ANALISIS PENDIDIKAN ISLAM DALAM SISTEM P
1
Tugas Kuliah
ANALISIS PENDIDIKAN ISLAM DALAM SISTEM PENDIDIKAN
NASIONAL
Oleh:
Dodi Ilham
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Membincangkan pendidikan berarti membincangkan masalah diri
manusia sendiri sebagai makhluk Tuhan yang dipersiapkan untuk menjadi
khalifah-Nya di muka bumi
dalam kerangka
mengabdi
kepada-Nya.
Pendidikan Islam dikaitkan dengan konsepsi kejadian manusia yang dari
sejak awal kejadiannya sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna yang
dibekali potensi hidayah akal dan ilmu, maka itu merupakan proses panjang
yang tidak berkesudahan sehingga siap untuk memikul amanat Tuhan dan
tanggung jawab, sepanjang dunia masih ada. Oleh sebab itu problematika
2
pendidikan Islam yang muncul selalu complicate serumit persoalan manusia
itu sendiri.1
Pendidikan Islam dan eksistensinya sebagai komponen pembangunan
bangsa, khususnya di Indonesia, memainkan peran yang sangat besar dan ini
berlangsung sejak jauh sebelum kemerdekaan Bangsa Indonesia. Hal ini
dapat dilihat praktik pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh umat Islam
melalui lembaga-lembaga pendidikan tradisional seperti majelis taklim. Forum
pengajian, surau, masjid dan pesantren-pesantren yang berkembang subur
dan eksis hingga sekarang. Bahkan setelah kemerdekaan penyelenggaraan
pendidikan Islam semakin memperoleh pengakuan dan payung yuridisnya
dengan adanya berbagai produk perundang-undangan tentang pendidikan
nasional.
Namun meskipun demikian, Pendidikan Islam hingga kini boleh
dikatakan masih saja berada dalam posisi problematik antara 'determinisme
historis' dan 'realisme praktis'. Di satu sisi pendidikan Islam belum
sepenuhnya bisa keluar dari idealisme kejayaan pemikiran dan peradaban
Islam masa lampau yang hegomonik; sementara di sisi lain, ia juga 'dipaksa'
untuk mau menerima tuntutan-tuntutan masa kini, khususnya yang datang
dari Barat, dengan orientasi yang sangat praktis. Dalam dataran historis
1
Problematika pendidikan Islam pada dasarnya dimulai dari pengertian pendidikan,
tujuan, materi dan strategi pendidikan-pengajarannya hingga lembaga penyelenggara
pendidikan Islam, yang muncul dari masa ke masa, dikaji dan dicari jawabannya selalu
berkembang dan melahirkan pemikiran-penting seiring dengan perkembangan zaman,
peradaban dan produk-produknya, khususnya hasil ilmu pengetahuan dan teknologi yang
sangat berpengaruh bagi eksistensi dan peran pendidikan Islam di masyarakatnya. Lihat,
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pelembagaan, Manajemen Kelembagaan,
Kurikulum, hingga Strategi Pembelajaran (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2009), h. 76.
3
empiris, kenyataan tersebut acap kali menimbulkan dualisme dan polarisasi
sistem pendidikan di tengah-tengah masyarakat muslim sehingga agenda
transfomasi sosial yang digulirkan seakan berfungsi hanya sekedar 'tambal
sulam' saja. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila di satu sisi kita
masih saja mendapatkan tampilan 'sistem pendidikan Islam' yang sangat
tradisional karena tetap memakai 'baju lama' 2
Dalam proses sejarah selanjutnya, Pasal 31 ayat 2 Undang-Undang Dasar
(UUD)
1945
menyatakan
bahwa
pemerintah
akan
mengusahakan
dan
menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undangundang. Sejumlah kebijakan dalam dunia pendidikan pun kemudian dikeluarkan oleh
pemerintah. Ada yang berbentuk undang-undang, peraturan pemerintah, dan ada pula
yang kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan Nasional (sebelumnya
bernama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan). Sebagai bentuk kebijakan baru
menyikapi kebijakan pendidikan pada era orde baru, lahirlah Undang-Undang Nomor
2 Tahun 1989 yang merupakan salah satu produk undang-undang tentang pendidikan
sebagai pengganti dari undang-undang sebelumnya. Undang-undang tersebut diikuti
oleh seperangkat Peraturan Pemerintah (PP) sebagai kebijakan yang mengatur
pendidikan dasar, menengah, dan tinggi, ataupun tentang pendidikan luar bisa dan
pendidikan luar sekolah, dan sebagainya. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989
2
Perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat baik sosial maupun kultural
berimplikasi terhadap dunia pendidikan Islam di Indonesia. Dalam tataran makro, persoalan yang
dihadapi pendidikan Islam adalah bagaimana pendidikan Islam mampu menghadirkan desain atau
konstruksi wacana pendidikan Islam yang relevan dengan perubahan masyarakat. Selanjutnya,
bagaimana desain wacana pendidikan Islam tersebut dapat ditransformasikan atau diproses secara
sistematis dalam masyarakat. Lihat, A.M. Saefuddin (et.al.), Desekularisasi Pemikiran Landasan
Islamisasi dalam “Konsep Pendidikan Agama sebuah Pendekatan Integratif-Inovatif” (Cet. I;
Bandung: Mizan, 1987), h. 102.
4
akhirnya disempurnakan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.3
Karena itu, sangat perlu untuk memahami sekaligus menganalisis
pendidikan Islam dalam UU Sisdiknas No 20/2003 sehingga, diharapkan dapat
ditemukan signifikansi (magza) yang relevan terkait dengan konsep
pendidikan
Islam dalam UU Sisdiknas No 20/2003 yang sesuai dengan konteks kekinian.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah di dalam pembahasan makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana kaitan pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional?
2. Bagaimana analisis pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakekat Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional
Awalnya, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003
lahir melalui perdebatan sengit. Bahkan unjuk rasa sampai ancaman disintegrasi ikut
3
Ibid., h. 104-105.
