BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN PERLAWANAN SIMBOL MASYARAKAT ADAT - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Resistensi Simbolik: Gerakan Perlawanan Simbol Adat terhadap Kebijakan Pemerintah Kabupaten Kaimana

  individu yang bergabung membentuk kelompok. Gerakan sosial yang terjadi tentu memiliki indikator penyebab, serta target yang hendak dicapai. Karena itu tidak ada sebuah gerakan sosial tanpa indikator dan dan tujuan yang hendak dicapai. Secara simbolik dapat diungkap dengan bahasa sederhana, ―tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api‖, dan ―tidak mungkin pucuk janur bergoyang kalau tidak ada angin‖.

  Merunut sejarah gerakan sosial secara global dan nasional, ditemukan di sana, terjadinya sejumlah gerakan sosial tidak dipicu oleh sejumlah indikator. Jika gerakan sosial dilakukan oleh para buruh pabrik, maka pemicu atau indikatornya memiliki kaitan dengan hak- hak buruh (upah kerja, jaminan kesehatan dll). Tujuannya jelas, para buruh menginginkan kenaikan upah, dan adanya jaminan kesehatan buruh.

  Jika gerakan sosial berhubungan dengan masyarakat dalam suatu daerah, seperti yang terjadi di Kabupaten Kaimana, terakit dengan demonstrasi masyarakat adat tentang implementasi kebijakan, maka indikatornya berhubungan erat dengan kebijakan pemerintah terhadap masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat.

  Mansur Fakih (1966:35) memberi catatan bahwa atas nama kebebasan demokrasi di tahun 1950-an dan 1960-an, terjadi gerakan sosial di Amerika yang dikenal dengan nama komunitas gerakan hak- hak sipil di kalangan kulit hitam. Gerakan mahasiswa di tahun 1960-an dan 1970-an, gerakan lingkungan hidup, gerakan perdamaian dan gerakan solidaritas maupun gerakan perempuan di tahun 1970-an dan 1980-an. Dalam konteks ini, lahirlah berbagai macam pendekatan dan teori tentang gerakan sosial.

  Masih teringat kuat dalam ingatan umat manusia tentang gerakan sosial yang terjadi di Afrika Selatan yang dikenal dengan nama Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk gerakan anti

  (mainstream approach), pendekatan perubahan sosial yang dominan yaitu suatu perubahan sosial yang direkayasa oleh negara melalui apa yang disebut sebagai pembangunan (development).

  Pada tahun 1998 Indonesia digemparkan dengan gerakan reformasi. Gerakan reformasi saat itu tidak mungkin terhapus dalam benak setiap anak bangsa, sebab hasil dari gerakan reformasi mampu melahirkan sejarah baru yang patut kita catat bersama, bahwa hanya melalui gerakan reformasi, riwayat orang kuat di Indonesia dengan sebutan ―bapak pembangunan‖ yang terkenal dengan rezim simbol ORBA berhasil diruntuhkan.

  Dari runutan sejarah tersebut, tergambar jelas bahwa gerakan demonstrasi massa mengatasnamakan rakyat tidak boleh dipandang sebelah mata, sebab telah terbukti keampuhannya dalam mencapai sebuah cita-cita yang diinginkan. Pada sisi lain, gerakan sosial tidak boleh dipandang sebagai ancaman dalam konteks berbangsa dan bernegara, sebab berdemokrasi yang baik selalu merujuk pada kebebasan, dan kebebasan merujuk pada terbukanya ruang-ruang demokrasi bagi setiap warga negara. Dengan kebebasan berdemokrasi pula, rakyat bisa menyalurkan apa yang dirasakan kepada pemerintah, atau kepada atasan mereka. memahami konteks tersebut lahirlah UNDANG-UNDANG NOMOR

  9 TAHUN I998 TENTANG KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM. Lahirnya Undang Undang ini merupakan syarat bahwa pemerintah (Pusat-Daerah) memiliki kemampuan mengakomodir kebebasan kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Singkat kata singkat cerita, jangan berikan label haram terhadap gerakan sosial, karena melalui gerakan sosial, rakyat secara bebas dapat menyuarakan ketidakadilan atas implementasi kebijakan yang tidak berkiblat pada rakyat. Pada sisi yang lain, diharapkan rakyat dapat ―kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka menggunakan hak umum‖ secara baik dan tertanggungjawab.

  Perlawanan simbol adat terhadap kebijakan pemerintah merupakan bagian dari gerakan sosial yang sudah lama terjadi di wilayah Papua. Gerakan sosial yang terjadi di Papua jika dikelompokan menurut jenis serta tujuan, masing-masing memiliki perbedaan, namun yang pasti gerakan sosial terjadi karena adanya indikator penyebab dan tujuan yang hendak dicapai.

  Sejumlah indikator tersebut tidak hadir begitu saja, jika dikaji secara baik, dampak yang ditimbulkan sangat berkaitan dengan sejumlah implementasi kebijakan yang tidak menjawab substansi masalah sosial, sehingga pada akhirnya melahirkan gerakan perlawanan sosial tegak lurus/atas bawah (vertikal), dan gerakan perlawanan sosial mendatar (horizontal) antara masyarakat lokal dengan kaum migran/pendatang dari luar Papua.

  Tidak bisa dipungkiri, bahwa dari gerakan pelawanan sosial tegak lurus/atas bawah (vertikal), dan gerakan perlawanan sosial mendatar (horizontal) antara masyarakat lokal dengan kaum migran/pendatang dari luar Papua, terkadang dilakukan tanpa menggunakan kekerasan (non fisik), tetapi ada pula yang dilakukan dengan cara kekerasan (fisik).

