RANCANG BANGUN MODEL GENERAL EDUCATION M

RANCANG BANGUN MODEL GENERAL EDUCATION
MELALUI PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER PADA
MKWU BAHASA INDONESIA DI PERGURUAN TINGGI
Eko Kuntarto, 2016
Universitas Jambi
E-mail: abieko28@gmail.com
ABSTRAK
Dewasa ini terjadi penyimpangan yang sangat memprihatikan pada perilaku
mahasiswa. Hal itu berakibat pada kurang kompetitifnya lulusan perguruan tinggi
(PT) di Indonesia dalam persaingan era global. Di samping itu kini muncul
kritikan tentang kualitas lulusan PT, seperti ketidaksesuaian antara kebutuhan dan
ketersediaan luaran, rendahnya kemampuan English proficiency, leadership, IT
skills, serta menurunnya waiting time bagi para lulusan PT untuk mendapatkan
pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya.
General Education (GE) dilaksanakan melalui penguatan capaian
pembelajaran, dengan mengintegrasikan pendidikan karakter, bertujuan untuk
memperkuat kompetensi mahasiswa dalam berkompetisi dengan membawa nilainilai luhur. GE menjadi sarana pengembangan kemampuan dan keterampilan
mahasiswa pada aspek komunikasi (tulis dan orasi/diskusi), berpikir kritis dan
analitis, kepercayaan diri, menyerap dan memakai nilai kultural universal. Tujuan
GE tersebut sangat gayut dengan MKWU Bahasa Indonesia.
Makalah ini berisi usulan rancang bangun penyusunan model pembelajaran

General Education, dengan mengintegrasikan pendidikan karakter pada MKWU
Bahasa Indonesia melalui Research and Development. Rancang bangun tersebut
dilaksanakan dalam tiga tahapan, yaitu: a. konsep, b. produk, dan c. ujicoba
melalui penelitian tindakan dan quasi eksperimen.
Melalui rancang bangun ini diharapkan hasil sebagai berikut: (1) bahan ajar
sebagai model pendidikan karakter yang berbasis ideologi Lima-I, yang didesain
berdasar teori ADDIE; (2) learning outcome pendidikan karater dasar, yaitu Iman
dan Takwa, Humanity, Leadership, Communication, IT Skills, Analytical
Thinking, Creative Thinking, Logical Thinking, Global Culture Awareness,
Gramatical, dan Retorica .
Kata kunci: general education, pendidikan karakter, MKWU Bahasa Indonesia.
PENDAHULUAN
Kalangan mahasiswa, remaja, dan pemuda dewasa ini mengalami dekadensi
moral yang sudah sangat memprihatinkan. Perilaku yang bertentangan etika, moral
dan hukum dari yang ringan sampai yang berat kerap diperlihatkan oleh mereka.
Tawuran, perkelahian massal, tindak anarkhis, penyalahgunaan narkoba (narkotika
1

2


dan obat-obatan terlarang), mabuk-mabukan minuman keras, pemerkosaan,
pembunuhan, seks di luar nikah, dan sebagainya hampir tiap hari dipertontonkan
di televisi.
Seks di luar nikah bahkan kini seolah menjadi trend di kalangan mahasiswa,
pelajar, dan remaja. Hal itu antara lain disebabkan oleh maraknya penyebaran situs
porno, penyalahgunaan narkoba, serta minuman keras yang meluas sampai ke
pedesaan. Berdasarkan data BKKBN tahun 2013, jumlah pelaku seks bebas di
kalangan remaja usia 10-14 tahun mencapai 4,38 persen, sedangkan pada usia 1419 seks mencapai 41,8 persen. Selain itu, pada tahun yang sama tidak kurang dari
800 ribu remaja melakukan aborsi setiap tahun. Salah satu dampak dari seks
bebas yaitu meningkatkanya kasus HIV/AIDS (BKKBN, 2013).
Menurut laporan Kementerian Kesehatan tahun 2012, terdapat 42.887 kasus
AIDS, 98.380 kasus HIV positif dengan persentase pengidapnya berusia 20-29
tahun sebanyak 35,2 persen dan usia 30-39 tahun sebanyak 28,1 persen. Hasil
survei yang dipublikasikan oleh Komisi Perlindungan Anak (KOMNAS-PA) di
tahun 2012 menyatakan bahwa 62,7 persen remaja SMP/SMA mengaku sudah
pernah melakukan hubungan seks pranikah. Yang lebih mencengangkan lagi
adalah bahwa 21,2 persen dari siswi-siswi tersebut mengaku pernah melakukan
aborsi secara illegal. KOMNAS-PA menyatakan survei tersebut dilakukan di 17
kota besar di Indonesia dengan jumlah responden sekitar 4700 remaja yang berada
pada jenjang pendidikan SMP hingga SMA. (BKKBN, http://www.kompasiana.

com/dwi noer/62-remaja smp/sma tidak perawan, diakses tanggal 10 Juli 2016).
Pada medio Agustus 2013, Deputi Bidang Keluarga Berencana dan
Kesehatan Reproduksi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN), Julianto Witjaksono, mengungkap data mengejutkan tentang jumlah
remaja yang melakukan hubungan seks di luar nikah. Berdasarkan data BKKBN,
46% remaja usia 15-19 tahun sudah berhubungan seksual. Bahkan 48 hingga 51
persen wanita hamil adalah remaja (BKKBN, 2013).

