Penegakan Keadilan Dalam Kewarisan Beda

PENEGAKAN KEADILAN DALAM KEWARISAN BEDA AGAMA

Kajian Lima Penetapan dan Dua Putusan Pengadilan Agama dalam Perkara Waris Beda Agama

UPHOLDING JUSTICE IN THE CASE OF INTERFAITH INHERITANCE

Muhamad Isna Wahyudi

Pengadilan Agama Badung Jl. Sempidi No.1 Mengwi Badung 80351 E-mail: isnawahyudi@gmail.com

An Analysis of Five Court Determinations and Two Court Decisions on the Case of Interfaith Inheritance

Naskah diterima: 6 Maret 2015; revisi: 30 November 2015; disetujui: 1 Desember 2015

court is finite to Muslim heirs, and disregard those of court judge would apply the wasiyah wajibah in deciding non-Muslim. Judge’s considerations seem to reflect the case of interfaith inheritance rather than investigate

a religious bias and inconsistency in the legal logic the legal reasonings (ratio legis) of the hadith that application. In the second case, the religious court could prohibits the interfaith inheritance. enforce justice for all parties to divide all portions of

Keywords: justice, interfaith inheritance, wassiyah the inheritance to the non-Muslim heirs by means of wajibah, ‘

illat.

wassiyah wajibah based on the jurisprudence. Religious

I. PENDAHULUAN

tidak dapat dihindari, khususnya dalam bidang hukum keluarga.

A. Latar Belakang

Dalam perkara waris dimungkinkan terdapat Dari segi kewenangan, peradilan agama di

para pihak yang berbeda agama. Ketika pewaris Indonesia dapat digolongkan ke dalam peradilan

meninggal dalam keadaan beragama Islam, khusus karena mengadili perkara-perkara tertentu

sementara para ahli waris ada yang beragama atau mengenai golongan rakyat tertentu. Dalam

Islam, dan ada yang beragama non-Islam. Atau Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006

sebaliknya, ketika pewaris nonmuslim, sementara disebutkan bahwa Peradilan Agama adalah salah

para ahli waris ada yang muslim dan ada yang satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat

nonmuslim, dan berbagai variasi lainnya. pencari keadilan yang beragama Islam mengenai

perkara tertentu. Perkara tertentu yang menjadi Dalam praktik hukum di pengadilan, perkara

kewenangan peradilan agama dijelaskan dalam waris merupakan salah satu yang berpotensi Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 menimbulkan sengketa kewenangan antara bahwa pengadilan agama bertugas dan berwenang pengadilan agama dan pengadilan negeri dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara hal agama pewaris, penggugat, dan tergugat di tingkat pertama antara orang-orang yang tidak dijelaskan dalam surat gugatan, sehingga beragama Islam di bidang perkawinan, waris, dianggap menundukkan diri kepada hukum adat, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan atau karena sengketa waris dianggap sebagai ekonomi syariah.

perbuatan melawan hukum meski para pihak Eksistensi peradilan agama ─sebagai beragama Islam (Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, 2010, hal. 62-63).

peradilan khusus bagi orang-orang yang beragama Islam─ dalam masyarakat Indonesia yang

Pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun

majemuk tidak dapat dihindarkan dari persoalan 2006, kewenangan pengadilan negeri dalam penegakan keadilan bagi semua warga negara menangani perkara waris hanya terbatas bagi terlepas dari agama seseorang, atau penegakan nonmuslim. Penyelesaian perkara waris bagi keadilan atas nama agama (hanya bagi orang- nonmuslim di pengadilan negeri berdasarkan orang Islam). Hal ini karena dalam masyarakat KUH Perdata bagi para pihak yang menundukkan Indonesia yang majemuk, dengan beragam suku, diri kepada KUH Perdata, karena adanya tuntutan agama, dan budaya, hubungan hukum yang kesetaraan di antara ahli waris untuk mendapatkan terjadi antara para pihak yang berbeda agama bagian yang sama dari harta warisan, tanpa

Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 269 - 288 Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 269 - 288

1 Juni 2005. Setelah MS meninggal, ahli waris

yang masih dijumpai dalam hukum adat dan MS yang terdiri dari satu orang istri dan lima hukum Islam. Sementara hukum adat diterapkan orang anak mengajukan permohonan penetapan bagi para pihak nonmuslim yang masih erat ahli waris ke Pengadilan Agama Tebing Tinggi hubungannya dengan masyarakat hukum adat untuk mengurus peralihan hak atas sebidang yang bersangkutan.

tanah peninggalan HBS.

Dalam praktik hukum di pengadilan agama, Dalam penetapan tersebut, majelis hakim

agama pewaris dan ahli waris menjadi dasar memberikan pertimbangan hukum sebagai penentu kewenangan pengadilan agama dalam berikut: memeriksa dan mengadili perkara waris. Hal ini

“Menimbang, bahwa demikian juga halnya, karena Kompilasi Hukum Islam (KHI) menganut

bilamana pewaris yang kemudian memeluk asas kesamaan agama antara pewaris dan ahli

dan meninggal dunia dalam agama Islam waris, sebagaimana diatur dalam Pasal 171 huruf

sementara kerabatnya tetap nonmuslim, maka nonmuslim tersebut tidak dapat

b dan c. menuntut warisan dari pewarisnya yang Islam, akan tetapi, menurut pendapat

Namun demikian, dalam praktik juga majelis hakim, kerabat nonmuslim tersebut ditemukan, pengadilan agama menangani

tetap juga diberi hak dari harta warisan sekadar memandang adanya pertalian darah

perkara waris yang melibatkan pihak muslim dan antara nonmuslim dengan pewaris muslim.

nonmuslim dalam dua kasus. Pertama, pewaris nonmuslim, sementara ahli waris terdiri dari Menimbang, bahwa sebaliknya, bilamana

pewaris murtad (keluar dari Islam) dan muslim, atau muslim dan nonmuslim. Kedua, kemudian meninggal dunia dalam keadaan

pewaris muslim, sementara ahli waris terdiri dari nonmuslim sementara kerabatnya tetap muslim dan nonmuslim.

memeluk agama Islam, maka kerabat muslim tersebut dapat menjadi ahli waris

Kasus pertama dapat ditemukan dalam dan menuntut pembagian harta warisan dari pewaris nonmuslim berdasarkan

Penetapan Nomor 9/Pdt.P/2008/PA.Ttd dan hukum Islam. Sistem kewarisan seperti ini Penetapan Nomor 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg. Duduk

menurut pendapat majelis, disebut dengan sistem kekerabatan (sepertalian darah).”

