EFEKTIVITAS KOMITE AUDIT DAN MANAJEMEN LABA RIIL

EFEKTIVITAS KOMITE AUDIT………………………………………………………………………..…(Yuliani & Dewi)

EFEKTIVITAS KOMITE AUDIT DAN
MANAJEMEN LABA RIIL
Yuliani
Christine Novita Dewi
Fakultas Bisnis, Universitas Kristen Duta Wacana
ABSTRACT
This research is an empirical study of the audit committee effectiveness towards the company’s
tendency in conducting real earnings management. The purpose of this research is to obtain empirical
evidence the influence of educational background of the audit committee’s composition, diligence of
the audit committee, audit committee’s relationship with related parties towards company’s tendency
in conducting real earnings management through sales manipulation, excessive production and
reduction in discretionary cost. Sampling was done using purposive sampling method, which uses 117
data of manufacturing companies that are listed in BEI (Indonesia Stock Exchange) in the period of
2009 to 2012 that tend to conduct real earnings management. The independent variable used are the
educational background composition of the audit committee members, audit committee diligence is
proxied by the frequency of the audit committee internal meetings, and the audit committee
relationships with related parties are proxied by the frequency of the external audit committee
meeting, the results showed that the more fulfilled the composition of the audit committee competence,
the more numbers of internal and external meetings conducted by audit committee, the lower of

company tends to manage their earnings though real activities.
Keywords: real earnings management, internal meetings, audit committee’s compositions, external
meetings

ABSTRAK
Penelitian ini merupakan studi empiris efektivitas komite audit terhadap kecenderungan perusahaan
melakukan manajemen laba melalui aktivitas riil. Tujuan dari penelitian ini untuk mendapatkan bukti
empiris pengaruh dari komposisi latar belakang pendidikan komite audit, ketekunan komite audit,
dan hubungan komite audit dengan pihak terkait terhadap kecenderungan perusahaan melakukan
manajemen laba riil. Sampel diambil berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan dan didapatkan 117
data dari seluruh perusahaan manufaktur yang menjadi populasi pada periode tahun pengamatan
yaitu 2009 hingga 2012. Menggunakan variabel independen komposisi latar belakang pendidikan,
jumlah pertemuan internal komite audit sebagai proksi dari ketekunan komite audit, dan jumlah
pertemuan eksternal komite audit sebagai proksi dari hubungan komite audit dengan pihak terkait,
hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa semakin penuh komposisi latar belakang pendidikan
komite audit, dan semakin banyak jumlah pertemuan internal dan eksternal komite audit maka
semakin turun kecenderungan perusahaan mengelola labanya melalui aktivitas riil.
Kata Kunci: manajemen laba riil, pertemuan internal, komposisi komite audit, pertemuan eksterna

PENDAHULUAN

Laba biasanya menjadi perhatian utama
investor maupun kreditor ketika menilai atau
mengevaluasi kinerja manajemen suatu
perusahaan, sementara bagi manajemen
perusahaan, laba menjadi perhatian mana-

jemen
untuk
memenuhi
kepentingan
pencapaian target, menghindari kerugian, dan
mendapatkan kompensasi bonus. Salah satu
cara yang sering dilakukan manajemen dalam
penyusunan laporan keuangan adalah melalui
manajemen laba (earnings management).
Roychowdhury (2006) menjelaskan bahwa
manajemen laba dapat dilakukan melalui
157

JRAK, Volume 11, No 2 Agustus 2015


manajemen laba akrual dan manajemen laba
riil. Manajemen laba yang dilakukan dengan
discretionary accrual tidak memiliki pengaruh
terhadap arus kas secara langsung dan
dilakukan pada akhir periode, yaitu pada akhir
periode manajer menentukan berapa besar
manipulasi yang diperlukan agar target laba
tercapai. Berbeda dengan manajemen laba riil,
merupakan manipulasi yang dilakukan oleh
manajemen melalui aktivitas perusahaan
sehari-hari selama periode akuntansi, kegiatan
ini dimulai dari praktek operasional normal,
yang dimotivasi oleh manajer yang ingin
mencapai
tujuan
pribadinya
dengan
memberikan informasi yang menyesatkan
kepada para stakeholders-nya. Namun

dibandingkan dengan manajemen laba akrual
yang kemungkinan besar lebih menarik
perhatian auditor, manajemen laba riil yang
dilakukan selama periode akuntansi berjalan
dengan memanipulasi aktivitas-aktivitas riil
seperti penjualan, produksi yang berlebihan
dan biaya diskresioner dalam perusahaan,
lebih sulit dideteksi oleh auditor. Hal ini yang
menyebabkan
manajer mulai
memilih
manajemen laba riil dibandingkan manajemen
laba akrual untuk mengatur laba perusahaan.
Aktivitas manajemen laba riil sulit dibedakan
dengan keputusan bisnis optimal, meskipun
kos-kos yang digunakan dalam aktivitas
tersebut secara ekonomik signifikan bagi
perusahaan. Penelitian Gunny (2005) dan
Roychowdhury (2006) menemukan bahwa
pergeseran manajer melakukan manajemen

laba akrual ke manajemen laba riil adalah
pasca diterbitkannya Sarbanes-Oxley Act
(SOX).
Manajemen laba merupakan refleksi dari
perbedaan kepentingan yang melibatkan agen
(manajemen) dan prinsipal (pemilik modal).
Teori keagenan memberikan pandangan bahwa
masalah manajemen laba dapat diminimumkan
dengan pengawasan sendiri melalui corporate
governance. Penerapan corporate governance
yang baik diharapkan dapat menjadi
penghambat aktivitas manajemen laba
sehingga
laporan
keuangan
dapat
menggambarkan nilai fundamental perusahaan. Sesuai dengan peraturan yang
dikeluarkan oleh Bursa Efek Jakarta (BEJ)
pada tanggal 1 Juli 2001 tentang pembentukan
dewan komisaris independen dan komite audit,

mewajibkan perusahaan publik untuk memiliki
158

komite audit. Komite audit sedikitnya terdiri
dari 3 (tiga) orang, diketuai oleh seorang
komisaris independen perusahaan dengan 2
(dua) orang eksternal yang independen serta
mengusai dan memilik latar belakang
akuntansi, keuangan dan hukum. Komite audit
dibentuk oleh dewan komisaris/dewan
pengawas, yang bekerja secara kolektif dan
berfungsi
membantu
komisaris
dalam
melaksanakan tugasnya. Hal tersebut senada
dengan keputusan Ketua Bappepam Nomor:
KEP-41/PM/2003 yang menyatakan bahwa
komite audit adalah komite yang dibentuk oleh
dewan komisaris dalam rangka membantu

melaksanakan tugas dan fungsinya. Komite
audit bersifat independen baik dalam
pelaksanaan
tugasnya
maupun
dalam
pelaporan, dan bertanggung jawab langsung
kepada dewan komisaris.
Komite
audit
pada
umumnya
mempunyai tanggung jawab pada tiga bidang
(FGCI, 2002), yaitu: laporan keuangan, tata
kelola
perusahaan,
dan
pengawasan
perusahaan. Terkait bidang keuangan, komite
audit bertanggung jawab untuk memastikan

bahwa laporan keuangan yang disusun oleh
manajemen telah memberikan gambaran yang
sebenarnya tentang kondisi keuangan, hasil
usaha, rencana dan komitmen perusahaan
jangka panjang. Peran komite audit sangat
penting dalam memberikan informasi yang
benar kepada investor mengenai keadaan
perusahaan yang tercermin pada informasi
laba. Informasi laba yang dihasilkan pada
perusahaan yang memiliki komite audit yang
kompeten, kapabel dan tekun seharusnya akan
dapat lebih dipercaya oleh investor
dibandingkan informasi laba yang dihasilkan
oleh perusahaan yang memiliki komite audit
sebaliknya. Law (2011) dalam penelitiannya
menemukan bahwa komite audit yang efektif
berhubungan positif dengan menurunnya
terjadinya fraud pada perusahaan-perusaahaan
di Hongkong. Dewi dan Gudono (2013)
melakukan penelitian serupa pada perusahaan

