Pembuatan Biosorben Biji Pepaya (Carica papaya) Menggunakan Aktivator Asam Sulfat (H2SO4) Chapter III V

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1

LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN
Penelitian

dilakukan di Laboratorium Penelitian dan Laboratorium Kimia

Organik, Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.
Penelitian ini dilaksanakan selama lebih kurang 6 bulan.

3.2

BAHAN DAN PERALATAN

3.2.1 Bahan
Pada penelitian ini bahan-bahan yang digunakan antara lain:
1.

Biji Pepaya (Carica papaya)


2.

Asam Sulfat (H2SO4)

3.

Aquadest

4.

Iodin (I2)

5.

Larutan Iodium 0,1 N

6.

Natrium Tiosulfat (Na2S2O3) 0,01 N


7.

Metilen Biru

3.2.2 Peralatan
Pada penelitian ini peralatan yang digunakan antara lain:
1.

Erlenmeyer

2.

Beaker glass

3.

Gelas ukur

4.


Pipet Tetes

5.

Corong gelas

6.

Batang Pengaduk

7.

Spatula

8.

Lumpang dan alu

9.


Ayakan 60 mesh

10.

Timbangan digital

11.

Buret

20
Universitas Sumatera Utara

12.

Statif dan Klem

13.


Oven

14.

Kertas Whatman No.1

15.

Spektrofotometer FTIR

16.

Spektrofotometer Ultra Violet-Tampak

3.3

PROSEDUR PENELITIAN

3.3.1 Pembuatan Biosorben Biji Pepaya [6]
1.


Biji pepaya dicuci dengan air lalu dikeringkan di bawah sinar matahari selama
48 jam.

2.

Biji pepaya dihaluskan dengan ball mill hingga berbentuk serbuk berukuran 60
mesh.

3.

Serbuk biji pepaya diaktifkan dengan larutan asam sulfat (H2SO4) 5% dengan
rasio biosorben : asam sulfat (b/v) yaitu 1 : 1 (b/v) dan dipanaskan pada suhu
110 oC selama 12 jam.

4.

Setelah dingin, dilanjutkan dengan pencucian beberapa kali menggunakan air
untuk menghilangkan pengotor terlarut sampai pH netral.


5.

Serbuk biji pepaya disaring dengan kertas whatman No.1, kemudian serbuk biji
pepaya dimasukkan ke dalam oven pada suhu 110 oC selama 30 menit.

7.

Hasil pengovenan berupa biosorben, dan didinginkan dalam desikator selama
30 menit kemudian dilanjutkan dengan analisis.

8.

Prosedur diulangi untuk konsentrasi aktivator 7%, dan 10% serta waktu
pemanasan 60 menit, 90 menit, dan 120 menit.
[6].

3.3.2 Prosedur Analisa Penelitian
3.3.2.1 Analisa Bilangan Iodin pada Biosorben [40]
1.


Ditimbang 1 gram biosorben biji pepaya yang telah dikeringkan dalam
desikator.

2.

Selanjutnya tambahkan 50 ml larutan iodin 0,1 N dan diaduk dengan
magnetic stirer selama 15 menit.

21
Universitas Sumatera Utara

3.

Disaring dan diambil sebanyak 10 ml filtrat. Titrasi dengan larutan Na2S2O3
0,1 N sampai warna kuning berkurang.

4.

Selanjutnya tambahkan beberapa tetes indikator amilum 1% dan dititrasi
kembali sampai larutan berwarna bening.


5.

Catat volume Na2S2O3 0,1 N yang terpakai.
(3.1)

Dimana,
V

= volume natrium tiosulfat yang diperlukan (ml)

N1

= normalitas natrium tiosulfat (N)

N2

= normalitas iodin (0,1 N)

W1


= jumlah iodin untuk setiap 1 ml larutan natrium tiosulfat 0,1 N
(12,69 mg/ml)

W2

= massa sampel (g)

Fp

= faktor pengenceran (5)

3.3.2.2 Analisa

Karakteristik

Gugus

Fungsi


Biosorben

dengan

Spektrofotometri FTIR [41]
1.

Siapkan sampel yang akan diuji dan 200 mg KBr.

2.

Ambil ±1 mg sampel haluskan bersama KBr dengan mortar hingga halus.

3.

Buat pellet dari campuran bahan tersebut menggunakan alat tekan dan di pre
vakum selama 2–3 menit.

4.

