Pelaksanaan Ganti Rugi Terkait Migrasi Layanan Flexi Ke Telkomsel (Studi di PT. Telkom Divre I Sumatera)

BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

A.

Pengertian dan Dasar Hukum Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen merupakan bagian tak terpisahkan dari kegiatan

bisnis yang sehat. Dalam kegiatan bisnis yang sehat terdapat keseimbangan
perlindungan hukum antara konsumen dengan produsen. Tidak adanya
perlindungan yang seimbang menyebabkan konsumen berada pada posisi yang
lemah. Lebih-lebih jika barang atau jasa yang dihasilkan oleh produsen
merupakan jenis barang atau jasa yang terbatas, produsen dapat menyalahgunakan
posisinya yang monopolistis tersebut. Hal itu tentu saja akan merugikan
konsumen.
Kerugian-kerugian yang dialami oleh konsumen tersebut dapat timbul
sebagai akibat dari adanya hubungan hukum perjanjian antara produsen dengan
konsumen, maupun akibat dari adanya perbuatan melanggar hukum yang
dilakukan oleh produsen.
Kondisi konsumen yang banyak dirugikan, memerlukan peningkatan upaya
untuk melindunginya, sehingga hak-hak konsumen dapat ditegakkan. Perjanjianperjanjian antara para pihak tidak selamanya dapat berjalan mulus dalam arti

masing-masing pihak puas, karena kadang-kadang pihak penerima tidak
menerima barang atau jasa sesuai dengan harapannya. Apabila konsumen tidak
menerima barang atau jasa sesuai dengan yang diperjanjikan, maka produsen telah
melakukan wanprestasi, sehingga konsumen mengalami kerugian.

19
Universitas Sumatera Utara

20

Wanprestasi salah satu pihak dalam perjanjian merupakan kelalaian untuk
memenuhi syarat yang tercantum dalam perjanjian. Hal ini biasanya dialami oleh
pihak yang memiliki posisi lemah, dimana biasanya persyaratan-persyaratan
dalam perjanjian tersebut telah dituangkan dalam suatu bentuk perjanjian baku.
Perjanjian yang demikian sudah lazim dipergunakan dan memegang peranan
penting dalam hukum bisnis yang pada umumnya dilandasi oleh nilai-nilai yang
berorientasi pada efisiensi14.
Upaya terpenting dalam memberikan perlindungan kepada konsumen adalah
melalui peraturan perundang-undangan, sehingga perlu melengkapi ketentuan
perundang-undangan bidang perlindungan konsumen yang sudah ada. Hal ini

perlu dilakukan dengan pertimbangan yang matang, dan tidak cukup hanya
mencontoh undang-undang negara lain yang dianggap berhasil memberikan
perlindungan kepada konsumen, karena keberhasilan undang-undang di negara
lain belum tentu mencapai keberhasilan yang sama di Indonesia.
Di samping Undang-Undang Perlindungan Konsumen, hukum konsumen
“ditemukan” di dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Terdapat peraturan perundang-undangan umum yang berlaku, memuat juga
berbagai kaidah menyangkut hubungan dan masalah konsumen. Sekalipun
peraturan perundang-undangan itu tidak khusus diterbitkan untuk konsumen atau
perlindungan konsumen, setidak-tidaknya ia merupakan sumber dari hukum
konsumen dan/atau hukum perlindungan konsumen. Beberapa di antaranya akan
diuraikan berikut ini:15

14

Peter Mahmud Marzuki, Pembaruan Hukum Ekonomi Indonesia, Universitas Airlangga
Surabaya, tanpa tahun, hal.8
15
Az Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta
2006, hal.31-40


Universitas Sumatera Utara

21

1.

