Pemekaran Negeri Kata Kata Kata Kata

PEMEKARAN NEGERI KATA-KATA: KONFIGURASI KEBUDAYAAN MELAYU DI RIAU

Pemekaran Negeri Kata-Kata:
Konfigurasi Kebudayaan Melayu
di Riau
JAN VAN DER PUTTEN

Inilah riau indonesiaku
Yang tak banyak pinta, kami hanya minta
Propinsi, sehingga satu hari nanti
Kami bisa pahatkan kerja keras kami
Dengan sebilah angan, dan kiranya kalian lebih tahu dari riau
kami Indonesia
Inilah riau kami yang apa adanya
Tak berlebihan, dan tak banyak ingin, yang kami inginkan
Hanyalah kemerdekaan yang harus kami campakkan di laut cina selatan
Sehingga kami jadi serdadu merdeka di negara kata-kata kami.
“Riau Indonesiaku” karya Junewal Muchtar (2003: 13)

MELAYU dan kemelayuan, seperti telah umum diketahui, merupakan
istilah yang sangat ambigu serta digunakan dalam berbagai konteks

untuk meraih aneka-target. Dunia Melayu pun telah dibagi ke dalam
empat negara bangsa, yang masing-masing mengeksploitasi istilah itu
dalam rancangan serta tujuan politiknya.
Secara ringkas boleh dikatakan, di Kerajaan Malaysia, kemelayuan
dipandang sebagai identitas ideal yang hampir wajib dirasuki oleh warga
negaranya jika memang ingin ikut main dalam hidup modern bernegara.

25

26

JAN VAN DER PUTTEN

Dengan resmi, ketiga sifat kemelayuan—agama Islam, adat, dan bahasa
Melayu—diangkat menjadi syarat dasar yang harus dipenuhi oleh orang
Melayu Malaysia jika ingin dianggap “manusia”.
Di negara jirannya, Republik Singapura, puak Melayu dianggap
minoritas yang bermasalah dalam kehidupan bernegara multikultural.
Sebaiknya dimaklumi bahwa pemerintah berfalsafah bahwa anggotaanggota masyarakatnya dapat diatur, dibentuk, dan diubah dalam segala
bidang kehidupannya. Jadi, orang-orang Singapura “dinasihati” dan

didorong agar tidak merokok, meludah di jalan, membuang sampah
sembarangan, santap makanan berlemak, banyak olahraga, bekerja keras
dan bikin anak, dan sebagainya. Puak yang dilihat menimbulkan masalah
dalam hal mengatur masyarakat ini adalah kelompok etnis Melayu—
yang kebanyakan keturunan Jawa, Bugis, Bawean, dan Minang. Pasalnya,
kelompok etnis ini dianggap agak terkebelakang dalam kehidupan
modern. Minoritas Melayu melalui media massa yang dikuasai
pemerintah, yang boleh dikatakan merupakan corong pemerintah yang
informal, bertubi-tubi mendengar pernyataan bahwa kelompoknya
mencatat persentase tertinggi di antara kelompok-kelompok lain dalam
hal ketagihan dadah/narkoba, drop-out dari sekolah, wanita perokok,
remaja yang hamil dan mengugurkan anak, kena penyakit kotor, tingkat
perceraian, yang makan lemak terlalu banyak, dan sebagainya.
Islam diatur secara ketat oleh pemerintah melalui Majelis Ugama
Islam Singapura (MUIS) atau dalam istilah pemerintah diberi kebebasan
untuk mengatur sendiri melalui MUIS itu. Terasa ada kecemasan
terhadap Islam karena mungkin dapat mengajak orang yang tak puas
dengan kebijakan pemerintahnya untuk ikut dalam jaringan teroris
Jamaah Islamiyah seperti terjadi pada tahun 1970-an atau dapat
mengaitkan orang Melayu Singapura dengan Dunia Melayu atau Dunia

Islam. Maka, ada kemungkinan melalui Islam, orang Melayu dapat
mengidentifikasikan dirinya bukan dengan negara, tetapi dengan
kelompok etnisnya di Asia Tenggara, sehingga dapat mengguncang
stabilitas negara.
Pemerintah Singapura menekankan bahwa segala macam program
yang ditujukan kepada masyarakatnya dirancang agar masyarakat itu
lebih makmur, berbahagia, dan sehat. Dan, memang, pemerintah
Singapura telah membuktikan dalam dasawarsa semenjak

PEMEKARAN NEGERI KATA-KATA: KONFIGURASI KEBUDAYAAN MELAYU DI RIAU

kemerdekaannya bahwa tingkat kemakmuran, pendidikan, dan
kemajuan warga Singapura jauh lebih tinggi dibanding penduduk negara
jirannya.
Namun, dengan program yang diberlakukan melalui batas-batas etnis,
batas antarkaum diperkukuh, apalagi jika ada satu kelompok yang dilihat
sebagai anak tiri dalam negara itu. Pengaturan kehidupan warga dalam
segala bidang pun mulai ditinggalkan sedikit demi sedikit, karena
menghambat pemikiran kreatif yang sekarang sedang digembargemborkan di sekolah dan kancah lainnya.
Orang Melayu Singapura telah sudah (di)sadar(kan) bahwa mereka

harus bekerja keras untuk memperkecil jurang dengan kelompok lain.1
Sebagian orang Melayu merancang identitas melalui kategori yang sudah
ada: agama, adat, dan bahasa. Dengan sendirinya generasi tua atau lansia
sering menyatakan kecemasannya terhadap semakin terkikisnya identitas
kemelayuan orang-orang Melayu Singapura, khususnya yang muda-mudi.
Anak-anak Melayu di Singapura semakin sekuler, kian mengikuti rancak
irama kehidupan modern di kota dan telah banyak meninggalkan
bahasanya, diganti dengan bahasa kacukan campur Inggris. Banyak
program dijalankan oleh tokoh-tokoh kelompok ini dan pemerintah
agar para remaja ini tak sampai kehilangan kemelayuan ala Singapuranya:
Singapura ingin menunjukkan diri sebagai negara multikultural dengan
bagian Melayunya, maka bagian Melayu itu tetap harus dipelihara,
betapapun susahnya.
Negara kecil yang dapat dibandingkan dengan Singapura dari segi
keluasan tanahnya adalah Kesultanan Berunai, yang sepertinya
mengiblatkan kemelayuannya pada adat-istiadat di istananya. Kita
mengenal Sultan Bolkiah bersama keluarganya sebagai orang kaya yang
alim beribadah, dengan rakyatnya serba-makmur karena minyak yang
didapatkan di alam sekitarnya. Setidak-tidaknya, citra yang
dipresentasikan oleh negara itu ialah sebagai kemelayuan yang taat

beragama Islam, berpegang teguh pada adat Melayu, dan berbahasa
Melayu tanpa dicampuri bahasa Inggris.
Bagaimana keadaannya di Indonesia? Apakah kemelayuan merupakan
sebuah label yang digunakan orang untuk berikatan dalam sebuah
kelompok, yang menyediakan lambang, sejarah, kebudayaan, dan cara
hidup yang lain daripada yang lain, sehingga dapat digunakan sebagai