Tekan pellet dengan pompa hidrolik dan atur tekanannya menjadi 80 KN
selama 5 menit.

5.

Hentikan proses vakum dan pengepresan, lalu ambil sampel pellet dengan
cara mendorongnya dengan pompa hidrolik.

6.

Letakkan pellet yang sudah jadi pada sampel holder dan tempatkan pada
lintasan sinar alat FTIR.

7.

Lakukan pengukuran dengan alat FTIR dan amati grafik yang terbentuk.

8.

Simpan data yang dihasilkan dan lakukan pembahasan terhadap puncakpuncak yang terbentuk.

22
Universitas Sumatera Utara

3.3.2.3
1.

Penentuan Luas Permukaan Biosorben [11]

Sebanyak 0,5 gram biosorben biji pepaya ditambahkan ke dalam 25 ml
larutan metilen biru 200 ppm.

2.

Larutan tersebut aduk selama 2 jam dengan kecepatan pengaduk 180 rpm.

3.

Hasil pengadukan disaring dengan menggunakan kertas saring.

4.

Diukur absorbansi filtratnya dengan menggunakan Spektrofotometer Ultra
Violet-Tampak.

5.

Hasil pengukuran akan berupa konsentrasi dari filtratnya.

6.

Berat teradsorpsi maksimum dimasukkan ke dalam persaman:

(3.2)
Keterangan:
S

= luas permukaan adsorben (m2/g)

N

= bilangan Avogrado (6,002 x 10-2 mol-1)

Xm

= berat adsorbat teradsorpsi (g/g)

a

= luas penutupan oleh 1 molekul metilen biru (197 x 10-20 m2)

Mr

= massa molekul relatif metilen biru (320,5 g/mol)

23
Universitas Sumatera Utara

3.4 FLOWCHART PENELITIAN
3.4.1 Pembuatan Biosorben Biji Pepaya
Alur proses pembuatan biosorben biji pepaya dapat digambarkan melalui
flowchart pada Gambar 3.1.
Mulai
Biji pepaya dicuci dengan air dan di keringkan
dibawah sinar matahari selama 48 jam
Biji papaya dihaluskan dengan ball mill
hingga berbentuk serbuk berukuran 60
Diaktifkan dengan larutan asam sulfat (H2SO4 )
konsentrasi 5% rasio 1:1 (b/v)
Dipanaskan selama 12 jam pada suhu 110 oC
Didinginkan pada suhu ruangan
Dicuci dengan aquadest dan
disaring pada kertas
Dipanaskan di dalam oven pada suhu 110 oC
selama 30 menit
diulangi percobaan untuk
konsentrasi aktivator dan waktu
Selesai
Gambar 3.1 Flowchart Pembuatan Biosorben Biji Pepaya

24
Universitas Sumatera Utara

3.4.2 Analisa Bilangan Iodin pada Biosorben
Alur proses analisa bilangan iodin biosorben dapat digambarkan melalui
flowchart pada Gambar 3.2.
Mulai
dikeringkan 1 gram biosorben biji pepaya

ditambahkan 50 ml larutan iodin 0,1 N dan
aduk dengan magnetic stirer selama 15 menit

disaring dan ambil sebanyak 10 ml filtrat
dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0,1 N

Apakah warna kuning
pada larutan berkurang?

Tidak

Ya
ditambahkan beberapa tetes indikator amilum

dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0,1 N

Tidak

Apakah larutan menjadi
tidak berwarna?

dicatat volume Na2S2O3 0,1 N yang terpakai dan titrasi
Selesai
Gambar 3.2 Flowchart Analisa Bilangan Iodin pada Biosorben

25
Universitas Sumatera Utara

3.4.3 Analisa Karakteristik Gugus Fungsi pada Biosorben
Alur proses analisis karakteristik gugus fungsi pada biosorben dapat
digambarkan melalui flowchart pada Gambar 3.3.
Mulai
Haluskan ±1 mg sampel bersama 200 mg KBr
Buat pellet dari campuran bahan tersebut menggunakan alat tekan

Pre vakum selama 2 – 3 menit

Tekan pellet dengan pompa
hidrolik 80 KN selama 5 menit

Ambil sampel pellet dengan dengan pompa hidrolik
Letakkan pellet pada sampel holder dan tempatkan
pada lintasan sinar alat FTIR
Lakukan pengukuran dengan alat FTIR
dan amati grafik yang terbentuk
Selesai

