Pembuatan Biosorben Biji Pepaya (Carica papaya) Menggunakan Aktivator Asam Sulfat (H2SO4)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

BIJI PEPAYA (CARICA PAPAYA)
Carica papaya berasal dari Meksiko Selatan dan Amerika Tengah. Pepaya ini

merupakan bagian dari keluarga Caricaceae. Di Negara Australia dipanggil dengan
‘Pawpaw’ atau nama lainnya pepaya [8]. Tanaman pepaya biasanya tumbuh dengan
ketinggian sekitar 5–10 m dengan akar yang kuat. Tanaman ini tidak memiliki
cabang serta daunnya termasuk tunggal, dengan ujungnya yang runcing tetapi
bergerigi. Tulang daunnya berbentuk menjari dengan panjang 25–100 cm [9].
Menurut Tijitrosoepomo (2004), sistematika tumbuhan pepaya (Carica papaya)
berdasarkan taksonominya yaitu sebagai berikut: [10].
Kingdom

: Plantae

Divisi


: Spermatophyta

Class

: Dicotyledoneae

Ordo

: Cistales

Famili

: Caricaceae

Genus

: Carica

Spesies


: Carica papaya L.

Nama lokal

: Pepaya

Gambar 2.1 Carica papaya

Kandungan yang terdapat dalam biji pepaya berupa asam lemak tak jenuh
yang tinggi, yaitu berupa asam palmitat dan asam oleat. Selain dari senyawa tersebut
biji pepaya juga mengandung senyawa kimia lainnya berupa golongan fenol,
alkaloid, terpenoid, dan saponin. Zat-zat aktif yang ada di dalam biji pepaya tersebut
bisa berefek sitotoksik, anti androgen ataupun berefek estrogenik [2]. Selain itu biji
pepaya juga mengandung kadar kalsium yang tinggi, besi natrium, kalium, b-karoten,
vitamin B2, niasin, dan vitamin C. Biji pepaya juga digunakan untuk obat
pencernaan, karena kebanyakan orang–orang mengalami kesulitan dalam mencerna
protein dan digunakan untuk memecahkan gumpalan darah setelah operasi karena

6
Universitas Sumatera Utara


adanya enzim papain dalam biji pepaya tersebut. Table 2.1 di bawah ini merupakan
komposisi yang terkandung dalam biji pepaya.
Tabel 2.1 Komposisi biji pepaya dalam 100 g biji pepaya [11].
Senyawa

Berat kandungan

Protein

22,3 g

Lemak

22,3 g

Karbon total

30,5 g


Serat

17, 0 g

Abu

15,8 g

Minyak atsiri

0,09 g

Alkaloid

-

Steroid

-


Tannin

-

Di dalam biji pepaya terdapat kandungan abu sebesar 15,8 g dalam 100 g biji
pepaya. Apabila abu dilarutkan dalam air maka sebagian unsur yang terkandung di
dalamnya akan larut dan dapat di pisahkan berdasarkan sifat kelarutannya dalam air.
Unsur yang mempunyai bentuk oksida basa akan berubah menjadi basa, sedangkan
unsur yang mempunyai bentuk oksida asam akan berubah menjadi asam. Unsur dari
abu yang memiliki efektivitas sebagai senyawa penyerap yaitu senyawa silikon
dioksida (SiO2). Senyawa SiO2 banyak terkandung dalam berbagai macam abu
tergantung jenis sumber abu. Senyawa silikon dioksida (SiO2) yang terkandung
dalam abu merupakan situs aktif yang mampu bertindak sebagai adsorben
dikarenakan memiliki atom oksigen (O-) yang cukup reaktif. Silikon dioksida
memiliki struktur ikatan kovalen raksasa yang mampu menampung adsorbat yang
diserap dengan jumlah banyak [12].