5
mewarnai proses lahirnya Undang-Undang ini. Singkat kata, Undang-Undang ini
menjelang kelahirannya ada dalam situasi yang dilematis.4
4
Kritik tajam terhadap Undang-Undang ini (saat itu masih RUU) dapat dicatat antara lain
berkaitan dengan tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan terlalu ditekankan pada kesalehan
beragama dan mengabaikan tujuan pendidikan nasional yang universal dan komprehensif; bersifat
diskriminatif dan mengabaikan keberadaan serta kepentingan agama/kepercayaan lain di luar lima
agama yang selama ini diakui resmi oleh negara; visi pendidikan agama yang ditawarkan tidak
mendorong semangat pluralisme, serta memberi peluang intervensi berlebihan negara pada
pelaksanaan pendidikan dan menghalangi partisipasi serta otonomi masyarakat, khususnya lembagalembaga pendidikan; campur-tangan pemerintah terlalu besar pada masalah agama; dan kentalnya
nuansa politik yang membidani lahirnya Undang-Undang tersebut. Muzayyin Arifin, Kapita Selekta
Pendidikan Islam, Edisi Revisi (Cet. II; Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007), h. 204—213.
6
Sementara pada sisi lain, Undang-Undang ini dimaksudkan sebagai jawaban
legal formal terhadap krisis pendidikan yang telah menggurita dalam tubuh bangsa
Indonesia. Dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun 2003, Megawati
Sukarno Putri, Presien RI saat itu misalnya menegaskan, kegagalan dan
kekurangberhasilan yang terjadi selama ini merupakan cerminan dari kegagalan
dalam membentuk mental dan karakter sebagai bangsa yang sedang membangun.
Semua itu bagaikan bermuara pada kesimpulan tentang tipisnya etika kita dalam
membina kehidupan berbangsa dan bernegara. Kalau disimak ujung dari semua itu
seakan-akan berhenti pada ungkapan tentang gagalnya sistem pendidikan nasional
kita. Kesadaran akan adanya kegagalan dalam dunia pendidikan ini ditandai dengan
tuntutan reformasi yang beriringan dengan tuntutan reformasi pada bidang kehidupan
lainnya. Bahkan di kawasan Asia, Indonesia di nilai sebagai negara yang paling
ketinggalan (least well-educated country) dalam pendidikan baik dari budgeting, out
put, maupun manjerial. Dalam konteks reformasi pendidikan inilah sesungguhnya
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2003 ini lahir.5
Haidar Putra Daulay menyatakan bahwa setidaknya ada tiga hal yang terkait
dengan pendidikan Islam dalam UU No 20/2003, yaitu:
5
Terdapat banyak isu reformasi pendidikan yang diusung saat itu. Sedikitnya isu-isu sentral
reformasi pendidikan ini bermuara pada empat hal, yaitu 1) pendidikan agama sebagai basis
pendidikan nasional, 2) pemerataan kesempatan pendidikan, 3) peningkatan mutu dan relevansi
pendidikan, dan 4) efisiensi menajemen pendidikan. Keempat hal pokok ini tidak lagi bisa dijawab
oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun menjelang
disahkannya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 sebagai pengganti UU Sisdiknas sebelumnya –
seperti ramai diberitakan oleh media massa - seluruh persoalan pendidikan yang rumit didiskusikan
oleh para pakar pendidikan selama kurang lebih dua tahun itu, semuanya tenggelam ditelan polemik
pasal-pasal “yang berpihak“ terhadap pendidikan agama. Bahkan polemik ini sudah jauh melampaui
diskusi-diskusi kependidikan, tetapi merambah masuk ke dalam ranah politik dan sentimen agama.
Ibid., h. 223.
7
“Pertama, kelembagaan formal, nonformal, dan informal didudukkannya
lembaga madrasah sebagai salah satu lembaga pendidikan formal yang diakui
keberadaannya setara dengan lembaga pendidikan sekolah. Kedua, pendidikan
Islam sebagai mata pelajaran yaitu pelajaran agama sebagai salah satu mata
pelajaran yang wajib diberikan kepada peserta didik di semua jalur, jenis dan
jenjang pendidikan. Ketiga, pendidikan Islam sebagai
nilai,
terdapat
seperangkat nilai-nilai islami dalam sistem pendidikan nasional.”6
Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003, yang dimaksud dengan
sistem pendidikan nasional adalah “keseluruhan komponen pendidikan yang saling
terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional”. Sementara itu,
tujuan pendidikan
yang ditetapkan oleh undang-undang ini adalah “untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatrif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab”.7
Salah satu instrumen yang bisa diharapkan untuk mewujudkan tujuan di atas
adalah pendidikan Islam sebagai suatu “sistem” pendidikan tertua di Tanah Air.
Sejarah memberi informasi bahwa apa yang kini dicapai sebagai bentuk dan sistem
pendidikan nasional, sebagaimana berlaku dalam kehidupan masyarakat, merupakan
hasil komulatif perjuangan yang terus-menerus dari para tokoh dan pejuang
pendidikan negeri ini. Namun, tanpa mengurangi penghargaan akan jasa para
pendahulu tersebut, masih disaksikan kenyataan bahwa sistem pendidikan yang ada,
6
Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 adalah implementasi dari amanat UndangUndang Dasar 1945 pada Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 13 yang
mengamanatkan bahwa : Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Lihat, Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam
Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 9.
7
Ibid., h. 10.
8
sampai saat ini masih menampakkan berbagai permasalahan yang memerlukan
penanganan dengan segera.
Permasalahan tersebut dapat dipetakan dalam empat persoalan. 8 Pertama,
dikotomi ilmu pengetahuan hingga memunculkan masalah islamisasi ilmu
pengetahuan (pendidikan). Problem ini sebenarnya telah ada sejak zaman kolonial
Belanda, tetapi problem ini masih berkembang hingga sekarang. Hal ini setidaknya
dapat dilacak dari kajian-kajian kependidikan Islam, baik melalui kegiatan seminar
maupun buku-buku ilmiah.
Problem kedua adalah kualitas pendidikan agama Islam di sekolah dan
perguruan tinggi umum. Pada prinsipnya, problem ini menyangkut masalah internal
dan eksternal dari pendidikan agama Islam. Aspek internal yang dimaksud berkaitan
dengn sisi pendidikan agama sebagai program pendidikan, terutama dari segi
orientasinya yang lebih terkonsentrasi pada persoalan-persoalan teoretis keagamaan
yang bersifat kognitif semata serta amalan-amalan ibadah praktis, serta lebih
berorientasi pada belajar tentang agama. Juga yang termasuk dalam aspek ini adalah
kurang concern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang
kognitif menjadi “makna” dan “nilai” yang perlu diinternalisasikan dalam diri peserta
didik. Aspek lainnya adalah sempitnya pemahaman guru/dosen agama terhadap
esensi ajaran Islam, perancangan dan penyusunan materi pendidikan agama Islam
yang kurang tepat, metodologinya yang konvensional-tradisional, dan sebagainya.
Sementara itu, aspek eksternalnya berupa berbagai kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang berdampak pada munculnya kritik ilmu pengetahuan
8
151.
