MAZHAB REALISME DALAM HUBUNGAN INTERNASI
MAKALAH AKAR PEMIKIRAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
REALISME
Zulkarnain S.I.P, M.Si
Oleh :
Tri Wahyuningrum I - 163112350750048
Prodi Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
UNIVERSITAS NASIONAL JAKARTA 2016
Jl. Sawo Manila Pejaten Pasar Minggu,
Jakarta Selatan, Kode Pos 12520
Telp (021) 7806700
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
i
DAFTAR ISI
ii
1.1 Latar Belakang
1.2 Perkembangan Realis
1.3 Tokoh Realis
1.4 Relevansi Konflik dengan Teori Realis
3
3
7
11
DAFTAR PUSTAKA
15
1.1 Latar Belakang
Sebagai sebuah disiplin ilmu, studi hubungan internasional memiliki
banyak teori ataupun perspektif yang kerap digunakan dalam mempelajari
ilmu ini sendiri. Salah satu dari yang terbesar adalah teori realisme. Teori
realisme juga sering disebut sebagai “Spektrum Ide”. Sebagai Sepektrum ide /
gagasan, realisme juga melingkupi 4 dalil inti yaitu Political Groupism,
Egoism, International Anarchy, dan Power Politic. Asumsi Realisme adalah
pada tradisi hubungan internasional yang berpusat pada empat ide utama.
Sistem internasional bersifat anarki. Tidak ada aktor di atas negara yang
mampu mengatur interaksinya; negara harus membina sendiri hubungan
dengan negara lain, tidak diatur oleh entitas yang lebih tinggi. Sistem
internasional ada dalam keadaan antagonisme tetap (lihat anarki
internasional).
Negara adalah aktor terpenting. Semua negara di dalam sistem adalah
aktor tunggal yang rasional
Negara cenderung mengejar kepentingan pribadi. Kelompok berusaha
meraup sumber daya sebanyak mungkin (lihat keunggulan relatif).
Masalah utama bagi setiap negara adalah kelangsungan hidup (survival).
Negara membangun militer untuk bertahan hidup, sehingga bisa
menciptakan dilema keamanan.
1.2 Perkembangan Realisme
A. Realisme Klasik
Keberadaan realisme klasik diawali oleh karya Thucydides, seorang
ilmuan politik Yunani, dengan bukunya yang berjudul History of the
Peloponnesian War. Dia meletakkan dasar bagi keyakinan umum dari realis
klasik. Negara merupakan aktor utama dalam perang. Negara bertanggung
jawab atas keselamatan, keamanan dan kemajuannya sendiri. Realisme klasik
yang diungkapkan oleh E.H Carr di awali oleh krisis 20 tahun, muncul karena
adanya sebuah kegegalan pada collective security yang digagas oleh kaum
realis utopis. Dari kegagalan inilah pecah perang dunia pertama. Realisme
klasik muncul saat itu sebagai kritikan bagi kaum liberalis yang dianggap oleh
Carr sebagai suatu utopis. Ada lima poin pandangan mendasar yang
berkembang pada era Realisme klasik ini. Pertama, realisme klasik
memandang Negara adalah satu-satunya aktor terpenting dalam politik
internasional. Kedua, mereka menggangap konflik kepentingan antar negara
dalam politik internasional tidak bisa dihindari. Ketiga, kaum realis melihat
sifat politik internasional sebagai suatu anarki. Maksud anarki disini adalah
tidak ada otoritas yang lebih tinggi lagi dari negara. Keempat, Tujuan dari
3
negara adalah untuk mencapai ketahanan nasional, supaya negara mereka
tidak di jajah. Kelima, tiap negara mencari power, mereka menganggap power
adalah akhir atau ending. Bila mereka sudah memiliki power, mereka bisa
mempertahankan diri. Karena mereka harus menjamin sendiri keselamatan dan
keamanannya sendiri. Hanya mereka yang bisa membantu diri mereka sendiri.
Realisme menganggap bahwa sifat manusia belum tentu baik. Kemungkinan
terbaik, manusia memiliki kapasitas baik dan buruk yang sama; kemungkinan
terburuk, manusia memiliki hasrat instingtif untuk mendominasi orang lain.
Sehingga, perang selalu menjadi kemungkinan. Tanggung jawab tiap negara
adalah menyediakan pertahanan dan keamanannya. Kebijaksanaan atau
tindakan nasional diukur dari apakah ia menjadi perpanjangan kepentingan
nasional, yang paling sering didefinisikan sebagai penambahan kekuatan
dalam berbagai bentuk, yang paling khusus kekuatan militer.
Perdamaian tidak dapat dijamin, namun dapat diperoleh karena balance of
power akan membuat negaranegara mencari jaminan keamanan dan
kepentingan mereka dengan bersekutu dengan negara lain yang lebih kuat.
Realisme mengutamakan kebijakan luar negeri daripada kebijakan domestik,
pemeliharaan kekuatan militer yang besar, dan penekanan pada nasionalisme.
Realisme juga mengutamakan negara sebagai aktor internasional uniter
dengan proses pembuatan keputusan tunggal, pada pokoknya rasional dalam
tindakannya, dan berargumen bahwa keamanan nasional adalah isu
internasional yang paling penting. Inti pemikiran Realisme klasik dalam HI
dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Negara sebagai pemegan peranan dominan selalu mempunyai
kepentingan yang berbenturan. Perbedaan kepentingan akan
menimbulkan perang atau konflik.
2. Power yang dimiliki oleh suatu negara sangat mempengaruhi
penyelesaian konflik, dan menentukan pengaruhnya atas negara lain.
3. Masalah utama dalam Hubungan Internasional adalah kondisi anarki,
yang berarti tiadanya sebuah otoritas kedaulatan pusat untuk mengatur
berbagai hubungan diantara negara-negara.
4. Niat agresif dari berbagai negara, ditambah dengan tidak adanya
pemerintah dunia, yang berarti bahwa konflik merupakan realitas yang
selalu ada dalam hubungan internasional.
5. Setiap negara dianjurkan untuk membangun kekuatan, beraliansi
dengan negara lain, dan memecah belah kekuatan negara lain (devide
and rule).
6. Setiap negara akan selalu bergerak dan berbuat berdasarkan
kepentingan nasionalnya (national interest).
Tokoh Realisme Klasik : Tokoh-tokoh utamanya, Thucydides dengan The History
of Pelopnnesian War (430-406 BC), Machiavelli dengan The Prince nya
(1532), Hans J. Morgenthau dengan Politics Among Nation nya (1948).
B. Realisme Neoklasik
Neoclassical realism (realisme neoklasik) merupakan salah satu varian dari
paradigma realisme dalam hubungan internasional. Konsep realisme neoklasik ini
muncul atas pemikiran dari Hans J. Morgenthau dalam bukunya yaitu Politics
Among Nations. Morgenthau berbicara animus nomandi, manusia “haus” dalam
kekuasaan. Jelas sekali dalam pemikirannya tentang animus nomandi, Morgenthau
melihat manusia sebagai makhluk yang bersifat buruk karena hanya
mementingkan keegoisannya untuk memperoleh apa yang ia inginkan bahkan
dengan mengorbankan orang lain sekalipun. Oleh karena itu, moral dan etika
dalam bernegara cenderung dikesampingkan. Dalam hal ini, Morgenthau tidak
memandang kepada negara, melainkan kepada individu. Individu yang dimaksud
adalah pemimpin negara yang menjalankan pemerintahan. Pemimpin negara yang
menjalankan kekuasaan dituntut untuk dapat menjalankan kebijakan luar
negerinya dengan baik demi negara dan masyarakatnya.
Pemikiran tentang realisme neoklasik juga muncul dari Randall Schweller.
Dalam kasus lain menanggapi pandangan realisme struktural dalam distribution of
power, Schweller berpendapat bahwa semua negara mempunyai kepentingan
dalam hasil keamanan yang menunjukkan dasar status quo. Pendapat lain tentang
realisme neoklasik juga datang dari Fareed Zakaria. Zakaria memperkenalkan
variabel antara kekuatan negara menjadi teori negara yang berpusat pada realisme.
Pendapat dari kedua orang tersebut isinya mengkritik terhadap apa yang
diungkapkan oleh realisme struktural. Mereka menambahkan beberapa poin-poin
penting untuk melengkapi dan menambahkan tentang konsep yang digagas oleh
realisme struktural.
Kaum realisme neoklasik berpendapat bahwa berbagai jenis kapasitas negara
dimiliki berbeda untuk menerjemahkan berbagai elemen kekuatan nasional ke
dalam kekuasaan negara. Dapat disimpulkan bahwa realisme neoklasik
mempunyai dua inti berdasarkan pandangan yang telah dikemukakan oleh
Morgenthau, Schweller dan Zakaria, yaitu kepemimpinan dari seorang kepala
pemerintahan dan kekuatan negara dalam aspek keamanan.
Realisme neoklasik merupakan gabungan dari realisme klasik dan neo klasik.
Tokoh yang terkenal dari realisme neoklasik adalah Hans J. Morgenthau. Kalau
Waltz pada neo realisme nya menggunakan pendekatan global, Morgenthau
menggunakan pendekatan individu. Pendekatan individu disini lebih menekankan
pada leader atau pemimpin dari negara yang memiliki pengaruh besar bagi
negaranya. Aktor dari hubungan politik internasional bukan lagi suatu negara.
Melainkan jauh lebih spesifik, yakni pemimpin negara yang notabennya sebagai
wakil dari negara tersebut. Pada dasarnya realism neoklasik lebih condong kearah
realism klasik dengan sedikit pembaharuan. Hanya saja kalau pendekatan pada
5
realism klasik lebih ke pendekatan negara, pada neoklasik pendekatannya
lebih ke individu. Kebijakan luar negeri yang diambil pun bukan disebabkan oleh
sistem dunia yang anarki. Tindakan yang diambil dari suatu negara pun tegantung
dari presepsi negara tersebut terhadap ancaman yang akan dihadapi oleh negara.
