Pengaruh Perawatan Rooming-in terhadap Produksi ASI pada Ibu Postpartum di RSU Fajar Medan Polonia Tahun 2015
1. Konsep Rawat Gabung 1.1 Pengertian Rawat Gabung
Rawat gabung adalah suatu cara perawatan dimana ibu dan bayi yang baru dilahirkan tidak dipisahkan, melainkan di tempatkan dalam sebuah ruangan kamar atau tempat bersama-sama selama 24 jam penuh dalam seharinya (Maryuni, 2009; Rukiyah, 2010).
1.2 Tujuan Rawat Gabung
Tujuan rawat gabung adalah agar ibu dapat menyusui bayinya sedini mungkin kapan saja dibutuhkan, ibu dapat melihat dan memahami cara perawatan bayi yang benar seperti yang dilakukan oleh petugas, ibu mempunyai pengalaman dalam merawat bayinya sendiri selagi ibu masih di rumah sakit dan ibu memperoleh bekal keterampilan merawat bayi serta menjalankannya setelah pulang dari rumah sakit. Rawat gabung juga memungkinkan suami dan keluarga dapat terlibat secara aktif untuk mendukung dan membantu ibu dalam menyusui dan merawat bayinya secara baik dan benar, selain itu ibu mendapatkan kehangatan emosional karena ibu dapat selalu kontak dengan buah hati yang sangat dicintainya, demikian pula sebaliknya bayi dengan ibunya (Maas, 2004; Mappiwali, 2008).
1.3 Syarat Ibu dan Bayi yang Dapat Dirawat Gabung
Ibu dan bayinya yang dapat dirawat gabung harus memenuhi syarat atau kriteria antara lain : usia kehamilan >34 minggu dan berat lahir >1800 gram (berarti berarti refleks menelan dan menghisapnya sudah membaik), nilai APGAR pada lima menit pertama minimal 7, tidak ada kelainan kongenital yang memerlukan perawatan khusus, tidak ada trauma lahir atau morbiditas lain yang berat, dan bayi yang lahir
(2)
dengan sectio caesarea yang menggunakan pembiusan umum, rawat gabung dilakukan setelah ibu dan bayi sadar, misalnya 4-6 jam setelah operasi selesai. Apabila pembiusan secara spinal, bayi dapat segera disusui. Apabila ibu masih mendapat infus, bayi tetap dapat disusui dengan bantuan petugas, dan ibu dalam keadaan sehat (Prawirohardjo, 2008; Maryuni, 2009).
1.4 Kontraindikasi Rawat Gabung
Kegiatan rawat gabung dimulai sejak ibu bersalin di kamar bersalin dan di bangsal perawatan pasca persalinan. Akan tetapi, tidak semua bayi atau ibu dapat segera dirawat gabung. Ibu yang tidak dapat melaksanakan rawat gabung adalah ibu dengan kelainan jantung yang ditakutkan menjadi gagal jantung, ibu dengan preklamsia dan eklamsia berat, ibu dengan penyakit akut yang berat, ibu dengan karsionoma payudara, dan ibu dengan psikosis. Sedangkan bayi yang tidak dapat di rawat gabung adalah bayi dengan berat lahir sangat rendah, bayi dengan kelainan kongenital yang berat, bayi yang memerlukan observasi atau terapi khusus (bayi kejang, sakit berat) (Prawirohardjo, 2008).
1.5 Proses dan Cara Pelaksanaan Rawat Gabung
Kegiatan rawat gabung dimulai sejak ibu bersalin di kamar bersalin dan di bangsal perawatan pasca persalinan. Meskipun demikian penyuluhan tentang manfaat dan pentingnya rawat gabung sudah dimulai sejak ibu pertama kali memeriksakan kehamilannya di poliklinik asuhan antenatal (Marjono, 1999).
Tidak semua bayi atau ibu dapat segera dirawat gabung, bayi dan ibu yang dapat segera mengikuti program rawat gabung harus memenuhi beberapa kriteria yaitu lahir spontan baik presentasi kepala maupun bokong, masa kehamilan lebih dari 37minggu dengan berat lahir lebih dari 2500 gram, bayi tidak mengalami asfiksia (nilai APGAR menit ke V lebih dari 7), tidak ada gejala sesak nafas,
(3)
sianosis, infeksi atau kelainan kongenital berat, bila lahir dengan tindakan (vakum atau forceps) rawat gabung dapat ditunda sementara sampai bayi kelihatan baik, aktif dan sudah ada refleks menghisap. Bayi yang lahir secara sectio caesarea dengan pembiusan umum, rawat gabung dilakukan setelah ibu dan bayi sadar (bayi tidak mengantuk) misalnya empat sampai enam jam setelah operasi selesai, ibu sehat dan tidak ada infeksi intrapartum (Karkata, dalam Soetjiningsih, 1997 ; Rulina & Tobing, 2004; Mappiwali, 2008).
Dalam perawatan rooming-in bayi ditempatkan bersama ibunya dalam suatu ruangan, sehingga ibu dapat melihat dan menjangkau bayinya kapan saja ibu membutuhkannya. Bayi dapat diletakkan di tempat tidur bersama ibunya, atau dalam boks di samping tempat tidur ibu (Marjono, 1999).
Perawat harus memperhatikan keadaan umum bayi dan dapat mengenali keadaan-keadaan abnormal, kemudian melaporkannya kepada dokter. Dokter (terutama dokter anak dan kebidanan) mengadakan kunjungan sekurang-kurangnya sekali dalam sehari. Dokter harus memperhatikan keadaan ibu maupun bayi, terutama yang berhubungan dengan masalah menyusui. Perlu diperhatikan apakah apakah ASI sudah keluar, adakah pembengkakan payudara, keadaan puting, adakah rasa sakit yang mengganggu saat menyusui, dan sebagainya (Marjono, 1999).
Perawat juga harus membantu ibu untuk merawat payudara, menyusui, menyendawakan dan merawat bayi secara benar. Bila ibu dan bayi sudah diperbolehkan pulang, diberikan penyuluhan lagi tentang cara merawat bayi, payudara, dan cara menyusui yang benar sehingga ibu akan terampil melakukannya di rumah (Marjono, 1999).
(4)
1.6 Manfaat Rawat Gabung
Kontak dini antara ibu dan bayi yang telah dibina sejak dari kamar bersalin seharusnya tetap dipertahankan dengan merawat bayi bersama ibunya. Secara fisik, rawat gabung bermanfaat memudahkan ibu untuk menjangkau bayinya untuk melakukan perawatan sendiri dan menyusui setiap saat, kapan saja bayinya menginginkan. Perawatan sendiri dan menyusui sedini mungkin, akan mengurangi kemungkinan terjadinya infeksi silang dari pasien lain atau petugas kesehatan (Mappiwali, 2008; Suradi dan Kristina, 2004).