BUMN
yang
mendapatkan
Laporan
Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu (PDTT)
dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),
menemukan adanya hubungan negatif antara
efektivitas komite audit dan terjadinya fraud di
BUMN, bahwa perusahaan yang memiliki
komite audit yang efektif, menurun potensi
terjadinya fraud.

EFEKTIVITAS KOMITE AUDIT………………………………………………………………………..…(Yuliani & Dewi)

Menurut Pedoman Good Corporate
Governance yang disusun oleh Task Force
komite audit yang dibentuk oleh Komite
Nasional
Kebijakan
good

corporate
governance, efektivitas komite audit dapat
dilihat dari beberapa kriteria diantaranya
bahwa suatu komite audit yang efektif
berkaitan dengan ukuran, independensi,
frekuensi pertemuan, dan kemampuan
penguasaan anggota di bidang akuntansi dan
keuangan. Dezoort et. al (2002) membangun
efektivitas komite audit melalui 4 (empat)
dimensi yaitu komposisi, otoritas, sumber daya
dan ketekunan komite audit. Namun tidak
sepenuhnya seperti yang dilakukan Dezoort,
penelitian ini hanya mengukur komposisi,
pertemuan, dan hubungan komite audit dengan
pihak
lain
terkait
lainnya
terhadap
kecenderungan perusahaan melakukan manajemen laba riil.

Komposisi latar belakang pendidikan
komite audit dalam penelitian ini mengacu
kepada kriteria yang dikeluarkan oleh
Bappepam yaitu latar belakang pendidikan
mencakup pengetahuan tentang keuangan,
akuntansi, dan hukum, kemudian seperti yang
dilakukan Dewi dan Gudono (2013), penulis
menambahkan latar belakang pendidikan akan
industri terkait untuk membangun komposisi
latar belakang pendidikan komite audit yang
efektif, bahwa diasumsikan komite audit yang
memiliki latar belakang sesuai dengan industri
perusahaan akan lebih aktif memberikan
perhatian yang serius ketika perusahaan
memiliki potensi melakukan manajemen laba
riil dan akan memfollow up dalam menanggapi
keadaan tersebut. Hal kedua yang membangun
efektivitas komite audit adalah ketekunan
komite audit dalam menjalankan tanggung
jawabnya (Dezoort et.al, 2002), hal ini dapat
dinilai dari frekuensi komite audit melakukan
pertemuan internal, dikuatkan apa yang
disampaikan
Komite
Nasional
Good
Corporate Governance (2002) bahwa komite
audit yang efektif biasanya melakukan
pertemuan minimal 4 kali dalam 1 tahun.
Ketika komite audit secara rutin melakukan
pertemuan, maka jika perusahaan dinilai
melakukan manajemen laba riil, anggota
komite audit akan lebih cepat mengetahuinya
dan lebih cepat pula dalam menentukan
langkah untuk menanggapi keadaan tersebut
untuk kebaikan perusahaan maupun pihak-

pihak terkait lainnya. Ketiga mengenai
hubungan komite audit dengan pihak-pihak
terkait seperti manajer, dewan komisaris,
auditor internal dan eksternal, apakah komite
audit mempunyai hubungan yang baik dengan
pihak-pihak yang dijembataninya, hal ini dapat
dinilai dari frekuensi komite audit melakukan
rapat dengan pihak-pihak terkait tersebut
sebagai salah satu indikator terjadi hubungan
baik antara komite audit dengan pihak-pihak
yang dijembataninya. Hampir sama dengan
ketekunan komite audit, jika komite audit
mempunyai hubungan yang baik dengan
pihak-pihak yang dijembataninya, maka
komite audit akan mendapatkan seluruh
informasi yang diperlukannya dengan cepat
termasuk kemungkinan manajemen melakukan
manajemen laba riil dan segera menentukan
langkah untuk menindaklanjutinya.
Pada penelitian sebelumnya (Dwi
Ratmono, 2010) meneliti bagaimana auditor
mendeteksi manajemen laba akrual dan
manajemen laba riil pada perusahaan yang
terdaftar di BEI pada tahun 2001-2008,
hasilnya bahwa auditor lebih mudah
mendeteksi manajemen laba berbasis akrual
dibandingkan manajemen laba pada aktivitas
rill. Oleh karena itu penulis menilai perlunya
mengetahui pula bagaimana peran komite
audit terhadap manajemen laba riil, sehingga
beranggapan bahwa seharusnya semakin
efektif komite audit, yang ditunjukkan dengan
semakin terpenuhinya komposisi latar
belakang pendidikan komite audit dan semakin
sering pertemuan internal dan eksternal
dilakukan, maka semakin turun kecendurungan perusahaan melakukan manajemen
laba riil. Efektivitas komite audit pada
penelitian ini akan diproksikan dengan
variabel komposisi latar belakang pendidikan
komite audit, ketekunan komite audit, dan
hubungan komite audit dengan pihak terkait.
Manajemen laba riil dalam penelitian ini akan
diproksikan dengan variabel abnormal CFO,
abnormal discretionary expenses, dan
abnormal production costs yang masingmasing dihitung dengan pendekatan yang
digunakan Roychowdhury (2006).

KAJIAN LITERATUR
Teori Keagenan (Agency Theory)

159

JRAK, Volume 11, No 2 Agustus 2015

Teori keagenan mendefinisikan hubungan
keagenan sebagai suatu kerja sama dimana
satu atau lebih principal menggunakan orang
lain atau agent untuk menjalankan aktivitas
perusahaan. Principal adalah pemegang
saham/ pemilik/ investor, sedangkan agent
adalah manajer atau manajemen yang
mengelola perusahaan. Principal menyediakan
fasilitas dan dana untuk kebutuhan operasi
perusahaan, sedangkan agent berkewajiban
mengelola
perusahaan
dengan
tujuan
meningkatkan kemakmuran pemilik atau laba
perusahaan. Konflik keagenan terjadi karena
adanya perbedaan kepentingan, principal ingin
memperoleh laba besar sedangkan agent
tertarik untuk menerima kompensasi keuangan
sehingga agent sering mengambil keputusan
tidak dalam kepentingan terbaik principal.
Maka jika tidak adanya prosedur pengawasan
yang efektif, manajemen kemungkinan akan
melakukan penyimpangan yang merugikan
pemegang
saham,
misalnya
dengan
memperlihatkan beberapa kondisi perusahaan
seolah-olah mencapai target, sehingga
pemegang
saham
merasa
manajemen
melakukan kegiatan dengan baik dan
menghasilkan laba. Tugas komite audit untuk
menganalisis kebijakan akuntansi yang
diterapkan
oleh
perusahaan,
menilai
pengendalian internal, menganalisis sistem
pelaporan eksternal dan kepatuhan terhadap
peraturan. Di dalam pelaksanaan tugasnya
komite menjadi jembatan formal antara dewan,
manajemen, auditor eksternal, dan auditor
internal. Dengan adanya komunikasi yang
efektif dan efisien tersebut komite audit dapat
berperan menyelesaikan konflik antara
principal dan agent serta untuk menjaga
kinerja yang lebih baik.
Manajemen Laba
Scott (2003) mendefinisikan manajemen laba
sebagai berikut,
“Given that managers can choose
accounting policies from a set (for
example, GAAP), it is natural to expect
that they will choose policies so as to
maximize their own utility and/or the
market value of the firm”.
Manajemen
manajemen
160