3

Perilaku menyimpang di kalangan remaja/ pemuda tersebut berimbas pada
kalangan mahasiswa. Kebiasaan yang mereka lakukan pada saat usia remaja
(SMP/ SMA) kemudian terbawa pada saat mereka memasuki pendidikan di
perguruan tinggi. Alih-alih menguranginya, justru perilaku mereka di kampus
semakin bertambah parah. Sebagaimana dicatat oleh Pers-mahasiswa.Com, berita
tentang kenakalan mahasiswa saat ini bertebaran hampir di seluruh PT di
Indonesia. Perkelahian antarmahasiswa, demo anarkis, penyalahgunaan narkoba,
perkosaan, bahkan pembunuhan semakin marak terjadi. Seperti berita yang
dikutip dari kompas online belum lama ini, sembilan mahasiswa diringkus polisi
karena sudah melakukan tindakan riminal dengan menyerang menggunakan

senjata api di beberapa kampus di Makassar pada Rabu (13/4/16). Menurut aparat
kepolisian, motif tindak penyerangan hanya dikarenakan konflik internal kampus.
Ironinya, walaupun sudah beberapa kali didamaikan tetapi mereka masih saja
melakukan tindakan kriminalitas (http://regional.kompas.com/read/2016 Kasus.
Penyerangan. Kampus, 9.Mahasiswa ditahan, 6 senjata api diisita, diakses 14
April 2016.
Inilah bukti bahwa tindak kriminalitas di kalangan mahasiswa sudah
menjadi salah satu persoalan besar yang mengemuka akhir-akhir ini. Sopan santun
dan gotong royong yang merupakan karakter khas bangsa ini sudah tergantikan
dengan kemarahan dan kekerasan.
Perilaku negatif (kriminal) mahasiswa seringkali menjurus pada tindak
kekerasan (violence) yang meresahkan masyarakat. Semua perilaku negatif
dikalangan mahasiswa, remaja, dan pemuda tersebut, menunjukkan adanya
kerapuhan karakter yang cukup parah, yang salah satunya disebabkan oleh tidak
optimalnya pengembangan karakter di lembaga pendidikan, disamping karena
kondisi lingkungan yang tidak mendukung (Kemendikbud, 2010a : 3).
Perilaku negatif di kalangan pelajar dan pemuda tersebut berakaitan erat
dengan mutu pendidikan. Mutu pendidikan sering diartikan sebagai karakteristik
jasa pendidikan yang sesuai dengan kriteria tertentu untuk memenuhi kepuasan


4

stake holder (pengguna) pendidikan, yakni peserta didik, orang tua, masyarakat,

dunia usaha, serta pihak-pihak berkepentingan lainnya.
Sekolah yang mewadahi aktivitas pendidikan merupakan people changing
instituation, yang dalam proses kerjanya selalu berhadapan dengan uncertainty

and interdependence. Maksudnya, mekanisme kerja (produksi) di lembaga
pendidikan secara teknologis tidak dapat dipastikan karena kondisi input dan
lingkungan yang tidak pernah sama sekali sama. Selain itu, proses pendidikan di
sekolah juga tidak terpisahkan dengan lingkungan keluarga maupun pergaulan
peserta didik (Depdiknas, 2009:1).
Kualitas pendidikan merupakan faktor utama yang menentukan keberhasilan
pembangunan bangsa. Kualitas pendidikan memiliki arti bahwa lulusan
pendidikan memiliki kemampuan yang sesuai, sehingga dapat memberikan
kontribusi yang tinggi bagi pembangunan.
Dalam upaya meningkatkan kualitas atau mutu pendidikan, pemerintah telah
menerbitkan berbagai regulasi. Penerbitan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang RI nomor 14 Tahun

2005 tentang Guru dan Dosen, dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Peraturan Menteri Riset, Teknologi,
dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2015 Tentang
Standar Nasional Pendidikan Tinggi, ketentuan tentang Sertifikasi Guru,
penyesuian gaji dan tunjangan, dan lain-lain adalah upaya nyata yang telah
dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Akan tetapi,
upaya tersebut belum sepenuhnya berhasil. Kulitas pendidikan di Indosia masih
tergolong rendah, bahkan di antara sesama negara-negara ASEAN.
Berdasarkan laporan Education for All Global Monitoring Report yang
dirilis UNESCO 2011, Indonesia termasuk negara yang angka putus sekolahnya
cukup tinggi di Asia. Hal ini menyebabkan peringkat indeks pembangunan
rendah. Indonesia berada di peringkat 69 dari 127 negara dalam Education
Development Index. Sementara, laporan Departeman Pendidikan dan Kebudayaan,