Secara fisiologis, rawat gabung memberikan kesempatan pada ibu untuk dekat dengan bayinya, sehingga bayi dapat segera disusui dan frekuensi ibu memberi ASI akan lebih sering. Proses ini merupakan proses fisiologis yang alami, di mana bayi mendapat nutrisi alami yang paling sesuai dan baik. Hal ini akan menimbulkan refleks prolaktin yang akan memacu proses produksi ASI. Selain itu, ibu dengan menyusui akan mengalami refleks oksitosin yang akan membantu proses fisiologis involusi rahim (Mappiwali, 2008; Suradi dan Kristina, 2004).
Secara psikologis, Ibu dan bayi akan segera terjalin proses lekat (early
infant-mother bonding) karena adanya sentuhan badan antara ibu dan bayinya. Hal ini
mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan psikologis bayi karena kehangatan tubuh ibu merupakan stimulasi mental yang mutlak dibutuhkan oleh bayi (Mappiwali, 2008; Suradi dan Kristina, 2004). Rawat gabung juga akan memberikan kepuasan pada ibu karena ibu dapat melaksanakan tugasnya sebagai seorang ibu dalam memenuhi kebutuhan nutrisi bagi bayinya dan keadaan ini akan memperlancar produksi ASI karena seperti telah diketahui, refleks let-down bersifat psikosomatis. Sebaliknya bayi akan mendapatkan rasa aman dan terlindung, merupakan dasar bagi terbentuknya rasa percaya pada diri anak. Ibu akan merasa bangga karena dapat
(5)
menyusui dan merawat bayinya sendiri dan bila suaminya berkunjung, akan terasa adanya suatu ikatan kesatuan keluarga (Prawirohardjo, 2008).
Secara edukatif, ibu akan diajari cara menyusui yang benar, cara merawat payudara, merawat tali pusat, memandikan bayi (Mappiwali, 2008). Keterampilan ini diharapkan dapat menjadi modal bagi ibu untuk merawat bayi dan dirinya sendiri setelah pulang dari rumah sakit dan di samping pendidikan bagi ibu, dapat juga dipakai sebagai sarana pendidikan bagi keluarga, terutama suami, dengan cara mengajarkan suami cara merawat ibu dan bayi. Suami akan termotivasi untuk memberi dorongan moral bagi istrinya agar mau menyusui bayinya (Prawirohardjo, 2008).
Secara ekonomi, rawat gabung memungkinkan ibu untuk memberikan ASI sedini mungkin. Bagi rumah bersalin terutama rumah sakit pemerintah, hal tersebut merupakan suatu penghematan anggaran pengeluaran untuk pembelian susu formula, botol susu, dot serta peralatan lain yang dibutuhkan. Lama perawatan ibu menjadi lebih pendek karena involusi rahim terjadi lebih cepat dan infeksi nosokomial dapat dicegah atau dikurangi, berarti penghematan biaya bagi rumah sakit maupun keluarga ibu (Mappiwali, 2008; Suradi dan Kristina, 2004).
Secara medis, pelaksanaan rawat gabung akan menurunkan terjadinya infeksi nosokomial pada bayi serta menurunkan angka morbiditas dan mortalitas ibu maupun bayi (Mappiwali, 2008; Prawirohardjo, 2008).
2. Konsep Pasca Salin 2.1 Defenisi Pasca Salin
Pasca salin atau yang sering disebut masa nifas (puerperium) adalah masa pulih kembali seperti sebelum hamil, mulai dari persalinan selesai sampai alat-alat kandungan kembali seperti sebelum hamil dan lama masa nifas yaitu 6-8 minggu
(6)
(Mochtar, 1998). Bobak (2004) menyatakan bahwa periode pasca salin adalah masa enam minggu sejak bayi baru lahir sampai organ-organ reproduksi kembali ke keadaan normal sebelum hamil.
2.2 Adaptasi Fisiologis Pasca Salin
Perubahan fisiologis yang terjadi sangat jelas, walaupun dianggap normal, dimana proses – proses pada kehamilan berjalan terbalik. Perubahan fisiologis yang terjadi antara lain pada sistem reproduksi yang meliputi uterus, servik, vagina, dan payudara. Berikut penjelasan dari perubahan fisiologis pada beberapa sistem reproduksi (Bobak, 2004) :
Uterus akan mengalami suatu proses kembali ke keadaan sebelum hamil setelah melahirkan yang disebut involusi. Proses ini dimulai segera setelah plasenta keluar akibat kontraksi otot-otot polos. Uterus yang pada waktu hamil penuh beratnya 11 kali berat sebelum hamil, berinvolusi menjadi kira-kira 500 gram dalam satu minggu setelah melahirkan dan berada di dalam panggul sejati lagi.
Servik menjadi lunak segera setelah ibu melahirkan. Delapan belas (18) jam pascapartum, servik memendek dan konsistensinya menjadi lebih padat dan kembali ke bentuk semula.
Estrogen pascapartum yang menurun berperan dalam penipisan mukosa vagina dan hilangnya rugae. Vagina yang semula sangat teregang akan kembali secara bertahap keukuran sebelum hamil 6-8 minggu setelah bayi lahir.
Apabila wanita memilih untuk menyusui dan tidak menggunakan obat antilaktogenik, kadar prolaktin akan turun dengan cepat. Sekresi dan ekskresi colostrum menetap selama beberapa hari pertama setelah wanita melahirkan.
Ibu yang menyusui ketika laktasi terbentuk, teraba suatu masa (benjolan), tetapi kantong susu yang terisi berubah posisi dari hari ke hari. Sebelum laktasi dimulai,
(7)
payudara teraba lunak dan suatu cairan kekuningan, yakni colostrum dikeluarkan dari payudara.
2.3 Adaptasi Psikologis Pasca Salin
Periode pasca salin menggambarkan suatu waktu stress emosional bagi ibu baru dan menjadi lebih sulit dengan perubahan fisiologis besar yang terjadi. Adaptasi psikologis setelah melahirkan menurut Rubin (1997, dalam Stright, 2004; Maryuni, 2009) mengatakan bahwa ibu akan melalui fase taking-in, taking-hold,letting-go. Penjelasan dari fase-fase ini dapat diperjelas sebagai berikut :
a. Fase taking-in
Fase ini merupakan periode ketergantungan dimana ibu mengharapkan segala kebutuhannya dipenuhi orang lain. Fase ini berlangsung 1-2 hari setelah melahirkan, ibu biasanya lebih mudah tersinggung dan cenderung bersifat pasif terhadap lingkungannya disebabkan faktor kelelahan; energi difokuskan pada perhatian tubuhnya. Ibu akan sering mengulang kembali pengalaman persalinan dan melahirkan.
b. Fase taking-hold
Fase ini berlangsung 3-10 hari setelah melahirkan, ibu menaruh perhatian pada kemampuannya untuk menjadi orangtua yang berhasil dan menerima peningkatan tanggung jawab terhadap bayinya. Ibu berfokus pada pengembalian kontrol terhadap fungsi tubuhnya, fungsi usus, kandung kemih, kekuatan, dan daya tahan. Ibu juga berusaha untuk terampil dalam perawatan bayi baru lahir (misalnya, memeluk, menyusui ASI atau dengan botol, memandikan, atau mengganti popok). c. Fase letting-go
Fase ini umumnya terjadi setelah ibu baru kembali ke rumah. Ibu sudah menerima tanggung jawabnya untuk merawat bayinya dan ibu sudah harus mampu
(8)
beradaptasi terhadap kebutuhan ketergantungan bayinya dan beradaptasi terhadap penurunan otonomi, kemandirian dan interaksi sosial.
