HUKUM WARIS ADAT DI INDONESIA new 2 (1)

HUKUM WARIS ADAT YANG MASIH DITERAPKAN DI BEBERAPA DAERAH DI
INDONESIA

DISUSUN OLEH :
Satriyo Ardi Kartono (E1A111002)
Kun Amim Baljun

(E1A111074)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
2012

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang


Di Indonesia terdapat tiga macam sistem hukum positif yang masih berlaku
sementara, selama belum lahirnya hukum yang baru berdasarkan Pancasila dan UUD
1945. Ketiga macam sistem hukum tersebut, yaitu sistem hukum Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), sistem hukum waris adat dan sistem hukum waris
islam berdasarkan atas ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 (sebelum
amandemen), yang setelah amandemen berubah menjadi Pasal I Aturan Peralihan UUD
1945.
Hukum waris adat merupakan bagian dari hukum hindia belanda yang menjadi
hukum positif Indonesia.Hukum waris adat masih diberlakukan sampai saat ini, melihat
dari nilai-nilai yang terkandung di dalamnya yang masih sesuai dengan perkembangan
zaman masyarakat. Di Indonesia, masih terdapat beberapa daerah yang masih kental
dengan hukum adatnya, sehingga hukum waris adatnya pun masih kental di beberapa
daerah.
Walaupun sebenarnya ada sistem hukum lain yang masih berlaku di Indonesia,
yaitu sistem hukum KUHPerdata (BW) dan sistem hukum islam. Nampaknya sistem
hukum KUHPerdata (BW) dengan lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
secara materiil tidak berlaku, karena berdasarkan asas lex specialis derogat legi generalis.
Dengan kata lain, sistem hukum KUHPerdata tidak berlaku apabila ada hukum baru atau
undang-undang baru yang mengatur hal yang sama, undang-undang yang baru tersebut
yaitu UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

2

Namun sistem hukum KUHPerdata (BW) masih berlaku bagi orangyang
menggunakan sistem hukum BW sebelum lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. sedangkan untuk sistem hukum waris islam, dengan lahirnya UU No. 7
Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama. Maka orang yang beragama islam mengajukan
gugatan ke Pengadilan Agama, sedangkan untuk orang yang beragama non-islam dapat
mengajukan ke Pengadilan Negeri. Dengan adanya produk hukum baru yang berbentuk
undang-undang, sangat berpengaruh terhadap ketiga sistem hukum waris yang masih
berlaku di Indonesia.
Pertanyaan selanjutnya yaitu, “bagaimana ketika seseorang yang beragama islam
yang berdomisili di daerah yang masih kental sistem hukum waris adatnya, memilih
sistem hukum waris islam atau sistem hukum waris adat?” untuk itu dengan adanya
makalah ini, kami akan menjelaskan bagaimana menjawab permasalahan tersebut, selain
itu kami juga akan membahas pembagian warisan berdasarkan hukum waris adat di
beberapa daerah di Indonesia.

3

B. Rumusan Masalah

a. Bagaimana perkembangan hukum waris adat di Indonesia?
b. Bagaimana ketika orang dihadapkan antara memilih sistem hukum waris islam
dengan sistem hukum waris adat?
c. Bagaimana pembagian harta waris berdasarkan Hukum Waris Adat di beberapa daerah
di Indonesia ?

4

BAB II
PEMBAHASAN

A. perkembangan Hukum Waris Adat di Indonesia
Hukum waris adat menurut Ter Haar (1960), adalah aturan-aturan hukum yang
bertalian dengan proses dari abad ke abad, penerusan, dan peralihan harta kekayaan yang
berwujud (materiil) dan tidak berwujud (inmateriil) dari satu generasi kepada generasi
berikutnya.
Sedangkan menurut Soepomo (1986), hukum adat waris adalah memuat
peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barangbarang harta benda dan benda yang tidak berwujud (inmateriil goederen) dari satu
angkatan manusia (generati) kepada turunannya1.
Seperti masyarakat pada umumnya, mereka selalu mengalami perubahan sosial

