Pengaruh Penambahan Kitosan dan Plasticizer Sorbitol terhadap Sifat Fisiko-Kimia Bioplastik dari Pati Biji Durian (Durio zibethinus)

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 BIOPLASTIK

Plastik merupakan material yang dapat diolah menjadi berbagai jenis barang, sifatnya lebih ringan dan harganya lebih murah daripada kebanyakan material lainnya. Oleh karena itu plastik adalah pilihan pertama dalam banyak aplikasi industri dan komersial [17]. Namun penggunaan plastik konvensional memiliki banyak kelemahan, yaitu proses produksi plastik membutuhkan sejumlah besar energi, menghasilkan limbah yang merupakan hasil samping produksi plastik, dan penggunaan bahan yang tidak mudah terurai. Dalam rangka menggeser produksi plastik secara berkelanjutan, penelitian dilakukan untuk menentukan jenis sumber daya terbarukan yang dapat dikonversi ke dalam bentuk plastik [18]. Plastik ramah lingkungan atau dikenal dengan istilah bioplastik (biodegradable plastic) merupakan plastik yang dapat diuraikan oleh jamur atau mikroorganisme di dalam tanah sehingga akan mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh plastik sintetik. Menurut standar ASTM D-5488-94d, biodegradable berarti kemampuan suatu bahan mengalami dekomposisi menjadi karbon dioksida, air, metana, senyawa anorganik, atau biomassa, dimana mekanisme yang dominan adalah aktivitas enzimatik dari suatu mikroorganisme yang dapat diukur dengan tes standar pada rentang waktu tertentu [7]. Produksi bioplastik akan dapat membantu meringankan krisis energi serta mengurangi ketergantungan masyarakat pada bahan bakar fosil. Bioplastik memiliki beberapa sifat yang luar biasa yang membuatnya cocok untuk aplikasi yang berbeda [5]. Saat ini para ilmuwan dan teknisi kreatif tidak hanya mencoba mengadaptasikan bioplastik untuk mesin konvensional, tetapi juga menemukan penggunaan baru dari bioplastik tersebut. Sebagai contoh, bahan kemasan, sendok garpu sekali pakai dan pot bunga yang terbuat dari bioplastik pun sudah tersedia [17].

Sekitar 265.000.000 ton plastik diproduksi dan digunakan setiap tahun. Saat ini bioplastik dari sumber daya terbarukan hanya menyumbangkan bagian yang sangat kecil dari total penjualan pasar (lebih kecil dari 1%), namun kemajuan


(2)

berkembang pesat [2]. Kemasan makanan dan edible film (film plastik yang terbuat dari bahan yang dapat dimakan) adalah dua aplikasi utama dari polimer

biodegradable berbasis pati dalam industri makanan. Persyaratan untuk produk kemasan makanan adalah menjaga makanan tetap segar, meningkatkan karakteristik organoleptik makanan seperti penampilan, bau dan rasa, dan menyediakan keamanan pangan [19]. Hingga hari ini, kapasitas produksi bioplastik telah diperluas dengan angka pertumbuhan dua digit setiap tahun [2]. Hal ini menunjukkan adanya potensi bagi industri bioplastik untuk berkembang menjadi industri besar dimasa yang akan datang.

Bioplastik merupakan bahan polimer. Polimer adalah suatu senyawa kimia yang terdiri dari rantai molekul atau cabang (makromolekul), yang terdiri dari unit yang sama atau mirip, yang disebut monomer. Bioplastik dapat diklasifikasikan berdasarkan aspek-aspek berikut:

1. Polimer yang didasarkan pada bahan baku terbarukan : a . Polimer berbasis biomassa alam

Polimer yang dihasilkan oleh organisme hidup (hewan, tumbuhan, alga, mikroorganisme) yaitu selulosa, pati, protein, atau polyhydroxyalkanoat dari bakteri

b . Polimer berbasis biomassa sintetik

Polimer yang monomernya didasarkan pada bahan baku terbarukan tetapi yang polimerisasinya membutuhkan transformasi kimia, mis PLA, etilena, poliamida

2 Polimer yang meliputi " biofunctionality " : a . Polimer untuk aplikasi biomedis

b . Polimer biodegradable

Polimer yang digunakan dalam produk biodegradable dan karena itu dapat didaur ulang secara organik [20].

Kebanyakan bioplastik merupakan campuran yang mengandung komponen sintetik, seperti polimer dan aditif, untuk meningkatkan sifat fungsional produk jadi dan untuk memperluas jangkauan aplikasi. Jika bahan aditif dan pigmen yang digunakan juga dapat dibuat dari sumber daya terbarukan, maka dapat diperoleh


(3)

polimer dengan biodegradasi berat sekitar 100 % dari senyawa. Tujuan bioplastik adalah untuk meniru siklus hidup biomassa, yang meliputi konservasi sumber daya fosil, air dan produksi CO2. Kecepatan biodegradasi bioplastik tergantung pada suhu (50 - 70 oC), kelembaban, jumlah dan jenis mikroba. Degradasi berlangsung cepat hanya jika ketiga persyaratan tersebut tersedia. Umumnya di rumah atau di supermarket biodegradasi terjadi sangat rendah dibandingkan dengan jika dalam kondisi pengomposan. Dalam industri pengomposan bioplastik diubah menjadi biomassa, air dan CO2 dalam waktu sekitar 6 - 12 minggu [21].

2.1.1 Biofilm (Film Bioplastik)

Biofilm merupakan plastik berbentuk film atau lapisan tipis yang terbuat dari bahan yang dapat diperbaharui seperti pati [22]. Biofilm dapat dimanfaatkan sebagai materi boplastik yang memiliki kelebihan dibanding plastik yang berasal dari minyak bumi yaitu sifatnya yang mudah terurai dan berasal dari bahan alami yang keberadaaannya di dunia ini melimpah. Namun karena biofilm dari pati murni memiliki sifat mekanik yaitu tensile strength dan elongation at break yang masih kurang baik, penggunaan pati murni sebagai bahan pembentuk biofilm dapat dilakukan dengan teknik plastisasi, pencampuran dengan material lain, modifikasi secara kimia atau kombinasi dari beberapa teknik tersebut [23].

Biofilm berbahan dasar pati/amilum dapat didegradasi bakteri pseudomonas dan

bacillus memutus rantai polimer menjadi monomer-monomernya. Senyawa-senyawa hasil degradasi polimer selain menghasilkan karbon dioksida dan air, juga menghasilkan senyawa organik lain yaitu asam organik dan aldehid yang tidak berbahaya bagi lingkungan. Plastik berbahan dasar pati/amilum aman bagi lingkungan. Sebagai perbandingan, plastik tradisional membutuhkan waktu sekitar 50 tahun agar dapat terdekomposisi alam, sementara plastik biodegradable

dapat terdekomposisi 10 hingga 20 kali lebih cepat. Hasil degradasi plastik ini dapat digunakan sebagai makanan hewan ternak atau sebagai pupuk kompos. Plastik biodegradable yang terbakar tidak menghasilkan senyawa kimia berbahaya. Kualitas tanah akan meningkat dengan adanya plastic biodegradable,

karena hasil penguraian mikroorganisme meningkatkan unsur hara dalam tanah [24].


(4)

Metode pembuatan kemasan plastik biodegradable telah berkembang sangat pesat. Namun demikian, pemilihan metode/teknologi produksi didasarkan pada evaluasi terhadap karaktersitik fisik dan mekanik film yang dihasilkan. Selain karakteristik tersebut, juga didasarkan pada nilai biodegradabilitas film pada berbagai kondisi [25].

2.1.2 Metode Pembuatan Bioplastik

Pengkajian pemanfaatan sumberdaya pati Indonesia untuk produksi plastik biodegradabel dapat dilakukan melalui 3 cara yaitu:

1. Pencampuran (blending) antara polimer plastik dengan pati, dimana pati yang digunakan dapat berupa pati mentah berbentuk granular maupun pati yang sudah tergelatinisasi, dan plastik yang digunakan adalah PCL, PBS, atau PLA maupun plastik konvensional (polietilen). Pencampuran dilakukan dengan menggunakan extruder atau dalam mixer berkecepatan tinggi (high speed mixer) yang dilengkapi pemanas untuk melelehkan polimer plastik.