Undang-Undang Dasar dan Ketetapan MPR
Hukum Konsumen, terutama Hukum Perlindungan Konsumen

mendapatkan landasan hukumnya pada Undang-Undang Dasar 1945,
Pembukaan, Alinea ke-4 berbunyi:
“...Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia...”
Umumnya, sampai saat ini, orang bertumpu pada kata “segenap
bangsa” sehingga ia diambil sebagai asas tentang persatuan seluruh bangsa
Indonesia (asas persatuan bangsa). Tetapi di samping itu, dari kata
“melindungi”, di dalamnya terkandung pula asas perlindungan (hukum)
pada segenap bangsa tersebut. Perlindungan hukum pada segenap bangsa
itu, tentulah bagi segenap bangsa Indonesia, tanpa kecuali. Baik ia laki-laki

atau perempuan, orang kaya atau orang miskin, orang kota atau orang desa,
orang asli atau keturunan, dan pengusaha/pelaku usaha atau konsumen.
Landasan hukum lainnya terdapat pada ketentuan yang termuat dalam
Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Ketentuan
tersebut berbunyi:
“Tiap warga negara berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”
Sesungguhnya apabila kehidupan seseorang terganggu atau diganggu
pihak/pihak-pihak lain, maka alat-alat negara akan turun tangan, baik
diminta atau tidak, untuk melindungi dan atau mencegah terjadinya
gangguan tersebut.
Selanjutnya, untuk melaksanakan perintah UUD 1945 melindungi
segenap bangsa, dalam hal ini khususnya melindungi konsumen, Majelis

Universitas Sumatera Utara

22

Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah menetapkan berbagai Ketetapan
MPR, khususnya sejak tahun 1978. Dengan ketetapan terakhir Majelis
Permusyawaratan Rakyat Tahun 1993 (TAP-MPR) makin jelas kehendak

rakyat atas adanya perlindungan konsumen, sekalipun dengan kualifikasi
berbeda-beda, pada masing-masing ketetapan.
Dalam

penyusunan

peraturan

perundang-undangan

sebagai

pelaksanaan dari TAP-MPR ini, haruslah jelas siapa yang dimaksudkan
dengan pelaku usaha dan siapa pula kosnumen, apa hak-hak dan/atau
kewajiban sesuai kepentingan masing-masing pihak. Pencampur-adukan
keduanya, seperti pemikiran sementara orang pada saat ini, lebih banyak
menimbulkan kerancuan dan kesulitan daripada kemanfaatan.
Pelaku usaha adalah pelaku usaha, dan konsumen adalah konsumen;
haruslah diciptakan keadaan yang seimbang, serasi dan selaras dalam
kehidupan diantara keduanya.

2.

Hukum Konsumen dan Hukum Perdata
Dengan hukum perdata dimaksudkan hukum perdata arti luas,

termasuk hukum perdata, hukum dagang serta kaidah-kaidah keperdataan
yang termuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya.
Kesemuanya itu baik hukum perdata tertulis maupun hukum perdata tidak
tertulis (hukum adat).
Kaidah-kaidah hukum perdata umumnya termuat dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Di samping itu, tentu saja juga
kaidah-kaidah hukum perdata adat, yang tidak tertulis tetapi ditunjuk oleh
pengadilan-pengadilan dalam perkara-perkara tertentu. Patut kiranya

Universitas Sumatera Utara

23

diperhatikan kenyataan yang ada dalam pemberlakuan berbagai kaidah
hukum perdata tersebut.

Jadi, kalau dirangkum keseluruhannya, terlihat bahwa kaidah-kaidah
hukum yang mengatur hubungan dan masalah hukum antara pelaku usaha
penyedia barang dan/atau penyelenggara jasa dengan konsumennya masingmasing terlihat termuat dalam:
a.

KUHPerdata, teruatama dalam Buku kedua, ketiga dan keempat.

b.

KUHD, Buku kesatu dan Buku kedua.

c.

Berbagai peraturan perundang-undangan lain yang memuat
kaidah-kaidah hukum bersifat perdata tentang subjek-subjek
hukum, hubungan hukum dan masalah antara penyedia barang
atau penyelenggara jasa dan konsumen.

3.


Hukum Konsumen dan Hukum Publik
Dengan hukum publik yang dimaksudkan adalah hukum yang

mengatur hubungan antara negara dan alat-alat perlengkapannya atau
hubungan antara negara dengan perorangan.16 Termasuk hukum publik, dan
terutama dalam kerangka hukum konsumen dan atau hukum perlindungan
konsumen, adalah hukum administrasi negara, hukum pidana, hukum acara
perdata, dan atau hukum acara pidana dan hukum internasional khususnya
hukum perdata internasional.
Jadi, segala kaidah hukum maupun asas-asas hukum ke semua
cabang-cabang hukum publik itu sepanjang berkaitan dengan hubungan
hukum konsumen dan/atau masalahnya dengan penyedia barang atau
16