7
Universitas Sumatera Utara


2.2

BIOSORBEN
Biosorpsi adalah proses penyerapan yang menggunakan material biologi

sebagai biosorben. Karbon aktif merupakan biosorben yang paling sering digunakan
dalam mengurangi kontaminan logam berat. Namun akhir-akhir ini ditemukan
karbon aktif masih relatif mahal. Penelitian mengenai biosorben yang murah dan
mudah diperoleh menjadi bahan pertimbangan saat ini [12]. Karbon aktif berpori
merupakan karbon dalam bentuk amorf yang mempunyai luas permukaan yang besar
dan daya serap yang tinggi. Luas permukaan merupakan sifat fisis yang paling
penting dari karbon berpori, sehingga memungkinkan dijadikan sebagai bahan
biosorben. Biosorben memiliki daya serap yang tinggi karena memiliki volume pori
yang sangat tinggi untuk dapat meyerap gas maupun residu dalam larutan [13].
Biosorben dapat digolongkan menjadi 2 jenis, yaitu biosorben tidak berpori (nonporous sorbents) dan biosorben berpori (porous sorbents).
1 Biosorben tidak berpori (non-porous sorbents).
Biosorben tidak berpori dapat diperoleh dengan cara presipitasi deposit kristalin
seperti BaSO4 atau penghalusan padatan Kristal. Luas permukaan spesifiknya
kecil, tidak lebih dari 10 m2/g dan umumnya antara 0,1 sampai 1 m2/g. Biosorben
tidak berpori seperti filter karet, karbon hitam bergrafit adalah jenis biosorben

tidak berpori yang telah mengalami perlakuan khusus sehingga luas permukaan
dapat mencapai ratusan m2/g.
2.

Biosorben berpori (porous sorbents).
Luas permukaan spesifiknya biosorben berpori berkisar antara 10 sampai 1000
m2/g, biasanya digunakan sebagai penyangga katalis, dehydrator, dan penyeleksi
komponen. Umumnya berbentuk granular [14].
Berdasarkan IUPAC (International Union of Pure and Applied Chemical)

ada beberapa macam klasifikasi dari pori, yaitu: [52].
1.

Micropore adalah pori-pori dengan ukuran lebih kecil dari 2 nm dan ini
merupakan area dimana adsorpsi dominan terjadi. Volume pori-pori ini berkisar
antara 0,15-0,5 ml/g.

2.

Mesopore adalah pori-pori dengan ukuran 2-50 nm dan merupakan area adsorpsi

dominan kedua setelah micropore. Mesopore sering juga disebut transitional
pore atau area transisi. Volume mesopore berkisar antara 0,02-10 ml/g.

8
Universitas Sumatera Utara

3.

Macropore adalah pori-pori dengan ukuran lebih besar dari 50 nm dan berfungsi
sebagai pintu masuk adsorbat menuju ke dalam micropore.

Beberapa klasifikasi ukuran pori dari uraian di atas, dapat dilihat bentuk stuktur pori
biosorben pada gambar 2.2 di bawah ini.

Gambar 2.2 Struktur Biosorben [16].
Sruktur pori biosorben umumnya dikombinasi antara mikropori, mesopori dan
kombinasi makropori yang sama [17]. Struktur pori-pori biosorben mempengaruhi
perbandingan antara luas permukaan dan ukuran partikel. Struktur pori adalah faktor
utama dalam proses adsorpsi. Distribusi ukuran pori menentukan distribusi molekul
yang masuk dalam partikel karbon untuk di adsorpsi [10]. Tabel 2.2 di bawah ini

merupakan standar kualitas karbon aktif menurut SNI 06-3730-1995.
Tabel 2.2 Standar kualitas karbon aktif menurut SNI 06-3730-1995 [18,19]
Uraian
Bagian yang hilang pada
pemanasan 950 °C
Konsentrasi air
Konsentrasi abu
Daya serap terhadap
Larutan I2
Luas permukaan

Persyaratan Kualitas
Butiran

Serbuk

Maks. 15

Maks. 25


Maks. 4,5

Maks. 15

Maks. 2,5

Maks. 15

≥760 mg/g

≥760 mg/g

300 sampai 3500 m2/g

300 sampai 3500 m2/g

9
Universitas Sumatera Utara

Pemakaian bahan–bahan biologis untuk biosorben dikatakan sebagai biosorpsi.