  Gerakan sosial yang menggunakan kekerasan fisik, bukan sesuatu hal yang rahasia. Dari sejumlah gerakan sosial yang terjadi dalam wilayah nusantara, oleh pemerintah diistilahkan dengan sebutan yang berbeda-beda, misalnya ―gerakan separatis‖, ―gerakan sipil bersenjata‖,

  (Gerakan Pengacau Keamanan). Muncul sejumlah gerakan atau GPK tersebut tentu memiliki alasan yang berbeda-beda, akan tetapi yang pasti bahwa penyebabnya bisa disimpulkan menjadi dua hal, yaitu; pertama, unsur ketidakpuasan atas sejumlah kebijakan pembangunan yang dianggap tidak merata di bumi nusantara; dan kedua, terkait dengan tujuan yang ingin dicapai oleh gerakan tersebut. Dari kedua hal tersebut, jika dihubungkan dengan gerakan ―Negeri 1001 Senja‖, maka gerakan perlawanan simbol adat di perlawanan dengan menggunakan simbol adat merupakan bagian dari gerakan sosial. Yang membedakan gerakan ini dengan sejumlah gerakan sosial yang lain ada pada indikator awal, serta tujuan yang hendak mereka capai. Salah satu indikator gerakan perlawanan simbol adat di ―Negeri 1001 Senja‖ dilatarbelakangi oleh sejumlah konsep pembangunan masadepan yang berkaitan dengan konsep-konsep atau pesan-pesan leluhur. Pesan-pesan leluhur ini diterima dalam bentuk cerita tuturan dan dijadikan barometer terhadap implementasi kebijakan pemerintah. Yang mengkhawatirkan dari konsep ini adalah, ketika implementasi kebijakan tidak merujuk pada konsep leluhur mereka, maka konsep kebijakan pemerintah dianggap tidak sejalan dan bisa menimbulkan dampak

  Tujuan dari sejumlah kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pembangunan di ―Negeri 1001 Senja‖ adalah, adanya keinginan yang kuat dari pihak pemerintah untuk menciptakan pemerataan pembangunan dari sejumlah kebijakan yang dibuat. Sementara itu dari tujuan gerakan perlawanan masyarakat adat menggunakan simbol dapat diindikasikan memuat sejumlah pesan kepada pemerintah dan pihak-pihak lain, bahwa terdapat sejumlah penyimpangan kebijakan yang terjadi di atas wilayah otoritas adat.

  Membaca artikel jurnal terdahulu khususnya pada artikel jurnal volume 4/nomor 1/April 2011 tentang Masalah Sosial: ―Konflik

Masyarakat Adat Papua (Amume dan Kamoro) dengan Freeport pada tahun 1969‖, dapat dipastikan bahwa perlawanan fisik dan non fisik

  masyarakat Papua terhadap pemerintah sudah berlangsung cukup lama. Dan hal itu terjadi disebabkan pada faktor intimidasi, kekerasan fisik dan pemerkosaan terhadap hak dasar OAP.

  Keadaan ini terjadi, biasanya mengatasnamakan pembangunan yang dilakukan pihak pemerintah. Karena itu, pembangunan tidak selamanya membawa dampak positif, dampak-dampak negatif pun selalu terjadi. Pembuktian terhadap dampak negatif atasnama pembangunan terlihat jelas dari sejumlah kebijakan yang mengakibatkan masyarakat lokal terpinggirkan atas nama pembangunan. Karena itu, terkadang sikap masyarakat lokal mempertahankan hak-hak, bahkan menolak sejumlah kebijakan pembangunan karena telah terbukti, pembangunan tidak selamanya membawa dampak positif bagi mereka. Dalam konteks ini, tidak segan- segan pemerintah melalui aparatur pemerintah (TNI POLRI) dilibatkan untuk memuluskan jalannya kebijakan pembangunan atasnama pembangunan itu sendiri.

  Uraian bab ini merupakan kajian analisis yang berkaitan dengan temuan penulis selama melaksanakan penelitian di Kabupaten Kaimana yang dimuat pada bab empat dan bab lima.

  Kebijakan Publik

  Masih dalam penekanan soal kebijakan publik. Pada bagian awal, penulis telah menguraikan definsi menurut Thomas R. Dye (1995 : 2), bahwa ―kebijakan publik sebagai segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan hasil yang membuat sebuah kehidupan bersama tampil berbeda (what government do, why do it, and what diffirence it makes)‖. Dengan demikian, kebijakan publik adalah ―fakta strategis‖ dari pada ―fakta politis‖ ataupun teknis. Sebagai ―fakta strategi‖, dalam kebijakan publik sudah terangkum preferensi-preferensi politis dari para aktor yang terlibat dalam proses kebijakan, khsusnya pada proses perumusan.

  ―strategi‖, kebijakan publik tidak saja bersifat Sebagai sebuah

  ―positif ― namun juga ―negatif‖, dalam arti pilihan keputusan selalu bersifat ―menerima salah satu‖ dan ―menolak yang lain‖. Meskipun terdapat ruang bagi ―win-win‖ dan sebuah tuntutan dapat diakomodasi,

  ―win-win‖ sengat terbatas sehingga kebijakan pada akhirnya ruang bagi publik lebih banyak pada ranah ―zero-sum-game‖, yaitu ―menerima yang ini, dan menolak yang lain‖.

  Seorang kepala daerah dalam kedudukannya sebagai kepala pemerintahan merupakan jabatan politik. Akan tetapi jabatan politik tidak terjadi begitu saja. Jabatan politik seorang kepala daerah akan sangat ditentukan oleh rakyat dalam konteks demokrasi ―dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat‖. Karena itu, kebijakan seorang kepala daerah tidak melulu berkiblat pada arah kebijakan politik. Dalam kedudukanya sebagai seorang pejabat politik, kebijakan yang dibuat harus dipadukan dan disetarakan dengan kebutuhan publik, sehingga dalam jabatan politik, seorang kepala daerah dapat melakukan kebijakan publik yang akan menyentuh persoalan yang dihadapi masyarakat. Jika kebijakan publik menyentuh kebutuhan publik, maka Dye menyebutkan hal itu sebagai kebijakan ―strategi‖ karena menyentuh kebutuhan publik.

  Banyak kebijakan strategis yang telah dibuat pemerintah daerah, namun banyak pula yang tidak menjawab kebutuhan publik. Hal ini harus diluruskan secara baik, karena untuk mengukur sebuah kebijakan publik, harus didasarkan pada fakta yang memiliki kaitan dengan sejumlah masalah sosial yang dialami publik. Hal ini penting, karena dalam implementasi kebijakan publik, terkadang terikut serta sejumlah kepentingan politik yang memberi dampak, dan memengaruhi kebijakan publik. Walaupun dalam implemetasi kebijakan publik hal itu berjalan secara normal, namun dampak dari kebijakan publik yang telah dipolitisir, akan mengalami permasalahan. Dengan demikian kebijakan publik yang dibuat dapat dikategorikan sebagai ―kebijakan politis‖.