Tokoh Realisme Neoklasik : Hans J. Morgenthau dalam bukunya yaitu Politics
Among Nations, Randall Schweller, Fareed Zakaria
C. Neorealisme ( Realisme Struktural )
Pada tahun 1979, muncullah teori neorealisme yang dikemukakan oleh
Kenneth Waltz. ‘Neorealisme... adalah sebuah kritik realisme tradisional sekaligus
sebuah perpanjangan intelektual yang substansial dari tradisi teoritis yang berada
dalam bahaya dikepung oleh perubahan-perubahan cepat dalam wilayah politik
global’ (Burchill, 1996: 113) Waltz tidak lagi terpusat pada aktor tetapi terhadap
sistem dan struktur interaksi antar aktor tetapi aktor utamanya tetap negara. Sistem
dan strukturlah yang mengatur ruang gerak para aktor dalam hubungan
internasional. Waltz menganggap bahwa stabilitas internasional dijamin oleh
sistem bipolar. Hal yang mendasarinya adalah jumlah konflik negara berkekuatan
besar relatif sedikit. Selain itu, Waltz juga berfokus pada perimbangan kekuatan
untuk mencapai perdamaian.
Waltz berasumsi negara mengejar power dikarenakan sistem dunia yang
anarki. Namun bedanya denganrealism klasik adalah jika realisme klasik
memandang power sebagai akhir, neorealis mememandang power bukan suatu
akhir, melainkan sebagai means atau cara. Cara yang dimaksudkan disini terbagi
menjadi dua interpretasi. Pertama power sebagai means internal dan yang kedua
adalah power sebagai means external. Power sebagai means internal maksdunya
adalah power atau kekuatan ini digunakan sebagai cara untuk memperkuat bidang
dalam atau internal suatu negara. Misalkan untuk memajukan ekonomi.
Sedangkan means eksternal diartikan bahwa power disini digunakan sebagai
alat bargain untuk beraliansi dengan negara-negara kuat, sehingga negaranya akan
semakin kokoh dimata musuh. Tujuan dari suatu negara adalah international
security atau keamanan internasional. Sedangkan dalam kerjasama internasional
pada era Neo Realisme ini kemungkinannya kecil. Kecilnya kemungkinan
kerjasama internasional ini disebabkan adanya question mark di kalangan negara
tentang siapa yang lebih diuntungkan dalam kerjasama itu. Sementara
dalam pengambilankebijakan luar negeri suaru negara lebih disebabkan karena
sistem internasional yang anarki.
Tokoh Neorealis : Kenneth Waltz, Jhon J. Mearsheimer, E.H. Carr, Reinhold
Niebuhr
1.3 Tokoh Realis
A. Thucydideds (460 bc – 404 bc)
Status : Sejarawan (Yunani)
Karya : The History of Peloponnesian War
Pemikiran : Pemikiran Thucydides yang ditemukan dalam karyanya di
masa lampau dipandang sebagai akar dari perkembangan perspektif
Realisme. Thucydides berpendapat bahwa penyebab terjadinya perang
adalah meningkatnya kekuatan militer salah satu pihak yang kemudian
menyebabkan timbulnya insecurity pada pihak lain. Pendapatnya itu dapat
ditemukan di The History of Peloponnesian War yang menggambarkan
tentang perang antara bangsa Athena, yang meningkat kekuatan militernya,
melawan Sparta yang merasa insecure. Pendapatnya tersebut
mencerminkan bahwa dalam hubungan antar negara power adalah bahan
kunci yang menentukan survive atau tidaknya suatu negara. Thucydides
menganggap bahwa hubungan antar bangsa adalah konflik dan kompetisi
yang tidak dapat dihindari antar Negara. Bentuk tertentu dari dari realisme
jenis Thucydides adalah karakter ilmiahnya. Aristoteles menyatakan
bahwa “manusia adalah binatang politik”. Thucydides menyatakan
bahwa sebenarnya binatang politik memiliki perbedaan dalam kekuatan
dan kapabilitas untuk mendominasi yang lain dan mempertahankan dirinya
sendiri. Jadi Thucydides menekankan bahwa keputusan memiliki
konsekuensi: sebelum membuat keputusan akhir para pembuatan
keputusan harus memikirkan konsekuensinya sehingga Thucydides
menekankan prinsip kehatia- hatian dalam membuat kebijakan
internasional karena terdapat bangak sekali perbedaan dalam dunia
internasional dengan berbagai kepentingan berbeda dari tiap
Negara. Pandangan kemasa depan, kehati-hatian, dan pembuatan
keputusan adalah karakteristik etika poitik realism kalsik.
B.
Nicollo Machiavelli (1469 – 1527)
Biografi
: Negarawan, Penulis (Itali)
Karya
: The Prince
Pemikiran
: Machiavelli adalah pengusung gagasan untuk
memisahkan ethic atau nilai-nilai moral dari politik. Menurut dia, yang
paling penting bagi seorang aktor adalah power dan tidak mengapa bagi
seorang aktor untuk menggunakan segala cara, baik bermoral maupun
tidak bermoral, untuk mencapai sebuah tujuan. Asumsi dasar Machiavelli
adalah bahwa nilai politik tertinggi adalah kebebasan nasional, yaitu
kemerdekaan. Dalam mewujudkannya, penguasa dituntut untuk
7
memiliki kekuatan mempertahankan kepentingan negara bagaikan
singa, sekaligus harus mampu berperilaku cerdik seperti rubah.
C. Thomas Hobbes (1588 – 1679)
Biografi
: Filsuf, Ilmuwan, Sejarawan (Inggris)
Karya
: Leviathan
Pemikiran
: Sama halnya seperti Machiavelli, Hobbes tergolong
pesimis dengan gagasan idealisme yang percaya akan adanya moral dalam
manusia. Sehingga alih-alih percaya bahwa manusia dapat bekerjasama,
Hobbes melihat bahwa sifat dasar manusia adalah individualis dan egois.
Hobbes juga memandang hubungan antar negara sebagai sesuatu yang
anarki dan dipenuhi oleh perjuangan untuk mendapatkan power. Karena
individu berada dalam lingkungan yang anarki maka mereka berhak untuk
mengejar apapun kepentingannya tanpa adanya batasan moral. Dalam
bukunya yang berjudul Leviathan (1651), Thomas Hobbes menguraikan
tentang tiga asumsi dasar realisme, yaitu :
a) Manusia adalah sama.
b) Manusia berinteraksi dalam lingkungan yang anarkis
c) Manusia diarahkan oleh kompetisi, rasa ketidakpercayaan diri
(diffidence), dan kemuliaan (glory). Oleh karena itu kemudian
muncul konsep bellum omnium contra omnes, atau war of all
against all, semua manusia pada dasarnya berkompetisi demi
kepentingannya sendiri.
D.
E.H. Carr (1892 – 1982)
Biografi
: Ilmuwan Politik, Sejarawan (Inggris)
Karya
: The Twenty’s Years Crisis
Pemikiran
: Sebagaimana beberapa pendahulunya, Carr juga
mengkritik gagasan idealisme, menurutnya perdamaian itu tidak bisa
dicapai melalui nilai-nilai moral karena nilai dari suatu moral atau prinsipprinsip itu tidak bisa dipisahkan dari kepentingan pembuatnya. Artinya
moral itu sendiri tidaklah universal. Carr berargumen bahwa dalam hidup
manusia akan selalu ada conflict of interest , di mana kepentingankepentingan individu dan kelompok saling bersaing agar dapat
terwujudkan. Dalam persaingan tersebut tidak ada yang mengatur
selain power dari masing-masing pihak yang berkepentingan.
Selain
itu
ia
juga
mengusung
ide tentang
kebijakan appeasement dalam menciptakan perdamaian. Menurut Carr
akan selalu ada pihak yang merasa kalah dan tidak puas terhadap kondisi
yang dihadapinya. Pihak-pihak seperti itulah yang memiliki
kecenderungan untuk memulai perang. Oleh karenanya untuk mencegah
agar perang tidak terjadi maka jalan yang bisa ditempuh adalah dengan
“memuaskan” aktor-aktor yang merasa tidak puas tersebut. Contohnya
adalah dengan membiarkan Jerman melakukan ekspansi wilayah. Namun
pada kenyataannya hal tersebut justru menjadi jalan pembuka pecahnya
Perang Dunia II.
E. Hans J. Morgenthau (1904-1979)
Biografi
: Ilmuwan Politik (Amerika)
Karya
: Politics among Nations: The Struggle for Power and Peace
Pemikiran
: Morgenthau dikenal sebagai perumus prinsip-prinsip dasar
Realisme karena dialah yang pertama kali meramu pikiran-pikiran Realisme
menjadi satu badan pengetahuan yang saintifik. Menurut Morgenthau,
karakteristik dasar dari manusia adalah egois serta haus akan power dan hasrat
untuk mendominasi. Hans J Morgenthau mengatakan pada dasarnya setiap
manusia (negara) ingin mendapatkan power, mempertahankan, dan
memperluas kekuasaan jika hal ini berbenturan dengan yang lain maka
akan menimbulkan ’struggle for power’. Sifat dasar manusia itulah akar
dari konflik yang terjadi di dunia ini. Morganthau (1985: 4-17) Membungkus
teori Hi nya dalam “enam prinsip realism politik”.
• Politik berakar dalam sifat manusia yang permanen dan tidak berubah
pada dasarnya mementingkan diri sendiri.(self-centered, self-regarding,
self-interested).
• Politik adalah “wilayah tindakan otonom” dan oleh karena itu tidak
dapat terlepas dari masalah ekonomi (seperti yang cenderung
dilakukan oleh penstudi kaum Marxis) atau dari persoalan moral (
seperti yang cenderung dilakukan oleh kaum Kantian atau kaum
Liberal).