5

setiap menit ada empat anak yang putus sekolah. Laporan tersebut menyebutkan
bahwa 54% guru di indonesia tidak memiliki kualifikasi yang cukup untuk
mengajar. Dari 127 negara, Education Development Index (EDI), Indonesia
berada pada posisi ke-69, lebih rendah dari negara tetangga Malaysia yang berada

di tingkat 65, dan Brunei 34 ( Sumber: http://indonesiaberkibar.org/id/faktapendidikan, diakses 16 Agustus 2016).
Di lain pihak, hasil penelitian Programme for International Study
Assessment (PISA) 2012, menyebutkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia

berada pada posisi terbawah kedua dari 65 negara yang diteliti dalam hal
pencapaian mutu pendidikan. Penelitian itu memperlihatkan ada sesuatu yang
salah dalam sistem dan kebijakan pendidikan di Indonesia. Padahal, pendidikan
merupakan

elemen

penting

dalam

upaya

pembentukan

generasi


serta

pengembangan ekonomi yang lebih baik. Semakin baik kualitas pendidikan di
daerah semakin baik pula pertumbuhan di daerah tersebut.
Berkaitan dengan kondisi tersebut di muka, pandangan pakar pendidikan
Suyanto (2007), yang menyatakan perlunya re-orientasi pembelajaran di lembaga
pendidikan, dengan meninggalkan metode lama untuk menghadapi tantangan
profesional kini dan mendatang dengan cara dan metode yang sama sekali baru.
Pembangunan karakter (character building) sangat penting. PT menjadi
agen utama dalam membangun manusia Indonesia yang berakhlak, berbudi
pekerti, dan mulia. Bangsa Indonesia ingin memiliki peradaban yang unggul dan
mulia. Peradaban tersebut dapat dicapai apabila masyarakat Indonesia menjadi
masyarakat yang baik (good society). Masyarakat idaman seperti ini dapat
diwujudkan apabila bangsa Indonesia memiliki akhlak yang baik, manusia yang
bermoral dan beretika baik, serta manusia yang bertutur dan berperilaku baik pula.
Untuk itu perlu dicari jalan terbaik untuk membangun dan mengembangkan
karakter manusia dan bangsa Indonesia agar memiliki karakter yang baik, unggul
dan mulia. Upaya yang tepat untuk itu adalah melalui pendidikan, karena
pendidikan memiliki peran penting dan sentral dalam pengembangan potensi


6

manusia, termasuk potensi mental. Melalui pendidikan diharapkan terjadi
transformasi yang dapat menumbuhkembangkan karakter positif, serta mengubah
kebiasaan hidup yang buruk menjadi baik.
Ki Hajar Dewantoro berpandangan bahwa pendidikan merupakan daya upaya
untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran
(intellect), dan tubuh anak. Jadi jelaslah, bahwa pendidikan merupakan wahana utama
untuk menumbuhkembangkan karakter yang baik. Dengan kata lain, bahwa keberhasilan
pendidikan karakter sangat ditentukan oleh para penyelenggara pendidikan. Esesni
pendidikan karakter sebenarnya bukan hal yang baru. Sejak awal kemerdekaan, masa
orde lama, masa orde baru, sampai pada masa reformasi telah melaksanakan “pendidikan
karakter” dengan nama dan bentuk yang berbeda-beda. Namun hingga saat ini belum
menunjukkan hasil yang optimal, terbukti dari adanya fenomena sosial yang masih sering
dijumpai perilaku yang tidak berkarakter (Suratman, 1985:20).
Dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional ditegaskan bahwa “pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi

peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Dengan demikian dapat
ditegaskan bahwa tujuan pendidikan nasional yang sebenarnya adalah menghasilkan
karakter anak didik yang luhur.
Karakter merupakan suatu daya yang hanya dimiliki oleh manusia, sebagai
tonggak kehidupan dan dasar kelanjutan wujudnya. Keberadaan dan kejayaan
suatu bangsa sangat ditentukan oleh karakter yang dimiliki. Hanya bangsa yang
memiliki karakter kuat yang mampu menjadikan dirinya sebagai bangsa yang
bermartabat dan disegani oleh bangsa-bangsa lain. Karena itu, menjadi bangsa
yang berkarakter adalah kebutuhan semua bangsa. Keinginan menjadi bangsa
yang berkarakter sesungguhnya sudah tertanam pada bangsa Indonesia

7

sebagaimana upaya yang dilakukan oleh para pendiri negara Indonesia yang
menuangkan keinginan menjadi bangsa yang berkarakter kedalam nilai-nilai luhur
Pancasila.
KERANGKA BERFIKIR
Berdasarkan uraian di muka, sudah saatnya kampus menggalakkan

pendidikan karakter secara kongkret bagi mahasiswanya. Pencapaian
intelektualitas dan nilai-nilai akademik harus dibarengi dengan penanaman
moral dan akhlak yang bagus (karakter yang baik). Kemampuan
manajerial dan sosial mahasiswa harus dilandasi dengan keimanan dan
ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, punya inisiatif dan kreatifitas
memiliki sifat-sifat jujur, ikhlas, beorientasi pengabdian, dan rendah hati
yang lahir dari masing-masing individu untuk menjalin interaksi sesama
individu demi

terwujudnya

integritas

bangsa. Ini ditujukan

agar

mahasiswa tak hanya pintar secara intelektual dan sosial, namun juga
memiliki integritas moral yang bagus, serta mempunyai empati dan
solidaritas yang tinggi terhadap lingkungan sekelilingnya.
Zuchdi (2008:6-8) mengemukakan supaya pendidikan karakter tidak bersifat
indoktrinatif, mahasiswa perlu didorong untuk dapat menemukan alasan-alasan
yang mendasari keputusan moral, melalui peningkatan kemampuan Logical,
Gramatical, dan Retorica . Pengayaan Mata Kuliah (embedded/hidden curriculum)

perlu dilakukan agar belajar tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan saja
melainkan lebih pada aspek learning to think, reading skill, writing skill,
articulate communication skill, wawasan kebangsaan dan bela negara. Kegiatan

tersebut dapat dilakukan melalui aktivitas kurikuler, extra dan ko-kurikuler.
Tujuannya untuk mengembangkan kemampuan mengontrol tindakan yang
diperlukan agar seseorang dapat benar-benar memahami keputusan moral yang
diambilnya, dapat mengidentifikasi alasan yang baik yang harus diterima dan