laba
merupakan
untuk
memilih

tindakan
kebijakan

akuntansi dari standar akuntansi yang ada
dengan tujuan memaksimalkan kesejahteraan
manajemen dan nilai pasar perusahaan. Scott
(2003) membagi cara pemahaman atas
manajemen laba menjadi dua. Pertama,
melihatnya sebagai perilaku oportunistik
manajer untuk
memaksimalkan kesejahteraannya
dalam
menghadapi
kontrak
kompensasi, kontak utang, dan political costs
(opportunistic earnings management). Kedua,
melihatnya dari perspektif efficient contracting
(efficient earnings management), yaitu
manajemen laba memberikan manajer suatu
fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan
perusahaan dalam mengantisipasi kejadiankejadian yang tak terduga untuk keuntungan
pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak.
Dengan demikian, manajer dapat mempengaruhi nilai pasar saham perusahaannya
melalui manajemen laba.
Para praktisi menilai manajemen laba
sebagai sebuah kecurangan, sementara
akademisi menilai manajemen laba bukan
sebuah kecurangan, namun kedua belah pihak
bersepakat bahwa manajemen laba merupakan
upaya untuk mnegubah, menyembunyikan,
dan atau menunda informasi keuangan.
Manajemen laba terjadi karena didorong oleh
beberapa motivasi, ada beberapa faktor yang
dapat memotivasi manajer melakukan
manajemen laba, diantaranya: bonus scheme
(rencana bonus), debt covenant (kontrak utang
jangka panjang), political motivations
(motivasi politik), taxation motivations
(motivasi perpajakan), pergantian CEO (Chief
Executive Officer), dan Initial Public Offering
(penawaran saham perdana). Selain motivasi
yang membuat manajer tertarik melakukan
manajemen laba, adanya kesempatan bagi
manajemen melakukan manajemen laba juga
akan mendorong terjadinya manajemen laba,
kesempatan tersebut dapat muncul karena: 1)
Adanya kelemahan inheren dalam akuntansi
itu sendiri. Metode akuntansi memberikan
peluang bagi manajemen untuk mencatat suatu
fakta dengan cara yang berbeda. Misalnya
mengubah metode depresiasi aktiva tetap dari
metode depresiasi angka tahun ke metode
depresiasi garis lurus. 2) Informasi asimetri
antara manajer dengan pihak luar. Manajer
relatif memiliki lebih banyak informasi
dibandingkan dengan pihak luar (termasuk
investor). Mustahil bagi pihak luar untuk dapat

EFEKTIVITAS KOMITE AUDIT………………………………………………………………………..…(Yuliani & Dewi)

mengawasi semua perilaku
keputusan manajer secara rinci.

dan

semua

Manajemen Laba Riil
Ada beberapa cara yang dilakukan
manajemen dalam melakukan manajemen
laba, antara lain melalui laba akrual dan
manajemen laba riil. Manajemen laba riil
merupakan manipulasi yang dilakukan oleh
manajemen melalui aktivitas perusahaan
sehari-hari selama periode akuntansi. Kegiatan
manajemen laba riil dimulai dari praktek
operasional normal, yang dimotivasi oleh
manajer yang berkeinginan untuk mengelabui
bahkan menyesatkan stakeholder yang ingin
mengetahui kinerja dan kondisi perusahaan.
Motivasi utama atas manipulasi aktivitas riil
adalah waktu (timing) manajemen laba.
Manajemen laba riil dapat dilakukan kapan
saja sepanjang periode akuntansi dengan
tujuan spesifik, yaitu memenuhi target laba
tertentu, menghindari kerugian, dan mencapai
target ramalan analis. Selain itu, manajemen
laba riil sulit untuk dideteksi oleh auditor.
Menurut
Roychowdhury
(2006)
pergeseran manajemen laba dari manajemen
laba akrual ke manajemen laba riil yang
dilakukan manajer didasari oleh beberapa
faktor. Pertama, manajemen laba akrual
kemungkinan besar lebih menarik perhatian
auditor dan regulator dibanding dengan
keputusan-keputusan riil, seperti yang
dihubungkan dengan penetapan harga dan
produksi. Kedua, manajer yang mengandalkan
pada manajemen laba akrual saja akan berisiko
jika target laba yang diinginkan tidak dapat
tercapai
walaupun
telah
melakukan
manajemen laba akrual, sedangkan manajemen
laba riil dapat terjadi sepanjang periode
akuntansi
berjalan
melalui
aktivitas
perusahaan sehari-hari, tanpa menunggu akhir
periode, sehingga manajer akan mudah untuk
mencapai target laba yang diinginkan. Sama
halnya dengan yang dilakukan oleh
Roychowdhury, untuk mendeteksi tindakan
manipulasi aktivitas riil yang dilakukan oleh
perusahaan, penelitian ini menggunakan model
Dechow et al. (1998) dengan tiga metode
manipulasi yaitu manipulasi penjualan,
produksi yang berlebihan dan pengurangan
biaya diskresioner.

Manipulasi Melalui Aktivitas Penjualan
Manajemen laba melalui aktivitas
penjualan penjualan berkaitan dengan usaha
manajer untuk meningkatkan penjualan selama
periode akuntansi dengan tujuan meningkatkan
laba untuk mencapai target laba. Tindakan
yang dapat dilakukan manajer untuk
menambah atau mempercepat penjualan yaitu
dengan menawarkan diskon yang berlebihan
dan menawarkan persyaratan kredit yang lebih
lunak. Pemberian diskon yang berlebihan akan
meningkatkan volume penjualan sehingga
dapat mencapai target laba jangka pendek dan
kinerjanya kelihatan baik serta manajer dapat
menerima bonus. Akan tetapi, laba tahun
sekarang yang meningkat mempunyai dampak
negatif terhadap aliran kas masa depan. Hal
tersebut terjadi karena margin yang lebih
rendah serta menyebabkan biaya produksi
menjadi lebih tinggi daripada aktivitas normal.
Cara lain untuk meningkatkan penjualan
yaitu dengan menawarkan persyaratan kredit
yang lebih lunak. Volume penjualan yang
meningkat menyebabkan laba tahunan berjalan
tinggi namun arus kas masuk lebih kecil dan
biaya produksi lebih tinggi dari penjualan
normal akibat penjualan kredit dan potongan
harga.
Manajemen Laba Melalui Aktivitas Over
Produksi
Overproduction
merupakan
teknik
manajemen laba dengan memproduksi besarbesaran. Manajer memproduksi barang lebih
besar daripada yang dibutuhkan agar mencapai
permintaan yang diharapkan perusahaaan. Hal
ini biasa dilakukan oleh manajer perusahaan
manufaktur. Produksi dalam skala besar
menyebabkan biaya overhead tetap dibagi
dengan jumlah unit barang yang besar
sehingga rata-rata biaya per unit dan harga
pokok penjualan menurun. Penurunan harga
pokok per unit barang yang diproduksi besarbesaran mempunyai dampak pelaporan margin
operasi yang lebih tinggi dan arus kas kegiatan
operasi yang lebih rendah daripada tingkat
penjualan normal.
Manajemen Laba Melalui Aktivitas
Pengurangan Biaya Diskresioner

