MANAJEMEN KONFLIK PADA HUBUNGAN PERTEMAN
Manajemen Konflik Pada Hubungan Pertemanan Sesama Waria Pekerja Seks
Komersial di Kota Malang
Oleh: Marlia Wahyu Rusdiana, S.I.Kom
Pembimbing: Fitri H. Oktaviani dan Sri Handayani
Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya
ABSTRAK
Waria yang notabene kaum transeksual, terlahir dalam fisik laki-laki, namun
mempunyai perasaan dan jiwa perempuan (Koeswinarno, 2004). Dalam beberapa kasus,
waria mempunyai kesulitan untuk mempunyai hubungan pribadi dengan lain jenis, dalam hal
ini laki-laki ataupun perempuan. Setiap hubungan pertemanan mengandung unsur-unsur
konflik, pertentangan pendapat atau perbedaan kepentingan. Waria yang mempunyai sisi lakilaki dan perempuan bisa mempunyai penyebab dan penyelesaian konflik yang mungkin
berbeda dengan orang kebanyakan.
Penelitian ini akan berfokus pada manajemen konflik pada hubungan pertemanan
sesama waria pekerja seks komersial di kota Malang. Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif dengan jenis pendekatan deskriptif. Informan yang akan digunakan adalah waria
yang bekerja sebagai pekerja seks komersial yang telah menjalin hubungan pertemanan
dengan sesama waria dan berdomisili di kota Malang.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa sebagai kaum transeksual akan
mempegaruhi pandangan, faktor penyebab, penyelesaian dan dampak konflik pada hubungan
mereka. Faktor penyebab konflik pada hubungan pertemanan pada waria yang diteliti.
Ketidakpastian informasi tidak ada balasan ketika menghubungi.Kekurangan dari segi fisik,
kurangnya pendengaran dari salah satu pihak karena pengaruh suntik hormon. Perbedaan
persepsi dan cara pandang dalam hal-hal tertentu, misalnya dalam segi fashion. Perbedaan
tingkat ketertutupan dan keterbukaan waria, serta kepercayaan kepada pihak lain.
Untuk penyelesaian konflik, subjek penelitian cenderung menggunakan strategi winwin dengan menggunakan taktik integrative, noncomittal statements, competitive tactics,
caranya adalah berbicara dan mengungkapkan permasalahan mereka berdua. Seringkali
mereka menggunakan kata-kata kotor dan mengeluarkan umpatan mereka agar konflik
terselesaikan.
Kata Kunci : Hubungan pertemanan antar waria, konflik, manajemen konflik
Pendahuluan
Waria sebagai kaum transeksual
yaitu seorang individu yang mempunyai
ciri fisik laki-laki, akan tetapi perasaan dan
jiwa yang mereka rasakan sebagai
perempuan.
Kartono (dalam Koeswinarno, 2004)
mengatakan sebagai sebuah kepribadian,
kehadiran seorang waria merupakan satu
proses yang panjang, baik secara
individual maupun sosial. Secara individu
antara lain, lahirnya perilaku waria tidak
lepas dari suatu proses atau dorongan yang
kuat dari dalam dirinya, bahwa fisik
mereka tidak sesuai dengan kondisi psikis.
Hal ini menimbulkan konflik psikologis
dalam dirinya. Mereka mempresentasikan
perilaku yang jauh berbeda dengan laki1
laki pada umumnya, tetapi bukan sebagai
perempuan normal juga.
Kebutuhan sosial mendorong ikatan
emosional dengan individu lain, baik
sesama jenis, maupun lain jenis, baik di
lingkungan keluarga, kelompok, maupun
masyarakat.
Dalam beberapa kasus, waria
mempunyai kesulitan untuk mempunyai
hubungan pribadi dengan lain jenis, dalam
hal ini laki-laki ataupun perempuan.
Sebagai
contoh,
dorongan
perasaannya untuk lebih dekat dengan
laki-laki
membuat
waria
semakin
mendapatkan penolakan-penolakan dalam
pergaulan di masyarakat (Karinina, 2007).
Dalam penelitiannya Karinina (2007)
menemukan waria juga menemukan
kesulitan untuk menemukan teman wanita
untuk berbagi cerita dan berteman.
Pada
hakikatnya
hubungan
pertemanan yang terjalin di antara waria
sama seperti hubungan pertemanan
perempuan dan perempuan ataupun lakilaki dan laki-laki. Johnson dalam
Prihastuti (2001) mendefinisikan konflik
adalah situasi dimana kita mengalami
perbedaan pendapat atau tindakan dengan
salah orang yang berakibat menghalangi,
menghambat, atau mengganggu tindakan
orang lain.
Laki-laki
dan
perempuan
mempunyai perbedaan perihal bagaimana
mereka mengelola konflik. Gottman &
Carrere (dalam DeVito 2007) membahas
perbedaan
gender
dalam
konflik
antarpribadi, misalnya, laki-laki lebih
cenderung untuk menarik diri dari situasi
konflik daripada wanita. Di sisi lain,
wanita ingin lebih dekat dengan konflik,
mereka ingin berbicara tentang hal itu dan
menyelesaikannya. Studi lain dalam
DeVito (2007) menjelaskan bahwa wanita
lebih emosional dibandingkan laki-laki
yang lebih logis saat mereka berargumen.
Koeswinarno
(2004)
mengklasifikasikan waria menjadi dua
jenis, pertama waria pelacur dan waria non
pelacur. Tempat waria melacur merupakan
media untuk menjalin solidaritas mereka.
Meskipun solidaritas di kalangan waria
demikian solid, namun bukan berarti di
tempat mereka menjajakan diri tidak
terlepas dari konflik.
Koeswinarno (2004) menambahkan
salah satu faktor penyebab konflik yang
terjadi pada waria menurut adalah
perebutan pelanggan saat mereka berkerja
menjajakan diri. Berdasarkan pemaparan
tersebut, fenomena konflik pada hubungan
pertemanan sesama waria yang bekerja di
tempat pelacuran merupakan hal yang
berbeda dibanding hubungan pertemanan
pada umumya. Oleh karena itu, peneliti
berusaha meneliti bagaimana waria pekerja
seks komersial mengelola konflik pada
hubungan pertemanannya dengan sesama
waria.
Metode
Pendekatan
dalam
laporan
penelitian ini adalah kualitatif. Pendekatan
kualitatif dirasa tepat karena dengan
pendekatan
ini
dapat
membantu
memperoleh deskripsi (penggambaran)
konflik pada hubungan pertemanan sesama
waria pekerja seks komersial. Dengan
demikian, pendekatan ini memungkinkan
peneliti untuk mendapatkan data secara
fleksibel dan mendalam tentang hubungan
pertemanan sesama waria.
Jenis
penelitan
ini
adalah
deskriptif. Penelitian dilakukan secara
intensif, terperinci dan mendalam untuk
meneliti
manajemen
konflik
pada
hubungan pertemanan sesama
waria
pekerja seks komersial di kota Malang.
2
Masalah dalam penelitian kualitatif
bertumpu pada sesuatu fokus (Moleong,
2010). Fokus pertama pada penelitan ini
adalah pandangan waria pekerja seks
komersial terhadap konflik. Fokus yang
kedua, faktor-faktor penyebab yang
melatarbelakangi konflik pada hubungan
pertemanan sesama waria pekerja seks
komersial.
Selanjutnya
fokus
ketiga,
manajemen konflik hubungan pertemanan
sesama waria pekerja seks komersial di
kota Malang. Fokus terakhir, dampak
setelah terjadinya konflik pada hubungan
pertemanan sesama waria pekerja seks
komersial, berisikan tentang dampak
positif dan negatif dari konflik yang terjadi
pada hubungan sesama waria.
Pada penelitian ini data primer
diperoleh dari hasil wawancara dengan
informan terkait dengan manajemen
konflik pada hubungan pertemanan sesama
waria pekerja seks komersial di kota
Malang. Data primer ini berupa pernyataan
informan yang terkait dengan manajemen
konflik pada hubungan pertemanan sesama
waria.
Data sekunder dalam penelitian ini
diperoleh buku-buku, jurnal ilmiah atau
tulisan-tulisan ilmiah lain, yang berkaitan
dengan manajemen konflik pada hubungan
pertemanan sesama waria pekerja seks
komersial di kota Malang.
Untuk
mengum
teknik
pengumpulan
data
penelitian
ini
menggunakan
teknik
wawancara,
wawancara dilakukan kepada waria yang
memenuhi
kriteria
informan
yang
ditetapkan peneliti. Wawancara mendalam
dilakukan
peneliti
agar
peneliti
mendapatkan informasi yang diinginkan
dan data yang lebih lengkap mengenai
konflik pada hubungan pertemanan sesama
waria pekerja seks komersial. Dengan
mengunakan teknik wawancara ini,
peneliti juga berharap mendapat jawaban
detail tentang opini, motivasi dan
pengalaman informan dalam hal konflik
pada hubungan pertemanan sesama waria
pekerja seks komersial.
Informan dalam penelitian ini
ditentukan melalui teknik sampling
purposif (purposive sampling). Adapun
orang yang akan dijadikan
informan
utama dalam penilitan ini adalah waria
yang berdomisili di kota Malang. Dengan
beberapa kriteria. Pertama, waria yang
berteman dengan sesama waria kurang
lebih selama satu tahun. Kedua waria yang
bekerja sebagai Pekerja Seks Komersial.
Kriteria ketiga waria yang pernah
mengalami konflik dalam hubungan
pertemanan sesama waria.
Pada pelitian ini, triangulasi yang
digunakan adalah triangulasi sumber data
karena dalam penelitian ini yang menjadi
bahan kajian adalah sumber atau informan.
Triangulasi sumber data dilakukan dengan
cara melakukan pengecekan terhadap data
yang didapat dari informan-informan
penelitian. Hal ini dapat dicapai dengan
cara
membandingkan
data
hasil
wawancara dari informan-informan yang
dilakukan dengan wawancara secara
terpisah.
Tahap analisis data memegang
peranan penting dalam riset kualitatif.
Data dalam penelitian ini dianalisis
menggunakan model Miles dan Huberman.
Miles dan Huberman (dalam Sugiyono,
2001) mengemukakan bahwa aktivitas
dalam analisis data kualitatif dilakukan
secara interaktif dan berlangsung secara
terus menerus sampai tuntas, sehingga
datanya sudah jenuh. Berikut tahapan
dalam analisis Miles dan Huberman, yaitu:
Pengumpulan data, reduksi data, penyajian
3
data, dan penarikan kesimpulan. Berikut
penjelasan tahapan dari analisis data.
Hasil dan Pembahasan
Penelitian dari Wiraharjo (2008)
mengkategorikan waria di kota Malang
dalam
tiga
kelompok
besar.
Pengelompokan terhadap waria ini
didasarkan pada pekerjaan yang ditekuni
oleh wara tersebut. Kelompok pertama
adalah waria yang berprofesi sebagai PSK,
yang kedua waria yang berprofesi sebagai
pekerja salon, dan yang terakhir waria
yang bekerja di luar kedua bidang tersebut
(Wiraharjo, 2008).
Kelompok waria yang berprofesi
sebagai PSK adalah waria yang keluar
menjajakan diri pada saat malam hari.
Kelompok ini seringkali mempunyai
tempat mangkal tetap. Di kota Malang
tempat mangkal waria biasanya di jalan
gajah mada dekat Stasiun atau di daerah
sekitar Tugu (Wiraharjo, 2008). Waria
cenderung mangkal ditempat yang sama
dan tidak berpindah-pindah, dengan alasan
sudah mempunyai pelanggan tetap.