8

alasan yang tidak baik yang harus ditolak atau diubah. Pada akhirnya mahasiswa
harus mampu merumuskan perubahan yang perlu dilakukan.
Pembelajaran mestinya menciptakan setting sosial yang memungkinkan
implementasi pengetahuan yang diperoleh untuk memecahkan masalah yang ada
dalam masyarakat. Selanjutnya, pendidikan karakter/moral/nilai hendaknya
difokuskan pada kaitan antara pemikiran moral (moral thinking) dan tindakan
bermoral (moral action). Konsep moralitas perlu diintegrsasikan dengan
pengalaman dalam kehidupan sosial. Pemikiran moral dapat dikembangkan antara
lain dengan dilema moral yang menuntut kemampuan untuk mengambil
keputusan dalam situasi yang sangat dilematis. Tindakan moral yang selaras
dengan pemikiran moral hanya mungkin dicapai melalui pencerdasan emosional
dan spiritual serta pembiasaan.
Secara teknis, penanaman karakter positif akan lebih efektif apabila
dilakukan melalui model keteladanan yang dilakukan atas kesadaran
sendiri. Dalam hal ini pihak-pihak yang tekait dengan penyelenggaraan
pedidikan di kampus harus turut serta ambil bagian dalam memberikan
keteladanan/contoh yang baik kepada mahasiswa. Dosen, pegawai, dan
mahasiswa senior harus memberikan contoh perilaku jujur, disiplin,
kreatif, dan kritis kepada mahasiswa yunior. Dengan lingkungan yang
kondusif, penyemaian karakter positif akan lebih mudah diterima dan
diteladani mahasiswa baru. Dengan membiasakan diri menghindari
plagiasi dalam pembuatan karya ilmiah, serta mengerjakan tugas-tugas
kuliah secara jujur, berarti mahasiswa telah menanamkan karakter positif
dalam dirinya. Satu hal yang merupakan media pendidikan karakter bagi
mahasiswa adalah melalui integrasi pendidikan karakter tersebut ke dalam
mata kuliah yang diajarkan.
Basis

Mata Kuliah

Karakter yang
dikembangkan

Kegiatan

Hasil yang
akan dicapai

9

Moral
Feeling

Moral
Action

Pendidikan
Karakter

knowledge
disposi tion

PEMBELAJ
ARAN

Moral
Knowing

METODE

M
A
H
A
S
I
S
W
A

 Humanity,
Leadership,
Communication,
Analytical
Thinking, Creative
Thinking, Logical
Thinking, Art
Science, dan
Global Culture
 Kesadaran akan
jati diri, percaya
diri, kepekaan
terhadap orang
lain, cinta
kebenaran,
pengendalian diri,
dan kerendahan
hati.
 Tindakan moral
yang dihasilkan
dari perpaduan dua
komponen
karakter di atas

skill

Pendidikan
Karakter

Dari
Knowing
g

Perkuliahan
(Kurikuler)

Menuju
Doing

PROSES

IN PUT

ALUMNI PT
YANG
BERKARAK
TER,
KOMPETITI
F, PROFESIONAL

OUT PUT

Gambar 1: Kerangka Pemikiran
Untuk

mewujudkan

pendidikan

karakter

bagi

mahsiswa,

perlu

diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata kuliah. Salah satu cara yang
efektif dengan mengubah atau menyusun bahan ajar atau modul dengan
mengembanglan pendidikan norma atau nilai-nilai karakter dalam konteks
kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak
hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan
nyata dalam kehidupan mahasiswa

sehari-hari di masyarakat. Salah satunya

dengan mengembangkan pembelajaran terintegrasi karakter ke dalam mata kuliah
Bahasa Indonesia. Untuk memberikan gambaran yang lebih rinci dan jelas berikut
kerangka pemikiran Pengembangan Model General Education Melalui Penguatan
Pendidikan Karakter Pada MKWU Bahasa Indonesia Di Perguruan Tinggi,
sebagaimana digambarkan pada Gambar 1.

10

METODE PENGEMBANGAN MODEL PERKULIAHAN YANG
DIUSULKAN
Pengembangan model pembelajaran dilakukan dengan 3 (tiga) Tahap, yaitu;
1) tahap pengembangan konsep model, 2) tahap pengembangan produk model,
dan 3) tahap Ujicoba model. Gambarn alur ketiga tahap pengembangan tersebut
dijelaskan sebagai berikut.