Gambar 3.3 Flowchart Analisa Karakteristik Gugus Fungsi pada Biosorben

26
Universitas Sumatera Utara

3.4.4 Flowchart Penentuan Luas Permukaan Biosorben
Alur proses analisis luas permukaan pada biosorben dapat digambarkan
melalui flowchart pada Gambar 3.4.
Mulai
25 ml larutan metilen blue 200 ppm dimasukkan ke dalam erlenmeyer
Ditambahkan 0,5 gram biosorben biji pepaya

Campur diaduk selama 2 jam

Campuran disaring dengan kertas saring

Filtrat diukur dengan Spektrofotometer Ultra Violet-Tampak
Dihitung berat teradsorpsi maksimum

Selesai
Gambar 3.4 Flowchart Penentuan Luas Permukaan Biosorben

27
Universitas Sumatera Utara

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1

PEMBUATAN BIOSORBEN DARI LIMBAH BIJI PEPAYA
Pada penelitian ini, biosorben dari bahan baku limbah biji pepaya diaktivasi

secara kimia dengan aktivator asam sulfat (H2SO4) pada suhu 110 oC selama 12 jam
dan dioptimasi dengan rasio biosorben : asam sulfat (b:v) sebesar 1:1 (b/v), dengan
konsentrasi asam sulfat 5%, 7% dan 10%, serta waktu pemanasan di dalam oven
sebesar 30 menit, 60 menit, 90 menit, dan 120 menit. Konsentrasi yang digunakan
tidak terlalu tinggi karena penambahan asam pada konsentrasi tinggi dapat
menyebabkan kerusakan struktur yang diikkuti oleh pemutusan gugus siloksan (SiO-Si) menjadi silanol (-Si-OH) yang merupakan gugus aktif untuk berinteraksi
dengan adsorbat. Asam sulfat digunakan sebagai pengaktif untuk menaktivasi biji
papaya dengan tujuan untuk menukar ion yang ada dalam biji papaya menjadi ion H+
dan melarutkan pengkotor – pengkotor yang lainnya. Selain itu asam sulfat sebagai
aktivator

yang cukup baik. Karena mempunyai ion H+ yang lebih banyak

dibandingkan dengan asam-asam yang lainnya dan juga asam sulfat juga memiliki
sifat yang higroskopis yang dapat menyerap kandungan air yang terdapat dalam biji
pepaya [42]. Sebelum dan setelah diaktivasi, dilakukan analisa bilangan iodin
terhadap biosorben (mg I2/g biosorben). Bilangan iodin sebelum diaktivasi adalah
114,21 mg/g.

4.1.1 Pengaruh Waktu Pemanasan dan Konsentrasi Asam Sulfat terhadap
Bilangan Iodin Biosorben
Bilangan iodin adalah parameter yang digunakan untuk menentukan kapasitas
adsorpsi biosorben. Bilangan iodin dapat digunakan sebagai pendekatan untuk luas
permukaan dan mikropori biosorben dengan presisi yang baik [43].
Penyerapan iodin dengan biosorben berhubungan dengan karakteristik
porositas terhadap pengukuran tingkat aksebilitasnya pada molekul. Bilangan iodin
ditentukan dalam mg/g. Pengukuran porositas pori berada pada 1,0-1,5 nm. Bilangan

28
Universitas Sumatera Utara

iodin yang rendah dapat diperkirakan struktur pori karbon yang terbentuk lebih
rendah daripada 1,0 nm [44].
Pada penelitian ini dapat dilihat kapasitas adsorpsi biosorben yang paling baik
dari berbagai variasi waktu pemanasan di oven dan rasio konsentrasi aktivator
tertentu yang dinyatakan sebagai bilangan iodin (mg/g), yaitu jumlah mg iodin yang
dapat diserap oleh setiap 1 gram biosorben, sebagaimana digambarkan melalui grafik
pada Gambar 4.1 di bawah ini.