2. Modifikasi kimiawi pati, dimana untuk menambahkan sifat plastisitas pada pati, metode grafting sering digunakan. Sifat biodegradabilitas dari produk plastik yang dihasilkan tergantung daripada jenis polimer yang dicangkokkan pada pati.

3. Penggunaan pati sebagai bahan baku fermentasi menghasilkan monomer/polimer plastik biodegradabel [26].

Metode yang dilakukan dalam pembuatan bioplastik pada penelitian ini merujuk pada metode Weiping Band (2005). Proses pencampuran antara pati, pengisi dan plasticizer dilakukan bertahap sambil dipanaskan dan diaduk. Pencampuran yang dilakukan dapat menggunakan stirrer dengan pemanasan menggunakan water batch. Dapat juga menggunakan alat hot plate magnetic stirrer. Campuran yang sudah homogen membentuk larutan bioplastik yang kemudian dicetak dan dikeringkan. Pengeringan menggunakan oven dengan temperatur 60oC. Pengeringan dilakukan hingga plastik mengeras dan dapat dikeluarkan dari cetakan, waktu yang digunakan yaitu ±24 jam [27].


(5)

2.2 PATI

Pati adalah karbohidrat yang merupakan polimer glukosa, dan terdiri atas amilosa dan amilopektin. Amilosa merupakan bagian polimer linier dengan ikatan

α-(1→4) unit glukosa. Derajat polimerisasi amilosa berkisar antara 500−6.000 unit glukosa, bergantung pada sumbernya. Amilopektin merupakan polimer α

-(1→4) unit glukosa dengan rantai samping α-(1→6) unit glukosa. Dalam suatu

molekul pati, ikatan α-(1→6) unit glukosa ini jumlahnya sangat sedikit, berkisar

antara 4−5%. Namun, jumlah molekul dengan rantai yang bercabang, yaitu amilopektin, sangat banyak dengan derajat polimerisasi 105– 3 x 106 unit glukosa [28]. Struktur molekul dari amilosa dan amilopektin ditunjukkan pada gambar 2.1. Sejumlah besar pati terakumulasi sebagai granula (butiran) yang tidak larut dalam air. Bentuk dan diameter granula ini tergantung pada asal tumbuhan [29]. Granula pati tersebut terdiri atas daerah amorf dan kristal. Di dalam pati yang terdapat pada umbi dan akar, daerah kristalin terdiri dari amilopektin, sedangkan amilosa terdapat di daerah amorf. Di dalam pati sereal, amilopektin juga merupakan komponen yang paling penting dari daerah kristalin. Amilosa dalam pati sereal bergabung dengan lipid dari struktur kristal yang lemah dan memperkuat granula tersebut. Sementara amilopektin larut dalam air, amilosa dan granula pati sendiri tidak larut dalam air dingin. Hal ini meyebabkan relatif mudah untuk mengekstrak granula pati dari sumber tanaman. Ketika suspensi pati dalam air dipanaskan, butiran pertama membengkak sampai tercapai suatu titik di mana pembengkakan ireversibel. Proses pembengkakan ini disebut gelatinisasi. Selama proses ini, amilosa terekstrak keluar dari granul dan menyebabkan peningkatan viskositas suspensi. Peningkatan suhu lebih lanjut kemudian menyebabkan pembengkakan maksimum butiran dan meningkatkan viskositas. Akhirnya, butiran pecah menghasilkan dispersi koloid kental. Pendinginan selanjutnya koloid hasil dispersi pati tersebut menghasilkan bentuk gel yang elastik [30].

Pati adalah bahan baku yang paling menarik untuk pengembangan dan produksi bioplastik. Pati tersimpan dalam berbagai tanaman dalam bentuk butiran mikroskopis. Pati benar-benar bersifat biodegradable dalam berbagai kondisi lingkungan. Pati dapat dihidrolisis menjadi glukosa oleh mikroorganisme atau enzim, dan kemudian dimetabolisme menjadi karbon dioksida dan air [31]. Perlu


(6)

dicatat bahwa karbon dioksida akan didaur ulang menjadi pati lagi oleh tanaman dan sinar matahari [32]. Karena kemampuannya terdegradasi secara alami ini pati mulai banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bioplastik yang ramah lingkungan.

Gambar 2.1 Struktur Molekul Amilosa dan Amilopektin [19] 2.2.1 Gelatinisasi Pati

Gelatinisasi dalam arti sempit adalah suatu gangguan termal struktur kristal dalam granula pati asli, tetapi dalam arti yang lebih luas itu mencakup peristiwa yang berhubungan dengan pembengkakan butiran dan pelarutan polisakarida yang dapat larut [33]. Suhu gelatinisasi dianggap sebagai suhu di mana transisi fase granula pati dari keadaan yang teratur menjadi tidak teratur. Suhu gelatinisasi pati tergantung pada jenis tanaman dan jumlah air yang tersedia, pH, jenis dan konsentrasi garam, gula, lemak dan protein dalam campuran, derajat ikatan sambung silang dari amilopektin, jumlah butiran pati yang rusak juga sebagai teknologi yang digunakan [34]. Mekanisme pembentukan gel dimulai jika


(7)

larutan pati dipanaskan. Butir-butir pati akan mengembang sehingga ikatan hidrogen pada unit amorphous akan rusak dan pada suhu tertentu granula akan pecah [35]. Dalam proses gelatinisasi perlu diperhatikan komposisi air, dimana jika larutan pati terlalu pekat maka akan terjadi pengendapan partikel-partikel pati [36].

Jumlah fraksi amilosa-amilopektin sangat berpengaruh pada profil gelatinisasi pati. Amilosa memiliki ukuran yang lebih kecil dengan struktur tidak bercabang. Sementara amilopektin merupakan molekul berukuran besar dengan struktur bercabang banyak dan membentuk double helix. Saat pati dipanaskan, beberapa double helix fraksi amilopektin merenggang dan terlepas saat ada ikatan hidrogen yang terputus. Jika suhu yang lebih tinggi diberikan, ikatan hidrogen akan semakin banyak yang terputus, menyebabkan air terserap masuk ke dalam granula pati. Pada proses ini, molekul amilosa terlepas ke fase air yang menyelimuti granula, sehingga struktur dari granula pati menjadi lebih terbuka, dan lebih banyak air yang masuk ke dalam granula, menyebabkan granula membengkak dan volumenya meningkat. Molekul air kemudian membentuk ikatan hidrogen dengan gugus hidroksil gula dari molekul amilosa dan amilopektin. Di bagian luar granula, jumlah air bebas menjadi berkurang, sedangkan jumlah amilosa yang terlepas meningkat. Molekul amilosa cenderung untuk meninggalkan granula karena strukturnya lebih pendek dan mudah larut. Mekanisme ini yang menjelaskan bahwa larutan pati yang dipanaskan akan lebih kental [37].

Pada penelitian ini bahan baku yang digunakan adalah pati biji durian, dimana akan dilakukan analisis profil gelatinisasi terhadap pati tersebut. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui data-data pada saat pati tergelatinisasi, diantaranya temperatur gelatinisasi dan viskositas maksimum pati biji durian, serta mempelajari sifat-sifat pasta pati yaitu kestabilan viskositas pasta pati terhadap panas dan kemampuan pasta pati mengalami retrogradasi pada saat terjadi penurunan temperatur. Hasil penelitian Soebagio dkk., (2009) terhadap uji temperatur gelatinisasi dan viskositas pati biji durian dengan menggunakan alat Viskoamilograp Brabender menunjukkan bahwa temperatur gelatinisasi pati biji durian amalmi adalah 91,5 oC, kemudian tidak terdapat temperatur puncak dan


(8)

viskositas puncaknya. Dengan kenaikan temperatur dan dengan adanya pengadukan, nilai viskositas pati biji durian adalah 35 BU, dan pada saat penurunan temperatur dan dengan adanya pengadukan viskositas pati biji durian meningkat menjadi 120 BU. Diperoleh pula data bahwa kestabilan pati biji durian berada pada temperatur 50 oC [38].