Biosorpsi yaitu kemampuan untuk menunjukkan biomassa untuk dapat mengikat
logam berat yang terdapat di dalam larutan melalui langkah–langkah metabolisme
atau fisika-kimia [23], serta termasuk penghilang racun dari bahan–bahan yang
mengandung zat–zat berbahaya [1]. Keuntungan menggunakan bahan biosorben
yaitu biaya yang relatif lebih murah, efisiensi tinggi pada larutan encer,
meminimalisasi pembentukan lumpur, serta kemudahan dalam proses regenerasi.
Penggunaan bahan mikroorganisme memiliki kekurangan yaitu sengat mudah
dipengaruhi oleh kontaminan lain serta adanya kebutuhan perawatan seperti
pemberian nutrisi tambahan. Sehingga menyebabkan penggunaan alternatif bahan
biologis lainnya seperti limbah–limbah pertanian. Limbah pertanian selain digunakan
untuk mengurangi volume limbah juga dapat digunakan untuk memberdayakan
limbah menjadi suatu produk yang berguna serta memiliki nilai jual yang tinggi
[24]. Untuk biosorben yang berasal dari limbah pertanian, terdapat dua buah jenis
penjerapan yaitu adsorpsi intrinsik dan intraksi kolombik. Pada proses adsorpsi
intrinsik yang menjadi faktor utama yaitu luas areanya, yaitu dapat dilihat dari
mengamati efek ukuran biosorben terhadap kemampuan adsorpsinya. Sedangkan
untuk proses intraksi kolombik yang dihasilkan yaitu berupa energi elektrostatik dari
interaksi adsorben dan adsrobat. Nilai intensitas interaksi sengat tegantung kepada
kekuatan muatan bahan. Interaksi kolombik dapat diamati dari adsorpsi bahan
kationik dan anionik adsorben [25].

2.3

ADSORPSI
Adsorpsi adalah fenomena permukaan. Ketika cairan murni (gas atau cair)

dikontakkan dengan permukaan padat (adsorben), gaya tarik antar molekul cairanpadat menyebabkan beberapa molekul fluida (adsorbat) menjadi berkumpul pada
permukaan. Hal ini menciptakan daerah padat pada molekul cairan yang
membentang beberapa diameter molekuler di dekat permukaan (fase terjerap). Untuk
campuran multikomponen, komponen tertentu dari campuran (bahan terjerap yang
dipilih) berkumpul pada permukaan akibat adanya perbedaan kekuatan tarik cairanpadat diantara komponen-komponen. Fasa terjerap ini memiliki komposisi yang

10
Universitas Sumatera Utara

berbeda dari fasa cairan bulk yang menjadi dasar pemisahan dengan teknologi
adsorpsi [27].
Mekanisme yang terjadi pada proses adsorpsi dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.

Molekul-molekul adsorbat berpindah dari fase bagian terbesar larutan ke
permukaan interface, yaitu lapisan film yang melapisi permukaan biosorben.

2.

Molekul adsorbat dipindahkan dari permukaan ke permukaan luar dari
biosorben.

3.

Molekul-molekul adsorbat dipindahkan dari permukaan luar biosorben
menyebar menuju pori-pori biosorben. Fase ini disebut dengan difusi pori.

4.

Molekul adsorbat menempel pada permukaan pori-pori biosorben.
[28]
Adsorpsi dapat dibedakan menjadi adsorpsi fisika dan adsorpsi kimia. Adsorpsi

fisika terjadi karena adanya gaya Van der Waals antara adsorbat dengan permukaan
adsorben. Adsorpsi fisika ikatannya relatif lemah, bersifat reversibel dan dapat
membentuk lapisan multilayer. Adsorpsi kimia terjadi karena terbentuk ikatan
kovalen atau ion antara adsorbat dengan biosorben. Adsorpsi kimia ikatannya kuat,
tidak reversibel dan membentuk lapisan monolayer [29].
Faktor-faktor yang mempengaruhi adsorpsi yaitu:
1.

