Interferensi Bahasa Angkola Mandailing terhadap Tuturan Bahasa Indonesia di Kota Padangsidimpuan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Penelitian yang Relevan
Kajian Pustaka digunakan untuk memaparkan karya-karya ilmiah

khususnya yang berkaitan dengan kajian dalam bidang interferensi yang meliputi
bidang ilmu sintaksis, morfologi, dan leksikal yang berhubungan dengan
penelitian ini. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang baik, penelitian ini
memperhatikan kajian pustaka sebelumnya, baik berdasarkan teori-teori yang
relevan maupun berdasarkan penelitian yang dilakukan sebelumnya. Adapun
penelitian-penelitian yang membantu dalam mengembangkan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
Pujiono (2006) dalam tesisnya yang berjudul “Interferensi Gramatikal dan
Leksikal Bahasa Indonesia terhadap Bahasa Jepang”. Penelitian ini dilakukan
melalui instrument tes interferensi bahasa Indonesia terhadap bahasa Jepang tulis,
hasil analisis menemukan bahwa interferensi leksikal bahasa Indonesia paling
dominan dengan jumlah 40,3%, kemudian disusul dengan interferensi morfologi
dengan jumlah 33,66% dan interferensi sintaksis dengan jumlah 26,04%.
Penelitian Pujiono memberikan kontribusi pemaparan analisis interferensi

yaitu interferensi gramatikal dan leksikal. Kajian ini memberikan masukan cara
kerja dan analisis data bagi peneliti dalam mengkaji interferensi BAM terhadap BI
di Kota Padangsidimpuan. Perbedaan penelitian Pujiono dan penelitian ini adalah
penelitian Pujiono merupakan penelitian kepustakaan sehingga data primer yang
digunakan merupakan data tulis. Hal ini berbeda dengan penelitian ini yang
merupakan penelitian lapangan dengan data primer berbentuk lisan.

8
Universitas Sumatera Utara

Sinambela (2008) dalam tesisnya yang berjudul “Interferensi bahasa
Indonesia Terhadap bahasa batak Toba pada Buku Khotbah Im Ni Jamita”. Dalam
penelitian tesisnya tersebut, Sinambela menggunakan teks khotbah tulis dalam
bahasa BT yang digunakan oleh para pengkhotbah HKBP (Huria Kristen Batak
Protestan) secara serentak di dalam dan di luar negeri. Kajian penelitiannya
menggunakan pendekatan sosiolinguistik. Dari tiga puluh teks khotbah yang
dijadikan sebagai sumber data penelitian, diungkapkannya bahwa teks-teks Batak
Toba yang ditulis oleh para pendeta telah disusupi BI disebabkan sifat
bilingualitas pemakai bahasa. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat
dua bentuk interferensi B2 (dalam hal ini bahasa Indonesia) terhadap B1 (dalam

hal ini bahasa Bahasa Toba) yaitu interferensi negatif dan positif. Bentuk
interferensi positif adalah apabila tidak terdapatnya representasi unsur serpihan
bahasa Indonesia (BI) di dalam bahasa Batak Toba sehingga hal tersebut dianggap
sebagai memperkaya khasanah BT, sedangkan bentuk negatif apabila representasi
serpihan BI tersebut terdapat dalam BT.
Penelitian Sinambela merupakan penelitian kepustakaan sehingga data
primer yang digunakan merupakan data tulis, hal ini berbeda dengan penelitian ini
yang merupakan penelitian lapangan. Walaupun demikian, penelitiannya
memberikan kontribusi

metode dalam menganalisis interferensi struktur

gramatikalnya.
Marice (2010) dalam disertasinya yang berjudul “Bahasa Batak Toba di
Kota Medan (Kajian Interferensi dan Sikap Bahasa)”. Dalam disertasi ini
mengungkapkan bahwa interferensi merupakan pemindahan unsur-unsur bahasa
ke dalam bahasa lain dan penyimpangan penggunaan kaidah dan norma-norma

9
Universitas Sumatera Utara


bahasa. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa bahasa BT di Medan
terinterferensi BI pada aspek fonologis berupa alternasi dan asimilasi fonem,
interferensi morfologis dalam pembentukan nomina dan verba. Interferensi aspek
sintaksis pada penggunaan partikel ni, na, do, ma, pe, dope, nama, dan be, dan
konstruksi frasa. Interferensi pada aspek leksikal terdapat dalam kata kelas
nomina, kelas verba, kelas ajektiva, dan kelas adverbia. Hasil sikap bahasa
penutur BT di Medan memperlihatkan sikap positif terhadap BT.
Cara kerja interferensi dalam peneitian Marice menjadi acuan untuk
penerapan interferensi di Kota Padangsidimpuan. Penelitian yang Marice lakukan
meliputi bidang fonologi, gramatikal (morfologi dan sintaksis) dan leksikal.
Daniele Allard, Jacqueline Bourdeau, and Riichiro Mizoguchi (2011)
dalam jurnal Calico yang berjudul “Addressing Cultural and Native Language
Interference in Second Language Acquisition”. Penelitian ini membahas masalah
pengaruh budaya bahasa asli terhadap gangguan dan pemerolehan bahasa asing
atau bahasa kedua. Lebih khusus, mengkaji masalah gangguan yang dapat
ditelusuri ke bahasa ibu siswa/mahasiswa yang juga memiliki komponen budaya.
Tujuan penelitian ini memberikan konsep yang dapat mengidentifikasikan hasil
dalam ontologi (cabang ilmu filsafat yang berhubungan dengan hakikat hidup)
yang dapat ditafsirkan dan digunakan oleh manusia dan dikomputerisasikan untuk

membangun

lingkungan

pembelajaran

yang

interaktif.

Penelitian

ini

menggunakan ontologi sebagai dasar konseptual untuk membangun sebuah
skenario instruksional (rencana/rancangan pengajaran), yang kemudian didukung
oleh alat-alat teknologi yang tersedia. Tahapan dalam penelitian ini adalah: 1)
mengidentifikasi kesulitan belajar yang baru; 2) membuat skenario instruksional

10

Universitas Sumatera Utara

baru; 3) melakukan uji coba dengan mahasiswa/siswa dan, berdasarkan hasil,
memperkaya refleksi dan meningkatkan pemahaman kita tentang fenomena ini;
dan 4) mengumpulkan data untuk memvalidasi pendekatan ontologi. Dalam
jangka panjang, tujuan penelitian ini adalah untuk membangun sebuah
„Bimbingan Belajar Sistem Cerdas‟ yang akan membantu siswa mengatasi
kesulitan mereka dengan memahami dan menafsirkan bahasa asing, berdasarkan
ontologi. Sistem ini dianggap sebagai sistem “culturally-aware”.
Penelitian ini memberikan kontribusi mengenai hubungan interferensi
dengan budaya, yaitu dalam hal pengaruh bahasa ibu dalam penggunaan bahasa
kedua. Penelitian ini memberikan gambaran konsep interferensi yang dipengaruhi
oleh budaya pada penutur.
Rochwati (2014) dalam tesisnya yang berjudul “Interferensi Gramatikal
Bahasa Jawa ke dalam Bahasa Indonesia dalam Karangan Siswa SMP
Negeri

1

Surakarta”.


Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan

wujud/bentuk, faktor penyebab, persepsi guru terhadap interferensi bahasa Jawa
dalam bahasa Indonesia dalam

karangan

siswa SMPN 1 Surakarta. Hasil

penelitian ini menunjukkan terdapat beragam aspek kebahasaan yang terbagi
dalam beberapa tipe.
pembelajaran

bahasa

Penyebab munculnya interferensi adalah (1) proses
Indonesia disampaikan dengan menggunakan bahasa

Indonesia yang bercampur dengan

menggunakan

bahasa

Jawa

bahasa

dalam

Jawa,

(2)

kebiasaan

berkomunikasi sehari-hari

siswa
dalam


lingkungannya, dan (3) kebiasaan siswa menggunakan bahasa Jawa yang
terbawa pada waktu menggunakan atau mempelajari bahasa Indonesia yang
menimbulkan transfer negatif. Hasil penelitian ini mempunyai tiga implikasi,
11
Universitas Sumatera Utara

yaitu: (1) guru harus lebih responsif, (2) lebih proaktif dan inisiatif
pembelajaran untuk meningkatkan kompetensi

profesionalitasnya

dalam
dengan

mempelajari ilmu pengetahuan yang dapat menunjang pembelajaran,terutama
bahasa Indonesia. (3) Para siswa yang beretnis Jawa harus menanggalkan
kebiasaan menggunakan bahasa Jawa dalam berkomunikasi dalam pembelajaran
di sekolah demi meningkatkan keterampilan.
Penelitian Rochwati memberikan kontribusi dalam menganalisis struktur

gramatikal yaitu dalam hal penyajian data yang membentuk pembeda antara
kalimat yang

terinterferensi dan kalimat bahasa Indonesianya. Kemudian

penelitian ini juga memberikan kontribusi mengenai faktor-faktor apa saja yang
menyebabkan terjadinya interferensi.
Anni Rahimah, Agustina, dan Syahrul R (2015) dalam artikel berjudul
“Interferensi bahasa Mandailing dalam bahasa Indonesia tulis siswa kelas VIII
MTS Baharuddin Kecamatan Batang Angkola Kabupaten Tapanuli Selatan”.
Penelitian ini mengkaji bentuk, dan jenis interferensi morfologi serta faktor
penyebab interferensi morfologi. Hasil dari penelitian disimpulkan terjadi pada
kata dasar sebanyak 24 kata, kata kompleks yaitu afiksasi; prefiks sebanyak 3
kata, sufiks sebanyak 3 kata, reduplikasi sebanyak 6 kata; komposisi/ kata
majemuk 4 kata. Jadi jumlah kata yang terinterferensi dalam karangan siswa
sebanyak 40 dari 24 siswa. Jenis interferensi morfologi bahasa Mandailing yang
ditemui adalah jenis interferensi produktif, interferensi reseptif, dan interferensi
psikologis. Penyebab interferensi morfologi bahasa Mandailing yang ditemui
dalam karangan siswa adalah faktor pengaruh bahasa yang lebih dulu dikuasainya,


12
Universitas Sumatera Utara

kekurangpahaman pemakai bahasa terhadap bahasa yang dipakainya, dan
pengajaran Bahasa yang kurang sempurna.
Penelitian Anni, dkk memberikan kontribusi dalam bidang morfologi.
Terdapat perbedaan penelitian Anni,dkk dengan penelitian ini. Pertama, objek
yang akan diteliti berupa tuturan (lisan) sementara penelitian Anni,dkk meneliti
bentuk tulisan. Perbedaan kedua penelitian Anni,dkk hanya meneliti bentuk
morfologi saja, sedangkan penelitian ini akan melihat interferensi apa saja yang
terdapat dalam tuturan BI di Kota Padangsidimpuan.

2.2 Landasan Teoretis
2.2.1 Sosiolinguistik
Hubungan

antara

bahasa


dan

masyarakat

dapat

dikaji

dengan

menggunakan kajian sosiolinguistik. Bahasa dalam kajian sosiolinguistik
dipandang sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi yang merupakan bagian
dari masyarakat berkaitan dengan berbagai faktor, baik faktor kebahasaan itu
sendiri maupun faktor non kebahasaan, misalnya faktor sosial budaya yang
meliputi status sosial, umur, tingkat pendidikan dan jenis kelamin. Berbagai
fenomena bahasa yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat dapat dikaji dalam
sosiolinguistik (Suwito, 1983:2). Adapun masalah-masalah yang dikaji dalam
sosiolinguistik meliputi:
a) Hubungan antara pembicara dengan pendengar.
b) Macam bahasa beserta variasinya yang berkembang dalam masyarakat.
c) Penggunaan bahasa sesuai dengan faktor kebahasaan maupun non kebahasaan
termasuk kajian tentang kedwibahasaan.

13
Universitas Sumatera Utara

Dalam membicarakan masalah kedwibahasaan atau bilingualisme, tidak
mungkin terpisahkan dari adanya peristiwa kontak bahasa. Seorang dwibahasawan
adalah sebagai awal terjadinya interferensi dalam bahasa, karena kontak antar
bahasa yang dwibahasawan kuasai. Dwibahasawan menuturkan bahasa-bahasa
tersebut secara bergantian dan mengakibatkan terjadinya kekeliruan dalam
berbahasa. Interferensi merupakan salah satu peristiwa kebahasaan yang terjadi
sebagai akibat adanya kontak dua bahasa atau lebih dalam masyarakat sosial. Hal
ini telah diungkapkan Weinrich yang menyatakan bahwa “Pemakaian dua bahasa
oleh dwibahasawan secara bergantian menimbulkan terjadinya kontak bahasa
yang dapat berujung pada interferensi” (Weinreich, 1979:1).

2.2.2 Interferensi
Suatu masyarakat bahasa yang mengenal dan menguasai lebih dari satu
bahasa cenderung mengalami interferensi ketika berbahasa. Seperti yang telah
diungkapkan sebelumnya bahwa akibat adanya kontak bahasa dalam masyarakat
yang bilingual atau pun dwibahasawan seperti yang terjadi pada masyarakat
Indonesia, muncullah suatu fenomena bahasa yang disebut dengan interferensi.
Pada ranah linguistik istilah interferensi pertama kali digunakan oleh
Weinreich pada tahun 1953 untuk menyebutkan adanya perubahaan sistem suatu
bahasa sehubungan dengan adanya kontak bahasa tersebut dengan unsur-unsur
bahasa lain yang dilakukan oleh penutur bilingual. Interferensi yang terjadi berupa
pengucapan, baik secara lisan maupun tulisan. Penutur bilingual menggunakan
dua bahasa secara bergantian. Hal ini menunjukkan bahwa setiap penutur
memiliki variasi bahasa.

14
Universitas Sumatera Utara

Weinreich (1979:1) menyatakan interferensi adalah:
“ Those instance of deviation from the norm of etheir language wich occur in the
speeks bilinguals as a result of their familiarity with more than one language, i.e.
as a result of language contact”
Artinya, penyimpangan dari norma-norma salah satu bahasa yang terjadi dalam
tuturan para dwibahasawan, sebagai akibat dari pengenalan mereka terhadap lebih
dari satu bahasa, yaitu sebagai hasil dari kontak bahasa.
Di dalam proses interferensi, kaidah pemakaian bahasa mengalami
penyimpangan karena adanya pengaruh dari bahasa lain. Interferensi berupa
penggunaan bahasa yang satu dalam bahasa yang lain dapat terjadi pada saat
berbicara atau menulis. Pengambilan unsur yang terkecil pun dari bahasa pertama
ke dalam bahasa kedua dapat menimbulkan interferensi.
Berbeda dengan Weinreich, Hartman dan Stork berpendapat (dalam
Alwasilah, 1993:131) interferensi adalah the errors by carrying over the speech
habits of the native language or dialect into a second language or dialect, yang
berarti kekeliruan yang disebabkan terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa
atau dialek ibu ke dalam bahasa atau dialek ke dua.
Begitu pula dengan Alwasilah (1993:131) berbeda dengan pendapat
Weinreich, yang menyatakan bahwa yang dimaksud interferensi adalah: (a)
Sejauh mana dwibahasawan menggunakan bahasanya sehingga terpisah dari
bahasa asalinya; (b) Bagaimana penggunaan bahasa tersebut sehingga timbul
kesalahan yang disebabkan terbawanya kesalahan itu. Kesalahan yang dimaksud
adalah ujaran bahasa ibu/bahasa pertama terbawa atau terpengaruh ke dalam
bahasa kedua

yang menyebabkan terjadinya gangguan dalam sistem kaidah

bahasa ke dua atau sebaliknya. Inteferensi dianggap sebagai sebuah gangguan.