2.2.2 Retrogradasi Pati

Retrogradasi merupakan proses pembentukan kembali struktur kristal pati setelah mengalami pemutusan ikatan hidrogen akibat pemanasan saat gelatinisasi Retrogradasi pati terjadi pada pati yang telah mengalami gelatinisasi dari keadaannya yang bersifat amorf menjadi lebih teratur atau membentuk struktur yang kokoh (kristalin). Hal ini terjadi karena pasta atau gel pati tergelatinisasi tidak berada pada kesetimbangan termodinamika. Perubahan dapat dilihat dari sifat reologi pati yang telah tergelatinisasi tersebut, sebagaimana dibuktikan pada peningkatan kekokohan atau kekakuan strukturnya. Kehilangan daya ikat air dan pemulihan sifat kritalinnya menjadi semakin jelas seiring bertambahnya waktu [39].

Pada saat proses gelatinisasi, pemanasan yang diberikan meningkatkan energi kinetik molekul air sehingga air dapat menembus masuk ke dalam granula dan berikatan dengan amilosa yang mengakibatkan granula membengkak dan amilosa terdispersi ke dalam air panas. Molekul-molekul amilosa tersebut akan terus terdispersi, asalkan pati tersebut dalam kondisi panas. Dalam kondisi panas, pasta masih memiliki kemampuan mengalir yang fleksibel dan tidak kaku. Bila pasta pati tersebut kemudian mendingin, energi kinetik tidak lagi cukup tinggi untuk melawan kecenderungan molekul-molekul amilosa untuk bersatu kembali. Molekul-molekul amilosa berikatan kembali satu sama lain serta berikatan dengan cabang amilopektin pada pinggir-pinggir luar granula, dengan demikian molekul-molekul yang berikatan tersebut akan menggambungkan butir-butir pati yang bengkak tersebut menjadi semacam jaring-jaring membentuk mikrokristal dan mengendap [40].

Gelatinisasi menyebabkan granula pati rusak dan pada saat pendinginan terjadi restrukturisasi pati menjadi pati resisten. Akan tetapi struktur yang


(9)

terbentuk bukan merupakan struktur granula pati melainkan struktur amilosa teretrogradasi. Amilosa merupakan komponen pati yang berperan dalam pembentukan pati teretrogradasi. Dari hasil penelitian Wulan dkk., (2006), jagung mampu menghasilkan kadar pati resisten yang tinggi setelah dimodifikasi. Jagung memiliki kadar amilosa yang paling tinggi yaitu sebesar 19,57% dibandingkan kentang (7,05%) dan ubi kayu (7,02%). Granula pati kaya amilosa mampu mengkristal yang lebih besar, disebabkan oleh lebih intensifnya ikatan hydrogen, akibatnya tidak dapat mengembang atau mengalami gelatinisasi sempurna pada waktu pemasakan sehingga tercerna lebih lambat. Pada umumnya pati dari akar atau batang mempunyai suhu gelatinisasi lebih rendah daripada pati serealia dan biji-bijian, selain itu granula patinya mengalami pengembangan serta tingkat pelarutan pati yang lebih besar. Hal ini menunjukkan pati dari akar atau batang mempunyai kekuatan ikatan antarmolekul pati yang lebih rendah daripada pati serealia, sedangkan pati dari umbi-umbian mempunyai tingkat pengembangan granula dan pelarutan yang tinggi yang menunjukkan lemahnya ikatan antar molekul pati. Dengan demikian proses retrogradasi pati dari akar atau batang akan lebih cepat jika dibandingkan dengan pati serealia dan biji-bijian, misalnya pati jagung. Pati jagung tidak mengalami gelatinisasi yang sempurna disebabkan hubungan antarmolekulnya yang tinggi, yang menunjukkan lemahnya ikatan antar molekul pati [41].

2.2.3 Hidrolisis Pati

Dalam proses hidrolisis, rantai polisakarida dipecah menjadi monosakarida-monosakarida [42]. Hidrolisis adalah pemecahan suatu senyawa menggunakan air. Hidrolisis dengan larutan asam encer, dimana kecepatan reaksinya sebanding dengan konsentrasi asam [43]. Reaksi hidrolisis pati dituliskan sebagai berikut : (C6H10O5)n + nH2O → nC6H10O5

Tetapi reaksi antara air dan pati jalannya sangat lambat sehingga diperlukan bantuan katalisator untuk memperbesar keaktifan air. Katalisator yang biasa diigunakan adalah asam klorida, asam nitrat dan asam sulfat. Bila hidrolisis dilakukan dengan bantuan katalisator asam, reaksi harus dinetralkan terlebih dahulu dengan basa untuk menghilangkan sifat asamnya. Dalam industri


(10)

umumnya digunakan asam klorida sebagai katalisator. Pemilihan ini didasarkan pada garam yang terbentuk setelah penetralan hasil merupakan garam yang tidak berbahaya yaitu garam dapur [44].

Faktor-faktor yang mempengaruhi hidrolisis pati : 1. Suhu reaksi

Dari kinetika reaksi kimia, semakin tinggi suhu reaksi makin cepat pula jalannya reaksi, seperti yang diberikan oleh persamaan Arhenius. Tetapi jika berlangsung pada suhu yang terlalu tinggi konversi akan menurun. Hal ini disebabkan adanya glukosa yang pecah menjadi arang (warna larutan hasil semakin tua)

2. Waktu reaksi

Semakin lama waktu hidrolisis konversi yang dicapai semakin besar sampai pada batas waktu tertentu akan diperoleh konversi yang relatif baik dan apabila waktu tersebut diperpanjang, pertambahan konversi kecil sekali. Karena pati tidak larut dalam air, maka pengadukan perlu sekali dilakukan agar persentuhan butir-butir pati dengan air dapat berlangsung dengan baik.

3. Pencampuran pereaksi

Penambahan katalisator bertujuan memperbesar kecepatan reaksi, sesuai dengan persamaan Arhenius. Jadi makin banyak asam yang dipakai makin cepat reaksi hidrolisis, dan dalam waktu tertentu pati yang berubah menjadi glukosa juga meningkat. Tetapi penggunaan asam sengai katalisator sedapat mungkin terbatas pada nilai terkecil agar garam yang tersisa dalam hasil setelah penetralan tidak mengganngu rasa manis.

4. Kadar suspensi pati

Perbandingan antara air dan pati yang tepat akan membuat reaksi hidrolisis berjalan cepat. Penggunaan air yang berlebihan akan memperbesar penggunaan energi untuk pemekatan hasil. Sebaliknya, jika pati berlebihan, tumbukan antara pati dan air akan berkurang sehingga mengurangi kecepatan reaksi [44].

2.3 BIJI DURIAN

Durian (Durio zibethinus murr) adalah salah satu buah yang sangat popular di Indonesia. Buah dengan julukan The King of fruits ini termasuk dalam famili


(11)

Bombacaceae dan banyak ditemukan di daerah tropis. Di Indonesia, tanaman durian terdapat di seluruh pelosok Jawa dan Sumatera. Sedangkan di Kalimantan dan Irian Jaya umumnya hanya terdapat di hutan. Tiap pohon durian dapat menghasilkan 80 sampai 100 buah, bahkan hingga 200 buah terutama pada pohon yang tua. Tiap rongga buah terdapat 2 sampai 6 biji atau lebih [45].