3. Konsep Air Susu Ibu (ASI)
3.1 Defenisi Air Susu Ibu (ASI) adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktose dan garam organik yang disekresi oleh kedua belah kelenjar payudara ibu, sebagai makanan utama bagi bayi (Kristiyanasari, 2009).
Produksi ASI adalah proses mengeluarkan hasil, penghasilan ASI (KBBI, 2005). Pengeluaran ASI merupakan suatu interaksi yang sangat kompleks antara rangsangan mekanik, saraf dan hormon (Kari, dalam Soetjiningsih 1997 ; Thompson, 1995).
3.2 Fisiologi Laktasi
Fisiologi Laktasi Laktasi adalah keseluruhan proses menyusui mulai dari ASI diproduksi sampai proses bayi menghisap dan menelan (Ambarwati & Wulandari, 2008).
Refleks maternal yang berperan dalam proses laktasi adalah refleks produksi dan refleks pengeluaran ASI. Refleks tersebut responsif terhadap kekuatan yang mengatur laktasi, yaitu isapan. Keduanya melibatkan hormon prolaktin, yang merangsang produksi air susu, dan oksitosin, yang berperan dalam ejeksi (penyemprotan) air susu (Anhari dkk, 1994 ; Coad & Dunstall, 2006).
Selama kehamilan,hormon prolaktin dari plasenta meningkat tetapi ASI biasanya belum keluar karena masih dihambat oleh kadar estrogen yang tinggi (Suradi & Tobing, 2004). Hambatan diproduksinya ASI menghilang setelah kelahiran dan pengeluaran plasenta, saat kadar progesteron turun praktis (Lewellyin, D.J, 2005; Saryono & Pramitasari, 2008).
(9)
Setiap kali bayi menghisap payudara, akan merangsang ujung saraf sensoris di sekitar payudara sehingga merangsang kelenjar hipofisis anterior untuk menghasilkan prolaktin. Prolaktin akan masuk ke peredaran darah kemudian ke payudara sehingga menyebabkan sel sekretori di alveoli menghasilkan ASI (Christine & Jones, 2005).
Hormon prolaktin diproduksi oleh kelenjar hipofisis anterior. Prolaktin akan berada di peredaran darah selama 30 menit setelah bayi menyusu, sehingga prolaktin dapat merangsang payudara menghasilkan ASI untuk konsumsi berikutnya, sedangkan untuk konsumsi pada saat sekarang, bayi meminum ASI yang sudah ada yaitu yang disimpan pada sinus laktiferus (Roesli & Yohmi, 2008).
Makin banyak ASI yang dikeluarkan dari sinus laktiferus makin banyak produksi ASI. Dengan kata lain, makin sering bayi menyusu makin banyak ASI diproduksi. Sebaliknya makin jarang bayi menghisap, makin sedikit payudara menghasilkan ASI. Jika bayi berhenti menghisap maka payudara akan berhenti menghasilkan ASI ( King,1991 ; Danuatmaja & Meiliasari, 2003 ; Lewellyin, D& Jones, 2005 ; Roesli & Yohmi, 2008).
Hormon prolaktin umumnya dihasilkan pada malam hari, sehingga menyusui pada malam hari dapat membantu mempertahankan produksi ASI. Prolaktin juga akan menekan ovulasi (fungsi indung telur untuk menghasilkan sel telur), sehingga menyusui secara eksklusif akan memperlambat kembalinya fungsi kesuburan dan haid, karena itu, menyusui pada malam hari penting untuk tujuan menunda kehamilan (Newman & Pitman, 2008 ; Roesli & Yohmi, 2008).
Hormon oksitosin diproduksi oleh kelenjar hipofisis posterior. oksitosin dihasilkan bila ujung saraf di sekitar payudara dirangsang oleh isapan. Oksitosin akan dialirkan melalui darah menuju payudara yang akan merangsang kontraksi otot
(10)
di sekeliling alveoli dan mengeluarkan ASI ke duktus laktiferus (King, 1991 ; Nolan, 2003).
Oksitosin dibentuk lebih cepat dibanding prolaktin. Keadaan ini menyebabkan ASI di payudara akan mengalir untuk dihisap.Oksitosin sudah mulai bekerja saat ibu berkeinginan menyusui (sebelum bayi menghisap). Aliran ASI sebagai respon terhadap oksitosin disebut let down reflex/milk ejection reflex. Jika refleks oksitosin tidak bekerja dengan baik, maka bayi akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan ASI. Payudara seolah-olah telah berhenti memproduksi ASI, padahal payudara tetap menghasilkan asi namun tidak mengalir keluar. Efek penting oksitosin lainnya adalah menyebabkan uterus berkontraksi setelah bmelahirkan sehingga membantu mengurangi perdarahan (Neilson, 1990 ; Moody dkk., 2005 ; Roesli & Yohmi, 2008).
3.3 Tanda-tanda yang mempengaruhi ASI
Menurut Roesli (2000) tanda-tanda yang dapat mempengaruhi Asi dapat dilihat dari kuantitas Asi dan Kualitas Asi. Kuantitas Asi adalah jumlah atau banyaknya Asi, sedangkan kualitas ialah mutu dari produksi Asi pada saat Ibu menyusui bayinya.
3.3.1 Kuantitas ASI
Kuantitas Asi atau jumlah atau banyaknya Asi yang keluar pada saat ibu menyusui bayinya. Penilaian dari kuantitas Asi dapat dilihat dari frekuensi menyusui, berat lahir, umur kehamilan saat melahirkan,faktor psikologis, konsumsi rokok, konsumsi alkohol, pil kontrasepsi (Hopkinson et al., 1988, De Carvalho, et al., 1982 dalam ACC/SCN, 1991). Beberapa penilaian ini akan dijelaskan sebagai berikut :
(11)
a. Frekuensi menyusui
Menyusui yang baik adalah sesuai dengan kebutuhan bayi (on demand) karena secara alami bayi akan mengatur kebutuhannya sendiri. Semakin sering bayi menyusu, payudara akan memproduksi ASI lebih banyak. Pada studi 32 ibu dengan bayi prematur disimpulkan bahwa produksi ASI akan optimal dengan pemompaan ASI lebih dari lima kali per hari selama bulan pertama setelah melahirkan. Pemompaan dilakukan karena bayi prematur belum dapat menyusu (Hopkinson et al., 1988 dalam ACC/SCN, 1991).
Studi lain yang dilakukan pada ibu dengan bayi cukup bulan menunjukkan bahwa frekuensi penyusuan 10 - 13 kali perhari selama dua minggu pertama setelah melahirkan berhubungan dengan produksi ASI yang cukup (De Carvalho, et al., 1982 dalam ACC/SCN, 1991).