perkara dalam Penetapan Nomor 9/Pdt.P/2008/ PA.Ttd adalah HBS yang berstatus janda

Pertimbangan hukum di atas dapat

meninggal dunia pada 28 April 2001 karena menimbulkan ketidakadilan dalam hal pewaris sakit dan dalam keadaan beragama Kristen. nonmuslim namun ahli warisnya terdiri dari HBS sebelumnya beragama Islam. HBS ketika muslim dan nonmuslim, seperti dapat ditemukan meninggal hanya memiliki ahli waris seorang dalam Penetapan Nomor 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg. saudara laki-laki bernama MS yang beragama Islam. MS memiliki seorang istri dan lima

Kasus kedua dapat ditemukan dalam orang anak yang beragama Islam. Ketika HBS Penetapan

Nomor

84/Pdt.P/2012/PA.JU,

meninggal, HBS memiliki harta peninggalan Penetapan Nomor 262/Pdt.P/2010/PA.Sby, berupa sebidang tanah. Namun, ketika HBS Penetapan Nomor 473/Pdt.P/2010/PA.Sby, meninggal, harta peninggalan tersebut belum Putusan Nomor 2/Pdt.G/2011/PA.Kbj, dan beralih haknya ke MS hingga MS meninggal pada Putusan Nomor 3321/Pdt.G/2010/PA.Sby.

Penegakan Keadilan dalam Kewarisan Beda Agama (Muhamad Isna Wahyudi)

Duduk perkara dalam Penetapan Nomor kepada ahli waris nonmuslim melalui wasiat 473/Pdt.P/2010/PA.Sby adalah para ahli waris wajibah dari pewaris muslim. yang terdiri dari 12 orang, dengan 7 orang

Penyelesaian perkara waris yang mencakup beragama Islam, dan 5 orang beragama Kristen

pihak muslim dan nonmuslim dalam kenyataan mengajukan permohonan penetapan ahli waris

menghadapi hambatan dalam hal akses terhadap melalui kuasa hukum ke Pengadilan Agama

keadilan, yaitu pada tahapan akses terhadap Surabaya. Dalam permohonan tersebut, para ahli

forum yang sesuai. Ketiadaan aturan tentang waris yang beragama Kristen tidak dimohonkan

kewenangan pengadilan dalam menangani sebagai ahli waris, tetapi di dalam posita

perkara waris beda agama telah menimbulkan dinyatakan berhak mendapatkan wasiat wajibah

persinggungan kewenangan pengadilan antara dari harta peninggalan pewaris.

pengadilan negeri dengan pengadilan agama, Dalam penetapan tersebut, majelis hakim yang dapat mengantarkan pada ketidakpastian memberikan pertimbangan hukum sebagai dan ketidakadilan bagi para pencari keadilan. berikut:

Ketidakadilan muncul karena hukum waris yang diterapkan di pengadilan negeri dan di pengadilan

“Menimbang, bahwa walaupun pemohon

IV, pemohon VIII tidak dapat menjadi agama berbeda. ahli waris dari XXXX , demikian pula pemohon IX, pemohon XI dan pemohon

XII tidak dapat menjadi ahli waris dari B. Rumusan Masalah

XXXX yang berarti juga tidak dapat

menjadi ahli waris dari almarhum XXXX Berdasarkan latar belakang di atas, dapat alias XXXX dan almarhumah XXXX alias dirumuskan pokok masalah yang akan dikaji dalam

XXXX, namun yang bersangkutan tetap

penelitian ini yaitu bagaimana penegakan keadilan berhak memperoleh harta warisan dari

pewaris (almarhum XXXX alias XXXX dalam perkara waris yang mencakup pihak muslim dan almarhumah XXXX alias XXXX) dan nonmuslim di pengadilan agama, baik dalam yang beragama Islam berdasarkan wasiat

bentuk penetapan maupun putusan?

wajibah, bukan dalam kapasitas sebagai ahli waris tetapi dalam kapasitas sebagai penerima wasiat wajibah (secara serta

merta walau tidak diwasiatkan), sesuai C. Tujuan dan Kegunaan

dengan Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 368 K/AG/1995 tanggal

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

16 Juli 1998 dan Yurisprudensi Mahkamah bagaimana penegakan keadilan dalam perkara Agung RI Nomor 51 K/AG/1999 tanggal waris yang melibatkan pihak muslim dan

29 September 1999 yang antara lain dalam salah satu pertimbangannya dinyatakan nonmuslim di pengadilan agama dan apa bahwa anak kandung nonmuslim bukan pertimbangan hukum hakim pengadilan agama ahli waris, namun berhak mendapatkan

dalam hal memberikan atau tidak memberikan bagian dari harta warisan berdasarkan

wasiat wajibah dari pewaris muslim.” bagian harta warisan terhadap ahli waris nonmuslim.

Pertimbangan hukum di atas lebih mampu mewujudkan keadilan bagi ahli waris

Penelitian ini diharapkan mampu

nonmuslim, meski bukan sebagai ahli waris, memberikan kontribusi dalam upaya mewujudkan dengan memberikan bagian dari harta warisan kepastian hukum dan keadilan dalam penyelesaian

Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 269 - 288 Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 269 - 288

hal penerapan hukum terkait waris beda agama, dipahami dalam pengertian kesetaraan. Namun, maupun pengaturan tentang forum yang sesuai kesetaraan perlu dibedakan antara kesetaraan dalam penyelesaian perkara waris beda agama.

numerik dan kesetaraan proporsional. Kesetaraan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai

D. Studi Pustaka

satu unit. Inilah yang dimaksud sekarang dengan prinsip kesetaraan di depan hukum bagi semua

1. Perspektif Keadilan

warga (equality before the law). Sementara Keadilan merupakan salah satu ajaran kesetaraan proporsional memberikan kepada

pokok dalam Islam yang bersifat universal. setiap orang apa yang menjadi haknya sesuai Melalui sejumlah ayat dalam Al Quran, yaitu: dengan kemampuan, prestasi, dan sebagainya (QS. 4: 58, 135), (QS. 5: 8, 42), (QS. 7: 29), (QS. (Friedrich, 2004, hal. 24).