Biasanya masyarakat mengkonsumsi daging buah durian karena memiliki nilai gizi yang tinggi dan cita rasa yang enak. Sedangkan kulit dan biji durian dibuang sebagai limbah. Padahal persentase berat bagian salut buah atau dagingnya ini termasuk rendah yaitu hanya 20-35%. Hal ini berarti kulit (60-75%) dan biji (5-15%) belum bermanfaat secara maksimal [46]. Biji durian diketahui mengandung kadar pati yang cukup tinggi. Berikut merupakan kandungan nutrisi di dalam 100 gram biji durian yang disajikan dalam tabel 2.1. Berdasarkan data tabel tersebut dapat dilihat bahwa 100 gram biji durian mempunyai kadar karbohidrat (pati) 43,6 % untuk biji durian segar dan 46,2 % untuk biji yang sudah masak. Nilai ini cukup tinggi sehingga biji durian berpotensi untuk dimanfaatkan lagi sebagai bahan sumber karbohidrat yang akan menambah nilai ekonomis biji durian.

Tabel 2.1 Kandungan Nutrisi Biji Durian [12] Zat

Per 100 gram Biji Segar (Mentah) tanpa Kulitnya

Per 100 gram Biji Telah Dimasak tanpa Kulitnya

Kadar Air 51,5 g 51,1 g

Lemak 0,4 g 0,2-0,23 g

Protein 2,6 g 1,5 g

Karbohidrat

Total 43,6 g 43,2 g

Serat Kasar 0,7-0,71 g

Nitrogen 0,297 g

Abu 1,9 g 1,0 g

Kalsium 17 mg 3,9-88,9 mg

Pospor 68 mg 86,5-87 mg

Besi 1,0 mg 0,6-0,64 mg

Natrium 3 mg

Kalium 962 mg

Beta Karotin 250 μg

Riboflavin 0,05 mg 0,05-0,052 mg

Thiamin 0,03-0,032 mg


(12)

2.4 KITOSAN

Kitosan adalah polisakarida yang banyak terdapat di alam setelah selulosa. Kitosan merupakan suatu senyawa poli (N-amino-2 deoksi β-D-glukopiranosa) atau glukosamin hasil deasetilasi kitin/poli (N-asetil-2 amino-2-deoksi β-D glukopiranosa) yang diproduksi dalam jumlah besar di alam, yaitu terdapat pada limbah udang dan kepiting [47]. Khitosan tidak larut dalam air tetapi larut dalam pelarut asam organik di bawah pH 6 antara lain asam formiat, asam asetat, dan asam laktat. Kelarutan khitosan dalam pelarut asam anorganik sangat terbatas, antara lain sedikit larut dalam larutan HCl 1% tetapi tidak larut dalam asam sulfat dan asam pospat [48]

Kitosan dihasilkan dengan proses hidrolisis kitin menggunakan basa kuat yaitu dengan reaksi deasetilasi. Saat ini terdapat lebih dari 200 aplikasi dari kitin dan kitosan serta turunannya di industri makanan, pemrosesan makanan, bioteknologi, pertanian, farmasi, kesehatan, dan lingkungan [49].

Gambar 2.2 Reaksi Deasetilasi Kitin Dengan Basa Kuat Menjadi Kitosan [50] Khitosan mempunyai potensi untuk dimanfaatkan pada berbagai jenis industri maupun aplikasi pada bidang kesehatan. Salah satu contoh aplikasi khitosan yaitu sebagai pengikat bahan-bahan untuk pembentukan alat-alat gelas, plastik, karet, dan selulosa yang sering disebut dengan formulasi adesif khusus. Pemanfaatan khitosan sebagai bahan tambahan pada pembuatan film plastik berfungsi untuk memperbaiki transparasi film plastik yang dihasilkan [51]. Semakin banyak


(13)

khitosan yang digunakan maka sifat mekanik dan ketahanan terhadap air dari produk bioplastik yang dihasilkan semakin baik [52]. Selain itu, kitosan tidak beracun, mudah mengalami biodegradasi, dan bersifat polielektrolitik. Karakteristik lain kitosan adalah dapat dengan mudah berinteraksi dengan zat-zat organik lain, seperti protein dan lemak. Karena itu, kitosan relatif lebih banyak digunakan pada berbagai bidang industri terapan dan industri farmasi dan kesehatan Sifat-sifat yang dimiliki kitosan inilah yang menyebabkan ketahanan terhadap air bahan bioplastik menjadi baik [27]. Pengembangan edible film

antimikroba dan bahan kemasan dari kitosan cangkang udang dapat memperluas aplikasi kitosan dalam sistem pangan. Kemungkinan memproduksi kitosan cangkang udang dengan berbagai sifat fisikokimia memberikan kesesuaian untuk memilih kitosan yang paling cocok untuk pengembangan film antimikroba dan bahan kemasan [48].

Pada penelitian ini digunakan kitosan sebagai pengisi dalam pembuatan bioplastik dari pati biji durian. Bioplastik yang hanya berbahan baku pati memiliki beberapa kelemahan, salah satunya kurang tahan terhadap air. Salah satu cara untuk mengurangi sifat hidrofilik bioplastik tersebut adalah dengan cara menambahkan biopolimer lain yang bersifat hidrofobik seperti kitosan. Dari penelitian yang dilakukan Yuli dan Herti (2010) dengan variasi perbandingan pati dengan kitosan 6:4, 7:3, 8:2 dan 9:1 (m/m) dalam pembuatan bioplastik dari pati sorgum, dihasilkan nilai ketahanan air terbaik sebesar 36,825 % pada perbandingan 7:3. Nilai ketahanan air yang baik adalah pada saat bioplastik menyerap air lebih sedikit [27]. Semakin besar konsentrasi kitosan, ketahanan airnya cenderung meningkat dengan persentase water uptake semakin kecil yang berarti bahwa proses penyerapan air paling kecil [53].

2.5 SORBITOL

Sorbitol merupakan bahan pengganti gula dari golongan gula alkohol yang paling banyak digunakan, terutama di Indonesia [54]. Di Indonesia sorbitol (C6H14O6) paling banyak digunakan sebagai pemanis pengganti gula karena bahan dasarnya mudah diperoleh dan harganya murah [55]. Di Indonesia, sorbitol diproduksi dari tepung umbi tanaman singkong (Manihot Utillissima Pohl) yang


(14)

termasuk keluarga Euphoribiaceae. Selain itu sorbitol juga dapat ditemui pada alga merah Bostrychia scorpiodes yang mengandung 13,6% sorbitol. Tanaman berri dari spesies Sorbus Americana mengandung 10% sorbitol. Famili Rosaceae

seperti buah pir, apel, ceri, prune, peach, dan aprikot juga mengandung sorbitol [56]. Sorbitol juga diproduksi dalam jaringan tubuh manusia yang merupakan hasil katalisasi dari D-glukosa oleh enzim aldose reductase, yang mengubah struktur aldehid (CHO) dalam molekul glukosa menjadi alkohol (CH2OH) [57].

Gambar 2.3 Struktur Molekul Sorbitol [58]

Sorbitol dapat digunakan sebagai plasticizer dalam pembuatan bioplastik berbasis pati. Plasticizer didefinisikan sebagai bahan nonvolatil, bertitik didih tinggi yang jika ditambahkan pada material lain akan merubah sifat fisik material tersebut. Penambahan plasticizer dapat meningkatkan fleksibilitas edible film

[59]. Jenis dan konsentrasi dari plasticizer yang digunakan juga akan memberikan pengaruh terhadap kelarutan dari film berbahan dasar pati. Semakin banyak air yang masuk ke dalam struktur pati akan meningkatkan kelarutan dalam air dan asam, hal ini karena sorbitol memiliki sifat hidrofil. Nilai kelarutan dalam air bioplastik dapat digunakan untuk memprediksi kestabilan bioplastik terhadap pengaruh air [6].