Berdasarkan hal ini direkomendasikan penyusuan paling sedikit delapan kali perhari pada periode awal setelah melahirkan. Frekuensi penyusuan ini berkaitan dengan kemampuan stimulasi hormon dalam kelenjar payudara (Ambarwati & Wulandari, 2009).
b. Berat lahir
Prentice (1984) mengamati hubungan berat lahir bayi dengan volume ASI. Hal ini berkaitan dengan kekuatan untuk mengisap, frekuensi, dan lama penyusuan dibanding bayi yang lebih besar. Berat bayi pada hari kedua dan usia 1 bulan sangat erat berhubungan dengan kekuatan mengisap yang mengakibatkan perbedaan intik yang besar dibanding bayi yang mendapat formula.
De Carvalho (1982) menemukan hubungan positif berat lahir bayi dengan frekuensi dan lama menyusui selama 14 hari pertama setelah lahir. Bayi berat lahir
(12)
rendah (BBLR) mempunyai kemampuan mengisap ASI yang lebih rendah dibanding bayi dengan berat lahir normal (> 2500 gr).
Kemampuan mengisap ASI yang lebih rendah ini meliputi frekuensi dan lama penyusuan yang lebih rendah dibanding bayi berat lahir normal yang akan mempengaruhi stimulasi hormon prolaktin dan oksitosin dalam memproduksi ASI (Ambarwati & Wulandari, 2009).
c. Umur kehamilan saat melahirkan
Umur kehamilan dan berat lahir mempengaruhi intake ASI. Hal ini disebabkan bayi yang lahir prematur (umur kehamilan kurang dari 34 minggu) sangat lemah dan tidak mampu mengisap secara efektif sehingga produksi ASI lebih rendah daripada bayi yang lahir tidak prematur. Lemahnya kemampuan mengisap pada bayi prematur dapat disebabkan berat badan yang rendah dan belum sempurnanya fungsi organ (Aritonang, 2007).
d. Faktor psikologis
Keadaan psikologis ibu mempengaruhi pengeluaran ASI. Pikiran dan perasaan seorang ibu sangat mempengaruhi refleks let down yaitu refleks yang berperan dalam pengeluaran ASI. Keadaan psikologis ibu yang dapat meningkatkan produksi hormon oksitosin antara lain peraaan dan curahan kasih saying ibu terhadap bayinya, mendengar celotehan atau tangisan bayi, memikirkan bayi dan ibu merasa tenang. Sedangkan keadaan yang dapat mengurangi produksi hormon oksitosin adalah rasa sedih, marah, kesal atau bingung, cemas terhadap perubahan bentuk payudara dan bentuk tubuh, meninggalkan bayi karena harus bekerja, takut ASI tidak mencukupi kebutuhan bayi dan adanya rasa sakit terutama saat menyusui (Derek & jones, 2005).
(13)
e. Konsumsi rokok
Merokok dapat mengurangi volume ASI karena akan mengganggu hormon prolaktin dan oksitosin untuk produksi ASI. Merokok akan menstimulasi pelepasan adrenalin dimana adrenalin akan menghambat pelepasan oksitosin. Studi Lyon,(1983); Matheson, (1989) menunjukkan adanya hubungan antara merokok dan penyapihan dini meskipun volume ASI tidak diukur secara langsung. Bayi dari ibu perokok mempunyai insiden sakit perut yang lebih tinggi. Anderson et al. (1982) mengemukakan bahwa ibu yang merokok lebih dari 15 batang rokok/hari mempunyai prolaktin 30-50% lebih rendah pada hari pertama dan hari ke 21 setelah melahirkan dibanding dengan yang tidak merokok (Arifin, 2004).
f. Konsumsi alkohol
Meskipun minuman alkohol dosis rendah disatu sisi dapat membuat ibu merasa lebih rileks sehingga membantu proses pengeluaran ASI namun disisi lain etanol dapat menghambat produksi oksitosin. Kontraksi rahim saat penyusuan merupakan indikator produksi oksitosin. Pada dosis etanol 0,5-0,8 gr/kg berat badan ibu mengakibatkan kontraksi rahim hanya 62% dari normal, dan dosis 0,9-1,1 gr/kg mengakibatkan kontraksi rahim 32% dari normal (Matheson, 1989 dalam Arifin 2004).
g. Pil kontrasepsi
Penggunaan pil kontrasepsi kombinasi estrogen dan progestin berkaitan dengan penurunan volume ASI (Koetsawang, 1987 dan Lonerdal, 1986 dalam ACC/SCN, 1991), sebaliknya bila pil hanya mengandung progestin maka tidak ada dampak terhadap volume ASI (WHO Task Force on Oral Contraceptives, 1988 dalam ACC/SCN, 1991 dalam Arifin, 2004).
(14)
3.3.2 Kualitas ASI
Menurut Anhari (1994) dan Depkes (2006), kualitas Asi atau mutu dari Asi pada saat ibu menyusui bayinya dapat dilihat dari status gizi ibu, penggunaan obat-obatan selama menyusui. Adapun penjelasannya sebagai berikut :
a. Status gizi ibu
Aspek gizi ibu yang dapat berdampak terhadap komposisi ASI adalah asupan pangan aktual, cadangan gizi, dan gangguan dalam penggunaan zat gizi. Perubahan status gizi ibu yang mengubah komposisi ASI dapat berdampak positif, netral, atau negatif terhadap bayi yang disusui. Bila asupan gizi ibu berkurang, kadar zat gizi dalam ASIdan volume ASI tidak berubah. Zat gizi untuk sintesis ASI diambil dari cadangan ibu atau jaringan ibu. Hanya pada kasus yang sangat ekstrim, status gizi ibu mempunyai pengaruh yang merugikan bagi produksi ASI (Anhari,dkk, 1994).
b. Penggunaan obat-obatan selama masa menyusui
Hampir semua obat yang diminum ibu menyusui terdeteksi di dalam ASI dan umumnya berada dalam konsentrasi rendah. Konsentrasi obat dalam darah ibu akan ditransfer ke dalam ASI. Kadar puncak obat di dalam ASI adalah sekitar satu sampai tiga jam setelah ibu meminum obat. Hal ini dapat dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan agar ibu tidak memberikan ASI pada kadar puncak. Bila ibu menyusui tetap harus meminum obat yang potensial toksik terhadap bayinya maka untuk sementara ASI tdak diberikan tetapi tetap harus dipompa. ASI dapat diberikan kembali setelah tubuh bersih dari obat dan ini dapat diperhitungkan setelah lima kali waktu paruh obat (Depkes, 2008).
3.4 Pengukuran Produksi ASI
Produksi ASI adalah Proses mengeluarkan hasil, penghasilan ASI (KBBI, 2005). Produksi ASI dapat diukur melalui kualitas proses menyusui dan
(15)
kuantitasnya. Untuk mengetahui banyaknya (kuantitas) produksi ASI, beberapa kriteria dapat digunakan sebagai patokan untuk mengetahui jumlah ASI cukup atau tidak (Suraatmaja, dalam Soetjiningsih, 1997) yaitu:
1. ASI yang banyak dapat merembes keluar melalui puting. 2. Sebelum disusukan payudara terasa tegang.
3. Jika ASI cukup, setelah bayi menyusu bayi akan tertidur/tenang selama 3-4 jam. 4. Bayi BAK 6-8 kali dalam satu hari.
5. Bayi paling sedikit menyusu 8-10 kali dalam 24 jam.
6. Ibu dapat mendengar suara menelan yang pelan ketika bayi menelan ASI. 7. Ibu dapat merasakan rasa seperti diperas pada payudara ketika bayi menyusu. 8. Urin bayi biasanya kuning pucat.