  Seorang kepala daerah selalu diperhadapkan dalam dua fakta terkait dengan pengambilan kebijakan publik. Pertama, berkaitan dengan jabatan politik; dan kedua berkaitan dengan kedudukannya sebagai kepala daerah hasil pilihan rakyat. Dua sisi yang berbeda ini mewajibkan seorang kepala daerah untuk bisa membedakan mana kebijakan politik dan mana kebijakan publik. Dye menggambarkan secara jelas bahwa, dalam ruang kebijakan terdapat cela yang memungkinkan seseorang untuk membuat kebijakan berdasarkan

  ―win-win‖, namun dalam penentuan kebijakan, kedua hal konsep tersebut harus ada yang lebih diuntungkan. Hal ini berararti kebijakan politik dan kebijakan publik tidak bisa direalisasi dalam satu kebijakan, sebab jika hal itu terjadi, maka satu dari dua hal tersebut akan terkena dampak atau menjadi korban.

  Menghadapi sejumlah permasalahan yang terjadi di Kabupaten Kaimana, sejumlah kebijakan telah dibuat dengan dalil kepentingan dan kebutuhan masyarakat (publik). Dalam penekanan awal penulis telah memberi penjelasan, bahwa kebijakan tidak bisa disalahkan karena berkaitan dengan hak seorang kepala daerah. Dye menjelaskan hal itu sebagai berikut, bahwa: ―kebijakan adalah sikap pemerintah untuk membuat atau tidak membuat kebijakan‖. Artinya, untuk membuat kebijakan publik, atau tidak membuat kebijakan, hal itu merupakan sikap pemerintah. Namun masyarakat selalu memahami bahwa kebijakan publik merupakan tindakan riil pemerintah, yang berhubugan dengan masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat.

  Pemahaman masyarakat ini bertolak dari sejumlah masalah yang mereka rasakan, karena itu, jika seorang kepala daerah tidak membuat keputusan nyata, hal itu dianggap tidak membuat keputusan.

  Pertanyaannya adalah, apa yang membedakan seseorang dikatakan membuat dan atau tidak membuat kebijakan. Ilustrasi berikut ini akan memudahkan kita untuk memahami hal tersebut:

  ―jika anda berjalan pada ruas jalan yang berlobang lalu mempertanyakan kebijakan seorang kepala daerah tentang jalan yang berlubang tersebut. Pertanyaan anda pasti didasarkan pada kenyataan bahwa jalan berlubang sangat mengganggu perjalanan, karena anda tidak bisa melajukan kenderaan dengan kecepatan maksimum. Pada titik simpulan, anda akan mengatakan, pemerintah tidak membuat kebijakan untuk memperbaiki jalan tersebut. Tetapi apakah benar pemerintah tidak membuat kebijakan terhadap kondisi jalan itu? Ternyata prediksi anda meleset, karena ruas jalan yang berlubang ketika dibijaki oleh pemerintah setempat, menimbulkan banyak korban jiwa, karena ruas jalan tersebut seringkali digunakan oleh anak muda sebagai tempat balapan liar. Bertolak dari konteks tersebut, maka pemerintah membuat kebijakan untuk tidak memperbaiki ruas jalan yang berlubang tadi. Karena itu, kebijakan tidak selalu terlihat riil atas persoalan yang terlihat riil pula‖. Contoh ini memberi penjelasan bahwa kebijakan tidak selalu logis bagi semua pihak. Ada kebijakan yang logis bagi pihak pembuat kebijakan, tetapi pada sisi lain, hal itu tidak logis bagi pihak lain. Namun inti dari sebuah kebijakan publik haruslah berdampak positif bagi semua pihak. der Panzer

  Belajar di negeri Menjalankan roda pemerintahan, kebijakan publik menjadi sangat penting. Kebijakan publik tidak hanya sebatas memberi arahan terhadap sejumlah program kerja yang telah ditetapkan oleh setiap SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) sebagai eksekutor kebijakan, melainkan tujuan dibuatnya kebijakan publik agar setiap SKPD memiliki kesamaan dan keseragaman visi untuk mewujudkan dan merealisasikan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Penegasan ini disebut oleh Robert Eyestone secara luas, kebijakan publik dapat didefinisikan sebagai ―hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya‖.

  Penjelasan Eyestone memberi penekanan pada kebijakan sebagai relasi dalam sebuah unit kerja. Bisa juga dipahami sebagai perekat birokrasi yang memiliki tujuan bersama yaitu melayani masyarakat. Kita bisa membayangkan bagaimana jika dalam birokrasi pemerintahan yang begitu sibuk dengan sejumlah program kerja, jika tidak diimbangi dengan kebijakan publik dari seorang kepala daerah, maka hal itu akan menimbulkan kekacauan dalam birokrasi pemerintah. Kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah daerah Kabupaten Kaimana misalnya: terkait dengan pendidikan delapan anak asli Kaimana ke Jerman.

  Setiap kebijakan publik memiliki dampak atau konsekwensi. Dampak serta konsekwensi tersebut sangat berhubungan dengan keberhasilan maupun kegagalan dari sebuah kebijakan yang dicapai.

  Heidenheimer (1930:1) menjelaskan bahwa kebijakan publik ―bagaimana, mengapa, dan apa merupakan sebuah studi tentang konsekwensi dari tindakan (action) dan pasif (in-action) pemerintah‖.

  Yang ingin ditekankan oleh Heidenheimer adalah soal studi tentang ―bagaimana‖ merumuskan sebuah kebijakan publik yang bisa memberi jawaban terhadap masalah yang dihadapi publik (masyarakat).

  ―bagimana‖ juga bertujuan mempertanyakan cara Penekanan mendesain dan merancang sebuah kebijakan publik. Misalnya, untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia di Kabupaten Kaimana, pemerintah menginginkan anak-anak asli Kaimana harus bersekolah di luar negeri. Mengawali konsep ini, Heidenheimer menawarkan langkah pertama yang harus dilakukan adalah ―bagaimana‖ mendesain konsep menjadi program yang bisa dituangkan dalam sebuah kebijakan publik. Untuk mendasain konsep tersebut dibutuhkan figur atau individu yang memiliki kecakapan khusus. Selain itu juga, tindakan ―bagaimana‖ merujuk pada membangun ANT (Aktor Network)-nya, baik di daerah, pusat hingga di Jerman. Tawaran Heidenheimer ini sangat penting dilakukan mengawali peluncuran sebuah kebijakan publik.