Abd. Halim Soebahar, Wawasan Baru Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h.
9
(scientific criticism) terhadap penjelasan ajaran agama yang bersifat konservatiftradisional, tekstual, dan skripturalistik. Termasuk juga di dalamnya, era globalisasi,
perubahan sosial-ekonomi dan budaya dengan segala dampaknya.
Problem ketiga menyangkut upaya membangun pendidikan Islam secara
terpadu untuk mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Sampai saat ini, boleh
dikatakan bahwa dalam sistem pendidikan Islam yang dilaksanakan baik secara
vertikal maupun horizontal kurang terjadi perpaduan. Dalam konteks ini, menurut
Daulay, perlu ditinjau dari dua sudut, yaitu landasan filosofi dan metodologi.9
Problem keempat menyangkut penggalian konsep pemikiran filosofis
pendidikan Islam serta pemikiran tokoh-tokoh pendidikan Islam mulai priode klasik
hingga priode modern, dari dalam ataupun luar negeri. Kajian dalam hal ini banyak
dilakukan oleh para mahasiswa S2 dan S3 UIN/IAIN/STAIN atau PTIS yang
mengambil konsentrasi pendidikan Islam. Dari berbagai karya tentang pendidikan
Islam, menurut Azyumardi Azra, menunjukkan bahwa pola kajian pemikiran dan
teori kependidikan Islam di Indonesia memiliki beberapa kecenderungan, yaitu:10
1. Mendekatinya dengan sangat doktrinal, normatif, dan idealistik, yang
kadang-kadang mengaburkan kaitan atau konteksnya dengan pendidikan
Islam itu sendiri;
2. Mengadopsi filsafat, pemikiran dan teori kependidikan Barat tanpa kritisme
yang memadai, bahkan hampir terjadi pengambilan mentah-mentah;
3. Memberi legitimasi terhadap pemikiran dan filsafat pendidikan Barat dengan
ayat al-Quran dan hadis tertentu, sehingga yang menjadi titik-tolak adalah
9
Haidar Putra Daulay, op. cit., h. 114.
10
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru
(Jakarta: Logos, 1999), h. 98.
10
pemikiran kependidikan Barat (bukan pemikiran kependidikan Islam), yang
belum tentu kontekstual dan relevan dengan pemikiran kependidikan Islam;
4. Pemikiran kependidikan Islam atau yang relevan dengannya yang
dikembangkan para ulama, pemikir, dan filosof muslim, sedikit sekali
diungkap dan dibahas.
B. Analisis Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional
Apabila dicermati, dari keempat katagorisasi problem pendidikan Islam
seperti yang diuraikan di atas, masalah integrasi pendidikan Islam dalam sistem
pendidikan nasional, secara implisit, masuk dalam kategori pertama, yakni problem
dikotomi ilmu pengetahuan. Telah disinggung di muka bahwa pendidikan Islam yang
telah berlangsung sejak masuknya Islam ke Indonesia merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari sistem pendidikan nasional tersebut, baik secara eksplisit maupun
implisit.
Dari catatan sejarah diketahui bahwa pendidikan Islam bermula dari
pengajian-pengajian di rumah-rumah penduduk yang dilakukan oleh para penyebar
agama Islam, kemudian berkembang menjadi pengajian di langgar/surau/masjid dan
pondok pesantren seiring dengan berjalannya pertumbuhan kehidupan umat Islam
pada waktu itu. Pada masa selanjutnya, muncul bentuk madrasah dan upaya untuk
memasukkan pendidikan Islam ke dalam kurikulum pendidikan umum yang didirikan
oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Ketika Indonesia merdeka, bentuk-bentuk
sistem pendidikan Islam, baik pesantren, madrasah, maupun di sekolah-sekolah
umum terus berlanjut, namun dengan perkembangan yang tampak menunjukkan
11
ketertinggalan dari masyarakat sendiri disertai problem-problem yang telah
dipaparkan di atas.11
Implikasi yang bisa muncul dari dikotomi sistem pendidikan adalah timbulnya
kesenjangan antara sumber ilmu, antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum.
Dalam
buku
Integrasi
Ilmu:
Sebuah
Rekonstruksi
Holistik,
Kertanegara
mengomentari hal itu sebagai berikut:
Para pendukung ilmu-ilmu agama hanya menganggap valid sumber ilahi dalam
bentuk kitab suci dan tradisi kenabian dan menolak sumber-sumber nonskriptual sebagai sumber otoritatif untuk menjelaskan kebenaran sejati. Di
pihak lain, ilmuwan-ilmuwan sekuler hanya menganggap valid informasi yang
diperoleh melalui pengamatan inderawi.12
Oleh karena itu, integrasi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional
merupakan bagian dari problem-problem tersebut. Menurut hemat pemakalah,
pendekatan yang dilakukan hendaknya bersifat integratif. Sehubungan dengan itu,
Depertemen Agama (sekarang Kementerian Agama) yang berdiri pada 3 Januari 1946
secara intensif memperjuangkan politik pendidikan Islam di Indonesia. Orientasi
usahanya dalam bidang pendidikan Islam bertumpu pada aspirasi umat Islam agar
pendidikan agama diajarkan di sekolah-sekolah, di samping pada pengembangan
madrasah. Secara lebih spesifik, usaha ini ditangani oleh bagian khusus yang
mengurusi masalah pendidikan agama.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan
Pengajaran di Sekolah memberikan kesempatan untuk masuknya pengajaran agama
di sekolah-sekolah, di samping mengakui sekolah agama (madrasah, yang diakui oleh
11
12
Haidar Putra Daulay, op.cit., h. 11-12.
Mulyadhi Kertanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik (Bandung: Artasy
Mizan, 2005), h. 22—23.
