TAP.COM - IMPLEMENTASI AJARAN HUKUM WARIS ISLAM PADA ... 14 43 1 PB

IMPLEMENTASI AJARAN HUKUM WARIS ISLAM
PADA MASYARAKAT BUGIS DI KABUPATEN BONE
Oleh: Asni Zubair
Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Watampone
Abstract
Implementation of Islamic inheritance law school at the Bugis
Bone lasts through dynamic interaction with the teachings of
their customary inheritance law. The interaction between these
two teachings are sometimes in the form of inheritance law
conflict interaction, cooperation, and sometimes going through
the struggle, but not up to the competition. This can be seen for
example on the principle of inheritance as the basis of
consultation, individual, bilateral and prohibitions inheriting
that happened in the Bugis Bone in their inheritance.
Kata Kunci: Implementasi, Hukum Waris Islam, Masyarakat
Bugis
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Implementasi ajaran hukum waris Islam pada
masyarakat Bugis di Bone berlangsung melalui interaksi1 antara

hukum waris Islam dengan hukum waris adat masyarakat
setempat. Interaksi kedua sistem hukum waris ini berupa
hubungan yang dinamis antara sistem nilai yang terkandung
dalam ajaran hukum waris Islam dengan sistem nilai yang ada
dalam hukum waris adat masyarakat. Hal ini berlangsung dalam
bentuk kerjasama, persaingan dan pertentangan.2 Apabila
Interaksi dalam antropologi sebagai proses sesuai menyesuaikan
antara suatu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya atau antara dua sistem
nilai yang merangkum semua aspek dinamik maupun statik antara
kebudayaan yang berinteraksi. Ralp Lintoln, Antropologi Suatu Penyelidikan
tentang Manusia, (Bandung: Jemmars 1984), h. 266
2
Lihat Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta:
Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1978), h. 199.
1

31

hubungan antara hukum waris Islam dan hukum waris adat
masyarakat Bugis dicermati, maka tampak keduanya berada

pada interaksi kerjasama. Hal ini dapat dipetik dari ungkapan
lontara’ tentang hubungan ade’ dan hukum Islam bahwa:
Mappakaraajai sara’ẽ ri ade’ẽ mappakalebbi’i ade’ẽ ri
sara’ẽ. Temmakkullẽi ade’ẽ naruusa’ tarobicaranna sara’ẽ
temmakkullẽtoi sara’ẽ naruusa’ tarobicaranna ade’ẽ. Puusai
ade’ẽ ritarobicaranna massappaai ritarobicaranna sara’ẽ.
Puusai sara’ẽ ritarobicarana massappaai ritarobicaranna
ade’ẽ.
Temmakkullẽi
sipusa-pusang
iyya
duwa
3
temmakkullẽitoi siruusa’ iyya duwa.
Dari kutipan di atas dapat dikatakan bahwa syari’at
menghormati aturan dalam ade’, ade’ juga menghormati aturan
syari’at. Tidak pantas ade’ membatalkan aturan syari’at dan juga
syari’at tidak membatalkan aturan ade’ yang dipandang baik.
Apabila suatu hal tidak ditemukan dalam aturan ade’ akan dicari
dalam aturan syari’at. Jika sesuatu tidak ditemukan dalam aturan

syari’at akan dicari dalam aturan ade’. Tidak mungkin antara
keduanya saling mengaburkan dan tidak mungkin keduanya
saling bertentangan. Tampak dari ungkapan ini bahwa antara
ade’ dan syari’at saling bekerjasama mengatasi berbagai
persoalan masyarakat. Bilamana ada persoalan yang terjadi
maka syari’at maupun ade’ secara bersama-sama menemukan
solusi untuk menyelesaikannya, termasuk jika dilakukan
pembagian harta warisan dalam masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian sebelumnya maka dalam tulisan ini
akan dibahas pokok masalah bagaimana implementasi ajaran
hukum waris Islam pada masyarakat Bugis di Kabupaten Bone?
C. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field
research) dengan menggunakan metode kualitatif. Data
3
Sebagaimana dituturkan Andi Muhammad Ali dalam Haddise,
“Hukum Kewarisan Islam di Bone Kajian tentang Pelaksanaannya
berhadapan dengan Hukum Kewarisan Adat”. Laporan Penelitian Individual.
Watampone: STAIN, 2004, h. 2.


32

penelitian ini berasal dari masyarakat Kabupaten Bone yang
mengalami dan melakukan pembagian harta warisan.
Pengumpulan data lapangan dilakukan dengan wawancara
mendalam (in-depth interview) untuk mengungkap implementasi
ajaran hukum waris Islam yang telah menjadi kebiasaan dalam
masyarakat Bugis di Bone,
II. PEMBAHASAN
A. Sekitar Harta Bawaan dan Harta Bersama
Harta warisan yang dimaksud dalam hukum waris Islam
adalah harta peninggalan pewaris setelah dilakukan beberapa
kewajiban yang berkaitan sebelum dibagikan kepada ahli
warisnya. Beberapa kewajiban yang berkaitan dengan harta
peninggalan yang dimaksudkan adalah tindakan yang dilakukan
sebelum menjadikan harta tersebut sebagai harta warisan, yaitu
didahului dengan menyelesaikan biaya pengurusan jenazah
mulai dari perawatan/pengobatan sampai penyelenggaraan
jenazah pewaris, membayarkan utang-utang pewaris, serta

menunaikan wasiat pewaris manakala dia meninggalkan wasiat
yang berkenaan dengan harta bendanya.4 Dari pengertian ini
terdapat tiga unsur pokok yang terkandung di dalamnya, yaitu:
Pertama, harta adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai,
baik berbentuk benda (bergerak atau tidak) serta hak-hak yang
mempunyai nilai kebendaan atau hak yang mengikuti bendanya.
Kedua, harta peninggalan adalah harta kekayaan yang
ditinggalkan pewaris sebelum dikeluarkan hak-hak orang lain.
Ketiga, beberapa kewajiban yang berkaitan dengan harta
peninggalan adalah tindakan pengeluaran harta yang menjadi
hak orang lain dan hak pewaris.5 Hak orang lain dari harta
peninggalan seperti utang pewaris kepadanya, sedangkan hak
pewaris dari harta peninggalannya yaitu biaya penyelenggaraan
jenazahnya secara baik.

Lihat Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam
dalam Lingkungan Adat Minangkabau, (Jakarta: Gunung Agung, 1984), h.
90-96.
5
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia

Eksistensi dan Adaptabilitas, (Yogyakarta: Ekonisia Fakultas Ekonomi UII,
2005), h. 139.
4

