Pengaruh Gaya Kepemimpinan Dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Karyawan Pada Kantor Pusat PT Pelabuhan Indonesia I (Persero)

BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Penelitian Terdahulu
Judul penelitian terdahulu adalah “Analisis Pengaruh Budaya Organisasi dan
Gaya Kepemimpinan Terhadap Kepuasan Kerja Untuk Meningkatkan Kinerja
Karyawan (Studi Kasus Pada RS Roemani Semarang)” yang dilakukan dan ditulis
oleh Ratna Kusumawati pada tahun 2008. Permasalahan dalam penelitian ini adalah
bagaimana

meningkatkan

kinerja

karyawan

melalui

budaya

organisasi,


kepemimpinan dan kepuasan kerja.
Keberhasilan perusahaan sangat dipengaruhi oleh kinerja karyawannya. Setiap
perusahaan akan selalu berusaha untuk selalu meningkatkan kinerja karyawannya
demi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan perusahaan. Berbagai cara bisa
ditempuh perusahaan dalam meningkatkan kinerja karyawannya diantaranya
dengan mewujudkan kepuasan kerja karyawan melalui budaya organisasi dan gaya
kepemimpinan yang sesuai dengan harapan karyawan. Hasil dari pra survei yang
dilakukan oleh peneliti di RS Roemani menunjukkan bahwa penelitian mengenai
budaya organisasi dan kepuasan kerja belum pernah dilaksanakan. Selain itu
ditemukan adanya gap pada hasil-hasil penelitian terdahulu. Hasil penelitian Robin
(2001), Masrukhin dan Waridin (2006), mengatakan bahwa ada pengaruh posiif
antara budaya organisasi dengan kinerja karywan. Yuwalliatin (2006), Cahyono
dan Suharto (2005), hasil penelitiannya menemukan ada pengaruh positip antara
budaya organisasi dengan kinerja karyawan serta signifikan Penelitian mengenai
kepemimpinan yang dilakukan Masrukhin dan Waridin (2006), Cahyono dan
Suharto

(2005),

hasil


penelitiannya

menunjukan

bahwa

kepemimpinan

berpengaruh positip dan signifikan terhadap kinerja karyawan.
Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Guritno dan Waridin (2005),
menemukan hasil bahwa kepemimpinan berpengaruh negatif terhadap kinerja
karyawan. Buttler dan Reese (1991), hasil penelitiannya menemukan bahwa gaya
kepemimpinan tidak ada pengaruh yang signifikan terhadap kinerja karyawan.
Ostrof (1992), hasil penelitianya menemukan bahwa kepuasan kerja dan kinerja
karyawan menunjukan hubungan yang rendah. Sedang penelitian Guritno dan
Waridin (2005), menunjukan ada pengaruh signifikan antara kepuasan kerja dengan

8
Universitas Sumatera Utara


kinerja karyawan. Soejoti (2000), Masrukhin dan Waridin (2006), hasil
penelitiannya menunjukan kepuasan kerja berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kinerja pegawai.
Populasi penelitian ini adalah karywan pada Rumah Sakit Roemani Semarang
dengan jumlah 385 Orang. Sampel yang digunakan ditentukan dengan
menggunakan rumus Ferdinand, dimana jumlah sampel = jumalh indikator x 5
sampai 10. Karena dalam penelitian ini terdapat 17 indikator, maka jumlah sampel
adalah 17 x 5 = 85 responden. Selanjutnya, Hair, dkk dalam Ferdinand (2005)
menemukan bahwa ukuran sampel yang sesuai untuk Structural Equation
Modelling (SEM) adalah antara 100-200 sampel. Dengan mengacu pada pendapat
Hair maka jumlah sampel yang dipakai dalam penelitian ini adalah sejumlah 100
responden.
Dari hasil analisis penelitian didapatkan bahwa kepuasan kerja dapat dicapai
melalui gaya kepemimpinan yang tepat dan budaya organisasi yang mendukung.
Dengan demikian kinerja karyawan akan lebih tinggi. Gaya kepemimpinan
partisipatif merupakan variabel penting untuk meningkatkan kepuasan kerja agar
dapat meingkatkan kinerja karyawan.
Budaya organisasi terbukti merupakan faktor yang mampu meningkatkan
kepuasan kerja. Dari hasil analisa, komponen budaya organisasi yang paling

menentukan adalah pelibatan. Dari hasil tersebut maka perusahaan sebaiknya
meningkatkan pelibatan karyawan.

2.2 Kinerja
Kinerja karyawan merupakan salah satu tolok ukur keberhasilan suatu
perusahaan, sehingga perhatian serius terhadap pengelolaan Sumber Daya Manusia
(SDM) mutlak diperlukan. Persaingan antar perusahaan yang sangat ketat saat ini
membutuhkan kemampuan perusahaan untuk dapat meningkatkan kinerjanya
secara menyeluruh. Tiap perusahaan dituntut untuk dapat melaksanakan strateginya
dalam menghadapi kompetisi dan mengunakan sumber dayanya secara lebih efektif
dan efisien, yang akhirnya visi, misi dan strategi perusahaan dapat tercapai.
Amstrong dan Baron (1998) dalam Wibowo (2014) menyatakan pengertian
performance sering diartikan sebagai kinerja, hasil kerja atau prestasi kerja. Kinerja

9
Universitas Sumatera Utara

mempunyai makna lebih luas, bukan hanya menyatakan sebagai hasil kerja, tetapi
juga bagaimana proses kerja berlangsung. Kinerja adalah tentang melakukan
pekerjaan dan hasil yang dicapai dari pekerjaan tersebut. Kinerja adalah tentang apa

yang dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakannya. Kinerja merupakan hasil
pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis organisasi,
kepuasan konsumen dan memberikan kontribusi ekonomi.
Kinerja merupakan implementasi dari rencana yang telah disusun.
Implementasi kinerja dilakukan oleh sumber daya manusia yang memiliki
kemampuan, kompetensi, motivasi dan kepentingan. Bagaimana organisasi
menghargai dan memperlakukan sumber daya manusianya akan memengaruhi
sikap dan perilakunya dalam menjalankan kinerja.
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk melihat perkembangan suatu
organisasi adalah melalui hasil Penilaian Prestasi Kerja (PPK) yang ada pada
organisasi tersebut. Hasil PPK dapat menunjukkan apakah SDM (pegawai) pada
organsasi tersebut telah memenuhi sasaran/target sebagaimana yang dikehendaki
organisasi, baik secara kuantitas maupun kualitas, bagaimana perilaku pegawai
dalam melaksanakan pekerjaannya, apakah cara kerja tersebut sudah efektif dan
efisien, bagaimana penggunaan waktu kerja, dan sebagainya. Dengan informasi
tersebut, berarti hasil PPK merupakan refleksi dari berkembang atau tidaknya suatu
organisasi (Hartatik : 2014).
Dalam menentukan tujuan dan sasaran maka pertama kali yang perlu
dipertimbangkan adalah visi dan misi organisasi. Visi dan misi merupakan titik
awal yang ditetapkan manajemen puncak dan menjadi dasar bagi setiap orang untuk

bekerja memberikan kontribusi untuk mencapainya.
Penetapan tujuan dan sasaran perlu mempertimbangkan kompetensi yang
dimiliki segenap sumber daya dalam organisasi. Seluruh sumber daya manusia
dalam organisasi harus mempunyai core-competencies untuk mencapai tujuan
organisasi. Sementara itu, perlu diidentifikasi job-based competencies, suatu
perilaku yang melekat pada peran individual. Tujuan dan sasaran juga
menggambarkan bagaimana mendapatkan dan mengembangkan sumber daya
manusia yang memiliki kedua kompetensi tersebut.