(dinamis) dikarenakan kebiasaan masyarakat selalu berkembang, tidak seperti hukum
yang tertulis yang kadang tidak sesuai dengan perkembangan zaman masyarakat.
Perubahan tersebut akan berpengaruh dan menimbulkan perubahan hukum secara umum,
dan perubahan hukum waris adat secara khusus. Perubahan tersebut, terutama terlihat
pada munculnya harta bersama dan hak mewaris anak perempuan pada masyarakat
patrilineal dan hak mewaris anak-anak kepada harta suarang bapaknya pada masyarakat
matrilineal, dan juga perkembangan adanya hak mewaris bagi janda atau duda2.
Maksud dari patrilineal dan matrilineal sendiri pada kutipan di atas adalah sistem
pewarisan yang berkaitan dengan sistem keturunan (sistem kekerabatan atau sistem
kemasyarakatan). Sistem pewarisan itu sendiri dibagi menjadi tiga sistem yaitu :
1. Sistem Patrilineal
Sistem keturunan yang ditarik menurut garis keturunan bapak.
2. Sistem Matrilineal
Sistem keturunan yang ditarik menurut garis keturunan ibu.

1Subekti, Trusto. Hukum Waris Adat edisi kedua.2013. hal 15
2Ibid hal 19

5


3. Sistem Parental atau Bilateral
Sistem keturunan yang ditarik menurut garis orang tua atau menurut garis dua
sisi bapak dengan ibu.
Dengan adanya ketiga sistem pewarisan diatas, hukum waris adat tidak bisa lepas
dari corak dan warna dari ketiga sistem keturunan diatas.
Sebelumnya diketahui bahwa, kedudukan ahli waris disaat sebelum Indonesia
merdeka adalah mereka yang memiliki hubungan darah dengan pewaris. Dengan
demikian, pengertian ahli waris sebelum kemerdekaan selalu dikaitkan dengan hubungan
darah. Dengan adanya pendapat tersebut, ini mengakibatkan janda bukan menjadi ahli
waris karena tidak memiliki hubungan darah dengan suaminya. Tetapi, setelah dibuatnya
keputusan Mahkamah Agung pada tanggal 23 Oktober 1957 No. 130 K/Sip/1957,
Mahkamah Agung menetapkan bahwa janda dari pewaris beserta anak-anaknya,
bersama-sama berhak atas harta warisan almarhum suaminya 3. Tetapi dalam hal ini
Mahkamah Agung masih belum menggunakan istilah “ahli waris” untuk seorang janda,
hanya saja disini kita dapat melihat salah satu perkembangan hukum waris adat
khususnya tentang kedudukan seorang janda, yang sebelumnya tidak berhak
mendapatkan harta warisan dikarenakan tidak adanya hubungan darah. Namun,
selanjutnya oleh Mahkamah Agung memberi hak atas harta warisan kepada janda.
Tetapi, untuk harta warisan berupa barang pusaka, menurut putusan ke III dari
Raad Yustisi Jakarta tanggal 17 Mei 1940, yang berhak adalah silsilah ke bawah. Jika

pewaris tidak memiliki silsilah kebawah (anak) maka harta kembali ke tangan keluarga.
Dengan kata lain, istri dari pewaris tidak berhak atas warisan barang pusaka tersebut.
Seiring dengan perkembangannya zaman, janda semakin diakui sebagai ahli
waris. Ini berdasarkan keputusan Mahakamah Agung pada tanggal 25 Februari 1958 No.
387 K/Sip/1958, yang berisi bahwa, janda memiliki hak mewarisi separuh harta gonogini (harta milik bersama dari suami dan istri yang diperoleh selama perkawinan). Dan
pada tahun 1960 Mahkamah Agung resmi menetapkan janda sebagai ahli waris dari
almarhum suaminya.