Menurut BK-PP-ASI yang bekerja sama dengan WHO dan UNICEF (2003), penilaian proses menyusui berdasarkan kualitas adalah dengan Observasi Breast (merangkak mencari payudara), yaitu body position, responses, emotional bounding, anatomy, sucking, time spent sucking. Adapun penjelasannya sebagai berikut :
1. Body position Aspek yang dinilai adalah :
a. Ibu santai dan nyaman.
b. Badan bayi dekat dengan ibu, menghadap payudara. c. Kepala dan badan bayi lurus
d. Dagu menyentuh payudara. e. Bagian belakang bayi ditopang 2. Responses (respon)
Aspek yang dinilai adalah :
(16)
c. Bayi mencari payudara dengan lidah. d. Bayi tenang dan siaga pada payudara. e. Bayi tetap melekat pada payudara.
f. Tanda-tanda pengeluaran susu (menetes, after pain). 3. Emotional bounding (ikatan emosi)
Aspek yang dinilai adalah :
a. Pelukan yang mantap dan percaya diri. b. Perhatian dan tatap muka dari ibu. c. Banyak sentuhan atau belaian dari ibu. 4. Anatomy (anatomi)
Aspek yang dinilai adalah :
a. Payudara lembek setelah menyusui. b. Puting menonjol keluar dan memanjang. c. Kulit tampak sehat.
d. Payudara tampak membulat sewaktu menyusui 5. Sucking (mengisap)
Aspek yang dinilai adalah : a. Mulut terbuka lebar.
b. Bibir bawah membuka lebar. c. Lidah berlekuk di sekitar payudara. d. Pipi membulat.
e. Lebih banyak areola di atas mulut bayi.
f. Menghisap pelan dan dalam, diselingi istirahat. g. Melihat atau mendengar bayi menelan
6. Time spent sucking (lamanya menghisap) Aspek yang dinilai adalah :
a. Bayi melepaskan payudara.
(17)
3.5 Manfaat Pemberian Asi
Menurut Roesli (2000), manfaat pemberian Asi dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu bagi bayi dan bagi ibu (menyusui).
3.5.1 Manfaat ASI Bagi Bayi
Manfaat ASI bagi bayi ialah sebagai nutrisi, meningkatkan daya tahan tubuh, meningkatkan kecerdasan, dan meningkatkan jalinan kasih (Roesli, 2000). Manfaat-manfaat ini didapat dijelaskan sebagai berikut :
a. ASI sebagai nutrisi
ASI mengandung semua gizi yang dibutuhkan oleh bayi. Komposisi ASI sangat ideal dan seimbang, tidak sama dari waktu ke waktu dan sesuai dengan pertumbuhan bayi Melalui proses menyusui yang benar, ASI adalah makanan tunggal yang cukup untuk memenuhi semua kebutuhan bayi sampai usia enam bulan (Roesli, 2000). b. ASI meningkatkan daya tahan tubuh
Bayi baru lahir secara alamiah mendapatkan zat kekebalan dari ibunya melalui plasenta, tetapi kadar zat tersebut akan menurun segera setelah bayi lahir, padahal sampai usia beberapa bulan bayi belum dapat membentuk sendiri zat kekebalan secara sempurna. Hal ini akan tertutupi jika bayi mengkonsumsi ASI, karena ASI mengandung zat kekebalan yang akan melindungi bayi dari bahaya penyakit dan infeksi (Roesli, 2000; Linkages, 2004).
c. ASI meningkatkan kecerdasan bayi
Bulan-bulan pertama kehidupan bayi adalah periode dimana terjadi pertumbuhan otak yang pesat. Faktor utama yang mempengaruhi perkembangan kecerdasan adalah pertumbuhan otak. Pertumbuahan otak sangat dipengaruhi oleh nutrisi yang diberikan baik kualitas maupun kuantitasnya dan nutrisi tersebut didapatkan dari ASI (Roesli, 2000).
(18)
d. ASI meningkatkan jalinan kasih
Pada waktu menyusu bayi berada sangat dekat dengan ibunya, yaitu dalam dekapan ibunya. Semakin sering bayi berada dalam dekapan ibunya maka bayi akan semakin merasakan kasih saying ibunya, ia juga akan merasa aman, tentram dan nyaman terutama karena masih dapat mendengar detak jantung ibunya yang telah dikenal sejak dalam kandungan. Perasaan terlindungi dan disayangiini menjadi dasar perkembangan emosi bayi dan membentuk ikatan yang erat antara ibu dan bayi (Aritonang, 2007 dan Roesli, 2000).
3.5.2 Manfaat Menyusui Bagi Ibu
Menurut Roesli (2000), manfaat menyusui bagi ibu ialah dapat mengurangi perdarahan setelah melahirkan serta mengecilkan rahim, menjarangkan kehamilan, lebih cepat menurunkan badan, lebih ekonomis, praktis dan murah, tidak merepotkan dan hemat waktu,. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut :
a. Mengurangi perdarahan setelah melahirkan serta mengecilkan rahim
Menyusui bayi segera setelah melahirkan akan meningkatkan kadar oksitosin didalam tubuh ibu. Oksitosin berguna untuk konstriksi/penutupan pembuluh darah sehingga perdarahan akan lebih cepat berhenti. Hal ini juga dapat mengurangi terjadinya anemia pada ibu. Selain itu kadar oksitosin yang meningkat juga sangat membantu mempercepat rahim kembali keukuran sebelum hamil (Roesli,2000).
b. Menjarangkan kehamilan
Menyusui merupakan alat kontrasepsi alamiah yang dapat menjarangkan kehamilan. Selain itu menyusi juga kontrasepsi yang aman, murah dan cukup berhasil (Roesli,2000). c. Lebih cepat menurunkan berat badan
Menyusui memerlukan energi yang besar, sehingga tubuh akan mengambil sumber energy dari lemak yang tertimbun selama hamil terutama di bagian paha dan lengan atas.
(19)
Dengan demikiian berat badan ibu yang menyusui akan lebih cepat kembali ke beratbadan ibu semula (Roesli, 2000).
d. Lebih ekonomis, murah, dan praktis
ASI adalah jenis makanan bermutu yang murah dan sederhana dan tidak memerlukan perlengkapan menyusui sehingga dapat menghemat pengeluaran. Bayi yang diberi ASI mempunyai daya tahan tubuh yang kuat sehingga bayi akan terhindar dari berbagai penyakit, hal ini akan menghemat pengeluaran untuk berobat ke dokter atau ke rumah sakit. ASI mudah dibawa kemana-mana, siap kapan saja dan dimana saja dibutuhkan. Pada saat bepergian tidak perlu membawa peralatan untuk menghangatkan suhu (Roesli, 2000).
e. Tidak merepotkan dan hemat waktu
ASI sangat mudah diberikan tanpa harus menyiapkan atau memasak air dan tanpa harus mencuci botol. ASI mempunyai suhu yang tepat sehingga dapat langsung diminum tanpa khawatir terlalu panas atau dingin. ASI dapat diberikan kapan saja dan tidak perlu takut persediaan habis (Roesli, 2000).
