MANHAJ DAKWAHSYEIKH HAJI MUHAMMAD WALY AL-KHALIDY DI ACEH: KAJIAN TERHADAP KELESTARIAN AKIDAH TAUHID Oleh EPAN JUANDA Pelajar Unisza Program Master of Dakwah Faculty of Islamic Contemporary Studies ABSTRAK - View of MANHAJ DAKWAHSYEIKH HAJI MUHAMMAD WALY

  MANHAJ DAKWAHSYEIKH HAJI MUHAMMAD WALY AL-KHALIDY DI ACEH:

  KAJIAN TERHADAP KELESTARIAN AKIDAH TAUHID Oleh

  EPAN JUANDA Pelajar Unisza

  Program Master of Dakwah Faculty of Islamic Contemporary Studies

  

ABSTRAK

  Artikel ini membahas sebuah kajian tentang manhaj dakwah seorang tokoh ulama Aceh dalam melestarikan akidah tauhid yang telah banyak berjasa terhadap perkembangan dakwah di Aceh khususnya, dan di Nusantara umumnya. Tokoh yang dimaksud ialah Syaikh Haji Muhammad Waly Al-Khalidy. Kajian ini akan menelaah lebih jelas tentang aktivitas-aktivitas dakwahnya di tengah masyarakat khususnya terhadap aplikasi manhaj dakwah beliau melalui Dayah (Pondok Pesantren) dan juga memberi syarahan di tengah- tengah masyarakat. Kajian ini juga akan melihat sejauhmana keberhasilan dakwah beliau terhadap masyarakat Nanggro Aceh Darussalam (Aceh Serambi Mekkah) dari dulu sampai sekarang ini. Kajian ini menggunakan dua metodologi penenelitian yaitu kajian kepustakaan dan juga lapangan. Kajian kepustakaan melibatkan kajian terdahulu, analisis pelbagai kitab atau buku-buku yang berkaitan dengan dakwah dalam melestarikan akidah tauhid, dan juga berkaitan erat dengan tokoh yang dikaji seperti buku yang ditulis oleh Prof. Dr. Muhibuddin Waly dengan judul “Ayah Kami Maulana Syeikh H. M. Waly Al- Khalidy Bapak Pendidikan” dan juga karya Ustad Musliadi S.Pd.I dengan judul “Syeikhul Islam Tokoh Pendidikan dan Ulama ‘Arif Billah, dan juga kitab-kitab karangan Syeikh H. M. Waly Al-Khalidy sendiri. Sementara kajian lapangan menggunakan kaedah wawancara dengan tujuan memperoleh data dan fakta yang lebih tepat daripada sumber yang berotoritas. Hasil kajian ini menunjukkan bahawa Syeikh Haji Muhammad Waly Al-Khalidy telah meninggalkan jasa yang besar terhadap perkembangan Islam dalam aspek kelestarian akidah tauhid, baik dengan mendakwahkan langsung di tengah-tengah masyarakat maupun dengan cara mendidik di Aceh khususnya. Beliau telah berhasil melahirkan banyak kader dakwah yang berilmu, dan mereka menjadi generasi dalam menjaga akidah yang benar berasaskan aliran ahli Sunnah wal Jam a’ah. Kata Kunci: Aceh; Kelestarian Akidah Tauhid; Manhaj Dakwah, Syeikh Haji Muhammad Waly Al-Khalidy.

  PENDAHULUAN

  Syeikh Haji Muhammad Waly Al-Khalidy biasa dipanggil oleh masyarakat Aceh sebagai Syeikh Muda Waly Al-Khalidy. Beliau dikenal salah seorang ulama muda yang sudah banyak menyumbang jasanya terhadap bangsa dan agama. Beliau telah berhasil mendidik kader ulama di Aceh khususnya, dan Nusantara umumnya. Nama kecil beliau adalah Muhammad Waly, dan teman-temannya memanggil beliau dengan sebutan Nyak Waly. Panggilan ini adalah salah satu sebutan kepada keturunan Ningrat (Bangsawan/Raja). Ketika masih remaja beliau telah dikaruniakan ilmu yang sangat tinggi, sehingga beliau dipanggil dengan sebu tan “Angku Mudo atau Angku Aceh” oleh masyarakat Sumatera Barat, dan oleh masyarakat Aceh dipanggilnya dengan sebutan

  “Teungku Muda Waly”, atau sekarang dikenal dengan sebutan Abuya Syeikh Muda Waly. Beliau sudah sangat berhasil dalam mendidik para ulama Aceh yang berkharisma, sehingga hasil didikan beliau mampu membentengi masuknya akidah-akidah yang tergelincir dari akidah yang sebenarnya. Seterusnya, oleh pemerintah Aceh menganggapnya sebagai tokoh pendidikan Aceh yang mampu dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, baik dalam bidang akidah, fikih dan lainnya. Ketenaran nama beliau dengan berkat didikan beberapa para ulama yang sangat masyhur di Aceh, di antaranya ialah Syeikh Haji Muhammad Salim bin Malin Palito (bapanya sendiri), Syeikh Muhammad Idris, Syeikh Muhammad Ali Lampisang, Syeikh Mahmud, Syeikh Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee, Syeikh Hasballah, Syeikh Abdul Ghani Al-Khalidy, dan bahkan beliau pernah berguru kepada ulama Mekah seperti Syeikh Ali Maliki (Musliadi, 2013:3). Ustad Musliadi (2013) mengemukakan bahwa Syeikh Haji Muhammad Waly Al-Khalidy juga pernah bertukar pendapat dengan ulama Mesir, beliau tertarik terhadap ulama Mesir karena cara berdialog mereka yang begitu lembut dan juga cara penyampaiannya sangat baik. Perbincangan tersebut mengenai perkembangan ilmu agama di Mesir, khususnya di Universitas Al-Azhar, Cairo. Dan yang paling menarik bagi beliau karena Imam Syafi

  ’i adalah seorang ulama Mesir yang mengembangkan fahamnya yang bersifat jadid di Mesir (Musliadi, 2013: 29). Setelah mendapatkan berbagai cabang ilmu dari guru-gurunya, sekitar tahun 1940 beliau mendirikan sebuah Pondok di Blang Poroh, Labuhan Haji, Aceh Selatan (Musliadi, 2013: 41). Dengan melalui pendidikan yang selalu diberikan kepada para murid, ini salah satunya metode dalam penjagaan akidah tauhid, karena pendidikan merupakan salah satu jalan untuk menumbuhkan kefahaman dan kesadaran dalam diri manusia, serta menjelaskan tujuan hidup berasaskan keimanan kepada ke-Esaan Allah SWT (Samsul Arifin & Ahmad Barizi, 2001: 102).