16: 90), (QS. 42: 15), (QS. 49: 9), dan (QS. 57: Aristoteles juga membedakan keadilan

25), Islam memerintahkan penegakan keadilan menjadi keadilan distributif dan keadilan korektif. bagi semua orang. Bahkan, Islam memerintahkan Keadilan distributif berlaku dalam hukum publik, untuk menegakkan keadilan meskipun terhadap sementara keadilan korektif berlaku dalam nonmuslim selama mereka tidak menyerang dan hukum perdata dan pidana. Keadilan distributif mengusir umat muslim (QS. 60: 8).

mengandaikan imbalan yang sama rata diberikan Menurut Radbruch, keadilan berarti atas pencapaian yang sama rata. Keadilan jenis

menjatuhkan putusan tanpa memandang ini berfokus pada distribusi honor, kekayaan, kedudukan seseorang, memperlakukan setiap orang dan barang-barang lain yang sama-sama bisa dengan standar yang sama. Keadilan, merupakan didapatkan dalam masyarakat. Distribusi salah satu nilai hukum, selain kemanfaatan, dan kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan kepastian hukum. Ketiga nilai hukum tersebut nilai yang berlaku di kalangan warga. Distribusi tidak selalu menyatu secara harmonis di dalam yang adil merupakan distribusi yang sesuai hukum. Hukum yang bertentangan dengan nilai- dengan nilai kebaikannya, yaitu nilainya bagi nilai tersebut tidak memiliki keabsahan (Radbruch, masyarakat (Friedrich, 2004, hal. 25). 2006, hal. 13-14).

Sedangkan keadilan korektif mengandaikan Ketiga nilai hukum tersebut memiliki ketidaksetaraan yang disebabkan oleh, misalnya,

tingkatan secara hierarkis, kepastian hukum pelanggaran kesepakatan, dikoreksi, dan berada di tengah antara kemanfaatan dan dihilangkan. Keadilan jenis ini berfokus pada keadilan. Ketika muncul pertentangan antara pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu larangan kepastian hukum dan keadilan, sebenarnya dilanggar atau kesalahan dilakukan, keadilan terdapat pertentangan antara keadilan yang korektif berusaha memberikan kompensasi yang tampak (

apparent) dan keadilan yang sejati memadai bagi pihak yang dirugikan; jika suatu

(real). Kepastian hukum yang menjadi karakter kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang hukum positif harus mengalah kepada keadilan sepantasnya perlu diberikan kepada si pelaku. (Radbruch, 2006, hal. 6-7).

Ketidakadilan akan mengakibatkan terganggunya “kesetaraan” yang sudah mapan atau telah

Penegakan Keadilan dalam Kewarisan Beda Agama (Muhamad Isna Wahyudi)

(Kelsen, 2011, hal. 16).

Teori keadilan Rawls menawarkan dua Berdasarkan kerangka Rolax, ada enam

prinsip keadilan. Pertama, setiap orang memiliki tahapan proses pencarian keadilan. Pertama, hak yang sama terhadap kebebasan-kebebasan seseorang menyadari bahwa situasi atau dasar yang sama secara luas yang sesuai dengan pengalaman tertentu merugikan, dan merupakan pola kebebasan yang serupa bagi yang lain. ketidakadilan. Kedua, seseorang merasa Kedua, ketidaksamaan sosial ekonomi perlu diatur ketidakadilan tersebut disebabkan perbuatan yang sedemikian rupa sehingga layak diharapkan dapat dilakukan atau tidak dilakukan oleh orang lain, memberikan keuntungan bagi setiap orang, dan dan atas dasar itu merumuskan sebuah keluhan. ketidaksamaan sosial dan ekonomi tersebut harus Ketiga, pencari keadilan mengadukan keluhan dikaitkan dengan kedudukan dan jabatan yang tersebut terkait dengan pelanggaran hukum (adat, terbuka bagi semua orang (Rawls, 1971, hal. 53). negara, Islam) yang merugikan, dan menuntut

pemulihan atas pelanggaran tersebut. Keempat, Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan

pencari keadilan dapat mengungkapkan keluhan harus diberikan aturan yang sedemikian rupa

dan mengadukannya di hadapan sebuah forum sehingga paling menguntungkan golongan

(pengadilan, dewan adat, kepala kampung, dll) masyarakat yang paling lemah. Teori keadilan

yang dapat membantunya untuk memperoleh Rawlsian, tujuan utamanya bukanlah menghapus

pemulihan. Kelima, penanganan pengaduan oleh ketidaksamaan, melainkan memastikan adanya

forum yang dipilih dengan menerapkan norma- kesempatan yang sama, sehingga ketidaksamaan

norma yang berlaku secara imparsial. Keenam, dapat ditoleransi sejauh hal itu menguntungkan

pencari keadilan memperoleh ganti rugi atas semua, terutama golongan yang terlemah. Hal

keluhannya ketika putusan atau kesepakatan demikian dapat dipenuhi dengan syarat, pertama,

dilaksanakan (Berenschot & Bedner, 2010, hal. situasi ketidaksamaan menjamin maximum

13-14).

minimorum bagi orang yang lemah, artinya situasi masyarakat harus sedemikian rupa,

2. Kewarisan Beda Agama dalam Hukum

sehingga dihasilkan untung yang paling tinggi

Islam

yang mungkin dihasilkan bagi orang-orang yang paling lemah. Pilihan dengan asas maximum

Menurut hukum positif tentang kewarisan

minimorum yang digunakan orang dalam kontrak Islam yang diatur dalam KHI, untuk dapat hipotetis di mana masing-masing berada di balik mewarisi, antara ahli waris dan pewaris harus “cadar ketidaktahuan” ( veil of ignorence) guna beragama Islam, memiliki hubungan darah atau memilih prinsip keadilan. Kedua, ketidaksamaan hubungan perkawinan dan tidak terhalang karena diikat pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi hukum untuk menjadi ahli waris (Pasal 171 huruf semua orang (Rawls, 1971, hal. 72-73).

b dan c), sedangkan dalam hal terjadi perbedaan agama antara pewaris dan ahli waris tidak diatur

Menurut Kelsen, pengertian keadilan

secara jelas.