Drs. C.S.T Kansil, S.H., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, P.N. Balai
Pustaka, Jakarta, 1979, hal.10

Universitas Sumatera Utara

24


penyelenggara jasa, dapat pula diberlakukan. Dalam kaitan ini antara lain
ketentuan perizinan usaha, ketentuan-ketentuan pidana tertentu, ketentuanketentuan hukum acara dan berbagai konvensi dan atau ketentuan hukum
pidana internasional.
Diantara kesemua hukum publik tersebut, tampaknya hukum
administrasi negara, hukum pidana, hukum internasional khususnya hukum
perdata internasional, dan hukum acara perdata serta hukum acara pidana
paling banyak pengaruhnya dalam pembentukan hukum konsumen.
Ketentuan hukum administrasi, misalnya menentukan bahwa:
Pemerintah melakukan pengaturan dan pembinaan rumah susun dan
pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-Undang (termuat dalam Pasal 4
Ayat (1) dan Pasal 20 Ayat (1) Undang-Undang tentang Rumah Susun,
Undang-Undang Nomor 16 Thaun 1985 LN Tahun 1985 NO.75).
Selanjutnya dalam Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang No.
23 Tahun 1992, Pasal 73 ditentukan:
“Pemerintah melakukan pembinaan terhadap semua kegiatan yang berkaitan
dengan penyelenggaran upaya kesehatan”.
Dalam Pasal 76 Undang-Undang itu dijelaskan pula peran
pengawasan yang dijalankan oleh pemerintah, sedangkan Pasal 77
menegaskan wewenang pemerintah untuk mengambil berbagai tindakan

administratif terhadap tenaga kesehatan dan atau sarana kesehatan yang
melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini.
Dari peraturan perundang-undangan tersebut diatas terlihat beberapa
departemen dan atau lembaga pemerintah tertentu menjalankan tindakan

Universitas Sumatera Utara

25

administratif berupa pengawasan dan pembinaan terhadap pelaku usaha
dengan perilaku tertentu dalam melaksanakan peraturan perundangundangan tersebut. Misalnya, tindakan adiministratif terhadap tenaga
kesehatan dan atau sarana kesehatan yang melanggar undang-undang (UU
No.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, Pasal 77).
Pasal 77 itu berbunyi:
“Pemerintah berwenang mengambil tindakan administratif terhadap tenaga
kesehatan dan atau sarana kesehatan yang melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan ini”.
Penjelasan pasal ini menentukan: tindakan administratif dalam pasal
ini dapat berupa pencabutan izin usaha, izin praktek, atau izin lain yang
diberikan, serta penjatuhan hukum disiplin berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Tindakan administratif terhadap tenaga
kesehatan dilakukan setelah mendengar pertimbangan majelis Disiplin
Tenaga kesehatan.

Setelah membincangkan hal-hal diatas, kita perlu mengetahui apa yang
dimaksud dengan “perlindungan konsumen”. Menurut Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa
“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.

Universitas Sumatera Utara

26

Hukum konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang
mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk
(barang/jasa) antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan masyarakat. 17
Sedangkan hukum perlindungan konsumen merupakan bagian khusus
hukum konsumen yaitu keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur
dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan produk
(barang/jasa) konsumen antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan
bermasyarakat.18
Kepastian hukum untuk melindungi hak-hak konsumen, yang diperkuat
melalui undang-undang khusus, memberikan harapan agar pelaku usaha tidak lagi
bertindak sewenang-wenang yang selalu merugikan hak-hak konsumen. Dengan
adanya UU Perlindungan Konsumen beserta perangkat hukum lainnya, konsumen
memiliki hak dan posisi yang berimbang, dan mereka pun bisa menggugat atau
menuntut jika ternyata hak-haknya telah dirugikan atau dilanggar oleh pelaku
usaha.
Dari latar belakang dan definisi tersebut kemudian muncul kerangka umum
tentang sendi-sendi pokok pengaturan perlindungan konsumen, yang kurang lebih
bisa dijabarkan sebagai berikut:19
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
17
18
19

Kesederajatan antara konsumen dan pelaku usaha.
Konsumen mempunyai hak.
Pelaku usaha mempunya kewajiban.
Pengaturan tentang perlindungan konsumen berkontribusi
pembangunan nasional.
Perlindungan konsumen dalam iklim bisnis yang sehat.
Keterbukaan dalam promosi barang atau jasa.
Pemerintah perlu berperan aktif.

pada

Az Nasution, Op.cit., hal.37
Loc.it
A. Zen Umar Purba, Hukum Perlindungan Konsumen, Gramedia, Jakarta, 1992, hal.393-

408

Universitas Sumatera Utara

27

8.
9.
10.