  Lebih lanjut Heidenheimer memberi penekanan studi tentang ―mengapa‖ jika dihubungkan dengan kebijakan untuk menyekolahkan delapan anak asli Kaimana di Jerman, maka alasan mendasarnya harus jelas. Penjelasan tentang alasan mendasar pemerintah menyekolahkan

  ―der Panzer‖. Untuk mengetahui delapan anak asli Kaimana ke negeri alasan mendasar pemerintah Kabupaten Kaimana menyekolahkan

  ―der Panzer‖, penulis delapan anak asli Kaimana ke negeri menemukannya melalui lansiran berita Online Radar Sorong yang di unduh pada tanggal 26 Desember 2017, hal itu dijelaskan sebagai berikut:

  ...―tujuan kuliahkan anak-anak di Jerman merupakan harapan saya, supaya anak-anak Kaimana ini pun besok-besok bisa bersaing dengan anak-anak lain di Papua. Kaimana ini tidak ada orang hebat, sama seperti daerah lainnya. Kita tidak punya orang di Provinsi bahkan di Negara ini, kita tidak punya orang. Karena itulah, harapan saya ingin menyekolahkan anak-anak Kaimana ini agar kita juga bisa mengangkat muka kalau berbicara di provinsi dan di Negara ini. Kenapa yang lainnya bisa, kita tidak bisa?‖...

  Penjelasan di atas memberi keterangan bahwa tujuan menyekolahkan delapan anak asli Kaimana ke Jerman karena pemerintah daerah menginginkan ke depan ada anak asli Kaimana yang bisa memainkan peran pada tingkat provinsi maupun tingkat pusat di masa yang akan datang. Jika hal ini yang menjadi target, maka apa yang ditawarkan oleh Heidenheimer terkait dengan ―apa konsekuensi dari tindakan (action) dan pasif (in-action) pemerintah‖, bisa terjawab.

  Dari sejumlah kebijakan yang dibuat, ternyata setiap kebijakan memiliki dampak dan konsekuensi masing-masing. Itu berarti, bahwa tidak ada satu pun kebijakan yang sempurna. Karena itu, lebih awal sebelum melakukan sebuah kebijakan publik, pembuat kebijakan sudah harus berpikir tentang bagaimana menghadapi konsekuensinya. Hal ini penting! Ketika pemerintah berani membuat kebijakan publik, maka pemerintah harus memiliki keberanian untuk menerima kegagalan, karena suksesnya kebijakan publik yang diimplementasikan adalah kebijakan yang mampu meminimalisir konflik, bukan sebaliknya menghindari konflik.

  Untuk meminimalisir konflik, haruslah dimulai dari cara ―bagaimana hubungan masyarakat memahami inti dari konflik yaitu dapat berjalan sesuai dengan tujuan bermasyarakat‖. Dalam hal ini, pertikaian dan konflik dilihat sebagai bagian dari sistem sosial yang tidak dapat dihindari. Selain itu pula, konflik menjadi petunjuk bahwa di dalam hubungan atau relasi sosial masyarakat terdapat dominasi, kohesi, serta kekuasaan. Lewis A. Coser memandang ―konflik dapat direkayasa untuk menciptakan kohesi atau keteraturan sosial‖.

  Dalam kenyataannya, kebijakan yang dirancang atas nama kepentingan masa depan daerah terbentur masalah. Hal itu ditandai dengan dikembalikannya empat anak dari Jerman ke Indonesia. Kondisi ini mengakibatkan kemarahan sebagian masyarakat lokal, dengan melakukan demonstrasi massa menggunakan simbol adat untuk memalang kantor bupati. Selain demonstrasi massa, untuk melakukan pemelangan kantor bupati, massa juga menuntut Bupati Kaimana segera memberi penjelasan terkait kasus dipulangkannya empat anak dari Jerman tersebut.

  Sesuai keterangan Bupati Kaimana yang dilansir koran Online Radar Sorong yang di unduh pada tanggal 27 Desember 2017 sebagai berikut:

  KAIMANA- Pulangnya 4 anak asal Kaimana dari Jerman, bukan atas kehendak pemerintah daerah, tetapi atas permintaan sendiri. Keempat mereka bersepakat untuk meminta pemerintah daerah untuk mencari pendidikan di Indonesia dan memulangkan mereka karena mereka tidak mampu lagi bersekolah di Jerman. Hal itu ditegaskan Bupati Kaimana, Drs. Matias Mairuma, pada saat konferensi pers yang berlangsung kemarin di Ruang Rapat Bupati Kaimana. Konferensi pers tersebut bertujuan untuk memberikan klarifikasi atas informasi keliru yang saat ini tengah dimainkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab di Kaimana.

  Lebih lanjut dijelaskan: ―Jadi tidak pernah pemerintah daerah mengirimkan anak-anak asli Kaimana ke luar negeri lalu memulangkan mereka‖... pernyataan seperti ini menunjukan bahwa pemerintah sangat konsisten dengan tujuan menyekolahkan delapan anak asli Kaimana ke Jerman. Sikap ini secara tidak langsung menunjukan sikap idealisme dalam sebuah program kerja dan hal itu menjadi sangat penting.

  Pada sisi lain, fakta dikembalikannya empat orang anak asli Kaimana dari Jerman ke Indonesia, memberi gambaran jelas masih terdapat sejumlah kelemahan dari kebijakan yang dibuat. Karena itu, hal yang sangat penting dan yang harus diperhatikan adalah idealisme harus realistis. Idealisme yang realistis seharusnya memperhatikan semua faktor, lebih khusus pada konteks lapangan yang menjadi arena implementasi kebijakan. Hal ini jelas terukur dari penjelasan Bupati Kaimana:

  ...―pulangnya 4 anak asal Kaimana dari Jerman, bukan atas kehendak pemerintah daerah, tetapi atas permintaan sendiri. Keempat mereka bersepakat untuk meminta pemerintah daerah untuk mencari pendidikan di Indonesia dan memulangkan mereka karena mereka tidak mampu lagi bersekolah di Jerman‖...

  Sangatlah manusiawi, kalau keempat anak meminta kembali ke ―tidak

  Indonesia. Dari penjelasan di atas diketahui bahwa mereka mampu lagi bersekolah di Jerman‖... dari sejumlah penjelasan ada hal yang harus dikatahui bahwa, sistem ANT yang dibangun memiliki kekurangan dan menyebabkan empat anak tersebut meminta untuk dikembalikan ke Indonesia, hal itu terekam dari penjelasan kepala daerah yang dilansir koran daerah Online Radar Sorong sebagai berikut:

  ―Pihak yang berhak merekomendasikan anak-anak sekolah di Jerman ini sudah lepas tangan. Akhirnya, keempat anak ini pulang, karena ini Jerman bukan di Indonesia yang bisa dilakukan kolusi dan lain sebagainya. Memang ini merupakan program primadona saya, kalau buat jalan, semua Bupati bisa lakukan, tetapi karena 4 anak ini harus dipulangkan, maka saya menyerahkan kepada Tuhan saja, mungkin ini ujian buat kami pemerintah daerah. Tetapi kemarin saya baru terhibur dengan diterimanya ketiga anak kita yang saat ini masih di Jerman di Student Collage . Ini sebuah mujizat yang Tuhan beri buat kami pemerintah daerah, yang bekerja dengan niat yang tulus untuk membangun negeri ini, tetapi ada pihak-pihak lain yang menilainya dengan persepsi mereka sendiri,‖ ujar Bupati Mairuma panjang lebar.