  Di samping mendidik para muridnya melalui pondok, beliau juga berdakwah di tengah-tengah masyarakat Aceh. Bukan hanya berpidato di atas mimbar saja, akan tetapi beliau juga pernah membasmi khurafat yang terjadi di Aceh Barat yaitu dengan menebang pohon kayu besar yang dianggap oleh masyarakat sebagai pemberi rizki. Seterusnya beliaujuga pernah basmi khurafat di Aceh Singkil dengan mengguling batu yang dianggap oleh masyarakat pada masa itu sebagai pemberi berkah. Keadaan ini juga sama sebagaimana terjadi di Aceh Barat iaitu kepercayaan serta penyembahan terhadap benda (Musliadi, 2013: 243).

PENGERTIAN MANHAJ DAKWAH

  Manhaj da’wah adalah suatu istilah yang terdiri daripada dua kata, manhaj dan

da’wah. Pada peringkat awal ini, dari pengertian manhaj dalam bahasa Arab dan method dalam bahasa Inggris, manhaj dakwah bisa diartikan sebagai methode dakwah, kaedah- kaedah dakwah, kayfiyat al-dakwah, atau cara-cara berdakwah (Sulaiman bin Ibrahim, 2005: 5). Secara khusus pengertian dari kata manhaj, menurut Profesor Doktor Wahbah Al-Zuhaili dalam bukunya yang diterjemahkan oleh Dr. Basri bin Ibrahim Al-Hasani Al- Azhari (2004) bahwa kata manhaj adalah suatu jalan dalam berdakwah ke arah agama Allah yang telah diatur oleh al-Qur

  ’an sendiri dalam menunjukkan manusia ke jalan yang benar, baik dari sudut pemikiran maupun pengalaman. Ia merupakan manhaj rasul-rasul, para sahabat, tabi

  ’in dan ulama setelah mereka (Basri bin Ibrahim, 2004: 77). Dalam karya Abu

  ‘Urwah (1987) disebutkan, bahwa manhaj adalah suatu jalan; mengikuti Kitabullah, dan Sunnah Rasulullah SAW, serta pemahaman para Salaf yang shalih. Manhaj juga salah satu jalan untuk menuju kesempurnaan dan kebaikannya, tidaklah memecah-belah antara sesama (Abu ‘Urwah, 1987: 106).

  Manhaj dakwah ini terfokus kepada pelurusan persoalan akidah dengan cara mensabitkan terlebih dahulu persoalan tauhid, kemudian diikuti dengan pembahasan taklif-taklif syara ’ seperti sistem ibadat, muamalah, halal haram dan sebagainya. Meluruskan akidah adalah merupakan persoalan terpenting kepada dakwah Islamiah (Basri bin Ibrahim, 2004: 76).

  Namun secara istilah, makna dari “al-manhaj” adalah aturan yang diikuti oleh kaum muslimin dalam memahami, mengamalkan dan menyebarkan agama. Maka jelaslah bahawa manhaj dakwah sebahagian dari ad-din (Abbuzzaman, 2011).

  Di sisi lain, manhaj juga hampir sama dengan arti kata uslub yaitu cara menjelaskan isi dakwah. Dalam al-Qur ’an, uslub dakwah salah satu cara menjelaskan dengan hujjah bukan dengan kekerasan, dengan bukti bukan dengan paksaan, dengan lisan bukan dengan gigi. Uslub yang dimaksud dalam al-Qur

  ’an adalah menampakkan

  uswah hasanah dan memberikan contoh dari al-Qur

  ’an, supaya ahklak seseorang sesuai dengan anjuran al-Qur ’an (Jum’ah Amin Abdul Aziz, 1997: 126). Oleh karena itu, meskipun beragam sasaran yang dihadapi oleh pendakwah, namun tidak dapat lari dari yang berbentuk aqli atau ilmi atau thaqafi juga dikenal dengan uslub fitri, yang

  uslub

  ditujukan kepada akal berdasarkan dalil yang mengajak manusia berfikir atau disebut dengan uslub al-hikmah yang banyak digunakan untuk golongan cendikiawan. Uslub ilmi atau aqli yang berupa hikmah dan dialog yang baik banyak digunakan di Madinah untuk berdialog dengan ahl al-Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang ramai mendiami Madinah. Sedangkan uslub 'athifi yang menujukan percakapannya kepada menggerakkan sentimen dan naluri kejiwaan dalam bentuk mauizah, targhib dan tarhib, nasihat yang lemah lembut, simpati dan lain-lain banyak digunakan untuk orang yang tidak tinggi pencapaian ilmunya serta orang Islam yang melakukan maksiat. Selain dari dua uslub ini ada juga

  

uslub khutuqi atau contoh teladan yang baik melalui penghayatan Islam kepada diri

  sendiri yang diperlihatkan sebagai contoh ikutan yang dapat menawan hati sasaran tanpa memerlukan dakwah dengan suara (Muhammad Abu Al-Fath, 1992: 2014-219).

  Oleh karena itu, uslub ialah sebuah kata dalam Bahasa Arab yang bermaksud jalan atau cara yang mencerminkan aturan al-Qur ’an. Mengikut istilah dakwah, uslub dakwah ialah penyampaian kandungan atau isi dakwah dengan ibarat dan bentuk yang tertentu.

  Sedangkan manhaj atau minhaj juga merupakan suatu kata dalam Bahasa Arab yang berarti jalan atau cara. Dari pengertian tersebut uslub dan manhaj sama artinya dan kedua- duanya sama dengan pengertian metode dalam bahasa Indonesia. Dengan itu, metode,

  

uslub dan manhaj mempunyai ikatan yang kuat satu sama lain, karena ketiga-tiganya

  memiliki kesamaan makna. Dari maksud di atas juga dapat disimpulkan bahawa manhaj dakwah itu bermaksud kajian mengenai cara atau kaedah penyampaian Islam kepada sasaran (Abd Aziz bin Mohd Zin, 199(: 76). Dari pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa manhaj dawah adalah garis perencanaan yang dibuat untuk diikuti untuk mencapai tujuan dari sesuatu tujuan. Dengan demikian manhaj dakwah ialah perencanaan dan garis panduan yang diwujudkan untuk diikuti dalam usaha dakwah untuk mencapai pesan-pesan dari pendakwahan. Ia akan berubah mengikuti perubahan waktu dan keadaan sasaran.