33

Oleh karena itu, harta peninggalan sebelum dibagikan
kepada ahli waris harus dilakukan beberapa kewajiban yang
berkaitan, agar harta yang menjadi hak orang lain dan hak
pewaris tidak dimanfaatkan oleh ahli waris. Di antara kewajiban
yang berkaitan dengan harta peninggalan adalah pengeluaran
harta yang menjadi hak janda atau duda yang berupa harta
pribadi yang diperoleh melalui berbagai sumber. Selain itu
dilakukan pengeluaran harta untuk pelunasan hutang, wasiat,
dan biaya pengurusan jenazah pewaris.
Dalam hal ini interaksi hukum waris Islam dan hukum
waris adat masyarakat melalui bentuk kerjasama6 karena baik
hukum waris Islam maupun hukum waris adat masyarakat samasama melakukan beberapa kewajiban sebelum harta peninggalan
dibagikan kepada para ahli warisnya. Beberapa kewajiban
terhadap harta warisan dalam ajaran hukum waris adat yang

disebut dengan ripacakkaari (dibersihkan) seperti melakukan
pelunasan hutang pewaris (makkamaja inreng) baik hutang
ketika pewaris masih hidup maupun hutang pewaris saat
meninggal dunia untuk menutupi biaya penyelenggaraan
jenazahnya. Meskipun dalam hukum waris Islam tidak
membebani ahli waris untuk membayar hutang pewaris apabila
harta peninggalannya tidak mencukupi, tetapi dalam masyarakat
Bugis di Bone menganggap hal tersebut tidak pantas (dẽ’
nasitinaaja) membiarkan utang pewaris tidak terbayarkan. Maka
ahli waris yang memiliki kemampuan tanpa diminta akan
membayarkan utang pewarisnya.
Kewajiban berkenaan harta peninggalan yang berupa
pengeluaran harta pihak janda atau duda menunjukkan bahwa
hukum Islam menegaskan adanya harta pribadi suami atau istri
yang tidak dapat diganggu oleh pihak lain. Harta pribadi suami
dikuasai sendiri, begitu pula harta istri dikuasai sepenuhnya oleh
istri itu sendiri. Pemberian hak pada masing-masing suami
ataupun istri untuk menguasai secara pribadi atas hartanya
dalam Islam diisyaratkan melalui QS. An-Nisa’ (4): 32 yang
menyatakan bahwa untuk laki-laki ada harta kekayaan yang

diperolehnya dari hasil usahanya, dan untuk perempuan ada

6

Soerjono Soekanto, loc. cit..

34

harta kekayaan yang diperolehnya dari hasil usahanya sendiri.7
Konsekuensi adanya pemilikan pribadi oleh suami dan istri
tersebut apabila terjadi perceraian atau kematian salah satu
pihak, maka harta pribadi itu kembali pada janda atau duda.
Karena itu sewaktu salah satu pihak meninggal, langkah awal
yang dilakukan ialah mengeluarkan harta yang menjadi hak
janda ataupun duda tersebut.
Mengenai penetapan pengertian tiap jenis atau macam
harta itu masih terjadi perbedaan dalam perumusan, sehingga
menimbulkan salah tafsir. Harta bawaan menurut Muhammad
Daud Ali adalah harta yang telah dimiliki suami istri sebelum
pernikahan. Sementara menurut Idris Ramulyo, beliau

menekankan bahwa harta bawaan adalah harta yang diperoleh
suami istri selama pernikahan berlangsung atas pemberian dan
berkenaan dengan hak-hak (hibah, warisan dan wasiat).8
Adapun Iman Sudiyat merumuskan harta bawaan adalah harta
warisan yang telah diterima suami/istri dari pihak keluarganya
masing-masing.9
Dari pengertian tersebut sudah ada kepastian tentang
cara memperoleh harta bawaan yaitu melalui warisan tetapi
tidak ditegaskan waktunya. Adapun rumusan Muhammad Daud
Ali dan Idris Ramulyo berbeda dalam hal waktu dan cara
memperoleh harta bawaan itu. Muhammad Daud Ali
menegaskan waktu perolehannya sebelum pernikahan
dilangsungkan tetapi tidak disertai dengan caranya, hanya
bersifat umum yakni diperoleh melalui pemberian dan
berkenaan dengan hak. Sementara Idris Ramulyo menegaskan
waktu memperoleh harta bawaan yakni selama pernikahan
berlangsung dan caranya dengan melalui pemberian dan
berkenaan dengan hak-hak. Rumusan Iman Sudiyat dan Idris
Ramulyo hampir sama karena keduanya menegaskan cara
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung:

PT. Syaamil Cipta Media bekerjasama dengan Yayasan Penyelenggara
Penerjemah/ Penafsir Al-Qur’an Revisi Terjemah oleh Lajnah Pentashih
Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama Republik Indonesia, 2005), h. 83
8
Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum
Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004), h. 28
9
Iman Sudiyat, Hukum Adat Setsa Asas, (Yogyakarta: Liberty,
1981), h. 143
7

35

perolehan yaitu dengan hak-hak meskipun Iman Sudiyat hanya
membatasi pada warisan, tetapi keduanya berbeda dalam waktu
perolehan. Idris Ramulyo menyebut waktu perolehan harta
bawaan itu yakni selama pernikahan berlangsung, sedangkan
Iman Sudiyat tidak menegaskan waktunya.
Harta bawaan dalam hukum adat masyarakat disebut

dengan waramparang siwali yang akan kembali kepada si
pembawa harta.10 Dengan kata lain bahwa dengan meninggalnya
pewaris, maka harta yang dibawa dari keluarganya akan kembali
menjadi bagian harta warisan untuk kerabatnya sebagai ahli
waris berdasarkan hubungan nasab apabila pewaris tersebut
tidak meninggalkan anak/ keturunan. Tetapi aturan ini tidak
berlaku secara kaku, artinya harta bawaan masing-masing suami
dan istri dapat saja disatukan apalagi bila mereka memiliki anak/
keturunan.
Harta bersama dalam hukum waris adat masyarakat
Bugis di Bone dikenal dengan nama waramparang balirẽẽso
akan dibagi dua antara janda dan duda apabila terjadi perceraian
dan dalam perkawinan mereka tidak dikaruniai anak. Seperti
dituturkan oleh Bapak Andi Muhammad Ridwan Petta Rani
”waramparang
balirẽsoona
dibagẽ
duwai
narẽkko
11
masserangngi” (harta bersama dibagi dua kalau bercerai).
Harta bersama dibagi dua untuk janda dan duda apabila mereka
telah bercerai, sebab keduanya memang memiliki hak yang
sama terhadap harta tersebut.
”Komaatẽi garassẽddinna lakkainna iyarẽga bainẽna,
narẽkko engka ana na’duwangi riarẽngngi sitengnga
waramparang balirẽsoona riwalunna, kodẽgaaga ana’
riwẽrẽng manengngiro waramparang balirẽsoẽ. Dẽ
nakkitaawa kanenna koriwaramparang balirẽsoona.”12
(Ketika salah seorang dari pasangan suami istri meninggal
dunia, jika mereka memiliki anak maka seperdua dari harta
Wawancara dengan Bapak Drs. Juhuri pada tanggal 7 Januari
2009 di Kelurahan Manurungẽ Kecamatan Tanete Riattang.
11
Wawancara dengan Bapak Andi Muhammad Ridwan Petta Rani
pada tanggal 8 Mei 2008 di Kelurahan Biru Kecamatan Tanete Riattang.
12
Wawancara dengan Bapak Andi Muhammad Ridwan Petta Rani
pada tanggal 8 Mei 2008 di Kelurahan Biru Kecamatan Tanete Riattang dan
ibu Intang pada tanggal 10 Januari 2009 di Kelurahan Macanang Kecamatan
Tanete Riattang Barat.
10