3Bocah-sinau.blogspot.com/2011/06/perkembangan-dan-perubahan-hukum-waris.html

6

Pada dasarnya, saat ini ada dua sistem hukum waris yang sama-sama berlaku
pada masyarakat yang sama sebagai subjek hukumnya. Kedua sistem hukum waris
tersebut antara lain hukum waris islam dan hukum waris adat. Kedua sistem hukum
waris tersebut saling mengisi kekosongan hukum kewarisan sesuai budaya hukum yang
berlaku di lingkungan adat masyarakat Indonesia. Salah satu contohnya yaitu, dalam
hukum waris islam mempengaruhi hukum waris adat pada penggunaan istilah hibah
untuk menyebut perbuatan hukum yang bersifat sepihak, yang berarti pemberian kepada
orang lain secara cuma-cuma dan penggunaan kriterium 1/3 harta sebagai batasan harta

hibah yang ditoleransikan dalam kaitannya dengan pembagian warisan yang berbarengan
adanya hibah wasiat yang dapat merugikan para ahli warisnya 4. Selanjutnya, hukum
waris adat sebagai wujud dari kebiasaan yang hidup di dalam masyarakat, melalui pintu
ijtihad diterima sebagai hukum, seperti yang terdapat di dalam kompilasi hukum islam.

4 Ibid hal 16

7

B. Ketika Orang Dihadapkan Antara Memilih Sistem Hukum waris Islam atau
Sistem Hukum Waris Adat.

Di setiap Sistem Hukum waris terdapat perbedaan, seperti halnya sistem
hukum waris KUHPerdata (BW), sistem hukum warisislam dan sistem hukum waris
adat. Ketiga sistem tersebut terdapat perbedaan. Misalnya seperti, di dalam sistem
hukum waris islam, anak angkat haram menjadi ahli waris, karena pengangkatan anak
angkat adalah semata-mata karena kepedulian semata. Berbeda dengan sistem hukum
waris adat, anak angkat mempunyai hak waris terhadap harta kekayaan orang tua
angkatnya, dengan kata lain bahwa anak angkat di akui sebagai anak kandung oleh
masyarakat adat setempat.Sedangkan dalam sistem hukum KUHPerdata (BW), anak

angkat dapat menjadi ahli waris, tetapi harus mengajukan permohonan pengangkatan
anak terlebih dahulu di persidangan.
Namun, ketika seseorang di hadapkan antara memilih sistem hukum waris
KUHPerdata, sistem hukum waris islam, dan sistem hukum waris adat. Pastilah orang
akan memilih sistem hukum waris yang menguntungkan baginya dan/ atau tidak akan
memilih sistem hukum waris yang merugikan baginya.Parahnya lagi Pengadilan
Agama dan pengadilan negeri saling mengklaim berwenang untuk menerima,
memeriksa dan memutus perkara kewarisan tersebut.Akibatnya menjadi fenomena
hukum tersendiri, yang pada akhirnya Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya
murah hanya sebatas slogan-slogan saja.
Dengan adanya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 diubah dengan UndangUndang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang
Pengadilan Agama diharapkan untuk memangkas “choice of law” dalam Hukum
Kewarisan. Dalam Penjelasan Umum telah dinyatakan “Bahwa Para Pihak sebelum

8

berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan
dalam pembagian warisan, dinyatakan dihapus”.
Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 oleh Undang-Undang No. 3
Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama, menimbulkan efek terkait eksistensi dari Pengadilan Agama dan juga
kewenangannya. Sebagaimana di dalam Pasal 49 menyatakan “Pengadilan Agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang : Perkawinan, Waris,
Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infaq, Shadaqah dan Ekonomi Syariah”
Untuk warga beragama Islam dalam sengketa hukum waris, idealnya
menggunakan hukum waris islam sebagai hukum yang digunakan. Sedangkan hukum
waris KUH Perdata (BW) dan juga hukum waris adat tidak berlaku dan tidak
mengikat. Sedangkan untuk warga beragama non-Islam, hukum yang digunakan yaitu
bisa berupa hukum waris KUH Perdata (BW), ataupun hukum waris adat, sedangkan
hukum waris islam tidak mengikat.
Kemudian yang mempermasalahkan pembagian harta warisan apakah
menganut dan tunduk pada hukum islam maupun adat atau KUH Perdata, dalam
perundangan tersebut tidak diberikan suatu solusi yang dapat menengahi persoalan
yang telah mengakar meskipun undang-undang menyatakan pilihan hukum telah
dihapus.
Ada beberapa aspek terkait Pilihan Hukum (choice of law) yakni,
1. Pendapat Para Ahli Hukum
Dalam bukunya yang berjudul “Pokok-Pokok Hukum Perdata”, Subekti
menyatakan bahwa, ketentuan pilihan hukum memberikan hak pilihan dalam