PENGERTIAN AKIDAH TAUHID

  Akidah adalah bentuk jamak dari kata

  ‘aqaid yang berarti ikatan atau simpulan

  yang kokoh, sedangkan menurut istilah kata ‘aqidah bermakna kepercayaan yang terikat erat dan tersimpul kuat dalam jiwa seseorang. Oleh karena itu, ‘aqidah merupakan apa yang dinyakini oleh seseorang,

  aqidah merupakan perbuatan hati, kepercayaan hati serta

  pembesaran terhadap sesuatu. Keyakinan kepada Tuhan merupakan ikatan yang kokoh yang tidak boleh dibuka atau dilepaskan begitu saja, karena bahayanya sangatlah besar bagi kehidupan manusia. Ikatan yang kokoh itu yakni mengikat pikirannya, hatinya, tingkah lakunya kepada Allah dengan melaksanakan semua perintah-Nya, dan meninggalkan semua larangan-Nya (Jamaliah Hasballah, 2015: 107). Sedangkan artikata

  

tauhid secara etimologis yakni menjadikan-Nya Esa. Mentauhidkan Allah berarti

menjadikan, mengakui, dan menyakini bahwa Allah itu Esa (Abdul Ghani, 2005: 2).

  Akidah ini juga disebut dengan Tauhid, sebagaimana dikemukakan oleh Harun Nasution, tauhid mengandung arti pembahasan tentang cara-cara meng-Esakan Allah sebagai salah satu sifat yang terpenting diantara sifat-sifat Allah yang lainnya (Harun Nasution, 1972: 4). Hal ini berarti menolak segala persamaan pada zat Allah, sifat-Nya dan perbuatan- Nya.

ASAS PERJUANGAN AKIDAH TAUHID

  Rasulullah SAW telah berjuang dalam mempertahankan asas-asas akidah dalam jiwa para pengikutnya. Beliau melakukan bukan berdasarkan pemikirannya tetapi mengikut wahyu Allah dan memenuhi kehendak ayat-ayat suci al-Qur

  ’an yang keseluruhannya berlandaskan kalimah Tauhid yaitu la ila ha illallah. Ia merupakan kalimat ihklas pertama diucapkan oleh seseorang yang menganut Islam (Sitii Sa

  ‟adiah Syafik, 2009: 81). Dengan rujukan yang kuat yaitu al-Qur

  ’an, sehingga tercermin dalam akidah Ahli Sunnah wal Jama ’ah memiliki sejumlah keistimewaan yang tidak dimiliki oleh akidah manapun. Hal itu tidak mengherankan karena akidah tersebut diambil dari wahyu Allah SWT yang sudah pasti suci (Syaikh Muhammad Ibrahim al-Hamd, 2009: 3). Akidah merupakan sebuah keyakinan yang telah dibahas dalam rukun iman yang enam yang telah disabdakan Rasulullah SAW yaitu iman kepada Allah, iman kepada malaikat- malaikat-Nya, iman kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada rasul-rasul-Nya, iman kepada hari akhir, dan juga iman kepada qadha dan qadar. Seperti membicarakan segala masalah akidah yang datang Islam itu sendiri ( Muhammad Abu Fattah Al-Bayanuni, 1995: 183) . Akidah itu adalah kesimpulan di hati atas pengetahuan tentang sesuatu yang tercatat sebagai suatu kesimpulan yang kuat, teguh, bergantung kepada kenyakinan yang secukupnya dan peneguhan yang benar. Asas akidah itu ialah keimanan dengan wujudnya Allah SWT bahkan ialah juga menjadi asas bagi agama pada keseluruhannya, karena keimanan yang hak itu mendorong manusia mempercayai dan membenarkan setiap apa yang diberi tahu kepadanya dan melaksanakan segala apa yang dibimbingkan dia kepadanya dari perintah dan larangan ( Ahmad Ghallusy, 1990: 13) . Selanjutnya, akidah bersifat i

  ‟tiqad batiniyah yang mencakup masalah kenyakinan dan hubungan erat dengan rukun iman. Oleh itu, manhaj dakwah ini wajib diperkenalkan kepada umat manusia supaya tidak akan tersesat dari garis Islam yang sebenarnya. Yang wajib diperkenalkan di sini seperti: iman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, qadha dan qadar (Moch Ali, 2004: 95).

  Dengan pengertian ini, berarti iman tidak hanya terkait dengan pembenaran dengan hati atau sekedar meyakini adanya Allah saja, misalnya. Iman kepada Allah berarti meyakini bahwa Allah itu ada, membuktikannya dengan ikrar syahadah atau mengucapkan kalimat-kalimat dzikir kepada Allah dan mengamalkan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Penamaan akidah tauhid terhadap Allah SWT adalah untuk membina semangat keimanan yang kuat yang menjadikan seorang muslim enggan tunduk kepada bentuk penyenkutuan terhadap Allah SWT. Imanlah yang menjadikan seseorang yang memilikinya merasa ringan dengan segala kesusahan, merasa kecil dengan segala halangan dan ujian. Iman senantiasa merindukan nilai-nilai unggul dan tinggi serta senantiasa berjuang demi menghasilkan pesan-pesan yang suci walaupun memerlukan pengorbanan (Syed Abdurahman bin Haji Syed Hussin, 1996: 136). Dalam agama Islam, gerakan untuk meluruskan akidah manusia adalah gerakan yang mulia dipandang Allah SWT, karena gerakan tersebut berarti menghidupkan kembali ajaran Islam dan menegakkan kembali aspek-aspek Islamiyah ini dengan menjaga berbagai kemusyrikan yang terjadi dalam masyarakat baik dalam bidang nazhariyah (pemikiran),

  

amaliyah (ibadah) dan juga sulukiyah (perilaku ahklak) (Agus Hasan Bashari, 2003: 35).

  Akidah merupakan sikap meng-Esakan Allah dengan sepenuh hati tidak menyekutukan- Nya. Kaedah ini bertujuan membersihkan akidah masyarakat dari berbagai macam khurafat dan kepercayaan yang keliru (Asep Muhyiddin & Agus Ahmad Syafei, 2002: 113). Dalam hal ini, mencegah kemungkaran adalah kewajiban yang diwajibkan kepada seluruh umat Islam yang menyaksikan perbuatan munkar tersebut. Sebagaimana yang tersebut dalam hadis Rasulullah SAW:

  وذلك فبقلبو، يستطع مل فإن فبلسانو، يستطع مل فإن بيده، فليغريه منكرا منكم رأى من الإميان ، أضعف

  Maksudnya: Barangsiapa melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya, jika

  

tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka tolaklah dengan

hatinya, dan hal tersebut adalah selemah-lemah iman (HR. Muslim).

  Arti kata menghilangkan kemungkaran dengan perbuatan adalah menghilangkan segala yang mencegah manusia berbuat kebaikan, atau menerima kebenaran, karena kemungkaran di atas bumi mencegah manusia menerima kebenaran, karena kemungkaran memberi pengaruh yang besar dalam pelaksanaan ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat. Maka apabila kemungkaran telah lenyap akan dapat memudahkan orang menerima kebenaran dan kebaikan kembali kepada ummat manusia, dan yang demikian itu adalah puncaknya amar ma

  ’ruf nahi munkar dan menjadi salah satu aspeknya (Abdul Karem Zaidan, 1987: 281-282).