36

bersama diberikan kepada janda atau duda. Kalau mereka
tidak memiliki anak maka harta bersama diserahkan
seluruhnya kepada janda atau duda. Saudara si mati tidak
mendapat bagian dari harta bersama.
Sedangkan apabila terjadi kematian dari salah satu pihak
suami atau istri, maka harta bersama itu setengahnya diserahkan
kepada janda atau duda bila dalam perkawinan mereka ada anak
atau keturunan. Adapun setengahnya lagi ditambah dengan harta
bawaannya akan menjadi harta warisan yang dibagikan kepada
semua ahli warisnya. Harta bersama (waramparang balirẽẽso)
antara pewaris dengan janda atau duda akan sepenuhnya
diberikan kepada janda atau duda apabila dalam perkawinan
mereka tidak ada anak atau keturunan, sedangkan dari pihak
kerabat pewaris tidak berhak mewarisi harta bersama
(waramparang balirẽẽso) tersebut.
B. Tinjauan terhadap Asas-asas Kewarisan
Hukum waris Islam memiliki lima asas yang berkaitan
dengan sifat peralihan harta warisan kepada ahli waris, cara
pemilikan harta oleh yang berhak menerima, kadar harta yang
diterima dan waktu terjadinya peralihan harta itu. Asas-asas
yang dimaksud adalah asas ijbari, asas bilateral, asas individual,
asas keadilan berimbang, dan asas semata akibat adanya
kematian.13 Semua asas itu memiliki saling keterkaitan satu
sama lain.
Salah satu asas yang berlaku dalam pembagian harta
warisan pada masyarakat Bugis di Bone adalah asas
musyawarah (Bugis: appadaẽloreng/ siassamaturuusi) dan asas
majjujung mallẽmpa. Asas-asas ini menarik untuk diperhatikan
karena kalau dihubungkan dengan asas hukum waris Islam
tampaknya ada kurang sejalan, di samping hal-hal lain yang
sudah sejalan.
1. Asas Musyawarah
Asas musyawarah selalu dipraktekkan oleh
masyarakat Bugis di Bone dalam setiap pembagian harta
warisan. Ketika pembagian harta warisan akan
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Cet. I; Jakarta:
Kencana, 2004), h. 17.
13

37

dilakukan, maka semua ahli waris dihadirkan untuk turut
menyaksikan, oleh karena itu harta warisan tidak akan
dibagi manakala masih ada salah seorang ahli waris
belum hadir. Kalaupun salah seorang ahli waris memang
tidak
sempat
hadir
tetapi
dia
mengirim
pesan/menginformasikan bahwa dirinya tidak dapat hadir
dan menyerahkan sepenuhnya urusan tersebut kepada
saudaranya, maka barulah pembagian harta warisan
dilakukan.14 Selain itu, biasanya juga dihadirkan orang
yang dituakan/ disegani (riakkitaangi) dalam keluarga
ataupun tokoh masyarakat. Kehadiran seseorang yang
dituakan ataupun tokoh masyarakat diharapkan dapat
memberi arahan dan nasehat kepada para ahli waris
manakala dalam musyawarah terdapat perbedaan
pendapat yang mengarah kepada perselisihan di antara
ahli waris. Seperti dituturkan oleh Bapak Haji
Muhammad Jafar, ”parellu engka tau riakkitaangi
rilaleng sẽddiẽ keluarga”15 (perlu ada orang yang
dituakan dalam keluarga). Oleh karena itu masyarakat
Bugis di Bone selalu menunjuk orang yang dituakan dan
didengar nasehatnya dalam setiap rumpun keluarga. Hal
ini dilakukan untuk mencegah timbulnya perselisihan
yang lebih parah agar segala permasalahan dalam
keluarga tersebut dapat diselesaikan dengan jalan
kekeluargaan sehingga ikatan kekerabatan dan jalinan
kekeluargaan itu tetap harmonis sampai kapanpun.
Tujuan musyawarah dalam setiap pembagian
harta warisan adalah agar diperoleh kata sepakat, dengan
kata sepakat maka hubungan kekeluargaan di antara ahli
waris tetap terjalin dengan baik dan harmonis. Dalam
proses musyawarah ini kerelaan masing-masing ahli
waris berperan penting untuk mencapai kata sepakat.
Apabila setiap ahli waris rela membagi harta
warisan secara kekeluargaan, maka dapat dilakukan
pembagian secara kekeluargaan, atau dibagi secara
14
Seperti dituturkan oleh Bapak Andi Muhammad Ridwan Petta
Rani pada tanggal 8 Mei 2008 di Kelurahan Biru Kecamatan Tanete Riattang.
15
Wawancara dengan Bapak Haji Muhammad Jafar pada tanggal 11
Oktober 2008 di Desa Sugiale’ Kecamatan Barebbo.

38

damai sesuai dengan kesepakatan seluruh ahli waris.
Bahkan, berdasarkan hal tersebut maka adalah sah
bilamana ada di antara ahli waris yang merelakan atau
menggugurkan haknya dalam pembagian harta warisan
itu untuk selanjutnya diserahkan kepada ahli waris yang
lain.16
Musyawarah dengan kerelaan masing-masing ahli
waris ini mengakibatkan adanya perbedaan besar bagian
yang diterima oleh ahli waris dengan besar bagian yang
semestinya diterima menurut ketentuan dalam hukum
waris Islam. Meskipun demikian, dalam banyak kasus,
semangat atau jiwa hukum waris Islam tidak
ditinggalkan. Baik yang berhubungan dengan bagian
anak laki-laki dan perempuan maupun bagian ahli waris
lainnya.
Dalam asas musyawarah yang dijalankan
masyarakat Bugis di Bone dapat dikemukakan bahwa
musyawarah dilakukan dalam kaitannya dengan
penetapan besar bagian masing-masing ahli waris.17
Sebab melalui musyawarah bagian masing-masing ahli
waris dapat diputuskan. Kerelaan dari masing-masing
ahli waris (sihallalakiang) dalam musyawarah berperan
besar dalam menemukan kata sepakat. Seperti dituturkan
oleh ibu Hj. Halimah, “biasa di dalam musyawarah
engka riaseng sihallalakiang.”18 Ada ahli waris yang
Ada berbagai alasan yang memungkinkan dapat mendorong
seseorang untuk rela menggugurkan haknya dalam suatu pembagian harta
warisan. Misalnya dia adalah seseorang yang berhasil dalam kehidupan
ekonominya bila dibandingkan dengan ahli waris lainnya. Dengan demikian
secara sukarela ia memberikan haknya kepada pihak yang kurang berhasil
kehidupan ekonominya itu. Atau ia menyadari bahwa yang paling banyak
mengurus orang tua mereka semasa hidupnya adalah salah seorang dari ahli
waris di antara mereka, sehingga wajar jika ahli waris tersebut diberi bagian
lebih banyak dari harta warisan orang tua (pewaris). Satria Effendi M. Zain,
“Analisa Fiqh Terhadap Yurisprudensi Tentang Kewarisan” dalam Mimbar
Hukum, No. 20 Tahun VI, 1995 h. 81.
17
Wawancara dengan Bapak M. Agus Genda pada tanggal 22
Desember 2008 di Salẽkoẽ Kecamatan Tanete Riattang.
18
Wawancara dengan ibu Hj. Halimah pada tanggal 11 Agustus
2008 di Kelurahan Watampone Kecamatan Tanete Riattang. Semua ahli
waris saling merelakan bagian yang diterimanya untuk diberikan kepada ahli
16

