Tingkat Kecemasan Ibu Paska Histerektomi di RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2015

(1)

5

TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan

1. Pengertian

Kecemasan adalah merupakan respon emosional terhadap penilaian individu yang subjektif, yang dipengaruhi alam bawah sadar dan tidak diketahui secara khusus penyebabnya. Kecemasan merupakan istilah yang sangat akrab dengan kehidupan sehari-hari yang menggambarkan keadaan khawatir, gelisah, takut, tidak tentram, disertai berbagai keluhan fisik. Keadaan tersebut dapat terjadi atau menyertai kondisi situasi kehidupan dan berbagai gangguan kesehatan. Kecemasan berbeda dengan takut, takut merupakan penilaian intelektual terhadap stimulus yang mengancam dan objeknya jelas (Dalami et al., 2009).

Kecemasan merupakan reaksi pertama yang muncul atau dirasakan oleh pasien dan keluarganya di saat pasien harus dirawat mendadak atau tanpa terencana begitu mulai masuk rumah sakit. Kecemasan akan terus menyertai pasien dan keluarganya dalam setiap tindakan perawatan terhadap penyakit yang diderta pasien. Cemas adalah emosi dan merupakan pengalaman subjektif individual, mempunyai kekuatan tersendiri dan sulit untuk diobservasi secara langsung (Nursalam, 2012).

Konsep kecemasan memegang peranan penting yang sangat mendasar dalam teori-teori tentang stres dan penyesuaian diri kecemasan adalah perasaan was-was, khawatir, atau tidak nyaman seakan-akan terjadi sesuatu yang dirasakan sebagai ancaman. Kecemasan merupakan suatu perasaan yang tidak menyenangkan, yang diikuti oleh reaksi fisiologis tertentu seperti perubahan detak jantung dan pernapasan. Kecemasan melibatkan persepsi tentang perasaan


(2)

yang tidak menyenangkan dan reaksi fisiologis, dengan kata lain kecemasan adalah reaksi atas situasi yang dianggap berbahaya (Purba et al., 2008).

Sedangkan Corey (1995), mengartikan kecemasan sebagai suatu keadaan tegang yang memaksa individu untuk berbuat sesuatu. Kecemasan berkembang dari konflik antara sistemis, ego, dan superego tentang sistem kontrol atas energi psikis yang ada. Sementara itu, Hall dan Lindzey (1993) dalam Purba et al., (2008), berpendapat bahwa membagi kecemasan menjadi 3 (tiga), yaitu:

a. Kecemasan realita adalah rasa khawatir akan bahaya yang datang dari dunia luar dan derajat kecemasannya sangat tergantung kepada ancaman nyata. b. Kecemasan neurotik adalah rasa khawatir kalau-kalau insthink akan keluar

jalur dan menyebabkan seseorang berbuat sesuatu yang dapat membuatnya terhukum.

c. Kecemasan moral adalah rasa khawatir terhadap hati nuraninya sendiri. Individu yang hati nuraninya cukup berkembang cenderung merasa bersalah apabila berbuat sesuatu yang bertentangan dengan moral. Fungsinya adalah mengingatkan adanya bahaya yang datang.

2. Teori Kecemasan

Menurut Direktorat Kesehatan Jiwa Depkes RI (1994) dalam Nursalam (2012), mengembangkan teori-teori tentang kecemasan, sebagai berikut:

a. Teori Psikoanalisis

Kecemasan merupakan konflik emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian yaitu id dan super ego. Id melambangkan dorongan insting dan impuls primitif, super ego mencerminkan hati nurani seseorang, sedangkan ego atau aku digambarkan sebagai mediator dari tuntutan id dan super ego.


(3)

Kecemasan berfungsi untuk memperingatkan ego tentang suatu bahaya yang perlu diatasi.

b. Teori Interpersonal

Kecemasan terjadi dari ketakutan dan penolakan interpersonal, hal ini digabungkan dengan trauma pada masa pertumbuhan seperti kehilangan atau perpisahan yang menyebabkan seseorang tidak berdaya. Individu yang mempunyai harga diri rendah biasanya sangat mudah untuk mengalami kecemasan berat.

c. Teori Perilaku

Kecemasan merupakan hasil frustasi segala sesuatu yang mengganggu kemampuan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Para ahli perilaku menganggap kecemasan merupakan suatu dorongan, yang mempelajari berdasarkan keinginan untuk menghindari rasa sakit.

Pakar teori meyakini bahwa bila pada awal kehidupan dihadapkan pada rasa takut yang berlebihan maka akan menunjukkan kecemasan yang berat pada masa dewasanya. Sementara para ahli teori konflik mengatakan bahwa kecemasan sebagai benturan-benturan keinginan yang bertentangan. Mereka percaya bahwa hubungan timbal balik antara konflik dan daya kecemasan yang kemudian menimbulkan konflik.

d. Teori Keluarga

Gangguan kecemasan dapat terjadi dan timbul secara nyata dalam keluarga, biasanya tumpang tindih antara gangguan cemas dan depresi.

e. Teori Biologi

Teori biologi menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor spesifik untuk benzodiasepin. Reseptor ini mungkin mempengaruhi kecemasan.