12
Menteri Agama) sebagai lembaga penyelenggara wajib belajar. Ketetapan (Tap)
MPRS Nomor 2 Tahun 1960 menetapkan pemberian pelajaran agama pada semua
tingkat pendidikan, mulai sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi, di samping
pengakuan bahwa pesantren dan madrasah sebagai lembaga pendidikan yang otonom
di bawah pembinaan Departemen Agama.13
Tap MPRS Nomor 27 Tahun 1966 menetapkan bahwa agama, pendidikan,
dan kebudayaan adalah unsur mutlak dalam nation and caracter building, sekaligus
menetapkan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran pokok dan wajib
diikuti oleh setiap peserta didik sesuai dengan agama masing-masing. Akhirnya, Tap
MPR Nomor 2 Tahun 1988 tentang Asas Tunggal yang menetapkan Pancasila
sebagai satu-satunya asas bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,
lebih memantapkan usaha masuknya lembaga pendidikan keagamaan (pesantren dan
madrasah) dalam kerangka sistem pendidikan nasional. Dengan demikian, lebih
memantapkan pula usaha pengintegrasian pendidikan Islam ke dalam sistem
pendidikan nasional.14
Segala peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang dibuat oleh
pemerintah—yang
tampaknya mengarah kepada usaha integrasi tersebut—
merupakan persiapan untuk menyusun dan mewujudkan undang-undang tentang
“satu sistem pendidikan dan pengajaran nasional”, sebagaimana yang dikehendaki
13
Undang-Undang Nomor 54 tahun 1950 sebagai Undang-Undang pertama yang mengatur
pendidikan nasional tidak memberikan tempat bagi pendidikan keagamaan. Pun terhadap pendidikan
agama yang saat itu diistilahkan dengan pengajaran agama Undang-Undang ini cenderung bersikap
liberal dengan menyerahkan keikutsertaan siswa dalam pengajaran kepada keinginan dan persetujuan
orang tua. Namun demikian, Undang-Undang ini mengamanatkan tersusunnya undang-undang
tersendiri yang mengatur pendidikan agama ini. Secara sederhana sikap pemerintah saat itu dapat
disimpulkan sebagai tidak memihak dan tidak menunjukkan concern yang tinggi terhadap pendidikan
agama. Haidar Putra Daulay, op.cit., h. vi.
14
Ibid.
13
oleh Pasal 31 UUD 1945, seperti disinggung pada bagian awal makalah ini. Dengan
disahkannya Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional15 yang “lebih dikukuhkan” oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
(juga tentang Sistem Pendidikan Nasional), usaha integrasi pendidikan Islam ke
dalam sistem pendidikan nasional mendapatkan dasar hukumnya yang mantap.
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, tersebut dalam Bab VI
Jalur, Jenjang dan Jenis Pendidikan pada bagian ke Sembilan Pendidikan Keagamaan
Pasal 30 isinya adalah:16
1. Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok
masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundangundangan.
2. Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi
anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran
agamnya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
3. Pendidkan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal,
informal dan nonformal.
4. Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman,
pabhaja samanera dan bentuk lain yang sejenis.
15
Akumulasi perdebatan ini memberikan pengaruh terhadap Undang-Undang Nomor 2 tahun
1989 sebagai Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional “jilid dua” yang disahkan pada tanggal 27
Maret 1989. Dalam Undang-Undang yang muncul 39 tahun kemudian dari Undang-Undang pertama
ini, pendidikan keagamaan dan pendidikan agama mulai mendapat tempat yang cukup signifikan di
bandingkan dengan sebelumnya. Pendidikan keagamaan diakui sebagai salah satu jalur pendidikan
sekolah. Pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib dalam setiap jenis, jalur dan jenjang
pendidikan.
16
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI, Undang-undang dan
Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan dalam “Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional” (Jakarta: tp., 2006), h. 5.
14
5. Ketentuan mengenai pendidikan keagmaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
1,2,3 dan 4 diatur lebih lanjut dengan Peraturan pemerintah.
Menurut analisis pemakalah, dapat dikatakan bahwa: implikasi UndangUndang No. 20 Tahun 2003 terhadap sistem pendidikan Islam, secara konseptual
memberikan landasan kuat dalam mengembangkan dan memberdayakan sistem
pendidikan Islam dengan prinsip demokrasi, desentralisasi, pemerataan/keadilan,
mutu dan relevansi, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sehingga terwujud
akuntabilitas pendidikan yang mandiri menuju keunggulan. Implikasi tersebut
mengindikasikan upaya pembaharuan sistem pendidikan Islam baik kandungan,
proses maupun manajemen.17 Upaya ini dilakukan dalam kerangka mewujudkan
akuntabilitas lembaga pendidikan Islam yang mandiri menuju keunggulan, sehingga
diharapkan mampu memberikan kontribusi nyata dalam membangun bangsa dan
negara Indonesia
17
Konsep yang ditawarkan dan sekaligus sebagai konsekuensi berlakunya Undang-Undang
No. 20 Tahun 2003, adalah mereformulasikan konsep pendidikan Islam yang berwawasan semesta,
dengan langkah-langkah membangun kerangka filosofis-teoritis pendidikan, dan membangun sistem
pendidikan Islam yang diproyeksikan melalui Laboratorium fungsi ganda, yakni peningkatan mutu
akademik dan pengembangan usaha bisnis. Haidar Putra Daulay, op.cit., h. 116.
15
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan
pemaparan
sebelumnya,
pemakalah
menarik
beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1.
Dalam realitas sejarahnya, baik masa-masa prakemerdekaan maupun awal
kemerdekaan, bangsa Indonesia telah memberikan perhatian dan pengakuan
yang relatif tinggi terhadap sumbangan besar pendidikan Islam dalam upaya
mendidik dan mencerdaskan bangsa. Diskursus pengembangan pendidikan
Islam yang menjadi perhatian para pengembang dan pemikirnya, agaknya
semakin
memperkaya
khazanah
pemikiran
tentang
pengembangan
pendidikan Islam di Indonesia sekaligus lebih mengokohkan eksistensi
bangunan pendidikan Islam sebagai disiplin ilmu yang bersdiri sendiri.
2.
Lahirnya sejumlah peraturan perundang-undangan sebagai follow up
terhadap amanat Pasal 31 UUD 1945 menggambarkan betapa akseptabilitas
pemerintah dan masyarakat muslim Indonesia akan upaya integrasi
16
pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional. Khusus dengan
disahkanya UU Nomor 2 Tahun 1989 dan UU Nomor 20 Tahun 2003,
integrasi
pendidikan
Islam
ke
dalam
sistem
pendidikan
nasional
mendapatkan dasar hukum yang mantap, baik dari aspek kelembagaan
maupun isi kurikulumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Halim Soebahar, Wawasan Baru Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2002.
A.M. Saefuddin (et.al.), Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi dalam
“Konsep Pendidikan Agama sebuah Pendekatan Integratif-Inovatif” Cet. I;
Bandung: Mizan, 1987.
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru
Jakarta: Logos, 1999.
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI, Undang-undang dan
Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan dalam “Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional” Jakarta: tp., 2006.
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di
Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006.
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pelembagaan,
Manajemen Kelembagaan, Kurikulum, hingga Strategi Pembelajaran
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2009.
Muzayyin Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Edisi Revisi (Cet. II; Jakarta: PT.
Bumi Aksara, 2007.
17
Mulyadhi Kertanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik Bandung:
Artasy Mizan, 2005.