• Kepentinga pribadi adalah fakta mendasar kondisi manusia :seluruh
rakyat memilih minat yang rendah dalam hal memperjuangkan
keamanan dan kelangsungan hidupnya. Politik adalah arena
mengekspresikan kepentingan-kepentingannya yang cepat atau lambat
akan segera berubah menjadi konflik. Politik Internasional adalah
arena kepentingan-kepentingan negara yang sedang berkonflik.
Realisme adalah doktrin yang menjawab fakta dari realitas politik yang
berubah.
• Etika Hubungan internsional adalah etika situasional atau politis yang
berbeda jauh dari moralitas pribadi. Seorang pemimpin politik tidak
9
•
•
memiliki kebebasan yang sama untuk melakukan sesuatu yang benar
seperti warga negara pribadi. Pemimpin negara yang bertanggung
jawab harus berjuang tidak melakukan yang terbaik, melainkan,
melakukan yang terbaik saat kondisi saat itu mengijinkan. Situasi
politik yang terbatas tersebut adalah inti normative kaum realis.
Oleh karena itu kaum realis menetang bahwa bangsa-bangsa tertentu –
sekalipun bangsa yang sangat demokratis seperti Amerika Serikat
sekat- dapat memaksakan ideologinya pada bangsa lain dan dapat
menggunakan keuatannya untuk mendukung tindakan tadi. Kaum
realis menentangnya, sebab itu dianggap sebagai tindakan berbahaya
yang dapat mengancam perdamaian dan keamanan internasional dan
pada akhirnya hal itu dapat berbalik dan akan mengancam negara yang
sedang berjuang.
Seni bernegara adalah aktivitas yang sederhana dan cenderung
membosankan yang menimbulkan satu kesadaran penuh akan
keterbatasan dan ketidaksempurnaan manusia. Pandangan manusia
yang pesimistik sebagimana adanya dan bukan sebagaimana yang kita
harapkan adalah suatu kenyataan yang sulit yang tedapat dalam inti
politik internasional.
F.
Kenneth Waltz (1924 – 2013)
Biografi
: Ilmuwan Politik (Amerika)
Karya
: Theory of International Politics
Pemikiran
: Realisme ala Kenneth Waltz adalah fokus pada aspek
sistem. Hal ini berbeda dengan Morgenthau yang fokus pada aspek agen
sebagai pemicu perilaku negara, yakni sifat dasar manusia. Menurut Waltz,
penyebab perilaku negara itu adalah sistem internasional, dalam hal ini
sistem yang anarki. Karena tidak adanya wewenang pusat yang mengatur
kelangsungan hidup negara, maka tidak ada yang menjamin bahwa satu
negara tidak akan menyerang negara lainnya. Oleh karena itu, isu
keamanan menjadi isu kunci yang harus diperhatikan oleh negara. Negara
sendirilah yang harus menjaga keamanannya (self-help) dengan tujuan
akhir untuk survive.
G.
Jhon J. Mearsheimer (1947 – sekarang)
Biografi
: Ilmuwan Politik (Amerika)
Karya
: The Tragedy of Great Power Politics
Pemikiran
: Mearsheimer sama halnya seperti Waltz, menganggap
penyebab dari perilaku negara bukan pada aspek sifat dasarnya, melainkan
pada sistem internasional yang anarki. Hal tersebut membuatnya sama-
sama dalam kelompok structural realism seperti Waltz. Namun yang
membedakannya dari Waltz adalah gagasannya bahwa dalam sistem yang
anarki itu tidak cukup bagi negara hanya dengan mempertahankan status
quo power yang ada, tetapi negara harus mengakumulasi power
sedemikian hingga bahkan kalau perlu menjadi hegemon. Mearsheimer
menyebut gagasannya ini sebagai offensive realism sementara Realisme
versi Waltz sebagai defensive Realism.
1.3 Relevansi Konflik dengan Teori Realis
Di dalam realisme klasik dan modern terdapat tiga kesepahaman, Triple S
yaitu Statism, Survival, Self – help.
• Statism : focus dari relisme dimana terdapat dua klaim yang dinamis dalam
kestatisan hubungan antar bangsa, secara teori dalam world politics,
pertama, negara sebagai actor utama yang dimana actor lain tidak memiliki
signifikansi yang sama dengan state. Kedua, kadaulatan negara sebgai
komunitas politik mandiri. Intinya dlam statism ini, negara menjadi aktor
utama yang paling dominan dalam dunia internasional dan proses dalam HI.
• Survival : Tujuan pengorganisasian negara adalah keteraturan dalam
mempertahankan kehidupan masyarakat. Jadi survival adalah hal yang
hakiki dalam dunia internasional dan dalam proses HI, dimana setiap negara
harus dapat bertahan ditengah arus dunia internasional.
• Self – help : Tidak ada satu negarapun yang berani menjamin eksistensinya
secara struktural baik dibidang domestik dan internasional, dalam hal ini
tidak ada musuh atau teman yang abadi, yang ada hanya kepentingan
nasional negara. Jadi yang didapatkan negara adalah hasil jerih payah
mereka sendiri, apa yang ditabur, itulah yang dipetik.
Intinya, bahwa satu – satunya aktor yang berperan dalam dunia
internasional adalah negara dimana perspektif terhadap dunia bersifat
anarkis yang menganggap perang dan damai adalah fenomena dunia yang
wajar, yang berangkat dari indivdu yang membentuk negara tersebutdan
dengan kekuatan balance of power yang berfungsi sebagai penyeimbang
keadaan dunia internasional yaitu pemusatan pada kekuasaan dan proses
politik internasionalnya untuk mewujudkan kepentingan nasional
negara. Globalisasi adalah bentuk real dari kegiatan suatu negara dalam
memperluas kekuasaanya. Fenomena globalisasi ini dapat diartikan
bagaimana kerasnya dunia internasional dan membuat suatu negara harus
mengusahakan suatu kegiatan yang dapat digunakan untuk mencapai
kepentingan nasional negara. Dan globalisasi ini dapat diartikan sebagai
proses pembawa nilai tertentu dari negara asal untuk dipahami atau
diaplikasikan dan suatu keberhasilan apabila nilai tersebut berkuasa di
negara tujuan.
11
Contoh Kasus Nuklir Korea Utara dan Iran
Negara yang beberapa waktu lalu memberikan banyak ketidakpastian
politik dan keamanan Internasional, karena meninggalnya pimpinan mereka Kim
Jong Il, yang kemudian menempatkan seorang anak muda Kim Jong un, di
tampuk penguasa Negara dengan tingkat kemiskinan yg buruk namun mempunyai
kekuatan Nuklir yg cukup mengancam dan membuat barat sedikit kalang kabut
karena kemisteriusan dinasti Kim masih terpelihara terhadapa pimpinan terpilih
ini. Tindakan Korea Utara dalam kasus pengembangan teknologi nuklirnya
bukannya tanpa alasan yang kuat dan rasional. Setelah dilakukan analisis melalui
pendekatan realis, Korea Utara memiliki alasan mengapa pengembangan
teknologi nuklir menjadi agenda utama Negara komunis tersebut. Yaitu karena
Korea Utara hidup lemah ditengah-tengah dunia yang anarki, sehingga rentan
akan pendominasian dari kekuatan yang lebih kuat yaitu globalisasi yang di usung
oleh Negara-negara barat dengan segala ide kapitalis liberalnya sementara Korea
Utara sendiri merupakan Negara komunis murni yang menentang ide-ide barat
tersebut. Oleh karena itu, Korea Utara harus mempertahankan eksistensinya
dengan cara meningkatkan kekuatan nasionalnya, demi tercapainya kepentingan
nasionalnya.
Dan pengembangan teknologi nuklir merupakan salah satu jalan yang
rasional untuk diambil Korea Utara dengan alasan-alasan diatas. Itu mungkin
merupakan alasan kuat a Korea Utara bersih keras akan terus memperjuangkan
haknya untuk mengembangkan nuklirnya sendiri, walaupun sangsi PBB sudah
diberlakukan. Bagi Korea Utara tindakan PBB ini merupakan konverter dari
kebijakan AS semata yang tidak menginginkan satu kekuatan baru muncul sebagai
penantang AS dan akan mengancam kepentingan AS. Di sisi lain China dan Rusia
masih berdiri dibelakang Korea Utara sebagai satu hegemoni yang sempat hancur.
Dengan kata lain Korea Utara sebagai Negara komunis disini berupaya untuk
menghindarkan dirinya dari objek dominasi imperialisme kapitalis liberal dunia
yang dibawa AS, dan jika memang memungkinkan keadaan bisa diseimbangkan
dengan adanya peningkatan nuklir Korea Utara sehingga tidak menutup
kemungkinan kebangkitan Korea Utara akan mengundang kebangkitan
komunisme dunia dan pada akhirnya dunia akan menuju kepada sistem bipolar
kembali seperti layaknya perang dingin silam. Hal ini Juga sepertinya merupakan
Basic motives yg sama dengan apa yg di lakukan oleh Iran dengan pengembangan
Kekuatan Nuklir yang walaupun di akui secara resmi oleh pemerintah Iran adalah
untuk pengembangan sumber daya Energi non-sejata, namun tetap saja membuat
Negara kaya Minyak itu berada dibawah lampu sorot Dunia.
Masalah proliferasi nuklir Iran ini menjadi perhatian dan perdebatan
tersendiri dalam komunitas internasional. Isu tersebut mulai menjadi polemik
ketika Negara-negara Barat yang dipelopori oleh Amerika melaporkan masalah
tersebut ke DK-PBB. Sejak saat itu masalah proliferasi Iran memicu terjadinya
pro kontra diantara masyarakat internasional. Pihak Iran sendiri mati-matian telah
melansir masalah tersebut dengan menyatakan bahwa nuklir yang dimilikinya
adalah semata-mata untuk tujuan damai yaitu untuk kesejahteraan dan
kepentingan rakyatnya.