10
Universitas Sumatera Utara

Penetapan tugas bagi sumber daya manusia didasarkan pada job description.
Job description harus membantu menggambarkan key areas atau bidang tugas
utama di mana sebagian besar usaha perlu diarahkan, bahkan meskipun
deskripsinya sendiri tidak terlalu baik.
Tujuan dan sasaran bersifat quintifiable atau dapat dikuantitatifkan, sehingga
kinerja dapat diukur dalam bentuk angka. Perlu dipastikan bahwa angka spesifik
tentang apa yang diharapkan harus dibuat jelas. Tujuan dan sasaran pada tingkat
organisasi bawah harus ditarik dari tujuan dan sasaran di atasnya.

Lawson (2005) dalam Wibowo (2014) menekankan pentingnya memisahkan
antara what the results and how the results are achieved, antara ‘apa’ dan
‘bagaimana’ hasil dicapai. Contoh yang diberikan tentang apa hasil yang dicapai
adalah keluaran, produk dihasilkan, prosentase kenaikan, data finansial, anggaran,
pengembalian pelanggan, kuantitas diproduksi, batas waktu, proyek diselesaikan
dan waktu dihemat. Sedangkan bagaimana perilaku yang ditunjukkan dalam
mencapai hasil diberikan contoh : menghormati nilai-nilai dan visi organisasi,
menghormati core and job-based competencies, sikap terhadap pekerjaan,
pendekatan terhadap masalah, kebiasaan kerja, sifat pekerjaan, semangat kolaborasi
dan kepemimpinan.
Kebanyakan perusahaan lebih tertarik pada hasil daripada bagaiamana hasil
tersebut dicapai karena hasil diterjemahkan ke dalam revenue atau pendapatan,
tetapi tidak berarti bahwa perilaku dapat diabaikan. Perhatian pada salah satu aspek
saja dapat menimbulkan kerugian. Untuk itu harus ditemukan keseimbangan antara
hasil dan perilaku.

2.2.1. Tujuan Kinerja
Kinerja merupakan kegiatan pengelolaan sumber daya organisasi untuk
mencapai tujuan organisasi. Tujuan adalah tentang arah secara umum, sifatnya luas,
tanpa batasan waktu dan tidak berkaitan dengan prestasi tertentu dalam jangka

waktu tertentu. Tujuan merupakan sebuah aspirasi.
Dengan adanya tujuan memungkinkan pekerja mengetahui apa yang
diperlukan dari mereka, atas dasar apa kinerja harus dilakukan dan bagaimana
kontribusinya akan dinilai.

11
Universitas Sumatera Utara

Wibowo (2014) menyatakan tujuan dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk.
Tujuan dapat dinyatakan sebagai targets, yang merupakan hasil yang diharapkan
dapat dicapai secara kuantitatif yang dapat diukur dalam bentuk antara lain sebagai
pendapatan atas modal yang ditanam, hasil, proses, penjualan, tingkat pelayanan
pengiriman, pengurangan biaya, atau pengurangan penolakan atas penjualan.
Tujuan dapat pula dinyatakan sebagai tasks/projects, yang merupakan kegiatan
yang harus diselesaikan pada suatu tanggal tertentu untuk mencapai hasil yang
ditentukan. Misalnya, pengiriman barang pesanan harus dapat diterima pembeli
pada akhir bulan berjalan.
Tujuan dapat bersifat work-related, atau berkaitan dengan pekerjaan, dengan
mengacu pada hasil yang dicapai atau kontribusi yang diberikan pada prestasi
organisasional, fungsional atau tujuan tim. Misalnya berupa terjalinnya koordinasi

kerja yang efektif di antara setiap tingkatan manajemen dalam organisasi untuk
mencapai tujuan organisasi.
Namun, dapat pula bersifat personal, atau pribadi, dalam bentuk tujuan
pengembangan atau pembelajaran, yang bersangkutan dengan apa yang harus
dilakukan individu untuk mengembangkan pengetahuan, ketrampilan, dan potensi
untuk memperbaiki kinerja di bidang tertentu.

Gambar 2.2.1. Hubungan antara tingkatan organisasi (Sheila J. Costello dalam Wibowo: 2014)

Tujuan mengalir dari atas ke bawah, sedangkan tanggung jawab bergerak dari
bawah ke atas. Tujuan di atas memberikan inspirasi untuk penetapan tujuan di
bawahnya. Sementara itu, tanggung jawab dilakukan secara berjenjang dari bawah
ke atas.

12
Universitas Sumatera Utara

2.2.2. Sasaran Kinerja
Sasaran kinerja merupakan suatu pernyataan secara spesifik yang menjelaskan
hasil yang harus dicapai, kapan dan oleh siapa sasaran yang ingin dicapai tersebut

diselesaikan. Sifatnya dapat dihitung, prestasi yang dapat diamati, dan dapat diukur.
Sasaran merupakan harapan.
Wibowo (2014) menyatakan sebagai sasaran, suatu kinerja mencakup unsurunsur di antaranya:
a. The performers, yaitu orang yang menjalankan kinerja;
b. The action atau performance, yaitu tentang tindakan atau kinerja yang dilakukan
oleh performer;
c. A time element, menunjukkan waktu kapan pekerjaan dilakukan;
d. An evaluation method, tentang cara penilaian bagaimana hasil pekerjaan dapat
dicapai; dan
e. The place, menunjukkan tempat di mana pekerjaan dilakukan.
Sasaran yang efektif dinyatakan dengan baik dalam bentuk kata kerja secara
spesifik dan dapat diukur. Perkataan menurunkan, meningkatkan, dan
mendemonstrasikan bersifat lebih efektif daripada mengawasi, mengorganisasi,
memahami, mempunyai pengetahuan atau apresiasi.
Sasaran ditulis secara spesifik untuk membuat hasilnya jelas. Sebagai contoh:
“Meningkatkan pendapatan dari 30% menjadi 40%” lebih spesifik daripada
sekadar “menunjukkan saling pengertian tentang perlunya meningkatkan
pendapatan”.
Menentukan tanggal atau waktu secara spesifik untuk menyelesaikan pekerjaan
juga sangat berguna ketika menulis sasaran. Sebagai contoh: “Menghasilkan sepatu

100 pasang pada 10 November 2005”, atau “Memproduksi 100 pasang sepatu
dalam waktu satu bulan yang akan datang”.
Dalam Wibowo (2014) sasaran yang efektif dinyatakan secara spesifik, dapat
diukur, dapat dicapai, berorientasi pada hasil, dan dalam batasan waktu tertentu,
yang dapat dinyatakan dengan akronim SMART yang berarti sebagai berikut:
(S) Spesific: artinya dinyatakan dengan jelas, singkat, dan mudah dimengerti.
(M) Measureable: artinya dapat diukur dan dikuantifikasi.
(A) Attainable: artinya bersifat menantang, tetapi masih dapat terjangkau.