penyelesaian sengketa kewarisan.Bahkan dalam sistem hukum barat, para ahli waris

9

diberi hak pula untuk menerima penuh, menolak, atau menerima dengan bersyarat
atas warisan pewaris. Sedangkan menurut Sudargo Gautama dalam bukunya “Segisegi hukum antar tata hukum pada Undang-undang Peradilan Agama” menyatakan
bahwa setiap bidang hukum perdata termasuk kewarisan bersifat mengatur
“regelend” dan tidak bersifat memaksa “dwingen” dan dapat disahkan melalui
persetujuan pihak-pihak yang bersengketa. Hakim tidak berwenang memaksa pilihan
hukum tertentu bagi para pihak.Sehingga dimungkinkan adanya pilihan hukum
(choice of law).

2. Dari segi Asas-Asas Hukum
a. Hakim Tidak boleh Menolak suatu Perkara yang diajukan kepadanya.
Bahwa beberapa hakim yang menerima, memeriksa dan memutus sengketa
waris terkadang berlindung pada asas ini, yakni hakim tidak boleh menolak perkara
yang diajukan kepadanya.Sebagaimana telah diungkapkan dimuka bahwa hakim
terkadang mengklaim dirinya (wilayah kewenangan) berwenang untuk menerima,
memeriksa dan memutus suatu sengketa waris baik yang beragama Islam maupun
yang berbeda agama bagi Para Ahli Warisnya.Sehingga dalam prakteknya beberapa

hakim masih menerima dan memeriksa bahkan memutus atau mengklaim
institusinya berwenang, walau ada Asas Personalitas Ke-Islaman.Yang mana
menjadi persoalan disini, personalitas ke-Islaman tersebut apakah ahli waris atau
pewarisnya.
b. Asas Personalitas Ke-Islaman.
Berdasarkan Pasal 2 jo. Pasal 49 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama jo. Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU
No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, menetapkan asas dasar atau sentral

10

adalah Personalitas Ke-Islaman, sehingga hal tersebut membawa konsekuensi
hukum, bahwa masalah kewarisan bagi orang islam atau setiap orang islam, bila
terjadi sengketa, maka kewenangan mengadili ada pada Pengadilan Agama bukan
Pengadilan Negeri. Jadi berdasarkan Asas ini, tidak ada lagi pilihan hukum dan
telah jelas, bagi yang beragama islam di Pengadilan Agama dan bagi Non-Islam di
Pengadilan Negeri, sehingga tidak lagi melihat mau tunduk hukum apa? Apakah
adat atau KUH Perdata, karena permasalahan ini dilihat personalitasnya.Kemudian
dalam tataran praktek, masalah personalitas ini masih menjadi perdebatan, apakah
personalitas dari pewaris atau ahli warisnya?disisi lain yang memiliki harta adalah
pewaris, namun yang ditinggalkan/ahli waris yang saling bersengketa. Sebagai
contoh; Pewaris beragama Islam, ahli waris ada tiga anak (satu anak laki-laki
beragama Islam, dua perempuan beragama non-islam) dimana dua orang anak
perempuan meminta pembagian diselesaiakan di Pengadilan Negeri (karena secara
kekeluargaan tidak ditemui penyelesaian) agar nantinya mendapatkan harta waris
dan bagian 1:1, kemudian pihak laki-laki mengajukan ke PA dengan melihat
personalitas dari Pewaris dan tunduk pada hukum Islam, karena saling berseteru,
akhirnya sama-sama mengajukan ke dua wilayah Peradilan (Pengadilan Agama
bagi yang beragama Islam dan tunduk hukum islam atau Pengadilan Negeri bagi
yang berkeinginan “pemerataan hak” dan mendapatkan bagian 1:1 serta tunduk
pada hukum adat/KUH Perdata).Sebagaimana telah diungkapkan diatas, hal
tersebut semakin diperparah ketika para Penegak Hukum di wilayah pengadilan
juga sama-sama saling mengklaim dirinya berwenang memeriksa, mengadili dan
memutus atas sengketa termaksud.Dan bila sengketa itu sama-sama jalan, maka
pada akhirnya hanya meminta fatwa dari Mahkamah Agung, dimana membutuhkan
waktu yang tidak pendek.