27

28

JAN VAN DER PUTTEN

hal yang dinamakan identitas?
Di Indonesia, orang beretnis Melayu dapat dilacak di beberapa
kantong geografis, seperti daerah-daerah pantai Kalimantan, Larantuka
di Pulau Flores, Makassar, Palembang, Deli-Sumatra Utara, serta di
Riau (Daratan dan Kepulauan). Pelacakan ini berdasarkan pembatasan
kelompok-kelompok etnis yang diwarisi dari aparat kolonial Belanda,
yang merancangnya pada abad ke-19 dalam upaya mengategorikan semua

penduduk di jajahannya menurut semangat taksonomi zamannya, yang
juga berefek pada diperkuatnya penguasaan pihak kolonial. Kelompok
Melayu menjadi salah satu kelompok etnis minoritas di samping
berpuluh-puluh atau malah beratus-ratus, bergantung pada definisinya,
kelompok etnis lainnya. Dalam Republik Indonesia, pembentukan
identitas nasional jelas dikuasai oleh puak Jawa, yang jumlah
penduduknya jauh melebihi masing-masing kelompok lain; dan Melayu
boleh dikatakan penyumbang berukuran sedang pada pembentukan
identitas nasional pada zaman Orde Baru.
Sumbangan yang paling kentara ialah bahasa, suatu kompleks kata,
bunyi, dan ungkapan yang merujuk pada sebuah falsafah hidup dan
mengatur hidup itu sendiri. Kerajaan Riau-Linggalah yang ditunjuk
sebagai daerah yang, konon, bahasa Melayu dapat ditemukan dalam
bentuk paling murni oleh para pembesar kolonial. Maka, bahasa Melayu
yang digunakan dalam bentuk tertulis di Riau, yang bersebelahan dengan
Johor di bawah Inggris, dianggap dasar yang pantas untuk dijadikan
bahasa Melayu baku yang diberlakukan di sistem pendidikan di seluruh
jajahan. Peneliti kolonial (seperti Von de Wall, Klinkert, Van Ophuijsen)
dikirim ke Riau untuk mencatat bahasa itu ke dalam kamus dan tata
bahasa, dengan bantuan narasumber cendekiawan pribumi (seperti Raja

Ali Haji, Haji Ibrahim, dan Raja Bih). Bahasa Melayu disumbangkan
dan hasil pencatatan dibawa ke Betawi, tempat ragam bahasa itu diolah,
ditokok tambah, dicampur bahasa-bahasa lain, diintelektualisasi agar
cocok menerima serta menyalurkan ilmu modern dari pihak kolonial.
Kegiatan nasionalis bahasa yang dikonstruksi atas dasar bahasa Melayu
itu kemudian diberi semangat baru agar sesuai dengan upaya membangun
negara baru dan mengikat dan menyalurkan semangat para pemuda
dalam perang melawan tuan kolonial. Namun, setelah perjuangan
kemerdekaan berhasil, bahasa Indonesia itu dibuat semakin abstrak

PEMEKARAN NEGERI KATA-KATA: KONFIGURASI KEBUDAYAAN MELAYU DI RIAU

dan makna sebenarnya dikikis agar sifat jelek keadaan sezaman dapat
disembunyikan dan hanya para penguasa dapat memahami dan
menggunakannya untuk menerapkan sistem penguasaan yang tidak
mengikutkan rakyatnya. Begitulah secara ringkas perkembangan bahasa
Melayu menjadi bahasa Indonesia serta kelanjutannya menjadi bahasa
pemersatu republik.
Walaupun sejarahnya dan kenyataan sosial, budaya, serta politiknya
memang unik untuk kasus Indonesia, perjalanan dari bahasa “daerah”

menjadi bahasa nasional cukup umum: dalam hal standardisasi atau
pencarian bahasa pemersatu lazimnya dasar sebuah bahasa baku itu
ialah sebuah bahasa daerah yang berstatus tinggi, yang dicatat, diatur,
dimodernisasi, dan disebarkan melalui sekolah-sekolah serta media
massa. Uniknya, dalam hal Indonesia, bahasa itu adalah bahasa ibunda
sekelompok etnis yang relatif kecil tapi sejak awal zaman telah dipakai
dalam perdagangan, penyebaran agama, dan komunikasi lain antar-etnis
di Nusantara. Maka, bahasa Melayu itu sebuah bahasa daerah yang
beberapa ragamnya telah disebarluaskan di dalam dan di luar Nusantara,
jauh sebelum diangkat menjadi bahasa nasional.
Akibat proses pembakuan ragam formal bahasa Melayu ini, anakanak sekolah di Pekanbaru, Tanjungpinang, Tanjungbalai, Daik, atau
Tembelan belajar bahwa bahasa Riau menjadi dasar bahasa Indonesia,
yang memang sedikit-sebanyaknya mirip dengan bahasa ibundanya yang
dituturkan di rumah, namun pada saat yang sama disadarkan juga bahwa
bahasa itu bukan yang baik dan benar. Pasalnya, bahasa baku jauh lebih
pesat perkembangannya daripada bahasa “asli”-nya. Maka, bahasa Riau
diturunkan derajatnya menjadi bahasa daerah, sebanding dengan bahasa
Jawa, Batak, dan sebagainya.
Para penutur asli pun tak pernah dilibatkan ke dalam proses
modernisasi dan intelektualisasi bahasanya: orang Belanda, Minang,

dan Jawa punya pekerjaan di situ. Walhasil, dalam zaman Orde Baru,
waktu proyek pembangunan semakin menyingkirkan kepentingan
daerah, para budayawan tergugah dan menggeliat menyuarakan
ketidaksetujuan terhadap kebijakan yang diambil di pusat dan
diterapkan di daerah. Protes itu sebagian besar menggunakan bahasa
untuk mencuatkan rasa kesal ke permukaan, melalui teriakan dan tulisan
di spanduk dalam arak-arakan demonstrasi, juga melalui sajak, cerpen,