161

JRAK, Volume 11, No 2 Agustus 2015

Biaya diskresioner merupakan biayabiaya yang tidak mempunyai dampak yang
akurat dengan output dan merupakan biaya
yang outputnya tidak dapat diukur secara
moneter. Biaya diskresioner terdiri dari biaya
iklan, biaya riset dan pengembangan, biaya
penjualan, serta biaya administrasi dan umum.
Perusahaan dapat mengurangi biaya diskresioner yang dilaporkan untuk meningkatkan
laba. Jika manajer mengurangi biaya
diskresioner untuk mencapai target laba, maka
menyebabkan jumlah biaya diskresioner yang
lebih rendah. Apabila pengeluaran biaya
diskresioner dalam bentuk kas, maka
pengurangan biaya-biaya tersebut akan
berdampak pada arus kas keluar sehingga
berdampak positif pada arus kas operasi
abnormal periode tersebut dan kemungkinan
menyebabkan arus kas yang lebih rendah pada
periode berikutnya (Roychowdhury, 2006).
Komite Audit
Menurut Komite Nasional Kebijakan
Corporate Governance (KNKG) pengertian
Komite Audit adalah: “Suatu komite yang
beranggotakan satu atau lebih anggota Dewan
Komisaris dan dapat meminta kalangan luar
dengan berbagai keahlian, pengalaman, dan
kualitas lain yang dibutuhkan untuk mencapai
tujuan Komite Audit”. Bapepam (sekarang
Otoritas Jasa Keuangan/OJK) mengeluarkan
Keputusan ketua Bapepam No. Kep411PM/2003
yang
mengatur
tentang
pembentukan dan pedoman pelaksanaan kerja
komite audit. Kemudian, peraturan tersebut
direvisi dengan dikeluarkannya keputusan
ketua Bapepam No. Kep-29/PM/2004 pada
tanggal 24 September 2004 tentang pembentukan dan pedoman pelaksanaan kerja komite
audit. Peraturan tersebut mengatur tentang
kriteria khusus bagi seseorang yang akan
menjabat sebagai ketua maupun anggota
komite audit, tugas dan tanggung jawab
komite audit.
Definisi komite audit sesuai dengan
keputusan Bursa Efek Indonesia melalui
Kep.Direksi BEJ No. Kep-315/BEJ/06/2000
menyatakan komite audit adalah komite yang
dibentuk oleh dewan komisaris perusahaan,
yang anggotanya diangkat dan diberhentikan
oleh dewan komisaris, yang bertugas
membantu melakukan pemeriksaan atau
162

penelitian yang dianggap perlu terhadap
pelaksanaan fungsi direksi dalam pengelolaan
perusahaan.
Tugas, Wewenang, Dan Tanggung Jawab
Komite Audit
Menurut Ikatan Komite Akuntan
Indonesia (IKAI), tugas utama dari komite
audit adalah membantu Dewan Komisaris
dalam melakukan fungsi pengawasan atas
kinerja perusahaan, seperti mereview sistem
pengendalian intern perusahaan, memastikan
kualitas laporan keuangan, dan meningkatkan
efektivitas fungsi audit. Dalam Forum for
Corporate Governance in Indonesia (FCGI)
menyatakan ada tiga tanggung jawab komite
audit kepada dewan komisaris, yaitu: 1)
Laporan Keuangan (Financial Reporting) .
Dalam hal pelaporan keuangan, tanggung
jawab komite audit adalah untuk memastikan
kualitas laporan keuangan yang dibuat oleh
manajemen telah memberikan gambaran yang
sebenarnya meliputi kondisi keuangan, hasil
usaha, dan rencana serta komitmen jangka
panjang perusahaan. 2) Tata Kelola
Perusahaan (Corporate Governance). Dalam
bidang corporate governance, tanggung jawab
komite audit adalah untuk memastikan
perusahaan dengan beretika dan sesuai
undang-undang dan peraturan yang berlaku,
melaksanakan pengawasan secara efektif
terhadap perbedaan kepentingan yang terjadi
dalam perusahaan maupun terhadap kecurangan yang dilakukan oleh karyawan
perusahaan. 3) Pengawasan Perusahaan
(Corporate Control). Dalam bidang Corporate
Control, Tanggung jawab komite audit adalah
untuk pengawasan perusahaan terhadap
kesiapan dan pemahaman perusahaan akan
hal-hal yang berpotensi mengandung risiko
serta sistem pengendaliannya dan memonitor
proses pengawasan yang dilakukan oleh
auditor internal.
Selain tiga tanggung jawab yang
dijelaskan diatas, komite audit memiliki
wewenang meliputi: 1) menyelidiki semua
aktivitas dalam batas ruang lingkup tugasnya,
2) mencari informasi yang relevan dari setiap
karyawan, 3) mengusahakan saran hukum dan
saran profesional lainnya yang independen
apabila dipandang perlu, dan 4) mengundang
kehadiran pihak luar dengan pengalaman yang

EFEKTIVITAS KOMITE AUDIT………………………………………………………………………..…(Yuliani & Dewi)

sesuai apabila dianggap perlu. Kewenangan
komite audit dibatasi oleh fungsi komite yang
hanya sebagai alat bantu bagi dewan
komisaris, sehingga tidak memiliki otoritas
eksekusi apapun dan hanya bisa sebatas
memberikan rekomendasi kepada dewan
komisaris, kecuali untuk hal yang telah
memperoleh hak kuasa dari dewan komisaris,
seperti mengevaluasi dan menentukan auditor
eksternal, atau memimpin suatu investigasi
khusus.
Efektivitas Komite Audit
Efektivitas merupakan suatu ukuran yang
memberikan gambaran seberapa jauh target
dapat tercapai, efektivitas lebih berorientasi
kepada output sehingga dapat disimpulkan
target perusahaan adalah mendapatkan
keuntungan yang maksimal tanpa adanya
kesulitan keuangan yang dialami oleh
perusahaan tersebut. Oleh karena itu ukuran
komite audit yang sesuai dengan aturan Bursa
Efek Indonesia, adanya anggota independen
dalam komite audit, frekuensi pertemuan yang
sesuai dengan situasi dan kondisi perusahaan
(minimal 4 kali pertemuan) dan pengetahuan
keuangan dari salah satu atau lebih anggota
komite audit merupakan penentu dari
keefektivitasan suatu komite audit.
Dezoort et al. (2002) berpendapat bahwa
komite audit yang efektif ditentukan dua sisi,
yaitu sisi input merupakan komposisi
kualifikasi, kewenangan dan jumlah sumber
daya, serta dari sisi proses yaitu harus
memiliki etos kerja yang tinggi. Dari input dan
proses tersebut diharapkan komite audit dapat
bekerja efektif sehingga mampu menghasilkan
output berupa laporan keuangan, pengendalian
internal dan manajemen risiko yang bisa
dipercaya.