Namun, pernyataan tersebut tidak membuat banyak pihak yakin terutama
Amerika Serikat. Beberapa negara masih meyakini bahwa nuklir yang
dikembangkan oleh Iran memiliki tujuan lain yaitu untuk menciptakan senjata
pemusnah masal yang akan mengancam kestabilan dan keamanan internasional
sehingga hal tersebut memunculkan polemik dan kekhawatiran tersendiri bagi
mereka yang menyebabkan dilakukan berbagai upaya untuk menghentikan
proliferasi nuklir iran tersebut. Namun, Iran disini nampak tidak gentar
menghadapi serangan dan tekanan masyarakat internasional yang merasa
terancam dan khawatir dengan proliferasi nuklirnya. Ini disinyalir karena adanya
faktor-faktor pendukung krusial yang melatarbelakngi kebijakan Iran tersebut,
salah satunya adalah motif ekonomi dan kebutuhan energi Iran yang cukup
besar. Realism emphasize the constraints on politics imposed by human
selfishness (‘egoism’) and the absence of international government (‘anarchy’)
which require ‘the primacy in all political life of power and security (Gilpin 1986:
305).”
Apa yg di lakukan Iran sangat sesuai dengan Teori ini, memandang
bahwa pada dasarnya tiap-tiap individu itu ‘selfish’ dan selalu berupaya untuk
mempertahankan eksistensinya dengan berbagai cara tak terkecuali pada perilaku
Negara-negara di dunia. Realisme juga melihat dunia ini sebagai tempat yang
anarki dimana masing-masing negara sebagai pemegang kedaulatan tertinggi
memiliki kebebasan untuk mendapatkan kepentingannya sekalipun dengan caracara yang mengancam eksistensi dan keamanan actor lain.
Realisme juga menekankan kepada dua hal penting yang harus dikejar oleh
suatu negara agar dapat ‘survive’ di lingkungan internasional yang anarki
yaitu power dan state security. Power yang dapat diartikan sebagai kekuatan atau
kapasitas negara, merupakan hal terpenting yang harus dimiliki untuk dapat
menjamin eksistensi negara, karena dengan power inilah suatu negara dapat
menciptakan kemanan Negaranya serta dapat survive (state survival is
paramount). Rationality and state-centrism are frequently identified as core
realist premises (Keohane 1986: 164-5)
Sebagai Mana Realisme yag telah kita bahas, Premis utama yang
ditekankan oleh teori realisme ini adalah rasionalitas dan “state-centrism”.
Rasionalitas merupakan dasar yang melandasi tindakan suatu aktor (Negara
sebagai pusat) atas pertimbangan untung rugi. Dalam teori ini diterangkan tentang
pentingnya cost dan benefit dari suatu kebijakan Negara, bahwasanya dalam suatu
tindakan akan selalu ada cost dan benefit yang diperoleh, dan karena teori ini
menekankan pada rasionalistas maka tentunya benefit yang diperoleh harus sesuai
atau lebih besar daripada cost yang keluarkan
13
Berbeda walau mempunyai beberapa persamaan Seperti KORUT Iran
berupaya untuk tetap mengembangkan nuklirnya dengan berbagai pertimbangan
yang
krusial,
yaitu
menyangkut
kesejahteraan
rakyatnya
serta
pertimbangan gain yang akan diperoleh. Iran memutuskan untuk melakukan
penghematan minyak untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan menjual
minyak buminya kepada Negara lain yang membutuhkan, dan sebagai gantinya,
Iran menggunakan nuklir sebagai sumber pemenuhan kebutuhan energi karena
cost yang dikeluarkan menjadi lebih ringan. Oleh karenanya, Iran tetap
mempertahankan posisinya dengan teguh ditengah kecaman komunitas
internasional atas proliferasi nuklir yang dilakukannya.
Daftar Pustaka
Buku
"In Defense of the National Interest" (1951) New York, NY: Alfred A. Knopf.
"Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace" (1948) New
York NY: Alfred A. Knopf.
"The Purpose of American Politics" (1960) New York, NY: Alfred A. Knopf.
Ashley,
Richard
K.
"Political
Realism
and
the
Human
Interests," International Studies Quarterly (1981) 25: 204-36.
Barkin, J. Samuel Realist Constructivism: Rethinking International
Relations Theory (Cambridge University Press; 2010) 202 pages. Examines areas
of both tension and overlap between the two approaches to IR theory.
Bell, Duncan, ed. Political Thought and International Relations: Variations
on a Realist Theme. Oxford: Oxford University Press, 2008.
Booth, Ken. 1991. "Security in anarchy: Utopian realism in theory and
practice", International Affairs 67(3), pp. 527–545
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: gramedia
pustaka utama
Burchill,
Scott
dan
Andrew
Linklater.
Teori-Teori
Hubungan
Internasional: Bandung. Penerbit Nusa Media
Crawford; Robert M. A. Idealism and Realism in International Relations:
Beyond the Discipline (2000) online edition
Donnelly, Jack. Theories of International Relations. Realism
Donnelly; Jack. Realism and International Relations (2000) online edition
Duncan Bell. 2008. Political Thought and International Relation. Oxford
Introduction: Under an Empty Sky- Realism and Political Theory
15
Gilpin, Robert G. "The richness of the tradition of political
realism," International Organization (1984), 38:287-304
Griffiths, M., O’Callaghan, T. “International Relations: The Key
Concepts”. 2002, New York: Routledge
Griffiths; Martin. Realism, Idealism, and International Politics: A
Reinterpretation (1992) online edition
Guilhot Nicolas, ed. The Invention of International Relations Theory:
Realism, the Rockefeller Foundation, and the 1954 Conference on Theory(2011)
Jackson, Robert & George Sorensen. 1999. Pengantar Studi Hubungan
Internasional. Yogyakarta: PT Pustaka Pelajar
Keohane, Robert O., ed. Neorealism and its Critics (1986)
Korab-Karpowicz, W. Julian, “Political Realism in International
Relations”, The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2013 Edition),
Edward
N.
Zalta (ed.),
URL
=
.
Kusumohamidjojo Budiono.1987. Hubungan Internasional : Kerangka
Studi Analitis. Jakarta : Binacipta
Lebow, Richard Ned. The Tragic Vision of Politics: Ethics, Interests and
Orders. Cambridge: Cambridge University Press, 2003.
Mearsheimer, John J., "The Tragedy of Great Power Politics." New York:
W.W. Norton & Company, 2001. [Seminal text on Offensive Neorealism]
Meyer, Donald. The Protestant Search for Political Realism, 19191941 (1988) online edition
Mingst, K.A. Essentials of International Relations.2003. New York: W.W.
Norton & Company Inc.
Molloy, Sean. The Hidden History of Realism: A Genealogy of Power
Politics. New York: Palgrave, 2006.
Morgenthau, Hans. "Scientific Man versus Power Politics" (1946)
Chicago, IL: University of Chicago Press.
Murray, A. J. H., Reconstructing Realism: Between Power Politics and
Cosmopolitan Ethics. Edinburgh: Keele University Press, 1997.
Osborn, Ronald, "Noam Chomsky and the Realist Tradition," Review of
International Studies, Vol.35, No.2, 2009.
Plano, Jack C. dan Roy Olton. 1999. Kamus Hubungan Internasional.
Bandung: Abardin
Program Pascasarjana, Ilmu Politik, Politik Internasional Handout,
Pertemuan
ke-3Neorealism
di
unduh
:msugiono.staff.ugm.ac.id/...pi/Handout%203%20 Neorealisme.doc
dari
tangga
l 10 Oktober 2011
Rapar, J.H. Filsafat Politik, Jakarta ; Rajawali Pers, 2002
Rosenthal, Joel H. Righteous Realists: Political Realism, Responsible
Power,
and
American
Culture
in
the
Nuclear
Age. (1991).
191
pp. Compares Reinhold Niebuhr, Hans J. Morgenthau, Walter Lippmann, George
F. Kennan, and Dean Acheson
Scheuerman, William E. 2010. "The (classical) Realist vision of global
reform." International Theory 2(2): pp. 246–282.
Schuett, Robert. Political Realism, Freud, and Human Nature in
International Relations. New York: Palgrave, 2010.
Scott Burchill, Andrew Linklater dkk. , ‘Theories of International
Relations, Third Editions’, 2005, Palgrave Macmillan, pp.29-53
Smith, Michael Joseph. Realist Thought from Weber to Kissinger (1986)
Steans, Jill & Lloyd Pettiford. 2009. Hubungan Internasional Perspektif
dan Tema. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
17
Steve Smith, British Journal of Politics and International Relations, Vol.
2, No. 3, October 2000, pp. 374–402 The discipline of international relations: still
an American social science? Page 8
Tjalve, Vibeke S. Realist Strategies of Republican Peace: Niebuhr,
Morgenthau, and the Politics of Patriotic Dissent. New York: Palgrave, 2008.
Williams, Michael C. The Realist Tradition and the Limits of International
Relations. Cambridge: Cambridge University Press, 2005.