15
Universitas Sumatera Utara

Jadi dari beberapa pendapat ahli di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
terjadinya interferensi adalah akibat kontak dua bahasa atau lebih yang
menyebabkan

pengguna

bahasa

mengalami

penyimpangan,

kekeliruan

penggunaan bahasa sehingga terjadi gangguan sistem kaidah bahasa yang satu
dengan bahasa yang lain.
Penelitian ini mengacu pada pendapat Weinrich mengenai interferensi.
Menurut Weinrich interferensi dapat terjadi dalam semua komponen kebahasaan
dan berbagai tataran kebahasaan, yaitu bidang tata bunyi, tata kalimat, dan tata
makna.

Weinrich (1979:14) mengidentifikasi interferensi atas empat macam,

yaitu:
1. Pemindahan Unsur suatu Bahasa ke dalam Bahasa Lain
Menurut Weinreich (1979:1), interferensi merupakan pemindahan unsurunsur bahasa ke dalam bahasa lain dan penyimpangan penggunaan kaidah dan
norma-norma. Peristiwa interferensi dalam suatu bahasa terjadi disebabkan
penutur bilingual mentransfer bahasa-bahasa yang dikuasainya secara bergantian.
Masuknya unsur-unsur bahasa yang satu kepada bahasa yang lain memungkinkan
terjadinya penyimpangan-penyimpangan terhadap kaidah bahasa.
Chaer

dan

Agustina

(1995:162)

sependapat

dengan

Weinreich

mengungkapkan bahwa salah satu pemindahan unsur suatu bahasa ke dalam
bahasa yang lain terjadi pada interferensi dalam bidang morfologi, antara lain
terdapat dalam pembentukan kata dengan afiks. Interferensi morfologis terjadi
apabila dalam pembentukan katanya sesuatu bahasa memindahkan afiks-afiks
bahasa lain. Misalnya penggunaan imbuhan ke, ke-an bahasa Jawa dalam bahasa
Indonesia kelanggar, ketabrak, kemahalan. Afiks– (n)isasi, -is dari bahasa asing

16
Universitas Sumatera Utara

(Belanda dan Inggris), digunakan ke dalam bahasa Indonesia misalnya, ikanisasi,
agamais, cengkih(n)isasi. Hal ini tidak hanya berlaku dalam bidang morfologi
saja melainkan dapat terjadi pada bidang Fonologi, Sintaksis dan Leksikal.
2. Perubahan Fungsi dan Kategori yang Disebabkan oleh Pemindahan Unsur
Weinreich (1979:30) menyatakan perubahan fungsi dan kategori morfem
artinya perubahan dalam fungsi-fungsi morfem B berdasarkan gramatikal bahasa
A, karena identifikasi morfem bahasa B tertentu dengan morfem bahasa A yang
tertentu. Jika dwibahasawan mengidentifikasikan sebuah morfem atau kategori
gramatikal bahasa A dengan morfem atau kategori gramatikal bahasa B, ia
mungkin menerapkan fungsi gramatikal yang diambil dari sistem bahasa A
kepada morfem bahasa B yang mendorong dwibahasawan tersebut melakukan
padanan morfem antar bahasa ialah karena adanya kesamaan bentuk, atau adanya
kesamaan fungsi sebelumnya.
Contoh:
(3) Yang kemananya kalian pergi?
part
k.t
part
Kemana kalian pergi?
Dari data di atas terlihat terjadi pemindahan morfem yang dan morfem nya
dalam BI ke dalam sistem gramatikal BAM. Morfem yang dalam BI berfungsi
sebagai pernyataan „ketentuan atau penjelasan‟ (Chaer, 2006:159) mengalami
perubahan fungsi dan kategori akibat dari interferensi partikel na BAM menjadi
sebagai pemerkuat kalimat tanya. Penerapan tata BAM pada fungsi partikel na
(sebagai pemerkuat kalimat tanya) diidentifikasikan atau dipadankan ke dalam
morfem yang dalam bahasa Indonesia (sebagai penghubung), dengan ketentuan
gramatikal BAM yaitu sebagai pemerkuat kalimat tanya.

17
Universitas Sumatera Utara

Demikian halnya dengan morfem do yang diberi padanan dengan morfem
nya dalam BI, mengalami perubahan fungsi yang disesuaikan dengan sistem
gramatikal BAM. Morfem nya dalam bahasa Indonesia berfungsi menyatakan
orang ketiga, sebagai pengganti kepemilikan, dan sebagai pengganti objek sasaran
(Chaer, 2006:97). Akibat interferensi BAM morfem nya mengalami perubahan
fungsi dan kategori menjadi pemarkah topik kalimat yang disamakan dengan
partikel do sesuai dengan struktur BAM.
3. Penerapan Unsur yang Tidak Berlaku pada Bahasa Kedua ke dalam
Bahasa Pertama atau Sebaliknya
Weinreich (1979:1) menyatakan bahwa penerapan dan pemindahan unsurunsur yang tidak berlaku pada bahasa pertama ke dalam bahasa kedua merupakan
penyimpangan penggunaan kaidah dan norma-norma bahasa yang termasuk ke
dalam interferensi. Peristiwa interferensi dalam suatu bahasa terjadi disebabkan
penutur bilingual mentransfer bahasa-bahasa yang dikuasainya secara bergantian
tetapi unsur tersebut tidak berlaku pada kaidah bahasa kedua atau sebaliknya.
Masuknya unsur-unsur bahasa yang satu kepada bahasa yang lain memungkinkan
terjadinya penyimpangan-penyimpangan terhadap kaidah bahasa.
Contoh:
(4) Enak bakso yang di Aek Tampang itu da.
part
Bakso yang berada di Aek Tampang itu enak.

Partikel da berfungsi sebagai penegas kalimat berita. Partikel ini berfungsi
sebagai penegasan bahwa berita yang disampaikan adalah suatu kebenaran.
Penutur di Kota Padangsidimpuan menerapkan partikel BAM ini ke dalam tuturan
BI karena dirasa tidak memiliki padanan partikel yang sama dalam BI, sehingga

18
Universitas Sumatera Utara

penutur menerapkan partikel ini untuk memberikan kesan „benar-benar enak‟ pada
kalimat sesuai dengan yang penutur ingin ungkapkan. Hal ini tidak hanya berlaku
dalam bidang sintaksis saja melainkan pada bidang morfologi dan leksikal juga.
4.