29

30

JAN VAN DER PUTTEN

dan novel. Tidaklah terlalu mengherankan jika, dalam menyuarakan
protes itu, bahasa daerah dimajukan sebagai corong untuk meluapkan
rasa kesalnya, yang pada saat yang sama menampakkan dan
memperkukuh identitas daerah. Riau pun tak terkecuali, seperti
dinyatakan oleh Will Derks dalam beberapa artikelnya.
Dalam artkel tahun 1994, Derks merujuk khususnya pada tanggapan

jaringan penyair dan ilmuwan Pekanbaru yang menentang perkembangan
bahasa di pusat. Sutardji Calzoum Bahri, yang dijuluki Presiden Penyair,
memilih membungkam diri melalui sajak mantranya. Dan penyair lain
yang sangat dibanggakan di Riau, Ibrahim Sattah, menampakkan
nihilisme linguistiknya melalui sajak nyanyian anak-anak. Penulis lainnya
mencoba memengaruhi pusat melalui penulisan karya dalam ragam
bahasa yang khas Melayu Riau, dengan kadang-kadang menyediakan
daftar kata dengan padanannya dalam bahasa Indonesia, sehingga orang
di luar Riau boleh juga memahaminya dan sekaligus menyadarkannya
bahwa bahasa Melayu Riau menjadi dasar bahasa baku dan boleh
memperkaya bahasa pemersatu itu. Pengarang seperti B.M. Syamsuddin,
Hasan Junus, dan Taufik Ikram Jamil tampaknya membalikkan
hubungan pusat-pinggiran: dari segi bahasa, Riaulah yang menjadi pusat
karena otoritasnya yang diperoleh dari sejarah dan kemurnian bahasanya
sebab bahasa ibundanya (lihat: Maier, 2004: 32).
Selain menyuarakan protes terhadap bahasa yang disebarkan dari
pusat pemerintahan, jelas juga para budayawan menyalurkan protes
sosialnya mengenai bagaimana kekayaan alam terkuras oleh tangan-tangan
gratil dan loba orang Jakarta tanpa ada manfaat bagi orang Riau yang
miskin papa. Dalam artikel yang terbit tahun 1997, Derks mengaitkan

protes sosial para penyair itu dengan perkukuhan identitas daerah yang
dilakukan dengan suatu himpunan sarana atau unsur yang ia namakan
identikit, istilah yang dipinjam dari Hannerz, yang sepertinya dapat juga
dikaitkan dengan performative, hal-hal keseharian yang mewakili
bangsanya, seperti digunakan Bhabha (lihat: Jones 2002). Contohcontoh yang dikemukakan Derks sederhana: lagu “Hang Tuah” yang
digubah pemusik lokal, kartu nama yang bercorak Melayu, lampu merah
yang mengeluarkan bunyi lagu “Lancang Kuning” waktu
memberitahukan saatnya menyeberang salah satu jalan utama di
Pekanbaru. Semuanya menunjukkan bahwa orang sedang berada di

PEMEKARAN NEGERI KATA-KATA: KONFIGURASI KEBUDAYAAN MELAYU DI RIAU

suatu negeri Melayu, walaupun tetap di negara Indonesia. Berbagai
sumber telah menunjukkan bahwa, selama Orde Baru, suatu
regionalisme ditoleransi dan malah juga didorong (sampai batas
tertentu), karena adanya anggapan bahwa budaya lokal merupakan local
genus dari kebudayaan nasional, walaupun yang diajukan oleh pusat
(Bhabha’s pedagogical) adalah kebudayaan priyayi Jawa (lihat: Jones, 2002:
66—67). Maka, di tingkat lokal diperbolehkan bermain budaya karena
dengan sendirinya membangun kebudayaan nasional, walau jarang
dimasukkan ke dalam konfigurasi kebudayaan tingkat nasional itu. Yang
diperbolehkan dan didukung dengan program pemerintah ialah
pemugaran situs bersejarah, penubuhan pusat-pusat kebudayaan,
penelitian terhadap bahasa dan budaya daerah, dan penyelenggaraan
festival budaya dan konferensi ilmiah (Wee, 2002: 13).
Derks mengadakan penelitiannya pada awal tahun 1990an, saat garisgaris retak antara pusat dan daerah memang telah tampak dengan nyata,
tetapi belum terlalu merenggang menjadi jurang atau melepaskan energi
terpendamnya sehingga mengguncangkan Tanah Air. Setelah Soeharto
dilengserkan dan Habibie menyediakan kesempatan bagi media massa
serta membuka kemungkinan otonomi daerah muncul kembali gejala
pemekaran daerah melalui undang-undang otonomi daerah. Semenjak
waktu itu timbul berbagai diskusi di kalangan intelektual Jakarta,
bagaimana masa depan Indonesia sebagai negara bangsa yang bersatu.
Jones (2002) melihat tiga tema dalam diskusi itu: bersatunya berbagai
daerah geografis ke dalam suatu negara bukan keadaan yang boleh disebut
“kesatuan” namun lebih baik dianggap sebagai proses berkelanjutan
yang dapat dinamai “persatuan”; otonomi daerah merangsang persaingan
dan daerah-daerah otonom akan lebih mampu mempersiapkan diri
untuk bersaing, bukan hanya di tingkat nasional tapi, yang sangat
dipentingkan ahli ekonomi, di tingkat dunia (global localism);
demokratisasi pejabat di tingkat lokal dan integrasi adat setempat dalam
sistem tata negara.

Daratan Melawan Kepulauan
Salah satu daerah yang kena pemekaran adalah Provinsi Riau,
menjadi Provinsi Riau (Daratan) dan Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).