PENGEMBANBANGAN HIPOTESIS
Komposisi Latar Belakang Pendidikan
Komite Audit
Kompetensi adalah kemampuan yang
harus dimiliki mengenai pemahaman yang
memadai tentang akuntansi, audit dan sistem
yang berlaku dalam perusahaan. Kompetensi
menunjukkan terdapatnya pencapaian dan
pemeliharaan suatu tingkatan pemahaman dan

pengetahuan yang memungkinkan seorang
anggota komite audit untuk melaksanakan
tugas dengan baik. Anggota komite audit harus
mampu dan mengerti serta dapat menganalisis
laporan keuangan. Wardhani dan Joseph
(2010) dalam penelitiannya membuktikan
bahwa komite audit yang memiliki latar
belakang akuntansi dan keuangan berpengaruh
negatif terhadap manajemen laba akrual.
Kompetensi komite audit diwujudkan oleh
keahlian keuangan yang dimiliki anggota
komite yang diargumentasikan lahir dari latar
belakang pendidikan komite audit. Anggota
komite audit disyaratkan independen dan
sekurang-kurangnya ada satu orang yang
memiliki keahlian di bidang akuntansi atau
keuangan, hukum dan industri terkait (Dewi
dan Gudono, 2013).
Pengetahuan dalam akuntansi dan
keuangan memberikan dasar yang baik bagi
anggota komite audit untuk memeriksa dan
menganalisis informasi keuangan. Latar
belakang pendidikan menjadi ciri penting
untuk memastikan komite audit dapat
melaksanakan peran mereka secara efektif.
Komite audit dengan anggota yang memiliki
latar belakang pendidikan di bidang akuntansi
dan keuangan diharapkan akan menjadi lebih
efektif, demikian juga anggota yang memiliki
latar belakang pendidikan di bidang hukum
diharapkan dapat memberikan saran yang tepat
dan sesuai kepada perusahaan mengenai halhal yang menyangkut regulasi dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Keberadaan personal yang memenuhi syarat sebagai
anggota komite audit diharapkan dapat
mengadopsi standar akuntabilitas dan tingkat
prestasi yang tinggi, dapat menyediakan
bantuan dalam peran mengontrol dan
pengawasan, dan berusaha keras untuk citra
dan kinerja perusahaan yang lebih baik
sehingga komite audit dengan kompetensi
yang baik dapat mengurangi jumlah
perusahaan yang melakukan manajemen laba
riil.
H1: Komposisi latar belakang pendidikan
komite audit berpengaruh negatif
terhadap kecenderungan perusahaan
melakukan manajemen laba riil
Pertemuan Komite Audit
Faktor lain yang mempengaruhi
efektivitas komite audit adalah pertemuan
163

JRAK, Volume 11, No 2 Agustus 2015

formal dan informal. Pertemuan formal komite
audit merupakan hal penting bagi kesuksesan
komite audit dalam menjalankan tugasnya.
Menurut FCGI (2002) dalam setiap audit
committee charter yang dimiliki oleh masingmasing anggota, komite audit akan
mengadakan pertemuan untuk rapat secara
periodik dan dapat mengadakan rapat
tambahan atau rapat-rapat khusus bila
diperlukan. Komite Nasional Good Corporate
Governance (2002), mensyaratkan komite
audit perlu untuk mengadakan pertemuan
minimal empat kali dalam satu tahun untuk
melaksanakan kewajiban dan tanggung
jawabnya. Komite audit juga dapat
mengadakan pertemuan eksekutif dengan
pihak-pihak luar keanggotaan komite audit
yang diundang sesuai dengan keperluan atau
secara periodik. Pihak-pihak luar tersebut
antara lain komisaris, manajemen senior,
kepala auditor internal dan kepala auditor
eksternal. Hasil rapat komite audit dituangkan
dalam risalah rapat yang ditandatangani oleh
semua anggota komite audit. Apabila komite
audit menemukan hal-hal yang diperkirakan
dapat mengganggu kegiatan perusahaan,
komite audit wajib menyampaikannya kepada
dewan komisaris selambat lambatnya sepuluh
hari kerja.
Dalam laporan komite audit kepada
dewan komisaris, komite audit memberikan
kesimpulan dari diskusi dengan auditor
eksternal tentang temuan mereka yang
berhubungan dengan peninjuan tengah tahun
dan laporan keuangan tahunan, rekomendasi
atas pengangkatan auditor eksternal dan setiap
masalah pengunduran diri, penggantian dan
pemberhentian perikatannya, kesimpulan
tentang nilai fungsi audit internal dan
tanggapan atas penemuan audit internal, serta
kesimpulan atas kinerja sistem kontrol
internal. Frekuensi dan isi pertemuan
tergantung pada tugas dan tanggung jawab
yang diberikan kepada komite audit. Jumlah
pertemuan dapat ditentukan berdasarkan
ukuran perusahaan dan besarnya tugas yang
diberikan kepada komite audit. Namun, pada
umumnya komite audit bersidang tiga sampai
empat kali dalam setahun yaitu sebelum
laporan keuangan dikeluarkan, sesudah
pelaksanaan audit dan sesudah laporan
keuangan dikeluarkan, serta sebelum RUPS
tahunan.
164

Ketekunan komite audit pada penelitian
ini dapat dilihat dari frekuensi pertemuan
komite audit. Komite audit dalam melakukan
tanggung jawab pengawasan atas proses
pelaporan keuangan dan pengendalian internal
membutuhkan
pertemuan
yang
rutin.
Pertemuan yang teratur dan terkendali dengan
baik akan membantu komite audit dalam
memeriksa akuntansi berkaitan dengan sistem
pengendalian internal, dan untuk menjaga
informasi dari manajemen selalu diketahui
oleh anggota komite audit. Forum for
Corporate Governance in Indonesia (FCGI,
2002) mewajibkan komite audit untuk
mengadakan pertemuan tiga sampai empat kali
dalam satu tahun. Frekuensi pertemuan
tersebut
harus
jelas
terstruktur
dan
dikendalikan dengan baik oleh ketua komite.
Komite audit yang melakukan pertemuan yang
rutin akan menjalankan fungsi pengawasan
dan pemantauan yang lebih efektif dibanding
komite audit yang tidak rutin melakukan
pertemuan.
Dengan melakukan pertemuan secara
periodik, komite audit dapat lebih cepat dalam
mencegah dan mengurangi kemungkinan
terjadinya kesalahan dalam pembuatan
keputusan dalam hal ini melakukan
manajemen laba riil oleh manajemen karena
informasi yang terdapat pada perusahaan juga
akan rutin diketahui oleh komite audit,
sehingga setiap permasalahan dapat cepat
didiskusikan dan akhirnya akan cepat juga
untuk
memberikan
masukan
kepada
manajemen perusahaan atau pihak ekternal
lainnya yang bersangkutan.
H2: Frekuensi pertemuan internal komite audit
berpengaruh negatif terhadap kecenderungan perusahaan melakukan manajemen laba riil
Komite audit selain perlu melakukan
pertemuan internal dengan anggota komite
audit juga dinilai perlu rutin melakukan
pertemuan dengan pihak ekternal dalam
melakukan tanggung jawab pengawasan atas
proses pelaporan keuangan dan pengendalian
internal. Pihak eksternal yang dimaksud adalah
pihak diluar anggota komite audit yang
berhubungan dengan tanggunggjawab komite
audit, seperti dewan komisaris, manajemen
perusahaan, auditor internal, auditor eksternal
dan investor mengingat bahwa komite audit