13
Universitas Sumatera Utara

(R) Result oriented: artinya memfokus pada hasil untuk dicapai.
(T) Time-bound: artinya ada batas waktu dan dapat dilacak, dapat dimonitor
progresnya terhadap sasaran untuk dikoreksi.
Kinerja di dalam suatu organisasi dilakukan oleh segenap sumber daya
manusia dalam organisasi, baik unsur pimpinan maupun pekerja. Banyak sekali
faktor yang dapat mempengaruhi sumber daya manusia dalam menjalankan
kinerjanya. Terdapat faktor yang berasal dari dalam diri sumber daya manusia
sendiri maupun dari luar dirinya. Setiap pekerja mempunyai kemampuan berdasar
pada pengetahuan dan keterampilan, kompetensi yang sesuai dengan pekerjaannya,
motivasi kerja dan kepuasan kerja. Namun, pekerja juga mempunyai kepribadian,
sikap dan perilaku yang dapat memengaruhi kinerjanya.
Hersey, Blanchard dan Johnson (1996) dalam Wibowo (2014) menyatakan
bahwa terdapat tujuh indikator kinerja, dua diantaranya mempunyai peran sangat
penting, yaitu tujuan dan motif. Kinerja ditentukan oleh tujuan yang hendak dicapai
dan untuk melakukannya diperlukan adanya motif. Tanpa dorongan motif untuk
mencapai tujuan, kinerja tidak akan berjalan. Dengan demikian, tujuan dan motif
menjadi indikator utama dari kinerja. Namun, kinerja memerlukan adanya
dukungan sarana kompetensi, peluang, standar dan umpan balik.

competence

feedback

motive

goals
means

standard

opportunity
Gambar 2.2.2. Indikator Kinerja (Hersey, Blanchard dan Johnson (1996) dalam Wibowo (2014)

2.3. Kepemimpinan
Pemimpin, menurut Timpe dalam Umar (2010), adalah orang yang
menerapkan prinsip dan teknik yang memastikan motivasi, disiplin dan
produktivitas dalam hal bekerja sama dengan orang agar dapat mencapai sasaran
perusahaan. Kepemimpinan yang efektif tergantung pada landasan manajerial yang
14
Universitas Sumatera Utara

kokoh, yaitu cara berkomunikasi, cara memberikan motivasi, kemampuan
memimpin, kemampuan pengambilan keputusan dan kekuasaan positif.
Kepemimpinan adalah masalah relasi dan pengaruh antara pemimpin dan yang
dipimpin. Kepemimpinan tersebut muncul dan berkembang sebagai hasil dari
interaksi otomatis di antara pemimpin dan individu-individu yang dipimpin (ada
relasi interpersonal). Kepemimpinan ini bisa berfungsi atas dasar kekuasaan
pemimpin untuk mengajak, mempengaruhi, dan menggerakkan orang-orang lain
guna melakukan sesuatu, demi pencapaian satu tujuan tertentu. Dengan begitu
pemimpin tersebut ada bila terdapat kelompok atau satu organisasi. Maka
keberadaan pemimpin itu selalu ada di tengah-tengah kelompoknya (anak buah,
bawahan, rakyat) (Kartono, 2010).
Pemimpin itu mempunyai sifat, kebiasaan, temperamen, watak dan
kepribadian sendiri yang unik khas sehingga tingkah laku dan gayanya yang
membedakan dirinya dari orang lain. Gaya atau style hidupmya ini pasti akan
mewarnai perilaku dan tipe kepemimpinannya, sehingga muncullah beberapa tipe
kepemimpinan.
Kembali dalam Kartono (2010), Terry mengemukakan sejumlah teori
kepemimpinan, yaitu teori-teori sendiri ditambah dengan teori-teori penulis lain,
sebagai berikut:
1. Teori Otokratis dan Pemimpin Otokratis
Kepemimpinan menurut teori ini didasarkan atas perintah, paksaan, dan
tindakan-tindakan yang arbiter (sebagai wasit). Ia melakukan pengawasan yang
ketat, agar semua pekerjaan berlangsung secara efisien. Kepemimpinannya
berorientasi pada struktur organisasi dan tugas-tugas.
Pemimpin tersebut pada dasarnya selalu mau berperan sebagai pemain orkes
tunggal dan berambisi untuk merajai situasi. Oleh karena itu dia disebut otokrat
(keras), yang ciri-ciri khasnya adalah :


Dia memberikan perintah-perintah yang dipaksakan, dan harus dipatuhi;



Dia menentukan policies/kebijakan untuk semua pihak tanpa berkonsultasi
dengan para anggota;

15
Universitas Sumatera Utara



Dia tidak pernah memberikan informasi mendetail tentang rencana-rencana
yang akan datang, tetapi cuma memberitahukan pada setiap anggota
kelompoknya langkah-langkah segera yang harus mereka lakukan;



Dia memberikan pujian atau kritik pribadi terhadap setiap anggota
kelompoknya dengan inisiatif sendiri.

Pada intinya otokrat keras itu memiliki sifat-sifat tepat, seksama, sesuai dengan
prinsip, namun keras dan kaku. Tidak pernah dia mau mendelegasikan otoritas.
Lembaga atau organisasi yang dipimpinnya merupakan a one-man show.
Dengan keras dia menekankan prinsip-prinsip “business is business”, waktu
adalah uang”, “untuk bisa makan, orang harus bekerja keras”, “yang kita kejar
adalah kemenanngan mutlak”, dan lain-lain. Sikap dan prinsipnya sangat
konservatif. Dia hanya bersikap baik terhadap orang-orang yang patuh pada
dirinya yaitu terhadap “hamba-hamba yang setia dan loyal” padanya.
Sebaliknya, dia akan bertindak keras serta kejam terhadap orang-orang yang
tidak mau “membuntuti” dirinya.
2. Teori Psikologis
Teori ini menyatakan, bahwa fungsi seorang pemimpin adalah memunculkan
dan mengembangakan sistem motivasi terbaik, untuk merangsang kesediaan
bekerja dari para pengikut dan anak buah. Pemimpin merangsang bawahan, agar
mereka mau bekerja, guna mencapai sasaran-sasaran organisatoris maupun
untuk memenuhhi tujuan-tujuan pribadi.
Maka kepemimpinan yang mampu memotivasi orang lain akan sangat
mementingkan aspek-aspek psikis manusia seperti pengakuan (recoqnizing),
martabat, status sosial, kepastian emosional, memperhatikan keinginan dan
kebutuhan pegawai, kegairahan kerja, minat, suasana hati, dan lain-lain.
3. Teori Sosiologis
Kepemimpinan dianggap sebagai usaha-usaha untuk melancarkan antar-relasi
dalam organisasi, dan sebagai usaha untuk menyelesaikan setiap konflik
organisatoris antara para pengikutnya, agar tercapai kerja sama yang baik.
Pemimpin menetapkan tujuan-tujuan, dengan menyertakan para pengikut dalam
pengambilan keputusan terakhir. Selanjutnya juga mengidentifikasikan tujuan