Konsentrasi Adsorbat
Pada umumnya adsorpsi akan meningkat dengan kenaikan konsentrasi adsorbat
tetapi tidak berbanding langsung.

2.

Sifat Biosorben
Semakin besar permukaan yang kontak dengan adsorbat maka akan semakin
besar pula adsorpsi yang terjadi.

3.

Temperatur
Reaksi yang terjadi pada adsorpsi biasanya eksotermis, oleh karena itu adsorpsi
akan besar jika temperatur rendah.

4.

Waktu kontak dan pengadukan
Waktu kontak yang cukup diperlukan untuk mencapai kesetimbangan adsorpsi.
Jika fasa cair yang berisi biosorben diam, maka difusi adsorbat akan berlangsung
lambat. Karena itu diperlukan pengadukan untuk mempercepat proses adsorpsi.

5.

pH larutan

11
Universitas Sumatera Utara

Pengaruh pH pada proses adsorpsi merupakan fenomena kompleks, antara lain
menyebabkan perubahan sifat permukaan adsorben, sifat molekul adsorbat dan
perubahan komposisi larutan.
6.

Ukuran molekul adsorbat
Ukuran molekul adsorbat menentukan batas kemampuannya dalam melewati
ukuran pori biosorben. Semakin besar ukuran partikel maka kenaikan adsorpsi
semakin menurun.

7.

Kepolaran zat
Adsorpsi lebih kuat terjadi pada molekul yang lebih polar dibandingkan
dengan molekul yang kurang polar pada konsisi diameter yang sama. Molekul–
molekul yang lebih polar dapat menggantikan molekul–molekul yang kurang
polar yang telah terlebih dahulu teradsorpsi. Pada kondisi dengan diameter yang
sama, maka molekul polar lebih dahulu diadsorpsi [42].

2.4

PROSES PEMBUATAN BIOSORBEN
Material yang mengandung karbon yang banyak kita jumpai seperti pada

hewan, tanaman, dan sebagainya yang berasal dari mineral yang memiliki
konsentrasi karbon yang tinggi sehingga dapat diubah menjadi biosorben. Bahan
baku yang paling banyak digunakan dalam pembuatan biosorben yaitu kayu, kulit
kacang, kulit coklat, batubara, tulang, biji-bijian dan lain-lainnya. Pemilihan metode
aktivasi juga tergantung pada bahan awal dan apakah berupa padatan ataupun
suspensi , karbon yang diinginkan bubuk atau butiran [28].
Secara umum ada dua metode utama dalam pembuatan biosorben dengan bahan
dasar organik, yait :
2.4.1 Proses Fisika (physical activation)
Proses pembuatan karbon aktif menggunakan cara fisika biasanya terdiri dari
dua tahap, yaitu tahap karbonisasi dimana bahan dasarnya di panaskan hingga suhu
mencapai 700 oC dan tahap berikutnya dengan mengalirkan uap karbon dioksida atau
pemanasan pada suhu 800-1000 oC [29].
2.4.2 Proses Kimia
Pada proses kimia ini dilakukan dengan mengkondsikan bahan dasar dengan
bantuan dehydrating agent kuat, seperti asam fosfat, asam sulfat, dan sebagainya.

12
Universitas Sumatera Utara

Setelah itu dilanjutkan dengan pemanasan pada suhu 400–800 oC yang bertujuan
untuk membentuk karbon sekaligus untuk mengaktifkannya [24]. Pada proses
aktifasi kimia dilakukan satu tahap yaitu sebelum karbonisasi, bahan baku
diimpregnasi dengan bahan kimia tertentu. Hal ini diyakini bahwa langkah
karbonisasi/aktivasi berlangsung bersamaan dengan aktivasi kimia. Aktivasi kimia
lebih disukai daripada aktivasi fisik karena suhu yang lebih rendah dan waktu yang
diperlukan lebih singkat untuk bahan pengaktifan [29].
Berbagai keunggulan cara aktivasi kimiawi dibandingkan dengan aktivasi
fisik diantaranya adalah:
1. Pada proses aktivasi kimiawi, di dalam penyiapannya sudah terdapat zat kimia
pengaktif sehingga pada proses karbonisasi sekaligus proses aktivasi karbon yang
terbentuk sehingga metode ini sering disebut juga metode aktivasi satu langkah
(one-step activation)
2. Aktivasi kimiawi biasanya terjadi pada suhu lebih rendah dari pada metode
aktivasi fisik
3. Efek dehydrating agent dapat memperbaiki pengembangan pori di dalam struktur
karbon.
4. Produk dengan menggunakan metode ini lebih banyak jika dibandingkan dengan
aktivasi secara fisik. Berbagai aktivator kimiawi telah digunakan dalam
pembuatan karbon aktif, diantaranya adalah asam fosfat, kalium hidroksida, seng
klorida, dan kalium karbonat [24].