31

32

JAN VAN DER PUTTEN

Perceraian kedua daerah itu tak terlalu mengherankan jika melihat
keadaan geofisiknya (daratan—kepulauan), hasil daerahnya (hutan/
minyak—hasil laut/pasir/gas), dan susunan penduduknya (Minang/
Melayu/Batak—Melayu/Cina).2 Namun, seperti dipaparkan oleh Andaya
(1997), kesatuan di antara kedua daerah itu telah lama berdiri, walau
sering juga muncul ketegangan. Daratan dan Kepulauan telah disatukan
sejak abad ke-15 dalam sebuah kerajaan yang berpusat di Melaka,
walaupun perbatasannya tidak sama dengan perbatasan provinsi yang
bertahan sampai awal abad ini dan hubungannya tidak seformal seperti
dalam konfigurasi Republik Indonesia. Kesatuan daerah itu bertahan
sampai “pihak luar” bercampur tangan, seperti Raja Kecik yang
memperoleh dukungan dari Minang dalam perlawanan terhadap Johor
yang dibeking oleh Bugis pada abad ke-18 dan Belanda yang
mengacaukan lagi konflik yang sudah ada. Dalam zaman kolonial pada
akhir abad ke-19, kedua bagian dipisahkan ke dalam dua daerah
administrasi di bawah pimpinan masing-masing sampai tahun 1949,
lalu disatukan kembali ke dalam Provinsi Sumatra Tengah, beribu kota
Bukittinggi. Setelah pemberontakan PRRI tahun 1958, provinsi itu
dimekarkan dan Provinsi Riau diwujudkan, mencakup Kabupaten
Bengkalis, Kampar, Indragiri, dan Kepulauan Riau, serta Kotapraja
Pekanbaru.
Fokus Jakarta yang awalnya ada pada kepulauan berdasarkan sejarah
Kerajaan Riau-Lingga dialihkan pada daratan karena banyaknya
penduduk Cina di kepulauan yang kurang dipercayai dan industri minyak
di daratan yang mulai dieksploitasi dengan lebih gencar dan menjadi
sumber daya alam yang menggiurkan. Maka, beralihlah ibu kota Provinsi
Riau dari Tanjungpinang ke Pekanbaru pada tahun 1959.
Seperti digambarkan Will Derks (1994, 1997), Pekanbaru dengan
semangat menyuarakan perlawanan terhadap pusat pemerintahan di
Jawa sambil memperkukuh identitas lokal yang diartikan sebagai
identitas Melayu murni. Di sini timbullah suatu ketegangan karena di
daratan itu, khususnya di pusatnya, Pekanbaru, sebagian besar
penduduknya adalah orang Minang, yang sudah merantau sejak dahulu
kala, dan arus pendatang semakin membengkak saat-saat ekonomi
menguat. Bakat orang Minang antara lain dalam bidang bisnis dan pada
zaman kolonial awal abad ke-20 juga banyak dipekerjakan oleh Belanda

PEMEKARAN NEGERI KATA-KATA: KONFIGURASI KEBUDAYAAN MELAYU DI RIAU

dalam sistem kepemerintahan. Maka, tak mengherankanlah jika orang
Melayu tempatan merasa dibanjiri dan lambat laun terpinggirkan oleh
pendatang Minang yang cenderung mempertahankan bahasa dan
budayanya. Bila kita ketahui bahwa, pada tahun 1971, sekitar 65%
dari penduduk Pekanbaru berasal atau keturunan orang Minang (Andaya,
1997:503), boleh dipahami sentimen orang Melayu tempatan dalam
merancang dan memperkukuh identitasnya bukan hanya berlawanan
dengan “budaya priyayi”, seperti digalakkan di panggung nasional, tapi
juga menentang puak Minang yang berada di sekitarnya.
Jika dalam perancangan dan perkukuhan identitas itu kita libatkan
pencarian sejarah dan budaya yang dibagi bersama atau ditunjukkan
sebagai warisan bersama para anggota puak itu, jelas dalam hal identitas
Melayu Riau bukanlah “Kaba Cendur Mata” yang dianggap sebagai
bagian warisan sastranya atau tarian piring dimasukkan ke dalam tarian
khas Melayu, karena keduanya sudah “dikapling” oleh perancangan
budaya Minang.3 Untuk identikit Melayu lebih aman dicari lambang
khas Melayu, seperti “Lancang Kuning” dan ukiran corak Melayu dan
diajukan calon-calon pahlawan nasional yang boleh mewakili semua
daerah4 serta digali warisan sastra yang khas Melayu. Dalam hal sastra
ini, yang dipromosikan oleh budayawan lokal dan luar ialah buah tangan
sekelompok pengarang yang berkumpul di sekitar tokoh pusat Raja Ali
Haji pada pertengahan abad ke-19. Cerita sejarah pun dipusatkan pada
sejarah kepulauan yang datanya banyak terdapat dalam sumber Melayu
dan di luar negeri, yang akhirnya juga menghasilkan dua tokoh dari
kepulauan menjadi pahlawan nasional: Raja Haji Fisabillah dan Raja
Ali Haji.5
Akhirnya, ketegangan antara Daratan dan Kepulauan terlalu kuat
sehingga putus hubungan menjadi dua provinsi, yang dapat dilihat
sebagai hasil perkembangan ekonomi di kepulauan yang semakin gencar,
dengan Batam yang dikembangkan sebagai pesaing Singapura sejak
dibukanya pada tahun 1970-an, pengerukan pasir yang digunakan untuk
memperluas Pulau Singapura, dan penemuan gas di Kepulauan Natuna.
Kalaupun Daratan barangkali tidak menunjukkan kemunduran dalam
hal ekonomi, setidak-tidaknya Kepulauan Riau berhasil mengejar saudara
kandungnya.
Maka, pecahlah sebuah daerah, dimekarkan menjadi dua, dan

33

34

JAN VAN DER PUTTEN

provinsi baru giat mencari identitas, kelainan, sifat tersendirinya, lalu
sepertinya Daratan ibarat bini yang diceraikan lakinya: kesal, kecewa,
sakit.6 Betapa tidak, perlawanan terhadap pusat dimulai dan dilakukan
sebagian besar di dan dari Pekanbaru dan sebelum otonomi daerah
diberlakukan, yakni sebuah gerakan yang dinamai Riau Merdeka
ditubuhkan dan mengancam pusat bukan hanya dengan kata-kata.
Setelah otonomi berwujud dan sebelum pemekaran Negeri Kata-Kata
itu dilangsungkan, para budayawan dan intelektual lainnya menyusun
sebuah masterplan yang diberi judul “Visi Riau 2020” yang berisi:
“Mewujudkan Provinsi Riau sebagai Pusat Perekonomian dan Kebudayaan
Melayu dalam Lingkungan Masyarakat yang Agamis, Sejahtera Lahir dan
Batin di Asia Tenggara Tahun 2020”. Menyimak isi Visi Riau 2020 itu
terlihat jelas dan tegas: ada dua cita-cita penting untuk Riau ke depan,
yakni menjadikan Provinsi Riau sebagai Pusat Ekonomi sekaligus
menjadikannya sebagai Pusat Kebudayaan Melayu pada tahun 2020.
(Zulmansyah, 2002: 76)