H2SO4
H2SO4
H2SO4

Gambar 4.1 Pengaruh Waktu Pemanasan terhadap Bilangan Iodin Biosorben pada
Rasio Konsentrasi Asam sulfat.
Dari grafik pada Gambar 4.1 di atas dapat dilihat bahwa bilangan iodin
cenderung meningkat seiring dengan semakin tingginya waktu pemanasan dan
konsentrasi aktivator yang tinggi. Bilangan iodin paling besar diperoleh yaitu pada
waktu pemanasan 120 menit untuk konsentrasi asam sulfat 10% sebesar 482,22
mg/g.
Pada konsentrasi 5%, 7%, dan 10% asam sulfat (H2SO4) bilangan iodin
semakin meningkat seiring dengan bertambahnya waktu pemanasan. Namun pada
waktu 90 menit, bilangan iodin kembali menurun untuk masing-masing konsentrasi
asam sulfat. Hal ini dapat terjadi karena beberapa kemungkinan. Pertama, perlakuan
biosorben pada rasio asam sulfat 5% dan 7% dengan waktu pemanasan 90 menit,
pori-pori pada biosorben belum berkembang dengan baik, sehingga belum mampu
menyerap iodin dan rusak pada saat pemanasan mencapai nilai tertentu. Kedua,

29
Universitas Sumatera Utara

ketidak merataan biosorben tersebar dalam wadah saat proses aktivasi dilakukan
sehingga asam sulfat pada konsentrasi 5% dan 7% pada waktu pemanasan 90 menit
tidak efektif dalam memodifikasi biosorben biji pepaya. Ketiga mungkin disebabkan
oleh tidak adanya dehidrasi kimia serta kondensasi yang

kuat sehingga tidak

menghasilkan struktur pori yang besar.
Berdasarkan teori, keunggulan dari aktivasi kimiawi dibandingkan aktivasi
fisik yaitu waktu perlakuan yang lebih singkat dan suhu yang lebih rendah diperoleh
luas permukaan adsorpsi yang lebih besar dan penambahan mikropori [47]. Waktu
modifikasi biosorben yang semakin tinggi akan meningkatkan laju reaksi
pengurangan pengotor dan senyawa volatil yang mengisi pori-pori biosorben
sehingga mengoptimalkan pembentukan pori aktif. [48]. Semakin meningkatnya
waktu pemanasan, pengotor-pengotor yang mulanya terdapat pada bagian pori dan
menutup pori ikut terlepas sehingga memperluas permukaan biosorben [39]. Hal ini
juga mengakibatkan banyak komponen seperti air dan kandungan volatil keluar dari
dalam biosorben. Meningkatnya waktu pengeringan dapat menyebabkan terbukanya
mesopori dan mikropori yang meningkatkan ukuran pori biosorben. Besarnya
permukaan biosorben yang terjadi ditandai dengan meningkatnya bilangan iodin
[37]. Konsentrasi aktivator yang terlalu rendah menyebabkan tidak sempurnanya
pembentukan situs aktif, sebaliknya rasio aktivator yang terlalu besar akan
menyebabkan rusaknya struktur biosorben [49]. Waktu aktivasi yang semakin lama
dapat meningkatkan bilangan iodin suatu adsorben yang dapat ditandai dengan
meningkatnya kandungan karbon dalam biosorben tersebut [38].
Dengan membandingkan teori dan hasil yang diperoleh dari penelitian, dapat
disimpulkan bahwa kondisi optimum yang dapat menghasilkan biosorben yang baik
dari biji pepaya dengan bilangan iodin yang paling tinggi adalah pada konsentrasi
asam sulfat 10% dan waktu pemanasan 120 menit yaitu

482,22

mg/g.

30
Universitas Sumatera Utara

4.2

KARAKTERISTIK GUGUS FUNGSI PADA BIOSORBEN
PEPAYA DENGAN SPEKTROFOTOMETRI FTIR

BIJI

NO2

(a)

Tra
ns
mit
an
(%)

silika

(b)

(c)

Panjang Gelombang (cm-1)
Gambar 4.2 Hasil Spektofotometri FTIR untuk Biosorben Biji Pepaya
(a) sebelum aktivasi, (b) setelah aktivasi, (c) setelah dikontakkan
dengan metil biru.