Masyarakat juga perlu berperan serta.
Perlindungan konsumen memerlukan terobosan hukum dalam berbagai
bidang.
Konsep perlindungan konsumen memerlukan pembinaan sikap.

Dalam

penjelasan

UUPK,

disebutkan

bahwa

kedudukan

UUPK

dimaksudkan sebagai landasan hukum yang kuat bagi pemerintahan dan lembaga
perlindungan

konsumen

swadaya

masyarakat

untuk

melakukan

upaya

pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. UndangUndang Perlindungan Konsumen merupakan “payung” yang mengintegrasikan
dan memperkuat penegakkan hukum perlindungan konsumen. Penjelasan UUPK
juga memberikan dasar terbukanya kemungkinan pembentukan undang-undang
baru yang bermaksud untuk melindungi konsumen.
Keberadaan UUPK pada dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari
hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen. Pasal 64 UUPK
menyebutkan bahwa:
“Segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi
konsumen yang telah ada pada saat undang-undang ini diundangkan, dinyatakan
tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan atau tidak benrtentangan
dengan ketentuan dalam undang-undang ini”.
Ketentuan ini dimaksudkan agar tidak terjadi kekosongan hukum di bidang
perlindungan konsumen. Peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur
tentang perlindungan konsumen sebelum diundangkannya UUPK tetap berlaku
sepanjang tidak diatur secara khusus atau tidak bertentangan dengan UUPK.

Universitas Sumatera Utara

28

B.

Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Dalam Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia terdapat beberapa asas

dan tujuan guna memberikan arahan dalam implementasinya. Dengan adanya asas
dan tujuan yang jelas, Hukum Perlindungan Konsumen memiliki dasar pijakan
yang kuat.
1.

Asas Perlindungan Konsumen
Dalam setiap undang-undang yang dibuat pembentuk undang-undang,

biasanya dikenal sejumlah asas atau prinsip yang mendasari diterbitkannya
undang-undang itu. Asas-asas hukum merupakan fondasi suatu undangundang dan peraturan pelaksanaannya. Bila asas-asas dikesampingkan,
maka runtuhlah bangunan undang-undang itu dan segenap peraturan
pelaksanaannya.
Mertokusumo memberikan ulasan asas hukum sebagai berikut:
”...bahwa asas hukum bukan merupakan hukum konkrit, melainkan
merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar
belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap
sistem sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan
dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukan
dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit
tersebut.”20
Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
terdapat lima asas perlindungan konsumen yaitu:
a.

Asas manfaat
Asas ini dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala
upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus

20

Yusuf Shofie (a), Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, cet. 1, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 2002, hal.25

Universitas Sumatera Utara

29

memberikan

manfaat

sebesar-besarnya

bagi

kepentingan

konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan
b.

Asas keadilan
Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan
kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya
dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

c.

Asas keseimbangan
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti
materiil ataupun spiritual.

d.

Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas
keamanan

dan

keselamatan

kepada

konsumen

dalam

penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan atau jasa
yang dikonsumsi atau digunakan.
e.

Asas kepastian hukum
Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun
konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan

perlindungan

konsumen,

serta

negara

menjamin kepastian hukum.

Universitas Sumatera Utara

30

Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, jika diperhatikan
substansinya, maka dapat dibagi menjadi tiga asas, yaitu:21
a.

Asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan
dan keselamatan konsumen;

b.

Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan;
dan

c.

2.

Asas kepastian hukum.

Tujuan Perlindungan Konsumen
Konsumen merupakan pihak yang sangat rentan terhadap perilaku

yang merugikan yang dilakukan oleh pelaku usaha, sehingga konsumen
perlu mendapat perlindungan.
Dengan adanya perlindungan konsumen maka diharapkan tindakan
sewenang-wenang pelaku usaha yang merugikan konsumen dapat
ditiadakan.
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari perlindungan konsumen,
dimuat dalam Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang
menyatakan bahwa:
Perlindungan konsumen bertujuan:
a.
Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri;
b.
Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c.
Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan,
dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

21

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT.Rajagrafindo
Persada, Jakarta, 2000, hal.26

Universitas Sumatera Utara

31

d.

e.

f.