Internet
Article di kolom realism http://portal-hi.net/index.php/teori-teori-realisme/107menakar-relevansi-teori-balance-of-power
Peter
Permonte http://pjvermonte.wordpress.com/2006/09/27/membaca-lagi-
paradigma-realisme/
Stephanie Kuniee Program Pascasarjana, Ilmu Politik Politik Internasional
Universitas
Gadjah
Mada. http://welcomeherebikinibottom.blogspot.com/2010/11/english-school-asinternational.html
Sugiono, Muhadi dan Ririen Tri Nurhayati. Neorealisme. Handout Pertemuan ke3 .Program Pascasarjana, Ilmu Politik Politik Internasional Universitas Gadjah
Mada. http://msugiono.staff.ugm.ac.id/mkuliah/handout
Yani,
Yanyan
Mochamad
dalam http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2010/01/sekitar_krisis_nuklir_iran.pdf
https://gedubraxxx.wordpress.com/2012/05/20/realisme-dalam-hubunganinternasional-by-arief-rakhman/
http://hiluscious.com/tokoh-tokoh-pemikir-realis
http://harmonynikki.blogspot.co.id/2011/12/v-behaviorurldefaultvmlo.html
REALISME
Zulkarnain S.I.P, M.Si
Oleh :
Tri Wahyuningrum I - 163112350750048
Prodi Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
UNIVERSITAS NASIONAL JAKARTA 2016
Jl. Sawo Manila Pejaten Pasar Minggu,
Jakarta Selatan, Kode Pos 12520
Telp (021) 7806700
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
i
DAFTAR ISI
ii
1.1 Latar Belakang
1.2 Perkembangan Realis
1.3 Tokoh Realis
1.4 Relevansi Konflik dengan Teori Realis
3
3
7
11
DAFTAR PUSTAKA
15
1.1 Latar Belakang
Sebagai sebuah disiplin ilmu, studi hubungan internasional memiliki
banyak teori ataupun perspektif yang kerap digunakan dalam mempelajari
ilmu ini sendiri. Salah satu dari yang terbesar adalah teori realisme. Teori
realisme juga sering disebut sebagai “Spektrum Ide”. Sebagai Sepektrum ide /
gagasan, realisme juga melingkupi 4 dalil inti yaitu Political Groupism,
Egoism, International Anarchy, dan Power Politic. Asumsi Realisme adalah
pada tradisi hubungan internasional yang berpusat pada empat ide utama.
Sistem internasional bersifat anarki. Tidak ada aktor di atas negara yang
mampu mengatur interaksinya; negara harus membina sendiri hubungan
dengan negara lain, tidak diatur oleh entitas yang lebih tinggi. Sistem
internasional ada dalam keadaan antagonisme tetap (lihat anarki
internasional).
Negara adalah aktor terpenting. Semua negara di dalam sistem adalah
aktor tunggal yang rasional
Negara cenderung mengejar kepentingan pribadi. Kelompok berusaha
meraup sumber daya sebanyak mungkin (lihat keunggulan relatif).
Masalah utama bagi setiap negara adalah kelangsungan hidup (survival).
Negara membangun militer untuk bertahan hidup, sehingga bisa
menciptakan dilema keamanan.
1.2 Perkembangan Realisme
A. Realisme Klasik
Keberadaan realisme klasik diawali oleh karya Thucydides, seorang
ilmuan politik Yunani, dengan bukunya yang berjudul History of the
Peloponnesian War. Dia meletakkan dasar bagi keyakinan umum dari realis
klasik. Negara merupakan aktor utama dalam perang. Negara bertanggung
jawab atas keselamatan, keamanan dan kemajuannya sendiri. Realisme klasik
yang diungkapkan oleh E.H Carr di awali oleh krisis 20 tahun, muncul karena
adanya sebuah kegegalan pada collective security yang digagas oleh kaum
realis utopis. Dari kegagalan inilah pecah perang dunia pertama. Realisme
klasik muncul saat itu sebagai kritikan bagi kaum liberalis yang dianggap oleh
Carr sebagai suatu utopis. Ada lima poin pandangan mendasar yang
berkembang pada era Realisme klasik ini. Pertama, realisme klasik
memandang Negara adalah satu-satunya aktor terpenting dalam politik
internasional. Kedua, mereka menggangap konflik kepentingan antar negara
dalam politik internasional tidak bisa dihindari. Ketiga, kaum realis melihat
sifat politik internasional sebagai suatu anarki. Maksud anarki disini adalah
tidak ada otoritas yang lebih tinggi lagi dari negara. Keempat, Tujuan dari
3
negara adalah untuk mencapai ketahanan nasional, supaya negara mereka
tidak di jajah. Kelima, tiap negara mencari power, mereka menganggap power
adalah akhir atau ending. Bila mereka sudah memiliki power, mereka bisa
mempertahankan diri. Karena mereka harus menjamin sendiri keselamatan dan
keamanannya sendiri. Hanya mereka yang bisa membantu diri mereka sendiri.
Realisme menganggap bahwa sifat manusia belum tentu baik. Kemungkinan
terbaik, manusia memiliki kapasitas baik dan buruk yang sama; kemungkinan
terburuk, manusia memiliki hasrat instingtif untuk mendominasi orang lain.
Sehingga, perang selalu menjadi kemungkinan. Tanggung jawab tiap negara
adalah menyediakan pertahanan dan keamanannya. Kebijaksanaan atau
tindakan nasional diukur dari apakah ia menjadi perpanjangan kepentingan
nasional, yang paling sering didefinisikan sebagai penambahan kekuatan
dalam berbagai bentuk, yang paling khusus kekuatan militer.
Perdamaian tidak dapat dijamin, namun dapat diperoleh karena balance of
power akan membuat negaranegara mencari jaminan keamanan dan
kepentingan mereka dengan bersekutu dengan negara lain yang lebih kuat.
Realisme mengutamakan kebijakan luar negeri daripada kebijakan domestik,
pemeliharaan kekuatan militer yang besar, dan penekanan pada nasionalisme.
Realisme juga mengutamakan negara sebagai aktor internasional uniter
dengan proses pembuatan keputusan tunggal, pada pokoknya rasional dalam
tindakannya, dan berargumen bahwa keamanan nasional adalah isu
internasional yang paling penting. Inti pemikiran Realisme klasik dalam HI
dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Negara sebagai pemegan peranan dominan selalu mempunyai
kepentingan yang berbenturan. Perbedaan kepentingan akan
menimbulkan perang atau konflik.
2. Power yang dimiliki oleh suatu negara sangat mempengaruhi
penyelesaian konflik, dan menentukan pengaruhnya atas negara lain.
3. Masalah utama dalam Hubungan Internasional adalah kondisi anarki,
yang berarti tiadanya sebuah otoritas kedaulatan pusat untuk mengatur
berbagai hubungan diantara negara-negara.
4. Niat agresif dari berbagai negara, ditambah dengan tidak adanya
pemerintah dunia, yang berarti bahwa konflik merupakan realitas yang
selalu ada dalam hubungan internasional.
5. Setiap negara dianjurkan untuk membangun kekuatan, beraliansi
dengan negara lain, dan memecah belah kekuatan negara lain (devide
and rule).
6. Setiap negara akan selalu bergerak dan berbuat berdasarkan
kepentingan nasionalnya (national interest).
Tokoh Realisme Klasik : Tokoh-tokoh utamanya, Thucydides dengan The History
of Pelopnnesian War (430-406 BC), Machiavelli dengan The Prince nya
(1532), Hans J. Morgenthau dengan Politics Among Nation nya (1948).
B. Realisme Neoklasik
Neoclassical realism (realisme neoklasik) merupakan salah satu varian dari
paradigma realisme dalam hubungan internasional. Konsep realisme neoklasik ini
muncul atas pemikiran dari Hans J. Morgenthau dalam bukunya yaitu Politics
Among Nations. Morgenthau berbicara animus nomandi, manusia “haus” dalam
kekuasaan. Jelas sekali dalam pemikirannya tentang animus nomandi, Morgenthau
melihat manusia sebagai makhluk yang bersifat buruk karena hanya
mementingkan keegoisannya untuk memperoleh apa yang ia inginkan bahkan
dengan mengorbankan orang lain sekalipun. Oleh karena itu, moral dan etika
dalam bernegara cenderung dikesampingkan. Dalam hal ini, Morgenthau tidak
memandang kepada negara, melainkan kepada individu. Individu yang dimaksud
adalah pemimpin negara yang menjalankan pemerintahan. Pemimpin negara yang
menjalankan kekuasaan dituntut untuk dapat menjalankan kebijakan luar
negerinya dengan baik demi negara dan masyarakatnya.
Pemikiran tentang realisme neoklasik juga muncul dari Randall Schweller.
Dalam kasus lain menanggapi pandangan realisme struktural dalam distribution of
power, Schweller berpendapat bahwa semua negara mempunyai kepentingan
dalam hasil keamanan yang menunjukkan dasar status quo. Pendapat lain tentang
realisme neoklasik juga datang dari Fareed Zakaria. Zakaria memperkenalkan
variabel antara kekuatan negara menjadi teori negara yang berpusat pada realisme.
Pendapat dari kedua orang tersebut isinya mengkritik terhadap apa yang
diungkapkan oleh realisme struktural. Mereka menambahkan beberapa poin-poin
penting untuk melengkapi dan menambahkan tentang konsep yang digagas oleh
realisme struktural.
Kaum realisme neoklasik berpendapat bahwa berbagai jenis kapasitas negara
dimiliki berbeda untuk menerjemahkan berbagai elemen kekuatan nasional ke
dalam kekuasaan negara. Dapat disimpulkan bahwa realisme neoklasik
mempunyai dua inti berdasarkan pandangan yang telah dikemukakan oleh
Morgenthau, Schweller dan Zakaria, yaitu kepemimpinan dari seorang kepala
pemerintahan dan kekuatan negara dalam aspek keamanan.
Realisme neoklasik merupakan gabungan dari realisme klasik dan neo klasik.
Tokoh yang terkenal dari realisme neoklasik adalah Hans J. Morgenthau. Kalau
Waltz pada neo realisme nya menggunakan pendekatan global, Morgenthau
menggunakan pendekatan individu. Pendekatan individu disini lebih menekankan
pada leader atau pemimpin dari negara yang memiliki pengaruh besar bagi
negaranya. Aktor dari hubungan politik internasional bukan lagi suatu negara.
Melainkan jauh lebih spesifik, yakni pemimpin negara yang notabennya sebagai
wakil dari negara tersebut. Pada dasarnya realism neoklasik lebih condong kearah
realism klasik dengan sedikit pembaharuan. Hanya saja kalau pendekatan pada
5
realism klasik lebih ke pendekatan negara, pada neoklasik pendekatannya
lebih ke individu. Kebijakan luar negeri yang diambil pun bukan disebabkan oleh
sistem dunia yang anarki. Tindakan yang diambil dari suatu negara pun tegantung
dari presepsi negara tersebut terhadap ancaman yang akan dihadapi oleh negara.