11

c. Asas Lex Specialis derogate legi generali, lex posteriori derogate lex priori.
Merujuk pada Asas Lex speciali derogate legi generali artinya aturan yang
khusus mengalahkan aturan yang umum. Sedang lex posteriori derogate lex priori
artinya aturan yang lama (yang berlaku terdahulu) dikalahkan/dibatalkan aturan
yang baru (berlaku belakangan). Bahwa dalam sistem hukum di Indonesia
menganut beberapa sistem sebagai akibat dari pluralisme hukum, yakni Hukum
Adat, Hukum Islam dan Hukum KUH Perdata(BW). Dimana ketiganya mencakup
masalah kewarisan.
Maka UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama yang merupakan Undang-Undang Khusus. Oleh karenanya atas
dasar Asas Lex Specialis derogate Legi Generali, maka Undang-Undang yang
berlaku bagi mereka yang beragama Islam adalah UU No. 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Oleh karena itu
berdasarkan Asas Lex Posteriori derogate lex priori, maka aturan yang berlaku
adalah Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama. Sehingga dengan berdasar dari Asas-Asas tersebut
seharusnya Undang-Undang Peradilan Agama dapat menyisihkan Undang-Undang
Peradilan Umum dalam hak kewenangan mengadili perkara Kewarisanbagi orangorang Islam.
Untuk menyelesaikan permasalahan yang menyangkut hukum waris adat suatu
daerah, hakim harus mengetahui hukum waris adat di daerah yang ia tangani. Jika
hakim tidak tahu hukum waris adat di daerah yang bersangkutan, maka hakim yang
menangani permasalahan waris adat daerah yang bersangkutan dapat bertanya kepada
tokoh atau sesepuh dari daerah yang bersangkutan agar mengetahui bagaimana sistem
12

hukum waris adatnya, bagaimana cara pembagian harta warisannya, siapa saja yang
dapat menjadi ahli waris, dan sebagainya. Sehingga hakim dalam menyelesaikan
perkara di pengadilan di anggap mengetahui hukumnya.

13

C. Pembagian harta waris berdasarkan Hukum Waris Adat di beberapa daerah di
Indonesia
Di Indonesia memang menerapkan pilihan hukum (choice of law) dikarenakan
sistem hukum di Indonesia bersifat pluralisme. Jika terdapat sengketa, kita bisa
memilih hukum mana yang akan digunakan. Jika hukum waris adat yang dipilih,
bagaimanakah pembagian harta warisannya?
Jika kita melihat daerah Batak, kedudukan perempuan tidak seimbang dengan
kedudukan laki-laki dam hal warisan.Ini disebabkan, masyarakat hukum Batak
menganut ajaran sistem patrilineal.Artinya, masyarakat hukum Batak menggunakan
sistem keturunan yang ditarik menurut garis keturunan bapak.
Jadi, misalnya pewaris (suami), yang berhak menjadi ahli warisnya yaitu garis
lurus kebawah, selanjutnya keatas, dan kesamping yang laki-laki. Artinya, yang berhak
pertama kali mendapat harta warisannya yaitu anak laki-laki dari sang pewaris. Jika
tidak memiliki anak laki-laki, diberikan kepada orang tua(ayah) sang pewaris. Jika
telah meninggal orang tua (ayah) pewaris, diberikan kepada saudara laki-laki sang
pewaris.
Setelah mengetahui model hukum waris adat Batak, bisa diketahui bahwa
kedudukan istri sang pewaris bukans ebagai ahli waris. Sang istri dari pewaris dalam
sistem hukum adat Batak, tidak berhak untuk menguasai harta peninggalan dari
pewaris. Tetapi, istri hanya berhak untuk memelihara dan menikmati harta bawaan
tersebut, sepanjang dia masih dalam ikatan perkawinan yang sama, atau sampai dia
menikah lagi. Jika sang istri menikah lagi, penguasaan harta warisan dari sang pewaris
diserahkan kepada anak laki-laki, orang tua (ayah), dan juga saudara laki-laki dari sang
pewaris.