16
Universitas Sumatera Utara

dan kerap kali memberikan petunjuk yang diperlukan bagi para pengikut untuk
melakukan setiap tindakan yang berkaitan dengan kepentingan kelompoknya.
Setiap anggota mengetahui hasil apa, keyakinan apa, dan kelakukan apa yang
diharapkan dari mereka oleh pemimpin dan kelompoknya. Pemimpin
diharapkan dapat mengambil tindakan-tindakan korektif apabila terdapat
kepincangan-kepincangan dan penyimpangan-penyimpangan dalam organisasi.
4. Teori Suportif
Menurut teori ini, para pengikut harus berusaha sekuat mungkin, dan bekerja
dengan penuh gairah, sedang pemimpin akan membimbing dengan sebaikbaiknya melalui policy tertentu. Untuk maksud ini pemimpin perlu menciptakan
suatu lingkungan kerja yang menyenangkan, dan bisa membantu mempertebal
keinginan setiap pengikutnya untuk melaksanakan pekerjaan sebaik mungkin,
sanggup bekerja sama dengan pihak lain, mau mengembangkan bakat dan
keterampilannya, dan menyadari benar keinginan sendiri untuk maju. Ada pihak
yang menamakan teori suportif ini sebagai teori partisipatif, dan ada pula yang
menamakannya sebagai teori kepemimpinan demokratis.
5. Teori Laissez Faire
Kepemimpinan Laissez Faire ditampilkan oleh seorang tokoh “ketua dewan”
yang sebenarnya tidak becus mengurus dan dia menyerahkan semua tanggung
jawab serta pekerjaan kepada bawahan atau kepada semua anggotanya. Dia
adalah seorang “ketua” yang bertindak sebagai simbol, dengan macam-macam
hiasan atau ornamen yang mentereng. Biasanya dia tidak memiliki keterampilan
teknis. Sedangkan kedudukan sebagai pemimpin (direktur, ketua dewan, kepala,
komandan dan lain-lain) dimungkinkan oleh sistem nepotisme, atau lewat
praktik penyuapan.
Dia mempunyai sedikit keterampilan teknis namun disebabkan oleh karakternya
yang lemah, tidak berpendirian serta tidak berprinsip, maka semua hal itu
mengakibatkan tidak adanya kewibawaan juga tidak ada kontrol. Dia tidak
mampu mengkoordinasikan semua jenis pekerjaan, tidak berdaya menciptakan
suasana yang kooperatif, sehingga lembaga atau perusahaan menjadi kacaubalau, kocar-kacir, dan pada hakikatnya organisasinya mirip seekor “belut tanpa
kepala”.

17
Universitas Sumatera Utara

Pendeknya, pemimpin Laissez Faire itu pada intinya bukanlah seorang
pemimpin dalam pengertian yang sebenarnya. Semua anggota yang dipimpinnya
bersikap santai-santai dan bermotto “lebih baik tidak usah bekerja saja”. Mereka
menunjukkan sikap acuh tak acuh, sehingga kelompok tersebut praktis menjadi
tidak terbimbing dan tidak terkontrol.
6. Teori Kelakuan Pribadi
Kepemimpinan jenis ini akan muncul berdasarkan kualitas-kualitas pribadi atau
pola-pola kelakuan para pemimpinnya. Teori ini menyatakan, bahwa seorang
pemimpin itu selalu berkelakuan kurang lebih sama, yaitu ia tidak akan
melakukan tindakan-tindakan yang identik sama dalam setiap situasi yang
dihadapi. Dengan kata lain, dia harus mampu bersikap fleksibel, luwes,
bijaksana, “tahu gelagat”, dan mempunyai daya lenting yang tinggi karena itu
dia harus mampu mengambil langkah-langkah yang paling tepat untuk sesuatu
masalah. Sedang masalah sosial itu tidak pernah identik sama di dalam runtunan
waktu yang berbeda.
Pola tingkah laku pemimpin tersebut erat berkaitan dengan :
a.

Bakat dan kemampuannya;

b.

Kondisi dan situasi yang dihadapi;

c.

Good-will

atau

keinginan

untuk

memutuskan

dan

memecahkan

permasalahan yang timbul;
d.

Derajat supervisi dan ketajaman evaluasinya.

7. Teori Sifat Orang-Orang Besar (Traits of Great Men)
Sudah banyak usaha dilakukan orang untuk mengidentifikasikan sifat-sifat
unggul dan kualitas superior serta unik, yang diharapkan ada pada seorang
pemimpin, untuk meramalkan kesuksesan kepemimpinannya. Ada beberap ciriciri unggul sebagai predisposisi yang diharapkan akan dimiliki oleh seorang
pemimpin, yaitu memiliki intelegensi tinggi, banyak inisiatif, enegergik, punya
kedewasaan emosional, memiliki daya persuasif dan keterampilan komunikatif,
memiliki kepercayaan diri, peka, kreatif, mau memberikan partisipasi sosial
yang tinggi, dan lain-lain.

18
Universitas Sumatera Utara

8. Teori Situasi
Teori ini menjelaskan, bahwa harus terdapat daya lenting yang tinggi/luwes pada
pemimpin untuk menyesuaikan diri terhadap tuntutan situasi, lingkungan sekitar
dan zamannya. Faktor lingkungan itu harus dijadikan tantangan untuk diatasi.
Maka pemimpin itu harus mampu menyelesaikan masalah-masalah aktual, sebab
permasalahan-permasalahan hidup dan saat-saat krisis (perang, revolusi,
malaise, dan lain-lain) yang penuh pergolakan dan ancaman bahaya, selalu akan
memunculkan satu tipe kepemimpinan yang relevan bagi masa itu.
Maka kepemimpinan harus bersifat multi-dimensional serba bisa dan serba
terampil, agar ia mampu melibatkan diri dan menyesuaikan diri terhadap
masyarakat dan dunia bisnis yang cepat berubah. Teori ini beranggapan, bahwa
kepemimpinan itu terdiri atas tiga elemen dasar, yaitu pemimpin-yang ikutsituasi. Maka situasi dianggap sebagai elemen paling penting, karena memiliki
paling banyak variabel dan kemungkinan yang bisa terjadi.
Teori ini kemudian berkembang menjadi teori situasi-personal, yang
menjelaskan bahwa kepemimpinan adalah produk dari suatu situasi/keadaan.
Kepemimpinan didominir oleh kepribadian pemimpin, kelompok pengikut yang
dipimpin, dan situasi saat itu dengan segenap peristiwanya. Jadi ada field
dynamic of leadership yang menjelaskan bahwa interaksi antara pemimpin dan
situasinya akan membentuk tipe kepemimpinan tertentu.
9. Teori Humanistik/Populastik
Fungi kepemimpinan menurut teori ini ialah merealisir kebebasan manusia dan
memenuhi segenap kebutuhan insani, yang dicapai melalui interaksi pemimpin
dengan rakyat. Untuk melakukan hal ini perlu adanya organisasi yang baik dan
pemimpin yang baik, yang mau memperhatikan kepentingan dan kebutuhan
rakyat. Organisasi tersebut juga berperan sebagai sarana untuk melakukan
kontrol sosial, agar pemerintah melakukan fungsinya dengan baik, serta
memperhatikan kemampuan dan potensi rakyat. Semua itu dapat dilaksanakan
melalui interaksi dan kerja sama yang baik antara pemerintah dan rakyat, dengan
memperhatikan kepentingan masing-masing.
Pada teori ini ada tiga variabel pokok, yaitu :

19
Universitas Sumatera Utara

1) Kepemimpinan yang cocok dan memperhatikan hati nurani rakyat-dengan
segenap harapan, kebutuhan, dan kemampuannya;
2) Organisasi yang disusun dengan baik, agar bisa relevan dengan kepentingan
rakyat disamping kebutuhan pemerintah;
3) Interaksi yang akrab dan harmonis antara pemerintah dan rakyat, untuk
menggalang persatuan dan kesatuan/cohesiveness serta hidup damai
bersama-sama.
Fokus dari teori ini ialah rakyat dengan segenap harapan dan kebutuhan harus
diperhatikan dan pemerintah mau mendengar suara hati nurani rakyat, agar
tercapai negara yang makmur, adil, dan sejahtera bagi setiap warga negara dan
individu.
Sejarah telah banyak membuktikan, bahwa kegagalan pemimpin dan
kepemimpinan itu pada umumnya disebabkan oleh kurangnya perhatian pemerintah
pada tuntutan hai nurani rakyat, kurang menjalin interaksi yang terbuka dengan
rakyat dan kurang menggalang perlembagaan serta sarana-sarana yang dapat
mendorong partisipasi rakyat, serta pengembangan potensi dan kemampuan rakyat.