Kelompok kedua, yaitu waria yang
berprofesi sebagai pekerja salon. Mereka
menggantungkan
hidupnya
dari
penghasilan sebagai pekerja salon. Mereka
mempunyai keahlian dalam bidang
kecantikan.
Selain
pekerja
salon,
kelompok ini juga mencakup waria yang
berprofesi sebagai perias wajah atau make
up artist.
Kelompok terakhir adalah waria
yang bekerja di luar PSK dan pekerja
salon. Jumlah waria di kelompok ini
sangat sedikit, karena keahlian yang
dimiliki mereka tidak banyak dimiliki
waria lain. Beberapa contoh pekerjan
mereka adalah sebagai instruktur senam,
bekerja di toko atau waria yang
memberikan penyuluhan di Rumah Sakit
dan LSM.
Sesuai dengan etika penelitan yang
telah ditentukan peneliti, untuk menjaga
kerahasiaan informan, dalam lembar
pengumpulan data penelitian tidak
dicantumkan
nama
asli
informan
melainkan nama samaran, serta tidak
memaparkan profil informan secara
mendetaiil. Hal ini dilakukan untuk
menjaga kepercayaan informan kepada
peneiliti.
Untuk
menjaga
tingkat
keabsahan data, peneliti melakukan
wawancara secara terpisah kepada setiap
pasangan informan. Berikut peneliti
memaparkan profil informan penelitian
dengan menggunakan nama samaran
Friska-Angel dan Kim-Vera.
Sebagai makhluk sosial, waria juga
melakukan interaksi dengan orang lain.
Interaksi dalam tahap dasar berupa
komunikasi antarpribadi yang terjalin pada
antara
waria
dengan
orang-orang
terdekatnya. Tidak terkecuali pada
hubungan pertemanan sesama waria.
Seperti hubungan pertemanan yang terjalin
antara Friska dan Angel dan juga Kim dan
Vera.
Melihat salah satu karakteristik
komunikasi
antar
pribadi
yaitu
ketergantungan satu sama lain. Maka
tujuan komunikasi ini adalah membangun
hubungan dengan orang lain. Seperti yang
di alami Kim saat pertama kali
menginjakkan kaki di kota Malang. Kim
belum
mengenal
siapapun
yang
mempunyai
latar
belakang
sama
dengannya, akhirnya menjalin hubungan
dengan Vera. Sama halnya dengan Kim,
Angel
merasa
saat pertama kali
memutuskan menjadi waria adalah saat
terberat bagi dia. Oleh karena itu, Angel
butuh berhubungan dengan orang yang
4
mempunyai latar belakang sama dengannya
yaitu Friska.
Dalam penelitian ini ditemukan
awal mula kedekatan waria dengan teman
sesamanya adalah karena masalah atau
latar belakang yang dimilikinya. Seperti
hubungan pertemanan Friska dan Angel
yang dilatarbelakangi oleh penolakkan
keluarga Angel akan keputusannya
menjadi waria. Angel mungkin bisa
menceritakan masalahnya kepada siapa
saja, namun solusi yang dia dapat belum
tentu dapat menyelesaikan masalahnya.
Oleh karena itu Angel menceritakan
masalahnya pada Friska, yang sudah
memutuskan menjadi waria terlebih
dahulu.
Selain latar belakang yang sama,
waria-waria ini memlih teman sesama
waria karena alasan kecocokan masing.
Seperti pada hubungan Kim dan Vera awal
mula hubungan mereka terjalin adalah saat
mereka saling dikenalkan oleh salah
seorang teman. Saat itu Kim baru
menginjakkan kaki di kota Malang sebagai
mahasiswa di salah satu Perguruan Tinggi
di kota Malang. Karena merasa cocok satu
sama lain, Kim dan Vera masih berteman
dekat sampai saat ini.
Hubungan pertemanan sesama
waria yang terjalin disebabkan oleh adanya
kepedulian dari mereka akan rekan yang
mempunyai latar belakang yang sama
dengan mereka. Seringkali mereka
membutuhkan teman untuk berbagi dan
bercerita tentang keluh kesah yang hanya
dimengerti oleh kalangan waria sendiri.
Contoh permasalahan yang dihadapi
mereka salah satunya alah penolakan dari
pihak keluarga saat mereka memutuskan
diri menjadi waria. Mereka membutuhkan
teman bercerita dan memberikan solusi
terhadap masalahnya dan tidak semua
orang bisa mengerti masalah yang
dihadapinnya. Hanya waria yang dapat
mengerti masalah yang bisa mengerti dia.
Tujuan lain dari komunikasi
antarpribadi adalah sebagai hiburan atau
mencari kesenangan (DeVito, 2007). Hal
ini biasanya dapat berupa candaan,
bercerita, diskusi ringan atau bergosip.
Salah satu bentuk tujuan keempat ini
adalah aksi jambak-menjambak dikalangan
waria. Menurut Kim, jika aksi tersebut
hanya untuk senang-senang dan bermain,
tidak lebih dari itu. Namun berbeda dengan
keterangan tersebut, Vera menambahkan
jika
aksi
jambak-menjambak
juga
merupakan bentuk luapan mereka ketika
sedang bertengkar dengan sesama waria.
Dalam hubungan pertemanannya
waria melakukan pembicaraan layaknya
perempuan. Tema dari pembicaraan
mereka seputar hubungan personal, kekasih
dan fashion. Hal ini seperti yang
diungkapkan Allan dan Barbara (2004)
bahwa di usia dewasa perempuan berbicara
tentang
diet,
hubungan
personal,
perkawinan,
anak-anak,
kekasih,
kepribadian, pakaian, apa yang dilakukan
orang, hubungan pekerjaan dan apapun
yang berkaitan dengan orang dan masalah
pribadi.
Menurut Allan dan Barbara (2004)
perempuan biasanya memiliki seorang
teman baik untuk saling berbagi rahasia.
Sedangkan laki-laki akan segera mencari
status dalam kelompoknya. Kekuasaan dan
status sangat penting didalam kelompok
seorang laki-laki (Allan dan Barbara,
2004). Pada hubungan perteman waria
mereka melakukan pertemanan seperti
wanita yang membutuhkan teman untuk
berbagi rahasia, seperti menceritakan
hubungan mereka dengan laki-laki atau
ketika mereka menghadapi masalah dengan
keluarga. Hal tersebut diatas terjadi ketika
5
waria melakukan komunikasi dengan
teman dekatnya.
Namun terjadi sedikit perbedaan
ketika mereka melakukan komunikasi
dengan waria di tempat mangkal mereka.
Pada waria dalam peneleitian ini cenderung
menunjukkan sifat bawaan mereka sebagai
laki-laki dengan melakukan kompetisi
untuk mendapatkan kekuasaan atau status
dalam hal memperebutkan ilayah dan
pelanggannya. Seperti yang diungkapkan
oleh (Allan dan Barbara, 2004) bahwa
kompetisi adalah hal yang muncul biasanya
pada hubungan pertemanan laki-laki,
karena pada dasarnya laki-laki mempunyai
sifat
sifat
gampang
curiga
atau
pencemburu, bersaing, berkuasa atau
menguasai, melindungi, dan menyendiri.
Alasan lain yang membuat waria
memilih teman yang mempunyai latar
belakang
sama
dengannya
adalah
kepedulian. Seperti pada hubungan Friska
dan Angel, menurut Friska jika bukan
dirinya yang peduli terhadap (waria)
kelompoknya lalu siapa lagi. Friska
menganggap suatu kelompok tidak akan
pernah maju jika bukan anggotanya sendiri
yang memajukan. Sedangkan dari sisi lain,
Angel memilih Friska karena kecocokan
karakter
masing-masing.
Angel
menambahkan hanya sesama waria seperti
dirinya karena hanya (waria) Friska yang
mengerti dia.
Berdasarkan
informasi
yang
diperoleh dari setiap informan di atas
bahwa pada dasarnya waria memandang
konflik adalah hal yang tidak dapat
dihindari dan wajar terjadi pada setiap
orang. Pandangan tersebut merupakan
pandangan konflik secara kontemporer,
seperti yang dikatakan Myers dalam Ladita
(2012) dimana konflik dianggap sebagai
suatu hal yang wajar di dalam kehidupan
keluarga, sosial dan organisasi.
Selain pandangan tersebut di atas,
informan beranggapan bahwa positif dan
negatifnya
konflik
tergantung
dari
bagaimana menanggapi, menyikapi konflik
dan efek yang ditimbulkan konflik. Setelah
memaparkan hasil penelitian tentang
bagaimana waria memandang konflik.
Selanjutnya peneliti akan memaparkan
tentang bagaimana waria mengelola
konflik
pada hubungan pertemanan
sesama mereka.
Konflik ini terjadi karena berbagai macam
sebab. Salah satunya terjadi karena terjadi
hambatan komunikasi pada hubungan
mereka. Hambatan-hambatan yang muncul
tidak hanya berasal dari dalam diri mereka,
namun juga dari luar.
Dari hasil penelitian, didapatkan
bahwa sumber konflik tidak jauh dari
hambatan komunikasi yang terjadi. Tiga
hambatan yang sering memicu terjadinya
konflik pada hubungan pertemanan
mereka. Hambatan pertama adalah
hambatan physiological yang disebabkan
oleh kekurangan fisik individu. Untuk
merubah bentuk tubuh mereka agar lebih
menyerupai
perempuan,
waria
mengkonsumsi
hormon
pembesar
payudara. Hormon tersebut menimbulkan
efek samping kurangnya pendengaran
orang yang mengkonsumsinya. Kondisi
tersebut seperti yang di alami oleh Angel.
Dampak kurangnya pendengaran memicu
terjadinya konflik pada mereka, karena hal
ini terjadi secara berulang-ulang dan
menimbulkan salah penafsiran ucapan dari
lawan bicaranya.
Hambatan kedua adalah hambatan
physical, bentuk hambatan ini adalah
gangguan sinyal. Dampak dari gangguan
sinyal
pada
hp
adalah
tidak
tersampaikannya sms atau salah satu pihak
6
kesulitan menghubungi pihak lain. Hal ini
seperti yang terjadi pada hubungan Angel
dan Friska. Kondisi tersebut seperti terjadi
karena kegagalan komunikasi pada
hubungan mereka. Kegagalan komunikasi
yang terjadi karena pengaruh tidak adanya
respon dari salah satu pihak (Angel)
menimbulkan
dampak
ketidakpastian
informasi pada Friska.
Respon dari Angel diharapkan bisa
mengurangi
ketidakpastian
pada
keadaannya, seperti yang diungkapkan
Berger dan Calabrese (dalam West and
Turner, 2007) bahwa dalam uncertainty
reduction theory komunikasi digunakan
untuk mengurangi ketidakpastian antara
orang asing yang terikat dalam percakapan
mereka bersama. Bukan hanya orang asing,
tapi teori ini berlaku juga pada hubungan
antar pribadi. Kekhawatiran akan muncul
karena tidak ada respon atau balasan yang
diterima.
Hambatan ketiga adalah hambatan
psychological dimana bentuk hambatan ini
berasal dari mental masing-masing
individu. Seperti ketertutupan seseorang,
kepercayaan kepada pihak lain, atau
perbedaan pendapat atau pandangan pada
beberapa hal tertentu. Komunikasi yang
buruk terjadi ketika dua orang tidak
menyampaikan kebutuhan-kebutuhan apa
saja yang diperlukan, tidak dapat
menyatakan masalah dan tidak bisa
menyatakan argumentasi yang baik pada
saat berkomunikasi (Eggert dan Falzon,
2008). Kondisi tersebut seperti yang terjadi
pada hubungan Kim dan Vera, dimana
pada kondisi tersebut menimbulkan konflik
pada hubungan mereka. Karena salah satu
pihak tidak bisa mengkomunikasikan atau
menyampaikan masalah. Dalam hubungan
pertemanan dibutuhkan keterbukaan dan
kepercayaan pada satu sama lain. Hal ini
juga dilatarbelakangi oleh perbedaan
karakteristik setiap individu, termasuk Kim
dan Vera.