  Penjelasan ini menitikberatkan pada sistem ANT yang digunakan untuk menangani program studi ke Jerman. Perbedaan sistem ANT di Indonesia berbeda dengan sistem yang berlaku di Jerman. Gambaran

  ...―akhirnya, keempat anak ini pulang, dari penjelasan di atas, bahwa: karena ini Jerman bukan di Indonesia yang bisa dilakukan kolusi dan lain sebagainya‖...

  Di Indonesia kita masih bisa menggunakan berbagai indikator ketika sebuah kebijakan mengalami jalan buntut. Misalnya: hubungan kekeluargaan, mayoritas dan minoritas, pribumi dan kaum pendatang, warga keturunan dan bukan keturunan, putra daerah dan bukan putra daerah. Ternyata, ukuran seperti ini tidak berlaku di Jerman. Karena itu penjelasan kepala daerah Kabupaten Kaimana yang mengatakan bahwa ...―Jerman bukan di Indonesia yang bisa dilakukan kolusi dan lain sebagainya‖... pada konteks seperti ini, maka penekanan Heidenheimer semakin jelas, bahwa kebijakan publik merupakan studi

  ―bagaimana, mengapa, dan apa konsekwensi dari tindakan tentang

  (action) dan pasif (in-action) pemerintah‖, menjadi sangat penting untuk diperhatikan, sehingga implementasi kebijakan publik yang seringkali menimbulkan gesekan konflik harus diminimalisir dengan cara yang ditawarkan Heidenheimer bahwa kebijakan harus lebih dahulu diuji; ―mengapa‖ kebijakan dibuat, ―bagaimana‖ harus dibuat ―apa konsekuensi logis dari kebijakan tersebut‖. dan

  Dalam kenyataannya, implementasi kebijakan publik yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Kaimana mengalami masalah. Hal ini terjadi karena ruang cipta suatu kebijakan berbeda dengan ruang implementasi kebijakan. Perbedaan kedua ruang tersebut dapat diukur dari tempat masing-masing, ruang cipta kebijakan berada pada ruang birokrasi yang tidak bersentuhan dengan kehidupan sosial. Sementara pada ruang implementasi kebijakan, di sana terjadi kontak dengan sejumlah indikator permasalahan sosial.

  Dari perbedaan kedua ruang tersebut, sangatlah wajar jika kebijakan pada tataran implementasinya muncul sejumlah permasalahan, karena itu Richard Rose menyarankan agar kebijakan publik haruslah dipahami sebagai ―serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta konsekwensi-konsekwensi-nya bagi mereka yang bersangkutan, ketimbang sebagai suatu keputusan tersendiri‖. Definisi ini sebenarnya bersifat ambigu, namun berguna karena kebijakan dipahami sebagai arah atau pola kegiatan dan bukan sekedar suatu keputusan untuk melakukan sesuatu. Artinya, Rose ingin menyampaikan bahwa kebijakan publik, merupakan sejumlah kegiatan yang memiliki konsekwensi yang berhubungan dengan sejumlah pihak, karena itu kebijakan/keputusan yang dibuat tidak berdiri sendiri. Pelayanan birokrasi pendidikan dasar dan prilaku gerakan kolektif

  Pelayanan birokrasi menjadi sangat penting, karena tujuan pelayanan birokrasi merupakan jawaban pemerintah atas sejumlah permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Dari sejumlah permasalahan yang di hadapi masyarakat di Kabupaten Kaimana, masalah pendidikan merupakan satu dari sejumlah persoalan sosial yang dihadapi masyarakat dan pemerintah. Mengatasi masalah pendidikan, pemerintah telah melakukan sejumlah kebijakan diantaranya, penambahan tenaga guru PNS yang dimiliki Pemerintah Kabupaten Kaimana. Kebijakan yang dilakukan pemerintah adalah dengan melakukan kontrak tenaga guru, baik yang berada dalam wilayah maupun dari luar wilayah Kabupaten Kaimana. Selain menambah aparat tenaga guru, pemerintah juga melakukan penerimaan pegawai kontrak untuk dipekerjakan pada dinas-dinas yang masih sangat membutuhkan. Salah satu SKPD yang menjadi sasaran penembahan tenaga pegawai kontrak adalah dinas kesehatan dan dinas pendidikan Kabupaten Kaimana.

  Dampak dari kebijakan penambahan tenaga pegawai kontrak, khususnya pada dinas kesehatan, maka sebagian masyarakat atas nama suku Mairasi melakukan pemalangan terhadap kantor dinas kesehatan dan kantor rumah sakit. Sikap pemalangan ini dilakukan karena beberapa nama anggota masyarakat dari suku Mairasi tidak diakomodir dalam SK (Surat Keputusan) penerimaan pegawai kontrak. Pemalangan tersebut sempat melumpuhkan aktifitas pegawai dinas kesehatan dan pegawai kesehatan yang bertugas sebagai pagawi di kantor RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah) Kaimana.

  Penerimaan pegawai tidak hanya sebagai peluang bagi para pencari kerja, sisi lain dari kebijakan pemerintah adalah, bagaimana pemerintah bisa menjawab persoalan masyarakat, baik menyangkut kuantitas (jumlah) pegawai, maupun kualitas (mutu/hasil) pelayanan pemerintah terhadap sejumlah masalah yang dihadapi pemerintah.

  Menghadapi persoalan ini, pemerintah melakukan langkah- langkah riil, yaitu dengan memprioritaskan anak-anak asli, dan hal itu dijelaskan oleh kepala daerah saat menghadiri kegiatan RAKERSIS (Rapat Kerja Klasis) Gereja Protestan Indonesia di Papua, tahun 2014 di Jemaat Imanuel Kensi mengungkapkan hal tersebut sebagai berikut:

  

―jika ada anak-anak Tuhan yang mengikuti tes CPNS, khususnya

anak-anak asli Kaimana, kalau kita mengikuti kriteria kelulusan

tes, maka hasil lulus tes CPNS didominasi oleh mereka-mereka

yang datang dari luar, karena itu sebagai Kepala Daerah, saya

mencoba untuk membuat perimbangan, sehingga hasil kelulusan

tes CPNS bisa ada keterwakilan anak-anak negeri juga. Jika saya

  

tidak lakukan interfensi, maka sangat kasihan sekali, anak-anak

negeri tidak banyak yang bisa menjadi pegawai negeri sipil‖.