39

merelakan bagiannya untuk diserahkan kepada ahli waris
yang lain. Juga merelakan dalam arti memberikan
persetujuan terhadap permintaan ahli waris lainnya untuk
meminta suatu harta warisan meskipun mungkin kalau
diadakan penilaian, maka bagian yang telah diperoleh
ahli waris yang meminta itu sudah melebihi dari bagian
yang semestinya dia peroleh.19 Hak masing-masing ahli
waris tidak dihapuskan. Tiap ahli waris memiliki
kesadaran bahwa dirinya mempunyai hak untuk mewarisi
harta pewarisnya, meskipun kemudian bagiannya itu
diserahkan kepada ahli waris lainnya. Begitupula ahli
waris yang meminta kerelaan ahli waris lain untuk
diberikan kepadanya harta melebihi bagian yang
semestinya dia terima, hal itu tidak menghapus hak
mewaris dari ahli pewaris yang dimintai kerelaannya.
Tujuan dilaksanakannya musyawarah adalah untuk
mencapai kata mufakat agar hubungan kekeluargaan
(assisompungeng masselessureng)20 di antara ahli waris
tetap terjalin baik dan harmonis.
Interaksi hukum waris Islam dan hukum waris
adat dalam hal ini berlangsung dalam bentuk
pertentangan dan kerjasama. Apabila dilihat secara
lahiriah terhadap pembagian harta warisan yang tidak
dilakukan sebagaimana ketentuan angka-angka seperti
bagian seorang ahli waris anak laki-laki memperoleh
sama dengan bagian dua orang anak perempuan dalam
hukum waris Islam, maka dapat dikatakan bahwa
masyarakat Bugis di Bone belum melaksanakan hukum
waris sesuai dengan tuntutan Al-Quran khususnya yang
berkenaan dengan ahli waris anak laki-laki dan anak
perempuan. Hal ini berarti tampak terjadi pertentangan
antara kedua sistem hukum waris ini. Akan tetapi kalau
waris yang membutuhkan setelah mereka menyadari bagiannya. Sihallakiang
berarti saling menghalalkan karena ada kerelaan dari ahli waris akan bagian
yang diterimanya.
19
Wawancara dengan Bapak Syapriadi, S. Pd. pada tanggal 14
Januari 2009 di Kelurahan Macanang Kecamatan Tanete Riattang Barat.
20
Wawancara dengan Bapak Haji Muhammad Jafar pada tanggal 11
Oktober 2008 di Desa Sugiale’ Kecamatan Barebbo.

40

dilihat dari tujuan musyawarah yang dilakukan dalam
pembagian harta warisan dan prinsip yang mendasarinya,
maka akan didapat kesimpulan yang lain. Tujuan
musyawarah untuk mendapatkan kata sepakat dalam
pembagian harta warisan sehingga kerukunan keluarga
tetap terpelihara. Hal mana sejalan dengan nilai ajaran
Islam untuk selalu memelihara silaturrahim. Hal ini
berarti terjadi interaksi dalam bentuk kerjasama di mana
dalam hukum waris Islam yang diatur secara rinci dan
tegas bertujuan untuk menciptakan keadilan serta
memelihara hak masing-masing ahli waris agar tidak
terjadi perselisihan.
Prinsip kerelaan dalam pelaksanaan hukum Islam,
khususnya di dalam bidang muamalah bahwa kerelaan21
seseorang dapat meniadakan pelaksanaan hukum yang
telah ada karena yang dihapuskan bukan ketetapan
hukum tersebut tetapi mengedepankan kesepakatan
perdamaian di antara ahli waris. Oleh karena itu selama
di antara ahli waris masih saling merelakan (Bugis:
sihallalakiang) --seperti yang dilakukan masyarakat
Bugis-- kepada ahli waris yang lain untuk memperoleh
bagian tertentu walau dari kacamata hukum waris Islam
(angka-angka dalam farāid฀) tidak sesuai, tetapi praktek
seperti itu masih dapat ditolerir oleh hukum waris Islam.
Begitupula sesama ahli waris tidak meniadakan hak-hak
yang seharusnya diperoleh ahli waris lainnya.22
Persetujuan di antara ahli waris dapat menyalahi
ketentuan yang telah ditetapkan dalam hukum waris.
21
Pembagian harta warisan atas dasar rela sama rela diperkenankan,
bahkan jika salah seorang ahli waris tidak menerima bagiannya atas dasar
kerelaannya juga tidak dianggap bersalah. Ada perbedaan yang signifikan
antara pembagian harta warisan atas dasar rela sama rela (‘an tarā฀din) atau
hibah dengan putusan pengadilan yang berangkatnya dari persengketaan
(khuşumah). Rela sama rela dalam masalah yang berhubungan antar sesama
manusia (perdata) berarti mendasarkan pada perasaan hati (wijdaniyah).
Ketika “hukum” wijdaniyah itu dapat diterapkan maka hukum yang kaku dan
formal itu tidak harus selalu diterapkan. Lihat Qodri Azizy, Eklektisisme
Hukum Nasional Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum,
(Yogyakarta: Gama Media, 2004), h. 198.
22
Abdul Ghofur Anshori, op. cit., h. 149.

41

Kalau dalam hukum waris Islam persetujuan atau
perdamaian di antara ahli waris itu dikenal dengan istilah
al-sulh, sedangkan dalam hukum waris adat disebut
dengan appadaẽloreng.23 Oleh sebab itu, apabila para
ahli waris bersepakat untuk membagi harta warisan tidak
sesuai dengan angka-angka dalam ketentuan hukum
waris Islam, maka atas dasar persetujuan itu boleh
diterapkan sesuai dengan kesepakatannya.24
Dasar hukum yang juga diperpegangi dalam
perdamaian ini adalah pasal 183 Kompilasi Hukum Islam
yang berbunyi ”para ahli waris dapat bersepakat
melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan
setelah masing-masing menyadari bagiannya.”25 Ini
berarti bahwa dalam Kompilasi Hukum Islam dibolehkan
untuk melakukan perdamaian setelah masing-masing ahli
waris telah mengetahui bagiannya sesuai dengan
ketentuan hukum waris Islam.
Hukum waris Islam dan hukum waris adat
berinteraksi dalam bentuk kerjasama, hal ini dapat dilihat
dengan adanya hubungan dinamis antara keduanya.
Sistem nilai dalam hukum waris adat mengenal
perdamaian dengan musyawarah yang disebut
appadaẽloreng, demikian pula dalam sistem hukum
waris Islam mengenal perdamaian dengan musyawarah
yang disebut sulh dalam bentuk takhaaruj.26 Jadi kedua
sistem hukum waris ini menganut asas musyawarah
untuk mufakat dalam menyelesaikan pembagian harta
Wawancara dengan Bapak Andi Muhammad Ridwan Petta Rani
pada tanggal 8 Mei 2008 di Biru Kecamatan Tanete Riattang.
24
Perdamaian dan kesepakatan yang dilakukan oleh para pihak
secara sukarela yang menjadi subyek hukum mempunyai peranan dan nilai
sangat tinggi, hal ini diakui oleh hukum Islam sepanjang perdamaian yang
dimaksud itu mengenai hak hamba. Lihat Qodri Azizy, loc. cit.
25
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:
Akademika Pressindo, 1992), h. 158.
26
Takhaaruj adalah perjanjian atau perdamaian para ahli waris untuk
mengeluarkan atau mengundurkan sebagiannya dari pewarisan dengan suatu
imbalan/ prestasi yang ditentukan. Hasanain Muhammad Makhluf, AlMawaris fi al-Syari’at al-Islamiyyah, (Kairo: Lajnah al-Bayyan al-Araby,
1958), h. 198.
23