3.6 Masalah-Masalah yang Dihadapi Ibu Menyusui
Masalah yang sering terjadi pada saat menyusui seperti puting susu datar/terbenam, puting susu nyeri, puting susu lecet (Depkes R.I, 2001). Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut :
a. Puting susu datar/ terbenam
Pada awalnya bayi akan mengalami kesulitan, tetapi setelah beberapa minggu dengan usaha yang ekstra, putting susu yang datar akan menonjol keluar sehingga bayi dapat menyusu dengan mudah. Usaha untuk mengeluarkan puting susu yang terbenam ini dapat dilakukan dengan cara menyusui bayi segera setelah lahir. Menyusui bayi sesering mungkin (misal 2-2½ jam) akan menghindarkan payudara terisi terlalu penuh dan memudahkan bayi untuk menyusu. Mengeluarkan ASI secara
(20)
manual sebelum menyusui dapat membantu bila kandungan payudara dan puting susu tertarik ke dalam. Pompa ASI yang efektif (bukan yang berbentuk ‘terompet’ atau bentuk squeeze dan bulb) dapat dipakai untuk mengeluarkan putting susu pada waktu menyusui (Depkes RI, 2001).
b. Puting susu nyeri
Pada umumnya ibu akan mengalami sakit pada waktu awal menyusui. Rasa nyeri ini akan berkurang setelah ASI keluar dan bila posisi mulut bayi pada saat menyusui benar, perasaan nyeri ini akan menghilang. Cara menanganinya adalah dengan memastikan posisi menyusui sudah benar dan memulai menyusui pada puting susu yang tidak sakit untuk membantu mengurangi rasa sakit pada puting susu yang sedang sakit. Segera setelah minum, keluarkan sedikit ASI, oleskan di puting susu dan biarkan payudara terbuka untuk beberapa waktu sampai puting susu kering dan jangan membersihkan puting susu dengan sabun. Hindarkan puting susu menjadi lembab (Depkes RI, 2001).
c. Puting susu lecet
Puting susu yang nyeri, bila tidak segera ditangani dengan benar akan menjadi lecet, sehingga menyusui akan terasa menyakitkan dan dapat mengeluarkan darah. Puting susu yang lecet dapat disebabkan oleh posisi menyusui yang salah, tapi dapat pula disebabkan oleh thrush (candidiasis) atau dermatitis. Hal ini dapat diatasi dengan cara mengobati puting susu yang lecet dan memperhatikan posisi menyusui. Apabila sangat menyakitkan, berhenti menyusui pada payudara yang sakit untuk sementara untuk memberi kesempatan lukanya sembuh dan keluarkan ASI dari payudara yang sakit dengan tangan (jangan dengan pompa ASI) untuk tetap
mempertahankan dengan pompa ASI) untuk tetap mempertahankan kelancaran
(21)
dengan dot. Setelah terasa membaik, mulai menyusui kembali dan mula-mula dengan waktu yang lebih singkat. Apabila lecet tidak sembuh dalam 1 minggu, rujuk ke Puskesmas (Depkes RI, 2001).
d. Payudara bengkak
Pada hari pertama (sekitar 2-4 jam), payudara sering terasa penuh dan nyeri disebabkan bertambahnya aliran darah ke payudara bersamaan dengan ASI yang mulai diproduksi dalam jumlah banyak. Penyebab payudara bengkak adalah posisi mulut bayi dan puting susu ibu yang salah, poduksi ASI berlebih, terlambat menyusui, pengeluaran ASI yang jarang, dan waktu menyusui yang terbatas. Cara mengatasinya adalah dengan menyusui bayi sesering mungkin tanpa terjadwal tanpa batas waktu. Bila bayi sukar menghisap, keluarkan ASI dengan bantuan tangan/ pompa ASI yang efektif sebelum menyusui. Sebelum menyusui dapat dilakukan dengan kompres hangat untuk mengurangi rasa sakit dan setelah menyusui dikompres dengan air dingin untuk mengurangi oedema (Depkes RI, 2001).
3.7 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Ibu dalam Menyusui Menurut Handoko (1998), ada dua faktor yang dapat mempengaruhi motivasi yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal atau intrinsik adalah motivasi yang timbul dari diri manusia, biasanya timbul dari perilaku yang dapat memenuhi kebutuhan sehingga manusia menjadi puas, sedangkan faktor eksternal atau ekstrinsik adalah faktor yang berasal dari luar yang merupakan pengaruh dari orang lain atau lingkungan.
Menurut Bobak (2004), faktor internal atau intrinsik meliputi fisik, proses mental, kematangan usia, keinginan diri sendiri, dan tingkat pengetahuan. Penjelasan beberapa faktor ini dapat dilihat dibawah ini :
(22)
a. Fisik
Faktor fisik adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kondisi fisik atau kelainan seputar menyusui misal, puting lecet karena digigit, payudara bengkak, mastitis atau abses. Selain itu juga status kesehaan dan status gizi ibu menyusui akan mempengaruhi kondisi fisik ibu (Bobak, dkk, 2004).
b. Proses mental
Motivasi merupakan suatu proses yang tidak terjadi begitu saja, tetapi ada kebutuhan yang mendasari munculnya motivasi tersebut. Ibu menyusui yang mengalami gangguan pada proses mental akan sulit untuk memberikan ASI pada bayinya. Hal ini karena proses laktasi akan berhasil bila hormon oksitosin keluar, hormon ini sangat mempengaruhi kinerja myoepitel dalam memompa ASI keluar dari alveoli sedangkan oksitosin keluar jika secara mental dan psikologis ibu merasa tenang, mampu dan mendapatkan dukungan.
c. Faktor kematangan usia
Kematangan usia akan mempengaruhi proses berpikir dan pengambilan keputusan dalam pemberian ASI. Ibu usia muda akan cenderung untuk tidak memberikan ASI, karena takut bentuk payudara akan rusak apabila menyusui dan kecantikannya akan hilang, serta takut ditinggalkan oleh pergaulan teman sebayanya sedangkan ibu yang berhasil menyusui anak sebelumnya, dengan pengetahuan dan pengalaman cara pemberian ASI secara baik dan benar akan menunjang laktasi berikutnya. Sebaliknya, kegagalan menyusui di masa lalu akan mempengaruhi pula sikap seorang ibu terhadap penyusuan sekarang (Bobak, 2004).