Pengabaian Struktur Bahasa Kedua
Padanannya dalam Bahasa Pertama

karena

Tidak

Terdapat

Hal ini sama dengan penjelasan sebelumnya karena struktur yang tidak
terdapat pada bahasa pertama maka dilakukan penerapan struktur bahasa kedua
atau sebaiknya. Weinreich (1979:1) menyatakan bahwa kebiasaan dari penutur
yang melakukan penerapan dan pemindahan unsur-unsur yang tidak berlaku pada
bahasa pertama ke dalam bahasa kedua menyebabkan terjadinya pengabaian
terhadap interferensi tersebut. Akibatnya, pemakaian struktur pertama diterapkan
pada bahasa kedua dan dianggap hal yang biasa dan lazim digunakan, sehingga
pengabaian yang dilakukan menyebabkan penggunaan struktur bahasa tersebut
terus menerus digunakan dan menjadi kebiasaan.
Lebih lanjut Weinreich membagi bentuk-bentuk interferensi atas tiga jenis
interferensi yang dapat timbul ketika dwibahasawan berbicara dalam sebuah
bahasa yaitu interferensi fonologi, interferensi gramatikal, dan interferensi
leksikal (Weinreich, 1979:2). Masing-masing jenis interferensi memiliki fokus
pada tataran tertentu, seperti interferensi fonologi pada tataran bunyi, gramatikal
pada tataran sintaksis (struktur tata bahasa) dan morfologi (afiksasi, reduplikasi)
serta interferensi leksikal pada tataran leksikon. Berikut adalah pemaparannya:

19
Universitas Sumatera Utara

2.2.2 Interferensi dalam Bidang Fonologi
Menurut Weinreich (1979:14) interferensi bunyi terjadi bilamana
seseorang dwibahasawan mengartikan dan menghasilkan kembali bunyi sistem
bahasa kedua pada bunyi sistem bahasa pertama. Dengan kata lain, interferensi
bunyi terjadi apabila seorang dwibahasawan memperlakukan – mengidentifikasi
dan memproduksi – bunyi bahasa yang satu seperti ketika ia memperlakukan
bunyi bahasa lainnya.
Interferensi fonologi terjadi apabila fonem dan logat bahasa yang
digunakan dalam suatu bahasa menyerap fonem dan logat dari bahasa lain.
Verhaar mengelompokkan jenis kedua bunyi tersebut menjadi bunyi segmental
dan suprasegmental. (Verhaar, 1996:55)
Bunyi segmental mengacu pada pengertian bunyi-bunyi yang dapat
disegmentasi/dipisah-pisahkan

dan

bisa

dibagi.

Contohnya,

ketika

kita

mengucapkan “Bahasa”, maka nomina yang dibunyikan tersebut (baca: fonem),
bisa dibagi menjadi tiga suku kata: ba-ha-sa. Atau dibagi menjadi lebih kecil lagi
sehingga menjadi: b-a-h-a-s-a. Jelas bunyi-bunyi tersebut menunjukkan adanya
fonem. Dengan demikian, sebenarnya bunyi-bunyi bahasa yang telah diuraikan
sebelumnya adalah bunyi segmental. Bunyi yang termasuk kedalam bunyi
segmental ini adalah bunyi vokal, konsonan, diftong, dsb.
Interferensi segmental meliputi asimilasi, penambahan fonem, perubahan
fonem, dan penghilangan fonem. Salah satu contoh interferensi yang terjadi pada
fonem segmental dapat dilihat dari penambahan fonem. Penutur bahasa Jawa
dalam mengucapkan kata-kata nama tempat yang berawalan bunyi /b/, /d/, /g/, dan
/j/ dengan penasalan didepannya, maka akan terjadi interferensi tata bunyi atau

20
Universitas Sumatera Utara

sering disebut interferensi fonologi bahasa Jawa dalam bahasa Indonesia,
misalnya : /mBanjar/, /nDepok/, /ngGombong/, /nJambi/.
Sementara suprasegmental adalah sesuatu yang menyertai fonem tersebut
yang itu bisa berupa tekanan suara, panjang-pendek suara, dan getaran suara yang
menunjukkan emosi

tertentu. Semua

yang tercakup ke

dalam

istilah

suprasegmenal itu tidak bisa dipisahkan dari suatu fonem. Verhaar mengatakan
unsur suprasegmental terdiri atas intonsi, nada, dan tekanan (aksen).
Interferensi yang terjadi pada bunyi suprasegmental ini biasanya meliputi
intonasi nada bahasa. Interferensi bunyi terjadi saat penutur mengucapkan bahasa
kedua dengan menggunakan intonasi nada bahasa pertama. Verhaar mengatakan
bahwa setiap bahasa memiliki intonasi masing-masing, intonasi tersebut berbeda
pada setiap jenis kalimat. Ada intonasi khusus untuk kalimat berita (deklatif) dan
kalimat (interogatif) dalam banyak bahasa. Untuk melihat perbedaan intonasi
tersebut Verhaar menggambarkan intonasi tersebut seperti berikut (Verhaar,
1996:87).
Inggris
(a)
5
4
3
2
1
Did you see anything there?
Gambar 2.2.2 Intonasi interogatif Bahasa Inggris

21
Universitas Sumatera Utara

Indonesia
(b)
5
4
3
2
1
Apakah anda sudah mendafarkan diri?
Gambar 2.2.2 Intonasi Interogatif Bahasa Indonesia

Perbandingan kalimat tanya (interogatif) dalam contoh (a) dengan kalimat
tanya (interogatif) dalam contoh (b) diukur dengan tinggi rendahnya nada yang
dilambangkan dengan angka-angka, dari angka 1 menggambarkan intonasi rendah
sampai angka 5 menggambarkan intonasi tinggi. Dari gambar di atas dapat terlihat
perbedaan intonasi bahasa Inggris dan intonsi BI pada kalimat tanya.

2.2.3 Interferensi Gramatikal
Interferensi gramatikal berhubungan dengan sistem tata bahasa yang
dipengaruhi oleh sistem tata bahasa lain. Interferensi ini terjadi pada bidang
morfologi dan sintaksis (Weinreich, 1979:26).
Hal yang senada juga dinyatakan oleh Aslinda dan Leni yang menyatakan
interferensi

dalam

bidang

gramatikal

terjadi

apabila

dwibahasawan

mengidentifikasikan morfem, kelas morfem, atau hubungan ketatabahasaan pada
sistem bahasa pertama dan menggunakanya dalam tuturan bahasa kedua yang
meliputi kajian morfologi dan sintaksis (Aslinda dan Leny, 2007:74). Berikut
adalah pemaparannya:

22
Universitas Sumatera Utara

2.2.3.1 Interferensi Morfologi
Abahasa daerahul Chaer dan Leony Agustina, berpendapat bahwa
interferensi morfologi, antara lain terdapat dalam pembentukann kata dengan afiks
(2004: 114). Misalnya dalam BI yang sering mengalami interferensi dari berbagai
bahasa salah satunya penyerapan sufiks -wi dan –ni dari bahasa Arab . Sufiks ini
dipakai untuk membentuk adjektif pada kata-kata manusiawi, bahasawi, sorgawi,
dan gerejani.
Sementara interferensi yang terjadi antara BAM terhadap BI terjadi karena
sistem morfologi BAM mempengaruhi sistem morfologi BI dan menyebabkan
penyimpangan yaitu berupa penyerapan afiks dan penghilangkan afiks. Berikut
adalah afiks dalam BI meliputi: prefiks meN-, ber-, di-, ter-, peN-, pe-, per-, dan
se-, sufiks –kan, -an, -i, dan –wan, konfiks ke-an, peN-an, per-an, ber-an, dan senya (Ramlan, 2001:62-63). Adapun afiks dalam BAM diantaranya adalah: prefiks
ma-, tar-, di-, par-, maN-,paN-, sa-, san-, um-, infiks –in-, -um-, sufiks –i, -on, na, -an, -hon, dan konfiks (marsi-/-an), (maN-/-i), (maN-/-hon), (paN-/hon),(tar-/i),(mar-/-i),(maN-/-i) (Irwan, 2006:3).
Proses afiksasi kata BI dapat terinterferensi BAM karena terjadinya kontak
dua bahasa. Berikut contoh interferensi prefiks mar- pada bahasa BI : marlampu,
markereta, dan marjuta. Kata-kata tersebut terpengaruh oleh BAM dengan
menggunakan prefiks mar-. Bentuk prefiks mar- memiliki padanan dalam BI
yaitu prefiks ber- sehingga seharusnya kata-kata tersebut menjadi berlampu,
berkereta, dan berjuta.
Selain proses afiksasi, interferensi juga terjadi pada proses reduplikasi
(kata ulang) dan kata majemuk yang juga merupakan bagian dari morfologi.