EFEKTIVITAS KOMITE AUDIT………………………………………………………………………..…(Yuliani & Dewi)

juga berperan sebagai jembatan antara pihak
perusahaan dengan pihak diluar perusahaan
yaitu auditor eksternal dan investor.
Pertemuan yang teratur dan terkendali
dengan baik akan membantu komite audit
untuk mendapatkan setiap informasi penting
sekecil apapun tentang keadaan perusahaan,
serta dengan cepat dapat menyampaikan
informasi ataupun saran yang profesional
terhadap pihak luar komite audit yang
bersangkutan dengan masalah tersebut. Dalam
hal ini ketika didapati bahwa besar
kemungkinan manajemen melakukan manajemen laba riil, komite audit dapat dengan
cepat mengetahuinya dari pertemuan dengan
auditor inter dan eksternal, kemudian dapat
dengan cepat memberikan masukan kepada
manajemen, dan laporan kepada dewan
komisaris.
H3: Frekuensi pertemuan eksternal komite
audit berpengaruh negatif terhadap
kecenderungan perusahaan melakukan
manajemen laba riil

METODA PENELITIAN
Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah laporan keuangan dan laporan tahunan
yang diperoleh dari situs Bursa Efek Indonesia
www.idx.co.id, dan Indonesian Capital Market
Directory (ICMD). Populasi yang digunakan
pada penelitian ini adalah seluruh perusahaan
manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia periode tahun 2009 hingga 2012.
Menggunakan data laporan keuangan dan
annual report, sampel diambil dengan metode
purposive sampling yaitu dengan kriteria
sebagai berikut:
1. Memiliki laporan keuangan yang lengkap
untuk menghitung manajemen laba riil
periode tahun 2009 – 2012
2. Memiliki data latar belakang pendidikan
anggota komite audit
3. Memiliki data pertemuan komite audit baik
dengan pihak internal maupun eksternal
Setelah melalui kriteria pemilihan sampel
diatas, terkumpul 171 data yang menjadi
sampel untuk diuji dalam penelitian ini.
Variabel Terikat

Variabel terikat dalam penelitian ini
adalah manajemen laba riil yang dilakukan
oleh perusahaan. Penelitian ini mendefinisikan
perusahaan publik di Indonesia, gemar
melakukan manajemen laba riil karena sistem
perlindungan konsumen yang masih lemah
(Leuz et al., 2003) yaitu menggunakan analisis
abnormal CFO, abnormal discretionary
expenses, dan abnormal production costs yang
masing-masing dihitung dengan pendekatan
yang digunakan Roychowdhury (2006). Nilai
abnormal dari ketiga proksi tersebut
didapatkan dengan cara mengurangi nilai
aktual dengan nilai normalnya. Nilai normal
ditentukan dengan menggunakan nilai rata-rata
masing-masing proksi untuk setiap perusahaan
selama periode penelitian.
Abnormal CFO (Aliran kas operasi
abnormal-AKOABN)
Abnormal cash flow dari aktivitas operasi
dihitung dengan menggunakan rumus sebagai
berikut:
CFOt/At-1 = α0 + α1(1/At-1) + β1(St/At-1) +
β2(∆St/At-1) + єt
Keterangan:
CFOt/At-1
: arus kas kegiatan operasi
pada tahun t yang diskala dengan total aset
pada tahun t-1
α1(1/At-1) : intersep yang diskala dengan total
aset pada tahun t-1 dengan tujuan
supaya arus kas kegiatan operasi
tidak memiliki nilai 0 ketika
penjualan dan lag penjualan
bernilai 0
St/At-1
: penjualan pada tahun t yang
diskala dengan total aset pada
tahun t-1
∆St/At-1 : penjualan pada tahun t dikurangi
penjualan pada tahun t-1 yang diskala
dengan total aset pada tahun t-1
α0
: konstanta
єt
: error term pada tahun t. regression
residual (proksi abnormal CFO)

Abnormal Production Costs (Kos produksi
abnormal-KPABN)
Abnormal dari kos produksi dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
PRODt/At-1 = α0 + α1(1/At-1) + β1(St/At-1) +
β2(∆St/At-1) + β3(∆St-1/At-1) + єt
165

JRAK, Volume 11, No 2 Agustus 2015

Keterangan:
PRODt/At-1 : biaya produksi pada tahun t
yang diskala dengan total aset
pada tahun t-1, dimana PRODt
= COGSt + ∆INVt
α(1/At-1)
: intersep yang diskala dengan
total aset pada tahun t-1 dengan
tujuan supaya nilai biaya
produksi tidak memiliki nilai 0
ketika penjualan dan lag
penjualan bernilai 0
St/At-1
: penjualan pada tahun t yang
diskala dengan total aset pada
tahun t-1
∆St/At-1
: penjualan pada tahun t dikurangi
penjualan pada tahun t-1 yang
diskala dengan total aset pada
tahun t-1
∆St-1/At-1 : perubahan penjualan pada tahun
t-1 yang diskala dengan total
aset pada tahun t-1
α0
: konstanta
єt
: error term pada tahun t.
regression residual (proksi
abnormal production costs)
Abnormal Discretionary Expenses
(Pengeluaran diskresioner abnormalPDABN)
Abnormal dari pengeluaran diskresioner
dihitung dengan menggunakan rumus sebagai
berikut:
DISEXPt/At-1 = α0 + α1(1/At-1) + β(St-1/At-1) +
єt
Keterangan:
DISEXPt/At-1 : biaya diskresioner pada tahun
t yang diskala dengan total
166sset tahun t-1
α(1/At-1)
: intersep yang diskala dengan
total aset pada tahun t-1
dengan tujuan supaya biaya
diskresioner tidak memiliki
nilai 0 ketika penjualan dan
lag penjualan bernilai 0
St-1/At-1
: penjualan pada tahun t-1
yang diskala dengan total
aset pada tahun t-1
Α0
: konstanta
єt
: error term pada tahun
t.regression residual (proksi

166

abnormal
Expenses)