42

warisan.
2. Asas majjujung mallẽmpa
Sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya
bahwa asas ini memberikan bagian harta warisan lebih
besar kepada ahli waris anak laki-laki daripada ahli waris
anak perempuan. Kenyataan ini merupakan pengaruh
dari hukum waris Islam yang menetapkan bahwa bagian
seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan.27 Ketentuan seperti ini bahkan telah
melembaga dalam masyarakat Bugis dengan istilah
majjung makkunraiẽ mallẽmpa oroanẽ.
Antara hukum waris Islam dan hukum waris adat
terjadi interaksi dalam bentuk kerjasama karena hukum
waris adat menerima (meresepsi) nilai-nilai hukum waris
Islam dalam hal besar perolehan hak antara ahli waris
laki-laki dan ahli waris perempuan. Meskipun
sebelumnya ada ”pertentangan” di antara kedua hukum
waris tersebut, karena dalam hukum waris adat lama
menganut pola pembagian sama rata antara ahli waris
laki-laki dan ahli waris perempuan. Sedangkan dalam
ketentuan hukum waris Islam berdasarkan Q.S. An-Nisa’
(4): 1128 ditetapkan bahwa bagian anak laki-laki sama
dengan bagian dua orang anak perempuan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa asas ini
pada hakekatnya memiliki persamaan dengan asas dalam
hukum waris Islam yaitu persamaan hak antara laki-laki
dan perempuan dan perbedaan besar bagian perolehan
harta warisan. Hanya saja ketika asas ini dipraktekkan
dalam kaitannya dengan bagian perolehan di antara ahli
waris
tidak
dilaksanakan
menurut
ketetapan
perbandingan seperti dalam farāid฀, tetapi lebih
didasarkan kepada kerelaan ahli waris sebagaimana yang
terjadi dalam musyawarah.

Lihat surat An Nisa’ (4): 11 bahwa Allah mensyariatkan
(mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu
(yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan. Departemen Agama RI, op. cit., h. 78.
28
Ibid.
27

43

3. Asas bilateral-individual
Sebagaimana telah dikemukakan berkenaan
dengan asas bilateral ini bahwa harta warisan beralih
kepada ahli waris melalui dua arah. Artinya ahli waris
memperoleh hak atas harta warisan dari kedua belah
pihak, yakni dari pihak kerabat laki-laki dan pihak
kerabat perempuan.29 Menurut Hazairin bahwa apabila
Al-Qur’an dipelajari dengan menggunakan ilmu
pengetahuan sebagai alat untuk menganalisis tentang
berbagai sistem kemasyarakatan, yakni tentang berbagai
jenis sistem kekeluargaan, sistem garis keturunan,
berbagai macam larangan perkawinan, maka dapat
ditemukan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an tentang
perkawinan dan kewarisan mencerminkan suatu bentuk
sistem kekeluargaan yang bilateral.30
Asas bilateral-individual ini pula yang dianut
masyarakat Bugis Bone karena sistem kekerabatannya
berbentuk parental, yaitu hubungan antara seorang anak
dengan keluarga lain selalu sederajat antara keluarga
pihak ibunya dengan keluarga pihak ayahnya. Hal ini
dibuktikan dengan tidak adanya perbedaan antara paman
dan bibi serta kerabat lainnya dari pihak ayah dan dari
pihak ibu, semua kerabat ini disebut dengan siajing
marẽppẽ’ (kerabat dekat). Apabila seorang kerabat
misalnya A memiliki hubungan keluarga dengan B,
jalurnya dihubungkan dari ayah dan ibu A, maka
kekerabatan keduanya disebut siajing marẽppẽ’ wali
waali.31 (kerabat dekat dari dua arah).
Sistem
kekerabatan seperti ini menimbulkan konsekuensi sistem
hukum waris yang berbentuk individual, yaitu semua
anggota keluarga berhak untuk mewarisi atau memiliki
kemungkinan menggunakan hak warisnya secara
Ibid. Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua
orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari
harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit maupun
banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. Q. S. An-Nisa’(4): 7.
30
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Qur’an dan
Hadith, (Jakarta: Tintamas, 1982), h. 13
31
Wawancara dengan Bapak Andi Muhammad Ridwan Petta Rani
pada tanggal 8 Mei 2008 di Biru Kecamatan Tanete Riattang.
29

44

bersama dalam pembagian harta warisan yang ada.
Menurut hukum waris adat lama masyarakat
Bugis, kedudukan ahli waris laki-laki dan perempuan itu
sama. Mereka berhak mewarisi harta pewarisnya, begitu
pula mereka memperoleh bagian yang sama seperti
ungkapan samawwai asenna manaẽ.32 Jadi antara lakilaki dan perempuan mendapatkan bagian yang sama,
seperti makna ungkapan tadi bahwa pembagian harta
warisan seperti permukaan air yang rata, tidak ada yang
lebih tinggi dari yang lain.
Asas individual dalam masyarakat Bugis di Bone
dapat dilihat pada saat penyerahan bagian harta warisan
kepada masing-masing ahli waris. Penyerahan tersebut
ditandai dengan kata-kata penyerahan seperti dituturkan
oleh Andi Muhammad Ridwan Petta Rani, ”komaẽloni
riwẽrẽng bagianna iyarẽga ripakkatenningi, riolliini
makkeda Baco’ iko iyyẽ muakkatenning, Beccẽ’ iko iyyẽ
muakkatenning.”33 (jika bagiannya hendak diserahkan,
dipanggillah Baco’ ini yang kau pegang/kuasai, Beccẽ’
ini yang kau pegang/kuasai). Dengan penyerahan seperti
itu menandakan bahwa masing-masing ahli waris diberi
kekuasaan penuh untuk mengelola dan memanfaatkan
sendiri bagiannya tanpa harus bergantung kepada ahli
waris lain.
Implementasi hukum waris Islam pada
masyarakat Bugis di Bone dalam asas bilateral ini
berlangsung dalam bentuk kerjasama dengan hukum
waris adat masyarakat. Hal ini dikarenakan adanya
sistem kekerabatan dalam masyarakat berbentuk
parental (bilateral) sama seperti yang diinginkan oleh AlQuran.34 Sistem kekerabatan yang dimaksudkan sesuai
Wawancara dengan Bapak Andi Muhammad Ridwan Petta Rani
pada tanggal 8 Mei 2008 di Biru Kecamatan Tanete Riattang. Samawwai
asenna manaẽ (pembagian harta warisan seperti permukaan air yang rata)
merupakan istilah untuk menggambarkan bahwa antara ahli waris laki-laki
dan perempuan kedudukannya sama dalam memperoleh hak waris,
begitupula dengan jumlah bagian yang mereka terima.
33
Wawancara dengan Bapak Andi Muhammad Ridwan Petta Rani
pada tanggal 8 Mei 2008 di Biru Kecamatan Tanete Riattang.
34
Hazairin, op. cit., h. 16
32