2.4. Budaya Organisasi
Orang pada semua tahapan karier, perlu memahami budaya organisasi dan
bagaimana bekerjanya karena akan mempunyai pengaruh kuat pada kehidupan
kerjanya. Orang yang baru memulai karier mungkin berpikir bahwa pekerjaan
hanyalah sekadar pekerjaan. Namun, apabila mereka telah memilih perusahaan atau
organisasi tertentu, sebenarnya mereka telah memilih jalan hidup yang akan
ditempuh. Budaya organisasi membentuk responsya dengan cara yang kuat, tetapi
cerdik. Budaya organisasi dapat membentuk mereka menjadi pekerja yang mampu
bekerja dengan cepat atau lambat, menjadi manajer yang keras atau bersahabat,
menjadi pemain tim atau individual (Wibowo : 2013).
Menurut Robbins (1994) dalam Torang (2014), Organisasi adalah suatu entitas
sosial yang terkoordinasi secara sadar, terdiri dari dua orang atau lebih dengan
batasan yang relatif teridentifikasi, yang berfungsi secara berkelanjutan untuk
mencapai seperangkat sasaran bersama. Selanjutnya Robbins menambahkan bahwa
organisasi adalah sistem peran, aliran aktivitas dan proses (pola hubungan kerja)

20
Universitas Sumatera Utara

dan melibatkan beberapa orang sebagai pelaksana tugas, yang dirancang untuk
menjalankan tujuan bersama. Masih dalam Torang (2014), Robbins

(2005)

berpendapat bahwa budaya organisasi merupakan suatu sistem dari makna
organisasi/arti bersama yang dianut para anggotanya yang membedakan organisasi
dari organisasi lainnya.
Budaya organisasi dapat juga dikatakan sebagai kebiasaan yang terus berulangulang dan menjadi nilai (value) dan gaya hidup oleh sekelompok individu dalam
organisasi yang diikuti oleh individu berikutnya. Dapat pula dikatakan bahwa
budaya organisasi adalah norma-norma yang telah disepakati untuk menuntun
perilaku individu dalam organisasi. Oleh sebab itu budaya organisasi merupakan
dasar bagi pimpinan staf/anggota organisasi dalam membuat perencanaan atau
strategi dan taktik dalam menyusun visi-misi untuk mencapai tujuan organisasi.
Torang (2014) menyimpulkan bahwa budaya organisasi adalah belief, value,
norma, dan system yang membentuk dan mewarnai perilaku pimpinan dan anggota
organisasi sehingga menjadi kebiasaan yang sulit diubah. Budaya adalah ”katup
pengaman” untuk mengatur beroperasinya organisasi melalui landasan nilai dan
keyakinan setiap individu yang kemudian melembaga (menjadi norma kerja).
Beberapa terminologi yang sering dipergunakan dalam membicarakan budaya
organisasi antara lain adalah dominant culture, subcultures, core values, strong and
weak culture, appropriate culture, dan adaptive and unadaptive culture. Makna
dari terminologi tersebut dapat dijelaskan di bawah ini (Wibowo : 2013).
1.

Dominant Culture
Dominant Culture merupakan budaya yang berlaku secara menyeluruh di
dalam organisasi, merupakan pandangan makro terhadap budaya yang
memberi warna kepribadian yang berbeda suatu organisasi. Dominant Culture
menunjukkan perbedaan atau ciri khusus antara organisasi yang satu dengan
organisasi lainnya.
Dominant Culture menyatakan core values atau nilai-nilai inti yang diterima
oleh mayoritas anggota organisasi. Adapun dalam unit-unit kerja suatu
organisasi kemungkinan mempunyai subculture yang mempunyai serangkaian
nilai-nilai tambahan, tetapi mereka umumnya juga tetap menerima core values
organisasi sebagai keseluruhan.

21
Universitas Sumatera Utara

2.

Subcultures
Subcultures adalah budaya yang ada dalam unit kerja yang menjadi bagian dari
keseluruhan organisasi. Anggota subculture berbagai nilai sebagai tambahan
pada core value organisasi sebagai keseluruhan. Subcultures cenderung
berkembang dalam organisasi besar yang mencerminkan masalah bersama,
situasi atau pengalaman yang dihadapi anggota. Dengan demikian, subcultures
merupakan budaya mini dalam organisasi, yang secara khas didefinisikan oleh
penunjukan departemen dan pemisahan geografis. Dalam suatu organisasi
dapat mempunyai beberapa subcultures.

3.

Core Values
Core Values merupakan kandungan dominant culture yang memuat nilai-nilai
utama atau dominan yang diterima di seluruh organisasi. Greenberg dan Baron
(2003) menunjukkan core values suatu organisasi, sebagai : (a) sensitivitas
pada kebutuhan pelanggan dan pekerja, (b) berkepentingan mempunyai pekerja
yang mampu membangkitkan gagasan baru, (c) kesediaan menerima risiko, (d)
nilai yang ditempatkan pada orang, (e) keterbukaan opsi komunikasi yang
tersedia, dan (f) persahabatan dan keserasian pekerja satu sama lain.
Nilai-nilai dan keyakinan organisasional merupakan dasar dari budaya
organisasi. Sistem nilai merupakan pola nilai-nilai di dalam suatu organisasi.
Nilai-nilai mempunyai lima komponen, yaitu : (1) konsep atau keyakinan, (2)
menyinggung hasil atau perilaku yang diharapkan, (3) menunjukkan situasi
penting, (4) pedoman seleksi atau evaluasi perilaku dan kejadian, dan (5)
diperintah oleh kepentingan relatif.

4.

Strong Culture dan Weak Culture
Dalam suatu budaya organisasi berguna untuk membedakan antara apa yang
dinamakan strong culture dan weak culture. Di dalam strong culture ditandai
oleh kenyataan bahwa pekerja berbagi core values atau nilai-nilai inti. Semakin
besar kontribusi pekerja dan menerima nilai-nilai inti, semakin kuat budaya
organisasi dan semakin berpengaruh pada perilaku.
Dengan demikian, semakin meningkat popularitas dalam membedakan antara
strong culture dan weak culture. Argumennya adalah bahwa strong culture
mempunyai dampak lebih besar pada perilaku pekerja dan lebih langsung

22
Universitas Sumatera Utara

dihubungkan dengan penurunan turnover. Dalam strong culture, core values
organisasi menjadi pegangan yang sangat kuat dan secara luas dibagikan.
Semakin banyak anggota menerima core values dan semakin besar
komitmennya pada nilai tersebut, maka semakin kuat budaya organisasi.
Konsisten dengan definisi ini, strong culture akan berpengaruh besar pada
perilaku anggotanya karena tingginya tingkat kebersamaan dan intensitas
menciptakan iklim internal perilaku kontrol tinggi.
Logika bagaimana kekuatan budaya organisasi berhubungan dengan kinerja
menyangkut tiga gagasan. Pertama adalah adanya rintisan tujuan. Dalam
perusahaan dengan strong culture, pekerja cenderung mengikuti pemimpinnya.
Kedua, sering dikatakan bahwa strong culture membantu kinerja bisnis sebab
mereka menciptakan tingkat motivasi yang tidak biasa kepada pekerja. Ketiga,
dikatakan membantu kinerja sebab mereka menyediakan struktur yang
diperlukan dan kontrol tanpa mendasarkan pada birokrasi formal yang dapat
menghambat motivasi dan inovasi.
5.