bermakna legalitas. Suatu peraturan umum

Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 269 - 288

Dalam Al Quran juga tidak ditemukan satu II. METODE

ayat pun yang secara jelas dan tegas melarang Penelitian ini merupakan penelitian waris beda agama. Dasar hukum yang secara hukum. Penelitian ini bersifat preskriptif, yaitu jelas dan tegas melarang waris beda agama memberikan penilaian mengenai sesuatu yang justru ditemukan dalam hadis riwayat Bukhari, seyogianya dilakukan (Marzuki, 2014, hal. 69- bahwa Nabi Saw bersabda: ” Orang muslim tidak mewarisi dari orang kafir, dan orang kafir tidak 70). Penelitian ini menggunakan pendekatan

kasus ( case approach), yaitu dengan mengkaji mewarisi dari orang muslim” (Shahih Bukhari,

alasan-alasan hukum (ratio decidendi) yang Kitab Faraidh, Hadis No. 6267). Hadis tersebut digunakan oleh hakim dalam putusan atau juga diriwayatkan oleh Muslim, Tirmizi, Abu penetapan (Marzuki, 2014, hal. 158-166). Bahan Dawud, Ibn Majah, Ahmad, Malik, dan Ad- hukum primer penelitian ini merupakan putusan Darimi. Menurut Riadi, dari segi sanad (rangkaian dan penetapan pengadilan agama yang melibatkan periwayat) hadis tersebut merupakan hadis sahih, pihak berperkara muslim dan nonmuslim dalam akan tetapi dari segi matan (isi) hadis tersebut

perkara waris.

diragukan kesahihannya, karena Mu’adz bin Jabal pernah memutus kasus, dalam mana harta

Dalam penelitian ini, peneliti telah

warisan dari pewaris Yahudi diberikan kepada mengumpulkan lima penetapan ahli waris, ahli waris muslim (Riadi, 2011, hal. 284).

yaitu Penetapan Nomor 9/Pdt.P/2008/PA.Ttd, Penetapan

4/Pdt.P/2013/PA.Bdg, Terhadap hadis yang melarang waris beda

Nomor

84/Pdt.P/2012/PA.JU, agama tersebut, beberapa sahabat seperti Mu’adz, Penetapan Nomor Mu’awiyah, Hasan, Ibn Hanafiyah, Muhammad 262/Pdt.P/2010/PA.Sby,

Penetapan

Nomor

Penetapan Nomor 473/Pdt.P/2010/PA.Sby, dan bin Ali bin Husain, dan Masruq berpendapat dua putusan sengketa waris, yaitu Putusan Nomor bahwa orang muslim dapat mewarisi dari orang 2/Pdt.G/2011/PA.Kbj dan Putusan Nomor 3321/ nonmuslim, tetapi tidak sebaliknya. Pendapat Pdt.G/2010/PA.Sby. Sedangkan bahan hukum tersebut berdasarkan hadis: “Islam itu tinggi dan sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari tidak dilampaui” (Az-Zuhaili, 1985, VIII, hal. buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum yang 263). relevan dan mendukung penelitian ini.

Dalam praktik penerapan hukum di Bahan-bahan tersebut akan ditelaah sebagai lingkungan peradilan agama, seorang ahli waris dasar untuk menjawab pokok masalah dalam nonmuslim dapat memperoleh bagian dari harta penelitian ini. Bahan-bahan hukum primer akan peninggalan pewaris muslim melalui wasiat dikelompokkan ke dalam dua kasus, pertama, wajibah sejak Putusan Kasasi Nomor 368 K/ pewaris nonmuslim, sementara ahli waris terdiri AG/1995 tanggal 16 Juli 1998. Dalam putusan dari muslim, atau muslim dan nonmuslim. tersebut, seorang anak kandung perempuan Kedua, pewaris muslim, sementara ahli waris nonmuslim mendapat bagian warisan dari orang terdiri dari muslim dan nonmuslim. Kemudian tuanya yang muslim melalui wasiat wajibah peneliti akan menganalisis pertimbangan hukum sebesar bagian ahli waris seorang anak perempuan. (ratio decidendi) dari bahan-bahan hukum primer Putusan tersebut telah menjadi yurisprudensi tetap tersebut. Hasil analisis tersebut akan dijadikan dan diikuti oleh para hakim di pengadilan agama.

Penegakan Keadilan dalam Kewarisan Beda Agama (Muhamad Isna Wahyudi)

semata-mata kepada ahli waris. Bilamana seseorang ingin menjadi ahli waris untuk

dalam penelitian ini, selanjutnya peneliti akan mendapatkan harta warisan dari pewaris, memberikan preskripsi berdasarkan argumentasi

jangan sekali-kali berbeda agama dengan pewarisnya yang muslim. Sekiranya hal

yang telah dibangun dalam kesimpulan. itu terjadi, maka nonmuslim tersebut tidak

dapat menuntut agar dirinya menjadi ahli waris dan mendapatkan harta warisan dari

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

pewaris menurut hukum Islam. Hanyalah karena kemurahan hati ahli waris yang lain,

Perkara Waris yang Terdiri Dari Pewaris nonmuslim tersebut mendapatkan bahagian Nonmuslim dengan Ahli Waris Muslim atau

sekadar memandang ada pertalian darah Muslim dan Nonmuslim. Ada dua penetapan

antara nonmuslim itu dengan pewaris. pengadilan agama dalam perkara waris yang Menimbang, bahwa demikian juga halnya,

terdiri dari pewaris nonmuslim, dengan ahli waris bilamana pewaris yang kemudian memeluk muslim dan nonmuslim, yaitu Penetapan Nomor

dan meninggal dunia dalam agama Islam sementara kerabatnya tetap nonmuslim,

9/Pdt.P/2008/PA.Ttd dan Penetapan Nomor 4/ maka nonmuslim tersebut tidak dapat Pdt.P/2013/PA.Bdg.

menuntut warisan dari pewarisnya yang Islam, akan tetapi, menurut pendapat

Dalam Penetapan Nomor 9/Pdt.P/2008/ majelis hakim, kerabat nonmuslim tersebut tetap juga diberi hak dari harta warisan

PA.Ttd, majelis hakim menetapkan ahli waris sekedar memandang adanya pertalian darah

yang beragama Islam sebagai ahli waris dari antara nonmuslim dengan pewaris muslim. pewaris yang beragama Kristen, yang sebelumnya

Menimbang, bahwa sebaliknya, bilamana beragama Islam, dengan pertimbangan hukum pewaris murtad (keluar dari Islam) dan

sebagai berikut: kemudian meninggal dunia dalam keadaan nonmuslim sementara kerabatnya tetap

“Menimbang, bahwa menurut pendapat memeluk agama Islam, maka kerabat majelis hakim, sistem kewarisan Islam

muslim tersebut dapat menjadi ahli waris menganut sistem kekerabatan, baik secara

dan menuntut pembagian harta warisan nasabiyah maupun secara hukmiyah.