23
Universitas Sumatera Utara

Reduplikasi adalah kata-kata yang dibentuk dengan mengulang sebagian atau
keseluruhan bentuk yang menjadi dasarnya. Kata ulang juga terdapat pada kata
ulang yang dibubuhi afiks atau kata ulang berimbuhan (Ramlan, 2001:81). Contoh
interferensi BAM pada proses reduplikasi yakni : marjuta-juta merupakan
interferensi yang terjadi pada kata ulang berimbuhan mar-+ juta +R = marjuta-juta
„berjuta-juta‟.
Pengertian kata majemuk adalah kata yang terdiri dari dua morfem bebas
yang antara keduanya memiliki keterpaduan yang kuat baik bentuk maupun
maknanya, karena keterpaduanya itu maka kata majemuk tidak dapat disisipi
unsur lain atau diputarbalikkan urutan unsur pembentuknya (Ramlan, 2001:81).
2.2.3.2 Interferensi Sintaksis
Pada umumnya sintaksis berhubungan dengan struktur sintaksis.
Pembicaraan struktur sintaksis berkaitan erat dengan masalah fungsi, kategori, dan
peran. Masalah fungsi berkaitan dengan istilah subjek, predikat, objek, dan
keterangan. Masalah kategori berkaitan dengan istilah nomina, verba, adjektiva,
dan istilah lain yang berkaitan dengan kategori sintaksis. Adapun masalah peran
berkaitan dengan istilah, pelaku, penerima, atau istilah lain yang berkaitan dengan
peran sintaksis (Chaer, 2007: 207).
Seperti yang Verhaar kemukakan, secara umum struktur sintaksis itu
terdiri dari susunan subjek (S), predikat (P), objek (O), dan keterangan (K).
Fungsi-fungsi sintaksis yang terdiri atas unsur-unsur SPO dan K, merupakan
kotak-kotak kosong atau tempat-tempat kosong yang tidak mempunyai arti apaapa karena kekosongannya (Verhaar, 1996:162).

24
Universitas Sumatera Utara

Tempat-tempat kosong itu akan diisi oleh sesuatu yang berupa kategori
dan memiliki peranan tertentu. Contoh:
Guru memberikan tugas tadi pagi.
S

P

O

K

Dalam bahasa Inggris dapat ditransfer menjadi:
The teacher gave the assignment this morning.
S

P

O

K

Bagian-bagian lain dari kalimat BI bisa dipindahkan tempatnya tanpa
mengubah makna gramatikal kalimat tersebut. Misalnya, frasa kata keterangan
tempat tadi pagi dipindahkan ke depan menjadi “tadi pagi guru memberikan
tugas” atau “guru tadi pagi memberikan tugas”. Perubahan posisi tersebut masih
dapat diterima dalam bahasa Indonesia.
Bila ditransfer ke dalam bahasa Inggris hasilnya menjadi This morning the
teacher gave the assignment. Interferensi ini masih bisa diterima dalam susunan
gramatikal bahasa Inggris tetapi, bila diubah lagi menjadi *The teacher this
morning gave assignment. Kalimat ini kedengarannya janggal sekali sehingga
kalimat itu tidak dapat diterima dalam struktur gramatikal bahasa Inggris. Artinya,
meskipun susunan kalimat bahasa Indonesia bisa diterima, namun dalam bahasa
Inggris susunan itu tidak bisa dibenarkan.
Jenis interferensi di atas adalah interferensi sintaksis. Salah satu
interferensi sintaksis berhubungan dengan struktur kalimat bahasa pertama yang
berpengaruh terhadap struktur kalimat bahasa kedua. Weinreich (1979:30)
menyebutkan hal yang berhubungan dengan interferensi struktur kalimat adalah
sebagai „penerapan hubungan gramatikal‟.

25
Universitas Sumatera Utara

Penerapan hubungan gramatikal ini ialah penerapan hubungan tata bahasa
A pada morfem bahasa B, atau mengabaikan hubungan bahasa B yang tidak
mempunyai prototip dalam bahasa A. Weinreich memberikan contoh kalimat
dalam bahasa Inggris He comes tomorrow home, yang disusun dengan struktur
bahasa Jerman erkomt morgen nach hause, yang terbukti sebagai penerapan
bahasa Jerman dalam bahasa Inggris.
Erkomt morgen nach
hause (bahasa Jerman)
He
comes tomorrow home (bahasa Inggris)
Adapun unsur-unsur bahasa tersebut yang satu pindah ke bahasa yang lain
dinyatakan sebagai bentuk transfer yang berterima karena masih gramatikal
dengan bahasa Inggris.
Dari contoh di atas, maka penelitian interferensi sintaksis yang berkaitan
dengan fungsi sintaksis akan mengkaji interferensi BAM yang tidak gramatikal
atau tidak berterima dalam BI. Jika setelah mangalami interferensi BAM kalimat
tersebut masih berterima dalam BI, maka tidak diteliti karena kalimat tersebut
masih sesuai dengan gramatikal BI.
Selain pada fungsi sintaksis, interferensi juga sering dijumpai pada
kategori sintaksis. Menurut Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Alwi, dkk,
2003: 36), bahasa Indonesia memiliki empat kategori sintaksis yang utama, yaitu:
(1) verba atau kata kerja, (2) nomina atau kata benda, (3) adjektiva atau kata sifat,
dan (4) adverbia atau kata keterangan. Di samping kategori utama, terdapat juga
kata tugas yang terdiri atas preposisi atau kata depan, konjungtor atau kata
sambung, dan partikel.
Salah satu interferensi yang sering dijumpai dalam masyarakat adalah
penggunaan partikel. Misalnya, dalam tataran sintaksis antara bahasa Jawa dan BI

26
Universitas Sumatera Utara

terjadi karena penggunaan partikel penegas bahasa Jawa “je”, “to” ke dalam BI
atau penggunaan partikel BI seperti, “deh”, “dong”, “kan” ke dalam bahasa Jawa.
Demikian juga halnya pada BAM dan BI banyak terjadi interferensi
partikel BAM terhadap BI yang membuat kalimat tersebut memiliki makna yang
agak berbeda dari BI. Misalnya:
(5)

Pinjamlah kele uangmu!
part part
„Pinjamlah uangmu!‟

(BI di Kota Padangsidimpuan)
(BI)

Dari contoh (5) di atas terlihat dalam BAM kalimat perintah menggunakan
partikel kele yang terinterferensi ke dalam BI di Kota Padangsidimpuan. Partikel
kele ini dalam BAM digunakan pada kalimat perintah bujukan yang diletakkan
setelah pemarkah topik ma (memiliki padanan yang sama dengan lah dalam BI).
Partikel ini menyatakan permintaan dengan cara yang halus atau dengan
membujuk/memelas/memohon lawan bicara agar mau melakukan sesuatu.
Partikel kele tidak terdapat dalam BI, sehingga penutur mentrasfer partikel ini ke
dalam tuturan BI agar makna dari kalimat ini sampai pada lawan bicara sesuai
dengan harapan penutur. Interferensi yang terjadi pada tataran sintaksis terjadi
karena unsur BAM mempengaruhi struktur kalimat BI.
2.2.4 Interferensi Leksikal
Interferensi leksikal diartikan pengacauan kosa kata antara bahasa yang
satu ke dalam bahasa yang lain. Di dalam interferensi leksikal terjadi penyerapan
kosa kata dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Interferensi dalam bidang leksikal
terjadi apabila seorang dwibahasawan dalam peristiwa tutur memindahkan
leksikal bahasa pertama kedalam bahasa kedua atau sebaliknya (Weinreich
(1979:47).