Pengembangan Desain Model
Pengembangan desain model diawali dengan pengembangan konsep model.
Selanjutnya dilakukan pengembangan produk, dan diakhiri uji coba produk (lihat
Gambar 4 dan 5). Model konseptual bersifat analitis yang memberikan atau
menjelaskan komponen-komponen produk yang akan dikembangkan dan
keterkaitan

antarkomponennya.

Sebuah

model

adalah

representasi

atau

perwujudan visual atau verbal (kata-kata) dari suatu proses rancangan
pembelajaran yang digunakan untuk mengarahkan dan melengkapi rancangan
dalam berbagai latar pendidikan dan pelatihan.
Model konseptual memperlihatkan hubungan antarkonsep yang satu dengan
yang lain, yang dalam hal ini konsep-konsep itu tidak memperlihatkan urutan
secara bertahap. Konsep atau komponen yang satu tidak lebih awal dari konsep
atau komponen yang lain. Urutan boleh diawali dari mana saja. Model konseptual
lebih bersifat konstruktivistik, artinya urutan bersifat terbuka, berulang atau
rekursif dan fleksibel.

Desain dan Prosedur Pengembangan Konsep
Pada tahapan ini akan disampaikan sifat-sifat komponen pada setiap tahapan
dalam pengembangan, penjelasan secara analitis fungsi komponen dalam setiap
tahapan pengembangan produk, dan penjelasan hubungan antar komponen dalam
sistem. Dalam memahami model desain sistem pembelajaran perlu diketahui dan
dikelompokkan model desain system pembelajaran. Menurut Gustafson dan
Branch (2002) model desain sistem pembelajaran dapat diklasifikasikan menjadi

11

tiga kelompok. Pembagian klasifikasi ini didasarkan pada orientasi penggunaan
model, yaitu; 1) Model desain sistem pembelajaran yang berorientasi kelas
(Classrooms oriented model), 2) Model desain pembelajaran yang berorientasi

produk (Product oriented model), dan 3) Model desain sistem pembelajaran yang
berorientasi sistem (System oriented model).
Model desain sistem pembelajaran yang berorientasi pada produk,
berdasarkan pada asumsi bahwa desain model pendidikan karakter berbasis
ideologi lima-I sebagai penguatan tiga mata kuliah yang dikembangkan dalam
kurun waktu tertentu. Model desain pembelajaran ini menerapkan proses analisis
kebutuhan yang sangat ketat.
Para pengguna produk model pendidikan karakter yang dihasilkan melalui
penerapan desain sistem

pembelajaran

pada

model

ini

biasanya

tidak

memiliki kontak langsung dengan pengembang programnya. Kontak langsung
antara pengguna program dan pengembang program hanya terjadi pada saat
proses evaluasi terhadap prototipe program.
Model pendidikan karakter berbasis ideologi lima-I ini dilandasi dengan
empat asumsi pokok, yaitu: 1) Produk model pendidikan karakter di Perguruan
Tinggi memang sangat diperlukan, 2) Produk model pendidikan karakter baru ini
perlu diproduksi, 3) Produk model pendidikan karakter memerlukan proses uji
coba dan revisi, 4) Produk model pendidikan karakter dapat digunakan walaupun
hanya dengan bimbingan dari fasilitator.
Desain program pengembangan ini memiliki 6 (enam) komponen utama,
sesuai teori yang dikembangan oleh Richey dan Klein (2007; 3). Keenam
komponen ini mengarahkan fokusnya pada elemen-elemen yang berbeda dari
usaha desain dan pengembangan, yaitu: (1) Mahaiswa dan bagaimana mereka
belajar, (2) Konteks tempat belajar dan performasi yang muncul, (3) Hakikat isi
pembelajaran dan bagaimana ia diurutkan, (4) Strategi dan aktivitas pembelajaran
yang dilaksanakan, (5) Media dan sistem penyampaian yang digunakan, dan (6)
Perancang itu sendiri dan proses yang mereka ikuti.

12

Desain pengembangan mencakup ruang lingkup sebagai berikut.
1

2

ANALISIS
KEBUTUHAN

Analisis
Tujuan

REVIEW
REFERENSI

Kumpulan
Refensi

Identifikasi
teori

Teori Desain
Pembelajaran

Sumber

Penelitian

Referensi

Memilih
Referensi

yang relevan

Model-model
Pembelajaran

Menggabungkan
Referensi

Model
Pendidikan
Karakter

Tahap
Analisis

Model-model

REVIEW
ISI

3

4

Penelitian
Relevan

Teori

Teori Desain
Pembelajaran

Kompone
n
Urutan

RANCANGAN KONSEP DESAIN

5

Pendidikan
Karakter

Komponen
Pendidikan
Karakter S1

KOMPONEN
Tahap Desain

Model

Komponen

Urutan
Pendidikan Karakter
Dalam Format General
Education

Kumpulan
Komponen
6
MENENTUKA
N KOMPONEN
MODEL
KONSEP

Memilih
Komponen

Gabungan
Komponen

Komponen Desain
Pendidikan Karakter
dan
Komponen Model
Pendidikan Karakter

Hubungan
Masing-masing
Komponen

7
URUTAN
KOMPONE
N

Susunan
Komponen secara
sistematis

Tahap
Pengem
bangan

13

8

PENJELASAN TIAP

Kumpulan
Komponen
Kompone
n Utama

Memilih
Komponen

Gabungan
Komponen
Komponen
Pendukung

9

PENJELASAN PENGGUNAAN
Tahap
Implementas
i

Tujuan Pendidikan Karakter
Karakteristik Pendidikan Karakter
Konteks Pendidikan Karakter