  Penjelasan yang disampaikan memberi keterangan terkait sikap pemerintah daerah dalam melakukan perimbangan penerimaan tenaga ―tindakan

  Pegawai Kontrak dan CPNS. Dalam konsep kebijakan, kebijakan ―policy‖ digunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah), atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu‖. Dengan demikian, apa yang dilakukan pemerintah merupakan sikap yang sangat tepat mewakili birokrasi pemerintah.

  Selain upaya pemerintah untuk melakukan kebijakan menambah jumlah PNS dan pegawai kontrak, pada sisi yang lain, pemerintah berhadapan dengan sejumlah persoalan terkait dengan pengabdian ANS di lingkungan kerja pemerintah daerah Kabupaten Kaimana, khusus untuk PNS yang melaksanakan fungsi sebagai guru.

  Kebiasaan meninggalkan tempat tugas mengakibatkan masyarakat melakukan pemalangan terhadap gedung sekolah, dan rumah kepala sekolah.

  (mereka) palang sekolah, karena guru-guru ―masyarakat dorang

selalu tidak berada di tempat tugas. Kalau kita bandingkan guru-

guru masa sekarang ini paling berbeda dengan guru-guru pada

waktu dulu, waktu kami sekolah, hanya ada satu dua tenaga guru

yang ajar kami, tetapi mereka bisa mengajar enam kelas, bahkan

dorang (mereka) bisa lakukan les pelajaran malam hari di rumah

pastori. Sekarang ini, guru-guru yang dinas pendidikan kasih

untuk (kita) di kampung-kampung, ada guru

kitorang pemerintah PNS, guru kontrak, tapi tidak sama dengan 1 pace-

  (bapa-bapa) guru dulu, (bapa-bapa) guru itu pace pace-pace

mengajar di depan kelas, mereka ajar masyarakat berkebun,

mereka bisa jadi mantri, mereka ajar masyarakat kerja rumah

(tukang kayu). Tetapi tenaga guru yang sekarang ini, su tra

(sudah tidak) mengajar baik-baik, (sudah tidak) betah di

su tra tempat tugas. Coba kalau dinas mau ganti tenaga guru itu dorang

  

(mereka) lihat yang pas di kampung baru kasih tugas, kalau

begini-begini sama saja, (kita punya) anak-anak

kitorang pung

1

tidak bisa pintar. Kalau tidak percaya bapa lihat ada beberapa

Istilah ini digunakan untuk menyapa kaum pria dewasa artinya bapa.

  

keluarga yang sudah bawa turun mereka punya anak di kota

untuk sekolah di sana, karena guru-guru tidak ada, mungkin ada

tenaga honor satu orang dari kampung yang mengajar saja‖.

  Hal ini menunjukan kinerja birokrasi pemerintah di lapangan belum mencapai target yang diharapkan. Kebiasaan guru meninggalkan tempat tugas berbulan-bulan, bahkan hingga mencapai satu tahun ajaran. Fenomena ini menunjukan betapa lemahnya fungsi kontrol pemerintah, khususnya instansi penanggungjawab penyelenggaraan pendidikan.

  Menghadapi persoalan seperti ini, masyarakat setempat mengambil langkah-langkah konkrit, menyampaikan laporan kepada pihak kepolisian, dalam hal ini POLSEK (Kepolisian Sektor) terdekat dan melakukan pemalangan sekolah dan rumah dinas guru kepala sekolah. Setelah itu, masyarakat menyampaikan tindakan mereka kepada dinas terkait (dinas pendidikan) di Kabupaten Kaimana.

  Menanggapi laporan masyarakat, pihak dinas pendidikan melakukan mutasi terhadap kepala sekolah yang selalu meninggalkan tempat tugas. Kebijakan ini menurut Charles O. Jones. merupakan

  (goals), sikap yang memiliki hubungan dan kesamaan dengan tujuan program, keputusan, (decision), standard, proposal, dan grand design. Pada sisi lain, pemerintah telah memenuhi hak-hak pegawai (guru), hak-hak tersebut diuraikan sebagai berikut:

  

―untuk hak-hak pegawai sudah kami berikan dengan

memperhatikan lokasi atau wilayah kerja pegawai di daerah.

Untuk mereka-mereka yang bertugas di daerah terpencil atau

terisolir, selain gaji kami berikan insentif zona yang lumayan

besar, tidak saja itu, ada uang lauk pauk dan masih ada

tambahan-tambahan pengasilan yang lain. Tujuan dari semuanya

itu, kita berharap tidak ada alasan yang dibuat-buat untuk tidak

melaksanakan tugas di kampung-kampung‖.

  Terlepas dari konteks penataan sejumlah PNS yang berprofesi sebagai guru, pemerintah juga melakukan pergeseran pada sejumlah kepala distrik. Tepatnya pada tahun 2009, suhu politik di Kabupaten Kaimana mulai mencapai titik panas terkait dengan pemilihan kepala daerah.

  Pemilihan kepala daerah merupakan pesta rakyat di tingkat daerah. Menghadapi pelaksanaan pesta demokrasi pemelihan kepala daerah, rakyat secara bebas ingin menyatakan pilihan mereka kepada kandidat yang dipercaya rakyat, maka dampak yang muncul di atas permukaan adalah terjadinya pengkotak-kotakan. Realitas seperti ini sangatlah logis, karena setiap individu memiliki kebebasan dan menggunakan kebebasan secara individu untuk memilih figur kepala daerah.

  Tidak saja rakyat, ternyata pengaruh pemilihan kepala daerah memengaruhi kebijakan politik pemerintah. Menjelang akhir periode pertama 2005-2010, kepala daerah Kabupaten Kaimana membuat kebijakan memutasikan beberapa kepala distrik. Kabijakan ini di pandang sebagai kebijakan politik dalam rangka untuk menjawab kepentingan sang petahana untuk periode berikut 2010-2015.