27
Universitas Sumatera Utara

Pada penelitian ini mengkaji interferensi leksikal BAM berupa kata
sederhana yang dipindahkan ke dalam tuturan BI berdasarkan kelas kata.
Misalnya:
Datu „dukun‟

(6)

Jangan berobat ke datu kau.
dukun
„Kau jangan berobat ke dukun‟
Dari data (6) ditemukan data datu, nomina yang digunakan untuk
menyebutkan „dukun‟. Kata datu terinterferensi dari BAM. Seharusnya leksikal
datu tidak perlu digunakan karena dalam BI ada padanannya

yaitu

paranormal/dukun.
Interferensi yang terjadi akan dibagi berdasarkan kelas kata dalam BI yang
dikemukan oleh Harimurti Kridalaksana (2007) dalam buku yang berjudul “ Kelas
Kata dalam Bahasa Indonesia” yaitu:
1. Verba
Kata dikatakan berkategori verba jika dalam frasa dapat didampingi
partikel tidak dalam konstruksi dan tidak dapat didampingi partikel di, ke, dari,
atau dengan partikel seperti sangat, lebih, atau agak. Berdasarkan bentuknya
verba dibedakan sebagai berikut. (Kridalaksana, 2007 : 51)


Berdasarkan bentuknya, verba dapat terbagi menjadi sebagai

berikut.
a.

Verba Dasar Bebas

Verba dasar bebas merupakan verba dasar yang bebas. Misalnya tidur, duduk,
makan, minum, dan sebagainya.
b. Verba Turunan

28
Universitas Sumatera Utara

Verba turunan merupakan verba yang telah mengalami proses morfologis
(afiksasi, reduplikasi, gabungan proses, komposisi). Misalnya berenang, dudukduduk, melirik-lirik, adu domba.


Berdasarkan banyaknya nomina yang mendampingi, verba terbagi

menjadi sebagai berikut.
a.

Verba Intransitif

b.

Verba Transitif


Berdasarkan hubungannya dengan nomina, verba terbagi menjadi

sebagai berikut.
a.

Verba Aktif

Verba aktif yaitu verba yang subjeknya berperan sebagai pelaku, biasanya
berprefiks me-, ber-, atau tanpa prefiks.
b.

Verba Pasif

Verba pasif yaitu verba yang subjeknya berperan sebagai penderita, sasaran, atau
hasil. Biasanya diawali dengan prefiks di- atau ter-. Apabila ditandai dengan
prefiks ter- maka bermakna perfektif.
c.

Verba Anti Aktif

Verba anti aktif (ergatif) yaitu verba pasif yang tidak dapat diubah menjadi verba
aktif dan subjeknya merupakan penanggap. Contoh: menderita, merasakan.
d. Verba Anti Pasif
Verba anti-pasif yaitu verba yang tidak dapat diubah menjadi verba pasif.


Berdasarkan interaksi antarnomina pendampingnya, verba terbagi

menjadi sebagai berikut.
a.

Verba Resiprokal

Verba resiprokal yaitu verba yang menyatakan perbuatan yang dilakukan oleh dua
pihak, dan perbuatan tersebut dilakukan dengan saling berbalasan. Berikut adalah
contoh bentuk verba resiprokal.
ber- + perang

= berperang

ber- + salaman

= bersalaman

b.

Verba Nonresiprokal

Verba nonresiprokal yaitu verba yang tidak menyatakan perbuatan yang dilakukan
oleh dua pihak dan tidak saling berbalasan.

29
Universitas Sumatera Utara



Berdasarkan referensi argumennya, verba terbagi menjadi sebagai

berikut.
a.

Verba Refleksi

Verba refleksif, yaitu verba yang kedua argumennya mempunyai referen yang
sama.
b.

Verba Nonrefleksi

Verba non refleksi, yaitu verba yang kedua argumennya mempunyai referen yang
berlainan.


Berdasarkan hubungan identifikasi antara argumen-argumennya

adalah sebagai berikut.
a.

Verba kopulatif

Verba kopulatif, yaitu verba yang mempunyai potensi untuk ditanggalkan tanpa
mengubah konstruksi predikatif yang bersangkutan. Contoh: merupakan, adalah.
b.

Verba ekuatif

Verba ekuatif, yaitu verba yang mengungkapkan ciri salah satu argumennya.
Contoh: berjumlah, berlandaskan.
2.

Adjektiva
Berdasarkan bentuknya, adjektiva terbagi menjadi tiga jenis, yaitu

adjektiva dasar, turunan, dan majemuk. Adjektiva memiliki ciri-ciri yang
memungkinkanya untuk (1) bergabung dengan partikel tidak, (2) mendampingi
nomina atau (3) didampingi partikel seperti lebih, sangat, agak, (4) dapat hadir
berdapingan dengan kata lebih...daripada... atau paling untuk menyatakan tingkat
perbandingan, (5) mempunyai ciri-ciri morfologis seperti –er, -if, (6) dapat
dibentuk menjadi nomina dengan konfiks ke-an, (7) dapat berfungsi predikatif,
atributif, dan pelengkap. Subkategorisasi ajektiva, dibagi ke dalam empat macam
kategori, yakni sebagai berikut. (Kridalaksana, 2007 : 59)
a.

Ajektiva predikatif yaitu ajektiva yang dapat menempati posisi predikat dalam
klausa. Misalnya susah, hangat, sulit, mahal.

30
Universitas Sumatera Utara

b.

Ajektiva atributif yaitu ajektiva yang mendampingi nomina dalam frase

nomina. Misalnya nasional, niskala.
c.

Ajektiva bertaraf yakni yang dapat berdampingan dengan agak, sangat, dan

sebagainya. Contohnya pekat, makmur.
d. Ajektiva tak bertaraf yakni yang tidak dapat berdampingan dengan agak,
sangat, dan sebagainya. Contohnya nasional, intern.
3. Nomina
Nomina adalah kategori yang secara sintaksis tidak mempunyai potensi
untuk bergabung dengan partikel tidak dan mempunyai potensi untuk didahului
oleh partikel dari. Berikut adalah bentuk-bentuk nomina. (Kridalaksana, 2007: 68)
1.

Nomina dasar, contoh: radio, udara, kertas, barat, kemarin, dll.

2.

Nomina turunan, terbagi atas:

a.

Nomina berafiks, contoh: keuangan, perpaduan, gerigi.

b. Nomina reduplikasi, contoh: gedung-gedung, tetamu, pepatah.
c.

Nomina hasil gabungan proses, contoh: batu-batuan, kesinambungan.

d. Nomina yang berasal dari pelbagai kelas karena proses, contoh: deverbalisasi,
seperti pengangguran, pemandian, pengembangan, kebersamaan.
3.

Nomina paduan leksem, contoh: daya juang, cetak lepas, loncat indah, tertib

acara, jejak langkah.
4.

Nomina paduan leksem gabungan, contoh: pendayagunaan, ketatabahasaan,

pengambilalihan, kejaksaaan tinggi.
4. Pronomina
Pronomina adalah kategori yang berfungsi untuk menggantikan nomina,
yang digantikan itu disebut anteseden. (Kridalaksana, 2007:79)

31
Universitas Sumatera Utara

Berikut adalah subkategorisasi pronomina.
a.