Validasi Internal
10

VALIDASI
INTERNAL

Ahli
Validasi Eksternal
Praktisi

DAN

Teknik
Delphi

Konsep model
pendidikan karakter
di Perguruan Tinggi
dalam format GE
sebagai penguatan
Mata Kuliah Bahasa

Tahap
Evaluasi

Gambar 2: Rancang Bangun Pengembangan

Setting Kegiatan
Setting kegiatan dimulai dengan mengidentifikasi jumlah karekteristik

lembaga, aspek-aspek pendidikan karakter bangsa yang gayut dengan lembaga
tersebut, serta menetapkan kompetensi yang akan dipelajari dengan memberi label
pada karakter tersebut. Proses pembelajaran di-setting secara terintegrasi antara
pembelajaran teori dan praktik.

Partisipan
Partisipan pada tahap pengembangan ini adalah ahli (pakar) untuk validasi
internal dan praktisi (dosen) MKWU Bahasa Indonesia. Validator ahli
desain/teknologi pendidikan, ahli isi/konten dan bahasa dengan persyaratan; 1)
Minimal berpendidikan S3, dan 2) ahli di bidangnya. Sedangkan praktisi adalah
dosen dari PT yang dipilih. Penilaian para ahli/praktisi terhadap perangkat
pembelajaran mencakup: format, bahasa, ilustrasi dan isi. Berdasarkan masukan
dari para ahli, materi pembelajaran direvisi untuk membuatnya lebih tepat, efektif,
mudah digunakan, dan memiliki kualitas teknik yang tinggi.

14

Desain
Konsep Model

Review 1
Ahli

Praktisi

1

Revisi - 1

Desain Konsep Model
Hasil revisi 1

Review 2
Ahli

Praktisi

2

Revisi - 2
Desain Konsep Model
Hasil revisi 1
Review 3
Ahli

Praktisi

3

Revisi - 3

Model Konsep
Final

Gambar 3: Alur Validasi Ahli & Praktisi Konsep Model
Pada tahap expert review, konsep produk yang telah didesain dicermati,
dinilai dan dievaluasi oleh pakar. Pakar tersebut menelaah komponen, keterkaitan
antarkomponen, dan bahasa dari konsep model. Saran-saran pakar digunakan
untuk merevisi konsep yang dikembangkan. Pada tahap ini, tanggapan dan saran
dari pakar (validator) tentang konsep desain model yang telah dibuat ditulis pada
lembar validasi sebagai bahan merevisi dan menyatakan bahwa desain ini telah
valid atau tidak.
Responden para tahap pengembangan konsep model adalah ahli desain
selaku validator internal yang akan menvalidasi hasil pengembangan konsep
model pendidikan karakter. Responden berikutnya adalah praktisi sebagai

15

validatir eksternal yaitu dosen MKWU Bahasa Indonesia sebagai pengguna
produk. Rangkaian kegiatan validasi yang dilakukan oleh ahli dan praktisi dapat
dilihat pada Gambar 3.

Instrumen Pengembangan
Pada tahap pengembangan konsep model, instrumennya adalah peneliti
sendiri, angket (checklist) dan pedoman wawancara. Angket (cheklist) digunakan
untuk memperoleh catatan dari ahli yang menvalidasi konsep model (validasi
internal) dan dari dosen pengguna (validasi eksternal) sedangkan pedoman
wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan dengan pihak yang terkait
tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman ini disusun tidak hanya
berdasarkan tujuan penelitian tetapi juga berdasarkan teori yang berkaitan dengan
model pendidikan karakter. Selain itu pedoman wawancara sebagai bahan dalam
menulis hasil penelitian karena jika peneliti hanya mengandalkan kemampuan
ingatan yang sangat terbatas peneliti khawatir data yang sudah diperoleh ada yang
lupa. Penggunaan model wawancara tentu saja disesuaikan dengan keberadaan
data-data di lapangan yang diperlukan penulis. Untuk wawancara terstruktur,
lebih dulu disiapkan seperangkat pertanyaan dengan mengklasifikasikan bentukbentuk pertanyaan. Pada tahap pengembangan konsep model semua data bersifat
kualitatif, yang mendiskripsikan keadaan atau fenomena yang sedang terjadi.

Pengembangan Produk
Produk yang dikembangkan berupa model perkuliahan general education
melalui penguatan pendidikan karakter pada MKWU Bahasa Indonesia di
perguruan tinggi. Komponen-komponen model yang dikembangkan difokuskan
pada strategi perkuliahan atau strategi penyampaian.
Pengebangan model pembelajaran yang baik memang seyogyanya
dilaksanakan melalui suatu penelitian pengembangan atau research and
depelovment (R&D). Langkah tersebut tepat untuk mencari solusi dalam

