PACARAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM (3)

PACARAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Dalam kehidupan seorang anak manusia pastilah ada rasa suka terhadap lawan jenis. Apakah itu
hanya sekedar suka, senang, simpati, kagum bahkan rasa ingin memiliki orang yang di cintai itu.
Perasaan tersebut wajar dan memang merupakan fitrah/instink (gharizatun nau) bagi manusia.
Dalam hal ini setiap manusia pasti mempunyai kecenderungan ingin melestarikan hidupnya
sebagai khalifah di muka bumi. Namun di dalam perjalanannya, banyak manusia yang terjebak
pada kesesatan dan kemaksiatan dalam menggapainya. Karena mereka banyak terperangkap
dengan pergaulan bebas yang di namakan pacaran. Padahal pergaulan tanpa di dasarkan pada
keimanan sangat berisiko tinggi terlebih lagi bagi para remaja. Menurut Nursanita Nasution SE
ME, -Ketua Departemen Kewanitaan Partai Keadilan- “pacaran kalaupun ada, hanyalah
merupakan sarana untuk saling kenal, bertukar informasi, bertukar pikiran, dan hanya
pengenalan sebatas mental untuk di kenalkan dengan keluarga masing-masing. Kalau memang di
rasa sudah tidak terbendung lagi perasaannya, lebih baik nikah” ujarnya. Hal senada
diungkapkan pula oleh seorang penyanyi dan artis film Muchsin Alatas “Pacaran sebenarnya
adalah tradisi non Muslim yang berkembang di Indonesia. Pengaruh Barat itulah yang membuat
pergaulan remaja kita sangat permisif”. Kemudian yang menjadi masalah sekarang adalah
bagaimana cara menyalurkan perasaan tersebut jika hal itu telah bersemayam di hati kita ?
Beberapa tanggapan tentang pacaran.
Menurut kaum ‘sekuler’ masalah pacaran boleh saja dan tidak perlu dihalang-halangi apalagi di
larang asalkan suka sama suka. Jawaban ini didasarkan atas adanya ide kebebasan individu dan
Hak Asasi Manusia (HAM). Menurut hukum ini manusia bebas melakukan apa saja sesuai

dengan kehendak. Jadi menurut mereka yang berpendapat seperti ini pacaran dianggap boleh
berdasarkan dalil ‘kebebasan individu’ asal tidak merugikan dan mengganggu hak-hak orang
lain.
Ada juga pendapat yang membolehkan pacaran asal tidak melakukan ‘sesuatu’ yang berakibat
kehamilan di luar nikah. Kelompok ini punya dalil bahwa hal-hal yang wajar dilakukan seperti
jalan berdua, berpegangan tangan, berpelukan, berciuman, nonton bareng, bahkan ikut ‘bobo’ di
rumah pasangan tidak mengapa, asalkan tidak melakukan aktivitas ‘bersebadan’ dengan pacar.
(Na’udzu billah).
Ada juga kelompok yang mengatakan bahwa pacaran, berperilaku serba bebas (Permisivisme),
jalan berdua, atau bersepi-sepian merupakan sesuatu yang tidak boleh. Tetapi kalau untuk
telepon, surat-menyurat hal itu boleh saja karena tidak terjadi interaksi langsung. Menurut
pendapat ini hal tersebut telah sesuai dengan norma-norma syari’at Agama.
Islam merupakan agama yang sempurna. Di dalam menjawab persoalan tersebut, Islam
memandang bahwa sebelum menyatakan suatu perbuatan itu boleh atau tidak, maka perlu
diselidiki fakta mengenai perbuatan yang akan dihukumi tersebut. Termasuk dalam hal ini
fenomena pacaran. Pada faktanya pacaran merupakan suatu bentuk interaksi diantara dua insan
yang saling menyukai di luar hubungan yang sah (nikah). Aktifitas pacaran yang paling ringan
adalah surat-menyurat atau saling telepon kemudian bertemu untuk menumpahkan perasaan
masing-masing sampai akhirnya dilaksanakan perbuatan serba boleh itu. Atau kegiatan yang
berada di antara yang disebutkan tadi.


Secara fakta, kenapa ajaran Islam melarang terhadap aktifitas yang satu ini?
1. Untuk menjaga diri dari kemaksiatan; karena orang yang berpacaran seringkali lepas kendali
dari norma-norma ajaran Islam yang menjadi batasan bagi dua insan bukan mahrom yang
berlainan jenis tanpa tali pernikahan.
2. Karena akan mendapat kerugian, disadari atau tidak orang tersebut telah merugikan diri
sendiri dengan cara mengorbankan waktu maupun dana, khususnya bagi generasi muda Islam,
baik dari kalangan anak sekolah, mahasiswa, santri, remaja masjid, karyawan dan sebagainya
yang ingin hidupnya terhindar dari sipat boros. Karena dana-dana yang dimiliki baik pemberian
orang tua maupun hasil dari kerja sendiri tentunya tidak ingin kalau hartanya itu tidak
bermanfaat. Apalagi dipakai untuk sesuatu yang akan menimbulkan bencana dan dosa.
Bagaimana menurut hukum Islam?
Islam menyandarkan sesuatu bukan berdasarkan akibat dilapangan. Melainkan Islam
memandang kepada kekuatan dalil-dalil syara’ yang merupakan hukum dari Allah SWT yang
Maha Mengetahui hakekat kehidupan manusia, dalam hal ini Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji.
Dan suatu jalan yang buruk” (QS. Al-Israa : 32).
Selanjutnya Rasulullah SAW bersabda:
“Hai golongan pemuda ! Barangsiapa diantara kamu mampu menikah, hendaklah ia nikah,
karena yang demikian itu amat menundukkan pemandangan dan amat memelihara kehormatan,

tetapi barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah ia puasa, karena (puasa) itu menahan
nafsu baginya”. (HR. Bukhori-Muslim).
Berdasarkan dalil diatas, maka dalam menyikapi pacaran, syari’at Islam telah memberikan
jawaban bagi mereka yang mau terikat dengan hukum-hukum-Nya, yaitu:
Pertama; Melarang semua aktifitas yang mendekati kepada perbuatan zina, termasuk di
dalamnya aktivitas pacaran.
Kedua; Islam menganjurkan kepada manusia untuk segera menikah bagi yang telah mampu
(mental maupun finansial) dengan melalui proses ‘khitbah terlebih dahulu.
Ketiga; Melaksanakan ibadah puasa merupakan alternatif akhir jika dirasa belum mampu untuk
melakukannya.
Dengan demikian, maka pacaran merupakan sesuatu yang ‘dilarang dalam Islam’. Tetapi,
janganlah meninggalkan nikah karena rasa takut, sebab Rasulullah saw pernah bersabda
“Barangsiapa m