Tugas Kuliah
ANALISIS PENDIDIKAN ISLAM DALAM SISTEM PENDIDIKAN
NASIONAL
Oleh:
Dodi Ilham
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Membincangkan pendidikan berarti membincangkan masalah diri
manusia sendiri sebagai makhluk Tuhan yang dipersiapkan untuk menjadi
khalifah-Nya di muka bumi
dalam kerangka
mengabdi
kepada-Nya.
Pendidikan Islam dikaitkan dengan konsepsi kejadian manusia yang dari
sejak awal kejadiannya sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna yang
dibekali potensi hidayah akal dan ilmu, maka itu merupakan proses panjang
yang tidak berkesudahan sehingga siap untuk memikul amanat Tuhan dan
tanggung jawab, sepanjang dunia masih ada. Oleh sebab itu problematika
2
pendidikan Islam yang muncul selalu complicate serumit persoalan manusia
itu sendiri.1
Pendidikan Islam dan eksistensinya sebagai komponen pembangunan
bangsa, khususnya di Indonesia, memainkan peran yang sangat besar dan ini
berlangsung sejak jauh sebelum kemerdekaan Bangsa Indonesia. Hal ini
dapat dilihat praktik pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh umat Islam
melalui lembaga-lembaga pendidikan tradisional seperti majelis taklim. Forum
pengajian, surau, masjid dan pesantren-pesantren yang berkembang subur
dan eksis hingga sekarang. Bahkan setelah kemerdekaan penyelenggaraan
pendidikan Islam semakin memperoleh pengakuan dan payung yuridisnya
dengan adanya berbagai produk perundang-undangan tentang pendidikan
nasional.
Namun meskipun demikian, Pendidikan Islam hingga kini boleh
dikatakan masih saja berada dalam posisi problematik antara 'determinisme
historis' dan 'realisme praktis'. Di satu sisi pendidikan Islam belum
sepenuhnya bisa keluar dari idealisme kejayaan pemikiran dan peradaban
Islam masa lampau yang hegomonik; sementara di sisi lain, ia juga 'dipaksa'
untuk mau menerima tuntutan-tuntutan masa kini, khususnya yang datang
dari Barat, dengan orientasi yang sangat praktis. Dalam dataran historis
1
Problematika pendidikan Islam pada dasarnya dimulai dari pengertian pendidikan,
tujuan, materi dan strategi pendidikan-pengajarannya hingga lembaga penyelenggara
pendidikan Islam, yang muncul dari masa ke masa, dikaji dan dicari jawabannya selalu
berkembang dan melahirkan pemikiran-penting seiring dengan perkembangan zaman,
peradaban dan produk-produknya, khususnya hasil ilmu pengetahuan dan teknologi yang
sangat berpengaruh bagi eksistensi dan peran pendidikan Islam di masyarakatnya. Lihat,
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pelembagaan, Manajemen Kelembagaan,
Kurikulum, hingga Strategi Pembelajaran (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2009), h. 76.
3
empiris, kenyataan tersebut acap kali menimbulkan dualisme dan polarisasi
sistem pendidikan di tengah-tengah masyarakat muslim sehingga agenda
transfomasi sosial yang digulirkan seakan berfungsi hanya sekedar 'tambal
sulam' saja. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila di satu sisi kita
masih saja mendapatkan tampilan 'sistem pendidikan Islam' yang sangat
tradisional karena tetap memakai 'baju lama' 2
Dalam proses sejarah selanjutnya, Pasal 31 ayat 2 Undang-Undang Dasar
(UUD)
1945
menyatakan
bahwa
pemerintah
akan
mengusahakan
dan
menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undangundang. Sejumlah kebijakan dalam dunia pendidikan pun kemudian dikeluarkan oleh
pemerintah. Ada yang berbentuk undang-undang, peraturan pemerintah, dan ada pula
yang kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan Nasional (sebelumnya
bernama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan). Sebagai bentuk kebijakan baru
menyikapi kebijakan pendidikan pada era orde baru, lahirlah Undang-Undang Nomor
2 Tahun 1989 yang merupakan salah satu produk undang-undang tentang pendidikan
sebagai pengganti dari undang-undang sebelumnya. Undang-undang tersebut diikuti
oleh seperangkat Peraturan Pemerintah (PP) sebagai kebijakan yang mengatur
pendidikan dasar, menengah, dan tinggi, ataupun tentang pendidikan luar bisa dan
pendidikan luar sekolah, dan sebagainya. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989
2
Perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat baik sosial maupun kultural
berimplikasi terhadap dunia pendidikan Islam di Indonesia. Dalam tataran makro, persoalan yang
dihadapi pendidikan Islam adalah bagaimana pendidikan Islam mampu menghadirkan desain atau
konstruksi wacana pendidikan Islam yang relevan dengan perubahan masyarakat. Selanjutnya,
bagaimana desain wacana pendidikan Islam tersebut dapat ditransformasikan atau diproses secara
sistematis dalam masyarakat. Lihat, A.M. Saefuddin (et.al.), Desekularisasi Pemikiran Landasan
Islamisasi dalam “Konsep Pendidikan Agama sebuah Pendekatan Integratif-Inovatif” (Cet. I;
Bandung: Mizan, 1987), h. 102.
4
akhirnya disempurnakan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.3
Karena itu, sangat perlu untuk memahami sekaligus menganalisis
pendidikan Islam dalam UU Sisdiknas No 20/2003 sehingga, diharapkan dapat
ditemukan signifikansi (magza) yang relevan terkait dengan konsep
pendidikan
Islam dalam UU Sisdiknas No 20/2003 yang sesuai dengan konteks kekinian.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah di dalam pembahasan makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana kaitan pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional?
2. Bagaimana analisis pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakekat Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional
Awalnya, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003
lahir melalui perdebatan sengit. Bahkan unjuk rasa sampai ancaman disintegrasi ikut
3
Ibid., h. 104-105.
5
mewarnai proses lahirnya Undang-Undang ini. Singkat kata, Undang-Undang ini
menjelang kelahirannya ada dalam situasi yang dilematis.4
4
Kritik tajam terhadap Undang-Undang ini (saat itu masih RUU) dapat dicatat antara lain
berkaitan dengan tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan terlalu ditekankan pada kesalehan
beragama dan mengabaikan tujuan pendidikan nasional yang universal dan komprehensif; bersifat
diskriminatif dan mengabaikan keberadaan serta kepentingan agama/kepercayaan lain di luar lima
agama yang selama ini diakui resmi oleh negara; visi pendidikan agama yang ditawarkan tidak
mendorong semangat pluralisme, serta memberi peluang intervensi berlebihan negara pada
pelaksanaan pendidikan dan menghalangi partisipasi serta otonomi masyarakat, khususnya lembagalembaga pendidikan; campur-tangan pemerintah terlalu besar pada masalah agama; dan kentalnya
nuansa politik yang membidani lahirnya Undang-Undang tersebut. Muzayyin Arifin, Kapita Selekta
Pendidikan Islam, Edisi Revisi (Cet. II; Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007), h. 204—213.