Dilihat

dari

hubungannya

dengan

nomina,

yaitu

ada

atau

tidaknyaanteseden dalam wacana. Berdasarkan hal itu, dibagi lagi menjadi:
1)

Pronomina Intertekstual

Bila anteseden terdapat sebelum pronomina itu dikatakan anaforis, sedangkan
bila anteseden muncul sesudah pronomina, hal itu disebut kataforis. Contoh
anaforis: Pak Arif sepupu Bapak. Rumahnya dekat.
2)

Pronomina ekstratekstual

Merupakan pronomina yang menggantikan nomina yang terdapat di luar wacana,
bersifat deiktis. Contoh: Itu yang kukatakan.
b.
1)

Dilihat dari jelas atau tidaknya referennya
Pronomina Taktrif

Pronomina taktrif yaitu menggantikan nomina yang referennya jelas.Pronomina
ini terbatas pada pronomina persona.
2)

Pronomina Tak Takrif

Pronomina taktrif yaitu menggantikan nomina yang referennya jelas. Pronomina
ini terbatas pada pronomina persona.
5.

Numeralia
Numeralia adalah kategori yang dapat (1) mendampingi nomina dalam

konstruksi sintaksis, (2) mempunyai potensi untuk mendampingi numeralia lain,
(3) tidak dapat bergabung dengan tidak atau sangat. Subkategorisasi numeralia
adalah sebagai berikut. (Kridalaksana, 2007 : 81)
a.

Numeralia Takrif

Numeralia takrif yaitu numeralia yang menyatakan jumlah yang tentu.

32
Universitas Sumatera Utara

1) Numeralia Utama (kardinal)
2) Numeralia Tingkat
Adalah numeralia takrif yang melambangkan urutan dalam jumlah dan berstruktur
ke + Num. Contoh: Catatan ketiga sudah diperbaiki.
3) Numeralia Kolektif, Adalah numeralia takrif yang berstruktur ke + Num, ber+ N, ber- + NR, ber- + Num R atau Num + -an.
b.

Numeralia Tak Takrif

Numeralia tak takrif adalah numeralia yang menyatakan jumlah yang tak
tentu.Misalnya, berapa, sekalian, semua, segenap.
6. Adverbia
Adverbia adalah kategori yang dapat mendampingi ajektiva, numeralia,
atau proposisi dalam konstruksi sintaksis.Adverbia tidak boleh dikacaukan dengan
keterangan, karena adverbia merupakan konsep kategori, sedangkan keterangan
merupakan konsep fungsi.Bentuk adverbia ada enam, yakni sebagai berikut.
(Kridalaksana, 2007:81)
a.

Adverbia dasar bebas, contoh: alangkah, agak, akan, belum, bisa.

b.

Adverbia turunan, yang terbagi atas:

1) Adverbia turunan yang tidak berpindah kelas terdiri atas : adverbia
bereduplikasi, seperti jangan-jangan, lagi-lagi dan adverbia gabungan,
misalnya tidak boleh tidak.
2) Adverbia turunan yang berasal dari pelbagai kelas terdiri atas: adverbia
berafiks, misalnya terlampau, sekali dan adverbia dari kategori lain karena
reduplikasi, misalnya akhir-akhir, sendiri-sendiri
3) Adverbia deajektiva, misalnya awas-awas, benar-benar

33
Universitas Sumatera Utara

4) Adverbia denumeralia, misalnya dua-dua
5) Adverbia deverbal, misalnya kira-kira, tahu-tahu
c.

Adverbia yang terjadi dari gabungan kategori lain dan pronomina,
misalnya rasanya, rupanya, sepertinya.

d. Adverbia deverbal gabungan, misalnya ingin benar, tidak terkatakan lagi
e.

Adverbia de ajektival gabungan, misalnya tidak lebih, kerap kali.

f.

Gabungan proses, misalnya : se- +A +-nya: sebaiknya

7. Interogativa
Interogativa adalah kategori dalam kalimat interogatif yang berfungsi
menggantikan sesuatu yang ingin diketahui oleh pembicara atau mengukuhkan
apa yang telah diketahui pembicara. Apa yang ingin diketahui dan apa yang
dikukuhkan itu disebut antesenden (ada di luar wacana) dan karena baru akan
diketahui kemudian, interogativa bersifat kataforis. (Kridaklaksana, 2007:88)
a.

Interogativa dasar: apa, bila, bukan, kapan, mana, masa.

b.

Interogativa turunan: apabila, apaan, apa-apaan, bagaimana, bagaimanakah,
berapa, betapa, bilamana, bilakah, bukankah, dengan apa, di mana, ke mana,
manakah, kenapa, mengapa, ngapain, siapa, yang mana.

c.

Interogativa terikat: kah dan tah.

8. Demonstrativa
Demonstrativa adalah kategori yang berfungsi untuk menunjukkan sesuatu
(antesenden) di dalam maupun di luar wacana.Dari sudut bentuk dapat dibedakan
berikut ini. (Kridalaksana, 2007:92)
a.

Demonstrativa dasar (itu dan ini)

b.

Demonstrativa turunan (berikut, sekian)

34
Universitas Sumatera Utara

c.

Demonstrativa gabungan (di sini, di situ, di sana, ini itu, sana sini)

9. Artikula
Artikula dalam bahasa Indonesia adalah kategori yang mendampingi
nomina dasar misalnya si kancil, sang matahari, para pelajar. Misalnya pada
nomina deverbal (si terdakwa, si tertuduh), pronomina (si dia, sangaku), dan verba
pasif (kaum tertindas, si tertindas).Artikula berupa partikel, sehingga tidak
berafiksasi. Berdasarkan ciri semantis gramatikal artikula dibedakan sebagai
berikut. (Kridalaksana, 2007: 93)
a.

Artikula yang bertugas untuk mengkhususkan nomina singularis. (Si, Sang,
Sri, Hang dan Dang)

b.

Artikula yang bertugas untuk mengkhususkan suatu kelompok. (Para, Kaum,
Umat).

10. Preposisi
Preposisi adalah kategori yang terletak di depan kategori lain (terutama
nomina), sehingga terbentuk frasa eksosentris direktif. Ada tiga jenis preposisi,
yaitu sebagai berikut. (Kridalaksana, 2007:95)
a.

Preposisi dasar (tidak dapat mengalami proses morfologis).

b.

Preposisi turunan, terbagi atas: gabungan preposisi dan preposisi (di atas
gedung, di muka bumi, di tengah-tengah kota), serta gabungan preposisi dan
non-preposisi

(...dari...ke...

;

sejak...hingga...

;

dari...sampai...

;

antara...dengan...).
c.

Preposisi yang berasal dari kategori lain (misalnya pada dan tanpa) termasuk
beberapa preposisi yang berasal dari kelas lain yang berafiks se- (selain,
semenjak, sepanjang, sesuai, dsb).

35
Universitas Sumatera Utara

11. Konjungsi
Konjungsi adalah kategori yang berfungsi untuk meluaskan satuan lain
dalam kontruksi hipotaktis, dan selalu menghubungkan dua satuan lain atau lebih
dalam kontruksi. Konjungsi menghubungkan bagian-bagian ujaran yang setataran
maupun yang tidak setataran. Menurut posisinya konjungsi dibagi menjadi berikut
ini. (Kridalaksana,2007:102)
a.

Konjungsi Intra-kalimat, yaitu konjungsi yang menghubungkan satuan-satuan
kata dengan kata, frasa dengan frasa, atau klausa dengan klausa.

b.