Selain itu, Kim menyadari bahwa
wawasan dan selera setiap orang berbedabeda, untuk itulah perbedaan merupakan
hal yang wajar. Namun tidak bisa
dipungkiri bahwa perbedaan itulah yang
sering menimbulkan konflik diantara
mereka. Hal ini sesuai dengan yang dikatan
Eggert dan Falzon (2008) bahwa
perbedaan-perbedaan yang dirasakan,
perbedaan ini dirasakan hampir setiap
orang. Perbedaan pada hubungan Kim dan
Vera adalah cara pandang mereka terhadap
fashion. Ludlow dan Panton (1996)
menambahkan salah satu hambatan
komunikasi adalah distorsi persepsi
(perceptual distortion), dimana dalam
komunikasi terjadi perbedaan persepsi dan
wawasan atau cara pandang antara satu
dengan yang lainnya.
Sesuai dengan hasil penemuan di
lapangan menunjukkan waria pekerja seks
komersial terlibat konflik dengan teman
dekatnya pada beberapa aspek. Yang
pertama pada kecemburuan dan merasa
terabaikan, kedua pada hal kepercayaan,
dan terakhir pada hal keterbukaan.
Kecenderungan konflik ini mengarah
kepada sisi konflik yang sering di alami
perempuan dengan teman sesama jenisnya,
seperti yang diungkapkan Allan & Barbara,
P (2004) bahwa wanita memiliki sifat
terbuka, penuh rasa saling percaya,
bekerjasama, siap menerima kritik,
mengungkapkan perasaan dan menyadari
akan tidak perlunya berada dalam
pengawasan setiap waktu.
Jadi, ketika perempuan merasakan
tidak ada rasa saling percaya dan saling
terbuka pada hubungan pertemannya maka
bisa menimbulkan konflik dan hal tersebut
terjadi pada waria yang notabene
mempunyai fisik laki-laki namun secara
7
psikis seperti perempuan. Kecurigaan dan
cemburu adalah sifat dasar pria. Seperti
yang diungkapkan Allan & Barbara, P
(2004) pada dasarnya pria mempuyai sifat
gampang
curiga
atau
pencemburu,
bersaing, berkuasa atau menguasai,
melindungi,
dan
menyendiri
yang
cenderung menyembunyikan keadaankeadaan emosionalnya agar tetap bisa
terkendali. Sehingga pada penelitian ini
ditemukan, konflik yang muncul pada
hubungan pertemanan sesama waria adalah
perpaduan antara sifat dasarnya sebagai
laki-laki dan sifat bawaannya yang merasa
dirinnya perempuan.
Selain itu pada konflik diantara
waria ada perpaduan antara konflik yang
biasanya dihadapi perempuan dan konflik
yang biasanya terjadi pada hubungan
pertemanan laki-laki. Waria pekerja seks
komersial akan berkonflik dengan sesama
waria yang merupakan saingannya di
tempat mangkal pada segi perebutan
pelanggan, uang, tarif dan pakaian. Hasil
penelitian yang dilakukan Urban (2005)
menunjukkan penyebab konflik pada lakilaki ada empat hal, yaitu penerimaan,
ketertarikan sosial, kontroversi dan
bermain. Ketertarikan sosial terjadi
berkaitan dengan perebutan pelanggan,
dimana pelanggan memakai jasa mereka
tergantung dengan selera.
Sebagaimana waria pekerja seks
komersial sering memperebutkan wilayah
dan kedudukannya sebagai senior dan
junior di tempat mangkalnya. Seperti pada
Social exchange theory dimana dalam teori
ini Thibault dan Kelly mengemukakan
"bahwa setiap individu secara sukarela
memasuki dan tinggal dalam hubungan
sosial hanya selama hubungan tersebut
memuaskan dari segi ganjaran dan biaya."
(Rakhmat, 1999: 121). Ketika ganjaran
berupa
penerimaan
sosial
berupa
kedudukan senioritas tidak diterima pada
saat mereka di lapangan, maka hal
tersebutlah yang menyebabkan konflik.
Karena biaya berupa akibat negatif lebih
banyak dikeluarkan.
Penyebab konflik yang terjadi pada
waria pekerja seks komersial adalah
perebutan pelanggan saat mereka berkerja
menjajakan diri (Koeswinarno, 2004).
Namun perebutan pelanggan lebih banyak
terjadi dengan teman mangkal mereka,
sedangkan pada hubungan pertemanan
mereka jarang terjadi rebutan pelanggan.
Pada sisi bermain, waria melakukan
jambak-menjambak
sebagai
bentuk
permainan mereka. Namun terkadang aksi
ini adalah bentuk dari persaingan mereka
ketika berebut pelanggan. Kompetisi pada
waria akan lebih sering terjadi dengan
teman mangkal mereka.
Jadi dapat disimpulkan bahwa sisi
konflik secara perempuan pada waria
pekerja seks komersial akan muncul
dengan teman dekat sesama warianya.
Karena posisi waria adalah kaum marginal
dimana mereka tidak mempunyai banyak
teman, dan mereka tidak bisa bebas
memilih teman yang berbeda jenis dengan
mereka. Sedangkan dengan partner kerja di
tempat mangkalnya waria lebih sering
terlibat konflik pada sisi kompetisi seperti
pada hubungan pertemanan laki-laki. Hal
ini disebabkan karena waria masih
mempunyai sifat dasar sebagai laki-laki
dan secara psikis mereka adalah
perempuan. Jadi pada faktor konflik-pun
terjadi perpaduan antara sifat dasar lakilaki dan perempuan.
Data temuan peneliti dari hasil
wawancara dengan informan tentang faktor
konflik dengan sesama waria pekerja seks
komersial di tempat mangkal. Perebutan
pelanggan, setiap waria mempunyai
pelanggan tetap. Jika pelanggan tetapnya
8
beralih ke waria lain, bisa menyebabkan
pertengkaran diantara waria pekerja seks
komersial. Uang, waria sangat sensitif
sekali dengan seuatu hal yang berhubungan
dengan uang. Tarif, persaingan harga tarif
sering membuat gesekan-gesekan yang
menimbulkan konflik. Pakaian, setiap
mangkal waria selalu berdandan full makeup dan berpakaian layaknya pergi ke pesta.
Pakaian yang mahal dan bagus membuat ke
irian waria lain, dan bisa menimbulkan
konflik.
Pada
hubungan
pertemanan
informan tidak lepas dari adanya konflik
yang
terjadi.
Jika
konflik
dapat
diselesaikan dengan baik maka akan
membuat
hubungan
mereka
tidak
mengalami perpecahan. Cara yang
digunakan dalam menyelesaikan konflik
pada hubungan merekalah yang dinamakan
manajemen konflik.
Waria informan penelitian ini
sangat sensitif dalam hal konflik. Oleh
karena itu, ketika terjadi konflik pada
hubungan mereka, kedua belah pihak bisa
salaing merasakan. Pada hubungan
pertemanan sesama waria pekerja seks
komersial, mereka sama-sama menyadari
bahwa konflik itu ada dan terjadi. Friska,
Angel, Kim dan Vera sama-sama
merasakan saat konflik mulai muncul pada
hubungan mereka.
Mereka sependapat bahwa konflik
harus disikapi dengan dewasa agar tidak
berlarut-larut. Agar mencapai kesepakatan
yang menguntungkan satu sama lain, tidak
jarang mereka menggunakan kata-kata
kotor untuk mencapai kesepakatan.
Menurut mereka, kata-kata kotor akan
lebih baik daripada dipendam dalam hati
dan tidak diselesaikan.
Pria dan wanita merespon konflik
dengan cara yang berbeda. Pria lebih
mungkin dibandingkan perempuan untuk
menarik diri dari konflik (Bailey, 2009).
Mereka menarik lebih ketika wanita
mencoba untuk mendapatkan mereka untuk
berbicara tentang masalah ini. Wanita lebih
langsung daripada laki-laki dan ingin
mengatasi konflik. Wanita juga lebih kritis
dalam menyikapi konflik. Pengaruh dari
sifat perempuan inilah yang membuat
waria tidak pernah mengindari konflik dan
selalu berusaha menyelesaikan konflik
yang dihadapinnya
Dalam hal penyelesaian konflik,
penelitian membuktikan laki-laki dan
perempuan mempunyai perbedaan perihal
bagaimana mereka menyelesaikan konflik.
Gottman & Carrere (dalam DeVito, 2007)
menyatakan, perbedaan gender dalam
konflik antarpribadi, misalnya, laki-laki
lebih cenderung untuk menarik diri dari
situasi konflik daripada wanita. Di sisi lain,
wanita ingin lebih dekat dengan konflik
mereka ingin berbicara tentang hal itu dan
menyelesaikannya. Studi lain (dalam
DeVito,2007) menjelaskan bahwa wanita
lebih emosional dibandingkan laki-laki
yang lebih logis saat mereka berargumen.
Waria yang mempunyai fisik lakilaki namun secara psikis merasa dirinya
perempuan
mungkin
menyelesaikan
konflik dengan gabungan antara sifat lakilaki dan perempuan. Peneliti menemukan
ketika terlibat konflik yang besar, maka
waria cenderung menarik diri dan melihat
situasi baru menyelesaikan konfliknya.
Untuk menyelesaikan konfliknya mereka
melihat dahulu dengan siapa mereka
berkonflik dan bagaimana kondisi orang
yang berkonflik dengan mereka saat itu.
Sama halnya dengan wanita, waria
menghadapi konfliknya dengan emosi dan
melontarkan kata-kata kotor untuk
menyelesaikan masalahnya. Waria juga
tidak segan main tangan jika yang masalah
yang dihadapi mengancam dirinya.
9
Dari data yang telah didapat mereka
yang sedang terlibat konflik sama-sama
ingin konflik terselesaikan dengan baik.
Caranya adalah dengan saling berbicara
dan mengungkapkan permasalahan mereka
berdua. Kedua belah pihak sama-sama
mencari solusi agar mendapat kesepakatan
yang sama-sama menguntungkan mereka.
Seperti pada hubungan Kim dan Vera,
Vera menyelesaikannya dengan berbicara
kepada Kim pelan-pelan. Dia ingin
mengkomunikasikannya agar tidak terjadi
pertengkaran yang besar. Mereka berdua
sepemahaman bahwa memang konflik
harus segera diselesaikan. Penyelesaian
konflik ini dipengaruhi oleh pengalaman
mereka ketika menghadapi konflik
sebelum-sebelumnya.
Taktik
selanjutnya
adalah
noncomittal statements, dimana taktik ini
mereka gunakan untuk mencegah konflik
kecil menjadi besar. Cara mereka
menerapkan taktik ini adalah dengan
bersendau-gurau apabila sedang terjadi
masalah, sehingga membuat mereka lupa
akan konflik yang terjadi. Mereka selalu
mengkomunikasikan segala hal yang
terjadi. Angel dan Friska selalu saling
mengingatkan jika salah satu dari mereka
salah.
Selanjutnya competitive tactics
(taktik kompetitif), merupakan kompetisi
verbal atau tingkah laku individu. Untuk
tercapainya strategi win-win mereka
menggunakan taktik guna membantu
menyelesaikan konflik yang mereka alami.