Tokoh Realisme Neoklasik : Hans J. Morgenthau dalam bukunya yaitu Politics
Among Nations, Randall Schweller, Fareed Zakaria
C. Neorealisme ( Realisme Struktural )
Pada tahun 1979, muncullah teori neorealisme yang dikemukakan oleh
Kenneth Waltz. ‘Neorealisme... adalah sebuah kritik realisme tradisional sekaligus
sebuah perpanjangan intelektual yang substansial dari tradisi teoritis yang berada
dalam bahaya dikepung oleh perubahan-perubahan cepat dalam wilayah politik
global’ (Burchill, 1996: 113) Waltz tidak lagi terpusat pada aktor tetapi terhadap
sistem dan struktur interaksi antar aktor tetapi aktor utamanya tetap negara. Sistem
dan strukturlah yang mengatur ruang gerak para aktor dalam hubungan
internasional. Waltz menganggap bahwa stabilitas internasional dijamin oleh
sistem bipolar. Hal yang mendasarinya adalah jumlah konflik negara berkekuatan
besar relatif sedikit. Selain itu, Waltz juga berfokus pada perimbangan kekuatan
untuk mencapai perdamaian.
Waltz berasumsi negara mengejar power dikarenakan sistem dunia yang
anarki. Namun bedanya denganrealism klasik adalah jika realisme klasik
memandang power sebagai akhir, neorealis mememandang power bukan suatu
akhir, melainkan sebagai means atau cara. Cara yang dimaksudkan disini terbagi
menjadi dua interpretasi. Pertama power sebagai means internal dan yang kedua
adalah power sebagai means external. Power sebagai means internal maksdunya
adalah power atau kekuatan ini digunakan sebagai cara untuk memperkuat bidang
dalam atau internal suatu negara. Misalkan untuk memajukan ekonomi.
Sedangkan means eksternal diartikan bahwa power disini digunakan sebagai
alat bargain untuk beraliansi dengan negara-negara kuat, sehingga negaranya akan
semakin kokoh dimata musuh. Tujuan dari suatu negara adalah international
security atau keamanan internasional. Sedangkan dalam kerjasama internasional
pada era Neo Realisme ini kemungkinannya kecil. Kecilnya kemungkinan
kerjasama internasional ini disebabkan adanya question mark di kalangan negara
tentang siapa yang lebih diuntungkan dalam kerjasama itu. Sementara
dalam pengambilankebijakan luar negeri suaru negara lebih disebabkan karena
sistem internasional yang anarki.
Tokoh Neorealis : Kenneth Waltz, Jhon J. Mearsheimer, E.H. Carr, Reinhold
Niebuhr
1.3 Tokoh Realis
A. Thucydideds (460 bc – 404 bc)
Status : Sejarawan (Yunani)
Karya : The History of Peloponnesian War
Pemikiran : Pemikiran Thucydides yang ditemukan dalam karyanya di
masa lampau dipandang sebagai akar dari perkembangan perspektif
Realisme. Thucydides berpendapat bahwa penyebab terjadinya perang
adalah meningkatnya kekuatan militer salah satu pihak yang kemudian
menyebabkan timbulnya insecurity pada pihak lain. Pendapatnya itu dapat
ditemukan di The History of Peloponnesian War yang menggambarkan
tentang perang antara bangsa Athena, yang meningkat kekuatan militernya,
melawan Sparta yang merasa insecure. Pendapatnya tersebut
mencerminkan bahwa dalam hubungan antar negara power adalah bahan
kunci yang menentukan survive atau tidaknya suatu negara. Thucydides
menganggap bahwa hubungan antar bangsa adalah konflik dan kompetisi
yang tidak dapat dihindari antar Negara. Bentuk tertentu dari dari realisme
jenis Thucydides adalah karakter ilmiahnya. Aristoteles menyatakan
bahwa “manusia adalah binatang politik”. Thucydides menyatakan
bahwa sebenarnya binatang politik memiliki perbedaan dalam kekuatan
dan kapabilitas untuk mendominasi yang lain dan mempertahankan dirinya
sendiri. Jadi Thucydides menekankan bahwa keputusan memiliki
konsekuensi: sebelum membuat keputusan akhir para pembuatan
keputusan harus memikirkan konsekuensinya sehingga Thucydides
menekankan prinsip kehatia- hatian dalam membuat kebijakan
internasional karena terdapat bangak sekali perbedaan dalam dunia
internasional dengan berbagai kepentingan berbeda dari tiap
Negara. Pandangan kemasa depan, kehati-hatian, dan pembuatan
keputusan adalah karakteristik etika poitik realism kalsik.
B.
Nicollo Machiavelli (1469 – 1527)
Biografi
: Negarawan, Penulis (Itali)
Karya
: The Prince
Pemikiran
: Machiavelli adalah pengusung gagasan untuk
memisahkan ethic atau nilai-nilai moral dari politik. Menurut dia, yang
paling penting bagi seorang aktor adalah power dan tidak mengapa bagi
seorang aktor untuk menggunakan segala cara, baik bermoral maupun
tidak bermoral, untuk mencapai sebuah tujuan. Asumsi dasar Machiavelli
adalah bahwa nilai politik tertinggi adalah kebebasan nasional, yaitu
kemerdekaan. Dalam mewujudkannya, penguasa dituntut untuk
7
memiliki kekuatan mempertahankan kepentingan negara bagaikan
singa, sekaligus harus mampu berperilaku cerdik seperti rubah.
C. Thomas Hobbes (1588 – 1679)
Biografi
: Filsuf, Ilmuwan, Sejarawan (Inggris)
Karya
: Leviathan
Pemikiran
: Sama halnya seperti Machiavelli, Hobbes tergolong
pesimis dengan gagasan idealisme yang percaya akan adanya moral dalam
manusia. Sehingga alih-alih percaya bahwa manusia dapat bekerjasama,
Hobbes melihat bahwa sifat dasar manusia adalah individualis dan egois.
Hobbes juga memandang hubungan antar negara sebagai sesuatu yang
anarki dan dipenuhi oleh perjuangan untuk mendapatkan power. Karena
individu berada dalam lingkungan yang anarki maka mereka berhak untuk
mengejar apapun kepentingannya tanpa adanya batasan moral. Dalam
bukunya yang berjudul Leviathan (1651), Thomas Hobbes menguraikan
tentang tiga asumsi dasar realisme, yaitu :
a) Manusia adalah sama.
b) Manusia berinteraksi dalam lingkungan yang anarkis
c) Manusia diarahkan oleh kompetisi, rasa ketidakpercayaan diri
(diffidence), dan kemuliaan (glory). Oleh karena itu kemudian
muncul konsep bellum omnium contra omnes, atau war of all
against all, semua manusia pada dasarnya berkompetisi demi
kepentingannya sendiri.
D.
E.H. Carr (1892 – 1982)
Biografi
: Ilmuwan Politik, Sejarawan (Inggris)
Karya
: The Twenty’s Years Crisis
Pemikiran
: Sebagaimana beberapa pendahulunya, Carr juga
mengkritik gagasan idealisme, menurutnya perdamaian itu tidak bisa
dicapai melalui nilai-nilai moral karena nilai dari suatu moral atau prinsipprinsip itu tidak bisa dipisahkan dari kepentingan pembuatnya. Artinya
moral itu sendiri tidaklah universal. Carr berargumen bahwa dalam hidup
manusia akan selalu ada conflict of interest , di mana kepentingankepentingan individu dan kelompok saling bersaing agar dapat
terwujudkan. Dalam persaingan tersebut tidak ada yang mengatur
selain power dari masing-masing pihak yang berkepentingan.
Selain
itu
ia
juga
mengusung
ide tentang
kebijakan appeasement dalam menciptakan perdamaian. Menurut Carr
akan selalu ada pihak yang merasa kalah dan tidak puas terhadap kondisi
yang dihadapinya. Pihak-pihak seperti itulah yang memiliki
kecenderungan untuk memulai perang. Oleh karenanya untuk mencegah
agar perang tidak terjadi maka jalan yang bisa ditempuh adalah dengan
“memuaskan” aktor-aktor yang merasa tidak puas tersebut. Contohnya
adalah dengan membiarkan Jerman melakukan ekspansi wilayah. Namun
pada kenyataannya hal tersebut justru menjadi jalan pembuka pecahnya
Perang Dunia II.
E. Hans J. Morgenthau (1904-1979)
Biografi
: Ilmuwan Politik (Amerika)
Karya
: Politics among Nations: The Struggle for Power and Peace
Pemikiran
: Morgenthau dikenal sebagai perumus prinsip-prinsip dasar
Realisme karena dialah yang pertama kali meramu pikiran-pikiran Realisme
menjadi satu badan pengetahuan yang saintifik. Menurut Morgenthau,
karakteristik dasar dari manusia adalah egois serta haus akan power dan hasrat
untuk mendominasi. Hans J Morgenthau mengatakan pada dasarnya setiap
manusia (negara) ingin mendapatkan power, mempertahankan, dan
memperluas kekuasaan jika hal ini berbenturan dengan yang lain maka
akan menimbulkan ’struggle for power’. Sifat dasar manusia itulah akar
dari konflik yang terjadi di dunia ini. Morganthau (1985: 4-17) Membungkus
teori Hi nya dalam “enam prinsip realism politik”.
• Politik berakar dalam sifat manusia yang permanen dan tidak berubah
pada dasarnya mementingkan diri sendiri.(self-centered, self-regarding,
self-interested).
• Politik adalah “wilayah tindakan otonom” dan oleh karena itu tidak
dapat terlepas dari masalah ekonomi (seperti yang cenderung
dilakukan oleh penstudi kaum Marxis) atau dari persoalan moral (
seperti yang cenderung dilakukan oleh kaum Kantian atau kaum
Liberal).