14

Selanjutnya, jika kita melihat daerah Bali, sistem yang dianut daerah ini sama
halnya dengan daerah Batak, yaitu patrilineal. artinya, anak laki-laki sebagai ahli waris
dalam keluarganya, sedangkan perempuan hanya mempunyai hak untuk menikmati
harta peninggalan orang tua atau harta peninggalan suami. Hal ini disebabkan adanya
putusan Mahkamah Agung No. 200 K/Sip/1958 tanggal 5 Desember 1958, yang isinya
menyatakan bahwa “Menurut hukum Adat Bali, yang berhak mewaris hanyalah
keturunan pria dan pihak keluarga pria dan anak angkat lelaki; Maka Men Sardji
sebagai saudara perempuan bukanlah akhli waris dan mendiang Pan Sarning”
Tetapi, terdapat perubahan yang bisa membawa cukup kenikmatan bagi kaum
masyarakat perempuan Bali dalam hal pewarisan. Pada tahun 2010, dikeluarkannya
Keputusan Majelis Utama Dea Pakraman Bali (MUDP) Bali No. 01/KEP/PSM-3/MDP
Bali/X/2010, tanggal 15 Oktober 2010, tentang Hasil-Hasil Pasamuhan Agung III
MUDP Bali (Keputusan Pasamuhan Agung III/2010).
Di dalam keputusan tersebut diputuskan bahwa, kedudukan suami-istri dan
anak terhadap harta pusaka dan harta gunakaya, termasuk hak waris anak perempuan
(anak kandung dan juga anak angkat).
Menurut Prof. Dr. Wayan P. Windia S.H., M.Si. pakar hukum adat FH Unud
menyatakan “Sesudah 2010 wanita Bali berhak atas warisan berdasarkan Keputusan
Pesamuan Agung III MUDP Bali No. 01/Kep/PSM-3MDP Bali/X/2010, 15 Oktober
2010. Di SK ini, wanita Bali menerima setengah dari hak waris purusa setelah
dipotong 1/3 untuk harta pusaka dan kepentingan pelestarian. Hanya jika kaum wanita
Bali yang pindah ke agama lain, mereka tak berhak atas hak waris. Jika orang tuanya
ikhlas, tetap terbuka dengan memberikan jiwa dana atau bekal sukarela.”

15

Sementara itu, untuk masyarakat Tionghoa di daerah Palembang, pembagian
harta warisan dilakukan pada saat pewaris meninggal dunia.Dimana kedudukan anak
laki-laki tertua atau sulung lebih tinggi dari anak perempuan.Karena, anak perempuan
hanya berhak atas harta berupa perhiasan saja, sedangkan anak laki-laki harus
memperoleh jumlah yang lebih besar dari anak perempuan.Sistem hukum yang
digunakan dalam pembagian harta waris di dalam masyarakat Tionghoa daerah
Palembang ini menggunakan sistem hukum adat Tionghoa.
Pembagian harta warisan dalam adat Tionghoa memiliki orientasi pembagian
terhadap harta-harta pusaka keluarga, seperti abu leluhur, rumah peninggalan keluarga
besar (rumah gede) dan perhiasan keturunan.
Pembagian harta warisan pada masyarakat Tionghoa di Palembang diatur
sebagai berikut :
1. Perolehan anak laki-laki dan anak perempuan adalah 1 banding setengah (1:1/2),
2. Perolehan janda (orang tua yang ditinggal) disamakan dengan perolehan anak
perempuan, yaitu setengah (1/2),
3. Harta warisan baru dapat dibagi kepada ahli waris setelah orang tua meninggal,
janda meninggal dunia, atau menikah kembali,
4. Anak lai-laki tertua diberikan kuasa untuk mengolah atau mengurus harta warisan
keluarga.
Dari hal-hal diatas, bisa diketahui bahwa, pembagian warisan pada masyarakat
Tionghoa di Palembang menempatkan dominannya posisi anak tertua laki-laki sebagai
ahli waris yang paling utama, tetapi dengan beberapa pengecualian metode patrilineal
tersebut diatas dapat dikesampingkan.