(23)
a. Keinginan dalam diri sendiri
Setiap individu memiliki kemampuan, keterampilan, kebiasaan yang akan menunjukkan kondisi orang untuk melaksanakan pekerjaan yang mungkin dimanfaatkan sepenuhnya atau mungkin tidak.
e. Tingkat pengetahuan
Pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain. Tingkat pengetahuan seseorang mempengaruhi perilaku individu, semakin tinggi pengetahuan seseorang maka akan memberikan respon yang lebih rasional dan makin tinggi kesadaran untuk berperan serta, dalam hal ini memberikan ASI. (Thaib
et. Al dalam Afifah, 2007) menyatakan bahwa tingkat pengetahuan, pendidikan,
status kerja ibu, dan jumlah anak dalam keluarga berpengaruh positif pada frekuensi dan pola pemberian ASI.
Sedangkan menurut Tripranoto (2004) faktor eksternal atau ekstrinsik meliputi lingkungan, budaya, dukungan sosial suami, dan petugas kesehatan. Adapun penjelasannya sebagai berikut :
a. Lingkungan
Lingkungan saat berpengaruh terhadap motivasi ibu menyusui terutama lingkungan yang tidak mendukung dan kurang kondusif akan membuat stress bertambah misalnya lingkungan fisik, konstruksi bentuk bangunan, penataan ruangan akan meningkatkan ataupun mengurangi stress dan lingkungan sosial yaitu dukungan keluarga khususnya dukungan suami (Tripranoto, 2004)
b. Budaya
Budaya adalah hasil cipta manusia dan terkandung kebiasaan. Kebiasaan adalah perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama, kebiasaan mempunyai kekuatan mengikat, kebiasaan diperoleh dari budaya yang mengandung
(24)
nilai-nilai kepercayaan tentang segala sesuatu (Tripranoto, 2004). Banyak ibu-ibu yang mempunyai kebiasaan malu-malu serta sembunyi-sembunyi menyusui bayinya karena mereka menganggap menyusui tidak sopan. Hal ini mempengaruhi tabiat gadis-gadis disekitarnya untuk berbuat sama, dan menyusui anak merupakan sesuatu hal yang harus dihindarkan (Siregar, 2004).
c. Dukungan sosial suami
Dukungan sosial suami sangat berpengaruh dalam memotivasi ibu untuk menyusui karena suami merupakan bagian yang vital dalam keberhasilan atau kegagalan menyusui. Banyak suami yang berpendapat bahwa menyusui adalah urusan ibu dan bayinya. Mereka menganggap cukup menjadi pengamat yang pasif saja. Sebenarnya suami mempunyai peran yang sangat menentukan dalam keberhasilan menyusui karena suami akan turut menentukan kelancaran refleks pengeluaran ASI yang sangat dipengaruhi oleh keadaan emosi atau perasaan ibu. Dukungan ini bisa berwujud perhatian, informasi, finansial dan emosional. (Roesli, 2000).
d. Petugas kesehatan
Petugas kesehatan adalah orang yang mengerjakan suatu pekerjaan di bidang kesehatan atau orang yang mampu melakukan pekerjaan di bidang kesehatan (Dani, 2002). Pada umumnya para ibu mau patuh dan menuruti nasehat petugas kesehatan, oleh karena itu petugas kesehatan diharapkan untuk memberikan informasi tentang kapan waktu yang tepat memberikan ASI eksklusif, manfaat ASI eksklusif dan resiko yang dialami jika tidak memberikan ASI eksklusif pada bayi (Roesli, 2005).
(1)
Dengan demikiian berat badan ibu yang menyusui akan lebih cepat kembali ke beratbadan ibu semula (Roesli, 2000).
d. Lebih ekonomis, murah, dan praktis
ASI adalah jenis makanan bermutu yang murah dan sederhana dan tidak memerlukan perlengkapan menyusui sehingga dapat menghemat pengeluaran. Bayi yang diberi ASI mempunyai daya tahan tubuh yang kuat sehingga bayi akan terhindar dari berbagai penyakit, hal ini akan menghemat pengeluaran untuk berobat ke dokter atau ke rumah sakit. ASI mudah dibawa kemana-mana, siap kapan saja dan dimana saja dibutuhkan. Pada saat bepergian tidak perlu membawa peralatan untuk menghangatkan suhu (Roesli, 2000).
e. Tidak merepotkan dan hemat waktu
ASI sangat mudah diberikan tanpa harus menyiapkan atau memasak air dan tanpa harus mencuci botol. ASI mempunyai suhu yang tepat sehingga dapat langsung diminum tanpa khawatir terlalu panas atau dingin. ASI dapat diberikan kapan saja dan tidak perlu takut persediaan habis (Roesli, 2000).
3.6 Masalah-Masalah yang Dihadapi Ibu Menyusui
Masalah yang sering terjadi pada saat menyusui seperti puting susu datar/terbenam, puting susu nyeri, puting susu lecet (Depkes R.I, 2001). Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut :
a. Puting susu datar/ terbenam
Pada awalnya bayi akan mengalami kesulitan, tetapi setelah beberapa minggu dengan usaha yang ekstra, putting susu yang datar akan menonjol keluar sehingga bayi dapat menyusu dengan mudah. Usaha untuk mengeluarkan puting susu yang terbenam ini dapat dilakukan dengan cara menyusui bayi segera setelah lahir. Menyusui bayi sesering mungkin (misal 2-2½ jam) akan menghindarkan payudara terisi terlalu penuh dan memudahkan bayi untuk menyusu. Mengeluarkan ASI secara
(2)
manual sebelum menyusui dapat membantu bila kandungan payudara dan puting susu tertarik ke dalam. Pompa ASI yang efektif (bukan yang berbentuk ‘terompet’ atau bentuk squeeze dan bulb) dapat dipakai untuk mengeluarkan putting susu pada waktu menyusui (Depkes RI, 2001).
b. Puting susu nyeri
Pada umumnya ibu akan mengalami sakit pada waktu awal menyusui. Rasa nyeri ini akan berkurang setelah ASI keluar dan bila posisi mulut bayi pada saat menyusui benar, perasaan nyeri ini akan menghilang. Cara menanganinya adalah dengan memastikan posisi menyusui sudah benar dan memulai menyusui pada puting susu yang tidak sakit untuk membantu mengurangi rasa sakit pada puting susu yang sedang sakit. Segera setelah minum, keluarkan sedikit ASI, oleskan di puting susu dan biarkan payudara terbuka untuk beberapa waktu sampai puting susu kering dan jangan membersihkan puting susu dengan sabun. Hindarkan puting susu menjadi lembab (Depkes RI, 2001).
c. Puting susu lecet
Puting susu yang nyeri, bila tidak segera ditangani dengan benar akan menjadi lecet, sehingga menyusui akan terasa menyakitkan dan dapat mengeluarkan darah. Puting susu yang lecet dapat disebabkan oleh posisi menyusui yang salah, tapi dapat pula disebabkan oleh thrush (candidiasis) atau dermatitis. Hal ini dapat diatasi dengan cara mengobati puting susu yang lecet dan memperhatikan posisi menyusui. Apabila sangat menyakitkan, berhenti menyusui pada payudara yang sakit untuk
sementara untuk memberi kesempatan lukanya sembuh dan keluarkan ASI dari
payudara yang sakit dengan tangan (jangan dengan pompa ASI) untuk tetap mempertahankan dengan pompa ASI) untuk tetap mempertahankan kelancaran pembentukan ASI serta berikan ASI perah dengan sendok atau gelas tetapi jangan
(3)
dengan dot. Setelah terasa membaik, mulai menyusui kembali dan mula-mula dengan waktu yang lebih singkat. Apabila lecet tidak sembuh dalam 1 minggu, rujuk ke Puskesmas (Depkes RI, 2001).