45

keinginan Al-Quran adalah berbentuk parental (bilateral).
Dengan persamaan sistem kekerabatan yang dianut oleh
kedua aturan hukum waris ini menjadikan proses
interaksi berjalan dengan baik dan saling bekerja sama
untuk mewujudkan keadilan bagi keluarga dari pihak
laki-laki dan perempuan.
4. Asas Kekerabatan dan Perkawinan
Hukum waris Islam menganut asas kekerabatan
dan perkawinan. Karena untuk dapat beralihnya harta
seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang
yang masih hidup harus ada hubungan kekerabatan
antara keduanya. Hubungan kekerabatan ini ditentukan
oleh adanya hubungan darah. Begitupula hak untuk
mewarisi ditentukan atas dasar hubungan perkawinan.
Berlakunya hubungan saling mewarisi di antara suami
dan istri didasarkan adanya akad pernikahan yang sah,
dan di antara suami istri itu masih berlangsung ikatan
perkawinan pada waktu salah satu pihak meninggal
dunia.35 Asas kekerabatan dalam hukum waris Islam
berinteraksi kerjasama dengan asas kekerabatan dalam
hukum waris adat, karena keduanya menjadikan
kekerabatan sebagai penyebab terjadinya hubungan
saling mewarisi. Namun asas perkawinan dalam hukum
waris Islam terjadi pertentangan dengan ketentuan
hukum waris adat lama yang tidak mengenal pewarisan
karena sebab perkawinan, sehingga tidak terdapat
ketentuan yang menetapkan bolehnya suami dan istri
saling mewarisi. Ini terlihat dari waktu pembagian harta
warisan yang baru dilakukan setelah kedua orang tua
(sepasang suami istri) meninggal dunia. Hukum Islam
yang akomodatif berinteraksi dengan hukum adat yang
dinamis menyebabkan pertentangan yang terjadi tidak
mengarah kepada persaingan satu sama lain, tetapi justru
bergerak saling mendekat untuk kemudian saling
bekerjasama. Hal ini dapat dilihat banyaknya kasus
setelah salah seorang dari orang tua meninggal dunia,
Hasbi ash-Shiddiqy, Fiqhul Mawaris, (Semarang: Pustaka Rizki
Putera, 1997), h. 34
35

46

maka orang tua yang masih hidup membagikan harta
warisan kepada anaknya.
Dalam pembagian harta warisan masyarakat
Bugis di Bone, biasanya ahli waris yang banyak
memberikan kontribusi kepada keluarga, maka ia
diberikan harta yang lebih banyak. Kontribusi yang
dimaksudkan misalnya adalah ahli waris yang
bertanggung jawab terhadap kehidupan pewaris seperti
merawat (mattungka) pewaris semasa hidup hingga akhir
hayatnya. Dalam hal ini pewaris sebelum meninggal
memberikan harta kepada yang merawatnya itu berupa
hibah, selain harta warisan yang nantinya akan dibagi
kepada ahli waris.
Kalaupun dalam ketentuan hukum waris adat
lama masyarakat tidak mengenal saling mewarisi antar
suami istri, tetapi apabila salah seorang di antara mereka
meninggal dunia maka janda atau duda memiliki peran
penting dalam mengurus harta peninggalan pewaris.
Selain itu calon pewaris (dalam hal ini suami dan
istri/orang tua) juga menyimpan harta tersendiri untuk
biaya hidupnya dan persiapan penyelenggaraan
jenazahnya kelak setelah ia meninggal dunia yang dalam
istilah Bugis disebut ampi kaalẽ.36 Kalaupun nantinya
harta ampi kaalẽ ini tidak habis untuk keperluan tersebut,
maka sisa harta ini menjadi milik orang yang merawat
pewaris. Meskipun demikian ada juga yang membagi
sisa harta ampi kaalẽ ini37 bersama dengan harta warisan
pewaris kepada masing-masing ahli waris yang berhak.
Kalau diperhatikan tampaknya harta yang
disimpan khusus oleh calon pewaris berupa ampi kaalẽ

Ampi kale adalah harta yang disisakan orang tua setelah
membagikan hartanya kepada anak-anaknya, harta tersebut dipakai untuk
biaya hidupnya dan dipersiapkan kelak sebagai biaya perawatan jenazahnya
juga biaya rangkaian upacara setelah penguburannya. Wawancara dengan
Becce Tang pada tanggal 11 Januari 2009 di Kecamatan Palakka.
37
Wawancara dengan Bapak Haji Muhammad Jafar, tokoh
masyarakat pada tanggal 11 Oktober 2008 di Desa Sugiale’ Kecamatan
Barebbo.
36

47

ini tidaklah bertentangan dengan hukum waris Islam38
yang senantiasa memberi bagian harta warisan kepada
janda ataupun duda di samping bagian harta warisan
untuk anak-anak/keturunan dan orang tua pewaris. Jadi
meskipun hukum waris adat lama tidak mengenal saling
mewarisi antar suami istri tetapi dengan harta ampi
kaalẽ, menjadikan kehidupan janda atau duda terjamin.
Jika dicermati maka antara hukum waris Islam dan
hukum waris adat secara bersama memberi perhatian
kepada kehidupan janda atau duda, hanya saja jalurnya
berbeda. Janda atau duda dalam hukum waris Islam
memperoleh jaminan melalui adanya bagian tertentu
(furūd฀) sedangkan dalam hukum waris adat lama
melalui harta ampi kaalẽ.
Setelah melewati interaksi pertentangan, kedua
sistem hukum waris ini berinteraksi dengan cara
kerjasama yang berupa akomodasi.39 Hukum waris adat
yang dinamis dapat menyerap nilai ajaran hukum waris
Islam mengenai kedudukan orang tua pewaris dapat
mewaris bersama dengan anak pewaris. Demikian juga
saudara pewaris dapat mewaris bersama dengan anak
perempuan pewaris.
Sehingga dengan demikian terjadi persamaan
antara hukum waris Islam dengan hukum waris adat
mengenai keutamaan ahli waris yang memiliki hubungan
kekerabatan lebih dekat dengan pewaris daripada ahli
waris yang memiliki hubungan kekerabatan yang lebih
jauh dengan adanya ahli waris yang lebih dekat dapat
menghalangi ahli waris yang lebih jauh hubungan
kekerabatannya dari pewaris.
Mengenai ahli waris orang tua dan saudara
kandung pewaris, meskipun pada dasarnya mereka itu
Wawancara dengan Bapak Andi Najamuddin Petta Ilẽ, tokoh
masyarakat (budayawan) pada tanggal 13 November 2008 di Kelurahan Ta’
Kecamatan Tanete Riattang.
39
Akomodasi sebagai penyelesaian hanya dapat diterima untuk
sementara waktu, ini berarti kedua pihak belum tentu puas sepenuhnya.
Akomodasi merupakan suatu cara menyelesaikan pertentangan tanpa
menghancurkan pihak lawan, sehingga lawan tidak kehilangan
kepribadiannya. Soejono Soekanto, op. cit., h. 77 dan 83
38

48

termasuk ahli waris, akan tetapi dalam praktek di mana
mereka seharusnya berhak untuk mewaris, seringkali
hak-hak mereka menjadi kabur. Hal ini misalnya dapat
dilihat dalam praktek pembagian harta warisan ketika
pewaris tidak meninggalkan anak, maka janda ataupun
duda menjadi ahli waris satu-satunya yang mengambil
semua harta warisan tanpa memberikan hak mewaris
kepada orang tua si pewaris. Demikian pula ketika terjadi
kasus di mana pewaris tidak meninggalkan anak kandung
dan janda ataupun duda, juga tidak meninggalkan orang
tua, tetapi dia mempunyai anak angkat, maka anak
angkat inilah yang mengambil seluruh harta si pewaris
yang biasanya telah dihibahkan kepadanya. Saudara
kandung pewaris yang semestinya berhak mewaris
akhirnya tidak kebagian sedikitpun, terlebih apabila harta
pewaris itu didapatkan dari hasil usahanya, bukan harta
bawaan.
Hukum waris Islam memberikan hak mewaris
sebagai ahli waris zaw al-furūd฀
kepada saudara
kandung pewaris laki-laki dan perempuan dalam kasus
orang yang meninggal (pewaris) tidak meninggalkan
anak dan ayah (kalalah).40 Adapun ayah dan ibu pewaris
menjadi ahli waris zaw al-furūd฀ yang tidak terhalangi
oleh ahli waris lainnya.
Apabila seseorang meninggal dan tidak memiliki
anak maka dia diwarisi oleh ayah ibunya. Jika pewaris
juga tidak meninggalkan orang tua, maka akan diwarisi
oleh kakek neneknya. Apabila kakek nenek pewaris juga
tidak ada, maka akan diwarisi oleh saudara-saudaranya.
Jika saudara-saudara pewaris juga tidak ada, maka akan
diwarisi oleh anak-anak saudaranya (keponakan
pewaris). Jika pewaris juga tidak meninggalkan
keponakan, maka akan diwarisi oleh paman pewaris. Dan
apabila pewaris juga tidak meninggalkan paman, maka
hartanya akan diwarisi oleh anak-anak paman pewaris.41
40
Inilah pendapat Abu Bakr ash-Shiddiq, ‘Umar, ‘Ali dan Jumhur
Ulama. Lihat Ahmad Mustafa al-Marāgi, Tafsir al-Marāgi Jilid II Juz IV,
(Beirut: Dār al-Fikr, 1974 M/ 1394 H), h. 39 dan 200.
41
Haddise, op. cit., h. 21-22.