Discretionary

Manajemen Laba Riil (MLR)
Sebagai proksi keseluruhan dari
manajemen laba riil maka Abnormal CFO
(AKOABN), Abnormal Production Costs
(KPABN), dan Abnormal Discretionary
Expenses (PDABN) dijumlahkan untuk
mendapatkan nilai total dari manajemen laba
riil. Untuk menyamakan arahnya maka biaya
produksi abnormal dikalikan dengan minus
satu (-1) sebelum dijumlahkan. Variabel hasil
penambahan proksi manajemen laba riil
tersebut diberi nama MLR.
MLR = AKOABN + (KPABN x -1) +
PDABN
Variabel Bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini
adalah komposisi latar belakang pendidikan
komite audit, frekuensi pertemuan internal
komite audit (ketekunan komite audit), dan
frekuensi pertemuan eksternal komite audit
(hubungan komite audit dengan pihak terkait).
Komposisi Latar Belakang Pendidikan
Komite Audit (Kom-Ka)
Sesuai
dengan
ketentuan
yang
diwajibkan oleh IKAI, peraturan Bapepam
tahun 2004, dan penelitian yang dilakukan
Dewi dan Gudono (2013) bahwa komposisi
komite audit yang diprediksi mampu
membentuk komite audit yang efektif salah
satunya ditentukan dengan latar belakang
pendidikan yang telah dirumuskan sebagai
berikut: 1) Komite Audit dengan anggota
memiliki hanya satu latar belakang pendidikan
diberikan skor 1; 2) Komite Audit dengan
anggota memiliki dua latar belakang
pendidikan diberikan skor 2; 3) Komite Audit
dengan anggota memiliki tiga latar belakang
pendidikan diberikan skor 3
Frekuensi Pertemuan
Audit (Frek-I)

Internal

Komite

Variabel ketekunan komite audit dalam
penelitian ini akan dilihat dari frekuensi
komite audit melakukan pertemuan secara

EFEKTIVITAS KOMITE AUDIT………………………………………………………………………..…(Yuliani & Dewi)

internal dalam jangka satu tahun. Pedoman
FCGI (2002) menyatakan bahwa komite audit
harus mengadakan pertemuan paling sedikit
setiap tiga bulan atau minimal empat kali
pertemuan dalam satu tahun. Frekuensi
pertemuan komite audit dalam penelitian ini
diukur dengan frekuensi rapat komite audit
sebagaimana dilaporkan dalam laporan
tahunan, jika tertulis rutin maka penulis
mengasumsikan komite audit melakukan
pertemuan sebanyak empat kali dalam setahun.
Frekuensi Pertemuan Eksternal Komite
Audit (Frek-E)
Menurut Komite Nasional Good
Corporate Governance (2002), selain komite
audit
melakukan
pertemuan
untuk
melaksanakan kewajiban dan tanggung
jawabnya komite audit juga dapat mengadakan
pertemuan eksekutif dengan pihak-pihak luar
keanggotaan komite audit yang diundang
sesuai dengan keperluan atau secara periodik.
Pihak-pihak luar tersebut antara lain komisaris,
manajemen senior, kepala auditor internal, dan
kepala auditor eksternal. Hal tersebut
dilakukan agar informasi untuk komite audit
dapat diperoleh dengan baik dan laporan
komite audit juga dapat diberikan dengan
cepat demi kepentingan perusahaan. Frekuensi
pertemuan komite audit dengan pihak terkait
dalam penelitian ini diukur sesuai dengan
frekuensi rapat komite audit dengan pihak

terkait tersebut sebagaimana dilaporkan dalam
laporan tahunan.
Model Penelitian
Hubungan antara manajemen laba riil dan
efektivitas komite audit dinyatakan dalam
model regresi sebagai berikut:
MLR = β0+β1(KOM-KA)+β2(FREKI)+β3(FREK-E)+ε

Keterangan:
MLR
: Manajemen Laba Riil
KOM-KA
: Komposisi Latar Belakang
Pendidikan Komite Audit
FREK-I
: Frekuensi Pertemuan Internal
FREK-E
: Frekuensi Pertemuan
Eksterna

HASIL PENELITIAN
Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif menunjukkan nilai
minimun, maksimum, rata-rata (mean), dan
deviasi standar terhadap variabel. Penelitian
ini menggunakan variabel antara lain
komposisi latar belakang pendidikan komite
audit, pertemuan internal dan eksternal komite
audit, dan manajemen laba riil. Hasil statistik
deskriptif adalah sebagai berikut:

Tabel 1.
Hasil Statistik Deskriptif
Variabel
MLR
KOM-KA

N
117
117

Minimum
- 0,83748
1,00

Maximum
0,43386
3,00

Mean
- 0,22088
2,6154

Std. Deviation
0,21612
0,62761

FREK-I

117

1,00

12,00

5,1453

2,45394

FREK-E

117

1,00

12,00

4,3504

2,40444

Tabel 1 merupakan tabel deskripsi
penelitian ini. Jumlah data yang digunakan
yaitu sebanyak 117 perusahaan yang memiliki
kecenderungan melakukan manajemen laba riil
setelah dilakukan outlier. Dapat dilihat pada
tabel bahwa variabel manajemen laba riil yang
merupakan nilai residual mempunyai nilai
minimum -0,83748 dan nilai maksimum
0,43386 dengan nilai rata – rata -0,22088 nilai
rata-rata bernilai negatif dapat diartikan dari

117 sampel, mayoritas sampel memiliki
kecenderungan melakukan manajemen laba riil
dengan cara, memanipulasi penjualan,
melakukan
produksi
berlebihan
dan
pengurangan nilai diskresioner. Variabel
komposisi komite audit mempunyai nilai
minimum 1 dan nilai maksimum 3 dengan
nilai rata - rata 2,6154. Variabel pertemuan
internal komite audit mempunyai nilai
minimum 1 dan nilai maksimum 12 dengan
167

JRAK, Volume 11, No 2 Agustus 2015

nilai rata - rata 5,1453. Variabel pertemuan
eksternal komite audit mempunyai nilai
minimum 1 dan nilai maksimum 12 dengan
nilai rata - rata 4,3504. Distribusi sebaran data
untuk variabel pertemuan internal dan
eksternal komite audit dapat dikatakan cukup
baik dengan melihat nilai mean pada tabel 1
diatas.
Pengujian Hipotesis
Manajemen laba riil merupakan variabel
dependen dalam penelitian ini. Manajemen
laba riil diukur melalui aliran kas operasi
abnormal, kos produksi abnormal, dan
pengeluaran diskresioner abnormal. Dalam
penelitian ini hipotesis diuji dengan model
regresi linier berganda. Hasil pengujian
hipotesis pertama menunjukkan (lihat tabel 3.)
bahwa komposisi komite audit yang diukur
dari komposisi kompetensi anggota komite
audit berpengaruh negatif terhadap manajemen
laba riil. Hasil tersebut mendukung hipotesis
pertama penelitian, artinya semakin terpenuhinya komposisi kompetensi komite audit atau
semakin memenuhi kriteria kompetensi komite

audit maka semakin rendah kecenderungan
perusahaan melakukan manajemen laba riil.
Manajemen laba riil yang dilakukan oleh
manajemen memperlihatkan kinerja jangka
pendek perusahaan yang baik namun secara
potensial akan merugikan perusahaan pada
masa mendatang. Hasil ini berbeda dengan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Jati dan
Sugiartha (2011) yang menyatakan bahwa
tingkat pendidikan komite audit tidak memiliki
pengaruh terhadap real earnings management.
Hasil temuan empiris ini menunjukkan bahwa
dengan memiliki komite audit yang
anggotanya memenuhi syarat sebagai anggota
komite audit dapat mengadopsi standar
akuntabilitas, dapat menyediakan bantuan
dalam peran pengendalian dan pengawasan,
dan berusaha keras untuk citra dan kinerja
perusahaan yang lebih baik sehingga komite
audit dengan kompetensi yang baik dapat
menurunkan potensi perusahaan melakukan
manajemen laba riil. Sesuai dengan Dezoort et
al. (2002) yang menyatakan bahwa kompetensi komite audit akan meningkatkan temuan
akan salah saji material yang akan
dikomunikasikan dan dikoreksi secepatnya.