(4)

3. Tingkat Kecemasan

Menurut Peplau (2004) dalam Suliswati et al., (2005), mengatakan bahwa ada 4 (empat) tingkat kecemasan yang dialami oleh individu yaitu:

a. Kecemasan Ringan

Dihubungkan dengan ketegangan yang dialami sehari-hari. Individu masih waspada serta lapang persepsinya meluas, menajamkan indra. Dapat memotivasi individu untuk belajar dan mampu memecahkan masalah secara efektif dan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas, Contohnya sebagai berikut:

1) Seseorang yang menghadapi ujian akhir.

2) Pasangan dewasa yang akan memasuki jenjang pernikahan.

3) Individu yang akan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

4) Individu yang tiba-tiba dikejar anjing menggonggong. b. Kecemasan Sedang

Individu terfokus hanya pada pikiran yang menjadi perhatiannya, terjadi penyempitan lapangan persepsi, masih dapat melakukan sesuatu dengan arahan orang lain, contohnya sebagai berikut:

1) Pasangan suami-istri yang menghadapi kelahiran bayi pertama dengan risiko tinggi.

2) Keluarga yang menghadapi perpecahan (berantakan). 3) Individu yang mengalami konflik dalam pekerjaan. c. Kecemasan Berat

Lapangan persepsi individu sangat sempit. Pusat perhatiannya pada detil yang kecil (spesifik) dan tidak dapat berpikir tentang hal-hal lain. Seluruh


(5)

perilaku dimaksudkan untuk mengurangi kecemasan dan perlu banyak perintah/arahan untuk terfokus pada area lain, contohnya sebagai berikut:

1) Individu yang mengalami kehilangan harta benda dan orang yang dicintai karena bencana alam.

2) Individu dalam penyanderaan. d. Panik

Individu kehilangan kendali diri dan detail perhatian hilang. Karena hilangnya kontrol, maka tidak mampu melakukan apapun meskipun dengan perintah. Terjadi peningkatan aktivitas motorik, berkurangnya kemampuan berhubungan dengan orang lain, penyimpangan persepsi dan hilangnya pikiran rasional, tidak mampu berfungsi secara efektif. Biasanya disertai dengan disorganisasi kepribadian. Contohnya: individu dengan kepribadian pecah/ depersonalisasi.

4. Penyebab Kecemasan

Menurut Purba et al., (2008), kecemasan dapat disebabkan oleh: a. Adanya perasaan takut tidak diterima dalam suatu lingkungan tertentu. b. Adanya pengalaman traumatis seperti trauma akan berpisah, kehilangan atau

bencana.

c. Adanya rasa frustasi akibat kegagalan dalam mencapai tujuan.

d. Adanya ancaman terhadap integritas diri, meliputi ketidakmampuan fisiologis atau gangguan terhadap kebutuhan dasar.

e. Adanya ancaman terhadap konsep diri: identitas diri, harga diri, dan perubahan peran.


(6)

5. Tanda dan Gejala

Menurut Purba et al., (2008), ada beberapa tanda dan gejala, yaitu: a. Tanda dan Gejala pada Kecemasan

1) Respon Fisik

Yang mungkin ditemukan antara lain: sering nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, mulut kering, anoreksia, diare/konstipasi, gelisah, berkeringat, tremor, sakit kepala, dan sulit tidur.

2) Respons Kognitif

a) Lapangan persepsi menyempit.

b) Tidak mampu menerima rangsangan luar. c) Berfokus pada apa yang menjadi perhatiannya. 3) Respons Perilaku dan Emosi

a) Gerakan tersentak-sentak b) Bicara berlebihan dengan cepat c) Perasaan tidak aman

b. Tanda dan Gejala pada Koping tidak Efektif

Apabila individu sudah mengalami koping yang tidak efektif maka tanda dan gejala yang dijumpai adalah:

1) Mengungkapkan ketidakmampuan untuk mengatasi masalah atau meminta bantuan.

2) Menggunakan mekanisme pertahanan yang tidak sesuai.

3) Ketidakmampuan memenuhi peran yang diharapkan: mengalami ketegangan peran, konflik peran.


(7)

5) Tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar: makan minum, kebersihan diri, istirahat dan tidur, berdandan.

6) Perubahan dalam interaksi sosial: menarik diri, tergantung, manipulatif, implusif.

7) Perilaku destruktif: merusak diri, penyalahgunaan zat. 8) Sering sakit, berbobong atau manipulasi.

9) Rasa khawatir kronis.

6. Penilaian Tingkat Kecemasan

Zung Self-Rating Anxiety Scale (SAS/SRAS) adalah penilaian kecemasan pada pasien dewasa yang dirancang oleh William W. K. Zung (2006), dikembangkan berdasarkan gejala kecemasan dalam Diagnostic and Statistical Manual Of Mental Disorder (DSM-II) terdapat 20 pertanyaan, dimana setiap pertanyaan dinilai 1-4 (1: tidak pernah, 2: kadang-kadang, 3: sebagian waktu, 4: hampir setiap waktu. Terdapat 15 pertanyaan ke arah peningkatan kecemasan dan 5 pertanyaan ke arah penurunan kecemasan, Zung Self-Rating Anxiety Scale dalam Ian mcdowell, 2006 (Nursalam, 2012).