C.

Menciptakan sistem perlindungan yang mengandung unsur kepastian
hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan
informasi;
Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Prosedur Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen
1.

Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan
Penyelesaian sengketa yang timbul dalam dunia bisnis, merupakan

masalah tersendiri, karena apabila para pelaku bisnis menghadapi sengketa
tertentu, maka dia akan berhadapan dengan proses peradilan yang
berlangsung lama dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit, sedangkan
dalam dunia bisnis, penyelesaian sengketa yang dikehendaki adalah yang
dapat berlangsung cepat dan murah. Di samping itu, penyelesaian sengketa
dalam dunia bisnis diharapkan sedapat mungkin tidak merusak hubungan
bisnis selanjutnya dengan siapa dia pernah terlibat suatu sengketa. Hal ini
tentu sulit ditemukan apabila pihak yang bersangkutan membawa
sengketanya ke pengadilan, karena proses penyelesaian sengketa melalui
pengadilan (litigasi), akan berakhir dengan kekalahan salah satu pihak dan
kemenangan pihak lainnya. Di samping itu, secara umum dapat
dikemukakan berbagai kritikan terhadap penyelesaian sengketa melalui
pengadilan, yaitu karena:22
a.

Penyelesaian sengketa melalui pengadilan sangat lambat

22

Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian
Sengketa, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal.240-247

Universitas Sumatera Utara

32

Penyelesaian sengketa melalui pengadilan yang pada umumnya
lambat atau disebut buang waktu lama diakibatkan oleh proses
pemeriksaan yang sangat formalistik dan sangat teknis. Di
samping itu, arus perkara yang semakin deras mengakibatkan
pengadilan dibebani dengan beban yang terlampau banyak.
b.

Biaya perkara yang mahal
Biaya perkara dalam proses penyelesaian sengketa melalui
pengadilan dirasakan sangat mahal, lebih-lebih jika dikaitkan
dengan lamanya penyelesaian sengketa, karena semakin lama
penyelesaian sengketa, semakin banyak pula biaya yang harus
dikeluarkan.

Biaya

ini

akan

semakin

bertambah

jika

diperhitungkan biaya pengacara yang juga tidak sedikit.
c.

Pengadilan pada umumnya tidak responsif
Tidak responsif atau tidak tanggapnya pengadilan dapat dilihat
dari kurang tanggapnya pengadilan dalam membela dan
melindungi kepentingan umum. Demikian pula pengadilan
dianggap sering berlaku tidak adil, karena hanya memberi
pelayanan dan kesempatan serta keleluasaan kepada “lembaga
besar” atau “orang kaya”. Dengan demikian, timbul kritikan
yang menyatakan bahwa “hukum menindas orang miskin, tapi
orang berduit mengatur hukum”.

d.

Putusan pengadilan tidak menyelesaian masalah
Putusan pengadilan dianggap tidak menyelesaikan masalah,
bahkan dianggap semakin memperumit masalah karena secara

Universitas Sumatera Utara

33

objektif putusan pengadilan tidak mampu memuaskan, serta
tidak mampu memberikan kedamaian dan ketentraman kepada
para pihak.
e.

Kemampuan para hakim yang bersifat generalis
Para hakim dianggap mempunyai kemampuan terbatas, terutama
dalam abad iptek dan globalisasi sekarang, karena pengetahuan
yang dimilki hanya di bidang hukum, sedangkan di luar itu
pengetahuannya

bersifat

umum,

bahkan

awam.

