square Tests
21.563b 1 .000
18.986 1 .000
23.932 1 .000
.000 .000
21.263 1 .000
72 Pearson Chi-Square
Continuity Correctiona
Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Computed only for a 2x2 table a.
0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6. 89.
(3)
3. Crosstabs Masa Kerja dan Pemakaian Masker
Symmetric Measures.480 .000
72 Contingency Coefficient
Nominal by Nominal N of Valid Cases
Value Approx. Sig.
Not assuming the null hypothesis. a.
Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. b.
Masa Kerja * Pemakaian Masker Crosstabulation
28 4 32
18.2 13.8 32.0
87.5% 12.5% 100.0%
13 27 40
22.8 17.2 40.0
32.5% 67.5% 100.0%
41 31 72
41.0 31.0 72.0
56.9% 43.1% 100.0%
Count
Expected Count % within Masa Kerja Count
Expected Count % within Masa Kerja Count
Expected Count % within Masa Kerja Baru
Lama Masa
Kerja
Total
Tidak
Memakai Memakai
Pemakaian Masker
Total
Chi-Square Tests
21.934b 1 .000
19.748 1 .000
23.860 1 .000
.000 .000
21.630 1 .000
72 Pearson Chi-Square
Continuity Correctiona
Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Computed only for a 2x2 table a.
0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13. 78.
(4)
4. Crosstabs Pengetahuan Polantas dan Pemakaian Masker
Symmetric Measures.483 .000
72 Contingency Coefficient
Nominal by Nominal N of Valid Cases
Value Approx. Sig.
Not assuming the null hypothesis. a.
Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. b.
Pengetahuan Polantas * Pemakaian Masker Crosstabulation
12 2 14
8.0 6.0 14.0
85.7% 14.3% 100.0%
28 11 39
22.2 16.8 39.0
71.8% 28.2% 100.0%
1 18 19
10.8 8.2 19.0
5.3% 94.7% 100.0%
41 31 72
41.0 31.0 72.0
56.9% 43.1% 100.0%
Count
Expected Count % within Pengetahuan Polantas
Count
Expected Count % within Pengetahuan Polantas
Count
Expected Count % within Pengetahuan Polantas
Count
Expected Count % within Pengetahuan Polantas
Rendah
Sedang
Tinggi Pengetahuan
Polantas
Total
Tidak
Memakai Memakai
Pemakaian Masker
Total
Chi-Square Tests
28.933a 2 .000
32.701 2 .000
23.618 1 .000
72 Pearson Chi-Square
Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.03.
(5)
5. Crosstabs Sikap Polantas dan Pemakaian Masker
Sikap Polantas * Pemakaian Masker Crosstabulation
35 3 38
21.6 16.4 38.0
92.1% 7.9% 100.0%
6 28 34
19.4 14.6 34.0
17.6% 82.4% 100.0%
41 31 72
41.0 31.0 72.0
56.9% 43.1% 100.0%
Count
Expected Count
% within Sikap Polantas Count
Expected Count
% within Sikap Polantas Count
Expected Count
% within Sikap Polantas Negatif
Positif Sikap Polantas
Total
Tidak
Memakai Memakai
Pemakaian Masker
Total
Chi-Square Tests
40.576b 1 .000
37.596 1 .000
45.741 1 .000
.000 .000
40.013 1 .000
72 Pearson Chi-Square
Continuity Correctiona
Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Computed only for a 2x2 table a.
0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14. 64.
b.
Symmetric Measures
.535 .000
72 Contingency Coefficient
Nominal by Nominal N of Valid Cases
Value Approx. Sig.
Not assuming the null hypothesis. a.
Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. b.
(6)
Symmetric Measures
.600 .000
72 Contingency Coefficient
Nominal by Nominal N of Valid Cases
Value Approx. Sig.
Not assuming the null hypothesis. a.
Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. b.