dari pewaris nonmuslim berdasarkan Sistem kekerabatan ini lebih utama bila

hukum Islam. Sistem kewarisan seperti ini disandingkan dengan perbedaan agama

menurut pendapat majelis, disebut dengan sebagai penghalang mewarisi, karena

sistem kekerabatan (sepertalian darah). hukum kewarisan selain mengandung unsur ibadah, lebih banyak juga mengandung Menimbang, bahwa dari uraian di atas, unsur muamalah. Kekerabatan antara

majelis hakim berpendapat, aturan dalam seorang dengan seseorang tidak akan

Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf pernah terputus sekalipun agama mereka

b dan c harus dipahami sebagai aturan itu berbeda. Seorang anak tetap mengakui

umum dalam kasus-kasus ideal. Dalam ibu kandungnya sekalipun ibu kandungnya

kasus-kasus yang insidentil, pendapat itu tidak satu agama dengannya. Islam

majelis tersebut perlu mendapat perhatian tidak mengajarkan permusuhan dengan

yang memadai dan dapat menjadi alternatif memutuskan hubungan horizontal dengan

hukum materil dalam hukum kewarisan. nonmuslim, terlebih-lebih mereka itu

sepertalian darah. Menimbang, bahwa oleh karena itu, dalam menyelesaikan permohonan para

Menimbang, bahwa penghalang kewarisan pemohon dalam hal mana pewaris dan ahli karena berbeda agama dalam kajian

warisnya beragama Islam, majelis hakim kewarisan Islam, haruslah dipahami secara

akan merujuk kepada Pasal 171 Kompilasi

Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 269 - 288

Hukum Islam, sementara itu, dalam hal Ishaq, Sa’id bin al-Musayyib, Masruq, dan mana pewarisnya murtad (telah keluar dari Ibrahim an-Nakha’i, bahwa orang muslim boleh Islam), majelis hakim akan merujuk kepada pendapat hukum yang majelis hakim mewarisi dari orang nonmuslim, dan tidak boleh uraikan di atas.”

sebaliknya (Al-‘Asqalani, XII, hal. 50). Pertimbangan hukum majelis hakim

Inkonsistensi logika hukum yang demikian

Pengadilan Agama Tebing Tinggi dalam telah menunjukkan adanya bias keagamaan Penetapan Nomor 9/Pdt.P/2008/PA.Ttd tanggal dalam menyelesaikan perkara permohonan waris

27 Februari 2008, telah menyimpangi ketentuan yang melibatkan pihak muslim dan nonmuslim. Pasal 171 huruf b dan c Kompilasi Hukum Islam Bias keagamaan tersebut telah mengantarkan sehingga memungkinkan ahli waris muslim untuk pada ketidakadilan bagi ahli waris nonmuslim mewarisi pewaris nonmuslim yang sebelumnya yang kehilangan hak untuk mendapatkan bagian beragama Islam.

warisan dari pewaris nonmuslim, meski memiliki hubungan darah atau perkawinan dengan pewaris

Argumentasi hukum yang digunakan adalah

dan seagama dengan pewaris.

bahwa sistem kewarisan Islam menganut sistem kekerabatan yang lebih utama bila disandingkan

Dalam Penetapan Nomor 4/Pdt.P/2013/

dengan perbedaan agama sebagai penghalang PA.Bdg, majelis hakim menetapkan suami dan mewarisi. Penghalang kewarisan karena berbeda dua orang anak pewaris yang beragama Islam agama ditujukan semata-mata kepada ahli waris, sebagai ahli waris dari pewaris yang beragama sehingga ahli waris muslim untuk mendapatkan Hindu, sedangkan dua orang anak pewaris yang harta warisan dari pewaris tidak boleh keluar dari beragama Hindu bukan sebagai ahli waris. Duduk agama Islam.

perkaranya adalah RS (Islam) menikah dengan NMRN (Hindu) secara Islam dan memiliki

Namun demikian, dalam pertimbangan keturunan empat orang anak yaitu: 1) NLES

hukumnya, majelis hakim tampak tidak konsisten (sudah meninggal), perempuan, agama Hindu 2)

dengan logika hukum yang dibangunnya, ketika RAP, laki-laki, agama Islam, 3) REP, laki-laki,

membedakan kedudukan ahli waris muslim agama Hindu, 4) RMS, laki-laki, agama Islam.

dengan ahli waris nonmuslim dalam hal pewaris berbeda agama dengan ahli waris. Dalam hal

NMRN meninggal pada 29 Mei 2004 dalam

pewaris muslim dan ahli waris nonmuslim, keadaan nonmuslim dan RS meninggal pada 10 maka ahli waris nonmuslim bukan ahli waris dan Februari 2010. Almarhum RS meninggalkan tidak dapat menuntut warisan dari pewarisnya. harta berupa dua bidang tanah di Kuta. Kedua Sementara dalam hal pewaris nonmuslim dan ahli anak almarhum RS dan almarhumah NMRN waris muslim, ahli waris muslim dapat menjadi yang beragama Islam, yaitu RAP dan RMS, ahli waris dan menuntut pembagian harta warisan mengajukan permohonan penetapan ahli waris dari pewaris nonmuslim berdasarkan hukum ke Pengadilan Agama Badung dengan petitum Islam.

yang hanya menetapkan anak dari pewaris yang beragama Islam yang menjadi ahli waris.

Pendapat majelis hakim tersebut sesuai dengan pendapat Mua’dz bin Jabal dan

Pertimbangan hukum hakim dalam Mu’awiyah bin Abi Sufyan, yang diikuti Sya’bi, penetapan tersebut sebagai berikut:

Penegakan Keadilan dalam Kewarisan Beda Agama (Muhamad Isna Wahyudi)

“Menimbang, bahwa dari dalil permohonan Menimbang, bahwa dalam perkara a quo, pemohon, bukti P6 dan keterangan para

pewaris yang bernama NMRN sebelumnya saksi, NMRN telah meninggal dunia dalam

beragama Islam, lalu keluar dari Islam dan keadaan beragama Hindu meski sebelumnya

kemudian meninggal dunia dalam keadaan beragama Islam, halmana menurut Pasal

nonmuslim sementara kerabat terdekatnya 171 huruf b Kompilasi Hukum Islam di

tetap memeluk agama Islam, maka kerabat Indonesia tahun 1991, seorang pewaris

muslim tersebut tetap menjadi ahli waris, pada saat meninggal dunia harus beragama

dalam hal ini majelis hakim sejalan dan Islam. Bilamana dihubungkan dengan

mengambil alih pendapat Muadz bin Jabal, Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam,

Mu’awiyah, Al Hasan, Ibnul Hanafiyah, secara eksplisit Kompilasi Hukum Islam

Muhammad bin Ali, dan Al Masruq yang menganut sistem persamaan agama, yakni

bersandar pada hadits Nabi Muhammad agama Islam untuk dapat saling mewarisi.