49

Jadi antara hukum waris Islam dengan hukum
waris adat sama-sama memberikan hak mewaris kepada
orang tua dan saudara kandung pewaris, khususnya
dalam kasus pewaris tidak meninggalkan anak
keturunan. Dengan demikian bahwa terjadinya
kekaburan hak mewaris bagi orang tua dan saudara
kandung pewaris bukan disebabkan karena hukum waris
Islam dan atau hukum waris adat tidak memberikan hak
kepada mereka. Tetapi hal tersebut lebih dikarenakan
adanya praktek masyarakat di mana satu sisi memberi
hak kepada orang tua dan saudara kandung untuk
mewaris, tetapi di sisi lain mereka sulit untuk
memperoleh bagian harta warisan dalam kasus pewaris
tidak meninggalkan keturunan. Sehingga kalau mereka
tidak meminta haknya sebagai ahli waris, maka dapat
dipastikan hak-hak itu akan dihilangkan oleh janda/duda
dan atau anak angkat pewaris.
Umumnya masyarakat di Indonesia yang sistem
kekerabatannya parental/ bilateral apabila seseorang
meninggal (pewaris) meninggalkan istri dan anak-anak
yang masih kecil, maka harta warisannya berada di
bawah pengawasan istri (janda) pewaris. Penguasaan
janda terhadap harta warisan dapat dia lakukan selama
hidupnya, atau dia dapat mengalihkan harta tersebut
kepada anak-anaknya setelah mereka dapat berdiri
sendiri.42
Dalam rangka pengawasan harta warisan, seorang
janda dapat juga berperan sebagai pembagi harta warisan
kepada para ahli waris yang ada dan berhak
mendapatkan bagian, tanpa adanya campur tangan pihak
saudara pewaris. Tetapi hal ini tidak demikian yang
Sebaliknya jika pewaris yang meninggalkan duda serta anak-anak
yang masih kecil, maka si duda ini berkewajiban mengurus anak-anak dan
harta warisan. Tetapi apabila si duda ini mengakhiri masa dudanya dengan
menikah lagi, maka sebaiknya anak-anak atau yang menjadi wali mereka
mencatat harta bawaan ibunya dan harta bersama ayah ibunya. Agar nanti
jika mereka memiliki saudara tiri lain ibu, mereka tidak dirugikan dalam
pembagian harta warisan. Lihat Hilman Hadikusuma, Hukum Waris
Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat, Hukum Agama Hindu, Islam,
(Bandung: Citra Adityah Bakti, 1991), h. 101.
42

50

terjadi manakala pewaris tidak tidak memiliki anak.43
Dalam hal seperti ini, yaitu pewaris tidak meninggalkan
anak/keturunan maka biasanya duda ataupun jandanya
tidak dapat mengawasi harta warisan secara mandiri
karena tentu saja saudara-saudara pewaris akan meminta
bagian dari harta warisan yang menjadi haknya.
Interaksi antara ajaran hukum waris Islam dengan
hukum waris adat dalam hal ini berlangsung melalui
kerjasama. Meskipun interaksi keduanya sempat
berlangsung melalui pertentangan. Garis keutamaan ahli
waris yang tadinya menurut ketentuan hukum waris adat
lama masyarakat berlangsung sangat ketat. Misalnya
kedudukan anak sebagai penghalang ahli waris lain tidak
memungkinkan mereka memperoleh bagian harta
warisan. Namun dalam perkembangan selanjutnya
interaksi hukum waris Islam dan hukum waris adat
berlangsung secara dinamis. Sehingga dalam praktek
pembagian harta warisan di masyarakat, penetapan ahli
warisnya tidak lagi hanya dari kelompok ahli waris
pertama tetapi juga bersama dengan kelompok ahli waris
lain.
C. Hal-hal yang Berkaitan dengan Pembagian Harta
Warisan
1. Larangan mewarisi
Dalam hukum waris adat lama masyarakat Bugis,
seseorang menjadi tidak berhak mewaris misalnya
karena seorang anak yang berbuat sesuatu yang tidak
direstui oleh orang tua. Seperti apabila ada anak
perempuan yang menikah tidak sesuai dengan keinginan
orang tua sehingga ia melakukan kawin lari (Bugis:
silariang)44 maka menurut adat, si anak perempuan itu
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan…, h. 316; Hilman Hadikusuma,
op. cit., h. 54.
44
Perkawinan dengan cara lari bersama dilakukan untuk
menghindarkan diri dari keharusan sebagai akibat perkawinan dengan cara
pelamaran atau peminangan, atau juga untuk menghindarkan diri dari
rintangan-rintangan dari pihak orangtua dan sanak saudara yang terutama
datangnya dari pihak orang tua dan sanak saudara pihak perempuan.
Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT RajaGrafindo
43

51

tidak berhak mendapatkan harta warisan orang tuanya.
Dengan kejadian itu biasanya orangtua mengingkari sang
anak tersebut dengan menyatakan bahwa orang tua tidak
mengakuinya lagi sebagai anak (riassakkaarangngi) dan
dianggap sudah tidak ada dan telah ditelan bumi
(ripaoppaangi taana).45 Bahkan untuk kasus yang lebih
jauh, anak yang telah diingkari keberadaannya oleh
orang tuanya itu dianggap telah mati dengan diadakan
acara mattampung.46
Respons orang tua terhadap perilaku anak yang
kawin lari memang sangat keras karena menyangkut
harga diri/martabat kehormatan (siri’) keluarga yang
telah dinodai oleh sang anak bersama dengan lelaki yang
melarikan anaknya. Maka dalam hal ini si anak tadi tidak
diberi hak untuk memperoleh bagian harta warisan dari
orangtuanya. Akan tetapi keadaan seperti ini dapat
berubah apabila beberapa tahun kemudian--biasanya si
anak yang telah melakukan kawin lari (silariang)
tersebut telah memiliki anak--. Kemudian dengan
membawa serta anak mereka menghadap orangtua untuk
meminta maaf (maddẽẽcẽng), biasanya karena melihat
kehadiran cucu dan kebahagiaan anaknya bersama
keluarga barunya, akhirnya orangtua menerima
permintaan maaf anaknya. Dengan demikian orangtua
telah menyambung kembali ikatan silaturrahim dengan
anak (Bugis: narokoongi ana’na).47 Setelah kejadian itu,
maka tentu saja sang anak yang tadinya tidak
memperoleh hak dari harta warisan orang tuanya, sudah
kembali mempunyai hak untuk mewaris.