• Kepentinga pribadi adalah fakta mendasar kondisi manusia :seluruh
rakyat memilih minat yang rendah dalam hal memperjuangkan
keamanan dan kelangsungan hidupnya. Politik adalah arena
mengekspresikan kepentingan-kepentingannya yang cepat atau lambat
akan segera berubah menjadi konflik. Politik Internasional adalah
arena kepentingan-kepentingan negara yang sedang berkonflik.
Realisme adalah doktrin yang menjawab fakta dari realitas politik yang
berubah.
• Etika Hubungan internsional adalah etika situasional atau politis yang
berbeda jauh dari moralitas pribadi. Seorang pemimpin politik tidak
9
•
•
memiliki kebebasan yang sama untuk melakukan sesuatu yang benar
seperti warga negara pribadi. Pemimpin negara yang bertanggung
jawab harus berjuang tidak melakukan yang terbaik, melainkan,
melakukan yang terbaik saat kondisi saat itu mengijinkan. Situasi
politik yang terbatas tersebut adalah inti normative kaum realis.
Oleh karena itu kaum realis menetang bahwa bangsa-bangsa tertentu –
sekalipun bangsa yang sangat demokratis seperti Amerika Serikat
sekat- dapat memaksakan ideologinya pada bangsa lain dan dapat
menggunakan keuatannya untuk mendukung tindakan tadi. Kaum
realis menentangnya, sebab itu dianggap sebagai tindakan berbahaya
yang dapat mengancam perdamaian dan keamanan internasional dan
pada akhirnya hal itu dapat berbalik dan akan mengancam negara yang
sedang berjuang.
Seni bernegara adalah aktivitas yang sederhana dan cenderung
membosankan yang menimbulkan satu kesadaran penuh akan
keterbatasan dan ketidaksempurnaan manusia. Pandangan manusia
yang pesimistik sebagimana adanya dan bukan sebagaimana yang kita
harapkan adalah suatu kenyataan yang sulit yang tedapat dalam inti
politik internasional.
F.
Kenneth Waltz (1924 – 2013)
Biografi
: Ilmuwan Politik (Amerika)
Karya
: Theory of International Politics
Pemikiran
: Realisme ala Kenneth Waltz adalah fokus pada aspek
sistem. Hal ini berbeda dengan Morgenthau yang fokus pada aspek agen
sebagai pemicu perilaku negara, yakni sifat dasar manusia. Menurut Waltz,
penyebab perilaku negara itu adalah sistem internasional, dalam hal ini
sistem yang anarki. Karena tidak adanya wewenang pusat yang mengatur
kelangsungan hidup negara, maka tidak ada yang menjamin bahwa satu
negara tidak akan menyerang negara lainnya. Oleh karena itu, isu
keamanan menjadi isu kunci yang harus diperhatikan oleh negara. Negara
sendirilah yang harus menjaga keamanannya (self-help) dengan tujuan
akhir untuk survive.
G.
Jhon J. Mearsheimer (1947 – sekarang)
Biografi
: Ilmuwan Politik (Amerika)
Karya
: The Tragedy of Great Power Politics
Pemikiran
: Mearsheimer sama halnya seperti Waltz, menganggap
penyebab dari perilaku negara bukan pada aspek sifat dasarnya, melainkan
pada sistem internasional yang anarki. Hal tersebut membuatnya sama-
sama dalam kelompok structural realism seperti Waltz. Namun yang
membedakannya dari Waltz adalah gagasannya bahwa dalam sistem yang
anarki itu tidak cukup bagi negara hanya dengan mempertahankan status
quo power yang ada, tetapi negara harus mengakumulasi power
sedemikian hingga bahkan kalau perlu menjadi hegemon. Mearsheimer
menyebut gagasannya ini sebagai offensive realism sementara Realisme
versi Waltz sebagai defensive Realism.
1.3 Relevansi Konflik dengan Teori Realis
Di dalam realisme klasik dan modern terdapat tiga kesepahaman, Triple S
yaitu Statism, Survival, Self – help.
• Statism : focus dari relisme dimana terdapat dua klaim yang dinamis dalam
kestatisan hubungan antar bangsa, secara teori dalam world politics,
pertama, negara sebagai actor utama yang dimana actor lain tidak memiliki
signifikansi yang sama dengan state. Kedua, kadaulatan negara sebgai
komunitas politik mandiri. Intinya dlam statism ini, negara menjadi aktor
utama yang paling dominan dalam dunia internasional dan proses dalam HI.
• Survival : Tujuan pengorganisasian negara adalah keteraturan dalam
mempertahankan kehidupan masyarakat. Jadi survival adalah hal yang
hakiki dalam dunia internasional dan dalam proses HI, dimana setiap negara
harus dapat bertahan ditengah arus dunia internasional.
• Self – help : Tidak ada satu negarapun yang berani menjamin eksistensinya
secara struktural baik dibidang domestik dan internasional, dalam hal ini
tidak ada musuh atau teman yang abadi, yang ada hanya kepentingan
nasional negara. Jadi yang didapatkan negara adalah hasil jerih payah
mereka sendiri, apa yang ditabur, itulah yang dipetik.
Intinya, bahwa satu – satunya aktor yang berperan dalam dunia
internasional adalah negara dimana perspektif terhadap dunia bersifat
anarkis yang menganggap perang dan damai adalah fenomena dunia yang
wajar, yang berangkat dari indivdu yang membentuk negara tersebutdan
dengan kekuatan balance of power yang berfungsi sebagai penyeimbang
keadaan dunia internasional yaitu pemusatan pada kekuasaan dan proses
politik internasionalnya untuk mewujudkan kepentingan nasional
negara. Globalisasi adalah bentuk real dari kegiatan suatu negara dalam
memperluas kekuasaanya. Fenomena globalisasi ini dapat diartikan
bagaimana kerasnya dunia internasional dan membuat suatu negara harus
mengusahakan suatu kegiatan yang dapat digunakan untuk mencapai
kepentingan nasional negara. Dan globalisasi ini dapat diartikan sebagai
proses pembawa nilai tertentu dari negara asal untuk dipahami atau
diaplikasikan dan suatu keberhasilan apabila nilai tersebut berkuasa di
negara tujuan.
11
Contoh Kasus Nuklir Korea Utara dan Iran
Negara yang beberapa waktu lalu memberikan banyak ketidakpastian
politik dan keamanan Internasional, karena meninggalnya pimpinan mereka Kim
Jong Il, yang kemudian menempatkan seorang anak muda Kim Jong un, di
tampuk penguasa Negara dengan tingkat kemiskinan yg buruk namun mempunyai
kekuatan Nuklir yg cukup mengancam dan membuat barat sedikit kalang kabut
karena kemisteriusan dinasti Kim masih terpelihara terhadapa pimpinan terpilih
ini. Tindakan Korea Utara dalam kasus pengembangan teknologi nuklirnya
bukannya tanpa alasan yang kuat dan rasional. Setelah dilakukan analisis melalui
pendekatan realis, Korea Utara memiliki alasan mengapa pengembangan
teknologi nuklir menjadi agenda utama Negara komunis tersebut. Yaitu karena
Korea Utara hidup lemah ditengah-tengah dunia yang anarki, sehingga rentan
akan pendominasian dari kekuatan yang lebih kuat yaitu globalisasi yang di usung
oleh Negara-negara barat dengan segala ide kapitalis liberalnya sementara Korea
Utara sendiri merupakan Negara komunis murni yang menentang ide-ide barat
tersebut. Oleh karena itu, Korea Utara harus mempertahankan eksistensinya
dengan cara meningkatkan kekuatan nasionalnya, demi tercapainya kepentingan
nasionalnya.
Dan pengembangan teknologi nuklir merupakan salah satu jalan yang
rasional untuk diambil Korea Utara dengan alasan-alasan diatas. Itu mungkin
merupakan alasan kuat a Korea Utara bersih keras akan terus memperjuangkan
haknya untuk mengembangkan nuklirnya sendiri, walaupun sangsi PBB sudah
diberlakukan. Bagi Korea Utara tindakan PBB ini merupakan konverter dari
kebijakan AS semata yang tidak menginginkan satu kekuatan baru muncul sebagai
penantang AS dan akan mengancam kepentingan AS. Di sisi lain China dan Rusia
masih berdiri dibelakang Korea Utara sebagai satu hegemoni yang sempat hancur.
Dengan kata lain Korea Utara sebagai Negara komunis disini berupaya untuk
menghindarkan dirinya dari objek dominasi imperialisme kapitalis liberal dunia
yang dibawa AS, dan jika memang memungkinkan keadaan bisa diseimbangkan
dengan adanya peningkatan nuklir Korea Utara sehingga tidak menutup
kemungkinan kebangkitan Korea Utara akan mengundang kebangkitan
komunisme dunia dan pada akhirnya dunia akan menuju kepada sistem bipolar
kembali seperti layaknya perang dingin silam. Hal ini Juga sepertinya merupakan
Basic motives yg sama dengan apa yg di lakukan oleh Iran dengan pengembangan
Kekuatan Nuklir yang walaupun di akui secara resmi oleh pemerintah Iran adalah
untuk pengembangan sumber daya Energi non-sejata, namun tetap saja membuat
Negara kaya Minyak itu berada dibawah lampu sorot Dunia.
Masalah proliferasi nuklir Iran ini menjadi perhatian dan perdebatan
tersendiri dalam komunitas internasional. Isu tersebut mulai menjadi polemik
ketika Negara-negara Barat yang dipelopori oleh Amerika melaporkan masalah
tersebut ke DK-PBB. Sejak saat itu masalah proliferasi Iran memicu terjadinya
pro kontra diantara masyarakat internasional. Pihak Iran sendiri mati-matian telah
melansir masalah tersebut dengan menyatakan bahwa nuklir yang dimilikinya
adalah semata-mata untuk tujuan damai yaitu untuk kesejahteraan dan
kepentingan rakyatnya.