Pada penelitian ini digunakan sorbitol sebagai plasticizer dalam pembuatan bioplastik, hal ini dikarenakan bioplastik berbahan pati saja bersifat kaku dan kurang elastis. Menurut Wirawan dkk. (2012), pengaruh penambahan plasticizer


(15)

plasticizer yang ditambahkan maka nilai kekuatan tarikcenderung menurun sedangkan persentase elongation of break cenderung naik dan sorbitol memberikan nilai kekuatan tarikyang lebih tinggi daripada gliserol, namun memberikan nilai elongation of break yang lebih rendah daripada gliserol karena sorbitol lebih bersifat rapuh (brittle) [60]. Dari penelitian Yuli dan Herti (2010) yaitu pembuatan bioplastik dati pati sorgum digunakan variasi konsentrasi sorbitol 20%, 25%, 30% dan 40% (%berat), dimana nilai kekuatan tarik tertinggi adalah pada konsentrasi sorbitol 20%, yaitu sebesar 6,9711 Mpa dan cenderung mengalami penurunan nilai kekuatan tarik seiring peningkatan konsentrasi sorbitol pada bioplastik [27].

2.6 KARAKTERISASI PATI

Beberapa analisis/karakterisasi yang dilakukan pada bioplastik adalah sebagai berikut.

2.6.1 Analisis Kadar Pati

Pati penting dalam makanan terutama yang bersumber dari tumbuh-tumbuhan dan memperlihatkan sifat-sifatnya, pati terdapat dalam biji-bijian dan umbi-umbian sebagai karakteristik granula pati, pati tidak manis, pati tidak dapat larut dengan mudah dalam air dingin, pati berbentuk pasta dan gel di dalam air panas, pati menyediakan cadangan sumber energi dalam tumbuhtumbuhan dan persediaan energi dalam bentuk nutrisi [61]. Berdasarkan standar mutu pati menurut standar industri Indonesia, kadar pati yang diizinkan adalah minimum 75 % [62]. Secara umum kadar pati dapat dipengaruhi oleh tingkat kemurnian pati saat proses ekstraksi dari sumbernya, jika pati hasil ekstraksi tidak bersih atau masih mengandung campuran seperti serat, pasir atau kotoran yang terikut, maka semakin rendah kadar patinya. Pada umbi-umbian dipengaruhi oleh umur panen optimumnya, jika dipanen pada saat yang tepat biasanya mengandung pati yang optimum dan sedikit kandungan gula [63].

2.6.2 Analisis Kadar Amilosa Dan Amilopektin

Pati memiliki komponen penyusun utama, yaitu amilosa dan amilopektin. Kedua fraksi ini dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi yang terlarut disebut


(16)

amilosa dan fraksi yang tidak terlarut disebut amilopektin. Struktur amilosa memberikan sifat keras sedangkan amilopektin menyebabkan sifat lengket [26]. Amilosa adalah fraksi yang lebih berperan dalam pembentukan gel serta dapat menghasilkan lapisan tipis (film) yang lebih kompak [64]. Perbandingan amilosa : amilopektin berdasarkan penelitian Setiani dkk. (2013) dalam pembuatan bioplastik dari pati sukun adalah 26,76 : 73,24, sedangkan pada penelitian Cornelia dkk., dalam pembuatan bioplastik dari pati biji durian dan biji plastik LDPE perbandingan amilosa : amilopektin pati biji durian adalah 14 : 74 [65].

2.6.3 Analisis Kadar Air

Air merupakan komponen penting dalam bahan pangan yang dapat mempengaruhi kualitas produk. Penurunan jumlah air dapat mengurangi laju kerusakan bahan pangan akibat proses mikrobiologis, kimiawi, dan enzimatis. Rendahnya kadar air suatu bahan pangan memiliki umur simpan yang lebih lama. Kadar air perlu ditetapkan sebab sangat berpengaruh terhadap daya simpan bahan. Makin tinggi kadar air suatu bahan maka makin besar pula kemungkinan bahan tersebut rusak atau tidak tahan lama. Proses pengeringan sangat berpengaruh terhadap kadar air yang dihasilkan. Pengeringan pada pati mempunyai tujuan untuk mengurangi kadar air sehingga pertumbuhan mikroba dan aktivitas enzim penyebab kerusakan pada pati dapat dihambat. Batas kadar air minimum dimana mikroba masih dapat tumbuh adalah 14-15% [66]. Kadar air yang tinggi pada tepung atau pati dapat menimbulkan gumpalan, perubahan warna dan bau akibat timbulnya jamur [67].

2.6.4 Analisis Kadar Abu

Abu adalah residu anorganik dari pembakaran bahan organik, kadar abu dapat dihitung berdasarkan pengurangan bobot sampel selama proses pembakaran pada suhu tinggi (500–650oC) melewati proses penguapan dari material organik. Total abu merupakan parameter yang bermanfaat bagi nilai nutrisi dari banyak produk makanan. Kadar abu menunjukan kandungan mineral suatu bahan pangan. Abu didefinisikan sebagai residu yang tertinggal setelah suatu bahan pangan dibakar hingga bebas karbon. Kadar abu suatu bahan pangan menggambarkan


(17)

banyaknya mineral yang tidak terbakar menjadi zat yang dapat menguap. Komponen yang umum terdapat pada senyawa organik alami adalah kalium, natrium, kalsium, magnesium, mangan, dan besi. Secara kuantitatif nilai kadar abu dalam pati yang dihasilkan berasal dari mineral-mineral dalam biji, pemakaiaan pupuk, dan dapat juga berasal dari kontaminasi tanah dan udara selama pengolahan [68].

2.6.5 Analisis Kadar Lemak

Komponen sampingan dari granula pati adalah protein dan lipid. Dari perspektif fungsi pati, pembentukan lemak-pati kompleks terjadi karena rantai asam lemak jenuh yang menempati inti dari heliks amilosa secara signifikan. Lipid internal yang berada di dalam granula pati dalam rongga helix amilosa atau diruang antara amilosa dan amilopektin dianggap satu-satunya yang benar lipid pati. Lipid yang tersisa berasal dari endosperm. Lemak dalam bahan berpati terdapat sebagai kompleks dengan bagian nonpolar (di dalam rantai polimer) molekul amilosa [69]. Sebagian besar lemak akan diabsorbsi oleh permukaan granula sehingga berbentuk lapisan lemak yang bersifat hidrofobik di sekeliling granula. Lapisan lemak tersebut akan menghambat pengikatan air oleh granula pati. Hal ini menyebabkan kekentalan dan kelekatan pati berkurang akibat jumlah air berkurang untuk terjadinya pengembangan granula pati [70].

2.6.6 Analisis Kadar Protein

Pada protein, gugus karbonil asam amino terikat pada gugus amino asam amino lain dengan ikatan peptida / ikatan amida secara kovalen membentuk rantai polipeptida. Kadar protein juga menunjukkan analisis kadar nitrogen yang terdapat pada pati [71]. Protein dan pati akan membentuk kompleks dengan permukaan granula dan menyebabkan viskositas pati menjadi turun, dan berakibat pada rendahnya kekuatan gel. Hal ini kurang diharapkan karena pada aplikasi pemanfaatannya, pati banyak digunakan sebagai thickening agents [72]. Kadar protein yang tinggi mampu membentuk kompleks dengan amilosa sehingga membentuk endapan yang tidak larut dan menghambat pengeluaran amilosa dari


(18)

granula. Dengan demikian diperlukan energi yang lebih besar untuk melepas amilosa sehingga suhu awal gelatinisasi yang dicapai akan lebih tinggi [73]. 2.7 KARAKTERISASI BIOPLASTIK

Beberapa pengujian/karakterisasi yang dilakukan pada bioplastik adalah sebagai berikut.