Appropriate Culture
Budaya dalam suatu organisasi perlu sesuai dengan kebutuhan organisasi dan
lingkungan yang dihadapi. Suatu organisasi yang menghadapi kondisi
lingkungan kompetitif yang memerlukan pengambilan keputusan cepat, maka
perilaku birokrasi bukanlah merupakan budaya organisasi yang tepat.
Dalam organisasi dimana manajer menempatkan nilai yang sangat tinggi pada
teknologi canggih akan membantu kecepatan proses informasi, tetapi tidak
akan cocok untuk membangun keharmonisan. Budaya pengambilan keputusan
yang sifatnya berulang-ulang dilakukan mungkin baik untuk perusahaan kecil,
tetapi tidak tepat dalam perusahaan yang besar. Budaya di mana orang
menghargai ketenangan dan struktur hierarki tinggi, mungkin berjalan baik
dalam lingkungan yang bergerak lambat, tetapi tidak cocok untuk industri yang
berjalan cepat dan kompetitif.

6.

Adaptive dan Unadaptive Culture
Logika teori ini adalah bahwa hanya budaya yang dapat membantu organisasi
mengantisipasi dan menyesuaikan perubahan lingkungan akan berkaitan
dengan kinerja tinggi untuk jangka panjang. Unadaptive culture atau budaya

23
Universitas Sumatera Utara

tidak adaptif biasanya sangat birokratis. Orangnya reaktif, menolak risiko, dan
tidak kreatif. Informasi tidak mengalir cepat dan mudah di seluruh organisasi.
Kontrol yang luas menghambat motivasi dan antusiasme.
Dalam adaptive culture atau budaya adaptif memerlukan pengambilan risiko,
kepercayaan, dan pendekatan proaktif terhadap kehidupan organisasional
maupun individual. Anggota secara aktif mendukung usaha pihak lain
mengidentifikasi persoalan dan melakukan solusi yang dapat dikerjakan.
Core values yang mencerminkan adaptive cultures dapat ditunjukkan oleh
kenyataan bahwa kebanyakan manajer sangat memberi perhatian terhadap
pelanggan, pemegang saham, dan pekerja. Mereka sangat kuat menilai orang
dan proses yang dapat menciptakan perubahan yang berguna. Apabila bersifat
unadaptive cultures, maka kebanyakan manajer lebih memerhatikan dirinya
sendiri, kelompok kerja langsungnya, produk atau teknologi yang berhubungan
dengan kelompok kerjanya. Mereka menghargai lebih tinggi proses
manajemen dan menurunkan risiko inisiatif daripada inisiatif kepemimpinan.
Apabila dilihat dari segi perilakunya dalam adaptive cultures, maka manajer
menaruh perhatian penuh pada semua konstituen, terutama pelanggan, dan
berinisiatif melakukan perubahan apabila diperlukan untuk melayani
kepentingannya, bahkan apabila untuk itu diperlukan mengambil risiko.
Adapun yang bersifat unadaptive cultures, maka manajer cenderung
berperilaku picik, politis, dan birokratis. Sebagai hasilnya, mereka tidak
mengubah strategi secara cepat untuk menyesuaikan atau mengambil manfaat
dari perubahan di lingkungan bisnisnya.
Robbins (2001) dalam Torang (2014) membagi empat bentuk budaya yang
melalui hubungan antara tingkat sosiabilitas dan solidaritas, yaitu sebagai berikut :
a.

Network Culture;
Organisasi memandang anggota sebagai keluarga dan teman (high on
sociability but low on solidarity). Orang-orang dalam network culture sangat
bersahabat dan bersuka ria dalam gaya, cenderung berbicara tentang bisnis
secara bebas, kebiasaan informal, dan menggunakan banyak waktu untuk
sosialisasi, dan tanpa masalah, serta saling mengetahui satu sama lain dengan
cepat dan merasa bahwa mereka adalah bagian dari organisasi.

24
Universitas Sumatera Utara

b.

Mercenary Culture
Organisasi berorientasi pada tujuan (low on sociability but high on solidarity),
komunikasi cenderung cepat, langsung dan dikendalikan dengan cara yang
tidak ada yang tidak mungkin, tidak toleran pada kebiasaan menghabiskan
waktu, menonjolkan bisnis dan omong kosong, toleransi dalam menggunakan
waktu yang lama untuk mewujudkan tujuaannya.

c.

Fragmented Culture
Low on sociability and low on solidarity, budaya ini menggambarkan orang
yang bekerja dengan sedikit melakukan kontak bahkan tidak saling mengenal,
tidak menampakkan identifikasi organisasi, serta cenderung mengidentifikasi
dengan profesi dimana mereka diposisikan.

d.

Communal Culture
High on sociability and high on solidarity, anggota organisasi sangat
bersahabat dan bergaul, baik secara pribadi maupun secara profesional,
umumnya terjadi pada perusahaan yang menggunakan teknologi tinggi;
individu dalam organisasi cenderung berbagi dalam banyak hal, komunikasi
mengalir dengan sangat mudah, mereka mengenakan logo perusahaan, hidup
dalam kepercayaan perusahaan dan membela perusahaan dari orang lain.
Fungsi budaya organisasi menunjukkan peranan atau kegunaan dari budaya

organisasi. Fungsi budaya organisasi menurut Robert Kreitner dan Kinicki (2001)
dalam Wibowo (2013) adalah :
1.

Memberi anggota identitas organisasional, menjadikan perusahaan diakui
sebagai perusahaan yang inovatif dengan mengembangkan produk baru.
Identitas organisasi menunjukkan ciri khas yang membedakan dengan
organisasi lain yang mempunyai sifat khas yang berbeda.

2.

Memfasilitasi komitmen kolektif, perusahaan mampu membuat pekerjanya
bangga menjadi bagian daripadanya. Anggota organisasi mempunyai
komitmen bersama tentang norma-norma dalam organisasi yang harus diikuti
dan tujuan bersama yang harus dicapai.

3.

Meningkatkan stabilitas sistem sosial sehingga mencerminkan bahwa
lingkungan kerja dirasakan positif dan diperkuat, konflik dan perubahan dapat
dikelola secara efektif. Dengan kesepakatan bersama tentang budaya organisasi

25
Universitas Sumatera Utara

yang harus dijalani mampu membuat lingkungan dan interaksi sosial berjalan
dengan stabil dan tanpa gejolak.
4.

Membentuk

perilaku

dengan

membantu

anggota

menyadari

atas

lingkungannya. Budaya organisasi dapat menjadi alat untuk membuat orang
berpikiran sehat dan masuk akal.
Vecchio (1995) dalam Wibowo (2013) mengidentifikasi adanya empat faktor
yang dapat mempengaruhi asal mula sumber budaya organisasi, yaitu :
1.