6
Sementara pada sisi lain, Undang-Undang ini dimaksudkan sebagai jawaban
legal formal terhadap krisis pendidikan yang telah menggurita dalam tubuh bangsa
Indonesia. Dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun 2003, Megawati
Sukarno Putri, Presien RI saat itu misalnya menegaskan, kegagalan dan
kekurangberhasilan yang terjadi selama ini merupakan cerminan dari kegagalan
dalam membentuk mental dan karakter sebagai bangsa yang sedang membangun.
Semua itu bagaikan bermuara pada kesimpulan tentang tipisnya etika kita dalam
membina kehidupan berbangsa dan bernegara. Kalau disimak ujung dari semua itu
seakan-akan berhenti pada ungkapan tentang gagalnya sistem pendidikan nasional
kita. Kesadaran akan adanya kegagalan dalam dunia pendidikan ini ditandai dengan
tuntutan reformasi yang beriringan dengan tuntutan reformasi pada bidang kehidupan
lainnya. Bahkan di kawasan Asia, Indonesia di nilai sebagai negara yang paling
ketinggalan (least well-educated country) dalam pendidikan baik dari budgeting, out
put, maupun manjerial. Dalam konteks reformasi pendidikan inilah sesungguhnya
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2003 ini lahir.5
Haidar Putra Daulay menyatakan bahwa setidaknya ada tiga hal yang terkait
dengan pendidikan Islam dalam UU No 20/2003, yaitu:
5
Terdapat banyak isu reformasi pendidikan yang diusung saat itu. Sedikitnya isu-isu sentral
reformasi pendidikan ini bermuara pada empat hal, yaitu 1) pendidikan agama sebagai basis
pendidikan nasional, 2) pemerataan kesempatan pendidikan, 3) peningkatan mutu dan relevansi
pendidikan, dan 4) efisiensi menajemen pendidikan. Keempat hal pokok ini tidak lagi bisa dijawab
oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun menjelang
disahkannya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 sebagai pengganti UU Sisdiknas sebelumnya –
seperti ramai diberitakan oleh media massa - seluruh persoalan pendidikan yang rumit didiskusikan
oleh para pakar pendidikan selama kurang lebih dua tahun itu, semuanya tenggelam ditelan polemik
pasal-pasal “yang berpihak“ terhadap pendidikan agama. Bahkan polemik ini sudah jauh melampaui
diskusi-diskusi kependidikan, tetapi merambah masuk ke dalam ranah politik dan sentimen agama.
Ibid., h. 223.
7
“Pertama, kelembagaan formal, nonformal, dan informal didudukkannya
lembaga madrasah sebagai salah satu lembaga pendidikan formal yang diakui
keberadaannya setara dengan lembaga pendidikan sekolah. Kedua, pendidikan
Islam sebagai mata pelajaran yaitu pelajaran agama sebagai salah satu mata
pelajaran yang wajib diberikan kepada peserta didik di semua jalur, jenis dan
jenjang pendidikan. Ketiga, pendidikan Islam sebagai
nilai,
terdapat
seperangkat nilai-nilai islami dalam sistem pendidikan nasional.”6
Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003, yang dimaksud dengan
sistem pendidikan nasional adalah “keseluruhan komponen pendidikan yang saling
terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional”. Sementara itu,
tujuan pendidikan
yang ditetapkan oleh undang-undang ini adalah “untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatrif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab”.7
Salah satu instrumen yang bisa diharapkan untuk mewujudkan tujuan di atas
adalah pendidikan Islam sebagai suatu “sistem” pendidikan tertua di Tanah Air.
Sejarah memberi informasi bahwa apa yang kini dicapai sebagai bentuk dan sistem
pendidikan nasional, sebagaimana berlaku dalam kehidupan masyarakat, merupakan
hasil komulatif perjuangan yang terus-menerus dari para tokoh dan pejuang
pendidikan negeri ini. Namun, tanpa mengurangi penghargaan akan jasa para
pendahulu tersebut, masih disaksikan kenyataan bahwa sistem pendidikan yang ada,
6
Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 adalah implementasi dari amanat UndangUndang Dasar 1945 pada Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 13 yang
mengamanatkan bahwa : Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Lihat, Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam
Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 9.
7
Ibid., h. 10.
8
sampai saat ini masih menampakkan berbagai permasalahan yang memerlukan
penanganan dengan segera.
Permasalahan tersebut dapat dipetakan dalam empat persoalan. 8 Pertama,
dikotomi ilmu pengetahuan hingga memunculkan masalah islamisasi ilmu
pengetahuan (pendidikan). Problem ini sebenarnya telah ada sejak zaman kolonial
Belanda, tetapi problem ini masih berkembang hingga sekarang. Hal ini setidaknya
dapat dilacak dari kajian-kajian kependidikan Islam, baik melalui kegiatan seminar
maupun buku-buku ilmiah.
Problem kedua adalah kualitas pendidikan agama Islam di sekolah dan
perguruan tinggi umum. Pada prinsipnya, problem ini menyangkut masalah internal
dan eksternal dari pendidikan agama Islam. Aspek internal yang dimaksud berkaitan
dengn sisi pendidikan agama sebagai program pendidikan, terutama dari segi
orientasinya yang lebih terkonsentrasi pada persoalan-persoalan teoretis keagamaan
yang bersifat kognitif semata serta amalan-amalan ibadah praktis, serta lebih
berorientasi pada belajar tentang agama. Juga yang termasuk dalam aspek ini adalah
kurang concern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang
kognitif menjadi “makna” dan “nilai” yang perlu diinternalisasikan dalam diri peserta
didik. Aspek lainnya adalah sempitnya pemahaman guru/dosen agama terhadap
esensi ajaran Islam, perancangan dan penyusunan materi pendidikan agama Islam
yang kurang tepat, metodologinya yang konvensional-tradisional, dan sebagainya.
Sementara itu, aspek eksternalnya berupa berbagai kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang berdampak pada munculnya kritik ilmu pengetahuan
8
151.
Abd. Halim Soebahar, Wawasan Baru Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h.