  Agama Islam yang bertunjangkan al-Quran dan al-Hadits sebagai satu perlembagaan yang menjadi panduan kepada umat Islam telah membawa ajaran akidah tauhid yang memerangi berhala dan semua akidah yang kontra dengan tauhid. Bangsa Arab Jahiliyyah yang berpegang dengan penyembahan patung dan berhala serta dipenuhi oleh berbagai unsur yang berlawanan dengan akidah tauhid. Oleh karena, Islam telah memerangi segala bentuk akidah yang salah, sesat dan berlawanan dengan akidah tauhid seperti yang dinyatakan di dalam al-Quran dan al-Hadits. Walaupun Islam menentang khurafat, namun khurafat terus wujud dalam kalangan masyarakat Islam sehingga kini. Berdasarkan ayat-ayat al-Quran dan hadith-hadith Rasulullah s.a.w, khurafat bukanlah sesuatu yang baru dan telah wujud sejak zaman Rasulullah. Namun, apakah faktor-faktor yang menyumbang kelangsungan gejala khurafat sehingga kini di kalangan masyarakat Islam? Ini memerlukan kesinambungan usaha yang kuat dan dakwah yang berkesinambungan khususnya untuk menghalangi budaya khurafat yang terus merasuk dari generasi ke generasi. Pemahaman yang tepat dan jelas tentang khurafat perlu diterapkan secara sempurna kepada masyarakat seiring kepahaman menurut perspektif al-Quran dan al-Hadits (Zainora Daud, 2016: 945).

MELESTARIKAN AQIDAH TAUHID

  Melestarikan akidah tauhid adalah hal yang sangat penting dilakukan oleh seorang hamba Allah, dan perkara ini tidak boleh dianggap hal yang biasa-biasa saja. Karena sesungguhnya masyarakat manusia memerlukan akidah tauhid yang merupakan dasar penting agar dapat menyusuri kehidupan manusia (Asming Yalawee, 2011: 2). Perkara ini telah dijalankan oleh Syeikh Haji Muhammad Waly Al-Khalidy semaksimal mungkin demi untuk meluruskan akidah umat manusia di kala itu. Hasil dakwah semacam itu sudah dirasakan oleh masyarakat yang semasa dengannya dan juga masyarakat sekarang ini khsusnya di Aceh. Di antara tempat-tempat yang telah dilalui oleh beliau dalam membasmi khurafat adalah sebagai berikut:

1. Basmi Khurafat di Aceh Barat

  Dalam suatu perjalanan dakwah beliau menuju ke Aceh Barat, dalam sebuah riwayat beliau pernah menebang pohon kayu besar yang dalam bahasa Acehnya dinamakan Tungkeum atau Bak Tungkeum. Karena banyak masyarakat dimasa itu menganggap pohon itu karomah, dalam bahasa aceh “keuramat” atau membawa keberuntungan dan lain sebagainya. Banyak pula masyarakat yang menginginkan agar cita-citanya tercapai, bernazar atas nama pohon itu, bahkan tidak sedikit pula masyarakat yang terlalu memujanya (Musliadi, 2013: 146).

  Larangan seperti ini disebutkan dalam al-Qur ’an sebagai berikut:

  ا ٢٢ ا ا اَلّ اهَللّٱ ا ٗلّوُذ ۡخَماا ٗموُمۡذَماَدُعۡقَتَفاَرَخاَءااًهََٰلهإ اَعَما ۡلَع ۡجَت آ َلّهإاْا ٓوُدُبۡعَتا َلَّأاَكُّبَرا َٰىَضَق َو

  ا ا ا ّٖ فُأآاَمُهَلالُقَت ا َلََفااَمُه َلَهكا ۡوَأآاَمُهُدَحَأ اَرَبهكۡلٱ ا َكَدنهعاَنَغُلۡبَيااَمهإاۚاًنََٰس ۡحهإ اهنۡيَدهل ََٰوۡلٱ اهب َواُهاَيهإ ا ٢٣

  اا ٗمي هرَكا ٗلّ ۡوَقااَمُهَلالُق َوااَمُه ۡرَهۡنَتا َلّ َو

  Artinya: Janganlah kamu adakan tuhan yang lain di samping Allah agar kamu tidak akan

  

menjadi tercela dan tidak ditinggalkan Allah. Dan tuhanmu telah memerintahkan supaya

kamu jangan menyembah selain Dia dan henadaklah kamu berbuat baik kepada ibu

bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau keduanya

sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu

mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”, dan janganlah kamu membentak mereka,

dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia (QS. al-Israa ’ :22-23)

(Kementerian Agama RI, 2004: 284).

  Karena kekhawatiran dapat terjadinya kesesatan dan kemusyrikan pada kebanyakan manusia, maka oleh para ulama serta tokoh agama pada saat itu mencoba menebang pohon itu. Akan tetapi usaha mereka tidak berhasil, bahkan ada yang meninggal atau sakit setelahnya. Informasi tentang pohon keuramat atau karomah itu pun tersebar ke telinga Abuya Syeikh H. M. Waly Al-Khalidy. Kemudian beliau beserta beberapa orang lain berangkat ke Gampong Keuramat (Desa Keuramat) dengan maksud menebang pohon tersebut dan membasmi kemusyrikan yang terjadi saat itu. Maka dengan izin Allah SWT beliau berhasil menebangnya tanpa menghadapi kendala apapun (Musliadi, 2013: 147).

2. Basmi Khurafat di Aceh Singkil

  Sekitar tahun 1953, Syeikh H. M. Waly Al-Khalidy berdakwah ke Singkil (sekarang Kabupaten Aceh Singkil). Berangkatlah beliau dengan beberapa orang pengawalnya. Di antara orang yang ikut bepergian kala itu diantaranya Teungku H.