Keyakinan dan nilai-nilai pendiri organisasi dapat menjadi pengaruh kuat pada
penciptaan budaya organisasi. Selama kedudukan, keyakinan, dan nilai-nilai
dapat ditanamkan dalam kebijakan, program, dan pernyataan informal
organisasi yang dihidupkan terus-menerus oleh anggota organisasi selanjutnya.

2.

Norma sosial organisasi juga dapat memainkan peran dalam menentukan
budaya organisasi. Budaya masyarakat sekitarnya mempengaruhi budaya
organisasi yang ada di dalamnya.

3.

Masalah adaptasi eksternal dan sikap terhadap kelangsungan hidup merupakan
tantangan bagi organisasi yang harus dihadapi anggotanya melalui penciptaan
budaya organisasi.

4.

Masalah integrasi internal dapat mengarahkan pada pembentukan budaya
organisasi.
Apabila budaya organisasi telah terbentuk, maka perlu segera disosialisasikan

agar dapat lebih mudah diketahui dan diikuti segenap sumber daya manusia dalam
organisasi maupun oleh pihak lain di luar organisasi. Menurut Wibowo (2013) ada
beberapa cara yang dapat dipakai untuk mensosialisasikan budaya organisasi dan
terdapat beberapa kesamaan pandangan diantara para penulis. Pendapat tersebut
antara lain dikemukakan oleh Greenberg dan Baron (2003) dalam Wibowo (2013)
yang menunjukkan beberapa cara yang dapat dipergunakan untuk menyebarkan
budaya organisasi, yaitu :
1.

Simbol, yaitu suatu objek yang dapat mengatakan lebih banyak daripada apa
yang terlihat oleh mata. Merupakan objek material yang memberikan arti lebih
luas melebihi kandungan intrinsiknya.

26
Universitas Sumatera Utara

2.

Slogan, merupakan ungkapan yang menangkap budaya organisasi. Slogan juga
mengkomunikasikan aspek penting dari budaya organisasi baik kepada
masyarakat maupun pekerja dalam organiasasi sendiri.

3.

Cerita, disampaikan secara formal maupun informal dan menggambarkan
aspek kunci budaya organisasi dan dengan memberitahu mereka dapat
memperkenalkan secara efektif atau menegaskan kembali tentang nilai-nilai
kepada pekerja.

4.

Jargon, bahasa khusus yang mendefinisikan budaya. Bahwa tanpa memberikan
cerita, bahasa sehari-hari yang dipergunakan dalam perusahaan membantu
melanjutkan budaya.

5.

Upacara, kejadian khusus yang memperingati nilai-nilai korporasi. Upacara
dapat dilihat sebagai perayaan nilai-nilai dasar dan asumsi organisasi.

6.

Pernyataan tentang dasar, mendefinisikan budaya dalam bentuk tertulis.
Beberapa organisasi secara eksplisit menuliskan dasar-dasarnya untuk dapat
dilihat semua orang. Beberapa organisasi menyampaikan aspek moral sebagai
kode etik, suatu dokumen yang merupakan pernyataan yang dibuat secara
eksplisit yang menyatakan nilai-nilai etika organisasi.
Indikator budaya organisasi menurut Denison dan Misra (1995) dalam

Kusumawati (2008), adalah sebagai berikut :
1.

Misi
Organisasi memiliki tujuan dan arah yang jelas. Organisasi mendefinisikan
tujuan dan sasaran strategik dan mengekspresikan visi masa depan.

2.

Konsistensi
Organisasi cenderung memiliki budaya kuat yang konsisten, terkoordinasi dan
terintegrasi secara baik. Norma-norma perilaku didasarkan pada nilai-nilai inti.
Para pemimpin dan bawahan mencapai kesepakatan meskipun dengan sudut
pandang berbeda.

3.

Adaptabilitas
Organisasi memiliki kemampuan adaptasi yang didorong oleh keinginan
pelanggan. Organisasi mengambil risiko, belajar dari kesalahan dan memiliki
kapabilitas dan pengalaman untuk menciptakan perubahan.

4.

Pelibatan

27
Universitas Sumatera Utara

Organisasi

memberdayakan

karyawan,

mengorganisir

tim

dan

mengembangkan kemampuan SDMnya. Semua tingkat organisasi merasa
bahwa mereka memiliki kontribusi yang akan mempengaruhi pekerjaannya
dan tujuan organisasinya.
2.5. Kepemimpinan dalam Budaya Organisasi
Budaya organisasi tidak dapat dipisahkan dengan kepemimpinan dalam
organisasi karena budaya organisasi tumbuh dan berkembang bersama pendiri dan
pemimpin organisasi yang kuat. Perkembangan organisasi sangat tergantung pada
kemampuan pemimpin. Namun, pemimpin dapat bertindak dengan benar dalam
mengelola organisasi, tetapi juga tidak luput dari kemungkinan berbuat salah.
Pemimpin diharapkan juga mampu menangkap harapan dari para pengikutnya.
Pada dasarnya para pengikut akan loyal pada pemimpin apabila harapannya
terpenuhi. Oleh karena itu, pemimpin perlu mengakomodasi harapan pengikut
sehingga mendapat dukungan penuh untuk mencapai tujuan organisasi yang
dibebankan pada pemimpin.
Peranan pemimpin sangat menentukan terutama apabila diperlukan perubahan
budaya organisasi, terlebih lagi dalam perkembangan global di mana terjadi
interaksi antarbudaya. Oleh karenanya pemimpin juga dituntut untuk menjadi
pembelajar budaya organisasi, memiliki kemampuan mengelola budaya organisasi
sesuai dengan tingkat pertumbuhan organisasi dan strategi yang dikembangkan
dalam mencapai tujuan organisasi.
Setiap langkah kecil seorang pemimpin dalam budaya organisasi, seperti
halnya dalam memimpin komponen bisnis lain, adalah penting bagi sukses
organisasi. Kesalahan langkah dalam budaya organisasi dapat menyebabkan
kegagalan. Apabila terdapat kekurangan kepemimpinan dalam budaya organisasi,
maka organisasi secara keseluruhan kekurangan kepemimpinan.
Namun sayangnya, menurut Want (2006) dalam Wibowo (2013) pada
umumnya terdapat tiga kategori pemimpin organisasi, yaitu pemimpin yang selalu
mengatakan : (1) I don’t know (saya tidak tahu), (2) I don’t know how (saya tidak
tahu bagaimana) dan (3) I don’t care (saya tidak peduli). Sedikit sekali yang benarbenar menyadari tentang bagaimana memimpin seluruh organisasi bisnis, dan hal
tersebut memerlukan pemahaman masalah budaya yang kompleks.