31
Universitas Sumatera Utara

Biosorben sebelum diaktivasi, biosorben yang memiliki bilangan iodin paling
besar, serta biosorben yang telah terpakai (spent biosorbent) untuk mengadsorpsi
kandungan zat warna metilen biru selanjutnya dikarakterisasi gugus-gugus fungsinya
dengan spektofotometri FTIR. Gugus-gugus yang terdapat pada biosorben dapat
disimpulkan dengan membandingkannya dengan literatur, yaitu tabel korelasi IR
[39]. Adapun hasil yang diperoleh diberikan pada Gambar 4.2 diatas.
Pada hasil spektofotometri FTIR untuk biosorben biji papaya sebelum
diaktivasi terdapat gugus gugus fungsi seperti gugus S-S (senyawa sulfur) dengan
panjang gelombang 555, 50 cm-1, gugus C-H (alkena aromatik) dengan panjang
gelombang 709,80 cm-1, gugus C=O (karbonil ketonik) dengan panjang gelombang
1743,65 cm-1, gugus C-O (asam karboksilat) dengan panjang gelombang 1157,29 cm1

, gugus O-H (alkohol) dengan panjang gelombang 3302,13 cm-1, gugus NO2

(senyawa nitro) dengan panjang gelombang 1535,34 cm-1, gugus C=C (alkena)
dengan panjang gelombang 1647,21 cm-1, gugus -CO- (aldehid) dengan panjang
gelombang 2090,84 cm-1, dan gugus C=H (metil) dengan panjang gelombang
2858,51 cm-1.
Pada hasil spektofotometri FTIR untuk biosorben biji pepaya setelah
diaktivasi terdapat gugus gugus fungsi seperti gugus S-S (senyawa sulfur) dengan
panjang gelombang 459,05 cm-1, gugus C-H (alkena aromatik) dengan panjang
gelombang 717,52 cm-1, gugus C-N (amina) dengan panjang gelombang 1045,45
cm-1, gugus P-O (asenyawa forfor) dengan panjang gelombang 1234,44 cm-1, gugus
S=O (sulfonil) dengan panjang 1361,74 cm-1, gugus C-H (alkana) dengan panjang
gelombang 2924,09 cm-1, gugus Si-O (senyawa silikat) dengan panjang gelombang
1454,33 cm-1, gugus O-H (alkohol) dengan panjang gelombang 3363,66 cm-1, dan
gugus -CO- (aldehid) dengan panjang gelombang 2021,40 cm-1.
Pada hasil spektofotometri FTIR untuk biosorben biji pepaya setelah
dikontakkan dengan metilen biru terdapat gugus gugus fungsi seperti gugus S-S
(senyawa sulfur) dengan panjang gelombang 567,07 cm-1, gugus C-H (alkena
aromatik) dengan panjang gelombang 717,52 cm-1, gugus C-N (amina) dengan
panjang gelombang 1026,13 cm-1, gugus C-O (ester) dengan panjang gelombang
1107,14 cm-1, gugus NO2 (senyawa nitro) dengan panjang gelombang 1336,60 cm-1,
gugus Si-O (senyawa silikat) dengan panjang gelombang 1450,47 cm-1, gugus C=C

32
Universitas Sumatera Utara

(alkena) dengan panjang gelombang 1612,49 cm-1, gugus C=O (karbonil ketonik)
dengan panjang gelombang 1743,65 cm-1, gugus -CO- (aldehid) dengan panjang
gelombang 2021,40 cm-1, gugus C-H (metil) dengan panjang gelombang 2858,51 cm1

, dan gugus O-H (alkohol) dengan panjang gelombang 3402,43 cm-1.
Dari Gambar 4.2 dapat dibandingkan gugus fungsi yang terdapat pada biosorben,

sebelum dan setelah diaktivasi. Dari grafik pada Gambar 4.2 dapat dilihat bahwa
proses aktivasi tidak mengubah struktur kerangka dari biosorben biji pepaya, yang
ditandai dengan tidak adanya perubahan dari sudut fraksi pada keduanya. Selain itu
dapat dilihat bahwa senyawa nitro pada biosorben biji pepaya telah hilang setelah
diaktivasi dan digantikan oleh silika (Si-O). Silika memiliki beberapa kelebihan,
seperti inert, sifat adsorpsi dan penukar kation yang baik, mudah dimodifikasi
dengan senyawa kimia tertentu untuk meningkatkan kinerjanya, kestabilan mekanik
dan termal tinggi, serta dapat digunakan menjerap kandungan logam [51]. Senyawa
silika merupakan situs aktif