2.5

PROSES AKTIVASI DENGAN ASAM SULFAT (H2SO4)
Aktivasi adalah suatu perlakuan terhadap biosorben yang bertujuan untuk

memperbesar pori sehingga biosorben mengalami perubahan sifat, baik kimia
maupun fisika, yaitu luas permukaannya bertambah besar dan berpengaruh terhadap
daya adsorpsi. Kemampuan adsorpsi biosorben sangat ditentukan oleh luas
permukaan (porositas) dan volume pori-pori dari biosorben. Biosorben dengan
porositas yang besar mempunyai kemampuan menyerap yang lebih tinggi
dibandingkan dengan biosorben yang memiliki porositas kecil. Secara umum metode
aktivasi yang digunakan adalah aktivasi fisika dan aktivasi kimia [52]. Aktivasi
fisika adalah proses pemutusan rantai karbon dari senyawa organik dengan bantuan

13
Universitas Sumatera Utara

panas, uap dari CO2, O2, dan N2. Gas–gas tersebut berfungsi untuk mengembangkan
struktur rongga yang ada pada biosorben sehingga memperluas permukaannya,
menghilangkan konstituen yang mudah menguap dan membuang produksi tar atau
hidrokarbon pengkotor pada biosorben [30], sedangkan aktivasi kimia adalah metode
yang yang banyak digunakan untuk pembuatan karbon aktif, bahan yang biasa
digunakan untuk pengaktifasi kimia yaitu seperti ZnCl2, H3PO4, KOH, NaOH,
K2CO3 dan H2SO4 [31]. Aktivasi kimia memiliki beberapa keunggulan antara lain
memerlukan temperatur yang rendah, menghasilkan yield yang lebih tinggi dan
mikropori dapat dikontrol [52].
Karbon aktif tidak saja memiliki karbon, akan tetapi juga mengikat sejumlah
ikatan kimia atom O atau H dalam bentuk berbagai gugus fungsi yang memberikan
sifat

asam padatan karbon, ditambah kandungan mineral yang biasanya dapat

ditandai dengan abu atau residu setelah pengarangan.[29]. Unsur–unsur mineral dari
senyawa kimia yang ditambahakan ke dalam arang aktif tersebut akan membuka
permukaan sehingga volume dan diameter pori semakin bertambah. Pemilihan jenis
aktivator tentu akan berpengaruh terhadap kualitas biosorben. Karena masing –
masing jenis aktivator akan memberikan pengaruh yang berbeda–beda terhadap luas
permukaan maupun volume pori yang dihasilkan nanti [30].
Asam sulfat merupakan cairan kental berminyak, yang tidak memiliki warna,
tidak berbau, bersifat higroskopis dengan rumus molekulnya H2SO4. Berat molekul
98,08 g/mol. Titik lebur/titik beku 10,5 oC (anhidrat) atau -35 oC (-31 oF) menjadi
10,36 oC (93% sampai 100% kemurnian). Titk didih 290 oC atau 270 oC (518 oF) –
340 oC terurai di 340 oC. Tekanan uap 1,33 hPa pada 145, 8 oC. Kerapatan uap 3,4
(udara =1). Berat jenis relatif 1,84 g/cm3 pada 25 oC. Kelarutan mudah larut dalam
air dingin, larut dalam etil alkohol [32].
Asam sulfat merupakan aktivator yang cukup baik karena mempunyai jumlah
ion H+ yang lebih banyak dari asam–asam yang lainnya, serta memiliki sifat
higroskopis yang dapat menyerap kandungan air yang terdapat dalam biji pepaya.
Perlakukan aktivasi dengan menggunakan larutan asam dapat melarutkan pengotor
pada material tersebut, sehingga mulut pori menjadi lebih terbuka, akibatnya luas
permukaan spesifikasi porinya menjadi meningkat. Selain itu situs aktif juga
mengalami peningkatan oleh karana situs yang tersembunyi menjadi terbuka dan