Taktik ini berfokus pada orientasi kalahmenang dan seringkali merefleksikan
bahwa jika salah satu menang, maka yang
lainnya kalah. Cara penyelesaian ini
seperti yang terjadi pada hubungan Friska
dan Angel, dimana mereka menggunakan
kata-kata kotor untuk menyelesaikan
konflik mereka. Tidak jarang mereka
mengeluarkan umpatan atau menjelekjelekan waria yang sedang berkonflik
dengan mereka. Walaupun taktik ini
berorientasi pada kalah menang, namun
waria menggunakannya agar mencapai
kesepakatan
yang
sama-sama
menguntungkan.
Seperti yang dikatakan Wirawan
(2010),
salah
satu
faktor
yang
mempengaruhi gaya manajemen konflik
adalah pengalaman menggunakan salah
satu gaya manajemen konflik. Ketika
seseorang terlibat konflik dengan orang
yang sama, maka memiliki kecenderungan
menggunakan gaya yang sama ketika
terlibat konflik lagi dikemudian hari. Selain
itu, gaya manajemen konflik mereka
dipengaruhi pola komunikasi dalam
interaksi konflik.
Proses komunikasi yang terjadi
antara Friska dan Angel juga pada
hubungan Kim dan Vera membuat mereka
selalu menyelesaikan konfliknya secara
baik. Menurut Wirawan (2010) jika proses
komunikasinya berjalan baik, pesan kedua
belah pihak akan saling dimengerti dan
diterima secara persuasif, tanpa gangguan
(noise) dan menggunakan humor segar. Hal
ini sama seperti pada hubungan Friska dan
Angel, untuk mengurangi ketegangan,
mereka sering bersendau gurau agar
konflik tidak semakin besar.
Pada setiap konflik yang terjadi
selalu ada dampak yang akan nampak
ketika konflik telah terselesaikan. Hal
tersebut terjadi pada setiap orang,
termasuk pada konflik yang terjadi pada
waria pekerja seks komersial. Menurut
DeVito (2007) setiap konflik mempunyai
dampak positif dan negatif. Efek positif
merupakan bentuk dari penerimaan solusi
konflik dan dampak negatif bisa terjadi
akibat dari penolakan solusi. Dari waria
yang menunjukkan data bahwa dampak
10
positif dari konflik yang terjadi pada
hubungan mereka adalah mengetahui
karakter masing-masing. Hal tersebut
seperti yang terjadi pada hubungan Kim
dan Vera. Selain itu dampak positif juga
terjadi pada hubungan Friska dan Angel.
Menurut Hocker dan Wilmot
(2001) konflik dapat berfungsi sebagai
penyelesaian pertikaian dan membantu
orang untuk mengerti satu sama lain.
seperti pada hubungan Friska dan Angel.
Bentuk dari dampak positif tersebut adalah
mereka saling mengerti satu sama lain.
masing-masing juga bisa koreksi diri dan
menyadari kesalahan masing-masing.
Sedangkan dampak negatif yang
ditemukan pada waria yang diteliti adalah
konflik bisa merusak hubungan yang
sudah terjalin, hal tersebut seperti yang
terjadi pada hubungan Kim dan Vera. Bila
dalam situasi ini konflik tak ditangani
dengan baik, akan timbul perpisahan dan
ketidakjelasan (Devito, 2007). Hal tersebut
terjadi pada hubungan Friska dan Angel,
dampak negatif konflik pada hubungan
mereka adalah timbulnya rasa ketidak
nyamanan setelah konflik berakhir.
Terkadang
mereka
masih
membutuhkan waktu untuk kembali
seperti dulu. Selain itu konflik juga
berdampak merusak hubungan yang
terjalin dan menjadi bahan perbincangan
waria-waria lainnya. Pada penelitian ini
juga ditemukan bahwa komunikasi bisa
menjadi penyebab dan penyelesaian
konflik. Dimana komunikasi yang buruk
akan memicu konflik pada hubungan
mereka dan komunikasi diperlukan untuk
mencari solusi penyelesaian konflik yang
terjadi pada hubungan mereka.
bisa dihindari dan wajar terjadi pada setiap
orang.
Selain
pandangan
tersebut,
informan penelitian beranggapan bahwa
positif dan negatifnya konflik tergantung
bagaimana
mereka
menanggapi,
menyikapi konflik dan efek yang
ditimbulkan konflik.
Faktor
konflik
hubungan
pertemanan sesama waria pekerja seks
komersial terjadi karena ketidakpastian
informasi mengenai keberadaan temannya.
Faktor kedua, kekurangan dari segi fisik,
kurangnya pendengaran dari salah satu
pihak karena pengaruh suntik hormon.
Faktor ketiga, perbedaan persepsi dan cara
pandang dalam hal-hal tertentu, misalnya
dalam segi fashion pada hubungan
pertemaan sesama waria pekerja seks
komersial
dan
Perbedaan
tingkat
ketertutupan dan keterbukaan waria, serta
kepercayaan kepada pihak lain. Karena
dalam hubungan dibutuhkan keterbukaan
dan kepercayaan satu sama lain.
Dalam mengelola konfliknya,
waria pekerja seks komersial melakukan
Manajemen koflik dengan menggunakan
cara berbicara dan mengungkapkan
permasalahan mereka berdua. Sebagai
solusi konflik, mereka menggunakan cara
bersendau-gurau untuk mencegah konflik
menjadi besar dengan teman sesama
warianya.
Seringkali
mereka
menggunakan
kata-kata
kotor dan
mengeluarkan umpatan mereka agar
konflik terselesaikan.
Dampak positif konflik pada
hubungan pertemanan informan adalah
saling mengerti satu sama lain dan juga
untuk koreksi diri akan kesalahan masingmasing. Sedangkan dampak negatifnya
adalah timbulnya rasa ketidaknyamanan
setelah
konflik
berakhir,
juga
membutuhkan sedikit waktu untuk
meperbaiki hubungan seperti semula.
Kesimpulan
Waria pekerja seks komersial
memandang konflik sebagai hal yang tidak
11
DAFTAR PUSTAKA
Allan & Barbara, P. (2004). Sillyman from
mars, pitywoman from venus.
Jakarta: Curiocita.
Arianto & Triawan, R. (2008). Jadi kau
tak merasa bersalah!? Studi kasus
diskriminasi
dan
kekerasan
terhadap LGBTI. Jakarta: Arus
Pelangi.
Basrowi & Suwandi. (2008). Memahai
penelitian
kualitatif.
Jakarta:
Rineka Cipta.
Bailey, S. J. (2009). Communication and
Conflict Resolution in Couple
Relationships.
Extension..
Bozeman, USA: Montana State
University.
Cinardo, J. (2012). Male and Female
differences in conflict. Thesis.
Conway, South Carolina: Coastal
Carolina University.
DeVito, J. A. (2007). The interpersonal
communication book (11th ed).
Boston: Pearson Education, Inc.
Eggert, M. A. & Falzon, W. (2008).
Resolving conflict pocket book.
Jakarta: Matalexia Publishing
Elvina, Julia. (2008). Relasi interpersonal
waria (Studi Kasus Terhadap
Waria F di Cimahi). Skripsi.
Bandung: Universitas Pendidikan
Indonesia. Tidak diterbitkan.
Effendy, F. A. (2010). Konflik pada
perkawinan campuran antara
pasangan dengan latar belakang
budaya konteks tinggi dan rendah.
(Studi fenomenoligi tentang konflik
pada perkawinan campuran etnis
Jawa-Australia dan etnis JawaInggris di Bali). Skripsi. Malang:
Universitas
Brawijaya.
Tidak
diterbitkan.
Goble, F. G. (2006). The third force, the
psychology of Abraham Maslow.
New York: Washington Square
Press.
Hocker, J.L & Wilmot, W.W. (2001).
Interpersonal conflict (6th Ed).
New York: Mc Graw Hill
Companies.
Karinina, N. (2007). Penyimpangan
indentitas dan peran Jender.
Pendekatan penelitian masalah
kesejahteraan sosial waria. Jurnal
Informas, 12 (1) :44-53.
Koeswinarno. (2004). Hidup sebagai
waria. Yogyakarta: Lkis Pelangi Aksara.
Kriyantono, R. (2010). Teknik praktis riset
komunikasi:
Disertai
contoh
praktis
riset
media,
public
relations, advertising, komunikasi
organisasi, komunikasi pemasaran.
Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Lamberton, L, & Minor-Evans, L. (2007).
Human Relations: Strategies for
succes. New York: McGraw – Hill
Companies, Inc.
Laditta. (2012). Manajemen konflik rumah
tangga pada pasangan yang
menikah di usia muda. Studi
fenomenologi terhadap mahasiswa
perempuan yang menikah pada
masa kuliah di universitas kota
Malang.
Skripsi.
Malang:
Universitas
Brawijaya.
Tidak
diterbitkan.
Liliweri, A. (2005). Prasangka & konflik;
Komunikasi
lintas
budaya
masyarakat
multikultur.
Yogyakarta: Lkis Pelangi Aksara.
Ludlow,
R
&
Panton,
F.
(1996).Komunikasi
efektif.
Yogyakarta: Andi
12
Luthans, F. (2006). Organizational
behaviour. New York: McGrawHill Companies, Inc.
Moleong, J. L. (2010). Metodologi
penelitian kualitatif. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Narisswary, V. (2012). Perlakuan
diskriminatif
terhadap
waria
transeksual (Studi kasus terhadap
waria usia dewasa awal di yayasan
srikandi
pasundan
bandung).
Skripsi
pada
Universitas
Pendidikan Indonesia. Bandung:
Tidak diterbitkan.
Nimran, U. (1999). Perilaku Organisasi.
Surabaya: CV. Citra Media.
Nurhadi. (2005). Orang-orang jenis ketiga
(Ulasan atas buku-buku mengenai
waria). Artikel dipresentasikan
dalam bedah buku BEM FBS
UNY, pada 6 Mei 2005.
Pratiwi, S. S. (2010). “Bahasa binan
dalam komunikasi antarpribadi di
kalangan waria: Studi deskriptif
mengenai penggunaan bahasa
binan dalam proses komunikasi
antarpribadi di kalangan waria di
kelurahan sitirejo II kecamatan
Medan Amplas Sumatera Utara.
Skripsi.
Medan:
Universitas
Sumatera Utara. Tidak diterbitkan.
Prihastuti, Wenny R. K. (2011). Hubungan
antara kecerdasan dosial dengan
gaya penyelesaian konflik siswa
seminari menengah ST. Jurnal
Insan, 13 (2): 96-105.
Puspitosari, H, & Pujileksono, S. (2005).
Waria dan tekanan sosial. Malang:
UMM Press.
Raffel, L. (2008). I hate conflict. New
York: McGraw-Hill Companies,
Inc.
Rakhmat, J. (199). Psikologi Komunikasi.
Bandung: Remaja Rosda Karya.
Suyanto, B. (2005). Metode penelitian
sosial. Bandung: Kencana Prenada
Media Group.
Sugiyono. (2011). Metode penelitian
kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Urban, E. (2005). Competition and
interpersonal conflict in same-sex
platonic Friendship. Journal of
Graduate Research. Michigan,
USA:
Western
Michigan
University
Utami, M. D. (2010). Manajemen konflik
pada wanita pekerja seks komersial
yang
berkeluarga.
Skripsi.
Semarang: Universitas Diponegoro.
Tidak diterbitkan.
West, R. dan Turner, L. H. (2007).
Introducing
Communication
Theory. Analysis and Application.
2007. Singapore: McGraw Hill.
Wiraharjo, I. W. (2008). Tindakan sosial
waria di kota Malang terhadap
diskriminasi
dalam
bidang
pekerjaan.
Skripsi.
Malang:
Universitas
Brawijaya.
Tidak
Diterbitkan.