Namun, pernyataan tersebut tidak membuat banyak pihak yakin terutama
Amerika Serikat. Beberapa negara masih meyakini bahwa nuklir yang
dikembangkan oleh Iran memiliki tujuan lain yaitu untuk menciptakan senjata
pemusnah masal yang akan mengancam kestabilan dan keamanan internasional
sehingga hal tersebut memunculkan polemik dan kekhawatiran tersendiri bagi
mereka yang menyebabkan dilakukan berbagai upaya untuk menghentikan
proliferasi nuklir iran tersebut. Namun, Iran disini nampak tidak gentar
menghadapi serangan dan tekanan masyarakat internasional yang merasa
terancam dan khawatir dengan proliferasi nuklirnya. Ini disinyalir karena adanya
faktor-faktor pendukung krusial yang melatarbelakngi kebijakan Iran tersebut,
salah satunya adalah motif ekonomi dan kebutuhan energi Iran yang cukup
besar. Realism emphasize the constraints on politics imposed by human
selfishness (‘egoism’) and the absence of international government (‘anarchy’)
which require ‘the primacy in all political life of power and security (Gilpin 1986:
305).”
Apa yg di lakukan Iran sangat sesuai dengan Teori ini, memandang
bahwa pada dasarnya tiap-tiap individu itu ‘selfish’ dan selalu berupaya untuk
mempertahankan eksistensinya dengan berbagai cara tak terkecuali pada perilaku
Negara-negara di dunia. Realisme juga melihat dunia ini sebagai tempat yang
anarki dimana masing-masing negara sebagai pemegang kedaulatan tertinggi
memiliki kebebasan untuk mendapatkan kepentingannya sekalipun dengan caracara yang mengancam eksistensi dan keamanan actor lain.
Realisme juga menekankan kepada dua hal penting yang harus dikejar oleh
suatu negara agar dapat ‘survive’ di lingkungan internasional yang anarki
yaitu power dan state security. Power yang dapat diartikan sebagai kekuatan atau
kapasitas negara, merupakan hal terpenting yang harus dimiliki untuk dapat
menjamin eksistensi negara, karena dengan power inilah suatu negara dapat
menciptakan kemanan Negaranya serta dapat survive (state survival is
paramount). Rationality and state-centrism are frequently identified as core
realist premises (Keohane 1986: 164-5)
Sebagai Mana Realisme yag telah kita bahas, Premis utama yang
ditekankan oleh teori realisme ini adalah rasionalitas dan “state-centrism”.
Rasionalitas merupakan dasar yang melandasi tindakan suatu aktor (Negara
sebagai pusat) atas pertimbangan untung rugi. Dalam teori ini diterangkan tentang
pentingnya cost dan benefit dari suatu kebijakan Negara, bahwasanya dalam suatu
tindakan akan selalu ada cost dan benefit yang diperoleh, dan karena teori ini
menekankan pada rasionalistas maka tentunya benefit yang diperoleh harus sesuai
atau lebih besar daripada cost yang keluarkan
13
Berbeda walau mempunyai beberapa persamaan Seperti KORUT Iran
berupaya untuk tetap mengembangkan nuklirnya dengan berbagai pertimbangan
yang
krusial,
yaitu
menyangkut
kesejahteraan
rakyatnya
serta
pertimbangan gain yang akan diperoleh. Iran memutuskan untuk melakukan
penghematan minyak untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan menjual
minyak buminya kepada Negara lain yang membutuhkan, dan sebagai gantinya,
Iran menggunakan nuklir sebagai sumber pemenuhan kebutuhan energi karena
cost yang dikeluarkan menjadi lebih ringan. Oleh karenanya, Iran tetap
mempertahankan posisinya dengan teguh ditengah kecaman komunitas
internasional atas proliferasi nuklir yang dilakukannya.
Daftar Pustaka
Buku
"In Defense of the National Interest" (1951) New York, NY: Alfred A. Knopf.
"Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace" (1948) New
York NY: Alfred A. Knopf.
"The Purpose of American Politics" (1960) New York, NY: Alfred A. Knopf.
Ashley,
Richard
K.
"Political
Realism
and
the
Human
Interests," International Studies Quarterly (1981) 25: 204-36.
Barkin, J. Samuel Realist Constructivism: Rethinking International
Relations Theory (Cambridge University Press; 2010) 202 pages. Examines areas
of both tension and overlap between the two approaches to IR theory.
Bell, Duncan, ed. Political Thought and International Relations: Variations
on a Realist Theme. Oxford: Oxford University Press, 2008.
Booth, Ken. 1991. "Security in anarchy: Utopian realism in theory and
practice", International Affairs 67(3), pp. 527–545
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: gramedia
pustaka utama
Burchill,
Scott
dan
Andrew
Linklater.
Teori-Teori
Hubungan
Internasional: Bandung. Penerbit Nusa Media
Crawford; Robert M. A. Idealism and Realism in International Relations:
Beyond the Discipline (2000) online edition
Donnelly, Jack. Theories of International Relations. Realism
Donnelly; Jack. Realism and International Relations (2000) online edition
Duncan Bell. 2008. Political Thought and International Relation. Oxford
Introduction: Under an Empty Sky- Realism and Political Theory
15
Gilpin, Robert G. "The richness of the tradition of political
realism," International Organization (1984), 38:287-304
Griffiths, M., O’Callaghan, T. “International Relations: The Key
Concepts”. 2002, New York: Routledge
Griffiths; Martin. Realism, Idealism, and International Politics: A
Reinterpretation (1992) online edition
Guilhot Nicolas, ed. The Invention of International Relations Theory:
Realism, the Rockefeller Foundation, and the 1954 Conference on Theory(2011)
Jackson, Robert & George Sorensen. 1999. Pengantar Studi Hubungan
Internasional. Yogyakarta: PT Pustaka Pelajar
Keohane, Robert O., ed. Neorealism and its Critics (1986)
Korab-Karpowicz, W. Julian, “Political Realism in International
Relations”, The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2013 Edition),
Edward
N.
Zalta (ed.),
URL
=
.
Kusumohamidjojo Budiono.1987. Hubungan Internasional : Kerangka
Studi Analitis. Jakarta : Binacipta
Lebow, Richard Ned. The Tragic Vision of Politics: Ethics, Interests and
Orders. Cambridge: Cambridge University Press, 2003.
Mearsheimer, John J., "The Tragedy of Great Power Politics." New York:
W.W. Norton & Company, 2001. [Seminal text on Offensive Neorealism]
Meyer, Donald. The Protestant Search for Political Realism, 19191941 (1988) online edition
Mingst, K.A. Essentials of International Relations.2003. New York: W.W.
Norton & Company Inc.
Molloy, Sean. The Hidden History of Realism: A Genealogy of Power
Politics. New York: Palgrave, 2006.
Morgenthau, Hans. "Scientific Man versus Power Politics" (1946)
Chicago, IL: University of Chicago Press.
Murray, A. J. H., Reconstructing Realism: Between Power Politics and
Cosmopolitan Ethics. Edinburgh: Keele University Press, 1997.
Osborn, Ronald, "Noam Chomsky and the Realist Tradition," Review of
International Studies, Vol.35, No.2, 2009.
Plano, Jack C. dan Roy Olton. 1999. Kamus Hubungan Internasional.
Bandung: Abardin
Program Pascasarjana, Ilmu Politik, Politik Internasional Handout,
Pertemuan
ke-3Neorealism
di
unduh
:msugiono.staff.ugm.ac.id/...pi/Handout%203%20 Neorealisme.doc
dari
tangga
l 10 Oktober 2011
Rapar, J.H. Filsafat Politik, Jakarta ; Rajawali Pers, 2002
Rosenthal, Joel H. Righteous Realists: Political Realism, Responsible
Power,
and
American
Culture
in
the
Nuclear
Age. (1991).
191
pp. Compares Reinhold Niebuhr, Hans J. Morgenthau, Walter Lippmann, George
F. Kennan, and Dean Acheson
Scheuerman, William E. 2010. "The (classical) Realist vision of global
reform." International Theory 2(2): pp. 246–282.
Schuett, Robert. Political Realism, Freud, and Human Nature in
International Relations. New York: Palgrave, 2010.
Scott Burchill, Andrew Linklater dkk. , ‘Theories of International
Relations, Third Editions’, 2005, Palgrave Macmillan, pp.29-53
Smith, Michael Joseph. Realist Thought from Weber to Kissinger (1986)
Steans, Jill & Lloyd Pettiford. 2009. Hubungan Internasional Perspektif
dan Tema. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
17
Steve Smith, British Journal of Politics and International Relations, Vol.
2, No. 3, October 2000, pp. 374–402 The discipline of international relations: still
an American social science? Page 8
Tjalve, Vibeke S. Realist Strategies of Republican Peace: Niebuhr,
Morgenthau, and the Politics of Patriotic Dissent. New York: Palgrave, 2008.
Williams, Michael C. The Realist Tradition and the Limits of International
Relations. Cambridge: Cambridge University Press, 2005.
Internet
Article di kolom realism http://portal-hi.net/index.php/teori-teori-realisme/107menakar-relevansi-teori-balance-of-power
Peter
Permonte http://pjvermonte.wordpress.com/2006/09/27/membaca-lagi-
paradigma-realisme/
Stephanie Kuniee Program Pascasarjana, Ilmu Politik Politik Internasional
Universitas
Gadjah
Mada. http://welcomeherebikinibottom.blogspot.com/2010/11/english-school-asinternational.html
Sugiono, Muhadi dan Ririen Tri Nurhayati. Neorealisme. Handout Pertemuan ke3 .Program Pascasarjana, Ilmu Politik Politik Internasional Universitas Gadjah
Mada. http://msugiono.staff.ugm.ac.id/mkuliah/handout
Yani,
Yanyan
Mochamad
dalam http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2010/01/sekitar_krisis_nuklir_iran.pdf
https://gedubraxxx.wordpress.com/2012/05/20/realisme-dalam-hubunganinternasional-by-arief-rakhman/
http://hiluscious.com/tokoh-tokoh-pemikir-realis
http://harmonynikki.blogspot.co.id/2011/12/v-behaviorurldefaultvmlo.html