  Jelang pelaksanaan pemilihan kepala daerah Kabupaten Kaimana, pemenang pemilihan kepala daerah Kabupaten Kaimana periode 2010- 2015 dimenangkan oleh wakil bupati periode 2005-2010. Sebagai pemenang, berbagai kebijakan pun dilakukan. Dari sejumlah kebijakan yang dibuat, mutasi/pergeseran Kepala Distrik Teluk Arguni mendapat sorotan hangat dari masyarakat lokal. Sikap masyarakat tersebut, dinampakkan dengan cara menandatangi surat penolakan oleh sejumlah kepala kampung, disertai dengan sikap pemalangan Kantor

  ―kakur-utie ro‖. Distrik Teluk Arguni menggunakan simbol adat

  Sikap penolakan masyarakat adat terhadap mutasi/pergeseran kepala Distrik Teluk Arguni merupakan sebuah gerakan sosial masyarakat adat yang disebut oleh Sidney Tarrow (1998) merupakan ―prilaku kolektif‖. Tarrow memberi pandangannya dengan menyebut ―prilaku kolektif‖ dengan mengkaitkan dampak negatif Revolusi Prancis yang berhubungan dengan kemarahan massa pada periode abad pencerahan sebagai akar perkembangan teori gerakan sosial. Kemudian teori ini menjadi salah satu teori klasik dalam mempelajari fenomena gerakan sosial di Eropa Barat dan Amerika Utara. Gustave Le Bon (1895) perintis utama teori prilaku kolektif menginterpretasikan kerumunan massa Revolusi Prancis merupakan bentuk perilaku kolektif yang menyerupai emosi binatang.

  Sangatlah benar, bahwa dampak demonstrasi massa selalu dinilai sebagai bentuk awal sebuah kegiatan yang berdampak pada KAMTIBMAS, pengerusakan sejumlah infrastruktur pemerintah. Wajah demonstrasi massa dengan sikap arogan inilah, maka Le Bon menyamakan hal tersebut sebagai prilaku kolektif menyerupai emosi binatang. Namun fakta yang digunakan Le Bon untuk membangun teori gerakan sosial didasarkan pada fakta gerakan Revolusi Prancis. Karena itu, ketika melakukan perbandingan dengan gerakan sosial di Indonesia, khususnya gerakan sosial menggunakan simbol adat di Kabupaten Kaimana tentu memiliki perbedaan.

  Penulis melihat perbedaan tersebut didasarkan pada fakta-fakta empiris sebagai berikut: pertama, secara kultur, masyarakat Prancis berbeda dengan masyarakat di Papua dan Papua Barat, khususnya masyarakat adat delapan suku besar di Kaimana. Perbedaan kultur ini menjadi landasan kuat ketika dijadikan sebagai dasar membangun sebuah teori gerakan sosial; kedua, bentuk kesamaan gerakan sosial yang terjadi di Prancis dan di Kabupaten Kaimana hanya berada pada kerumunan massa, sementara yang membedakan kedua gerakan sosial ada pada ANT (Aktor Network)-nya; dan ketiga, gerakan sosial yang terjadi di Kabupaten Kaimana tidak bersifat menghancurkan infrastruktur, perebutaan kekuasaan dan atau penggulingan rezim. Karena substansi dari gerakan sosial di Kabupaten Kaimana adalah upaya menunjukan identitas dan pemerataan keadilan dari prespektif kultur masyarakat adat.

  Jika dirunut kronologis gerakan sosial di Kabupaten Kaimana, maka gerakan perlawanan yang menggunakan simbol adat memenuhi regulasi yang telah ditetapkan, misalnya: izin pihak keamanan. Tahapan memperoleh izin untuk melakukan demonstrasi massa merupakan tahapan pembuktian diri, bahwa gerakan demonstrasi massa atau gerakan perlawanan simbol adat adalah bagian dari hak konstitusi warga negara. Sejalan dengan hal tersebut, maka gerakan demonstrasi massa atau gerakan perlawanan simbol masyarakat adat di Kabupaten Kaimana tidak bisa disamakan dengan ―gerakan kolektif‖ yang terjadi pada saat Revolusi Prancis.

  

―waktu itu kami hanya disuruh untuk tanda tangan surat oleh

pace distrik, tetapi pace (bapak) distrik tidak kasih jelaskan kalau

untuk tolak kepala distrik yang baru, pace (bapak) distrik hanya

bilang karena para petugas tidak melaksanakan tugas di

kampung-kampung dengan baik jadi bapa dong tanda tangan

supaya bapak Bupati bisa perhatikan apa yang bapa-bapa

sampaikan‖.

  Ajakan ini menggambarkan ada upaya dari pihak pemerintah (kepala distrik) untuk mengajak masyarakat adat terlibat dalam pusaran masalah yang dia hadapinya, terkait dengan kebijakan mutasi terhadap yang bersangkutan. Konteks inilah yang menjadi substansi yang membedakan gerakan sosial di Prancis pada abad pencerahan dengan gerakan pelawanan sosial di Kabupaten Kaimana.

  Perbedaan Gerakan Revolusi Prancis dan Gerakan Perlawanan Simbol Adat di Kaibupaten Kaimana haruslah diukur dari indikator pemicu serta dampak yang ditimbulkan. Indikator pemicu Gerakan Revolusi Prancis, dipicu oleh sistem kepemimpinan Monarki (Kerajaan) yang dipimpin oleh raja yang berlaku tidak adil dalam mengatur kerajaan Prancis saat itu, seperti: ―kekuasaan raja tidak terbatas; kekuasaan raja tidak diatur dan tidak dibatasi oleh undang- undang; kekuasaan raja tidak diawasi oleh parlemen; raja menganggap dirinya sebagai wakil Tuhan sehingga tidak pernah salah; raja memerintah secara turun temurun; raja bertindak sewenang-wenang‖.

  ―gerakan kolektif‖ Revolusi Konteks ini menjadi wajah yang memicu Prancis.

  Konteks ini bisa saja terjadi, karena prilaku kolektif merupakan respon terhadap sebuah situasi yang tidak stabil secara spontan dan tidak terstruktur. Yang dimaksud dengan struktur sosial sangat berkaitan dengan peraturan, undang-undang, kebijakan pemerintah dan lembaga formal dan non formal, David Popenoe (1977:259). Karena itu, pemicu Gerakan Revormasi Prancis itu sendiri terjadi

  ―kekuasaan raja tidak diatur dan dalam konteks yang disebut dengan tidak dibatasi oleh undang-undang‖. Ketika kekuasaan raja tidak lagi terbatasi oleh undang-undang, ―masyarakat terdiri dari individu-individu yang maka menurut Blumer, memiliki kedirian sendiri-sendiri, sehingga ―tindakan kolektif‖ adalah tindakan yang didahului dari penafsiran pribadi atas situasi sosial yang mereka alami‖ (Irving Zetlin, 1995:332). Dalam konteks ini, sesungguhnya lembaga-lembaga sosial dalam kehadirannya, sudah harus memberi perhatian atas situasi sosial yang tidak seimbang (situasi yang memberi dampak keuntungan bagi penguasa sementara rakyat berada dalam situasi yang sangat menderita). Namun, dalam kenyataan tersebut lembaga-lembaga sosial tidak bisa berbuat banyak. Di sinilah letak titik lemah kehadiran sejumlah lembaga-lembaga sosial, Neil Smelser (1962), Donatella Della Porta dan Mario Diani (1999: 4).