  Halimi, Teungku Basya Kamal dari Lhong Aceh Besar, Umi Teunom (istri Syeikh H. M. Waly), dan Teungku Banjir dari Singkil. Sesampai beliau ke Singkil, tiba-tiba beliau melihat di sebuah padang luas di dekat tempat itu terdapat sebuah batu besar yang dipasang panji-panji. Karena kekhawatiran beliau terjadi kemusyrikan di tempat itu, beliau mengajak beberapa orang untuk mendatangi batu tersebut termasuk diantaranya ialah Teungku Banjir dan Teungku H. Halimi Bakri. Beliau memerintahkan kepada Teungku Banjir untuk mengguling batu tersebut. Syeikh H. M. Waly berkata “Teungku

  Banjir, meunyoe beutoi droneuh kuat!, cuba neu gulee bate nyoe

  ” (kalau kamu betul- betul kuat, cuba kamu guling batu ini). Setelah batu tersebut dicoba guling oleh Teungku Banjir, hasilnya ternyata tidak berhasil, batu yang menancap di tempat itu tidak bergeser sedikitpun dari tempatnya. Hal demikian bukanlah karena terlalu besarnya batu, tetapi karena batu tersebut dihuni oleh jin. Kemudian barulah setelah beliau mengusap bagian atas batu itu, beliau sendiri yang menggulingnya hingga tumbanglah batu tersebut (Musliadi, 2013: 150). Larangan menyembah benda atau yang lainnya selain Allah terdapat dalam al-Qur

  ’an yang mulia sebagai berikut:

  ا ا ا اۡيَش اٗ ا ا ۦ ا ا اْاوُدُب ۡعٱ اََللّٱ اَٰىَمََٰتَيۡلٱ اَٰىَب ۡرُقۡلٱ

  اَو ا يهذهب َوا اٗنََٰس ۡحهإ اهنۡيَدهل ََٰوۡلٱ اهب َوا ۖا اهههبا ْاوُك هرۡشُتا َلّ َو اَو ا ا ا ا ا ا ايهذ اهبۢنَجۡلٱ اهب هحاَصلٱ اهبُنُجۡلٱ

  

اهليهبَسلٱ اهنۡبٱ ااهب اهراَجۡلٱ اَٰىَب ۡرُقۡلٱ اهراَجۡلٱ اهنيهكََٰسَمۡلٱ

ااَو ااَو اَو اَو اَو ا ا ٣٦ ا ا ۡما

  اََللّٱ اا ًروُخَفا ٗلّاَت ۡخُماَناَكانَماُّب هحُيا َلّ اَنهإ اُكُن ََٰمۡيَأا ۡتَكَلَمااَم َو

  Artinya: Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan

  sesuatupun (QS. an-Nisa ‟: 36) (Kementerian Agama RI, 2004: 84).

  Dari ayat tersebut sangatlah jelas, bahwa menyembah selain Allah adalah hal yang sangat dilarang dalam agama Islam, karena bentuk penyembahan seperti itu tidak berlaku untuk ummat Islam. Maka untuk meluruskan akidah yang sesat dan menyesatkan di masa itu sudah berhasil dilakukan oleh Syeikh H. M. Waly Al-Khalidy, dan sampai sekarang hal-hal yang berbentuk demikian tidak terulang lagi di bumi Aceh Serambi Mekkah (Nanggroe Aceh Darussalam).

PENDIDIKAN SEBAGAI DASAR AKIDAH TAUHID

  Aktivitas dakwah tidak hanya seperti syarahan, pidato dan seruan tanpa merangkum aktivitas lain seperti pendidikan. Menurut Roziah Sidek (2002: 145), pendekatan tarbiyah ini telah dilakukan oleh Nabi Rasulullah SAW kepada mereka yang sudah menerima Islam, karena didikan yang kuat akan menjadikan peserta didik tidak mudah dipengaruhi pihak musuh. Dengan pendidikan yang mantap, ia dapat mempengaruhi orang laur untuk mengikuti mereka (Zawawi Yusoff & Engku Ahmad Zaki Engku Alwi, 2015: 53).

  Oleh karena itu, pendidikan agama Islam merupakan salah satu jalan yang lebih objektif untuk menjaga akidah tauhid serta melestarikannya sesuai dengan tuntutan al- Qur

  ’an dan al-Hadits. Karena tauhid sebagai pandangan dunia Islam menjadi asas atau pondasi bangunan Islam secara keseluruhan. Oleh karena itu, pendidikan agama Islam harus dibangun di atas landasan yang benar dari pandangan dunia tauhid. Pendidikan dalam pandangan tauhid ialah pendidikan yang berasaskan nilai-nilai ilahiyah atau teologis (M. Hasbi, 2009: 8).

  Syeikh H. M. Waly Al-Khalidy sangat besar kontribusinya dalam mengembangkan misi dakwah dengan cara menyebarkan ilmu pengetahuan kepada masyarakat baik di Aceh maupun Nusantara, salah satunya dengan mendidik generasi muda sehingga mereka menjadi ulama-ulama karismatik di Aceh, dan melalui pendidkan tersebut sehingga mereka tidaklah mudah dipengaruhi oleh akidah-akidah yang sesat. Melalui lembaga pendidikan pesantrennya inilah beliau mendidik murid-muridnya, baik yang ada di Padang, Sumatera Barat maupun pesantren yang dirintis setelah beliau kembali ke Aceh. Pada tanggal 2 September tahun 2008, pemerintah Aceh memberikan pengharagaan kusus kepada Syeikh H. M. Waly sebagai Tokoh Pendidikan Aceh. Hal ini karena beliau sangat berjasa bagi Aceh umumnya dan pendidikan Aceh khususnya. Untuk itu maka pantaslah gelar yang diberikan oleh pemerintah kepada beliau ini karena bentuk simpati dan kekaguman serta tanda terima kasih sebesar-besarnya dari pemerintah kepada beliau, dikarenakan beliau telah banyak jasa untuk Aceh dan kemajuan pendidikannya. Beliau tidak hanya dikenal sebagai pahlawan Indonesia, namun beliau juga seorang ulama yang alim akan keilmuannya, teguh dalam dakwahnya dan juga tegar menghadapi segala arus yang menghalanginya (Muhibbudin Waly, 1996: 320).

  Setelah beliau mendapatkan ijazah thariqat dari Syeikh H. Abdul Ghani Al- Khampari, beliau mendirikan sebuah pondok bernama Bustanul Muhaqqiqin di Lubuk Bagulung, Padang, Sumatera Barat. Banyak murid yang mengambil ilmu di Pondok itu.

  Bahkan dari Aceh sendiri ramai yang datang kesana. Tetapi pada waktu Jepang masuk ke Padang, Jepang seperti mempunyai niat yang tidak baik terhadap ulama-ulama Islam yang berpengaruh di Sumatera Barat, maka beliau mengambil inisiatif untuk pulang kembali ke Aceh, karena di Aceh beliau merasa tenang dan aman untuk mengembangkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan keagamaan yang telah beliau pelajari dari kecil sampai memperoleh berbagai macam ijazah dari para ulama (sumber: wawancara dengan Ustadz Bilalian Blang poroh, tanggal 11 Januari 2017).