Misi yang berjumlah sembilan butir itu menyatukan ekonomi dan
kebudayaan dan di dalam tulisan yang dikutip di atas ini terlihat betapa
digembar-gemborkan luasnya jangkauan serta efeknya, sampai-sampai
Singapura akan ditaklukkannya dan kesenian tradisional yang “mustahak
dilestarikan juga memiliki nilai jual tinggi untuk membentuk imej Riau
identik dengan Melayu.” (Ibid., 2002: 82). Kegiatan seni seharusnya
dikembangkan terus sehingga dapat mengembalikan Melayu ke peta
dunia:
Tentu kegiatan tersebut tak hanya sebatas Riau, tetapi dapat juga
berkeliling Asia Tenggara, bahkan bila memungkinkan keliling Asia,
Eropa, dan bahkan dunia. Bila adat dan tradisi Melayu Riau sudah dibenah
dan ditata sedemikian rupa, ditambah pula dengan gencarnya promosi
seni dan Budaya Melayu Riau ke pentas Asia Tenggara dan pentas dunia,
bukan tidak mungkin dalam tujuh ribu hari ke depan Riau memang
dapat menjadi pusat kebudayaan Melayu di Asia Tenggara. (Ibid., 2002:
82)

Tidak semua terbitan begitu yakin dan berapi-api melihat masa depan
Riau dan kemelayuannya. Saukani al Karim, misalnya, menyerukan agar
berhati-hati dengan rencana yang terlalu jauh dan muluk. Yang harus

PEMEKARAN NEGERI KATA-KATA: KONFIGURASI KEBUDAYAAN MELAYU DI RIAU

diutamakan dulu adalah pembinaan kebudayaan dan kesenian
tradisional. Masalahnya, keadaannya telah mencemaskan, malah ada
yang “mati suri”. Maka, dikemukakanlah empat butir usualan untuk
memperbaiki keadaannya pada masa kini (Al Karim, 2003). Dalam
terbitan yang sama, Muchtar Ahmad juga lebih berhati-hati menyuarakan
pendapatnya tentang rancangan yang terlalu jauh jangkauannya itu dan
menguraikan dengan argumen logis di mana saja terdapat ranjau di
sepanjang jalan menuju ke panggung global. Ia bentangkan apa saja
syarat yang harus dipenuhi sebelum masyarakat dapat meraih target
seperti itu, dengan titik tolak uraiannya mengenai kebudayaan yang
didefinisikan bukan hanya sebagai kesenian, tetapi sebuah konsep
termasuk falsafah, agama, ekonomi, serta masalah sumber daya alam
dan sumber daya manusianya, yang seharus memadai untuk mendukung
perkembangan. Baru kalau kebudayaan seperti itu dapat berdiri denga
kukuh, Melayu boleh bersaing dengan peradaban lain bertingkat dunia.
Dalam uraian itu juga tercermin tema diskusi seperti dilihat Jones di
Jakarta: proyek kebudayaan itu tak pernah selesai karena merupakan
sebuah proses dengan wajah yang dihadapkan ke depan, tidak selalu ke
belakang; keperluan mengembangkan kreativitas untuk dapat bersaing
di tingkat global; pengembangan pemimpin-pemimpin yang tangguh
agar berhasil (Muchtar Ahmad, 2003).
Dalam wacana yang muncul pada akhir-akhir ini di Pekanbaru dan
lain-lain tempat, bukan lagi Indonesia yang menjadi wadah yang
menampung ambisi para tokoh di daerah tersebut, tapi sudah
mendunia, khususnya terlihat dalam masterplan “Visi Riau 2020” seperti
tergambarkan dalam kartun (lihat ilustrasi). Hal ini juga sudah lebih
lama berkembang dalam usaha mengumpulkan orang Melayu di seluruh
dunia dan mengadakan perhelatan besar-besaran. Festival Budaya Melayu
diadakan tahun 1992, Hari Raja Ali Haji diselenggarakan selama bulan
Oktober 1996 berpusat di Kepulauan, dan tahun 2003 dikumpulkan
orang Melayu sejagat dalam Festival Melayu Sedunia. Ini bersambutan
dengan aktivitas yang pada dekade 1990-an digelar di Malaysia dengan
Dewan Bahasa dan Pustaka serta pemerintah Kota Melaka yang ingin
“menyediakan tempat perjumpaan” untuk orang Melayu dari seluruh
pelosok dunia (lihat Maniko Sakai, 2004) dan frasa seperti itu juga

35

36

JAN VAN DER PUTTEN

Ilustrasi 1: Kartun yang memperlihatkan (mantan) Gubernur Saleh Djasit
yang membidik dunia dengan bazokanya dalah masterplan “Visi Riau
2020” (sumber: Menuju Riau 2020)

bergema dalam rencana Riau yang muluk tersebut.
Tidak begitu jelas apa yang terjadi dengan masterplan ini setelah
pemekaran daerah dilakukan dan Provinsi Riau Kepulauan berdiri
dengan resmi pada tahun 2004. Namun, saya rasa masih terus
diperbincangkan dan dikembangkan, walau sekarang tanpa dana yang
dihasilkan Kepri.

Kepulauan
Lalu apa yang sedang terjadi di Kepri dengan kebudayaan Melayunya?
Sepertinya, selama dua tahun ini, para budayawan sedang giat melobi
pemerintah daerah dalam usaha mencari dana untuk membiayai kegiatan
kebudayaan. Memang, ini sudah juga dilakukan waktu Orde Baru dan
ketika masih menjadi bagian dari Provinsi Riau. Namun, rasanya
sekarang lebih gencar dengan hasil yang tampak.
Langsung setelah pemekaran, Dewan Kesenian Kepulauan Riau pun
diberi status yang setingkat provinsi, dengan Hoesnizar Hood diangkat
menjadi ketuanya. Di setiap kabupaten ada pula cabang dewan kesenian
itu dan boleh diperkirakan bahwa setiap kabupaten akan menampakkan
dan menekankan perbedaan dalam hal seni dan kebudayaan dengan
kabupaten lainnya, sehingga wajah budaya akan beragam.