Wirawan. (2010). Konflik dan manajemen
konflik.
Jakarta:
Salemba
Humanika.
13
Komersial di Kota Malang
Oleh: Marlia Wahyu Rusdiana, S.I.Kom
Pembimbing: Fitri H. Oktaviani dan Sri Handayani
Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya
ABSTRAK
Waria yang notabene kaum transeksual, terlahir dalam fisik laki-laki, namun
mempunyai perasaan dan jiwa perempuan (Koeswinarno, 2004). Dalam beberapa kasus,
waria mempunyai kesulitan untuk mempunyai hubungan pribadi dengan lain jenis, dalam hal
ini laki-laki ataupun perempuan. Setiap hubungan pertemanan mengandung unsur-unsur
konflik, pertentangan pendapat atau perbedaan kepentingan. Waria yang mempunyai sisi lakilaki dan perempuan bisa mempunyai penyebab dan penyelesaian konflik yang mungkin
berbeda dengan orang kebanyakan.
Penelitian ini akan berfokus pada manajemen konflik pada hubungan pertemanan
sesama waria pekerja seks komersial di kota Malang. Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif dengan jenis pendekatan deskriptif. Informan yang akan digunakan adalah waria
yang bekerja sebagai pekerja seks komersial yang telah menjalin hubungan pertemanan
dengan sesama waria dan berdomisili di kota Malang.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa sebagai kaum transeksual akan
mempegaruhi pandangan, faktor penyebab, penyelesaian dan dampak konflik pada hubungan
mereka. Faktor penyebab konflik pada hubungan pertemanan pada waria yang diteliti.
Ketidakpastian informasi tidak ada balasan ketika menghubungi.Kekurangan dari segi fisik,
kurangnya pendengaran dari salah satu pihak karena pengaruh suntik hormon. Perbedaan
persepsi dan cara pandang dalam hal-hal tertentu, misalnya dalam segi fashion. Perbedaan
tingkat ketertutupan dan keterbukaan waria, serta kepercayaan kepada pihak lain.
Untuk penyelesaian konflik, subjek penelitian cenderung menggunakan strategi winwin dengan menggunakan taktik integrative, noncomittal statements, competitive tactics,
caranya adalah berbicara dan mengungkapkan permasalahan mereka berdua. Seringkali
mereka menggunakan kata-kata kotor dan mengeluarkan umpatan mereka agar konflik
terselesaikan.
Kata Kunci : Hubungan pertemanan antar waria, konflik, manajemen konflik
Pendahuluan
Waria sebagai kaum transeksual
yaitu seorang individu yang mempunyai
ciri fisik laki-laki, akan tetapi perasaan dan
jiwa yang mereka rasakan sebagai
perempuan.
Kartono (dalam Koeswinarno, 2004)
mengatakan sebagai sebuah kepribadian,
kehadiran seorang waria merupakan satu
proses yang panjang, baik secara
individual maupun sosial. Secara individu
antara lain, lahirnya perilaku waria tidak
lepas dari suatu proses atau dorongan yang
kuat dari dalam dirinya, bahwa fisik
mereka tidak sesuai dengan kondisi psikis.
Hal ini menimbulkan konflik psikologis
dalam dirinya. Mereka mempresentasikan
perilaku yang jauh berbeda dengan laki1
laki pada umumnya, tetapi bukan sebagai
perempuan normal juga.
Kebutuhan sosial mendorong ikatan
emosional dengan individu lain, baik
sesama jenis, maupun lain jenis, baik di
lingkungan keluarga, kelompok, maupun
masyarakat.
Dalam beberapa kasus, waria
mempunyai kesulitan untuk mempunyai
hubungan pribadi dengan lain jenis, dalam
hal ini laki-laki ataupun perempuan.
Sebagai
contoh,
dorongan
perasaannya untuk lebih dekat dengan
laki-laki
membuat
waria
semakin
mendapatkan penolakan-penolakan dalam
pergaulan di masyarakat (Karinina, 2007).
Dalam penelitiannya Karinina (2007)
menemukan waria juga menemukan
kesulitan untuk menemukan teman wanita
untuk berbagi cerita dan berteman.
Pada
hakikatnya
hubungan
pertemanan yang terjalin di antara waria
sama seperti hubungan pertemanan
perempuan dan perempuan ataupun lakilaki dan laki-laki. Johnson dalam
Prihastuti (2001) mendefinisikan konflik
adalah situasi dimana kita mengalami
perbedaan pendapat atau tindakan dengan
salah orang yang berakibat menghalangi,
menghambat, atau mengganggu tindakan
orang lain.
Laki-laki
dan
perempuan
mempunyai perbedaan perihal bagaimana
mereka mengelola konflik. Gottman &
Carrere (dalam DeVito 2007) membahas
perbedaan
gender
dalam
konflik
antarpribadi, misalnya, laki-laki lebih
cenderung untuk menarik diri dari situasi
konflik daripada wanita. Di sisi lain,
wanita ingin lebih dekat dengan konflik,
mereka ingin berbicara tentang hal itu dan
menyelesaikannya. Studi lain dalam
DeVito (2007) menjelaskan bahwa wanita
lebih emosional dibandingkan laki-laki
yang lebih logis saat mereka berargumen.
Koeswinarno
(2004)
mengklasifikasikan waria menjadi dua
jenis, pertama waria pelacur dan waria non
pelacur. Tempat waria melacur merupakan
media untuk menjalin solidaritas mereka.
Meskipun solidaritas di kalangan waria
demikian solid, namun bukan berarti di
tempat mereka menjajakan diri tidak
terlepas dari konflik.
Koeswinarno (2004) menambahkan
salah satu faktor penyebab konflik yang
terjadi pada waria menurut adalah
perebutan pelanggan saat mereka berkerja
menjajakan diri. Berdasarkan pemaparan
tersebut, fenomena konflik pada hubungan
pertemanan sesama waria yang bekerja di
tempat pelacuran merupakan hal yang
berbeda dibanding hubungan pertemanan
pada umumya. Oleh karena itu, peneliti
berusaha meneliti bagaimana waria pekerja
seks komersial mengelola konflik pada
hubungan pertemanannya dengan sesama
waria.
Metode
Pendekatan
dalam
laporan
penelitian ini adalah kualitatif. Pendekatan
kualitatif dirasa tepat karena dengan
pendekatan
ini
dapat
membantu
memperoleh deskripsi (penggambaran)
konflik pada hubungan pertemanan sesama
waria pekerja seks komersial. Dengan
demikian, pendekatan ini memungkinkan
peneliti untuk mendapatkan data secara
fleksibel dan mendalam tentang hubungan
pertemanan sesama waria.
Jenis
penelitan
ini
adalah
deskriptif. Penelitian dilakukan secara
intensif, terperinci dan mendalam untuk
meneliti
manajemen
konflik
pada
hubungan pertemanan sesama
waria
pekerja seks komersial di kota Malang.
2
Masalah dalam penelitian kualitatif
bertumpu pada sesuatu fokus (Moleong,
2010). Fokus pertama pada penelitan ini
adalah pandangan waria pekerja seks
komersial terhadap konflik. Fokus yang
kedua, faktor-faktor penyebab yang
melatarbelakangi konflik pada hubungan
pertemanan sesama waria pekerja seks
komersial.
Selanjutnya
fokus
ketiga,
manajemen konflik hubungan pertemanan
sesama waria pekerja seks komersial di
kota Malang. Fokus terakhir, dampak
setelah terjadinya konflik pada hubungan
pertemanan sesama waria pekerja seks
komersial, berisikan tentang dampak
positif dan negatif dari konflik yang terjadi
pada hubungan sesama waria.
Pada penelitian ini data primer
diperoleh dari hasil wawancara dengan
informan terkait dengan manajemen
konflik pada hubungan pertemanan sesama
waria pekerja seks komersial di kota
Malang. Data primer ini berupa pernyataan
informan yang terkait dengan manajemen
konflik pada hubungan pertemanan sesama
waria.
Data sekunder dalam penelitian ini
diperoleh buku-buku, jurnal ilmiah atau
tulisan-tulisan ilmiah lain, yang berkaitan
dengan manajemen konflik pada hubungan
pertemanan sesama waria pekerja seks
komersial di kota Malang.
Untuk
mengum
teknik
pengumpulan
data
penelitian
ini
menggunakan
teknik
wawancara,
wawancara dilakukan kepada waria yang
memenuhi
kriteria
informan
yang
ditetapkan peneliti. Wawancara mendalam
dilakukan
peneliti
agar
peneliti
mendapatkan informasi yang diinginkan
dan data yang lebih lengkap mengenai
konflik pada hubungan pertemanan sesama
waria pekerja seks komersial. Dengan
mengunakan teknik wawancara ini,
peneliti juga berharap mendapat jawaban
detail tentang opini, motivasi dan
pengalaman informan dalam hal konflik
pada hubungan pertemanan sesama waria
pekerja seks komersial.
Informan dalam penelitian ini
ditentukan melalui teknik sampling
purposif (purposive sampling). Adapun
orang yang akan dijadikan
informan
utama dalam penilitan ini adalah waria
yang berdomisili di kota Malang. Dengan
beberapa kriteria. Pertama, waria yang
berteman dengan sesama waria kurang
lebih selama satu tahun. Kedua waria yang
bekerja sebagai Pekerja Seks Komersial.
Kriteria ketiga waria yang pernah
mengalami konflik dalam hubungan
pertemanan sesama waria.
Pada pelitian ini, triangulasi yang
digunakan adalah triangulasi sumber data
karena dalam penelitian ini yang menjadi
bahan kajian adalah sumber atau informan.
Triangulasi sumber data dilakukan dengan
cara melakukan pengecekan terhadap data
yang didapat dari informan-informan
penelitian. Hal ini dapat dicapai dengan
cara
membandingkan
data
hasil
wawancara dari informan-informan yang
dilakukan dengan wawancara secara
terpisah.
Tahap analisis data memegang
peranan penting dalam riset kualitatif.
Data dalam penelitian ini dianalisis
menggunakan model Miles dan Huberman.
Miles dan Huberman (dalam Sugiyono,
2001) mengemukakan bahwa aktivitas
dalam analisis data kualitatif dilakukan
secara interaktif dan berlangsung secara
terus menerus sampai tuntas, sehingga
datanya sudah jenuh. Berikut tahapan
dalam analisis Miles dan Huberman, yaitu:
Pengumpulan data, reduksi data, penyajian
3
data, dan penarikan kesimpulan. Berikut
penjelasan tahapan dari analisis data.
Hasil dan Pembahasan
Penelitian dari Wiraharjo (2008)
mengkategorikan waria di kota Malang
dalam
tiga
kelompok
besar.
Pengelompokan terhadap waria ini
didasarkan pada pekerjaan yang ditekuni
oleh wara tersebut. Kelompok pertama
adalah waria yang berprofesi sebagai PSK,
yang kedua waria yang berprofesi sebagai
pekerja salon, dan yang terakhir waria
yang bekerja di luar kedua bidang tersebut
(Wiraharjo, 2008).
Kelompok waria yang berprofesi
sebagai PSK adalah waria yang keluar
menjajakan diri pada saat malam hari.
Kelompok ini seringkali mempunyai
tempat mangkal tetap. Di kota Malang
tempat mangkal waria biasanya di jalan
gajah mada dekat Stasiun atau di daerah
sekitar Tugu (Wiraharjo, 2008). Waria
cenderung mangkal ditempat yang sama
dan tidak berpindah-pindah, dengan alasan
sudah mempunyai pelanggan tetap.
Kelompok kedua, yaitu waria yang
berprofesi sebagai pekerja salon. Mereka
menggantungkan
hidupnya
dari
penghasilan sebagai pekerja salon. Mereka
mempunyai keahlian dalam bidang
kecantikan.