  Seterusnya beliau kembali ke Aceh sekitar tahun 1939 dan kemudian beliau membagun pondok di Aceh. Pondok yang beliau bangun di Aceh, di antaranya seperti Pondok Darussalam di Labuhan Haji , Aceh Selatan pada tahun 1940 yang bertempat di desa Blang Poroh Kecamatan Labuhan Haji Kabupaten Aceh Selatan (Sirajuddin Abbas, 2011: 426). Pada masa itu, beliau adalah orang pertama menggunakan sistem jenjang beliau kemudian diterapkan di pesantren-pesantren yang ada di Aceh sekarang ini (Aiyub, 2010: 52). Selanjutnya, beliau membangun Pondok di Paoh, Aceh Selatan. Pembangunan pondok ini berada di pinggir sungai dan karena sangat dekat dengan pasar di daerah Labuhan Haji, maka dibangunlah sebuah Perguruan Tarbiyah Islamiyah (PTI) di sana, tepatnya di samping mesjid Ahlussunnah Wal Jama

  ’ah sekarang. Inilah gedung perguruan yang pada akhirnya menjadi tempat majelis ta ’lim mingguan bagi beliau untuk seluruh lapisan masyarakat pada setiap hari Sabtu (Amran Waly, 2006: 4). Di Pondok ini beliau banyak melahirkan ulama-ulama karismatik, seterusnya mereka menjadi pimpinan-pimpinan pondok di seluruh Aceh (Sirajuddin Abbas, 2011: 426).

a. Kaedah Pendidikan Kemunculan kader ulama yang berkarisma hasil didikan daripada Syeikh H. M.

  Waly Al-Khalidy di Aceh tidak terlepas dari kaedah-kaedah yang bersesuaian dengan keadaan para murid. Dalam memberikan pengajaran kepada murid-muridnya beliau menggunakan metode-metode tersendiri supaya murid-muridnya bisa memahami apa yang diajarkan olehnya. Di antaranya ialah seperti berikut:

  Nasehat

  Dalam hal ini, Syeikh H. M. Waly Al-Khalidy selalu menasehati para murid- muridnya supaya tidak naik kepada tingkatan yang belum menjadi haknya. Melarang menyibukkan diri dengan mempelajari ilmu yang belum jelas sebelum benar-benar menguasai ilmu yang sudah kelihatan jelas (Musliadi, 2013: 87). Perkara ini didukung oleh pernyataan Al-Ghazali yang mengatakan bahwa perkara yang harus disampaikan kepada murid adalah melarang mereka dari melanjutkan tingkat atas sebelum dia benar- benar menguasai ilmu-ilmu yang telah dia pelajari (Al-Ghazali Juz 1: 55).

  Kasih sayang

  Kasih sayang terhadap murid-murid, dan menjadikan mereka seperti anak kandung sendiri. Beliau dalam mendidik para muridnya selalu mengedepankan rasa kasih sayang kepada muridnya seperti anak beliau sendiri, baik mendidik dengan lisan maupun menampakkan sikap yang beliau miliki (sumber: wawancara dengan Ustad Tarmizi tanggal 12 Januari 2017).

  Ikhlas

  Al-Ghazali mengatakan, bahawa seseorang pendidik (guru/dosen) dalam memberikan pelajaran terhadap anak didik, tidak boleh memiliki maksud tertentu seperti mengharap balasan atau untuk mencari upah. Akan tetapi harus semata-mata karena Allah SWT. Dalam hal ini, Al-Ghazali merujuk kepada firman Allah dalam surat Hud ayat 29 dengan bunyi:

  ا ا ا اۡسَأآ َلّ ا اَنيهذَلٱ اۚهَللّٱ اۖ ًلّاَماههۡيَلَعاۡمُكُل

  

امُهَنهإاْۚا ٓوُنَماَء اهد هراَطهبا۠اَنَأآاَم َو اىَلَعا َلّهإاَي هر ۡجَأا ۡنهإ اهم ۡوَقََٰي َو

ا ا ٢٩ اَنوُلَه ۡجَتاا ٗم ۡوَقا ۡمُكَٰىَرَأآيه نهكََٰل َوا ۡمههه بَراْاوُقََٰلُّم

  Artinya: Hai Kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi

  

seruanku. Upahku hanya dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang

yang telah beriman. Sesungguhnya mereka akan bertemu dengan tuhannya, akan tetapi

aku memandangmu suatu kaum yang tidak mengetahui”. (Q.S. Hud ayat 29) (Al-Ghazali

Jilid I: 56).

  Mengikut perkataan Al-Ghazali, oleh Syeikh Haji M. Waly Al-Khalidy dalam mendidik tidak pernah beliau meminta upah kepada murid-muridnya, yang beliau minta adalah kesungguhan mereka dalam menuntut ilmu pengetahuan agama supaya mereka memperoleh ilmu yang bisa dikembangkan untuk generasi selajutnya ( sumber: wawancara

  dengan Ustad Zainal Abidin, tanggal 10 Januari 2017) .

  Melihat kecerdasan murid

  Materi atau bahan yang beliau ajarkan kepada murid-muridnya tidak terlepas dari kesanggupan peserta didik, dikarenakan mereka belum sampai atau belum pantas diajar untuknya. Jika dipaksakan, hal itu dapat menjadikan peserta didik tidak mau belajar lagi, atau otaknya malah menjadi tumpul (Musliadi, 2013: 89). Firman Allah dalam surah al- Baqarah: 286 sebagai berikut:

  ا ا ا ا اَلّ ...

  اَُللّٱ ا ۡتَبَسَتۡكٱ ا ُفه لَكُي ااَمااَهۡيَلَع َوا ۡتَبَسَكااَمااَهَلاۚاَهَعۡسُوا َلّهإااًسۡفَن

  Maksudnya: Allah tidak membebankan seseorang ا melainkan sekedar kesanggupannya (al-Baqarah: 286).

  Pernyataan ini adalah penjelasan yang menguatkan prinsip tersebut. Pembebanan adalah perkara yang memberatkan. Karena itu harus berbanding lurus dengan kemampuan. Mengikut yang demikian, Syeikh Haji Muhammad Waly Al-Khalidy dalam mengajarkan ilmu pengetahuan kepada murid-murid beliau tidak pernah memberikan pelajaran yang belum boleh dijangkau oleh mereka untuk dipahami serta dikerjakannya ( sumber: wawancara dengan Ustad Bilalian pada tanggal 11 Januari 2017) .