9
(scientific criticism) terhadap penjelasan ajaran agama yang bersifat konservatiftradisional, tekstual, dan skripturalistik. Termasuk juga di dalamnya, era globalisasi,
perubahan sosial-ekonomi dan budaya dengan segala dampaknya.
Problem ketiga menyangkut upaya membangun pendidikan Islam secara
terpadu untuk mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Sampai saat ini, boleh
dikatakan bahwa dalam sistem pendidikan Islam yang dilaksanakan baik secara
vertikal maupun horizontal kurang terjadi perpaduan. Dalam konteks ini, menurut
Daulay, perlu ditinjau dari dua sudut, yaitu landasan filosofi dan metodologi.9
Problem keempat menyangkut penggalian konsep pemikiran filosofis
pendidikan Islam serta pemikiran tokoh-tokoh pendidikan Islam mulai priode klasik
hingga priode modern, dari dalam ataupun luar negeri. Kajian dalam hal ini banyak
dilakukan oleh para mahasiswa S2 dan S3 UIN/IAIN/STAIN atau PTIS yang
mengambil konsentrasi pendidikan Islam. Dari berbagai karya tentang pendidikan
Islam, menurut Azyumardi Azra, menunjukkan bahwa pola kajian pemikiran dan
teori kependidikan Islam di Indonesia memiliki beberapa kecenderungan, yaitu:10
1. Mendekatinya dengan sangat doktrinal, normatif, dan idealistik, yang
kadang-kadang mengaburkan kaitan atau konteksnya dengan pendidikan
Islam itu sendiri;
2. Mengadopsi filsafat, pemikiran dan teori kependidikan Barat tanpa kritisme
yang memadai, bahkan hampir terjadi pengambilan mentah-mentah;
3. Memberi legitimasi terhadap pemikiran dan filsafat pendidikan Barat dengan
ayat al-Quran dan hadis tertentu, sehingga yang menjadi titik-tolak adalah
9
Haidar Putra Daulay, op. cit., h. 114.
10
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru
(Jakarta: Logos, 1999), h. 98.
10
pemikiran kependidikan Barat (bukan pemikiran kependidikan Islam), yang
belum tentu kontekstual dan relevan dengan pemikiran kependidikan Islam;
4. Pemikiran kependidikan Islam atau yang relevan dengannya yang
dikembangkan para ulama, pemikir, dan filosof muslim, sedikit sekali
diungkap dan dibahas.
B. Analisis Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional
Apabila dicermati, dari keempat katagorisasi problem pendidikan Islam
seperti yang diuraikan di atas, masalah integrasi pendidikan Islam dalam sistem
pendidikan nasional, secara implisit, masuk dalam kategori pertama, yakni problem
dikotomi ilmu pengetahuan. Telah disinggung di muka bahwa pendidikan Islam yang
telah berlangsung sejak masuknya Islam ke Indonesia merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari sistem pendidikan nasional tersebut, baik secara eksplisit maupun
implisit.
Dari catatan sejarah diketahui bahwa pendidikan Islam bermula dari
pengajian-pengajian di rumah-rumah penduduk yang dilakukan oleh para penyebar
agama Islam, kemudian berkembang menjadi pengajian di langgar/surau/masjid dan
pondok pesantren seiring dengan berjalannya pertumbuhan kehidupan umat Islam
pada waktu itu. Pada masa selanjutnya, muncul bentuk madrasah dan upaya untuk
memasukkan pendidikan Islam ke dalam kurikulum pendidikan umum yang didirikan
oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Ketika Indonesia merdeka, bentuk-bentuk
sistem pendidikan Islam, baik pesantren, madrasah, maupun di sekolah-sekolah
umum terus berlanjut, namun dengan perkembangan yang tampak menunjukkan
11
ketertinggalan dari masyarakat sendiri disertai problem-problem yang telah
dipaparkan di atas.11
Implikasi yang bisa muncul dari dikotomi sistem pendidikan adalah timbulnya
kesenjangan antara sumber ilmu, antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum.
Dalam
buku
Integrasi
Ilmu:
Sebuah
Rekonstruksi
Holistik,
Kertanegara
mengomentari hal itu sebagai berikut:
Para pendukung ilmu-ilmu agama hanya menganggap valid sumber ilahi dalam
bentuk kitab suci dan tradisi kenabian dan menolak sumber-sumber nonskriptual sebagai sumber otoritatif untuk menjelaskan kebenaran sejati. Di
pihak lain, ilmuwan-ilmuwan sekuler hanya menganggap valid informasi yang
diperoleh melalui pengamatan inderawi.12
Oleh karena itu, integrasi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional
merupakan bagian dari problem-problem tersebut. Menurut hemat pemakalah,
pendekatan yang dilakukan hendaknya bersifat integratif. Sehubungan dengan itu,
Depertemen Agama (sekarang Kementerian Agama) yang berdiri pada 3 Januari 1946
secara intensif memperjuangkan politik pendidikan Islam di Indonesia. Orientasi
usahanya dalam bidang pendidikan Islam bertumpu pada aspirasi umat Islam agar
pendidikan agama diajarkan di sekolah-sekolah, di samping pada pengembangan
madrasah. Secara lebih spesifik, usaha ini ditangani oleh bagian khusus yang
mengurusi masalah pendidikan agama.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan
Pengajaran di Sekolah memberikan kesempatan untuk masuknya pengajaran agama
di sekolah-sekolah, di samping mengakui sekolah agama (madrasah, yang diakui oleh
11
12
Haidar Putra Daulay, op.cit., h. 11-12.
Mulyadhi Kertanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik (Bandung: Artasy
Mizan, 2005), h. 22—23.