16

memperbaiki praktik perkuliahan. R & D merupakan perpaduan penelitian dasar
(basic research) dengan penelitian terapan (applied research). Keduanya
bertujuan untuk mengembangkan format pembelajaran, mengevaluasi diri, dan
mengembangkan bahan ajar yang sesuai dengan kebutuhan. Selama ini banyak
dosen di perguruan tinggi yang menyusun model pembelajaran namun tidak
melalui rangkaian penelitian, sehingga model yang disusun tidak memiliki
landasan berpijak yang kuat, baik dari segi teoretis maupun praktis.
Kekuatan pengembangan model pembelajaran melalui R & D terletak pada
aspek metodenya, yakni adanya ujicoba sehingga produk dapat diterima dari segi
ketepatan, kecocokan, kejelasan, keakuratan, up to date, dan menciptakan
kreativitas dari segi isi, desain, dan bahasanya.
Penyusunan model pembelajaran melalui R & D akan mampu melahirkan
model pembelajaran MKWU BI yang berbeda dari sebelumnya. Hal itu terjadi
karena model MKWU ini merupakan hasil penelitian dengan mempertimbangkan
data-data empiris yang dapat dipertanggungjawabkan, serta pertimbangan praktis
perkuliahan

yang

menarik/memberi

lebih

baik,

motivasi,

dengan

dapat

tampilan

yang

efektif,

efisien,

dipergunakan,

dan

dapat

diterima

keberadaannya.

Ujicoba Produk
Ujicoba produk dimaksudkan untuk mencapai kriteria produk model
pembelajaran yang sahih. Ujicoba dilakukan melalui 2 (dua) tahap yaitu a)
penelitian tindakan (action research) dan eksperimen (quasi eksperimen).
Penelitian tindakan bertujuan untuk mengetahui apakah prosedur bahan ajar sudah
memenuhi syarat atau belum sedangkan eksperimen yang dilakukan adalah quasi
eksperimen atau eksperimen semu yang bertujuan untuk menguji efektifitas dan
dan kebermanfaatan model. Bagan alur (flowchart) ujicoba produk sebagai
berikut:

17

IMPLEMENTASI
MODEL
1. Penelitian Tindakan
-PT (Action
research)
2. Eksperimen
(Eksperiman One
group post test & Post
test)

MODEL
HIPOTETIK
Model pendidikan
karakter berbasis

MODEL FINAL
General
Education
Melalui
Penguatan
Pendidikan
Karakter Pada
MKWU Bahasa

Evaluasi
&
Revisi

Implementation (implementasi/
eksekusi).

.

Gambar 4: Alur (flowchart) Ujicoba Produk

PENUTUP
Berdasarkan uraian di muka, dapat disimpulkan bahwa penyusunan model
pembelajaran MKWU Bahasa Indonesia hendaknya melalui rangkaian penelitian
pengembangan sehingga mampu melahirkan model pembelajaran yang berbeda
dari sebelumnya. Hal itu terjadi karena penyusunan model tersebut telah
mempertimbangkan data-data empiris yang dapat dipertanggungjawabkan, serta
pertimbangan praktis perkuliahan yang lebih baik, dengan tampilan yang efektif,
efisien, menarik/memberi motivasi, dapat dipergunakan, dan dapat diterima
keberadaannya.
Penelitian tersebut akan lebih baik jika dilaksanakan oleh institusi yang
memiliki kewenangan dan kapabilitas yang memadai. Asosiasi Program Studi
Bahasa dan Sastra Indonesia, diharapkan dapat menjadi salah satu institusi
pendukung dan pelaksana penelitian ini, agar perguruan tinggi segera
melaksanakan

MKWU

Bahasa

Indonesia

yang sesuai

dengan

capaian

pembelajaran atau learning outcomes (LO) yang diharapkan pemerintah dan
masyarakat.

18

DAFTAR PUSTAKA
Bakker, A., 2004. “Design Research In Statistics Education: On Symbolizing
And Computer Tools”. Desertasi Doktor . Utrech University : Tidak
diterbitkan.
Bakker, JWM., 1994. Filsafat Kebudayaan.Yogyakarta: Kanisius
Banathy, B., & Jenlink, P. M., 2004. Systems Inquiry and Its Application In
Education. In D. H. Jonassen (Ed.), Handbook of research for
educational communications and technology (2nd edn) (pp. 74–92).
New York: Simon & Schuster Macmillan.
Belferik, M., 2013. “Grand Desain Pendidikan Karakter Generasi Emas 2045”.
Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun III, Nomor 1, Februari 2016
Bruner, J. S., 2006. In Search Of Pedagogy. New York: Routledge.
Dick, W., Carey, L., & Carey, J.O., 2000. The Systematic Design Of Introction
(Fifth Edition). New York: Longman
Doni, K.A., 2007. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman
Global. Jakarta: Grasindo. Cet. I.
Gagne, R. M., Wager, W. W., Goals, K. C., & Keller, J. M., 2005. Principles of
instructional Design. (5th edn). CA: Wadsworth/Thomson Learning,
Publishers.
Gustafson, K. L., & Branch, R. M., 2002. Surveyof Instructional Development
Models (4•h ed.).
Syracuse University, Syracuse, NY: ERIC
Clearinghouse on Information & Technology.
Kemendiknas, 2010. Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun
2010-2014: Rancangan RPJMN tahun 2010-2014. Jakarta: Biro
Perencanaan Setjen Kemendiknas.
Kemendiknas, 2011. Panduan Pendidikan Karakter . Jakarta: Pusat Kurikulum
dan Kebukuan Kemendiknas
Kirschenbaum, H., 2000. ”From Values Clarification to Character Education: A
Personal Journey.” The Journal of Humanistic Counseling, Education
and Development. Vol. 39, No. 1, September, pp. 4-20
Megawangi, R., 2004. Pendidikan Karakter. Jakarta: BP Migas Energy.
Molenda, M. In search of the ellusive ADDIE model. Pervormance improvement,
42 (5), 34-36. Submitted for publication in A. Kovalchick & K. Dawson,
Ed’s, Educational Technologi: An Encyclopedia. Copyright by ABC-