  Kelas berpindah (moving class)

  Yang dimaksud dengan kelas berpindah di sini adalah dimana pelaksanaan kegiatan belajar di Pondok Pesantren beliau tidak tetap pada satu kelas saja, tetapi mereka saling menukar kelas atau tempat belajar atara satu kelas dengan yang lain. Kegunaan dalam menukar kelas ini adalah untuk menghilangkan rasa bosan, menumbuh rasa solidaritas sesama murid, dan juga rasa kebersamaan ( Musliadi, 2013: 92).

b. Karya Syeikh Haji Muhammad Waly Al-Khalidy

  Karya penulisan juga merupakan satu seni pendekatan dakwah dan satu bentuk jihad

dengan kalimah dan lisan. Ia merupakan satu wasilah yang ideal untuk mengemukakan fikrah

tentang sesuatu perkara dengan gaya bahasa yang menarik dan dapat diterima oleh akal yang

waras. Pendekatan ini adalah antara yang paling populer dalam kalangan pendakwah sejak dulu

hingga sekarang ( Zawawi Yusoff & Engku Ahmad Zaki Engku Alwi, 2015: 63) . Menulis

juga merupakan salah satu bentuk ucapan dan menjadi salah satu wasilah dakwah. Tulisan

kadang-kadang berbentuk surat yang ditujukan oleh juru dakwah kepada orang tertentu, dan juga

boleh berbentuk menulis buku atau kitab, artikel-artikel dalam majalah atau surat kabar

merupakan termasuk wasilah dakwah yang efektif dalam berdakwah. Dengan dengan cara

demikian Islam itu dapat disampaikan kepada orang lain yang ingin mengetahui ( Abdul Karem

  Zaidan, 1987: 280) . Oleh karena itu, menulis adalah sebuah jalan untuk mendakwahkan suatu

  

ide kepada orang banyak, di mana mereka benar-benar paham tentang isi atau uraian dalam

sebuah karya tersebut. Maka tidaklah diragukan bahwa penulis atau pengarang itu seorang

pendakwah yang berwibawa dan berpengalaman luas ( Fadhilah Sheikh El-Bahi Al-Khuly,

.

  1984: 42)

  Sebagai seorang ulama dan juga pendidik yang dikenang jasanya, Syeikh H. Muhammad

Wali AlKhalidy tidak ketinggalan menghasilkan beberapa buah kitab. Di antaranya ialah kitab:

Al-Fatawa

  Kitab ini merupakan kitab beliau yang ditulis oleh salah seorang murid beliau yaitu Abu

Basyah Kamal. Dalam kitab tersebut Syeikh H. Muhammad Waly menjelaskan beberapa hukum

  

yang berkosentrasi dalam bidang fikih, segala hukum yang terkait tentang ibadah, hukum, aturan

dan tatacara amaliyah yang sesuai dengan mazhab Syafie ada didalamnya. Bahasa yang dipakai

dalam kitab tersebut adalah Arab Jawi dan Arab. Berkenaan dengan bentuk isinya adalah dimulai

dengan kata tanya, kemudian jawaban dan penjelasan dari Abuya langsung ( Muhibbudin Waly,

  .

  1996: 314)

  Tanwirul Anwar Pembahasan kitab tersebut, beliau menjelaskan beberapa penjelasan terkait tentang

pelajaran Tauhid, baik dari dasar sampai kepada yang tinggi. Abuya menjelaskan dengan detail,

terarah dan disertai dengan dalil-dalil yang tepat dalam menjelaskan permasalahan tauhid kepada

Allah, baik bagi seorang hamba awam hingga yang telah mencapai hakikat pelajaran tauhid yang

tinggi ( Muhibbudin Waly, 1996: 314) .

  Permata Intan dan Intan Permata Dalam kitab tersebut membahas permasalahan sekitar i’tiqad (ketuhanan), menurut al-

  Qur ’an, al-Hadits, Al-Ijma’ dan al-Qias. Pada bagian pertama dinamakan dengan “Permata Intan”

yaitu pembahasannya dalam bentuk soal-jawab tentang hakikat Zat Allah SWT dan hakikat

utusan Allah SWT atau syahadah rasul. Pada bagian ini beliau mengatakan bahwa nama Tuhan

kita adalah Ar-Rahman Ar-Rahim. Pekerjaan Allah SWT adalah menjadikan segala alam, segala

makhluk, dan segala sesuatu yang bahru. Allah Maha Suci dari tersusun dari resep-resep dan

unsur-unsur dan Allah juga Maha Suci dari bandingan-bandingan, dan tidak memiliki sekutu

dengan lainnya.

  Untuk menguatkan perkataan ini, beliau merujuk kepada beberapa firman Allah SWT seperti berikut: ا ا ١١ ا ا ۦا ا ...

  اُري هصَبۡلٱ اُعيهمَسلٱ اهههلۡثهمَكا َسۡيَل ا َوُه اَواۖ ء ۡيَش

  

Maksudnya: Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan DialahTuhan yang Maha

mendengar dan melihat . (Q.S. asy-Syuraa: 11).

  ا ١٦ ا ا ا اَُللّٱ ...

  اُر ََٰهَقۡلٱ اهلُق اُد هح ََٰوۡلٱ ا َوُه َوا ّٖء ۡيَشاه لُكاُقهل ََٰخ

Artinya: Katakanlah: Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dialah Tuhan yang Maha Esa lagi Maha Perkasa .(Q.S. ar-Ra ’d: 16). Selain merujuk kepada ayat-ayat al-Qur ’an, beliau juga merujuk kepada kitab-kitab

karangan ulama seperti kitab Syarh Jauharatut Tauhid karya Syeikh Abdussalam. Tentang

hakikat utusan Allah SWT (syahadat rasul). Beliau mengatakan: “Jika kepada umat akhir ini (kita)

nabinya adalah Nabi Muhammad bin Abdullah, bin Abdul Muthalib, bin Abdul Manaf. Beliau

lahir di Mekah, wafat di Madinah, keturunan Hasyim, dan bangsa Quraisy. Wajahnya indah bak

bulan purnama, karena beliaulah dijadikan sekalian alam ini. Dalam hal ini selain beliau merujuk

kepada kitab Syarh Jauharatut Tauhid karya Syeikh Abdussalam, beliau juga menjadikan kitab

Syarh Nadham Baiquni karya Syeikh Said Muhammad Zarqani sebagai rujukannya ( Syeikh H.M.

  Waly Al-Khalidy, 1960) .

  Kaifiat Zikir Ismu Zat Kitab ini membicarakan tata cara mengamalkan zikir Ismu Zat dalam Thariqat

Naqsyabandiyah. Kitab ini membahas tentang adab-adab yang mesti dilaksanakan oleh Ahli

  

Thariqat An-Naqsyabandiyah, sebelum ia masuk dalam mengamalkannya (Musliadi, 2013: 226).

  Obat Hati Kitab ini adalah sebuah terjemahan dari nadham Syeikh Ismail Al-Khalidy yang berisikan

silsilah dalam Thariqat An-Naqsyabandiyah mulai dari awal hingga akhir, kemudian Abuya

  

Syeikh H. M. Waly Al-Khalidy menterjemahkannya ke dalam bahasa melayu Aceh dan

seterusnya beliau beri nama “Obat Hati” (Musliadi, 2013: 228).

  Kaifiah Ath-Thariqat Ash-Shamadiyah Pembahasannya adalah menghuraikan tentang tata cara mengamalkan ajaran Thariqat

Shamadiyah, mulai dari syarat-syarat yang mesti dilaksanakan, doa-doa serta menerangkan

silsilahnya sampai kepada Rasulullah SAW (Musliadi, 2013: 230).