  Mungkin saja kehadiran lembaga-lembaga sosial, keagamaan, mahasiswa tidak mampu berbuat banyak karena dampak tekanan penguasa, akan tetapi ―perilaku kolektif‖ tidak akan pernah berhenti, Ralph H. Tuner dan Lewis M.Killian (1972) dalam (Popenoe 1977:404). religious symbols

  Ibadah haji di antara kebijakan dan Kebijakan pemerintah untuk mengirim CJH asal Kaimana menunaikan rukun Islam ke lima merupakan program rutin pemerintah setiap tahun. Sejak berdirinya Kabupaten Kaimana tahun 2005, pemerintah daerah membuat kebijakan mengirim masyarakat Kaimana yang beragama Islam, Kristen, dan Katolik ke kota-kota suci, Mekah dan Yerusalem.

  Kebijakan yang mengantar manusia untuk memenuhi rukun Islam yang ke lima di tahun 2012, ternyata terbentur dengan masalah ketika tiba di Jakarta. Dari tiga puluh sembilan CJH yang diberangkatkan ke Mekah, hanya delapan belas CJH yang memiliki kelengkapan dokumen, dua puluh satu CJH lainnya tidak memiliki kelengkapan dokumen. Mereka lalu bersepakatan bersama untuk tidak melakukan perjalanan haji alias batal berangkat.

  Dari dilansir berita surat kabar Online Radar Sorong, Selasa 23 Oktober 2012 | 04:21 menjelaskan hal tersebut sebagai berikut:

  

―KAIMANA - Ratusan warga asli Kaimana melakukan aksi unjuk

rasa ke Kantor Bupati Kaimana, sekitar pukul 11.00 WIT siang

kemarin (22/10). Aksi itu dilakukan menyusul pembatalan

keberangkatan 39 calon jemaah haji asal Kaimana, yang

diprogramkan oleh pemerintah daerah selama dua tahun

anggaran dan dibiayai APBD tahun 2011 dan 2012. Saat ini, ke-

  

39 CJH asal Kaimana yang batal berangkat, masih berada di

Wisma Sayidah Inn, Kompleks Universitas Islam Negeri, Ciputat

Jakarta Selatan. Menurut rencana, mereka akan kembali ke

Kaimana, Rabu (24/10) mendatang. Ke-39 warga Kaimana batal

berangkat karena 18 calon jemaah haji tidak memiliki visa‖.

  Dari lansiran berita tersebut, ditemukan beberapa catatan penting, antara lain; bahwa program keberangkatan menunaikan ibadah haji yang diikuti oleh tiga puluh sembilan CJH merupakan bagian dari program tahun 2011 dan 2012, maka diperkirakan setiap tahun pemerintah Kabupaten Kaimana mengirim kurang lebih delapan belas hingga sembilan belas CJH, biaya perjalanan CJH bersumber dari APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah).

  Dari lansiran berita koran Rada Sorong, ditemukan titik lemah kebijakan yang berdampak pada gagal berangkat CJH ke tanah suci disebabkan pada masalah kelengkapan dokumen visa, itu berarti, titik lemah kebijakan tersebut sangat berkaitan dengan jaringan ANT yang digunakan oleh pemerintah Kabupaten Kimana. Kondisi ini tidak saja menggambarkan kegagalan sebuah kebijakan, melainkan terkesan jajaran birokrasi tidak memahami secara baik regulasi, baik dalam bentuk kebijakan maupun undang-undang ibadah haji. Keterkaitan

  ―kebijakan itu sendiri merupakan suatu arahan atau usulan dengan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah untuk digunakan mencapai tujuan‖... Carl Friedrik.

Dokumen yang terkait

Bab 2 Kajian Literatur - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Penerapan Sistem Budidaya Padi dengan Metode System Rice Intensification dalam Pertanian: Studi pada Rumah Tangga Petani Padi Sawah di Desa Ringgit Kecamatan N

0 0 16

Bab 3 Metodologi Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Penerapan Sistem Budidaya Padi dengan Metode System Rice Intensification dalam Pertanian: Studi pada Rumah Tangga Petani Padi Sawah di Desa Ringgit Kecama

0 1 6

Bab 4 Analisis Data dan Pembahasan - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Penerapan Sistem Budidaya Padi dengan Metode System Rice Intensification dalam Pertanian: Studi pada Rumah Tangga Petani Padi Sawah di Desa Ringgit

0 0 38

Bab 5 Penutup - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Penerapan Sistem Budidaya Padi dengan Metode System Rice Intensification dalam Pertanian: Studi pada Rumah Tangga Petani Padi Sawah di Desa Ringgit Kecamatan Ngombol Ka

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pariwisata Nusa Tenggara Timur: Potensi dan Dinamika

0 0 23

BAB I PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Resistensi Simbolik: Gerakan Perlawanan Simbol Adat terhadap Kebijakan Pemerintah Kabupaten Kaimana

0 0 22

BAB II GERAKAN PERLAWANAN SIMBOL ADAT SEBAGAI GERAKAN SOSIAL DALAM RANAH KEKUASAAN KEBIJAKAN PUBLIK - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Resistensi Simbolik: Gerakan Perlawanan Simbol Adat terhadap Kebijakan Pemerintah Kabupaten

0 1 63

BAB III MENGUMPUL POTONGAN CERITA SIMBOLIK DI NEGERI 1001 SENJA1 PENGGUNAAN METODE PENELITIAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Resistensi Simbolik: Gerakan Perlawanan Simbol Adat terhadap Kebijakan Pemerintah Kabupaten Kaima

0 1 23

BAB IV KESALAHAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN MEMENGARUHI ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Resistensi Simbolik: Gerakan Perlawanan Simbol Adat terhadap Kebijakan Pemerintah Kabupaten Kaimana

0 0 60

BAB V LAWAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN: MASYARAKAT PALANG KANTOR DAN INFRASTRUKTUR MILIK PEMERINTAH MENGGUNAKAN SIMBOL ADAT - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Resistensi Simbolik: Gerakan Perlawanan Simbol Adat terhadap Kebijakan

0 1 43