14
Universitas Sumatera Utara

kemungkinan juga akan memunculkan situs aktif baru akibat reaksi pelarut. Selain
itu aktivasi dengan asam sulfat dapat meningkatkan luas permukaan spesifikasi dan
keasaman permukaan serta kemampuan adsorpsinya terhadap zat warna meningkat
[52].
Aktifasi dengan menggunakan H2SO4 telah dilakukan oleh Fatimah
Rahmayani, dan Siswarni MZ [2]. Proses pembuatan adsorben dilakukan dengan
bahan baku batang jagung diaktifasi dengan H2SO4 dengan berbagai variasi
konsentrasi dan ukuran yaitu 50 mesh dan 70 mesh. Sebanyak 1000 g sampel batang
jagung dicampur dengan asam sulfat 1%, 3%, dan 5%. Hasil penelitian di peroleh
kondisi optimum pada ukuran 70 mesh, pH 5 dan konsetrasi aktivator 5 %.
Sinil, dkk., [6], melakukan penelitian tentang pembuatan adsorben dari biji
pepaya untuk penyerapan larutan Pb(II), proses pembuatan adsorben dengan bahan
baku biji pepaya dan diaktifasi dengan H2SO4 dimana sampel yang digunakan
sebanyak 10 gram dan volume H2SO4 11 ml dengan konsetrasi 98%, ukuran partikel
adsorben 125 dan 105 µm. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini, banyaknya
Pb(II) yang diserap untuk masing–masing ukuran partikel adsorben yaitu 63,2 mg/g
dan 82,5 mg/g dengan pH 5, suhu 30 oC dan waktu penyerapan 120 menit.
Damayanti [33], melakukan penelitian pembuatan arang aktif dengan bahan
baku sekam padi dan kulit ubi kayu dengan menggunakan aktifator H2SO4 dimana
nilai efektivitas terbaik arang aktif 54,85% dan 63,38%.
Solim, dkk., [34],melakukan penelitian pembuatan adsorben dengan bahan
baku kulit pohon palm dengan aktivator asam sulfat 25% dan ukuran partikel
adsorben yang digunakan 300 µm dan 425 µm dengan suhu aktivasi 105 oC selama
12 jam. Hasil yang di peroleh karbon aktif memiliki luas permukaan 64,12 m2/g.
volume pori 8,35 x 102 cm3/g, dan diameter 52,1 A.
Penggunaan H2SO4 sebagai aktivator yang baik, disebabkan aktivator asam
sulfat merupakan oksidator kuat yang mampu mengoksida dan merusak arang aktif,
sehingga dapat membuka pori dan bisa memperbesar pori sampai pada permukaan
arang aktif yang nantinya akan berguna untuk menambah luas permukaan arang aktif
tersebut [34].