d. Payudara bengkak
Pada hari pertama (sekitar 2-4 jam), payudara sering terasa penuh dan nyeri disebabkan bertambahnya aliran darah ke payudara bersamaan dengan ASI yang mulai diproduksi dalam jumlah banyak. Penyebab payudara bengkak adalah posisi mulut bayi dan puting susu ibu yang salah, poduksi ASI berlebih, terlambat menyusui, pengeluaran ASI yang jarang, dan waktu menyusui yang terbatas. Cara mengatasinya adalah dengan menyusui bayi sesering mungkin tanpa terjadwal tanpa batas waktu. Bila bayi sukar menghisap, keluarkan ASI dengan bantuan tangan/ pompa ASI yang efektif sebelum menyusui. Sebelum menyusui dapat dilakukan dengan kompres hangat untuk mengurangi rasa sakit dan setelah menyusui dikompres dengan air dingin untuk mengurangi oedema (Depkes RI, 2001).
3.7 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Ibu dalam Menyusui Menurut Handoko (1998), ada dua faktor yang dapat mempengaruhi motivasi yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal atau intrinsik adalah motivasi yang timbul dari diri manusia, biasanya timbul dari perilaku yang dapat memenuhi kebutuhan sehingga manusia menjadi puas, sedangkan faktor eksternal atau ekstrinsik adalah faktor yang berasal dari luar yang merupakan pengaruh dari orang lain atau lingkungan.
Menurut Bobak (2004), faktor internal atau intrinsik meliputi fisik, proses mental, kematangan usia, keinginan diri sendiri, dan tingkat pengetahuan. Penjelasan beberapa faktor ini dapat dilihat dibawah ini :
(4)
a. Fisik
Faktor fisik adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kondisi fisik atau kelainan seputar menyusui misal, puting lecet karena digigit, payudara bengkak, mastitis atau abses. Selain itu juga status kesehaan dan status gizi ibu menyusui akan mempengaruhi kondisi fisik ibu (Bobak, dkk, 2004).
b. Proses mental
Motivasi merupakan suatu proses yang tidak terjadi begitu saja, tetapi ada kebutuhan yang mendasari munculnya motivasi tersebut. Ibu menyusui yang mengalami gangguan pada proses mental akan sulit untuk memberikan ASI pada bayinya. Hal ini karena proses laktasi akan berhasil bila hormon oksitosin keluar, hormon ini sangat mempengaruhi kinerja myoepitel dalam memompa ASI keluar dari alveoli sedangkan oksitosin keluar jika secara mental dan psikologis ibu merasa tenang, mampu dan mendapatkan dukungan.
c. Faktor kematangan usia
Kematangan usia akan mempengaruhi proses berpikir dan pengambilan keputusan dalam pemberian ASI. Ibu usia muda akan cenderung untuk tidak memberikan ASI, karena takut bentuk payudara akan rusak apabila menyusui dan kecantikannya akan hilang, serta takut ditinggalkan oleh pergaulan teman sebayanya sedangkan ibu yang berhasil menyusui anak sebelumnya, dengan pengetahuan dan pengalaman cara pemberian ASI secara baik dan benar akan menunjang laktasi berikutnya. Sebaliknya, kegagalan menyusui di masa lalu akan mempengaruhi pula sikap seorang ibu terhadap penyusuan sekarang (Bobak, 2004).
(5)
a. Keinginan dalam diri sendiri
Setiap individu memiliki kemampuan, keterampilan, kebiasaan yang akan menunjukkan kondisi orang untuk melaksanakan pekerjaan yang mungkin dimanfaatkan sepenuhnya atau mungkin tidak.
e. Tingkat pengetahuan
Pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain. Tingkat pengetahuan seseorang mempengaruhi perilaku individu, semakin tinggi pengetahuan seseorang maka akan memberikan respon yang lebih rasional dan makin tinggi kesadaran untuk berperan serta, dalam hal ini memberikan ASI. (Thaib et. Al dalam Afifah, 2007) menyatakan bahwa tingkat pengetahuan, pendidikan, status kerja ibu, dan jumlah anak dalam keluarga berpengaruh positif pada frekuensi dan pola pemberian ASI.
Sedangkan menurut Tripranoto (2004) faktor eksternal atau ekstrinsik meliputi lingkungan, budaya, dukungan sosial suami, dan petugas kesehatan. Adapun penjelasannya sebagai berikut :
a. Lingkungan
Lingkungan saat berpengaruh terhadap motivasi ibu menyusui terutama lingkungan yang tidak mendukung dan kurang kondusif akan membuat stress bertambah misalnya lingkungan fisik, konstruksi bentuk bangunan, penataan ruangan akan meningkatkan ataupun mengurangi stress dan lingkungan sosial yaitu dukungan keluarga khususnya dukungan suami (Tripranoto, 2004)
b. Budaya
Budaya adalah hasil cipta manusia dan terkandung kebiasaan. Kebiasaan adalah perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama, kebiasaan mempunyai kekuatan mengikat, kebiasaan diperoleh dari budaya yang mengandung
(6)
nilai-nilai kepercayaan tentang segala sesuatu (Tripranoto, 2004). Banyak ibu-ibu yang mempunyai kebiasaan malu-malu serta sembunyi-sembunyi menyusui bayinya karena mereka menganggap menyusui tidak sopan. Hal ini mempengaruhi tabiat gadis-gadis disekitarnya untuk berbuat sama, dan menyusui anak merupakan sesuatu hal yang harus dihindarkan (Siregar, 2004).
c. Dukungan sosial suami
Dukungan sosial suami sangat berpengaruh dalam memotivasi ibu untuk menyusui karena suami merupakan bagian yang vital dalam keberhasilan atau kegagalan menyusui. Banyak suami yang berpendapat bahwa menyusui adalah urusan ibu dan bayinya. Mereka menganggap cukup menjadi pengamat yang pasif saja. Sebenarnya suami mempunyai peran yang sangat menentukan dalam keberhasilan menyusui karena suami akan turut menentukan kelancaran refleks pengeluaran ASI yang sangat dipengaruhi oleh keadaan emosi atau perasaan ibu. Dukungan ini bisa berwujud perhatian, informasi, finansial dan emosional. (Roesli, 2000).
d. Petugas kesehatan
Petugas kesehatan adalah orang yang mengerjakan suatu pekerjaan di bidang kesehatan atau orang yang mampu melakukan pekerjaan di bidang kesehatan (Dani, 2002). Pada umumnya para ibu mau patuh dan menuruti nasehat petugas kesehatan, oleh karena itu petugas kesehatan diharapkan untuk memberikan informasi tentang kapan waktu yang tepat memberikan ASI eksklusif, manfaat ASI eksklusif dan resiko yang dialami jika tidak memberikan ASI eksklusif pada bayi (Roesli, 2005).