28
Universitas Sumatera Utara

Tugas manajer sekarang kebanyakan adalah: mengelola risiko, investasi
pemegang saham, pengembangan produk baru, mergers, downsizing¸ menangani
berbagai krisis, mengelola pendapat publik, dan mengatasi pekerja dengan kinerja
rendah. Namun, hanya sedikit yang memahami bagaimana memimpin seluruh
organisasi bisnis, yang memerlukan pemahaman masalah budaya yang sangat
kompleks. Di abad perubahan radikal sekarang ini, organisasi bisnis memerlukan
true leaders, bukan hanya manajer. Pemimpin bukan hanya terampil dalam
menangani masalah teknis dalam berbisnis, namun dituntut untuk memahami
masalah budaya organisasi.
Untuk itu perlu dipahami adanya beberapa kesalahan yang mungkin dapat
dilakukan dalam kepemimpinan sehingga perlu dihindari. Selain itu, juga mengenal
prinsip-prinsip kepemimpinan yang pada umumnya dinilai sebagai kepemimpinan
yang baik.
Ada beberapa alasan mengapa pemimpin mempunyai kesulitan dalam
menghadapi budaya organisasi, antara lain karena tidak mempunyai rasa belas
kasihan dalam menyampaikan tekanan, beratnya tujuan finansial jangka pendek,
meningkatnya ukuran dan kompleksitas organisasi bisnis sekarang, keinginan dan
kebutuhan mengelola krisis berulan-ulang, dan kurangnya pemahaman tentang
bagaimana memimpin seluruh organisasi, bukan hanya bisnis.
Pemimpin perusahaan bisnis pada semua ukuran sekarang ini, lebih
diidentifikasi dengan pengkayaan diri dan penyalahgunaan kekuasaan daripada
dengan pengembangan organisasi bisnis yang menjadi tanggung jawabnya.
Kesalahan dalam kepemimpinan dapat ditunjukkan oleh adanya pemimpin yang
menghancurkan perusahaan mereka sendiri, pemimpin yang tidak mau mengambil
risiko, dan melupakan keramahan yang telah diterima (Want: 2006) dalam Wibowo
(2013).
1. Leaders who destroy their companies (pemimpin yang menghancurkan
perusahaan mereka)
Seorang pemimpin dapat merusak perusahaan karena kesalahan dalam cara
memimpin, menentukan kebijakan dan menundukkan dirinya dalam organisasi.
Antara lain ditunjukkan oleh perilakunya yang sering marah tidak pada

29
Universitas Sumatera Utara

tempatnya, ruang kerjanya terlindung dan dijaga ketat sehingga tidak mudah
dihubungi atau kebijakan penggajian dan pemberian tunjangan yang tidak tepat.
Sering kali pemimpin bisnis memperlakukan dirinya sebagai pemilik pribadi.
Mereka menjadi terkotak-kotak dan menghancurkan

perusahaan melalui

kepemimpinan yang salah arah dan membelokkan perusahaan menjadi tidak
lebih dari rekening bank pribadi.
2. No risk taking at the top (tidak ada pengambilan risiko di puncak)
Reward atau penghargaan harus seimbang dengan risiko yang diambil dan hasil
yang diperoleh. Namun, banyak pimpinan perusahaan sekarang membatasi
dirinya dari risiko. Drucker (dalam Wibowo:2013) menganjurkan sebaiknya
Chief Executive Officer dibayar tidak lebih dari 20 kali gaji pekerja terendah,
tetapi sebaliknya rata-rata sampai mencapai 400 kali dan merangkak naik.
Banyak Chief Executive Officer sekarang telah memindahkan risiko kepada
pekerja rata-rata sambil membatasi dirinya dari kegagalannya sendiri.
3. Bengin Neglect (melupakan keramahan)
Antara Chief Executive Officer yang secara efektif memimpin dan melakukan
investasi dalam budaya bisnis perusahaan dengan mereka yang mengkhianati
budaya perusahaan, terdapat zona abu-abu bagi kebanyakan pimpinan
perusahaan lain. Mereka memimpin perusahaannya dengan melupakan
keramahan yang telah diterima. Pemimpin ini menghindari berhubungan bisnis
sebagai organisasi, dan tidak berani melihat terlalu mendalam ke dalam budaya
organisasi mereka.
Sebenarnya, kebanyakan Chief Executive Officer tahu bahwa budaya organisasi
mereka adalah sangat birokratik, lambat melakukan inovasi, lambat mengambil
keputusan, dan tidak responsif pada pasar. Namun, mereka tidak peduli dengan
cara mereka menjalankan perusahaan, dan selalu heran mengapa mereka tidak
dapat meningkatkan keuntungan dan mengurangi penurunan pelanggan. Dalam
banyak hal, mereka mengabaikan budaya organisasi mereka apabila mereka
mendapatkan budaya kontrol monopolistik terhadap pasar. Mereka tidak
menghadapi pesaing dalam pasar yang benar-benar terbuka.

30
Universitas Sumatera Utara

Tan (2002) dalam Wibowo (2013) mengindikasi adanya delapan kelemahan
kepemimpinan yang umum terjadi sehingga dikatakannya sebagai penyakit
kepemimpinan.
1. Leaders who do not listen (pemimpin yang tidak menyimak)
Penyakit kepemimpinan terbesar adalah ketika pemimpin menolak untuk
mendengarkan atau lebih tepatnya menyimak apa yang dikatakan orang lain.
Terdapat pemimpin yang menolak saran baik, menghalangi orang lain memberi
saran atau gagasan baik dan juga mereka yang dipenuhi oleh gagasannya sendiri
tidak mempertimbangkan pandangan lain kecuali pandangannya sendiri.
Hal tersebut mengakibatkan mereka mengembangkan blind spot, pandangannya
tertutup, sehingga tidak mengarah pada masalah yang relevan sehingga membuat
jauh dari realitas organisasi. Tidak mengherankan bahwa tindakan pemimpin
seperti ini menjadi tidak efektif, memboroskan waktu orang dan membebani
kesabaran orang.
2. Who do not practice what they preach (yang tidak melaksanakan apa yang
dikatakan)
Kekurangan besar lain pada banyak pemimpin adalah kecenderungan menjadi
hipokrit. Pemimpin banyak mengatakan tentang sesuatu hal, tetapi melakukan
lainnya, tidak sesuai antara apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan.
Mereka tidak memenuhi janjinya dan menjadi tidak konsisten serta tidak
mempunyai prinsip.
Sebagai contoh,seorang pemimpin perusahaan besar dalam sebuah rapat
manajemen berbicara tentang perlunya integritas, tetapi kemudian diketahui
terlibat dalam beberapa transaksi curang. Dalam hal demikian, pemimpin tidak
hanya kehilangan kredibilitas mereka, tetapi juga efektivitasnya dalam
memimpin bawahannya.
3. Leaders who practice favouritism (pemimpin yang mempraktikkan favoritisme)
Cara paling pasti untuk memenuhi kepercayaan dalam organisasi adalah karena
pemimpin mempraktikkan favoritisme. Pemimpin cenderung memperlakukan
beberapa staf lebih baik dari lainnya. Ketidakpuasan sering timbul ketika
perlakuan khusus yang diberikan kepada staf adalah tidak beralasan. Pemimpin

31
Universitas Sumatera Utara

memihak pada staf tertentu, tanpa memandang staf tersebut benar atau salah.
Sering kali perlakuan tersebut tidak ada hubungannya dengan kinerja.
Sangat sering, ketidakpuasan di pekerjaan tidak hanya timbul karena adanya
perasaan iri hati. Namun, karena pemimpin mempraktikkan favoritisme pada
mereka yang dapat menyesuaikan diri dengan pemimpin daripada yang mampu
bekerja. Pemimpin cenderung kehilangan kepercayaan dan respek dari staf,
mengarah pada melemahkan moral staf, dan akhirnya tingkat kinerja menjadi
lebih rendah.
4. Leaders who intimidate others (pemimpin yang mengintimidasi)
Terdapat banyak pemimpin yang sangat kuat dalam dunia korpo