Saw (HR. Daruqutni dan Baihaqi): ‘‘ Al- Kompilasi Hukum Islam tidak mengatur

Islaamu ya’luu wa la yu’la ‘alaihi’’ (Wahbah bagaimana sekiranya pewaris itu murtad

Al Zuhaili, A-Fiqhul Islamy wa adillatuhu (keluar dari Islam), apakah hartanya

Juz 8 hal. 263), dan lebih spesifik majelis dapat diwarisi oleh muslim ataukah tidak.

hakim mengambil alih pendapat Imam Sepanjang mengenai hal ini majelis hakim

Abu Hanifah yang menyatakan semua memberikan pendapat hukum sebagai

peninggalan wanita yang keluar dari Islam berikut;

( murtadah) diwarisi oleh ahli warisnya yang Islam ( Wahbah Al Zuhaili, A- Fiqhul

Menimbang, bahwa menurut pendapat Islamy wa adillatuhu Juz 8 hal. 265); majelis hakim, sistem kewarisan Islam menganut sistem kekerabatan, baik secara Menimbang, bahwa pertimbangan hukum nasabiyah maupun secara hukmiyah.

di atas, tidak berarti majelis hakim Sistem kekerabatan ini lebih utama bila

menyalahi aturan dalam Kompilasi Hukum dibandingkan dengan perbedaan agama

Islam Pasal 171 huruf b dan c, majelis sebagai penghalang mewarisi, karena

hakim memandang Pasal 171 huruf b dan hukum kewarisan selain mengandung unsur

c tersebut di atas harus dipahami sebagai ibadah, lebih banyak juga mengandung

aturan umum dalam kasus-kasus ideal, unsur muamalah. Kekerabatan antara

sementara perkara a quo adalah perkara seorang dengan seseorang tidak akan

yang bersifat insidental;

pernah terputus sekalipun agama mereka itu berbeda. Seorang anak tetap mengakui Menimbang, bahwa oleh karena itu, dalam ibu kandungnya sekalipun ibu kandungnya

menyelesaikan perkara waris dalam kasus itu tidak satu agama dengannya. Islam

yang ideal di mana pewaris dan ahli tidak mengajarkan permusuhan dengan

warisnya beragama Islam, majelis hakim memutuskan hubungan horizontal dengan

akan merujuk kepada Pasal 171 Kompilasi nonmuslim, terlebih-lebih mereka itu ada

Hukum Islam, sementara itu, dalam pertalian darah;

halmana pewarisnya murtad (telah keluar dari Islam), majelis hakim akan merujuk

Menimbang, bahwa majelis hakim kepada pendapat hukum yang majelis memandang penghalang kewarisan karena

hakim uraikan di atas;

berbeda agama, haruslah dipahami secara cermat. Perbedaan agama itu ditujukan Menimbang, bahwa dari keterangan saksi- semata-mata kepada ahli waris. Bilamana

saksi dan bukti P6 diperoleh fakta hukum, seseorang ingin menjadi ahli waris untuk

ternyata NMRN yang kemudian menjadi mendapatkan harta warisan dari pewaris,

nonmuslim telah meninggal dunia dalam jangan sekali-kali berbeda agama dengan

keadaan nonmuslim pada tanggal 29 pewarisnya yang muslim. Sekiranya hal

September 2004 dengan meninggalkan itu terjadi, maka nonmuslim tersebut tidak

seorang suami bernama RS yang beragama dapat menuntut agar dirinya menjadi ahli

Islam, dan empat orang anak yakni NLES waris dan mendapatkan harta warisan dari

beragama Hindu, RAP beragama Islam, REP pewaris menurut hukum Islam;

beragama Hindu, dan RMS beragama Islam,

Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 269 - 288 Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 269 - 288

hukum adat dan KUH Perdata bagi nonmuslim. Penyelesaian perkara waris di atas berdasarkan

Pertimbangan hukum majelis hakim hukum adat atau KUH Perdata justru lebih

Pengadilan Agama Badung dalam Penetapan mampu mewujudkan keadilan bagi semua pihak,

Nomor 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg tanggal 7 Maret karena dalam kedua hukum tersebut perbedaan

2013 juga menerapkan pertimbangan hukum

agama tidak menjadi halangan waris.

dalam Penetapan Nomor 9/Pdt.P/2008/PA.Ttd tanggal 27 Februari 2008, namun dilengkapi

Dalam kasus di atas, memang terdapat

dengan pendapat Muadz bin Jabal, Mu’awiyah, halangan akses terhadap keadilan, yaitu pada Al Hasan, Ibnul Hanafiyah, Muhammad bin Ali, tahapan akses terhadap forum yang sesuai. Forum

dan Al Masruq yang bersandar pada hadis Nabi mana yang sesuai untuk menyelesaikan perkara Muhammad Saw: “ Islam itu tinggi dan tidak dapat waris di atas? Pengadilan agama atau pengadilan dilampaui atasnya,” dan pendapat Imam Abu negeri? Dalam perkara waris yang melibatkan para Hanifah yang menyatakan semua peninggalan pihak yang berbeda agama, belum terdapat aturan wanita yang keluar dari Islam ( murtadah) diwarisi yang menentukan pengadilan yang berwenang. oleh ahli warisnya yang Islam.

Akibatnya, sering muncul persinggungan kewenangan antara pengadilan agama dan

Berdasarkan pertimbangan di atas, maka pengadilan negeri. Sementara kedua pengadilan

ahli waris dari pewaris NMRN yang beragama tersebut menerapkan hukum waris yang berbeda,

Hindu adalah ahli waris yang beragama Islam yang pada gilirannya dapat menimbulkan

yaitu RS, RAP, dan RMS, sementara ahli waris

ketidakadilan bagi pencari keadilan.

yang beragama Hindu yaitu NLES dan REP, tidak berhak mendapatkan bagian warisan, meski

Jika merujuk kepada Pasal 171 huruf b dan seagama dan memiliki hubungan darah dengan

c KHI, maka perkara waris yang ditangani oleh

pewaris. Dalam hal ini timbul ketidakadilan pengadilan agama mengandaikan persamaan bagi ahli waris nonmuslim dan tampak bahwa agama antara pewaris dan ahli waris. Jadi, ada bias keagamaan dalam pertimbangan hukum selama terdapat pewaris muslim dan ahli waris yang memungkinkan ahli waris muslim dapat muslim sudah memenuhi syarat untuk menjadi mewarisi pewaris nonmuslim, namun tidak kewenangan di pengadilan agama, meski terdapat berlaku sebaliknya.

ahli waris lain yang nonmuslim.