Menurut Nursalam (2012), ada skala peringkat kecemasan diri Zung Self, yaitu:

Tabel 2.1. Skala Peringkat Kecemasan Diri Zung Self

No. Pernyataan Tidak

Pernah Kadang- kadang Sebagian Waktu Hampir Sebagian Waktu 1. Saya merasa lebih gugup dan

cemas dari biasanya.

1 2 3 4

2. Saya merasa takut tanpa alasan sama sekali.

1 2 3 4

3. Saya mudah marah atau merasa panik.

1 2 3 4

4. Saya merasa seperti jatuh terpisah dan akan hancur berkeping-keping.


(8)

5. Saya merasa bahwa semuanya baik-baik saja dan tidak ada hal buruk akan terjadi.

4 3 2 1

6. Lengan dan kaki saya gemetar. 1 2 3 4

7. Saya terganggu oleh nyeri kepala leher dan nyeri punggung.

1 2 3 4

8. Saya merasa lemah dan mudah lelah.

1 2 3 4

9. Saya merasa tenang dan dapat duduk diam dengan mudah.

4 3 2 1

10. Saya merasakan jantung saya berdebar-debar.

1 2 3 4

11. Saya merasa pusing tujuh keliling. 1 2 3 4 12. Saya telah pingsan atau merasa

seperti itu.

1 2 3 4

13. Saya dapat bernapas dengan mudah.

4 3 2 1

14. Saya merasa jari-jari tangan dan kaki mati rasa dan kesemutan.

1 2 3 4

15. Saya terganggu oleh nyeri lambung atau gangguan pencernaan.

1 2 3 4

16. Saya sering buang air kecil. 1 2 3 4

17. Tangan saya biasanya kering dan hangat.

4 3 2 1

18. Wajah saya tersa panas dan merah merona.

1 2 3 4

19. Saya mudah tertidur dan dapat istirahat malam dengan baik.

4 3 2 1

20. Saya mimpi buruk. 1 2 3 4

Rentang penilaian 20-80, dengan pengelompokkan antara lain: 1. Skor 20-35 : normal/tidak cemas

2. Skor 36-50 : kecemasan ringan 3. Skor 51-65 : kecemasan sedang 4. Skor 66-80 : kecemasan berat

B. Histerektomi

1. Indikasi-indikasi Histerektomi

Menurut Rasjidi (2008), bahwa indikasi tersering histerektomi adalah leiomioma uteri, prolaps uterovaginal, keganasan serviks dan uterus,


(9)

endometriosis, perdarahan fungsional menetap yangtidak membaik setelah terapi konservatif.

a. Leiomioma uteri, merupakan indikasi histerektomi tersering. Intervensi bedah biasanya diindikasikan pada uterus yang berukuran 12-14 minggu atau lebih. Indikasi lain adalah jika terdapat peningkatan ukuran tumor secara cepat pada wanita premenopause. Indikasi lainnya apabila terdapat menometrorrhagia berat yang menyebabkan anemia, nyeri akibat torsi mioma, dan penekanan pada pelvis.

b. Prolaps uteri, menjadi indikasi histerektomi jika timbul keluhan atau terdapat ulserasi pada permukaan uterus yang prolaps.

c. Keganasan, kanker endometrial uterus merupakan indikasi mutlak histerektomi. Indikasi lain histerektomi adalah hiperplasia endometrial dengan atipia, yang merupakan prekursor dari keganasan endometrial. Kanker ovarium di atas stadium satu juga merupakan indikasi histerektomi. d. Endometriosis, terutama pada pasien yang sudah tidak mengharapkan

kehamilan lagi.

e. Dysfunctional Uterine Bleeding, terutama pada pasien yang gagal diterapi secara hormonal.

f. Infeksi pelvis, jarang dilakukan terutama dilakukan pada pasien yang sudah tidak menginginkan kehamilan lagi atau pada infeksi uterine puerperal yang tidak dapat dikontrol secara konservatif.

g. Masalah obstetrik, histerektomi diindikasikan pada pasien yang mengalami perdarahan yang tidak terkontrol setelah aborsi atau seksio sesarea atau infeksi berat. Penyebab perdarahan tersebut biasanya adalah ruptur uterin


(10)

yang luas, perforasi uterin berat, kehamilan abdominal atau servikal, molahidatidosa invasif, atau koriokarsinoma.

h. Pengangkatan ovarium, jika kedua ovarium perlu diangkat pada wanita usia lanjut, sebaiknya dilakukan pengangkatan uterus karena sudah tidak memiliki fungsi dan berisiko menimbulkan penyakit.

i. Nyeri pelvis kronis, nyeri pelvis kronis saat pasien melokalisasikannya pada uterus jarang menjadi indikasi histerektomi, hal tersebut sering kali merupakan masalah psikiatrik.

j. Tumor trofobastik, molahidatidosa dan khoriokarsinoma biasanya dapat berhasil diterapi dengan kemoterapi. Akan tetapi, jika terdapat peningkatan titer hCG persiten, histerektomi dapat dipertimbangkan jika uterus diketahui menjadi lokasi tumor persisten.