Dengan

demikian, sangat mustahil mampu menyelesaikan sengketa yang
mengandung kompleksitas berbagai bidang.
Berdasarkan berbagai kekurangan penyelesaian sengketa melalui
pengadilan itulah, sehingga dalam dunia bisnis, pihak yang bersengketa
dapat lebih memilih menyelesaikan sengketa yang dihadapi di luar
pengadilan.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan juga dikenal dalam UndangUndang Perlindungan Konsumen. Lembaga yang menangani penyelesaian
sengketa di luar pengadilan tersebut adalah “Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen”. Hal ini diatur dalam Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang
Perlindungan

Konsumen,

bahwa:

“pemerintah

membentuk

Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian
sengketa konsumen di luar pengadilan. Sedangkan tugas dan wewenangnya
diatur dalam Pasal 52 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sebagai
berikut:

Universitas Sumatera Utara

34

Tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen meliputi:
a.
melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen
dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
b.
memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
c.
melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
d.
melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran dalam
ketentuan ini;
e.
menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari
konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan
konsumen;
f.
melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan
konsumen;
g.
memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran
terhadap perlindungan konsumen;
h.
memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang
yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini;
i.
meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi,
saksi ahli atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan
huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen;
j.
mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat
bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
k.
memutuskan dan menetapkan ada atau tidaknya kerugian di pihak
konsumen;
l.
memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
m. menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang
melanggar ketentuan undang-undang ini.

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Daerah Tingkat II diatur dalam
Surat Keputusan Menteri (Pasal 53 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen).
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau yang lebih dikenal
dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) dapat ditempuh dengan
berbagai cara. ADR tersebut dapat berupa arbitrase, mediasi, konsiliasi,
minitrial, summary jury trial, settlement conference serta bentuk lainnya.23

23

Ibid, hal.186-169

Universitas Sumatera Utara

35

Sedangkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, arbitrase dibedakan
dari alternatif penyelesaian sengketa, karena yang termasuk dalam alternatif
penyelesaian sengketa hanya konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan
penilaian ahli.
Walaupun terdapat berbagai cara yang dapat ditempuh untuk
menyelesaikan sengketa di luar pengadilan, namun yang akan dibahas lebih
lanjut hanya arbitrase, konsiliasi, dan mediasi sebagaimana yang dikenal
dalam Undang-Undang perlindungan Konsumen.
1)

Arbitrase
Arbitrase dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30
Tahun

1999

tentang

Arbitrase

dan

Alternarif

Pilihan

Penyelesaian Sengketa “Arbitrase adalah cara penyelesaian
suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan
pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa.”24
Keuntungan penyelesaian sengketa melalui arbitrase:25
a)

Penyelesaian lebih cepat

Umumnya prosedur arbitrase dicantumkan dengan batas-batas
waktu penyelesaian dalam setiap tahap penyelesaian sengketa.
Disamping itu, keputusan arbitrase bersifat final dan mengikat
(final and binding) sehingga tidak tersedia upaya naik banding.

24

Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, 2004, hal.142
25
Ibid, hal. 145

Universitas Sumatera Utara

36

b)

Terjaga kerahasiaannya

Proses pemeriksaan sengketa melalui arbiter atau majelis arbiter
dilakukan secara tertutup (Pasal 27) dan tidak ada publikasi.
Para

arbiter

juga

terikat

oleh

ketentuan

untuk

tidak

memberitahukan materi sengketa tanpa seizin seluruh pihak
yang bersengketa.
c)

Biaya lebih rendah

Biaya arbitrase ditentukan oleh arbiter (Pasal 76). Biaya itu
meliputi:
(a)

Honorarium;

(b)

Biaya saksi dan atau saksi ahli yang diperlukan dalam
pemeriksaan sengketa; dan

(c)

Biaya administrasi.

Disamping itu, para arbiter adalah para ahli dan praktisi
dibidang yang menjadi pokok sengketa, serta memiliki reputasi
tinggi sehingga diharapkan mampu memberikan putusan dengan
cepat dan objektif.
2)

Negosiasi
Dalam bahasa sehari-hari kata negosiasi sering kita dengar yang
sepadan dengan istilah “berunding”, “bermusyawarah”, atau
“bermufakat”. Kata negosiasi ini berasal dari bahasa Inggris

Universitas Sumatera Utara

37

“negotiation” yang berarti perundingan. Adapun orang yang
melakukan perundingan dinamakan dengan negotiator.26
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, negosiasi:
a)

b)

Proses tawar-menawar dengan jalan berunding untuk
memberi atau menerima guna mencapai kesepakatan
bersama antara satu pihak (kelompok atau organisasi) dan
pihak (kelompok atau organisasi) yang lain;
Penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan
antara pihak-pihak yang bersengketa.