2.7.1 Uji Kekuatan Tarik

Penentuan daya regang (tensile strength) atau sering dikenal juga sebagai kekuatan tarik merupakan gaya maksimum yang terjadi pada film selama pengukuran berlangsung. Hasil pengukuran ini berhubungan erat dengan jumlah

plasticizer yang ditambahkan pada proses pembuatan film. Berdasarkan penelitian nilai daya regang tanpa penambahan sorbitol memiliki nilai lebih besar dibandingkan dengan adanya penambahan sorbitol. Plasticizer dapatmengurangi ikatan hidrogen internal molekul dan menyebabkan melemahnya gaya tarik intermolekul rantai polimer yang berdekatan sehingga mengurangi daya regang putus. Penambahan plasticizer lebih dari jumlah tertentu akan menghasilkan film dengan kekuatan tarik yang lebih rendah [74]. Kekuatan tarik dan elongasi dari

biodegradable plastik yang dihasilkan dipengaruhi oleh kadar pati, kadar serat, pemlastis serta bahan kompatibilitas yang dihasilkan. Pengujian ini sangat sederhana dan sudah mengalami standarisasi di seluruh dunia, misalnya di Amerika dengan ASTM E8, di Jepang dengan JIS 2241 dan di Indonesia dengan ASTM D 638. Pada uji kekuatan tarik ini, dengan menarik suatu bahan kita akan segera mengetahui bagaimana bahan tersebut bereaksi terhadap tenaga tarikan dan mengetahui sejauh mana material itu bertambah panjang [75].

Kekuatan tarik dapat diukur berdasarkan beban maksimum (Fmaks) yang digunakan untuk mematahkan material dibagi dengan luas penampang awal (A0) yang ditunjukkan pada persamaan berikut :

(2.1)

Dimana : = kekuatan tarik (kgf/cm2) Fmaks = beban maksimum (kgf)

A0 = luas penampang awal (cm2) [16] Standar yang digunakan adalah ASTM D638-02a, 2002.


(19)

2.7.2 Uji Pemanjangan pada saat Putus

Panjang putus (elongation at break) atau proses pemanjangan merupakan perubahan panjang maksimum pada saat terjadi peregangan hingga sampel film terputus. Padaumumnya adanya penambahan plasticizer dalam jumlah lebih besar akan menghasilkan nilai persen pemanjangan suatu film semakin lebih besar. Tanpa penambahan plasticizer, amilosa dan amilopektin akan membentuk suatu film dan struktur dengan satu daerah kaya amilosa dan amilopektin. Interaksi-interaksi antara molekul-molekul amilosa dan amilopektin mendukung formasi film, menjadikan film pati jadi rapuh dan kaku [76].

Elastisitas suatu material (elongasi) dapat dicari dengan perbandingan antara pertambahan panjang dengan panjang semula seperti pada persamaan berikut :

x 100 % (2.2) Dimana : = elastisitas/regangan (%)

l0 = panjang mula-mula material yang diukur (cm)

= pertambahan panjang (cm) [16]

Standar yang digunakan adalah ASTM D638-02a, 2002. 2.7.3 Uji Modulus Young

Sifat mekanik bioplastik yang perlu juga diuji adalah nilai Modulus Young. Penilaian Modulus Young digunakan sebagai salah satu acuan untuk menentukan kekuatan mekanik bioplastik yang menunjukkan keelastisitasan bioplastik tersebut [15]. Nilai Modulus Young diperoleh berdasarkan pengukuran nilai kekuatan tarik dan perpanjangan pada saat putus bioplastik, dimana nilainya didapat dengan membagikan nilai kekuatan tarik dengan nilai perpanjangan pada saat putus seperti pada persamaan berikut :

(2.3) Dimana : = Modulus Young (MPa)

= kekuatan tarik (MPa)


(20)

2.7.4 Uji PenyerapanAir

Sifat ketahanan bioplastik terhadap air ditentukan dengan uji swelling, yaitu persentase penggembungan plastik oleh adanya air [77]. Uji ini dilakukan untuk mengetahui terjadinya ikatan dalam polimer serta tingkatan atau keteraturan ikatan dalam polimer yang ditentukan melalui persentase penambahan berat polimer setelah mengalami penggembungan. Proses terdifusinya molekul pelarut kedalam polimer akan menghasilkan gel yang menggembung [52].

Prosedur uji ketahanan air pada sampel bioplastik adalah sebagai berikut : berat awal sampel yang akan diuji ditimbang (Wo). Lalu Isi suatu wadah (botol/gelas/mangkok) dengan air aquades. Letakkan sampel plastik ke dalam wadah tersebut. Setelah 10 detik angkat dari dalam wadah berisi aquades, timbang berat sampel (W) yang telah direndam dalam wadah. Rendam kembali sampel ke dalam wadah tersebut, angkat sampel tiap 10 detik, timbang berat sampel. Lakukan hal yang sama hingga diperoleh berat akhir sampel yang konstan. Air yang diserap oleh sampel dihitung melalui persamaan:

Penyerapan Air (%) = x 100 % (2.4)

Dimana: Wo = berat sampel kering

W = berat sampel setelah direndam air [27] Standar yang digunakan adalah ASTM D570-98, 2005.

2.7.5 Uji Densitas

Kerapatan merupakan sifat fisik suatu polimer. Kerapatan suatu bahan berpengaruh terhadap sifat mekanik bahan tersebut, semakin rapat suatu bahan maka semakin meningkatkan sifat mekaniknya. Sehingga film bioplastik yang dihasilkan mempunyai kekuatan tarik yang baik. Kerapatan atau densitas ini dapat didefinisi-kan sebagai berat per satuan volume bahan [75]. Penentuan rapat massa (densitas) film dilakukan dengan cara film dipotong dengan ukuran dan tebal tertentu, kemudian dihitung volumenya. Potongan film ditimbang dan rapat massa

film ditentukan dengan membagi massa potongan uji dengan volumenya (g/cm3) [6].


(21)

(2.5) Dimana : = rapat massa/densitas (g/cm3)

m = massa sampel (g)

v = volume sampel (cm3) [24]

Standar yang digunakan adalah ASTM D792-91, 1991. 2.7.6 Analisis FT-IR (F ourier Transform Infrared)

FT-IR merupakan metode yang menggunakan spektroskopi inframerah. Pada spektroskopi inframerah, radiasi inframerah dilewatkan pada sampel. Sebagian radiasi inframerah diserap oleh sampel dan sebagian lagi dilewatkan/ditransmisikan. Hasil dari spektrum merupakan besarnya absorpsi molekul dan transmisi yang membentuk sidik jari molekul dari suatu sampel. Seperti sidik jari pada umumnya, struktur sidik jari dari spektrum inframerah yang dihasilkan tidak ada yang sama. Inilah yang membuat spektroskopi inframerah berguna untuk beberapa jenis analisis. Manfaat informasi/data yang dapat diketahui dari FT-IR untuk dianalisis adalah identifikasi material yang tidak dikeahui, menentukan kualitas sampel dan menentukan banyaknya komponen dalam suatu campuran [79].

2.7.7 Analisis SEM (Scanning Electron Microscopy)

SEM merupakan alat yang dapat digunakan untuk mempelajari atau mengamati rincian bentuk maupun struktur mikro permukaan suatu objek yang tidak dapat dilihat dengan mata atau dengan mikroskop optik. SEM digunakan untuk mengamati struktur micron, topografi, morfologi, fraktografi sampel padatan dari bahan logam, polimer atau keramik [75]. Hasil analisis SEM juga memperlihatkan penyebaran partikel pengisi pada matriks sehingga dapat diketahui distribusi partikel pada matriks tersebar dengan merata atau tidak [16]. Struktur morfologi campuran polimer adalah karakteristik yang sangat penting untuk memahami banyak sifat dari campuran polimer, terutama sifat mekanik [78].