PEMEKARAN NEGERI KATA-KATA: KONFIGURASI KEBUDAYAAN MELAYU DI RIAU

Pembentukan identitas khas bagi Kepulauan ialah kegiatan yang
khusus ditangani dan didanai oleh pemerintah daerah, baik di tingkat
provinsi maupun di tingkat kabupaten atau kota. Telah beberapa
dasawarsa, pemerintah daerah itu giat mencari bentuk-bentuk seni yang
bisa dijadikan lambang identitas Kepulauan yang dapat dijual kepada
wisatawan dan tamu-tamu lain yang datang bertandang ke daerah itu
ataupun yang layak dipertunjukkan di acara-acara kebudayaan di dalam
negeri atau mancanegara. Kegiatan ini berpusat di Tanjungpinang, yang
sekarang telah menjadi pusat administratif untuk tiga bagian pemerintah
daerah: Provinsi, Kota Tanjunpinang, dan Kabupaten Kepulauan Riau
(walaupun kabupaten sedang dalam proses pemindahan kota
kabupatennya ke Kijang, sebelah timur Pulau Bintan).
Dalam proses penggenjotan bentuk-bentuk kesenian ini, Pemda Kota
Tanjungpinang, khususnya Wali Kota Suryatati A. Manan, yang juga
tampil sebagai seniwati dan penyair, mengambil inisiatif untuk
menjadikan kotanya sebuah “kota budaya dan pariwisata yang bercitrakan
Melayu” (lihat: Kleden-Probonegoro dkk., 2003: 165). Dalam beberapa
tahun terakhir ini, jumlah kelompok yang bergiat dalam bidang seni
membengkak menjadi paling sedikit 24 yang tercatat di kantor Dinas
Pariwisata dan Budaya Kepri di Tanjungpinang itu (Ibid., 2003: 147).
Kebanyakan kelompok ini menjadi sanggar tari, yang juga mengajar
tari-tarian di sekolah menengah di seluruh kota itu.
Pemilahan bentuk seni di antara masing-masing daerah di kepulauan
itu pun telah dilakukan, sehingga bentuk teater yang paling layak
ditayangkan sebagai “maskot” Kepulauan adalah Mendu yang berasal
dari Natuna, tarian yang paling pantas adalah Zapin dari Tambelan,
musik yang khas Melayu adalah Gazal yang berpusat di Pulau Penyengat.
Sebagian pemilahan ini berdasarkan seleksi alami: grup teater Mendu
yang masih ada memang dari Natuna, pemimpin kelompok tari Zapin
adalah orang Tembelan, dan sebagainya. Namun, dari segi lainnya,
pemilahan ini juga akibat berhasilnya bentuk seni itu mempresentasikan
diri sebagai tradisi Melayu yang lain daripada yang lain atau sangat
tradisional di pusat, yaitu Kota Tanjungpinang. Walau bagaimanapun,
kesenian mulai tampak sebagai suatu bidang yang bisa dilakukan secara
profesional dan munculnya banyak sanggar menjamin persaingan sengit
untuk mendapatkan proyek dari pemerintah kota (yang juga membuka

37

38

JAN VAN DER PUTTEN

keperluan melobi, dengan hasil orang yang dekat dengan pihak
pemerintah kota-lah yang akan mendapat proyek seni itu; lihat: KledenProbonegoro dkk., 2003).
Kegiatan di Tanjungpinang tidak hanya terbatas pada penyelenggaraan
seni pertunjukan, namun tradisi itu juga dicatat oleh anggota sanggar,
seperti Peppy Chandra, seorang koreografer yang memimpin sanggar
tari (Ibid., 2003: 186) atau oleh orang seperti Aswandi Syahri, yang
sangat giat dalam melacak latar belakang berbagai bentuk seni serta
sejarah. Dalam pendahuluan buku tentang Mak Yong, sebuah bentuk
teater dengan repertoar tertentu, dia merujuk pada pemilahan bentukbentuk yang telah saya singgung di atas:
[…] setelah pemekaran wilayah, mau tidak mau dan suka atau tidak suka,
persoalan geo-politik dan batas-batas wilayah administrasi pemerintahan
akan turut “membagi-bagi” pula “kepemilikan” warisan kesenian tradisional
tersebut sebagai identitas yang akan dianjung dibanggakan. Maka Mendu
telah lepas menjadi “milik” Kabupaten Natuna; Gurindam 12 lekatlah
pada Pulau Penyengat di kota Tanjungpinang; Joget Dangkong terus
dikembangkan oleh Kabupaten Karimun; Tari Jogi menjadi identitas Kota
Batam; Bangsawan merupakan teater tradisional orang-orang di Kabupaten
Lingga. (Aswandi Syahri, 2005a: 1)

Yang tinggal untuk Kabupaten Kepulauan Riau adalah Mak Yong
yang berpusat di Pulau Mantang Arang dan Kampung Keke di Bintan.
Selain melacak latar belakang Mak Yong, Aswandi juga telah
menerbitkan buku kumpulan cerita rakyat (2005b) dan sebuah buku
mengenai tokoh sejarah Raja Ali Kelana (2006). Dia sangat giat dalam
penulisan dan perekaman budaya dan sejarah, yang merupakan salah
satu bidang penting dalam pelestarian budaya dan konfigurasi identitas
Provinsi Kepri. Maka, dengan lancar pula buku yang ia tulis diterbitkan
oleh pemerintah daerah.
Aswandi juga telah memberi catatan tentang perkembangan sastra
tertulis di Kepulauan dari zaman “gemilang” di pertengahan abad ke19 sampai kini (Aswandi 2003). Dalam sistem bersastra pun pemerintak
daerah, khususnya Pemerintah Kota Tanjungpinang, berupaya
mengedepankan sastra tradisional untuk menampakkan Kepri sebagai
daerah Melayu murni. Dalam usaha itu, bentuk pantun coba
dikembangkan menjadi “maskot dari suku Melayu/ sastra asli Melayu/