yang mampu bertindak sebagai biosorben. Hal ini

dikarenakan memiliki atom oksigen yang cukup reaktif, sehingga dengan mudah
mengikat atom N+ yang terdapat dalam metilen biru. Sehingga terjadi penyerapan
metilen biru oleh senyawa aktif SiO. Silikon oksida memiliki stuktur ikatan kovalen
raksasa yang mampu menampung adsorbat yang diserap dengan jumlah banyak [52].
Dari gambar diatas dapat disimpulkan bahwa biosorben yang belum diaktivasi
diduga masih ada zat pengkotornya, setelah dilakukan aktivasi, zat pengkotor tadi
hilang dan diganti dengan gugus-gugus yang baru yang terdapat dalam biji pepaya
tersebut, seperti yang dijelaskan di atas yaitu gugus silika. Dalam biji pepaya
terdapat kandungan abu sebesar 15,8 g dalam 100 g biji pepaya. Unsur dari abu yang
memiliki efektivitas sebagai senyawa penyerap yaitu senyawa silikon dioksida
(SiO2).
Untuk perbedaan pada biosorben biji pepaya setelah diaktivasi dan setelah
dikontakkan dengan metilen biru, dapat dilihat ada beberapa gugus fungsi yang
terikat oleh biosorben setelah pengontakan. Pada bilangan gelombang 1107,14 cm-1
terdapat ikatan C-O yang

merupakan senyawa ester. Pada bilangan panjang

gelombang 1336,60 cm-1 terdapat ikatan NO2 yang merupakan senyawa nitro. Pada
panjang gelombang 1743,65 cm-1 terdapat ikatan C=O yang merupakan senyawa
karbonik ketonik. Pada panjang gelombang 2858,51 cm-1 terdapat ikatan C-H yang

33
Universitas Sumatera Utara

merupakan senyawa metil. Pada panjang gelombang 1612,49 cm-1 terdapat ikatan
C=C (alkena). Pada panjang gelombang 1743,65 cm-1 terdapat ikatan C=O
(karbonil). Pada panjang gelombang 1450,47 cm-1 terdapat ikatan Si-O (silika).
Dari gambar 4.2 dapat dilihat terdapat gugus S=S, C=O, C=C, -CO- dan NO2
gugus ini merupakan gugus kromofor. Gugus kromofor adalah gugus yang
menyebabkan molekul menjadi berwarna. Kromofor zat warna reaktif

biasanya

merupakan sistem azo dan antrakuinon dengan berat molekul relatif kecil. Dengan
lepasnya gugus reaktif ini, zat warna menjadi mudah bereaksi [43]. Oleh karena itu,
dapat disimpulkan bahwa biosorben dari biji pepaya dapat mengadsorpsi kandungan
kromofor yang terdapat dalam zat warna metilen biru.

4.3

PENGARUH WAKTU DAN KONSENTRASI TERHADAP LUAS
PERMUKAAN BIOSORBEN.
Luas permukaan biosorben merupakan salah satu karakter fisik yang

memiliki peranan penting dimana berhubungan langsung dengan kemampuan
adsorpsi biosorben terhadap zat-zat yang dijerap [53]. Luas permukaan diukur dari
lapisan monolayer dari standar adsorbat, kemudian nilai numeriknya didapat dari
densitas adsorbat dan dimensi molekul [54]. Semakin luas permukaan biosorben,
maka memberikan bidang kontak yang lebih besar sehingga semakin banyak
adsorbat yang dijerap dan proses adsorpsi semakin efektif [55]. Beberapa karbon
aktif memiliki strukur mesopori yang mengadsorpsi ukuran molekul yang medium
[56]. Mesopori akan terbentuk seiring dengan terbentuknya mikropori yang dapat
meningkatkan kapasitas adsorpsi khususnya adsorbat yang memiliki molekul lebih
besar [53].
Dalam penelitian ini, metilen biru dipilih

karena telah diketahui kekuatan

adsorpsi pada padatan dan dikenal kegunaannya dalam karakterisasi adsorpsi
material [57]. Metilen biru merupakan parameter untuk mengetahui kemampuan
suatu biosorben dalam menyerap molekul–molekul dengan ukuran besar. Besarnya
daya serap terhadap metilen biru menggambarkan molekul yang terserap oleh
biosorben berukuran 15 Å. Pengujian metilen biru menunjukkan jumlah relatif
makropori yang terdapat pada biosorben [52].