Selain
pekerja
salon,
kelompok ini juga mencakup waria yang
berprofesi sebagai perias wajah atau make
up artist.
Kelompok terakhir adalah waria
yang bekerja di luar PSK dan pekerja
salon. Jumlah waria di kelompok ini
sangat sedikit, karena keahlian yang
dimiliki mereka tidak banyak dimiliki
waria lain. Beberapa contoh pekerjan
mereka adalah sebagai instruktur senam,
bekerja di toko atau waria yang
memberikan penyuluhan di Rumah Sakit
dan LSM.
Sesuai dengan etika penelitan yang
telah ditentukan peneliti, untuk menjaga
kerahasiaan informan, dalam lembar
pengumpulan data penelitian tidak
dicantumkan
nama
asli
informan
melainkan nama samaran, serta tidak
memaparkan profil informan secara
mendetaiil. Hal ini dilakukan untuk
menjaga kepercayaan informan kepada
peneiliti.
Untuk
menjaga
tingkat
keabsahan data, peneliti melakukan
wawancara secara terpisah kepada setiap
pasangan informan. Berikut peneliti
memaparkan profil informan penelitian
dengan menggunakan nama samaran
Friska-Angel dan Kim-Vera.
Sebagai makhluk sosial, waria juga
melakukan interaksi dengan orang lain.
Interaksi dalam tahap dasar berupa
komunikasi antarpribadi yang terjalin pada
antara
waria
dengan
orang-orang
terdekatnya. Tidak terkecuali pada
hubungan pertemanan sesama waria.
Seperti hubungan pertemanan yang terjalin
antara Friska dan Angel dan juga Kim dan
Vera.
Melihat salah satu karakteristik
komunikasi
antar
pribadi
yaitu
ketergantungan satu sama lain. Maka
tujuan komunikasi ini adalah membangun
hubungan dengan orang lain. Seperti yang
di alami Kim saat pertama kali
menginjakkan kaki di kota Malang. Kim
belum
mengenal
siapapun
yang
mempunyai
latar
belakang
sama
dengannya, akhirnya menjalin hubungan
dengan Vera. Sama halnya dengan Kim,
Angel
merasa
saat pertama kali
memutuskan menjadi waria adalah saat
terberat bagi dia. Oleh karena itu, Angel
butuh berhubungan dengan orang yang
4
mempunyai latar belakang sama dengannya
yaitu Friska.
Dalam penelitian ini ditemukan
awal mula kedekatan waria dengan teman
sesamanya adalah karena masalah atau
latar belakang yang dimilikinya. Seperti
hubungan pertemanan Friska dan Angel
yang dilatarbelakangi oleh penolakkan
keluarga Angel akan keputusannya
menjadi waria. Angel mungkin bisa
menceritakan masalahnya kepada siapa
saja, namun solusi yang dia dapat belum
tentu dapat menyelesaikan masalahnya.
Oleh karena itu Angel menceritakan
masalahnya pada Friska, yang sudah
memutuskan menjadi waria terlebih
dahulu.
Selain latar belakang yang sama,
waria-waria ini memlih teman sesama
waria karena alasan kecocokan masing.
Seperti pada hubungan Kim dan Vera awal
mula hubungan mereka terjalin adalah saat
mereka saling dikenalkan oleh salah
seorang teman. Saat itu Kim baru
menginjakkan kaki di kota Malang sebagai
mahasiswa di salah satu Perguruan Tinggi
di kota Malang. Karena merasa cocok satu
sama lain, Kim dan Vera masih berteman
dekat sampai saat ini.
Hubungan pertemanan sesama
waria yang terjalin disebabkan oleh adanya
kepedulian dari mereka akan rekan yang
mempunyai latar belakang yang sama
dengan mereka. Seringkali mereka
membutuhkan teman untuk berbagi dan
bercerita tentang keluh kesah yang hanya
dimengerti oleh kalangan waria sendiri.
Contoh permasalahan yang dihadapi
mereka salah satunya alah penolakan dari
pihak keluarga saat mereka memutuskan
diri menjadi waria. Mereka membutuhkan
teman bercerita dan memberikan solusi
terhadap masalahnya dan tidak semua
orang bisa mengerti masalah yang
dihadapinnya. Hanya waria yang dapat
mengerti masalah yang bisa mengerti dia.
Tujuan lain dari komunikasi
antarpribadi adalah sebagai hiburan atau
mencari kesenangan (DeVito, 2007). Hal
ini biasanya dapat berupa candaan,
bercerita, diskusi ringan atau bergosip.
Salah satu bentuk tujuan keempat ini
adalah aksi jambak-menjambak dikalangan
waria. Menurut Kim, jika aksi tersebut
hanya untuk senang-senang dan bermain,
tidak lebih dari itu. Namun berbeda dengan
keterangan tersebut, Vera menambahkan
jika
aksi
jambak-menjambak
juga
merupakan bentuk luapan mereka ketika
sedang bertengkar dengan sesama waria.
Dalam hubungan pertemanannya
waria melakukan pembicaraan layaknya
perempuan. Tema dari pembicaraan
mereka seputar hubungan personal, kekasih
dan fashion. Hal ini seperti yang
diungkapkan Allan dan Barbara (2004)
bahwa di usia dewasa perempuan berbicara
tentang
diet,
hubungan
personal,
perkawinan,
anak-anak,
kekasih,
kepribadian, pakaian, apa yang dilakukan
orang, hubungan pekerjaan dan apapun
yang berkaitan dengan orang dan masalah
pribadi.
Menurut Allan dan Barbara (2004)
perempuan biasanya memiliki seorang
teman baik untuk saling berbagi rahasia.
Sedangkan laki-laki akan segera mencari
status dalam kelompoknya. Kekuasaan dan
status sangat penting didalam kelompok
seorang laki-laki (Allan dan Barbara,
2004). Pada hubungan perteman waria
mereka melakukan pertemanan seperti
wanita yang membutuhkan teman untuk
berbagi rahasia, seperti menceritakan
hubungan mereka dengan laki-laki atau
ketika mereka menghadapi masalah dengan
keluarga. Hal tersebut diatas terjadi ketika
5
waria melakukan komunikasi dengan
teman dekatnya.
Namun terjadi sedikit perbedaan
ketika mereka melakukan komunikasi
dengan waria di tempat mangkal mereka.
Pada waria dalam peneleitian ini cenderung
menunjukkan sifat bawaan mereka sebagai
laki-laki dengan melakukan kompetisi
untuk mendapatkan kekuasaan atau status
dalam hal memperebutkan ilayah dan
pelanggannya. Seperti yang diungkapkan
oleh (Allan dan Barbara, 2004) bahwa
kompetisi adalah hal yang muncul biasanya
pada hubungan pertemanan laki-laki,
karena pada dasarnya laki-laki mempunyai
sifat
sifat
gampang
curiga
atau
pencemburu, bersaing, berkuasa atau
menguasai, melindungi, dan menyendiri.
Alasan lain yang membuat waria
memilih teman yang mempunyai latar
belakang
sama
dengannya
adalah
kepedulian. Seperti pada hubungan Friska
dan Angel, menurut Friska jika bukan
dirinya yang peduli terhadap (waria)
kelompoknya lalu siapa lagi. Friska
menganggap suatu kelompok tidak akan
pernah maju jika bukan anggotanya sendiri
yang memajukan. Sedangkan dari sisi lain,
Angel memilih Friska karena kecocokan
karakter
masing-masing.
Angel
menambahkan hanya sesama waria seperti
dirinya karena hanya (waria) Friska yang
mengerti dia.
Berdasarkan
informasi
yang
diperoleh dari setiap informan di atas
bahwa pada dasarnya waria memandang
konflik adalah hal yang tidak dapat
dihindari dan wajar terjadi pada setiap
orang. Pandangan tersebut merupakan
pandangan konflik secara kontemporer,
seperti yang dikatakan Myers dalam Ladita
(2012) dimana konflik dianggap sebagai
suatu hal yang wajar di dalam kehidupan
keluarga, sosial dan organisasi.
Selain pandangan tersebut di atas,
informan beranggapan bahwa positif dan
negatifnya
konflik
tergantung
dari
bagaimana menanggapi, menyikapi konflik
dan efek yang ditimbulkan konflik. Setelah
memaparkan hasil penelitian tentang
bagaimana waria memandang konflik.
Selanjutnya peneliti akan memaparkan
tentang bagaimana waria mengelola
konflik
pada hubungan pertemanan
sesama mereka.
Konflik ini terjadi karena berbagai macam
sebab. Salah satunya terjadi karena terjadi
hambatan komunikasi pada hubungan
mereka. Hambatan-hambatan yang muncul
tidak hanya berasal dari dalam diri mereka,
namun juga dari luar.
Dari hasil penelitian, didapatkan
bahwa sumber konflik tidak jauh dari
hambatan komunikasi yang terjadi. Tiga
hambatan yang sering memicu terjadinya
konflik pada hubungan pertemanan
mereka. Hambatan pertama adalah
hambatan physiological yang disebabkan
oleh kekurangan fisik individu. Untuk
merubah bentuk tubuh mereka agar lebih
menyerupai
perempuan,
waria
mengkonsumsi
hormon
pembesar
payudara. Hormon tersebut menimbulkan
efek samping kurangnya pendengaran
orang yang mengkonsumsinya. Kondisi
tersebut seperti yang di alami oleh Angel.
Dampak kurangnya pendengaran memicu
terjadinya konflik pada mereka, karena hal
ini terjadi secara berulang-ulang dan
menimbulkan salah penafsiran ucapan dari
lawan bicaranya.
Hambatan kedua adalah hambatan
physical, bentuk hambatan ini adalah
gangguan sinyal. Dampak dari gangguan
sinyal
pada
hp
adalah
tidak
tersampaikannya sms atau salah satu pihak
6
kesulitan menghubungi pihak lain. Hal ini
seperti yang terjadi pada hubungan Angel
dan Friska. Kondisi tersebut seperti terjadi
karena kegagalan komunikasi pada
hubungan mereka. Kegagalan komunikasi
yang terjadi karena pengaruh tidak adanya
respon dari salah satu pihak (Angel)
menimbulkan
dampak
ketidakpastian
informasi pada Friska.
Respon dari Angel diharapkan bisa
mengurangi
ketidakpastian
pada
keadaannya, seperti yang diungkapkan
Berger dan Calabrese (dalam West and
Turner, 2007) bahwa dalam uncertainty
reduction theory komunikasi digunakan
untuk mengurangi ketidakpastian antara
orang asing yang terikat dalam percakapan
mereka bersama. Bukan hanya orang asing,
tapi teori ini berlaku juga pada hubungan
antar pribadi. Kekhawatiran akan muncul
karena tidak ada respon atau balasan yang
diterima.
Hambatan ketiga adalah hambatan
psychological dimana bentuk hambatan ini
berasal dari mental masing-masing
individu. Seperti ketertutupan seseorang,
kepercayaan kepada pihak lain, atau
perbedaan pendapat atau pandangan pada
beberapa hal tertentu. Komunikasi yang
buruk terjadi ketika dua orang tidak
menyampaikan kebutuhan-kebutuhan apa
saja yang diperlukan, tidak dapat
menyatakan masalah dan tidak bisa
menyatakan argumentasi yang baik pada
saat berkomunikasi (Eggert dan Falzon,
2008). Kondisi tersebut seperti yang terjadi
pada hubungan Kim dan Vera, dimana
pada kondisi tersebut menimbulkan konflik
pada hubungan mereka. Karena salah satu
pihak tidak bisa mengkomunikasikan atau
menyampaikan masalah. Dalam hubungan
pertemanan dibutuhkan keterbukaan dan
kepercayaan pada satu sama lain. Hal ini
juga dilatarbelakangi oleh perbedaan
karakteristik setiap individu, termasuk Kim
dan Vera.