15
Universitas Sumatera Utara

2.6 BILANGAN IODIN
Bilangan iodin merupakan parameter utama yang digunakan untuk melihat
karakteristik dari biosorben maupun karbon aktif. Bilangan ini sering ditulis dengan
satuan mg/g. Bilangan ini mengukur kandungan mikropori dengan cara menyerap
iodin dari larutan [35]. Iodin merupakan ukuran pada tingkat keaktifannya [45].
Berdasarkan standar kualitas biosorben menurut SNI penetapan daya serap biosorben
terhadap iodium merupakan persyaratan umum untuk menilai kualitas biosorben
yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan biosorben untuk menyerap zat dengan
ukuran molekul yang lebih kecil. Standar bilangan iodin menurut SNI 06-3730-1995
yaitu ≥ 760 mg/g. Semakin besar angka iod yang dihasilkan maka semakin besar
kemampuan dalam mengadsorpsi adsorbat atau zat terlarut. Salah satu cara dalam
menganalisis daya serap biosorben terhadap iod adalah dengan cara metode titrasi
iodometri [46].
Dalam menentukan kapasitas adsorpsi biosorben, bilangan iodin telah digunakan
pada berbagai penelitian. Kemampuan biosorben dalam penyerapan senyawa iodin
menunjukkan kemampuan biosorben tersebut untuk menjerap komponen dengan
berat molekul yang rendah. Iodin merupakan suatu senyawa yang sedikit larut dalam
air dan merupakan senyawa nonpolar. Hal ini menunjukkan bahwa adanya
keterkaitan antara karakterisasi adsorben dengan mengukur kemampuan adsorpsinya
terhadap larutan iodin dengan adsorptivitas biosorben terhadap senyawa nonpolar
[36].
Iodin merupakan senyawa yang memiliki tekanan uap tinggi sehingga dalam
suhu ruang iodin mudah menguap. Pada proses adsorpsi, iodin diadsorpsi dan dijerap
oleh biosorben berupa karbon aktif maupun biosorben yang dimodifikasi dalam fase
padatan. Proses adsorpsi terjadi karena gaya intermolekular lebih besar dari gaya
tarik antar molekul atau gaya tarik menarik yang relatif lemah antara adsorbat
dengan permukaan biosorben yang melibatkan gaya Van der Waals dan ikatan
hidrogen [36].
Proses adsorpsi dimulai saat molekul-molekul adsorbat pada larutan iodin
berdifusi melalui suatu lapisan batas ke permukaan luar biosorben yang disebut
sebagai difusi eksternal. Kemudian adsorbat berada di permukaan biosorben dan
sebagian besar berdifusi lanjut di dalam pori-pori biosorben yang disebut difusi

16
Universitas Sumatera Utara

internal. Apabila kapasitas adsorpsi masih sangat besar akan teradsorpsi dan terikat
pada bagian permukaan [59].
Pada proses pelarutannya, iodin yang sedikit larut dalam air ditambahkan ke
dalam larutan kalium iodida (KI) untuk mempercepat pelarutan iodin karena
terbentuknya ion triiodida berdasarkan reaksi:
I3-

I2 + I-

[30]

Kemudian pada proses titrasi iodin dengan natrium tiosulfat akan terjadi reaksi
seperti berikut:
2I- + S4O62-

I2 + 2S2O32-

[30]

Proses dalam menentukan bilangan iodin pada biosorben menggunakan reaksi
redoks. Reaksi redoks merupakan reaksi oksidasi-reduksi dimana oksidasi
merupakan setiap perubahan kimia dimana terjadi kenaikan bilangan oksidasi yang
disertai kehilangan elektron, sedangkan reduksi digunakan untuk setiap penurunan
bilangan oksidasi yang disertai dengan memperoleh elektron [30].

2.7

LUAS PERMUKAAN BIOSORBEN
Jumlah molekul adsorbat meningkat dengan bertambahnya luas permukaan

dan volume pori biosorben. Dalam proses adsorpsi seringkali biosorben diberikan
perlakukaan awal untuk meningkatkan luas permukaannya karena luas permukaan
biosorben merupakan salah satu sifat utama untuk mempengaruhi proses adsorpsi.
Luas permukaan biosorben semakin besar maka semakin besar pula daya
adsorpsinya. Ukuran partikel dan luas permukaan merupakan hal yang penting dalam
biosorben. Ukuran partikel biosorben mempengaruhi kecepatan adsorpsi, tetapi tidak
mempengaruhi kapasitas adsorpsi yang berhubungan dengan luas permukaan karbon.
Luas permukaan total mempengaruhi kapasitas adsorpsi total sehingga meningkatkan
efektifitas biosorben dalam penyisihan senyawa organik dalam air buangan. Ukuran
partikel tidak terlalu mempengaruhi luas permukaan total sebagian besar meliputi
pori-pori partikel karbon [31]. Luas permukaan biosorben umumnya berkisara antara
300–3000 m2/g dan ini terkait dengan struktur pori pada biosorben tersebut. Struktur
pori menyebabkan ukuran molekul teradsorpsi terbatas, sedangkan ukuran partikel
tidak masalah, kuantitas bahan yang diserap dibatasi oleh luas permukaan biosorben
[22].