  Hasyiah Tuhfatul Muhtaj Kitab ini merupakan kumpulan dari kumpulan catatan kitab yang ditulis oleh Syeikh H.

  

M. Waly Al-Khalidy untuk memberikan pensyarahan yang lebih dan memberikan keterangan

khusus kepada kitab Tuhfatul Muhtaj. Adapun kitab Tuhfatul Muhtaj itu adalah kitab yang

berisikan semua pembahasan fikih paling lengkap, kitab ini ditulis oleh Syeikh Ibnu Hajar Al-

Haytami, seorang ulama ahli fikih terkenal yang pandai dalam setiap penguasaan ilmu fikih dalam

segala aspek ( Muhibuddin Waly, 1996: 318) . Dengan berbagai karya tulis yang telah dihasilkan

dapat lebih efektif dugunakan untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah, karena dakwah dengan

tulisan lebih luas daripada dakwah dengan lisan ataupun dengan perbuatan. Dakwah lewat tulisan

  Dari uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa dalam beberapa buah kitab karangan

Syeikh H.M. Waly Al-Khalidy tercantum berbagai ilmu, diantarnya mengenai ilmu tauhid, fikih,

tata cara mengamalkan zikir dalam Thariqah Naqsyabandiyah, silsilah Thariqah Naqsyabandiyah,

dan tata cara mengamalkan Thariqat Shamadiyah. Hal ini menunjukkan bahwa beliau tidak hanya

menggunakan manhaj berupa pidato lewat lisan, tetapi beliau juga mengguanakan tulisan sebagai

wasilah supaya dakwah berhasil diterapkan baik pada masa itu maupun di masa sekarang, dan

juga di masa yang akan datang. Dengan adanya peninggalan karya-karya beliau dapat dibaca serta

dihayati oleh generasi seterusnya.

  KEBERHASILAN Keberhasilan adalah satu perkara yang diidam-idamkan oleh seseorang dalam sebuah

aktivitas, tidak ada manusia di dunia ini yang tidak ingin berhasil, baik itu dalam hal duniawi

maupun uhkrawi. Dalam hal ini, keberhasilan itu tidak akan datang dengan sendirinya, melainkan

dengan berbagai faktor yang boleh mendorong keberhasilan itu terjadi. Maka oleh itu, Syeikh

Haji Muhammad Waly Al-Khalidy sudah berhasil dalam bidang menyelamatkan akidah

masyarakat baik dengan menebang pohon kayu besar dan juga batu besar yang menjadi sanjungan

masyarakat setempat pada masa itu sudah lenyap, dan ritual-ritual semacam itu tidak dilakukan

oleh masyarkat pada saat sekarang ini. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan oleh anak sulungnya

yaitu Abuya Syeikh Muhibuddin Waly dalam bukunya dengan judul

  “Ayah Kami, Maulana Syeikh Haji Muhammad Waly Al- dan pernyataan

  Muhibuddin Waly, 1996: 261)

  Khalidy” ( Teungku Musliadi dalam bukunya dengan judul

  “Abuya Muda Waly Al-Khalidy, Syeikhul Islam Aceh” (Musliadi, 2013: 147).

  Seterusnya, beliau juga berhasil dalam mendidik. Pendidikan agama dan menyesuaikan

tindak tanduk seorang muslim dengan ajaran agama, adalah hal yang sangat penting yang sekali-

kali tidak boleh diabaikan. Karena itu menjadi kewajiban juru dakwah untuk memperhatikannya

dan menjadikan pendidikan itu menjadi program pokok dakwahnya. Dengan menyebarkan Islam

tanpa menanamkan Islam itu pada jiwanya, tidak akan dapat memperkuat kenyakinan dan tidak

pula memperbaiki pribadi seorang muslim ( Abdul Karem Zaidan, 2009: 221) . Oleh itu,

seseorang juru dakwah mempergunakan manhaj ini untuk menyebarkan Islam dengan

menggunakan wasilah yang strategis dalam hal mendakwahkan ajaran Islam di Aceh khususnya.

Kenyataan tersebut telah diakui dan dinyatakan oleh Prof H. Ali Hasyimi, bahwa Syeikh Haji

Muhammad Waly al-Khalidy salah seorang ulama yang telah berhasil dalam mendidik. Banyak

murid-muridnya yang telah menjadi ulama terkenal. Setelah selesai mengaji di pesantren beliau,

  

mereka masing-masing pulang ke daerah sendiri dan membangun pesantren. Ini jelas sebuah

Dokumen yang terkait

View of HAK WARIS BAYI TABUNG DALAM PERSPEKTIF MASLAHAH MURSALAH

0 0 21

PENGARUH PENERAPAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP KINERJA KEUANGAN (Studi Empiris Pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia 2010-2012)

0 2 12

PROBLEMATIKA PENGELOLAAN ZAKAT PADA BAITUL MAL ACEH Zulhamdi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Lhokseumawe E-Mail: zoel_hamdiyahoo.co.id ABSTRACT - View of PROBLEMATIKA PENGELOLAAN ZAKAT PADA BAITUL MAL ACEH

0 0 18

PENGARUH INVESTASI TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH SERTA DAMPAKNYA PADA KEMAMPUAN DAERAH MEMBIAYAI BELANJA PEGAWAI (Studi pada Pemerintah KabupatenKota di Provinsi Aceh)

0 0 9

ANALISIS PENGARUH PEMBIAYAAN KONSUMTIF DAN PRODUKTIF TERHADAP PENDAPATAN BSM KCP LHOKSEUMAWE PADA PERIODE OKTOBER 2012 SAMPAI JUNI 2015 Harjoni Desky, S.SosI.,M.Si Dosen IAIN Malikussaleh Lhokseumawe Email:harjonideskyyahoo.com, Abstrak - View of ANALISIS

0 1 15

PENGARUH UKURAN PERUSAHAAN, PROFITABILITAS, FREE CASH FLOW TERHADAP STRUKTUR MODAL PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR DI BURSA EFEK INDONESIA

0 0 10

PENGARUH PELUANG PERTUMBUHAN, MODAL KERJA BERSIH, DAN FINANCIAL LEVERAGE TERHADAP CASH HOLDING PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR DI BURSA EFEK INDONESIA

2 1 10

View of PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN INTERAKTIF BERBASIS MICROSOFT POWER POINT PADA SISTEM KOORDINAT KARTESIUS

0 1 21

View of PENDIDIKAN AQIDAH DAN AKHLAK DALAM SURAT AN-NABA’

0 0 21

PENGARUH VOLATILITAS ARUS KAS, VOLATILITAS PENJUALAN, BESARAN AKRUAL, DAN FINANCIAL LEVERAGE TERHADAP PERSISTENSI LABA PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA

3 5 12