Konjungsi Ektra-kalimat,

1) Konjungsi intratekstual, yaitu menghubungkan kalimat dengan kalimat, atau
paragraf dengan paragraf,
2) Konjungsi ektratekstual, yang menghubungkan dunia di luar bahasa dengan
wacana.
12. Kategori Fatis
Kategori fatis adalah kategori yang bertugas memulai, mempertahankan,
atau mengukuhkan komunikasi antara pembicara dan lawan bicara. Kelas kata ini
terdapat dalam dialog atau wawancara bersambutan, yaitu kalimat-kalimat yang
diucapkan oleh pembicara dan lawan bicara. Sebagian besar kategori fatis
merupakan ciri ragam bahasa lisan (nonstandar) sehingga kebanyakan kalimatkalimat nonstandar banyak mengandung unsur-unsur daerah atau dialek regional.
Bentuk-bentuk fatis misalnya di awal kalimat “Kok kamu melamun?”, di tengah
kalimat, misalnya “Dia kok bisa ya menulis puisi seindah ini?”, dan di akhir
kalimat, misalnya “Aku juga kok!”. Kategori fatis mempunyai wujud bentuk

36
Universitas Sumatera Utara

bebas, misalnya kok, deh, atau selamat, dan wujud bentuk terikat, misalnya –
lah atau pun.
Bentuk dan Jenis Kategori Fatis, dapat diuraikan sebagai berikut.
a.

Partikel dan Kata Fatis Contoh: (Ah, ding, halo, deh, kek, kok dll)

b.

Frase Fatis. Contoh: Selamat, terima kasih, insya Allah.

13. Interjeksi
Interjeksi adalah kategori yang bertugas mengungkapkan perasaan
pembicara dan secara sintaksis tidak berhubungan dengan kata-kata lain dalam
ujaran.Interjeksi bersifat ekstrakalimat dan selalu mendahului ujaran sebagai
teriakan yang lepas atau berdiri sendiri. Interjeksi dapat ditemui dalam:
a.

Bentuk dasar, yaitu: aduh, aduhai, ah, ahoi, ai, amboi, asyoi, ayo, bah, cih,
cis, eh, hai, idih, ih, lho, oh, nak, sip, wah, wahai, yaaa.

b.

Bentuk turunan, biasanya berasal dari kata-kata biasa atau penggalan kalimat
Arab, contoh: alhamdulillah, astaga, buset, duilah, insya Alloh, masya Allah,
syukur, halo, innalillahi, yahud. (Kridalaksana, 2007: 106)

2.5 Faktor Terjadinya Interferensi
Sesuai dengan pendapat Weinrich sebelumnya, bahwa kontak bahasa
merupakan peristiwa terjadinya penggunaan lebih dari satu bahasa dalam waktu
dan tempat yang bersamaan di mana suatu masyarakat berkomunikasi satu sama
lain. Berikut adalah faktor yang menyebabkan terjadinya interferensi menurut
Weinrich (1979:74), yaitu:

37
Universitas Sumatera Utara

1. Kedwibahasawan peserta tutur.
Kedwibahasawan peserta tutur merupakan pangkal terjadinya interferensi
dan berbagai pengaruh lain dari sumber bahasa, baik dari bahasa daerah maupun
bahasa asing.
2. Tipisnya kesetiaan pemakai bahasa penerima.
Tipisnya kesetiaan dwibahasawan terhadap bahasa penerima cenderung
akan menimbulkan sifat kurang positif.
3. Tidak cukupnya kosakata bahasa penerima
Perbendaharaan kata suatu bahasa pada umumnya hanya terbatas pada
pengungkapan berbagai sisi kehidupan yang terdapat di dalam masyarakat yang
bersangkutan, serta segi kehidupan lain yang dikenalnya.
4. Menghilangnya kata-kata yang jarang digunakan
Kosakata dalam suatu bahasa yang jarang dipergunakan cenderung akan
menghilang. Jika hal ini terjadi, berarti kosakata yang bersangkutan akan menjadi
kian menipis.
5. Kebutuhan akan sinonim
Sinonim dalam pemakaian bahasa memiliki fungsi yang cukup penting,
yakni sebagai variasi pemilihan kata untuk menghindari pemakaian kata yang
sama secara berulang-ulang yang bisa mengakibatkan kejenuhan.
6. Prestise bahasa sumber dan gaya bahasa
Prestise bahasa sumber dapat mendorong timbulnya interferensi karena
pemakai bahasa ingin menunjukkan dirinya dapat menguasai bahasa yang
dianggap berprestise tersebut.

38
Universitas Sumatera Utara

7. Terbawanya bahasa ibu
Kebiasaan bahasa ibu pada bahasa penerima yang sedang digunakan, pada
umumnya terjadi karena kurangnya kontrol bahasa dan kurangnya penguasaan
terhadap bahasa penerima.
Dari pemaparan Weinrich di atas, faktor interferensi yang terjadi dalam
suatu bahasa secara garis besar dapat dibedakan atas dua bagian, yaitu faktor
intralinguistik dan faktor ekstralinguistik. Faktor intralinguistik mengacu pada
struktur bahasa yang bersangkutan yaitu interfernsi yang terjadi dalam suatu
bahasa yang meliputi bidang linguistik. Sedangkan faktor ekstralinguistik ialah
segala sesuatu yang berada diluar linguistik, yaitu situasi dan kondisi yang
disebabkan oleh faktor sosial budaya dan faktor individu. (Rinjin 1979 : 80).
2.6 Kerangka Konsep
Kerangka konseptual penelitian adalah suatu hubungan atau kaitan antara
konsep

satu

terhadap

konsep

yang

lainya

dari

masalah

yang ingin

diteliti. Kerangka konsep ini gunanya untuk menghubungkan atau menjelaskan
secara panjang lebar tentang suatu topik yang akan dibahas. Kerangka ini
didapatkan dari konsep ilmu/teori yang dipakai sebagai landasan penelitian yang
didapatkan pada tinjauan pustaka atau kalau boleh dikatakan oleh peneliti
merupakan ringkasan dari tinjauan pustaka yang dihubungkan dengan garis sesuai
variabel yang diteliti. Berikut adalah gambaran kerangka konseptual dari
penelitian ini.

39
Universitas Sumatera Utara

Interferensi

Pemindahan unsur

Penerapan unsur-unsur
yang tidak berlaku
pada B1 ke dalam B2
atau sebaliknya.

Perubahan
fungsi dan
kategori

Fonologi

Gramatikal
Morfologi

Segmental (fonem)

Afiksasi

Suprasegmental (intonasi)

Reduplikasi

Pengabaian struktur B2
karena tidak terdapat
padanannya pada B1 atau
sebaliknya.

Leksikal

Sintaksis

Struktur Kalimat

Kelas kata

Faktor Interferensi

Faktor
Ekstralinguistik

Faktor
Intralinguistik

Individu

Bahasa itu
sendiri

Sosial Budaya

Gambar 2.6 Kerangka Konsep Interferensi

40
Universitas Sumatera Utara

Interferensi sebagai bentuk penyimpangan kaidah bahasa karena adanya
pengaruh dari bahasa lain. Weinreich mengidentifikasi ciri-ciri interferensi yaitu:
adanya pemindahan unsur suatu bahasa ke dalam bahasa lain, adanya perubahan
fungsi dan kategori yang disebabkan oleh adanya pengaruh bahasa lain, penerapan
unsur-unsur yang tidak berlaku pada bahasa kedua ke dalam bahasa pertama atau
sebaliknya, dan adanya pengabaian struktur bahasa kedua karena tidak terdapat
padanannya dalam bahasa pertama. Indentifikasi interferensi ini dapat terjadi pada
tataran fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikal.
Interferensi yang terjadi pada bidang fonologi meliputi interferensi pada
unsur

segmental

(berkenaan dengan

fonem,

baik

penambahan

fonem,