16

Penyimpangan yang dimaksud antara lain, dimungkinkan apabila diketahui
secara umum bahwa anak laki-laki memiliki sifat jelek, cacat mental atau sebab
lainnya yang diperkirakan tidak berkenan bagi pewaris. Disinilah letak alkulturasi
budaya yang terjadi dalam masyarakat Tionghoa Palembang.Ini membedakan hal-hal
dasar yang terjadi dalam masyarakat Tionghoa asli (China). Di Palembang, pilihan ahli
waris pada anak perempuan tidak menjadi persoalan yang besar, meskipun secara
umum pembagian waris anak laki-laki dan perempuan satu berbanding setengah
(1:1/2), ini hanya berupa dasar perhitungan, bukan menjadi baku didalam kehidupan
masyarakat.

17

KESIMPULAN

Di dalam sistem hukum waris adat, terdapat sistem pewarisan. Sistem
pewarisan itu sendiri dibagi menjadi tiga sistem yaitu :
1. Sistem Partilineal
Sistem keturunan yang ditarik menurut garis keturunan bapak.
2. Sistem Matrilineal
Sistem keturunan yang ditarik menurut garis keturunan ibu.
3. Sistem Parental dan Bilateral
Sistem keturunan yang ditarik menurut garis orang tua atau menurut garis dua
sisi bapak dengan ibu.
Dengan adanya ketiga sistem pewarisan diatas, hukum waris adat tidak bisa
lepas dari corak dan warna dari ketiga sistem keturunan diatas.
Selain itu, hukum waris adat saling mengisi kekosongan dengan hukum waris
islam, sesuai budaya hukum yang berlaku di lingkungan adat masyarakat Indonesia.
Terkait pilihan hukum, dalam pembagian harta warisan masih dapat
dimungkinkan, mengingat alasan Bahwa Indonesia menganut sistem pluralisme
hukum, yakni memberlakukan dengan beberapa alternatif dimana alternatif tersebut
juga berkembang dan diakui di masyarakat Indonesia yakni apakah menggunakan dan
tunduk pada hukum Islam, adat ataupun BW. Adapun di Indonesia berkait masalah
adat masih berlaku sangat kental dan alasan yang lain yakni aturan yang berlaku
(didalam UU No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama), tidak secara tegas mengatur persoalan penyelesaian pembagian
harta waris bagi Pewaris yang beragama Islam (personalitas Keislaman Pewaris) atau
18

Non-Islam, Sehingga masih membuka celah bagi Para Penegak Hukum maupun
masyarakat memilih cara yang menguntungkan salah satu pihak, meskipun dalam
Penjelasan Umum telah dinyatakan “ Para Pihak sebelum berperkara dapat
mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian
warisan, dinyatakan dihapus”.
Dengan melihat beberapa contoh cara pembagian harta warisan dari beberapa
daerah di Indonesia, bisa kita ketahui bahwa, setiap daerah yang mana mengajukan
hukum waris adat di dalam sengketa, pihak ahli waris laki-laki lebih diuntungkan
dibandingkan dengan pihak perempuan. Bahkan ada yang sama sekali mendapatkan
harta waris sama sekali. Ini berarti, banyak di daerah Indonesia yang menggunakan
sisitem pewarisan Partilineal, jika menggunakan hukum waris adat.Hanya saja ada
beberapa pengecualian dari tiap-tiap daerah yang berbeda.

19

DAFTAR PUSTAKA

Subekti, Trusto. Hukum Waris Adat edisi kedua.2013.
Balisruti, Suara Millenium Development Goals.(MDGs), Edisi No. 1 Januari-Maret
2011

20