2. Jenis-jenis Histerektomi

Ada beberapa jenis-jenis histerektomia sesarea, yaitu: a. Histerektomi Supraservikalis

Merupakan metode operasi histerektomi yang paling tua, artinya dengan meninggalkan stomp serviks dan mengangkatnya setinggi isthmus uteri atau osteum kanalis servikal internum (Rasjidi, 2008).

Untuk melakukan histerektomi subtotal, pemotongan korpus uteri cukup dilakukan setinggi insisi tersebut. Potongan serviks dapat ditutup dengan jahitan catgut simpul. Jika masih terdapat perdarahan merembes atau kemungkinan infeksi, serviks dilonggarkan dan dipasang sebuah drain ke vagina. Dilakukan retroperitonealisasi seperti pada histerektomi totalis (Rasjidi, 2008).


(11)

b. Histerektomi Totalis

Untuk melakukan histerektomia totalis, diperlukan pembebasan kandung kemih di tengah dan ke lateral yang lebih luas. Ini akan membantu menggeser ureter kebawah pada saat kandung kemih diretraksi di bawah simfisis dan juga akan mencegah terpotong maupun terjahitnya kandung kemih saat memotong serviks dan menutup vagina. Kandung kemih dibebaskan sejauh kira-kira 2 cm dibawah tepi bawah serviks untuk mencapai puncak vagina. Jika penipisan serviks masih sedikit, batas serviks-vagina dapat dikenali dengan cara palpasi antara jari salah satu tangan di kavum douglasi dan jari tangan yang lain di sebelah depan. Jika penipisan dan pembukaan serviks sempurna, cara ini kurang memuaskan. Dalam hal ini, jari tangan dimasukkan ke rongga uterus melalui tepi bawah insisi uterus yang tadinya digunakan untuk melahirkan janin atau melalui luka yang dibuat melalui dinding depan uterus seringgi potongan arteri uterina. Jari tangan diarahkan ke bawah melalui insisi untuk mengenali tepi serviks dan forniks bagian depan (Hariadi et al., 1991).

Ligamentum kardinale, ligamentum sakrouterina dan pembuluh-pembuluh darah di dalamnya diklem rangkap dengan klem lengkung heaney, klem lurus oschner atau alat yang sejenis. Klem ditempatkan sedekat mungkin pada serviks namun tidak mengenainya. Penting untuk diperhatikan agar tidak terlalu banyak mencakup jaringan dalam satu klem. Jaringan di antara pasangan klem di potong dan potongan bagian lateral yang mengandung pembuluh darah diikat seksama. Tindakan ini diulang sampai dinding lateral vagina dicapai. Pada cara ini, cabang bawah arteri uterina diklem dipotong dan diikat pada saat memisahkan serviks dari ligamentum kardinale (Hariadi et al., 1991).


(12)

Tepat di bawah serviks, dipasang sebuah klem lengkung pada forniks vaginalis lateralis, dan jaringan sebelah medial dari klem dipotong. Potongan forniks vaginalis lateralis dijahit dan diikat rangkap ke ligamentum kardinale. Seluruh serviks kemudian dieksisi dari vagina, sementara seorang asisten secara berturut-turut memegang seluruh tebal tepi potongan vagina dengan klem lurus oschner atau yang sejenis. Serviks kemudian diperiksa untuk memastikan bahwa telah dieksisi seluruhnya dan vagina dijahit. Beberapa operator memilih menutup vagina dengan menggunakan jahitan catgut khromik berbentuk angka delapan. Kebanyakan memilih untuk menghentikan perdarahan dengan menggunakan jahitan jelujur terkunci dengan benang catgut kromik yang menembus mukosa dan fasia endopelvis sekeliling vagina. Vagina yang terbuka memungkinkan pembuangan cairan, sehingga tidak tertimbun dan mencegah terjadinya hematom dan abses (Hariadi et al., 1991).

Kavum peritoneum dan kavum douglasi dibersihkan dari darah dan sisa-sisa lainnya. Semua berkas potongan mulai dari atas (tuba fallopi dan ligamentum ovarii) sampai ke potongan vagina dan kandung kemih diperiksa teliti kemungkinan adanya perdarahan. Setiap perdarahan diklem dan dijahit seksama, harus hati-hati agar ureter tidak ikut terjahit. Dilakukan retroperitonealisasi, salah satu adalah dengan menggunakan jahitan khromik jelujur mulai dari tempat potongan tuba dan ligamentum ovarii, yang dijahit secara (Hariadi et al., 1991).

Inversi sehingga tertanam retroperitoneal. Jahitan dilanjutkan jelujur sehingga menutup potongan ligamentum latum, menanam potongan ligamentum rotundum, menggandengkan peritoneum vesicouterina dengan potongan peritoneum di atas kavum douglasi, menutup ligamentum latum pada sisi


(13)

berlawanan, menanam potongan ligamentum rotundum dan akhirnya potongan tuba dan ligamentum ovarii pada sisi yang berlawanan (Hariadi et al., 1991).