34
Universitas Sumatera Utara

Penentuan luas permukaan biosorben biji pepaya, pertama-tama dilakukan
penentuan panjang gelombang maksimum untuk larutan metilen biru dengan
menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Pada larutan metilen biru dengan
konsentrasi 200 ppm dihasilkan panjang gelombang maksimum pada 664 nm, yaitu
pada absorbansi maksimum. Kemudian, kurva standar metilen biru dibuat dengan
cara mengukur absorbansi larutan standar metilen biru dengan konsentrasi 20 ppm
sampai 200 ppm dengan spektofotometer UV-Vis pada panjang gelombang
maksimum. Dari data absorbansi larutan metilen biru pada berbagai konsentrasi
dibuat kurva larutan standar metilen biru antara konsentrasi larutan metilen biru
terhadap absorbansi berdasarkan hukum Lambert Beer. Grafik konsentrasi larutan
metilen biru terhadap absorbansi dapat dilihat pada gambar 4.3.

Gambar 4.3 Kurva Kalibrasi Larutan Metilen Biru
Persamaan regresi kurva standar metilen biru dinyatakan sebagai y = a + bx,
dengan ketentuan y adalah absorbansi dan x adalah konsentrasi larutan metilen biru.
Korelasi dinyatakan sempurna jika nilai R2 mendekati 1. Berdasarkan data dan
perhitungan didapatkan persamaan regresi linier larutan standar metilen biru adalah y
= 0,0103x + 2,729 dengan nilai R2 = 0,9966. Harga R yang diperoleh mendekati 1,
maka dapat disimpulkan bahwa nilai koefisien korelasi layak artinya titik-titik pada
kurva kalibrasi mendekati lerengnya.
Proses adsorpsi dilakukan secara batch. Dengan menggunakan kurva kalibrasi
metilen biru, maka didapat absorbansi pada berbagai konsentrasi larutan. Konsentrasi
metilen biru teradsorpsi digunakan untuk menghitung luas permukaan biosorben.
35
Universitas Sumatera Utara

Gambar 4.4

Pengaruh Waktu dan Konsentrasi Terhadap Luas Permukaan
Biosorben

Pada Gambar 4.4 dapat dilihat pada konsentrasi asam sulfat 5%, 7% dan
10% terhadap waktu 30 menit dengan luas permukaan berturut–turut 9,18715 m2/g;
12,59883 m2/g; dan 14,24785 m2/g. Pada waktu 60 menit dengan luas permukaan
berturut–turut 27,23756 m2/g; 23,64525 m2/g; dan 30,54671 m2/g. Pada waktu 90
menit dengan luas permukaan berturut–turut 24,73978 m2/g; 28,88251 m2/g; dan
30,71883 m2/g. Pada waktu 120 menit dengan luas permukaan berturut–turut
26,95477 m2/g; 26,63477; dan 33,43556 m2/g. Pada grafik diatas dapat dilihat pada
waktu 60 menit dan 120 menit mengalami fluktuasi pada konsentrasi asam sulfat 5%
lebih besar luas permukaan dari pada konsentrasi asam sulfat 7%. Hal ini dapat
terjadi atas beberapa kemungkinan. Pertama, pada konsentrasi 7%

biosorben

membentuk gumpalan-gumpalan yang menyebabkan berkurangnya luas permukaan
biosorben [12] dan perpindahan massa yang terjadi saat proses adsorpsi berlangsung
menjadi kurang baik. Kedua, penggunaan stirrer yang bersifat magnet menyebabkan
berkumpulnya zat warna metilen biru pada sekitar permukaan stirrer tersebut
sehingga adsorpsi menjadi kurang efisien. Ketiga, pola pengontakan yang kurang
sesuai yaitu penuangan biosorben dengan cepat sehingga proses difusi menjadi
kurang maksimal.
Kemampuan penyerapan metilen biru dapat dilihat dari nilai kapasitas adsorpsi.
Peningkatan kapasitas adsorpsi terjadi karena adanya penyerapan metilen biru yang
semakin banyak dari larutan menempel pada permukaan biosorben. Pada saat
36
Universitas Sumatera Utara

mencapai titik kesetimbangan, permukaan biosorben semakin meningkat hingga
tercapai titik setimbang. Pada saat mencapai titik kesetimbangan biosoroben telah
penuh tertutupi oleh metilen biru yang diserap dan biosorben mengalami titik jenuh
sehingga biosorben tidak dapat menyerap zat warna lagi [58]. Seiring dengan
meningkatnya waktu pemanasan, maka luas permukan akan semakin meningkat dan
jika telah mencapai titik optimum maka luas permukaan akan menurun karena pori
semakin luas dan dapat merusak dinding antar pori sehingga menurunkan
porositasnya [13,41].
Tingginya daya serap zat warna berkaitan dengan efektivitas suatu zat sebagai
biosorben. Tingginya daya serap tergantung pada kondisi optimum proses aktivasi
yang meliputi konsentrasi zat pengaktivasi, jenis zat pengaktivasi dan lamanya waktu
aktivasi [52]. Pengaruh mol asam sulfat sebagai aktivator merupakan salah satu
faktor penting yang mempengaruhi kapasitas adsorpsi. Semakin tinggi kandungan
mol asam sulfat maka semakin tinggi pula nilai kapasitas adsorpsi dari biosorben
tersebut. Nilai