12
Menteri Agama) sebagai lembaga penyelenggara wajib belajar. Ketetapan (Tap)
MPRS Nomor 2 Tahun 1960 menetapkan pemberian pelajaran agama pada semua
tingkat pendidikan, mulai sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi, di samping
pengakuan bahwa pesantren dan madrasah sebagai lembaga pendidikan yang otonom
di bawah pembinaan Departemen Agama.13
Tap MPRS Nomor 27 Tahun 1966 menetapkan bahwa agama, pendidikan,
dan kebudayaan adalah unsur mutlak dalam nation and caracter building, sekaligus
menetapkan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran pokok dan wajib
diikuti oleh setiap peserta didik sesuai dengan agama masing-masing. Akhirnya, Tap
MPR Nomor 2 Tahun 1988 tentang Asas Tunggal yang menetapkan Pancasila
sebagai satu-satunya asas bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,
lebih memantapkan usaha masuknya lembaga pendidikan keagamaan (pesantren dan
madrasah) dalam kerangka sistem pendidikan nasional. Dengan demikian, lebih
memantapkan pula usaha pengintegrasian pendidikan Islam ke dalam sistem
pendidikan nasional.14
Segala peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang dibuat oleh
pemerintah—yang
tampaknya mengarah kepada usaha integrasi tersebut—
merupakan persiapan untuk menyusun dan mewujudkan undang-undang tentang
“satu sistem pendidikan dan pengajaran nasional”, sebagaimana yang dikehendaki
13
Undang-Undang Nomor 54 tahun 1950 sebagai Undang-Undang pertama yang mengatur
pendidikan nasional tidak memberikan tempat bagi pendidikan keagamaan. Pun terhadap pendidikan
agama yang saat itu diistilahkan dengan pengajaran agama Undang-Undang ini cenderung bersikap
liberal dengan menyerahkan keikutsertaan siswa dalam pengajaran kepada keinginan dan persetujuan
orang tua. Namun demikian, Undang-Undang ini mengamanatkan tersusunnya undang-undang
tersendiri yang mengatur pendidikan agama ini. Secara sederhana sikap pemerintah saat itu dapat
disimpulkan sebagai tidak memihak dan tidak menunjukkan concern yang tinggi terhadap pendidikan
agama. Haidar Putra Daulay, op.cit., h. vi.
14
Ibid.
13
oleh Pasal 31 UUD 1945, seperti disinggung pada bagian awal makalah ini. Dengan
disahkannya Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional15 yang “lebih dikukuhkan” oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
(juga tentang Sistem Pendidikan Nasional), usaha integrasi pendidikan Islam ke
dalam sistem pendidikan nasional mendapatkan dasar hukumnya yang mantap.
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, tersebut dalam Bab VI
Jalur, Jenjang dan Jenis Pendidikan pada bagian ke Sembilan Pendidikan Keagamaan
Pasal 30 isinya adalah:16
1. Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok
masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundangundangan.
2. Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi
anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran
agamnya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
3. Pendidkan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal,
informal dan nonformal.
4. Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman,
pabhaja samanera dan bentuk lain yang sejenis.
15
Akumulasi perdebatan ini memberikan pengaruh terhadap Undang-Undang Nomor 2 tahun
1989 sebagai Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional “jilid dua” yang disahkan pada tanggal 27
Maret 1989. Dalam Undang-Undang yang muncul 39 tahun kemudian dari Undang-Undang pertama
ini, pendidikan keagamaan dan pendidikan agama mulai mendapat tempat yang cukup signifikan di
bandingkan dengan sebelumnya. Pendidikan keagamaan diakui sebagai salah satu jalur pendidikan
sekolah. Pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib dalam setiap jenis, jalur dan jenjang
pendidikan.
16
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI, Undang-undang dan
Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan dalam “Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional” (Jakarta: tp., 2006), h. 5.
14
5. Ketentuan mengenai pendidikan keagmaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
1,2,3 dan 4 diatur lebih lanjut dengan Peraturan pemerintah.
Menurut analisis pemakalah, dapat dikatakan bahwa: implikasi UndangUndang No. 20 Tahun 2003 terhadap sistem pendidikan Islam, secara konseptual
memberikan landasan kuat dalam mengembangkan dan memberdayakan sistem
pendidikan Islam dengan prinsip demokrasi, desentralisasi, pemerataan/keadilan,
mutu dan relevansi, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sehingga terwujud
akuntabilitas pendidikan yang mandiri menuju keunggulan. Implikasi tersebut
mengindikasikan upaya pembaharuan sistem pendidikan Islam baik kandungan,
proses maupun manajemen.17 Upaya ini dilakukan dalam kerangka mewujudkan
akuntabilitas lembaga pendidikan Islam yang mandiri menuju keunggulan, sehingga
diharapkan mampu memberikan kontribusi nyata dalam membangun bangsa dan
negara Indonesia
17
Konsep yang ditawarkan dan sekaligus sebagai konsekuensi berlakunya Undang-Undang
No. 20 Tahun 2003, adalah mereformulasikan konsep pendidikan Islam yang berwawasan semesta,
dengan langkah-langkah membangun kerangka filosofis-teoritis pendidikan, dan membangun sistem
pendidikan Islam yang diproyeksikan melalui Laboratorium fungsi ganda, yakni peningkatan mutu
akademik dan pengembangan usaha bisnis. Haidar Putra Daulay, op.cit., h. 116.
15
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan
pemaparan
sebelumnya,
pemakalah
menarik
beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1.
Dalam realitas sejarahnya, baik masa-masa prakemerdekaan maupun awal
kemerdekaan, bangsa Indonesia telah memberikan perhatian dan pengakuan
yang relatif tinggi terhadap sumbangan besar pendidikan Islam dalam upaya
mendidik dan mencerdaskan bangsa. Diskursus pengembangan pendidikan
Islam yang menjadi perhatian para pengembang dan pemikirnya, agaknya
semakin
memperkaya
khazanah
pemikiran
tentang
pengembangan
pendidikan Islam di Indonesia sekaligus lebih mengokohkan eksistensi
bangunan pendidikan Islam sebagai disiplin ilmu yang bersdiri sendiri.
2.
Lahirnya sejumlah peraturan perundang-undangan sebagai follow up
terhadap amanat Pasal 31 UUD 1945 menggambarkan betapa akseptabilitas
pemerintah dan masyarakat muslim Indonesia akan upaya integrasi
16
pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional. Khusus dengan
disahkanya UU Nomor 2 Tahun 1989 dan UU Nomor 20 Tahun 2003,
integrasi
pendidikan
Islam
ke
dalam
sistem
pendidikan
nasional
mendapatkan dasar hukum yang mantap, baik dari aspek kelembagaan
maupun isi kurikulumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Halim Soebahar, Wawasan Baru Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2002.
A.M. Saefuddin (et.al.), Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi dalam
“Konsep Pendidikan Agama sebuah Pendekatan Integratif-Inovatif” Cet. I;
Bandung: Mizan, 1987.
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru
Jakarta: Logos, 1999.
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI, Undang-undang dan
Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan dalam “Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional” Jakarta: tp., 2006.
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di
Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006.
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pelembagaan,
Manajemen Kelembagaan, Kurikulum, hingga Strategi Pembelajaran
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2009.
Muzayyin Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Edisi Revisi (Cet. II; Jakarta: PT.
Bumi Aksara, 2007.
17
Mulyadhi Kertanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik Bandung:
Artasy Mizan, 2005.