19

Clio, Santa Barbara, CA, 2003. (http://www.indian.edu) diakses pada 25
Desesember 2015
Morrison, G. R., Ross, S. M., & Kemp, J.E. (2007). Designing effective
instruction (5'h ed.). Hoboken, NJ: John Wiley & Sons, Inc.
Morrison, G.R., Ross, S.M., & Kemp, J.E, 2001. Designing Effective Instruction
(Third Edition). New York: John & Sons, Inc
Plomp, 2007. “Educational Design Research: An Introduction”, dalam An
Introduction to Educational Research. Enschede, Netherland:
National Institute for Curriculum Development
Pusat Kurikulum Depdiknas, 2010. Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi
Pembelajaran Berdasarkan Nilai-nilai Budaya untuk Membentuk Daya
Saing dan Karakter Bangsa, Jakarta: Kemendiknas
Raiser, AR & John Depsey, Trend and Issue in Instructional Design and
Technology (new jersey : Pearson Education. Inc )
Richey, R.C., & Klein, J.D., 2007. Design and Development Research. New
York: Routledge
Robert

Maribe

Branch: Intructional Design The
http://www.zultigaltp.com (diakses pada 30 April 2015)

Addie

Aproach.

Ruyadi, Y., 2010. “Model Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Budaya Lokal
(Penelitian terhadap Masyarakat Adat Kampung Benda Kerep Cirebon
Provinsi Jawa Barat untuk Pengembangan Pendidikan Karakter di
Sekolah)”. Proceedings of The 4th International Conference on Teacher
Education; Join Conference UPI & UPSI Bandung, Indonesia, 8-10
November 2010.
Samani, M. dan Hariyanto, 2011. Konsep dan Model Pendidikan Karakter.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Suharjana. 2011. Model Pengembangan Karakter melalui Pendidikan Jasmani
dan Olahraga. Yogyakarta: UNY Press.
Suparman, A., 2012. Desain Instruksional Moderen: Panduan Para Pengajar &
Inovator Pendidikan. Jakarta: Penerbit Erlangga
Suyanto, 2012. “Urgensi Pendidikan Karakter”, Makalah. http://www. mandikdasmen.
depdiknas.go.id/web/pages/urgensi.html (diunduh tanggal 13 September 2015).
Syahran, 2013. Penerapan Ideologi Lima-I dalam Pembelajaran (Studi Pada
Sekolah Dasar Perkampungan Nelayan Suku Laut Kuala Tungkal
Provinsi Jambi, (Disertasi), Padang; Program Pascasarjana Universitas
Negeri Padang (UNP).

20

Tafsir, A h m a d , 2011. Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung: Remaja
Rosdakarya
Winarni, S., 2013. “Integrasi Pendidikan Karakter Dalam Perkuliahan”. Jurnal
Pendidikan Karakter, FIK Universitas Negeri Yogyakarta, Tahun III,
Nomor 1, Februari 2013.

Dokumen yang terkait

ANALISIS KEMAMPUAN SISWA SMP DALAM MENYELESAIKAN SOAL PISA KONTEN SHAPE AND SPACE BERDASARKAN MODEL RASCH

69 778 11

MODEL KONSELING TRAIT AND FACTOR

0 2 9

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF

2 5 46

STUDI PERBANDINGAN HASIL BELAJAR DAN KETERAMPILAN PROSES SAINS DITINJAU DARI PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI

6 77 70

PERBANDINGAN HASIL BELAJAR FISIKA SISWA ANTARA MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE (TPS) DENGAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING (PBL)

11 75 34

MENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN TEMATIK DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA REALIA DI KELAS III SD NEGERI I MATARAM KECAMATAN GADINGREJO KABUPATEN TANGGAMUS TAHUN PELAJARAN 2011/2012

21 126 83

PENGGUNAAN BAHAN AJAR LEAFLET DENGAN MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI POKOK SISTEM GERAK MANUSIA (Studi Quasi Eksperimen pada Siswa Kelas XI IPA1 SMA Negeri 1 Bukit Kemuning Semester Ganjil T

47 275 59

PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE TPS UNTUK MENINGKATKAN SIKAP KERJASAMA DAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV B DI SDN 11 METRO PUSAT TAHUN PELAJARAN 2013/2014

6 73 58

PENINGKATAN HASIL BELAJAR TEMA MAKANANKU SEHAT DAN BERGIZI MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SHARE PADA SISWA KELAS IV SDN 2 LABUHAN RATU BANDAR LAMPUNG

3 72 62

JUDUL INDONESIA: IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA METRO\ JUDUL INGGRIS: IMPLEMENTATION OF INCLUSIVE EDUCATION IN METRO CITY

1 56 92