Dinding abdomen ditutup lapis demi lapis seperti pada seksio sesarea. Bila terdapat sepsis, peritoneum dan fasia ditutup bersama dengan satu lapisan menggunakan jahitan permanen nonreaktif, sedangkan jaringan subkutan dan kulit sementara tidak ditutup. Appendektomi dan Oophorektomi. Keuntungan dibandingkan resikonya melakukan appendektomi pada saat seksio sesarea atau histerektomi masih tetap merupakan perdebatan. Pada histerektomi sesarea, harus diambil keputusan tentang nasib ovarium. Apakah klem dipasang melintas ligamentum ovarii dan pangkal tuba, atau melintas ligamentum infundibulopelvikum di sebelah lateral dari ovarium dan tuba? Pada wanita mendekati usia menopause, pengambilan keputusan tidak sukar, namun hanya sedikit wanita mendekati usia menopause yang mengalami histerektomi sesarea. Pada umumnya, mempertahankan ovarium lebih diutamakan oleh kebanyakan pakar kebidanan, kecuali bila terdapat kelainan ovarium (Hariadi et al., 1991). c. Histerektomi Vaginal

Indikasinya, prolapsus uteri, mioma uteri, perdarahan berulang saat menopause (climacteric), pada pasien usia lebih dari 40 tahun, histerektomi vagina bermanfaat sebagai usaha pencegahan untuk mengurangi tingkat kematian karena keganasan, hiperplasia endometrial, displasia servikal, dan terutama karsinoma in situ yang tidak dapat diangkat sempurna dengan konisasi, dan aspek kosmetika (Rasjidi, 2008).

Kontraindikasi histerektomi vaginal adalah, terdapat jaringan parut, inflamasi, atau perubahan endometrial pada adneksa, tumor ovarium, riwayat


(14)

laparatomi sebelumya (termasuk perforasi appendix) dan abses pada cul-de-sac douglas karena diduga terjadi pembentukan perlekatan (Rasjidi, 2008).

Adapun syarat histerektomi vaginal, yaitu: mobilitas dan akses yang mudah dalam mencapai uterus dan morbiditas adneksa yang baik, ukuran mioma uteri diperkirakan dapat ditarik melewati false pelvis (diperkirakan sama dengan ukuran uterus pada usia kehamilan 4-5 bulan) pada primipara dan multipara, ukuran vagina relatif tidak penting dalam menentukan pilihan histerektomi vagina karena vagina dapat diregangkan dengan mudah dalam keadaan dianastesi (Rasjidi, 2008).

Menurut Rasjidi (2008), adapun teknik/prosedur histerektomi vaginal antara lain:

1) Setelah dilakukan anestesi umum, pasien ditempatkan dalam posisi dorsal litotomi. Pemeriksaan pelvis bimanual dilakukan sebelum operasi.

2) Jahit labia minora, spekulum dipasang lalu tenakulum dipasang.

3) Dengan menggunakan syringe 20 ml, lakukan injeksi dengan bahan vasokonstriksi seperti: 0,5%-1% lidokain dengan epinefrin (konsentrasi 1:200.000); 0,25% bupivakain dengan epinefrin, atau pitressin yang diencerkan pada empat daerah submukosal sekeliling serviks untuk mengontrol perdarahan.

4) Setelah 3 menit insisi transversal dibuat sekitar 2 cm di atas serviks dengan skalpel di sepanjang mukosa vaginal anteror di bawah perlekatan dari kandung kemih hingga tampak jaringa ikat.

5) Jaringan ikat dinding anterior vagina yang berhubungan dengan kandung kemih lalu dipisahkan dengan menggunakan jari yang dibalut kasa atau dengan gunting.


(15)

6) Setelah ditemukan plika vesikouterina, lakukan insisi hingga dapat masuk ke dalam kavum peritonii. Setelah terbuka lebar, jahitan dengan benang 2-0 sintetis yang dapat diabsorbsi, dilakukan untuk memudahkan pencairan peritoneum anterior nantinya.

7) Pengangkatan plika vesikouterina dengan forseps akan membuat lubang nyata terlihat. Dianjurkan untuk memasukkan jari pada lubang ini dan mengeksplorasi area ini.

8) Insisi tranversal dibuat sepanjang mukosa vagina posterior pada tingkatan forniks vagina psoterior.

9) Mukosa didorong ke bawah untuk mencapai peritoneum, kemudian uterus ditarik ke sisi kanan dengan bantuan tenakulum.

10) Insisi vaginal anterior dan posterior disatukan dengan insisi lateral pada tiap sisi serviks dan mukosa didorong kebelakang sekitar 2 cm tiap sisinya. 11) Uterus ditarik ke sisi kanan dengan bantuan tenakulum. Klem selanjutnya

digantikan dengan ligasi fiksasi dengan jahitan figure-of-8 menggunakan benang 0 sintesis yang dapat diabsorbsi.

12) Saat dilakukan pengikatan, benang dipegang dengan klem kelly untuk traksi. Dengan uterus di sebelah atas dan retraksi di sebelah lateral dengan tenakulum pada serviks, ligamen kardinal yang berdekatan dengan segmen bawah rahim diklem dan diinsisi.