Persada, 2005), h. 225
45
Wawancara dengan Bapak Andi Muhammad Ridwan Petta Rani,
tokoh masyarakat (budayawan) pada tanggal 8 Mei 2008 di Biru Kecamatan
Tanete Riattang
46
Dalam hal ini anak yang dianggap telah mati oleh orang tuanya
dibuatkan semacam kuburan sebagai tanda kematiannya. Wawancara dengan
Bapak Andi Muhammad Ridwan Petta Rani, tokoh masyarakat (budayawan)
pada tanggal 8 Mei 2008 di Biru Kecamatan Tanete Riattang.
47
Wawancara dengan Bapak Andi Muhammad Ridwan Petta Rani,
tokoh masyarakat (budayawan) pada tanggal 8 Mei 2008 di Biru.

52

Implementasi hukum waris Islam dalam hal ini
berlangsung melalui interaksi yang berbentuk
pertentangan, ini terjadi ketika dalam ketentuan adat
lama masyarakat tidak memberi hak waris kepada anak
yang menikah tidak sesuai dengan kemauan orang tua.
Sedangkan dalam ketentuan hukum waris Islam, seorang
anak akan mendapat hak sebagai ahli waris dari orang
tuanya kecuali bila ia membunuh pewaris atau murtad.
Tetapi dalam perkembangannya hukum waris Islam dan
hukum waris adat berinteraksi dalam bentuk kerjasama
karena masyarakat telah mengenal larangan mewaris
dalam ajaran hukum waris Islam.
2. Sikap Tokoh Agama terhadap Pembagian Harta
yang dilakukan Masyarakat
Sikap tokoh agama berbeda-beda dalam
menyikapi
pembagian
harta
warisan
yang
dilakukan/dipraktekkan oleh masyarakat Islam di
Kabupaten Bone. Terhadap pembagian harta warisan
yang dilakukan/dipraktekkan oleh masyarakat tersebut,
maka sikap/pandangan tokoh agama berbeda satu sama
lain. Ada yang berpendapat bahwa pembagian harta
warisan yang dilakukan berdasarkan hukum waris adat
lama yakni dengan menyamaratakan bagian antara ahli
waris laki-laki dan perempuan itu tidak disetujui karena
hal itu menyalahi aturan teks Al-Qur’an. Begitupula
dengan orang tua yang membagi hartanya sebelum
meninggal dunia karena itu berarti orang tersebut
mengelak dari ketentuan hukum waris Islam.48
Pandangan tokoh agama di sini menyatakan bahwa tidak
ada jalan lain bagi masyarakat Muslim, mereka harus
menerapkan semua ketentuan Hukum Waris Islam.
Pandangan ini didasarkan pada kehendak Allah dalam
Q.S. An-Nisa’(4): 14 bahwa barang siapa mendurhakai
Allah dan rasul-Nya dan melanggar batas-batas hukumNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api
neraka, dia kekal di dalamnya dan dia akan mendapat
Wawancara dengan Bapak Drs. K. M. Haji Jamaluddin Abdullah,
M. Th.I tanggal 14 Juli 2008 di Kelurahan Biru Kecamatan Tanete Riattang
48

53

azab yang menghinakan.49 Pandangan tokoh agama di
sini berpegang kepada teks Al-Qur’an (tekstual),
sehingga pembagian harta warisan bagi seorang muslim
harus mengikuti bunyi teks tersebut, jika tidak dilakukan
seperti itu berarti siap menerima hukuman yang
menghinakan.
Ada pula tokoh agama berpandangan bahwa
pembagian harta warisan yang didasarkan atas
musyawarah dan saling merelakan (sihallalakiang)
bagian masing-masing antara ahli waris itu tidak
bertentangan dengan hukum Islam. Adapun orangtua
yang sebelum meninggal membagikan/ menghibahkan
hartanya kepada seluruh bakal ahli waris, karena mereka
menghindari akan adanya perselisihan/persengketaan di
kemudian hari. Mengenai pembagian harta warisan yang
menyamaratakan bagian ahli waris laki-laki dan
perempuan, hal tersebut tidak dipermasalahkan karena di
masa sekarang ini perempuan juga turut berpartisipasi
aktif dalam mencari nafkah untuk keluarga. Jadi
kewajiban mencari nafkah tidak hanya dibebankan
kepada laki-laki saja maka wajar kalau bagian mereka
disamakan.50 Pandangan tokoh agama di sini
menyerahkan sepenuhnya pembagian harta warisan itu
kepada kesepakatan dan kerelaan hasil musyawarah
semua ahli waris.
Pembagian harta warisan idealnya diselesaikan
dengan mengikuti/mengacu ketentuan hukum waris
Islam, baik tentang ahli warisnya serta bagian masingmasing ahli waris tersebut yang ditetapkan dalam AlQuran dan hadis. Apabila hal itu telah dilakukan dan
setelah para ahli waris itu menyadari bagiannya dan
kemudian hendak melakukan perdamaian, maka mereka
kemudian
melakukan
musyawarah
dengan
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung:
PT. Syaamil Cipta Media bekerjasama dengan Yayasan Penyelenggara
Penerjemah/ Penafsir Al-Qur’an Revisi Terjemah oleh Lajnah Pentashih
Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama Republik Indonesia, 2005), h. 79
50
Wawancara dengan ibu Dra. Hj. Halimah, tokoh masyarakat pada
tanggal 11 Agustus 2008 di Watampone.
49

54

mempertimbangkan berbagai hal untuk memberikan
harta warisan dengan porsi yang disesuaikan dengan
kebutuhan dan kondisi para ahli waris.51 Ahli waris perlu
menyadari bagiannya sebelum melakukan perdamaian
agar terhindar dari perasaan tertipu sehingga dia benarbenar rela kepada hasil yang diperoleh. Pandangan tokoh
agama di sini melewati jalan tengah dari kedua jenis
pandangan tokoh agama sebelumnya. Bahwa sebaiknya
masyarakat Muslim tetap melakukan pembagian harta
warisan berdasarkan ketentuan Hukum Waris Islam,
tetapi setelah menyadari bagiannya52 maka boleh saja
para ahli waris itu bermusyawarah dan saling merelakan
untuk memberi porsi harta warisan yang besar kecilnya
disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi ahli waris.
III. PENUTUP
Berangkat dari uraian sebelumnya, maka dapat dikatakan
bahwa implementasi ajaran hukum waris Islam melalui proses
interaksi dengan hukum waris adat yang berlangsung dalam
bentuk kerjasama meskipun di beberapa segi adakalanya sempat
muncul ”pertentangan”. Namun seiring dengan interaksi
kerjasama antar kedua sistem hukum waris tersebut, bergeser
menjadi kerjasama berupa akomodasi antara keduanya.
Berlakunya hukum waris Islam di masyarakat sesuai dengan
teori receptio a contrario, yaitu bahwa adat baru berlaku bila
tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Wawancara dengan Bapak Drs. H. Ruslan Daeng Matteru, M. Ag.
pada tanggal 17 Oktober 2008 di Watampone
52
Pandan

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

KEPEKAAN ESCHERICHIA COLI UROPATOGENIK TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG (PERIODE JANUARI-DESEMBER 2008)

2 106 1

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

PENGARUH BIG FIVE PERSONALITY TERHADAP SIKAP TENTANG KORUPSI PADA MAHASISWA

11 131 124