Selain itu, Kim menyadari bahwa
wawasan dan selera setiap orang berbedabeda, untuk itulah perbedaan merupakan
hal yang wajar. Namun tidak bisa
dipungkiri bahwa perbedaan itulah yang
sering menimbulkan konflik diantara
mereka. Hal ini sesuai dengan yang dikatan
Eggert dan Falzon (2008) bahwa
perbedaan-perbedaan yang dirasakan,
perbedaan ini dirasakan hampir setiap
orang. Perbedaan pada hubungan Kim dan
Vera adalah cara pandang mereka terhadap
fashion. Ludlow dan Panton (1996)
menambahkan salah satu hambatan
komunikasi adalah distorsi persepsi
(perceptual distortion), dimana dalam
komunikasi terjadi perbedaan persepsi dan
wawasan atau cara pandang antara satu
dengan yang lainnya.
Sesuai dengan hasil penemuan di
lapangan menunjukkan waria pekerja seks
komersial terlibat konflik dengan teman
dekatnya pada beberapa aspek. Yang
pertama pada kecemburuan dan merasa
terabaikan, kedua pada hal kepercayaan,
dan terakhir pada hal keterbukaan.
Kecenderungan konflik ini mengarah
kepada sisi konflik yang sering di alami
perempuan dengan teman sesama jenisnya,
seperti yang diungkapkan Allan & Barbara,
P (2004) bahwa wanita memiliki sifat
terbuka, penuh rasa saling percaya,
bekerjasama, siap menerima kritik,
mengungkapkan perasaan dan menyadari
akan tidak perlunya berada dalam
pengawasan setiap waktu.
Jadi, ketika perempuan merasakan
tidak ada rasa saling percaya dan saling
terbuka pada hubungan pertemannya maka
bisa menimbulkan konflik dan hal tersebut
terjadi pada waria yang notabene
mempunyai fisik laki-laki namun secara
7
psikis seperti perempuan. Kecurigaan dan
cemburu adalah sifat dasar pria. Seperti
yang diungkapkan Allan & Barbara, P
(2004) pada dasarnya pria mempuyai sifat
gampang
curiga
atau
pencemburu,
bersaing, berkuasa atau menguasai,
melindungi,
dan
menyendiri
yang
cenderung menyembunyikan keadaankeadaan emosionalnya agar tetap bisa
terkendali. Sehingga pada penelitian ini
ditemukan, konflik yang muncul pada
hubungan pertemanan sesama waria adalah
perpaduan antara sifat dasarnya sebagai
laki-laki dan sifat bawaannya yang merasa
dirinnya perempuan.
Selain itu pada konflik diantara
waria ada perpaduan antara konflik yang
biasanya dihadapi perempuan dan konflik
yang biasanya terjadi pada hubungan
pertemanan laki-laki. Waria pekerja seks
komersial akan berkonflik dengan sesama
waria yang merupakan saingannya di
tempat mangkal pada segi perebutan
pelanggan, uang, tarif dan pakaian. Hasil
penelitian yang dilakukan Urban (2005)
menunjukkan penyebab konflik pada lakilaki ada empat hal, yaitu penerimaan,
ketertarikan sosial, kontroversi dan
bermain. Ketertarikan sosial terjadi
berkaitan dengan perebutan pelanggan,
dimana pelanggan memakai jasa mereka
tergantung dengan selera.
Sebagaimana waria pekerja seks
komersial sering memperebutkan wilayah
dan kedudukannya sebagai senior dan
junior di tempat mangkalnya. Seperti pada
Social exchange theory dimana dalam teori
ini Thibault dan Kelly mengemukakan
"bahwa setiap individu secara sukarela
memasuki dan tinggal dalam hubungan
sosial hanya selama hubungan tersebut
memuaskan dari segi ganjaran dan biaya."
(Rakhmat, 1999: 121). Ketika ganjaran
berupa
penerimaan
sosial
berupa
kedudukan senioritas tidak diterima pada
saat mereka di lapangan, maka hal
tersebutlah yang menyebabkan konflik.
Karena biaya berupa akibat negatif lebih
banyak dikeluarkan.
Penyebab konflik yang terjadi pada
waria pekerja seks komersial adalah
perebutan pelanggan saat mereka berkerja
menjajakan diri (Koeswinarno, 2004).
Namun perebutan pelanggan lebih banyak
terjadi dengan teman mangkal mereka,
sedangkan pada hubungan pertemanan
mereka jarang terjadi rebutan pelanggan.
Pada sisi bermain, waria melakukan
jambak-menjambak
sebagai
bentuk
permainan mereka. Namun terkadang aksi
ini adalah bentuk dari persaingan mereka
ketika berebut pelanggan. Kompetisi pada
waria akan lebih sering terjadi dengan
teman mangkal mereka.
Jadi dapat disimpulkan bahwa sisi
konflik secara perempuan pada waria
pekerja seks komersial akan muncul
dengan teman dekat sesama warianya.
Karena posisi waria adalah kaum marginal
dimana mereka tidak mempunyai banyak
teman, dan mereka tidak bisa bebas
memilih teman yang berbeda jenis dengan
mereka. Sedangkan dengan partner kerja di
tempat mangkalnya waria lebih sering
terlibat konflik pada sisi kompetisi seperti
pada hubungan pertemanan laki-laki. Hal
ini disebabkan karena waria masih
mempunyai sifat dasar sebagai laki-laki
dan secara psikis mereka adalah
perempuan. Jadi pada faktor konflik-pun
terjadi perpaduan antara sifat dasar lakilaki dan perempuan.
Data temuan peneliti dari hasil
wawancara dengan informan tentang faktor
konflik dengan sesama waria pekerja seks
komersial di tempat mangkal. Perebutan
pelanggan, setiap waria mempunyai
pelanggan tetap. Jika pelanggan tetapnya
8
beralih ke waria lain, bisa menyebabkan
pertengkaran diantara waria pekerja seks
komersial. Uang, waria sangat sensitif
sekali dengan seuatu hal yang berhubungan
dengan uang. Tarif, persaingan harga tarif
sering membuat gesekan-gesekan yang
menimbulkan konflik. Pakaian, setiap
mangkal waria selalu berdandan full makeup dan berpakaian layaknya pergi ke pesta.
Pakaian yang mahal dan bagus membuat ke
irian waria lain, dan bisa menimbulkan
konflik.
Pada
hubungan
pertemanan
informan tidak lepas dari adanya konflik
yang
terjadi.
Jika
konflik
dapat
diselesaikan dengan baik maka akan
membuat
hubungan
mereka
tidak
mengalami perpecahan. Cara yang
digunakan dalam menyelesaikan konflik
pada hubungan merekalah yang dinamakan
manajemen konflik.
Waria informan penelitian ini
sangat sensitif dalam hal konflik. Oleh
karena itu, ketika terjadi konflik pada
hubungan mereka, kedua belah pihak bisa
salaing merasakan. Pada hubungan
pertemanan sesama waria pekerja seks
komersial, mereka sama-sama menyadari
bahwa konflik itu ada dan terjadi. Friska,
Angel, Kim dan Vera sama-sama
merasakan saat konflik mulai muncul pada
hubungan mereka.
Mereka sependapat bahwa konflik
harus disikapi dengan dewasa agar tidak
berlarut-larut. Agar mencapai kesepakatan
yang menguntungkan satu sama lain, tidak
jarang mereka menggunakan kata-kata
kotor untuk mencapai kesepakatan.
Menurut mereka, kata-kata kotor akan
lebih baik daripada dipendam dalam hati
dan tidak diselesaikan.
Pria dan wanita merespon konflik
dengan cara yang berbeda. Pria lebih
mungkin dibandingkan perempuan untuk
menarik diri dari konflik (Bailey, 2009).
Mereka menarik lebih ketika wanita
mencoba untuk mendapatkan mereka untuk
berbicara tentang masalah ini. Wanita lebih
langsung daripada laki-laki dan ingin
mengatasi konflik. Wanita juga lebih kritis
dalam menyikapi konflik. Pengaruh dari
sifat perempuan inilah yang membuat
waria tidak pernah mengindari konflik dan
selalu berusaha menyelesaikan konflik
yang dihadapinnya
Dalam hal penyelesaian konflik,
penelitian membuktikan laki-laki dan
perempuan mempunyai perbedaan perihal
bagaimana mereka menyelesaikan konflik.
Gottman & Carrere (dalam DeVito, 2007)
menyatakan, perbedaan gender dalam
konflik antarpribadi, misalnya, laki-laki
lebih cenderung untuk menarik diri dari
situasi konflik daripada wanita. Di sisi lain,
wanita ingin lebih dekat dengan konflik
mereka ingin berbicara tentang hal itu dan
menyelesaikannya. Studi lain (dalam
DeVito,2007) menjelaskan bahwa wanita
lebih emosional dibandingkan laki-laki
yang lebih logis saat mereka berargumen.
Waria yang mempunyai fisik lakilaki namun secara psikis merasa dirinya
perempuan
mungkin
menyelesaikan
konflik dengan gabungan antara sifat lakilaki dan perempuan. Peneliti menemukan
ketika terlibat konflik yang besar, maka
waria cenderung menarik diri dan melihat
situasi baru menyelesaikan konfliknya.
Untuk menyelesaikan konfliknya mereka
melihat dahulu dengan siapa mereka
berkonflik dan bagaimana kondisi orang
yang berkonflik dengan mereka saat itu.
Sama halnya dengan wanita, waria
menghadapi konfliknya dengan emosi dan
melontarkan kata-kata kotor untuk
menyelesaikan masalahnya. Waria juga
tidak segan main tangan jika yang masalah
yang dihadapi mengancam dirinya.
9
Dari data yang telah didapat mereka
yang sedang terlibat konflik sama-sama
ingin konflik terselesaikan dengan baik.
Caranya adalah dengan saling berbicara
dan mengungkapkan permasalahan mereka
berdua. Kedua belah pihak sama-sama
mencari solusi agar mendapat kesepakatan
yang sama-sama menguntungkan mereka.
Seperti pada hubungan Kim dan Vera,
Vera menyelesaikannya dengan berbicara
kepada Kim pelan-pelan. Dia ingin
mengkomunikasikannya agar tidak terjadi
pertengkaran yang besar. Mereka berdua
sepemahaman bahwa memang konflik
harus segera diselesaikan. Penyelesaian
konflik ini dipengaruhi oleh pengalaman
mereka ketika menghadapi konflik
sebelum-sebelumnya.
Taktik
selanjutnya
adalah
noncomittal statements, dimana taktik ini
mereka gunakan untuk mencegah konflik
kecil menjadi besar. Cara mereka
menerapkan taktik ini adalah dengan
bersendau-gurau apabila sedang terjadi
masalah, sehingga membuat mereka lupa
akan konflik yang terjadi. Mereka selalu
mengkomunikasikan segala hal yang
terjadi. Angel dan Friska selalu saling
mengingatkan jika salah satu dari mereka
salah.
Selanjutnya competitive tactics
(taktik kompetitif), merupakan kompetisi
verbal atau tingkah laku individu. Untuk
tercapainya strategi win-win mereka
menggunakan taktik guna membantu
menyelesaikan konflik yang mereka alami.