13) Setelah uterus dikeluarkan, retraktor diletakkan pada vagina untuk membuka pelvis. Adneksa ditarik dengan klem, lalu ligamen infundibulopelvik diklem menggunakan dua klem Oschner, diinsisi dan bagian proksimal diligasi dengan benang 0 sintesis yang dapat diabsorbsi.


(16)

C. Histerektomi Sesarea

1. Indikasi-indikasi Histerektomi Sesarea

Indikasi-indikasi histerektomi sesarea telah dibicarakan dalam hubungannya dengan berbagai keadaan yang terkadang memerlukan tindakan operasi. Secara ringkas, infeksi intrauterin, jaringan parut yang sangat jelek, hipotonia uterus hebat yang tidak terangsang dengan oksitosin, prostaglandin dan pengurutan, robekan pembuluh darah besar uterus, mioma besar, displasia berat atau karsinoma in situ serviks, dan plasenta akreta atau inkreta, biasanya paling baik diatasi dengan histerektomia langsung apabila dilakukan seksio sesarea. Kekhawatiran utama pada histerektomi sesarea adalah meningkatnya perdarahan serta frekuensi perlukaan saluran kemih yaitu perlukaan ureter atau lebih sering kandung kemih (Hariadi et al., 1991).

2. Kontraindikasi Histerektomi Sesarea

Pada prinsipnya tidak ada kontraindikasi untuk histerektomi sesarea, dan adapun syarat histerektomi sesarea, yaitu: indikasi terpenuhi, surat persetujuan (informed consent), dan adanya tim pendukung (Rasjidi, 2008).

Persiapan histerektomi sesarea, antara lain: penilaian kembali pasien secara umum meliputi kondisi hemodinamik, status koagulasi, maupun penyakit lain yang menyertai, persiapan darah untuk keperluan transfusi, dukungan tim bedah yang berpengalaman terdiri dari asisten sirkulator, teknisi bedah, dokter anestesia, asisten bedah, dan dokter bedah utama. Kemudian antibiotik profilaksis, pasang dauer cateter, rambut pubis dicukur paling lama enam jam sebelum operasi (Rasjidi, 2008).


(17)

3. Teknik Histerektomi Sesarea

Setelah janin dilahirkan dengan seksio sesarea klasik atau segmen bawah, dapat dilakukan histerektomi supraservikal atau lebih baik total dengan cara yang baku, biasanya dengan meninggalkan adneksa. Meskipun semua pembuluh darah pada uterus yang hamil lebih besar dari pada yang tidak hamil, histerektomi biasanya dipermudah oleh mudahnya memisahkan jaringan. Jumlah perdarahan biasanya cukup banyak, pada histerektomi sesarea dengan maksud sterilisasi, jumlah perdarahan rata-rata sekitar 1500 ml, atau 500 ml lebih banyak dari pada seksio sesarea (Hariadi et al., 1991).

Pada saat bahu anak dilahirkan, oksitosin diberikan dengan infus intravena sampai uterus dikeluarkan. Perdarahan dari pembuluh darah besar segera diklem dan diikat. Plasenta diambil dan untuk mencegah perdarahan hebat, dimasukkan kasa laparatomi ke rongga uterus di tempat bekas implantasi plasenta, sebelum insisi uterus ditutup dengan jahitan jelujur atau simpul. Uterus diangkat keluar dari rongga abdomen, ligamentum rotundum dekat ke uterus dipotong di antara dua klem heaney atau kocher, dan diikat rangkap menggunakan benang catgut khromik ukuran 0 atau 1. Insisi pada serosa vesikouterina, yang dibuat untuk memisahkan kandung kemih pada seksio sesarea, diperpanjang kesamping dan keatas melalui serosa depan ligamentum latum, sampai mencapai potongan ligamentum rotundum (Hariadi et al., 1991).

Tiap perdarahan yang aktif harus diklem dan diikat untuk mengurangi jumlah perdarahan. Serosa belakang ligamentum latum dekat ke uterus, dilubangi tepat dibawah tuba fallopi, ligamentum ovarii proprium serta pembuluh darah ovarium, kemudian ini semua diklem rangkap dekat dengan


(18)

uterus dan dipotong, potongan lateral diikat rangkap. Potongan dekat uterus diikat dan klem dapat dilepas (Hariadi et al., 1991).

Lembar belakang ligamentum latum kemudian dipotong ke bawah ke arah ligamentum kardinale. Lagi, tiap perdarahan harus diklem dan diikat. Kemudian, kandung kemih serta peritoneum dipisahkan dari segmen bawah uterus. Biasanya hal ini dapat dilakukan mudah dengan diseksi secara tumpul, menggunakan kasa pada jari tangan (Hariadi et al., 1991).

Jika terdapat perlekatan kandung kemih, seperti pada bekas seksio sesarea, maka perlu dilakukan diseksi tajam dengan gunting. Pada saat ini harus hati-hati jangan sampai melukai ureter, yang melintas di bawah arteri uterina. Arteri dan vena uterina pada kedua sisi diidentifikasi, diklem rangkap dekat ke uterus, dipotong dan diikat rangkap (Hariadi et al., 1991).


(1)

berlawanan, menanam potongan ligamentum rotundum dan akhirnya potongan tuba dan ligamentum ovarii pada sisi yang berlawanan (Hariadi et al., 1991).