Tabel 3.
Hasil Uji t
Model

Constant
KOM-KA
FREK-I
FREK-E

Unstandardized
Coefficients
B
Std.eror
0,225
0,070
-0,064
0,025
-0,023
0,010
-0,037
0,010

Hasil pengujian hipotesis kedua
menunjukkan bahwa ketekunan komite audit
yang diukur dari frekuensi pertemuan internal
komite audit berpengaruh negatif terhadap
manajemen laba riil. Hasil tersebut
mendukung hipotesis kedua penelitian, artinya
semakin sering komite audit melakukan
pertemuan secara internal, semakin tekun
komite audit melakukan tanggung jawabnya
maka
semakin
rendah
kecenderungan
perusahaan melakukan manajemen laba riil.
Pertemuan komite audit yang teratur dan
terkendali dengan baik akan lebih efektif
dalam membantu komite audit dalam
168

Standardized
Coefficients
Beta
-0,186
-0,259
-,0411

t

Sig

3,208
-2,594
-2,371
-3,804

0,002
0,011
0,019
0,000

memeriksa akuntansi berkaitan dengan sistem
pengendalian internal, dan untuk menjaga
informasi dari manajemen selalu diketahui
oleh anggota komite audit. Dengan melakukan
pertemuan secara periodik, komite audit dapat
lebih cepat dalam mencegah dan mengurangi
kemungkinan terjadinya kesalahan dalam
pembuatan keputusan dalam hal ini melakukan
manajemen laba riil.
Hasil pengujian hipotesis ketiga
menunjukkan bahwa hubungan komite audit
dengan pihak terkait (dewan komisaris,
manajemen perusahaan, auditor internal,
auditor eksternal dan investor) yang diukur

EFEKTIVITAS KOMITE AUDIT………………………………………………………………………..…(Yuliani & Dewi)

dari frekuensi pertemuan eksternal komite
audit berpengaruh negatif terhadap manajemen
laba riil. Hasil tersebut mendukung hipotesis
ketiga penelitian, artinya semakin baik
hubungan komite audit dengan pihak terkait
maka
semakin
rendah
kecenderungan
perusahaan melakukan manajemen laba riil.
Komite audit yang berperan sebagai jembatan
antara pihak perusahaan dengan pihak diluar
perusahaan yaitu auditor eksternal dan investor
yang dijalankan dengan baik akan dapat
menekan angka manajemen laba riil yang
bdilakukan perusahaannya. Pertemuan yang
teratur dan terkendali dengan baik akan
membantu komite audit untuk mendapatkan
setiap informasi penting sekecil apapun
tentang keadaan perusahaan, serta dengan
cepat dapat menyampaikan informasi ataupun
saran yang profesional terhadap pihak luar
komite audit yang bersangkutan dengan
masalah tersebut. Sesuai dengan Dezoort et al.
(2002) yang menyatakan bahwa kompetensi
komite audit akan meningkatkan temuan akan
salah saji material yang akan dikomunikasikan
dan dikoreksi secepatnya.
Pada penelitian ini nilai R Square adalah
0,447; maka besarnya pengaruh variabel bebas
terhadap variabel terikat adalah 44%,
sedangkan sisanya 56% dijelaskan oleh
variabel lain di luar penelitian ini.
Untuk mengetahui apakah model regresi
tersebut diatas dapat digunakan untuk
memprediksi variabel dependen, maka
dilakukan juga uji koefisien regresi secara
bersama-sama (uji F).
Tabel 4.
Koefisien Determinasi
Mode
l

R

R Square

Adjusted
R Square

Std. Error
of the
Estimate

1

0,669a

0,447

0,433

0,16278

Hasil pengujian (F = 30,488; p-value =
0,000) atau pengujian variabel independen
(komposisi latar belakang pendidikan komite
audit, frekuensi pertemuan internal, dan
frekuensi pertemuan eksternal) secara serentak
berpengaruh
terhadap variabel dependen
manajemen laba riil, hal ini konsisten dengan
hasil pengujian t. Dalam penelitian ini sebelum

melakukan uji hipotesis, penulis telah
melakukan pengujian empat asumsi klasik
yaitu uji normalitas, heteroskedas-tisitas,
autokorelasi, dan multikolinearitas dan secara
umum telah terpenuhi.

KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN
KETERBATASAN
Kesimpulan dan Implikasi Penelitian
Dari hasil pengujian dan pembahasan
yang sudah dilakukan, dapat diambil
kesimpulan bahwa penelitian ini memberikan
bukti empiris bahwa komposisi kompetensi
komite audit berpengaruh negatif terhadap
kecenderungan
perusahaan
melakukan
manajemen laba riil. Semakin baik komposisi
kompetensi komite audit atau semakin
memenuhi kriteria kompetensi komite audit
maka
semakin
rendah
kecenderungan
perusahaan melakukan manajemen laba riil.
Kompetensi adalah kemampuan yang harus
dimiliki mengenai pemahaman yang memadai
tentang akuntansi, audit dan sistem yang
berlaku dalam perusahaan. Kompetensi
menunjukkan terdapatnya pencapaian dan
pemeliharaan suatu tingkatan pemahaman dan
pengetahuan yang memungkinkan seorang
anggota komite audit untuk melaksanakan
tugas dengan baik. Dalam hal ini dalam
mengurangi
kecenderungan
perusahaan
melakukan manajemen laba riil. Latar
belakang pendidikan menjadi ciri penting
untuk memastikan komite audit melaksanakan
peran mereka secara efektif. Pengetahuan
dalam akuntansi dan keuangan memberikan
dasar yang baik bagi anggota komite audit
untuk memeriksa dan menganalisis informasi
keuangan. Pengetahuan dalam Hukum dapat
memberikan saran yang tepat dan sesuai
kepada perusahaan mengenai hal-hal yang
menyangkut regulasi dan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Selain
itu
penelitian
ini
juga
memberikan bukti empiris bahwa ketekunan
komite audit berpengaruh negatif terhadap
kecenderungan
perusahaan
melakukan
manajemen laba riil. Semakin komite audit
memiliki ketekunan dalam melakukan
tanggung jawabnya maka semakin rendah
kecenderungan
perusahaan
melakukan
manajemen laba riil. Faktor ketekunanan juga
169

JRAK, Volume 11, No 2 Agustus 2015

mempengaruhi efektivitas komite audit
(Dezoort, 2002). Dalam hal ini diukur dengan
frekuensi pertemuan internal komite audit
dengan anggotanya. Menurut Komite Nasional
Good Corporate Governance (2002), komite
audit biasan