PEMEKARAN NEGERI KATA-KATA: KONFIGURASI KEBUDAYAAN MELAYU DI RIAU

sastra khas Melayu” (Kleden-Probonegoro, 2003:166). Penggunaan
pantun itu—yang sudah lama terbatas pada acara resmi dan pernikahan—
ingin diperluas ke lebih banyak bidang dalam kehidupan sehari-hari di
Kepulauan, sehingga dipakai dalam permainan anak-anak atau dalam
penjalinan hubungan di antara dua sejoli. Bahkan, ada usul untuk
mencantumkan pantun ke dalam bilboard di Kota Tanjungpinang, agar
lambang budaya Melayu ini memang besar dan dengan jelas akan
menguasai street-scape (‘pemandangan jalan’) di kota itu.
Pengalihperanan salah satu bentuk puisi Melayu menjadi lambang
Kepulauan yang dipamerkan kepada setiap pengunjung Tanjungpinang
juga terjadi dengan Gurindam 12 karya Raja Ali Haji pada pertengahan
abad ke-19. Saat mendekati Pelabuhan Sri Bintan Pura di kota itu, kita
akan melihat ucapan selamat datang ke Tanjungpinang - Kota Gurindam
yang terpampang dengan jelas di lereng bukit yang dimahkotai oleh
Hotel Top View (dulunya benteng Kroonprins bertengger di situ). Sejak
awal tahun 1990-an, Raja Abdulrahman, seorang budayawan yang
berasal dari Penyengat, sangat gigih berupaya melestarikan berbagai
bentuk seni yang berhubungan dengan sastra warisan Raja Ali Haji dan
sanak keluarganya. Salah satu di antaranya adalah Gurindam 12, yang
didendangkan dengan berbagai lagu. Berdasarkan kegigihan Raja
Abdulrahman inilah Gurindam 12 diangkat menjadi lambang Kota
Tanjungpinang, dicetak ulang beberapa kali dalam berbagai bentuk dan
akhirnya juga didirikan sebuah Gurindam Center (Februari 2007), yang
antara lain telah merekam pendendangan Gurindam oleh Raja
Abdulrahman ini ke dalam CD yang dijual di pasar.
Pulau Penyengat memang berperan cukup besar dalam rekonfigurasi
seni dan identitas daerah ini, yang bermuara pada pendirian sebuah
Badan Pengelola Kawasan Budaya Pulau Penyengat pada pertengahan
tahun 2006. Badan pengelola ini berencana mendata kembali dan
merawat warisan fisik serta mengembangkan kebudayaan non-fisik yang
berada di pulau bersejarah itu.
Seperti telah dipaparkan Carole Faucher (2005), rekonfigurasi
identitas yang terfokus pada penguasa diraja menimbulkan pertentangan
dan ketegangan bukan hanya dengan kelompok etnis lain di daerah,
tetapi juga dengan anggota kelompok etnis Melayu yang tidak dapat
“membuktikan” bahwa mereka ada hubungan dengan silsilah diraja.

39

40

JAN VAN DER PUTTEN

Di samping itu, retradisionalisasi seni dan sastra yang dilakukan pihak
pemerintah daerah membawa bahaya “folklorisasi”, yaitu pelestarian
bentuk seni hanya agar dapat dipertunjukkan kepada wisatawan serta
anak-anak sekolah. Pembekuan seni yang dilakukan atas dasar kebijakan
pemerintah daerah bertentangan dengan pengembangan seni yang
diusahakan para seniman yang kreatif. Jelas ada hubungan yang serbaambigu antara pihak penguasa yang mengembangkan seni dengan tujuan
tertentu dan seniman yang sedikit-sebanyak bergantung pada dana yang
dikucurkan oleh pihak pemerintah. Seperti di banyak daerah lain di
Indonesia, di Kepulauan pun ada kelompok penyair yang berusaha
menjaga keseimbangan di antara menjamin kelanjutan hidup bersama
keluarganya dan menyimak kehidupan sosial-budaya di sekitarnya dengan
kritis. Penyair-penyair seperti Hoesnizar Hood, Junewal Mukhtar,
Mahzumi Dawood, dan Hasan Aspahani bekerja sama dalam berbagai
proyek, seperti penerbitan majalah budaya Bahtera (penerbit: Dewan
Kesenian Kepulauan Riau, mulai 2003) dan Dua Belas (juga diterbitkan
Dewan Kesenian Kepulauan Riau, mulai 2006), yang bermaksud
memberi saluran bagi pekerja sastra modern. Di dalam usaha ini, mereka
menggabungkan “tradisi” lama yang menjadi latar belakangnya dengan
kehidupan modern dan juga mencari kawan penyair di dalam dan luar
negeri, yang juga berakibat pada penyebaran suatu citra Kepulauan ke
pihak-pihak lain. Usaha ini juga terdapat di dalam beberapa sanggar
tari dan teater dan mengandung potensi untuk lebih mengikutsertakan
kelompok muda dan mudi dalam pelestarian dan pengembangan budaya
Melayu.

Penutup
Orang Melayu sedang giat mempersiapkan puaknya untuk
menghadapi tantangan yang dibawa perputaran zaman. Daerah yang
dari dulu dianggap menjadi pusat Melayu, yaitu Riau, sampai akhir
abad lalu memperkuat identitasnya untuk menghadapi budaya priyayi
yang terpancarkan dari pusat pemerintah, yang dinamai kebudayaan
nasional Indonesia. Setelah otonomi daerah diberlakukan dan juga
sebelumnya sudah tampak dalam berbagai kegiatan, perancangan dan
pemikiran identitas menerima bahan bakar baru dan, yang tak kurang