Dinding abdomen ditutup lapis demi lapis seperti pada seksio sesarea. Bila terdapat sepsis, peritoneum dan fasia ditutup bersama dengan satu lapisan menggunakan jahitan permanen nonreaktif, sedangkan jaringan subkutan dan kulit sementara tidak ditutup. Appendektomi dan Oophorektomi. Keuntungan dibandingkan resikonya melakukan appendektomi pada saat seksio sesarea atau histerektomi masih tetap merupakan perdebatan. Pada histerektomi sesarea, harus diambil keputusan tentang nasib ovarium. Apakah klem dipasang melintas ligamentum ovarii dan pangkal tuba, atau melintas ligamentum infundibulopelvikum di sebelah lateral dari ovarium dan tuba? Pada wanita mendekati usia menopause, pengambilan keputusan tidak sukar, namun hanya sedikit wanita mendekati usia menopause yang mengalami histerektomi sesarea. Pada umumnya, mempertahankan ovarium lebih diutamakan oleh kebanyakan pakar kebidanan, kecuali bila terdapat kelainan ovarium (Hariadi et al., 1991). c. Histerektomi Vaginal

Indikasinya, prolapsus uteri, mioma uteri, perdarahan berulang saat menopause (climacteric), pada pasien usia lebih dari 40 tahun, histerektomi vagina bermanfaat sebagai usaha pencegahan untuk mengurangi tingkat kematian karena keganasan, hiperplasia endometrial, displasia servikal, dan terutama karsinoma in situ yang tidak dapat diangkat sempurna dengan konisasi, dan aspek kosmetika (Rasjidi, 2008).

Kontraindikasi histerektomi vaginal adalah, terdapat jaringan parut, inflamasi, atau perubahan endometrial pada adneksa, tumor ovarium, riwayat


(2)

laparatomi sebelumya (termasuk perforasi appendix) dan abses pada cul-de-sac douglas karena diduga terjadi pembentukan perlekatan (Rasjidi, 2008).

Adapun syarat histerektomi vaginal, yaitu: mobilitas dan akses yang mudah dalam mencapai uterus dan morbiditas adneksa yang baik, ukuran mioma uteri diperkirakan dapat ditarik melewati false pelvis (diperkirakan sama dengan ukuran uterus pada usia kehamilan 4-5 bulan) pada primipara dan multipara, ukuran vagina relatif tidak penting dalam menentukan pilihan histerektomi vagina karena vagina dapat diregangkan dengan mudah dalam keadaan dianastesi (Rasjidi, 2008).

Menurut Rasjidi (2008), adapun teknik/prosedur histerektomi vaginal antara lain:

1) Setelah dilakukan anestesi umum, pasien ditempatkan dalam posisi dorsal litotomi. Pemeriksaan pelvis bimanual dilakukan sebelum operasi.

2) Jahit labia minora, spekulum dipasang lalu tenakulum dipasang.

3) Dengan menggunakan syringe 20 ml, lakukan injeksi dengan bahan vasokonstriksi seperti: 0,5%-1% lidokain dengan epinefrin (konsentrasi 1:200.000); 0,25% bupivakain dengan epinefrin, atau pitressin yang diencerkan pada empat daerah submukosal sekeliling serviks untuk mengontrol perdarahan.

4) Setelah 3 menit insisi transversal dibuat sekitar 2 cm di atas serviks dengan skalpel di sepanjang mukosa vaginal anteror di bawah perlekatan dari kandung kemih hingga tampak jaringa ikat.

5) Jaringan ikat dinding anterior vagina yang berhubungan dengan kandung kemih lalu dipisahkan dengan menggunakan jari yang dibalut kasa atau dengan gunting.


(3)

6) Setelah ditemukan plika vesikouterina, lakukan insisi hingga dapat masuk ke dalam kavum peritonii. Setelah terbuka lebar, jahitan dengan benang 2-0 sintetis yang dapat diabsorbsi, dilakukan untuk memudahkan pencairan peritoneum anterior nantinya.

7) Pengangkatan plika vesikouterina dengan forseps akan membuat lubang nyata terlihat. Dianjurkan untuk memasukkan jari pada lubang ini dan mengeksplorasi area ini.

8) Insisi tranversal dibuat sepanjang mukosa vagina posterior pada tingkatan forniks vagina psoterior.

9) Mukosa didorong ke bawah untuk mencapai peritoneum, kemudian uterus ditarik ke sisi kanan dengan bantuan tenakulum.

10) Insisi vaginal anterior dan posterior disatukan dengan insisi lateral pada tiap sisi serviks dan mukosa didorong kebelakang sekitar 2 cm tiap sisinya. 11) Uterus ditarik ke sisi kanan dengan bantuan tenakulum. Klem selanjutnya

digantikan dengan ligasi fiksasi dengan jahitan figure-of-8 menggunakan benang 0 sintesis yang dapat diabsorbsi.

12) Saat dilakukan pengikatan, benang dipegang dengan klem kelly untuk traksi. Dengan uterus di sebelah atas dan retraksi di sebelah lateral dengan tenakulum pada serviks, ligamen kardinal yang berdekatan dengan segmen bawah rahim diklem dan diinsisi.