Berdasarkan kedua penetapan waris di atas, Dalam kedua penetapan waris di atas, meski

maka penegakan keadilan dalam perkara waris majelis hakim telah menyimpangi ketentuan yang terdiri dari pewaris nonmuslim dengan Pasal 171 huruf b dan c KHI, majelis hakim tidak ahli waris muslim dan/atau nonmuslim oleh berusaha menyelidiki apa yang menjadi ‘illat pengadilan agama hanya terbatas kepada pihak hukum atau ratio legis dari hadis yang menjadi yang beragama Islam, dan mengabaikan keadilan dasar hukum larangan waris beda agama, yaitu bagi pihak nonmuslim.

hadis yang diriwayatkan oleh Usamah bin Zaid

Penegakan Keadilan dalam Kewarisan Beda Agama (Muhamad Isna Wahyudi)

| 279

Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 269 - 288

r.a, bahwa Nabi Saw bersabda: ” Orang muslim tidak mewarisi dari orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi dari orang muslim” (hadis riwayat

Bukhari, Kitab al-faraidh, bab XXVI, No. hadis: 6764).

Dalam hal ini, perlu dilacak latar belakang munculnya ( asbabul wurud mikro) hadis larangan waris beda agama tersebut. Dalam Shahih Bukhari, Kitab Maghazi, Hadis No. 3946 dijelaskan bahwa hadis tersebut muncul pada saat Fathul Makkah (8 H/630 M), yaitu ketika Usamah bin Zaid bertanya kepada Rasulullah Saw mengenai tempat di mana Rasulullah Saw akan tinggal di Makkah. Kemudian Rasulullah Saw bertanya “Apakah ‘Aqil (anak Abu Thalib) meninggalkan rumah bagi kami?” Kemudian Rasulullah Saw berkata: “Orang mukmin tidak mewarisi dari orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi dari orang muslim.” Dan dikatakan menurut riwayat Zuhri, Rasulullah berkata: ”Siapa yang mewarisi Abu Thalib?” Usamah bin Zaid menjawab: “’Aqil dan Thalib yang mewarisinya.” Menurut riwayat Ma’mar dari Zuhri, Usamah bin Zaid bertanya mengenai tempat di mana Rasulullah Saw besok akan tinggal dalam kepergiannya. Sementara menurut riwayat Yunus tidak disebutkan dalam kepergiannya dan pada saat Fathul Makkah.

Mengenai hadis tersebut, ‘Asqalani menjelaskan bahwa hadis tersebut menunjukkan kepada hukum yang diperkenalkan pada masa- masa awal Islam, karena Abu Thalib meninggal sebelum hijrah. Pada saat hijrah terjadi, ‘Aqil dan Thalib menguasai harta yang ditinggalkan Abu Thalib. Sementara Abu Thalib telah memiliki apa yang ditinggalkan oleh Abdullah, ayah Rasulullah Saw, karena Abu Thalib adalah saudara kandungnya, dan Rasulullah Saw hidup bersama Abu Thalib setelah kakeknya Abdul Muthalib meninggal. Maka ketika Abu Thalib meninggal

(619 M) dan terjadi hijrah (622 M), Thalib belum memeluk Islam, sementara ‘Aqil baru masuk Islam di waktu akhir. ‘Aqil dan Thalib menguasai harta yang ditinggalkan oleh Abu Thalib. Kemudian Thalib meninggal sebelum terjadi Perang Badar (4 H/626 M), dan ‘Aqil meninggal lebih akhir. Maka ketika hukum Islam menjadi tetap dengan meninggalkan pewarisan muslim dari orang kafir, maka harta peninggalan Abu Thalib tetap berada di tangan ‘Aqil. Maka Rasulullah Saw memberi petunjuk kepada hal itu (muslim tidak mewarisi kafir dan sebaliknya), sementara ‘Aqil telah menjual semua harta peninggalan tersebut. Terhadap penetapan Nabi Saw terdapat perbedaan pendapat, ada pendapat yang menilai Nabi Saw meninggalkan peninggalan tersebut kepada ‘Aqil sebagai anugerah Nabi Saw kepada ‘Aqil, ada yang menilai untuk memberi harta dan kasihan kepada ‘Aqil, dan ada pendapat yang mengatakan sebagai pembenaran (tashih) atas pengaturan harta peninggalan masa Jahiliyyah sebagaimana telah menjadi sah perkawinan mereka yang terjadi pada masa Jahiliyyah (Al-‘Asqalani, VIII, hal. 13-5).

Dalam Sunan Ibn Majah, Kitab Fara’id, Hadis No. 2720, dijelaskan bahwa Ja’far dan Ali tidak mewarisi apapun dari Abu Thalib karena keduanya muslim, sementara ‘Aqil dan Thalib masih kafir.

Berdasarkan keterangan di atas, dapat dipahami bahwa hadis larangan waris beda agama muncul sebagai petunjuk Nabi Saw dalam menyelesaikan persoalan waris yang terjadi antara Nabi Saw, dan sepupunya dari keturunan paman Nabi Saw, Abu Thalib, yaitu ‘Aqil, Thalib, Ja’far, dan Ali. Petunjuk Nabi Saw tersebut lebih merupakan sebuah kebijakan untuk menghindari sengketa antara Ja’far, Ali, dengan ‘Aqil dalam pembagian harta peninggalan Abu Thalib.

Terlebih ketika hal itu baru muncul pada saat berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Ma’idah Fathul Makkah, sementara setelah hijrah hingga ayat 51: “Hai orang-orang yang beriman, Fathul Makkah telah terjadi berbagai peperangan janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi antara kaum muslim dan kafir Qurays yang tidak dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu);

memungkinkan Ali dan Ja’far untuk memiliki sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian harta peninggalan Abu Thalib yang terletak yang lain” (Al-‘Asqalani, XII, hal. 50). di Makkah, sehingga ‘Aqil dan Thalib yang

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa menguasai harta peninggalan Abu Thalib. Selain

hubungan saling mewarisi terkait dengan itu, ternyata ‘Aqil sudah menjual seluruh harta

adanya hubungan dekat untuk saling membantu peninggalan Abu Thalib ketika Fathul Makkah. (wilayah), baik karena hubungan nasab atau