PEMEKARAN NEGERI KATA-KATA: KONFIGURASI KEBUDAYAAN MELAYU DI RIAU

penting, adalah juga dana. Dalam zaman ketika globalisasi menjadi istilah
yang menggiurkan, para budayawan dan cendekiawan Melayu semakin
mengarahkan pandangannya melintas perbatasan negaranya dan mencari
saudaranya di Malaysia, Singapura, dan bagian lain di dunia. Pemekaran
daerah yang menghasilkan Provinsi Kepri menyakitkan berbagai kalangan
di Daratan yang sedang merancang masterplan “Visi Riau 2020”-nya.
Salah satu sebab rasa perih itu ialah bagian besar dari khazanah sastra
dan sejarah terdapat di Kepri, akan tetapi tidak tertutup bagi orang
lain untuk menimbanya dan membuahkan hasil dalam karya sastra atau
terbitan lainnya. Apalagi, dalam usaha yang sedang dikembangkan oleh
para gubernur se-Sumatra, yaitu yang dinamai “Agenda Sumatra” (Sakai
dan Morrell, 2006) boleh diperkirakan eksklusivisme daerah tak dapat
dipertahankan. Walaupun demikian, Kepulauan tidak akan rela
melepaskan citra bahwa daerah itu merupakan suatu daerah penting
untuk menata identitas Melayu yang berakar pada sejarah.
Provinsi Kepri baru berdiri dan masih menata pemerintahan dan
coba mengibas kebingungan dan kekacauan yang muncul akibat
pendirian provinsi itu. Namun, inventarisasi kegiatan yang telah digelar
sebelum pemekaran diteruskan dan mereka juga semakin giat menata
dapur sendiri untuk mempersiapkan diri menghadapi masa depan,
misalnya melalui penulisan sejarah sendiri yang diseminarkan tahun
2005 atau rencana agar orang-orang di Kepulauan berbusana Melayu
pada hari-hari tertentu, seperti telah dilakukan oleh guru serta murid
sekolah setiap hari Sabtu (Hendry Juliardian, 2002). Sekarang,
pandangan Kepri masih terarah ke dalam, seperti penyair yang cenderung
membahas persoalan di Kepulauan daripada yang lebih umum. Tetapi,
barangkali, dalam waktu dekat akan diarahkan ke luar dan akan
bergabung tenaganya dengan Daratan serta pihak dalam dan luar negeri
lagi untuk merancang strategi menghadapi zaman baru.
2006 di Singapura.

Catatan:
1

Jelas anggapan kolonial bahwa Melayu itu malas dan bodoh masih tetap didaur
ulang dan diperkukuh melalui wacana tentang Melayu di media massa. Namun,
dalam masa serba-modern ini juga sudah tersedia angka-angka statistik untuk
membuktikannya. Dan jelas, angka-angka dapat dipermainkan: yang jelek disulap

41

42

JAN VAN DER PUTTEN

menjadi hebat, yang hebat didiamkan.
2

Perbandingan ini menunjukkan keadaan yang umum dan Batam tidak disertakan:
Daratan memiliki jumlah penduduk besar yang berasal atau berketurunan Minang;
Kepri Melayu dan Cina, sedangkan Batam dari waktu dibuka dibanjiri pendatang
dari daerah lain di Indonesia. Namun, pulau-pulau Kepri yang lain juga semakin
didatangi orang luar yang mencari nafkah di provinsi yang sedang berkembang
pesat ini (lihat: Andaya, 1997, dan Aris Ananta, 2006).
3

Walaupun begitu ada juga bentuk seni yang jelas berbau Minang yang dianggap
sebagai khazanah budaya daerah, seperti “Randai Kuantan” yang dimasukkan ke
dalam daftar khazanah itu, di samping Mak Yong, Mendu, dan Bangsawan (Al
Karim, 2003: 282). Maka, ada lambang yang mengalami proses lokalisasi, seperti
juga Raja Kecik, yang oleh sebagian orang Siak dianggap pejuang Melayu, namun
juga pasti menimbulkan pertentangan di kalangan Melayu lain (lihat: mis. Barnard,
1997: 522).
4

Seperti dijelaskan dalam Barnard (1997: 514) tahun 1988 Gubernur Soeripto
mencanangkan pencalonan tujuh tokoh yang mau diangkat menjadi pahlawan
nasional. Ketujuh tokoh itu dipilih agar mewakili semua daerah di Provinsi Riau,
tapi tidak mencakup Raja Kecik.
5

Untuk proses pencalonan Raja Haji, lihat Barnard (1997: 518—522). Raja Ali
Haji diberi statusnya pada November 2004 dan menimbulkan pertikaian antara
ahli waris dan pemerintah daerah, sampai-sampai situs bersejarah di Penyengat
ditutup. Walau bagaimanapun, kesediaan daerah untuk mengajukan tokoh daerah
ke panggung nasional memperlihatkan bagaimana orang di daerah “bermain politik”
di kedua gelanggang: daerah dan nasional (lihat: Wee, 2002). Jika hanya ingin
menentang pusat, untuk apa mencalonkan tokoh dan bersusah payah
menjadikannya pahlawan nasional?
6

Lihat misalnya buku yang diterbitkan Tabrani Rab (2002: 90): “[Diadakannya
Kongres Rakyat Kepulauan Riau tahun 1954] Bukannya untuk mendirikan Propinsi
Riau daratan dan Riau lautan, akan tetapi untuk mendirikan propinsi Riau dengan
ibu kota Tanjungpinang. Maka terkutuklah oleh raja-raja Melayu bagi orang yang
akan memecah Riau menjadi propinsi daratan dan lautan.”

Dokumen yang terkait

Upaya mengurangi kecemasan belajar matematika siswa dengan penerapan metode diskusi kelompok teknik tutor sebaya: sebuah studi penelitian tindakan di SMP Negeri 21 Tangerang

26 227 88

Pengaruh mutu mengajar guru terhadap prestasi belajar siswa bidang ekonomi di SMA Negeri 14 Tangerang

15 165 84

Perpustakaan sekolah sebagai sumber belajar siswa di perpustakaan SMP Negeri Ciputat Tangerang-Banten

2 44 99

Perilaku Konsumsi Serat pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Tahun 2012

21 162 166

Persepsi guru terhadap implementasi kurikulum 2013 pada mata pelajaran pendidikan agama dan budi pekerti di SMP Negeri 3 Tangerang Selatan

1 35 0

Sistem Informasi Akademik Pada Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Bandung

21 159 139

Pembangunan aplikasi e-learning sebagai sarana penunjang proses belajar mengajar di SMA Negeri 3 Karawang

8 89 291

EFEKTIVITAS MEDIA PENYAMPAIAN PESAN PADA KEGIATAN LITERASI MEDIA (Studi pada SMA Negeri 2 Bandar Lampung)

15 96 159

PENGGUNAAN BAHAN AJAR LEAFLET DENGAN MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI POKOK SISTEM GERAK MANUSIA (Studi Quasi Eksperimen pada Siswa Kelas XI IPA1 SMA Negeri 1 Bukit Kemuning Semester Ganjil T

47 275 59

PENGARUH PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF EXAMPLE NON EXAMPLE TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR RASIONAL SISWA PADA MATERI POKOK PENCEMARAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Eksperimen pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 2 Waway Karya Lampung Timur Tahun Pela

7 98 60