Dalam Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, tidak menjelaskan secara jelas mengenai pengertian
negosiasi, namun dalam Pasal 6 ayat (2) disebutkan :
“Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif
penyelesaian sengketasebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam
waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya
dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.”
Kata “pertemuan langsung” sebagaimana tersebut dalam
ketentuan Pasal 6 ayat (2) tersebut menunjukkan bahwa
penyelesaian sengketa atau beda pendapat dilakukan melalui
negosiasi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa negosiasi itu adalah
cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang dilakukan
oleh pihak-pihak yang bersengketa atau kuasanya secara
langsung, tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah.
Para pihak yang bersengketa langsung melakukan perundingan
atau tawar-menawar sehingga menghasilkan suatu kesepakatan

26

Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2013, hal. 65

Universitas Sumatera Utara

38

bersama.

Pada

umumnya

kesepakatan

bersama

tersebut

dituangkan secara tertulis.27
3)

Mediasi
Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa
mediasi adalah pengikutsertaan pihak ketiga dalam proses
penyelesaian sengketa. Dalam proses itu pihak ketiga bertindak
sebagat penasihat.
Steven Rosenberg, Esq. Mengartikan mediasi sebagai :
“Method of dispute resolution that is voluntery, confidencial
generaly, and cooperative. Yang secara bebas diartikan bahwa
mediasi adalah metode penyelesaian masalah yang dilakukan
secara sukarela, rahasia dan kooperatif, tidak ada unsur
paksaan.”28
Sehubungan dengan pengertian mediasi, ketentuan dalam Pasal
6

ayat

(3)

Undang-Undang

Arbitrase

dan

Alternatif

Penyelesaian Sengketa menyatakan sebagai berikut :
“Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) tidak dapatdiselesaikan, maka atas kesepakatan
tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan
melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun
melalui seorang mediator.”
Dari beberapa rumusan pengertian mediasi diatas, dapat
disimpulkan bahwa mediasi adalah cara penyelesaian sengketa
diluar pengadilan melalui perundingan yang melibatkan pihak
ketiga yang bersikap netral (non-intervensi) dan tidak berpihak
(impartial) kepada pihak-pihak yang bersengketa serta diterima
kehadirannya oleh pihak-pihak yang bersengketa. Tugas pihak
27
28

Ibid, hal. 66
Salim HS, Op.cit, hal. 156

Universitas Sumatera Utara

39

ketiga hanya membantu pihak-pihak yang bersengketa dalam
menyelesaikan masalahnya dan tidak mempunyai kewenangan
untuk mengambil keputusan. Dengan mediasi diharapkan
dicapai titik temu penyelesaian masalah atau sengketa yang
dihadapi para pihak yang bersengketa, yang selanjutnya akan
dituangkan

sebagai

kesepakatan

bersama.

Pengambilan

keputusan tidak berada ditangan mediator, tetapi ditangan para
pihak yang bersengketa.29
4)

Konsiliasi
Salah satu bentuk penyelesaian sengketa diluar pengadilan
adalah konsiliasi. Konsiliasi diatur dalam Pasal 1 angka 10
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternarif Pilihan Penyelesaian Sengketa. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia disebutkan pengertian konsiliasi adalah suatu
usaha untuk mempertemukan keinginan pihak yang berselisih
untuk mencapai persetujuan dan menyelesaikan perselisihan
tersebut.30
Sedangkan menurut Oppenheim, konsiliasi adalah
“Suatu proses penyelesaian sengketa dengan menyerahkan
kepada
suatu
komisi
orang-orang
yang
bertugas
menguraikan/menjelaskan fakta-fakta dann (biasanya setelah
mendengar para pihak dan mengupayakan agar mereka
mencapai suatu kesepakatan), membuat usulan-usulan suatu
penyelesain, namun keputusan tersebut tidak mengikat.”(dalam
Huala Adolf dan A. Chanderawulan, 1995: 186).