(22)

2.7.8 Analisis RVA (Rapid Visco Analyzer)

Gelatinisasi adalah suatu sifat penting terhadap pati, karena menunjukkan perubahan dalam struktur kristal dan fungsi. Pada pembuatan sampel plastik melibatkan beberapa macam perubahan fasa, gelatinisasi menjadi suatu faktor yang penting karena sangat terkait dengan faktor yang lainnya, dan merupakan teknik dasar dalam konversi pati agar menjadi polimer termoplastik. Pati dengan kadar amilosa tinggi memiliki wilayah yang lebih amorf dan kurang kristal, menurunkan suhu gelatinisasi dan entalpi endotermik. Pada penelitian Faridah dkk., (2013), profil gelatinisasi pati garut alami dianalisis dengan menggunakan

Rapid Visco Analyzer (RVA). Sebanyak 3,0 g sampel (berat kering) ditimbang dalam wadah RVA, lalu ditambahkan 25 g akuades. Pengukuran dengan RVA mencakup fase proses pemanasan dan pendinginan pada pengadukan konstan (160 rpm). Pada fase pemanasan, suspense pati dipanaskan dari suhu 50oC hingga 95oC dengan kecepatan 6oC/menit, lalu dipertahankan pada suhu tersebut (holding)

selama 5 menit. Setelah fase pemanasan selesai, pasta pati dilewatkan pada fase pendinginan, yaitu suhu diturunkan dari 95oC menjadi 50oC dengan kecepatan 6oC/menit, kemudian dipertahankan pada suhu tersebut selama 2 menit. Instrumen RVA memplot kurva profil gelatinisasi sebagai hubungan dari nilai viskositas (cP) pada sumbu y dengan perubahan suhu (oC) selama fase pemanasan dan pendi-nginan pada sumbu x [80].

Beberapa data yang diperoleh dari hasil analisis RVA adalah pasting temperature, peak viscosity, hold viscosity, final viscosity, breakdown dan setback 1. Pasting temperatur adalah temperatur pada saat awal terjadinya gelatinisasi. Peak viscosity adalah viskositas puncak pada saat pati tergelatinisasi. Nilai viskositas puncak merefleksikan kemampuan granula untuk mengikat air dan mempertahankan pembengkakan selama pemanasan [81]. Viskositas puncak yang tinggi menunjukkan bahwa adanya amilosa yang masih bisa berikatan dengan molekul pati yang lain sehingga terbentuk struktur heliks ganda melalui ikatan hidrogen (retrogradasi) dan membentuk pati dengan struktur yang lebih kuat (pati resisten) [82]. Hold viscosity adalah viskositas pada saat temperatur pemanasan dipertahankan selama beberapa menit. Perubahan viskositas selama pemanasan pada temperatur konstan ini menunjukkan kestabilan viskositas


(23)

terhadap panas. Nilai viskositas breakdown diperoleh pada tahap holding yaitu suhu pemanasan dipertahankan untuk mengetahui tingkat kestabilan pasta pati pada saat proses pemanasan, dimana nilai viskositas breakdown adalah selisih antara nilai peak viscosity dengan hold viscosity. Final viscosity atau viskositas akhir merupakan nilai viskositas pasta pati setelah tahap pendinginan. Pada tahap ini dapat diketahui kestabilan viskositas pati terhadap proses pengolahan (pemanasan, pengadukan, pendinginan) [83]. Perubahan viskositas selama proses pendinginan ini disebut setback 1 yaitu selisih antara hold viscosity dengan final viscosity. Viskositas setback pasta menunjukkan kecenderungan retrogradasi yang terjadi pada molekul amilosa karena amilosa lebih mudah terpapar oleh air dan mudah mengalami rekristalisasi dibandingkan amilopektin [80]. Pati dengan nilai viskositas setback yang tinggi menunjukkan bahwa banyaknya jumlah amilosa yang berikatan kembali dengan molekul-molekul pati yang lain dan membentuk struktur heliks ganda melalui ikatan hidrogen (retrogradasi). Struktur pati yang terbentuk menjadi lebih kuat sehingga disebut dengan pati tahan cerna (pati resisten) [83].


(1)

granula. Dengan demikian diperlukan energi yang lebih besar untuk melepas amilosa sehingga suhu awal gelatinisasi yang dicapai akan lebih tinggi [73]. 2.7 KARAKTERISASI BIOPLASTIK

Beberapa pengujian/karakterisasi yang dilakukan pada bioplastik adalah sebagai berikut.

2.7.1 Uji Kekuatan Tarik

Penentuan daya regang (tensile strength) atau sering dikenal juga sebagai kekuatan tarik merupakan gaya maksimum yang terjadi pada film selama pengukuran berlangsung. Hasil pengukuran ini berhubungan erat dengan jumlah plasticizer yang ditambahkan pada proses pembuatan film. Berdasarkan penelitian nilai daya regang tanpa penambahan sorbitol memiliki nilai lebih besar dibandingkan dengan adanya penambahan sorbitol. Plasticizer dapat mengurangi ikatan hidrogen internal molekul dan menyebabkan melemahnya gaya tarik intermolekul rantai polimer yang berdekatan sehingga mengurangi daya regang putus. Penambahan plasticizer lebih dari jumlah tertentu akan menghasilkan film dengan kekuatan tarik yang lebih rendah [74]. Kekuatan tarik dan elongasi dari biodegradable plastik yang dihasilkan dipengaruhi oleh kadar pati, kadar serat, pemlastis serta bahan kompatibilitas yang dihasilkan. Pengujian ini sangat sederhana dan sudah mengalami standarisasi di seluruh dunia, misalnya di Amerika dengan ASTM E8, di Jepang dengan JIS 2241 dan di Indonesia dengan ASTM D 638. Pada uji kekuatan tarik ini, dengan menarik suatu bahan kita akan segera mengetahui bagaimana bahan tersebut bereaksi terhadap tenaga tarikan dan mengetahui sejauh mana material itu bertambah panjang [75].

Kekuatan tarik dapat diukur berdasarkan beban maksimum (Fmaks) yang

digunakan untuk mematahkan material dibagi dengan luas penampang awal (A0) yang ditunjukkan pada persamaan berikut :

(2.1)

Dimana : = kekuatan tarik (kgf/cm2) Fmaks = beban maksimum (kgf)

A0 = luas penampang awal (cm2) [16]


(2)

2.7.2 Uji Pemanjangan pada saat Putus

Panjang putus (elongation at break) atau proses pemanjangan merupakan perubahan panjang maksimum pada saat terjadi peregangan hingga sampel film terputus. Pada umumnya adanya penambahan plasticizer dalam jumlah lebih besar akan menghasilkan nilai persen pemanjangan suatu film semakin lebih besar. Tanpa penambahan plasticizer, amilosa dan amilopektin akan membentuk suatu film dan struktur dengan satu daerah kaya amilosa dan amilopektin. Interaksi-interaksi antara molekul-molekul amilosa dan amilopektin mendukung formasi film, menjadikan film pati jadi rapuh dan kaku [76].

Elastisitas suatu material (elongasi) dapat dicari dengan perbandingan antara pertambahan panjang dengan panjang semula seperti pada persamaan berikut :

x 100 % (2.2) Dimana : = elastisitas/regangan (%)

l0 = panjang mula-mula material yang diukur (cm)

= pertambahan panjang (cm) [16]

Standar yang digunakan adalah ASTM D638-02a, 2002.

2.7.3 Uji Modulus Young

Sifat mekanik bioplastik yang perlu juga diuji adalah nilai Modulus Young. Penilaian Modulus Young digunakan sebagai salah satu acuan untuk menentukan kekuatan mekanik bioplastik yang menunjukkan keelastisitasan bioplastik tersebut [15]. Nilai Modulus Young diperoleh berdasarkan pengukuran nilai kekuatan tarik dan perpanjangan pada saat putus bioplastik, dimana nilainya didapat dengan membagikan nilai kekuatan tarik dengan nilai perpanjangan pada saat putus seperti pada persamaan berikut :

(2.3)

Dimana : = Modulus Young (MPa) = kekuatan tarik (MPa)


(3)

2.7.4 Uji PenyerapanAir

Sifat ketahanan bioplastik terhadap air ditentukan dengan uji swelling, yaitu persentase penggembungan plastik oleh adanya air [77]. Uji ini dilakukan untuk mengetahui terjadinya ikatan dalam polimer serta tingkatan atau keteraturan ikatan dalam polimer yang ditentukan melalui persentase penambahan berat polimer setelah mengalami penggembungan. Proses terdifusinya molekul pelarut kedalam polimer akan menghasilkan gel yang menggembung [52].