kapasitas tukar kation dari masing masing bisorben semakin

bertambah dengan kenaikan mol aktivator [59].
Kecepatan adsorpsi awal yang lebih besar pada produksi karbon dengan agen
aktivasi konsentrasi yang lebih besar [56]. Mungkin asam sulfat menempati volum
yang menghambat penyusutan, sehingga mempermudah pembentukan porositas
ketika diekstraksi dengan pencucian. Namun asam sulfat yang berlebihan tidak dapat
lebih meningkatkan porositas karena dapat terbentuk lapisan yang terisolasi.
Tarbuoi, et dkk., 2014 uji luas permukaan metilen biru pada algae yang
menghasilkan semakin lama waktu pemanasan maka adsorpsi metilen birunya
semakin besar [55]. Semakin lama waktu reaksi dapat menyebabkan konversi
mikropori menjadi makropori [6]. Jadi, hasil pengukuran luas permukaan adsorben
pada berbagai konsentrasi telah sesuai dengan standar luas permukaan adsorben
komersial yang ada.
Kapasitas adsorpsi pada biosorben berkaitan pada internal permukaan dan
volume pori. Umumnya, area permukaan yang lebih luas spesifik pada biosorben,
akan lebih baik performance adsorpsinya. Falahiya(2015) melakukan bahwa aktivasi
dengan aktivator asam sulfat dapat meningkatkan luas permukaan spesifik dan

37
Universitas Sumatera Utara

keasaaman permukaan serta kemampuan adsropsinya terhadap logam juga
meningkat [12].
Biosorben dari biji pepaya yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu
memiliki luas permukaan yang berkisaran dari 1,38 sampai 38,46 m2/g [4,7]. Jadi,
hasil pengukuran luas permukaan biosorben biji pepaya pada berbagai

waktu

pemanasan dan konsentrasi aktivator yang telah sesuai dengan standar luas
permukaan biosorben dari biji pepaya yang ada. Kondisi optimum luas permukaan
yaitu sebesar 33,43556 m2/g berada pada waktu pemanasan 120 menit dengan
konsentrasi asam sulfat 10%. Jadi, hasil pengukuran luas permukaan biosorben pada
berbagai waktu pemanasan dan konsentrasi aktivator telah sesuai dengan standar luas
permukaan biosorben biji pepaya yang ada dari penelitian terdahulu.

38
Universitas Sumatera Utara

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1

KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:

1.

Bilangan iodin optimum dari biosorben biji pepaya diperoleh yaitu 482, 22
mg/g pada konsentrasi asam sulfat 10% pada waktu pemanasan 120 menit.

2.

Luas permukaan optimum dari biosorben biji pepaya diperoleh yaitu 33,43556
m2/g pada waktu pemanasan 120 menit dengan konsentrasi aktivator asam
sulfat 10% .

3.

Dari hasil spektofotometri FTIR proses aktivasi tidak mengubah struktur
kerangka dari biosorben biji papaya, selain itu proses aktivasi dapat
menggantikan senyawa nitro yang ada pada biji papaya menjadi senyawa
silika.

5.2

SARAN
Adapun saran yang dapat diberikan kepada peneliti selanjutnya, yaitu:

1.

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui karakteristik
biosorben seperti diameter pori dan porositas untuk menambah informasi
tentang karakteristik biosorben dan kesesuaian standar biosorben komersial
dan SNI.

2.

Dilakukan uji perbandingan dengan biosorben dengan bahan baku, ukuran,
rasio, dan waktu yang sama, namun diaktivasi dengan cara karbonisasi untuk
mengetahui perbedaan kapasitas adsorpsinya.

3.

Dilakukan uji perbandingan dengan biosorben dengan bahan baku, ukuran,
rasio, dan waktu yang sama, namun konsentrasi aktivator lebih banyak
misalnya 1:2 dan 1 :3.

39
Universitas Sumatera Utara