29
30

Rachmadi Usman, Op.cit, hal. 99
Salim HS, Op.cit, hal.155

Universitas Sumatera Utara

40

Inti konsiliasi dalam definisi diatas adalah penyelesaian
sengketa kepada sebuah komisi dan keputusan dibuat oleh
komisi tersebut tidak mengikat para pihak. Artinya bahwa para
pihak dapat menyetujui atau menolak isi keputusan tersebut.
5)

Penilaian ahli
Dalam proses penyelesaian sengketa melalui penilaian ahli, para
pihak yang bersengketa menunjuk seorang ahli yang netral
untuk membuat penemuan fakta-fakta yang mengikat ataupun
tidak, atau bahkan membuat pengarahan materi tersebut secara
mengikat. Penunjukan ini dilakukan sebelum memulai ligitasi.
Bilamana suatu sengketa sudah benar-benar dalam litigasi, ahli
yang netral yang ditunjuk oleh para pihak dapat mengarahkan
para pihak untuk melakukan re-evaluasi estimasi apa kiranya
yang

akan

mereka

peroleh

dan

dalam

menjembatani/

memperpendek perbedaan-perbedaan diantara mereka.
Di samping dikenalnya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen,
usaha lainnya yang dimaksudkan untuk menyelesaikan sengketa konsumen
secara lebih cepat adalah dikenalnya class action dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, yaitu suatu prosedur hukum yang memungkinkan
banyak orang bergabung untuk menuntut ganti kerugian atau kompensasi
lainnya di dalam suatu gugatan.
Ketentuan dalam Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan
Konsumen mengenai class action tersebut dapat dilihat pada ketentuan

Universitas Sumatera Utara

41

mengenai pihak-pihak yang dapat mengajukan gugatan kepada pelaku
usaha, yaitu:
a.

Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang
bersangkutan;

b.

Sekelompok konsumen yang memiliki kepentingan yang sama;

c.

Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang
memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan,
yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas
bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk
kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan
kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;

d.

Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa
yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian
materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.

Berdasarkan ketentuan di atas, maka dasar hukum gugatan kelompok
(class action) semakin kuat, karena gugatan kelompok yang diajukan
selama ini belum memiliki ketentuan tertulis, walaupun dalam kenyataan,
gugatan kelompok tersebut diterima untuk diperiksa oleh pengadilan.
Penyelesaian sengketa yang sederhana bagi konsumen yang tidak
diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah small claim
court atau small claim tribunal, yaitu pengadilan yang tujuan utamanya
adalah untuk mengadakan penyelesaian secara cepat dan murah terhadap
sengketa yang tuntutannya dalam jumlah kecil. Pengadilan ini walaupun
banyak membantu konsumen, namun bukan hanya diperuntukkan bagi

Universitas Sumatera Utara

42

konsumen semata, akan tetapi bahkan pengusaha pun dapat menggunakan
pengadilan ini.
Perbedaan utama antara gugatan melalui small claim tribunal, dengan
pengajuan gugatan pada pengadilan biasa adalah karena pengajuan gugatan
pada small claim tribunal memberikan keuntungan dari segi waktu dan
biaya.
Penyelesaian sengketa melalui small claim tribunal ini melalui dua
tahap utama, tahap pertama adalah tahap konsultasi dengan panitera yang
bertindak sebagai mediator, di mana para pihak mengadakan pertemuan
untuk berusaha mencapai penyelesaian sengketa yang dapat diterima.
Apabila tahap konsultasi tersebut tidak membuahkan hasil, maka gugatan
diteruskan ke tahap yang kedua, yaitu pemeriksaan di depan hakim, di mana
hakim memberikan putusan berdasarkan fakta dan hukum.
Selain kemudahan-kemudahan yang telah disebutkan di atas, UUPK
juga memberikan kemudahan terhadap konsumen yang dirugikan dan
produsen tidak secara sukarela memenuhi tuntutan ganti kerugiannya karena
apabila konsumen mengajukan tuntutan ganti kerugian tersebut kepada
produsen, maka baik pengadilan maupun Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen yang berwenang menyelesaikan tuntutan ganti kerugian tersebut
adalah pengadilan atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen di wilayah
tempat tinggal konsumen. Hal ini berarti bahwa biaya-biaya yang harus
dikeluarkan oleh konsumen untuk menghadiri persidangan dalam kasus
sengketa konsumen dengan produsen akan dapat dihemat.

Universitas Sumatera Utara

43

Berdasarkan berbagai kemudahan konsumen dalam penyelesaian
sengketa di atas, berarti bahwa prinsip peradilan yang sederhana, cepat dan
biaya ringan sebagian dapat diwujudkan.

Universitas Sumatera Utara