Prosedur uji ketahanan air pada sampel bioplastik adalah sebagai berikut : berat awal sampel yang akan diuji ditimbang (Wo). Lalu Isi suatu wadah

(botol/gelas/mangkok) dengan air aquades. Letakkan sampel plastik ke dalam wadah tersebut. Setelah 10 detik angkat dari dalam wadah berisi aquades, timbang berat sampel (W) yang telah direndam dalam wadah. Rendam kembali sampel ke dalam wadah tersebut, angkat sampel tiap 10 detik, timbang berat sampel. Lakukan hal yang sama hingga diperoleh berat akhir sampel yang konstan. Air yang diserap oleh sampel dihitung melalui persamaan:

Penyerapan Air (%) = x 100 % (2.4)

Dimana: Wo = berat sampel kering

W = berat sampel setelah direndam air [27] Standar yang digunakan adalah ASTM D570-98, 2005.

2.7.5 Uji Densitas

Kerapatan merupakan sifat fisik suatu polimer. Kerapatan suatu bahan berpengaruh terhadap sifat mekanik bahan tersebut, semakin rapat suatu bahan maka semakin meningkatkan sifat mekaniknya. Sehingga film bioplastik yang dihasilkan mempunyai kekuatan tarik yang baik. Kerapatan atau densitas ini dapat didefinisi-kan sebagai berat per satuan volume bahan [75]. Penentuan rapat massa (densitas) film dilakukan dengan cara film dipotong dengan ukuran dan tebal tertentu, kemudian dihitung volumenya. Potongan film ditimbang dan rapat massa film ditentukan dengan membagi massa potongan uji dengan volumenya (g/cm3) [6].


(4)

(2.5) Dimana : = rapat massa/densitas (g/cm3)

m = massa sampel (g)

v = volume sampel (cm3) [24]

Standar yang digunakan adalah ASTM D792-91, 1991.

2.7.6 Analisis FT-IR (F ourier Transform Infrared)

FT-IR merupakan metode yang menggunakan spektroskopi inframerah. Pada spektroskopi inframerah, radiasi inframerah dilewatkan pada sampel. Sebagian radiasi inframerah diserap oleh sampel dan sebagian lagi dilewatkan/ditransmisikan. Hasil dari spektrum merupakan besarnya absorpsi molekul dan transmisi yang membentuk sidik jari molekul dari suatu sampel. Seperti sidik jari pada umumnya, struktur sidik jari dari spektrum inframerah yang dihasilkan tidak ada yang sama. Inilah yang membuat spektroskopi inframerah berguna untuk beberapa jenis analisis. Manfaat informasi/data yang dapat diketahui dari FT-IR untuk dianalisis adalah identifikasi material yang tidak dikeahui, menentukan kualitas sampel dan menentukan banyaknya komponen dalam suatu campuran [79].

2.7.7 Analisis SEM (Scanning Electron Microscopy)

SEM merupakan alat yang dapat digunakan untuk mempelajari atau mengamati rincian bentuk maupun struktur mikro permukaan suatu objek yang tidak dapat dilihat dengan mata atau dengan mikroskop optik. SEM digunakan untuk mengamati struktur micron, topografi, morfologi, fraktografi sampel padatan dari bahan logam, polimer atau keramik [75]. Hasil analisis SEM juga memperlihatkan penyebaran partikel pengisi pada matriks sehingga dapat diketahui distribusi partikel pada matriks tersebar dengan merata atau tidak [16]. Struktur morfologi campuran polimer adalah karakteristik yang sangat penting untuk memahami banyak sifat dari campuran polimer, terutama sifat mekanik [78].


(5)

2.7.8 Analisis RVA (Rapid Visco Analyzer)

Gelatinisasi adalah suatu sifat penting terhadap pati, karena menunjukkan perubahan dalam struktur kristal dan fungsi. Pada pembuatan sampel plastik melibatkan beberapa macam perubahan fasa, gelatinisasi menjadi suatu faktor yang penting karena sangat terkait dengan faktor yang lainnya, dan merupakan teknik dasar dalam konversi pati agar menjadi polimer termoplastik. Pati dengan kadar amilosa tinggi memiliki wilayah yang lebih amorf dan kurang kristal, menurunkan suhu gelatinisasi dan entalpi endotermik. Pada penelitian Faridah dkk., (2013), profil gelatinisasi pati garut alami dianalisis dengan menggunakan Rapid Visco Analyzer (RVA). Sebanyak 3,0 g sampel (berat kering) ditimbang dalam wadah RVA, lalu ditambahkan 25 g akuades. Pengukuran dengan RVA mencakup fase proses pemanasan dan pendinginan pada pengadukan konstan (160 rpm). Pada fase pemanasan, suspense pati dipanaskan dari suhu 50oC hingga 95oC dengan kecepatan 6oC/menit, lalu dipertahankan pada suhu tersebut (holding) selama 5 menit. Setelah fase pemanasan selesai, pasta pati dilewatkan pada fase pendinginan, yaitu suhu diturunkan dari 95oC menjadi 50oC dengan kecepatan 6oC/menit, kemudian dipertahankan pada suhu tersebut selama 2 menit. Instrumen RVA memplot kurva profil gelatinisasi sebagai hubungan dari nilai viskositas (cP) pada sumbu y dengan perubahan suhu (oC) selama fase pemanasan dan pendi-nginan pada sumbu x [80].

Beberapa data yang diperoleh dari hasil analisis RVA adalah pasting temperature, peak viscosity, hold viscosity, final viscosity, breakdown dan setback 1. Pasting temperatur adalah temperatur pada saat awal terjadinya gelatinisasi. Peak viscosity adalah viskositas puncak pada saat pati tergelatinisasi. Nilai viskositas puncak merefleksikan kemampuan granula untuk mengikat air dan mempertahankan pembengkakan selama pemanasan [81]. Viskositas puncak yang tinggi menunjukkan bahwa adanya amilosa yang masih bisa berikatan dengan molekul pati yang lain sehingga terbentuk struktur heliks ganda melalui ikatan hidrogen (retrogradasi) dan membentuk pati dengan struktur yang lebih kuat (pati resisten) [82]. Hold viscosity adalah viskositas pada saat temperatur pemanasan dipertahankan selama beberapa menit. Perubahan viskositas selama pemanasan pada temperatur konstan ini menunjukkan kestabilan viskositas


(6)

terhadap panas. Nilai viskositas breakdown diperoleh pada tahap holding yaitu suhu pemanasan dipertahankan untuk mengetahui tingkat kestabilan pasta pati pada saat proses pemanasan, dimana nilai viskositas breakdown adalah selisih antara nilai peak viscosity dengan hold viscosity. Final viscosity atau viskositas akhir merupakan nilai viskositas pasta pati setelah tahap pendinginan. Pada tahap ini dapat diketahui kestabilan viskositas pati terhadap proses pengolahan (pemanasan, pengadukan, pendinginan) [83]. Perubahan viskositas selama proses pendinginan ini disebut setback 1 yaitu selisih antara hold viscosity dengan final viscosity. Viskositas setback pasta menunjukkan kecenderungan retrogradasi yang terjadi pada molekul amilosa karena amilosa lebih mudah terpapar oleh air dan mudah mengalami rekristalisasi dibandingkan amilopektin [80]. Pati dengan nilai viskositas setback yang tinggi menunjukkan bahwa banyaknya jumlah amilosa yang berikatan kembali dengan molekul-molekul pati yang lain dan membentuk struktur heliks ganda melalui ikatan hidrogen (retrogradasi). Struktur pati yang terbentuk menjadi lebih kuat sehingga disebut dengan pati tahan cerna (pati resisten) [83].