17
Universitas Sumatera Utara

2.8 FTIR (Fourier Transform Infrared)
Spektrofotometri infra-merah merupakan alat yang digunakan dalam penemuan
gugus fungsional, pengenalan senyawa, dan analisa campuran. Kebanyakan gugus,
seperti C-H, O-H, C=N, dan C=N, menyebabkan pita absorpsi infra-merah, yang
berbeda hanya sedikit dari satu molekul ke yang lain tergantung pada substituen yang
lain (Day dan Underwood,1990). Struktur kimia dan bentuk ikatan molekul serta
gugus fungsional tertentu dari sampel menjadi dasar bentuk spektrum yang akan
diperoleh [37]
Spektroskopi infra red merupakan suatu metode yang mengamati interaksi
molekul gugus fungsi dengan radiasi elektromagnetik yang berbeda pada daerah
panjang gelombang 0,75 – 1000 mikrometer atau pada bilangan gelombang 13.000
10 cm-1 [38]. Tabe 2.3 dibawah ini merupakan bebarapa jenis getaran serta panjang
frekunsi dalam IR serapan.
Tabel 2.3 Tabel IR Serapan [39]

18
Universitas Sumatera Utara

2. 9 METILEN BIRU
Metilen biru yang memiliki rumus kimia C16H18ClN3S adalah senyawa
hidrokarbon aromatik yang beracun dan merupakan zat warna kationik dengan daya
adsorpsi yang sangat kuat. Metilen biru merupakan parameter untuk mengetahui
kemampuan suatu adsorben dalam menyerap molekul-molekul dengan ukuran besar.
Besarnya daya serap terhadap metilen biru menggambarkan molekul yang terserap
oleh adsorben berukuran 15 Å. Pengujian metilen biru menunjukkan jumlah relatif
makropori yang terdapat pada biosorben. Metilen biru yang mempunyai warna
komplementer berupa warna biru

mempunyai spektrum cahaya pada panjang

gelombang daerah visibel yaitu antara

500-700 nm, sehingga pada penentuan

panjang gelombang maksimumnya digunakan range pada daerah panjang gelombang
tersebut [60].
Molekul zat warna merupakan gabungan dari zat organik tidak jenuh dengan
kromofor sebagai pembawa warna. Zat organik tidak jenuh yang dijumpai dalam
pembentukan zat warna adalah senyawa aromatik antara lain senyawa hidrokarbon
aromatik dan turunannya, fenol dan turunannya serta senyawa–senyawa hidrokarbon
yang mengandung nitrogen [52]. Gugus kromofor adalah gugus yang menyebabkan
molekul menjadi berwarna. Kromofor zat warna reaktif biasanya merupakan sistem
azo dan antrakuinon dengan berat molekul relatif kecil. Daya serap terhadap serat
tidak besar. Sehingga zat warna yang tidak bereaksi dengan serat mudah dihilangkan.
Gugus-gugus penghubung dapat mempengaruhi daya serap dan ketahanan zat warna
terhadap asam atau basa. Dengan lepasnya gugus reaktif ini, zat warna menjadi
mudah bereaksi dengan serat kain. Pada umumnya agar reaksi dapat berjalan dengan
baik maka perlu penambahan alkali atau basa sehingga mencapai pH tertentu .
Golongan gugus kromofor yaitu nitroso (NO atau –N-OH), nitro (NO2), grup azo (N=N-), grup etilen (-C=C-), grup karbonil (-CO-), grup karbon-nitrogen (-C=NH;
CH=N), grup karbon sulfur (-C=S; C-S-S-C) [61].

19
Universitas Sumatera Utara