13) Setelah uterus dikeluarkan, retraktor diletakkan pada vagina untuk membuka pelvis. Adneksa ditarik dengan klem, lalu ligamen infundibulopelvik diklem menggunakan dua klem Oschner, diinsisi dan bagian proksimal diligasi dengan benang 0 sintesis yang dapat diabsorbsi.


(4)

C. Histerektomi Sesarea

1. Indikasi-indikasi Histerektomi Sesarea

Indikasi-indikasi histerektomi sesarea telah dibicarakan dalam hubungannya dengan berbagai keadaan yang terkadang memerlukan tindakan operasi. Secara ringkas, infeksi intrauterin, jaringan parut yang sangat jelek, hipotonia uterus hebat yang tidak terangsang dengan oksitosin, prostaglandin dan pengurutan, robekan pembuluh darah besar uterus, mioma besar, displasia berat atau karsinoma in situ serviks, dan plasenta akreta atau inkreta, biasanya paling baik diatasi dengan histerektomia langsung apabila dilakukan seksio sesarea. Kekhawatiran utama pada histerektomi sesarea adalah meningkatnya perdarahan serta frekuensi perlukaan saluran kemih yaitu perlukaan ureter atau lebih sering kandung kemih (Hariadi et al., 1991).

2. Kontraindikasi Histerektomi Sesarea

Pada prinsipnya tidak ada kontraindikasi untuk histerektomi sesarea, dan adapun syarat histerektomi sesarea, yaitu: indikasi terpenuhi, surat persetujuan (informed consent), dan adanya tim pendukung (Rasjidi, 2008).

Persiapan histerektomi sesarea, antara lain: penilaian kembali pasien secara umum meliputi kondisi hemodinamik, status koagulasi, maupun penyakit lain yang menyertai, persiapan darah untuk keperluan transfusi, dukungan tim bedah yang berpengalaman terdiri dari asisten sirkulator, teknisi bedah, dokter anestesia, asisten bedah, dan dokter bedah utama. Kemudian antibiotik profilaksis, pasang dauer cateter, rambut pubis dicukur paling lama enam jam sebelum operasi (Rasjidi, 2008).


(5)

3. Teknik Histerektomi Sesarea

Setelah janin dilahirkan dengan seksio sesarea klasik atau segmen bawah, dapat dilakukan histerektomi supraservikal atau lebih baik total dengan cara yang baku, biasanya dengan meninggalkan adneksa. Meskipun semua pembuluh darah pada uterus yang hamil lebih besar dari pada yang tidak hamil, histerektomi biasanya dipermudah oleh mudahnya memisahkan jaringan. Jumlah perdarahan biasanya cukup banyak, pada histerektomi sesarea dengan maksud sterilisasi, jumlah perdarahan rata-rata sekitar 1500 ml, atau 500 ml lebih banyak dari pada seksio sesarea (Hariadi et al., 1991).

Pada saat bahu anak dilahirkan, oksitosin diberikan dengan infus intravena sampai uterus dikeluarkan. Perdarahan dari pembuluh darah besar segera diklem dan diikat. Plasenta diambil dan untuk mencegah perdarahan hebat, dimasukkan kasa laparatomi ke rongga uterus di tempat bekas implantasi plasenta, sebelum insisi uterus ditutup dengan jahitan jelujur atau simpul. Uterus diangkat keluar dari rongga abdomen, ligamentum rotundum dekat ke uterus dipotong di antara dua klem heaney atau kocher, dan diikat rangkap menggunakan benang catgut khromik ukuran 0 atau 1. Insisi pada serosa vesikouterina, yang dibuat untuk memisahkan kandung kemih pada seksio sesarea, diperpanjang kesamping dan keatas melalui serosa depan ligamentum latum, sampai mencapai potongan ligamentum rotundum (Hariadi et al., 1991).

Tiap perdarahan yang aktif harus diklem dan diikat untuk mengurangi jumlah perdarahan. Serosa belakang ligamentum latum dekat ke uterus, dilubangi tepat dibawah tuba fallopi, ligamentum ovarii proprium serta pembuluh darah ovarium, kemudian ini semua diklem rangkap dekat dengan


(6)

uterus dan dipotong, potongan lateral diikat rangkap. Potongan dekat uterus diikat dan klem dapat dilepas (Hariadi et al., 1991).

Lembar belakang ligamentum latum kemudian dipotong ke bawah ke arah ligamentum kardinale. Lagi, tiap perdarahan harus diklem dan diikat. Kemudian, kandung kemih serta peritoneum dipisahkan dari segmen bawah uterus. Biasanya hal ini dapat dilakukan mudah dengan diseksi secara tumpul, menggunakan kasa pada jari tangan (Hariadi et al., 1991).

Jika terdapat perlekatan kandung kemih, seperti pada bekas seksio sesarea, maka perlu dilakukan diseksi tajam dengan gunting. Pada saat ini harus hati-hati jangan sampai melukai ureter, yang melintas di bawah arteri uterina. Arteri dan vena uterina pada kedua sisi diidentifikasi, diklem rangkap dekat ke uterus, dipotong dan diikat rangkap (Hariadi et al., 1991).