Taktik ini berfokus pada orientasi kalahmenang dan seringkali merefleksikan
bahwa jika salah satu menang, maka yang
lainnya kalah. Cara penyelesaian ini
seperti yang terjadi pada hubungan Friska
dan Angel, dimana mereka menggunakan
kata-kata kotor untuk menyelesaikan
konflik mereka. Tidak jarang mereka
mengeluarkan umpatan atau menjelekjelekan waria yang sedang berkonflik
dengan mereka. Walaupun taktik ini
berorientasi pada kalah menang, namun
waria menggunakannya agar mencapai
kesepakatan
yang
sama-sama
menguntungkan.
Seperti yang dikatakan Wirawan
(2010),
salah
satu
faktor
yang
mempengaruhi gaya manajemen konflik
adalah pengalaman menggunakan salah
satu gaya manajemen konflik. Ketika
seseorang terlibat konflik dengan orang
yang sama, maka memiliki kecenderungan
menggunakan gaya yang sama ketika
terlibat konflik lagi dikemudian hari. Selain
itu, gaya manajemen konflik mereka
dipengaruhi pola komunikasi dalam
interaksi konflik.
Proses komunikasi yang terjadi
antara Friska dan Angel juga pada
hubungan Kim dan Vera membuat mereka
selalu menyelesaikan konfliknya secara
baik. Menurut Wirawan (2010) jika proses
komunikasinya berjalan baik, pesan kedua
belah pihak akan saling dimengerti dan
diterima secara persuasif, tanpa gangguan
(noise) dan menggunakan humor segar. Hal
ini sama seperti pada hubungan Friska dan
Angel, untuk mengurangi ketegangan,
mereka sering bersendau gurau agar
konflik tidak semakin besar.
Pada setiap konflik yang terjadi
selalu ada dampak yang akan nampak
ketika konflik telah terselesaikan. Hal
tersebut terjadi pada setiap orang,
termasuk pada konflik yang terjadi pada
waria pekerja seks komersial. Menurut
DeVito (2007) setiap konflik mempunyai
dampak positif dan negatif. Efek positif
merupakan bentuk dari penerimaan solusi
konflik dan dampak negatif bisa terjadi
akibat dari penolakan solusi. Dari waria
yang menunjukkan data bahwa dampak
10
positif dari konflik yang terjadi pada
hubungan mereka adalah mengetahui
karakter masing-masing. Hal tersebut
seperti yang terjadi pada hubungan Kim
dan Vera. Selain itu dampak positif juga
terjadi pada hubungan Friska dan Angel.
Menurut Hocker dan Wilmot
(2001) konflik dapat berfungsi sebagai
penyelesaian pertikaian dan membantu
orang untuk mengerti satu sama lain.
seperti pada hubungan Friska dan Angel.
Bentuk dari dampak positif tersebut adalah
mereka saling mengerti satu sama lain.
masing-masing juga bisa koreksi diri dan
menyadari kesalahan masing-masing.
Sedangkan dampak negatif yang
ditemukan pada waria yang diteliti adalah
konflik bisa merusak hubungan yang
sudah terjalin, hal tersebut seperti yang
terjadi pada hubungan Kim dan Vera. Bila
dalam situasi ini konflik tak ditangani
dengan baik, akan timbul perpisahan dan
ketidakjelasan (Devito, 2007). Hal tersebut
terjadi pada hubungan Friska dan Angel,
dampak negatif konflik pada hubungan
mereka adalah timbulnya rasa ketidak
nyamanan setelah konflik berakhir.
Terkadang
mereka
masih
membutuhkan waktu untuk kembali
seperti dulu. Selain itu konflik juga
berdampak merusak hubungan yang
terjalin dan menjadi bahan perbincangan
waria-waria lainnya. Pada penelitian ini
juga ditemukan bahwa komunikasi bisa
menjadi penyebab dan penyelesaian
konflik. Dimana komunikasi yang buruk
akan memicu konflik pada hubungan
mereka dan komunikasi diperlukan untuk
mencari solusi penyelesaian konflik yang
terjadi pada hubungan mereka.
bisa dihindari dan wajar terjadi pada setiap
orang.
Selain
pandangan
tersebut,
informan penelitian beranggapan bahwa
positif dan negatifnya konflik tergantung
bagaimana
mereka
menanggapi,
menyikapi konflik dan efek yang
ditimbulkan konflik.
Faktor
konflik
hubungan
pertemanan sesama waria pekerja seks
komersial terjadi karena ketidakpastian
informasi mengenai keberadaan temannya.
Faktor kedua, kekurangan dari segi fisik,
kurangnya pendengaran dari salah satu
pihak karena pengaruh suntik hormon.
Faktor ketiga, perbedaan persepsi dan cara
pandang dalam hal-hal tertentu, misalnya
dalam segi fashion pada hubungan
pertemaan sesama waria pekerja seks
komersial
dan
Perbedaan
tingkat
ketertutupan dan keterbukaan waria, serta
kepercayaan kepada pihak lain. Karena
dalam hubungan dibutuhkan keterbukaan
dan kepercayaan satu sama lain.
Dalam mengelola konfliknya,
waria pekerja seks komersial melakukan
Manajemen koflik dengan menggunakan
cara berbicara dan mengungkapkan
permasalahan mereka berdua. Sebagai
solusi konflik, mereka menggunakan cara
bersendau-gurau untuk mencegah konflik
menjadi besar dengan teman sesama
warianya.
Seringkali
mereka
menggunakan
kata-kata
kotor dan
mengeluarkan umpatan mereka agar
konflik terselesaikan.
Dampak positif konflik pada
hubungan pertemanan informan adalah
saling mengerti satu sama lain dan juga
untuk koreksi diri akan kesalahan masingmasing. Sedangkan dampak negatifnya
adalah timbulnya rasa ketidaknyamanan
setelah
konflik
berakhir,
juga
membutuhkan sedikit waktu untuk
meperbaiki hubungan seperti semula.
Kesimpulan
Waria pekerja seks komersial
memandang konflik sebagai hal yang tidak
11
DAFTAR PUSTAKA
Allan & Barbara, P. (2004). Sillyman from
mars, pitywoman from venus.
Jakarta: Curiocita.
Arianto & Triawan, R. (2008). Jadi kau
tak merasa bersalah!? Studi kasus
diskriminasi
dan
kekerasan
terhadap LGBTI. Jakarta: Arus
Pelangi.
Basrowi & Suwandi. (2008). Memahai
penelitian
kualitatif.
Jakarta:
Rineka Cipta.
Bailey, S. J. (2009). Communication and
Conflict Resolution in Couple
Relationships.
Extension..
Bozeman, USA: Montana State
University.
Cinardo, J. (2012). Male and Female
differences in conflict. Thesis.
Conway, South Carolina: Coastal
Carolina University.
DeVito, J. A. (2007). The interpersonal
communication book (11th ed).
Boston: Pearson Education, Inc.
Eggert, M. A. & Falzon, W. (2008).
Resolving conflict pocket book.
Jakarta: Matalexia Publishing
Elvina, Julia. (2008). Relasi interpersonal
waria (Studi Kasus Terhadap
Waria F di Cimahi). Skripsi.
Bandung: Universitas Pendidikan
Indonesia. Tidak diterbitkan.
Effendy, F. A. (2010). Konflik pada
perkawinan campuran antara
pasangan dengan latar belakang
budaya konteks tinggi dan rendah.
(Studi fenomenoligi tentang konflik
pada perkawinan campuran etnis
Jawa-Australia dan etnis JawaInggris di Bali). Skripsi. Malang:
Universitas
Brawijaya.
Tidak
diterbitkan.
Goble, F. G. (2006). The third force, the
psychology of Abraham Maslow.
New York: Washington Square
Press.
Hocker, J.L & Wilmot, W.W. (2001).
Interpersonal conflict (6th Ed).
New York: Mc Graw Hill
Companies.
Karinina, N. (2007). Penyimpangan
indentitas dan peran Jender.
Pendekatan penelitian masalah
kesejahteraan sosial waria. Jurnal
Informas, 12 (1) :44-53.
Koeswinarno. (2004). Hidup sebagai
waria. Yogyakarta: Lkis Pelangi Aksara.
Kriyantono, R. (2010). Teknik praktis riset
komunikasi:
Disertai
contoh
praktis
riset
media,
public
relations, advertising, komunikasi
organisasi, komunikasi pemasaran.
Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Lamberton, L, & Minor-Evans, L. (2007).
Human Relations: Strategies for
succes. New York: McGraw – Hill
Companies, Inc.
Laditta. (2012). Manajemen konflik rumah
tangga pada pasangan yang
menikah di usia muda. Studi
fenomenologi terhadap mahasiswa
perempuan yang menikah pada
masa kuliah di universitas kota
Malang.
Skripsi.
Malang:
Universitas
Brawijaya.
Tidak
diterbitkan.
Liliweri, A. (2005). Prasangka & konflik;
Komunikasi
lintas
budaya
masyarakat
multikultur.
Yogyakarta: Lkis Pelangi Aksara.
Ludlow,
R
&
Panton,
F.
(1996).Komunikasi
efektif.
Yogyakarta: Andi
12
Luthans, F. (2006). Organizational
behaviour. New York: McGrawHill Companies, Inc.
Moleong, J. L. (2010). Metodologi
penelitian kualitatif. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Narisswary, V. (2012). Perlakuan
diskriminatif
terhadap
waria
transeksual (Studi kasus terhadap
waria usia dewasa awal di yayasan
srikandi
pasundan
bandung).
Skripsi
pada
Universitas
Pendidikan Indonesia. Bandung:
Tidak diterbitkan.
Nimran, U. (1999). Perilaku Organisasi.
Surabaya: CV. Citra Media.
Nurhadi. (2005). Orang-orang jenis ketiga
(Ulasan atas buku-buku mengenai
waria). Artikel dipresentasikan
dalam bedah buku BEM FBS
UNY, pada 6 Mei 2005.
Pratiwi, S. S. (2010). “Bahasa binan
dalam komunikasi antarpribadi di
kalangan waria: Studi deskriptif
mengenai penggunaan bahasa
binan dalam proses komunikasi
antarpribadi di kalangan waria di
kelurahan sitirejo II kecamatan
Medan Amplas Sumatera Utara.
Skripsi.
Medan:
Universitas
Sumatera Utara. Tidak diterbitkan.
Prihastuti, Wenny R. K. (2011). Hubungan
antara kecerdasan dosial dengan
gaya penyelesaian konflik siswa
seminari menengah ST. Jurnal
Insan, 13 (2): 96-105.
Puspitosari, H, & Pujileksono, S. (2005).
Waria dan tekanan sosial. Malang:
UMM Press.
Raffel, L. (2008). I hate conflict. New
York: McGraw-Hill Companies,
Inc.
Rakhmat, J. (199). Psikologi Komunikasi.
Bandung: Remaja Rosda Karya.
Suyanto, B. (2005). Metode penelitian
sosial. Bandung: Kencana Prenada
Media Group.
Sugiyono. (2011). Metode penelitian
kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Urban, E. (2005). Competition and
interpersonal conflict in same-sex
platonic Friendship. Journal of
Graduate Research. Michigan,
USA:
Western
Michigan
University
Utami, M. D. (2010). Manajemen konflik
pada wanita pekerja seks komersial
yang
berkeluarga.
Skripsi.
Semarang: Universitas Diponegoro.
Tidak diterbitkan.
West, R. dan Turner, L. H. (2007).
Introducing
Communication
Theory. Analysis and Application.
2007. Singapore: McGraw Hill.
Wiraharjo, I. W. (2008). Tindakan sosial
waria di kota Malang terhadap
diskriminasi
dalam
bidang
pekerjaan.
Skripsi.
Malang:
Universitas
Brawijaya.
Tidak
Diterbitkan.
Wirawan. (2010). Konflik dan manajemen
konflik.
Jakarta:
Salemba
Humanika.
13