Kebijakan Nabi Saw tersebut lebih bersifat perkawinan. Menurut Qardhawi, ‘illat dari masalah legal-specific, yaitu berlaku pada suatu kasus dan waris adalah semangat tolong menolong, bukan waktu tertentu, dan bukan bersifat normative- perbedaan agama (Qardhawi, 2007, hal. 306). Oleh universal, yang berlaku sepanjang waktu dan di karena itu, untuk mengetahui ‘illat hukum hadis

semua tempat. yang melarang waris beda agama, perlu ditelaah mengenai larangan menjalin hubungan dekat/

Kemudian, bagaimana dengan ‘illat hukum bersekutu ( wala’/wilayah) dengan orang-orang hadis larangan waris beda agama? Metode kafir dalam Al Quran.

yang dapat digunakan untuk menyelidiki ‘illat hukum hadis tersebut adalah metode konformitas

Jika ditelusuri, maka ayat-ayat yang

( munasabah), yaitu menyelidiki kesesuaian berkaitan dengan pelarangan bersekutu dengan antara hukum yang ditetapkan dengan atribut orang-orang kafir, semuanya dalam konteks yang menjadi alasan ditetapkannya hukum itu peperangan dan permusuhan. Ayat-ayat tersebut (‘illat). Maksud kesesuaian adalah terdapat adalah sebagai berikut: hubungan yang logis yang tegas makna antara

1. QS. An-Nisa’ (4): 89

‘illat dan hukum (Wahyudi, 2014, hal. 24). “ Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir Menurut Zuhaili, hilangnya hubungan

sebagaimana mereka telah menjadi kafir, saling mewarisi antara muslim dan nonmuslim

lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara

karena dengan perbedaan agama maka hubungan mereka penolong-penolong(mu), hingga dekat untuk saling menolong, membantu,

mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka membela, melindungi (

jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah

wala’/wilayah) antara

mereka di mana saja kamu menemuinya, muslim dengan nonmuslim telah terputus (Az-

dan janganlah kamu ambil seorangpun Zuhaili, 1985, VIII, hal. 263).

di antara mereka menjadi pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong.”

Asqalani menyebutkan terdapat analogi

2. QS. Ali Imran (3): 28

(qiyas) antara hubungan saling mewarisi dengan

mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali

Janganlah

orang-orang

hubungan dekat (wilayah), sehingga tidak ada

saling mewarisi antara muslim dengan nonmuslim (teman yang akrab, pemimpin, pelindung karena terdapat larangan untuk menjalin hubungan

atau penolong) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa

dekat antara muslim dengan nonmuslim,

Penegakan Keadilan dalam Kewarisan Beda Agama (Muhamad Isna Wahyudi)

riwayat sejarah, peristiwa hijrah dilatarbelakangi

3. QS. Al-Ma’idah (5): 51 oleh sikap permusuhan dan pertentangan kaum “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kafir Quraisy yang semakin meningkat terhadap

kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nabi Muhammad Saw dan para pengikutnya. Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); Bahkan terjadi penyiksaan kepada para pengikut sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di ajaran Islam, pemboikotan ekonomi kepada antara kamu mengambil mereka menjadi Bani Hasyim yang saat itu melindungi Nabi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu

termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Muhammad Saw, dan upaya pembunuhan Allah tidak memberi petunjuk kepada terhadap Nabi Muhammad Saw. Selama periode

orang-orang yang zalim.” Madinah terjadi beberapa peperangan antara kaum

4. QS. Al-Ma’idah (5): 57 muslim dengan kaum kafir Qurays. Kondisi sosio

historis yang demikian ini merupakan asababul “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang- wurud makro hadis larangan waris beda agama orang yang membuat agamamu jadi buah dan asbabun nuzul ayat-ayat di atas. ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab

sebelummu, dan orang-orang yang kafir Dengan demikian, dalam konteks ayat-ayat (orang-orang musyrik). dan bertakwalah di atas, kafir atau nonmuslim lebih merujuk kepada

kepada Allah jika kamu betul-betul orang- mereka yang secara terang-terangan memusuhi orang yang beriman.”

dan melakukan tindak kejahatan terhadap umat

5. QS. Al-Mumtahanah (60): 1 Islam. Orang-orang tersebut dilarang Al Quran “

Hai orang-orang yang beriman, janganlah untuk dijadikan pelindung dan pendukung kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu (wali). Sementara orang-orang kafir yang tidak

menjadi teman-teman setia yang kamu memerangi dan tidak memusuhi, Al Quran tidak sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; melarang umat Islam untuk berbuat baik dan adil Padahal sesungguhnya mereka telah ingkar terhadap mereka, sebagaimana dijelaskan dalam kepada kebenaran yang datang kepadamu, QS. Al-Mumtahanah [60]: 8: mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah,

“ Allah tidak melarang kamu untuk berbuat Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar baik dan berlaku adil terhadap orang- untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari orang yang tiada memerangimu karena keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari demikian). kamu memberitahukan secara negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai rahasia

(berita-berita

Muhammad)

orang-orang yang berlaku adil.” kepada mereka, karena rasa kasih sayang.

Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami

Dan barangsiapa di antara kamu yang bahwa ’illat hukum yang melarang untuk melakukannya, maka sesungguhnya dia menjalin hubungan baik, saling membantu, saling telah tersesat dari jalan yang lurus.”

membela, saling melindungi, dengan orang kafir

Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 269 - 288 Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 269 - 288

harmonis antara para anggota keluarga meski berbeda agama, menjadikan perbedaan agama

Dengan menggunakan metode interpretasi sebagai penghalang untuk saling mewarisi,

ekstensif ( ma’nawiyah), maka ’illat hukum berupa justru akan bertentangan dengan kemaslahatan,

permusuhan dan kejahatan dapat diperluas ke menimbulkan ketidakadilan, dan dapat memicu

dalam larangan hubungan saling mewarisi antara konflik antar anggota keluarga. Hukum Islam muslim dan nonmuslim. ’Illat ini sesuai dengan

akan terkesan diskriminatif dan eksklusif, yang ketentuan hukum ( munasib) karena berdasarkan

hanya menegakkan keadilan bagi orang-orang pertimbangan akal sehat, hubungan saling mewarisi

Islam. Sementara, Al Quran mengajarkan untuk merupakan perwujudan adanya hubungan dekat

menegakkan keadilan kepada semua orang, dan kasih sayang antara dua pihak, dan hubungan

terlepas dari status maupun agama seseorang. dekat tersebut tidak akan terjadi ketika terdapat

permusuhan dan kejahatan antara ahli waris dan

pewaris. ’Illat ini juga selaras ( mula’im) dengan

B. Perkara Waris yang Terdiri Dari Pewaris

Muslim dengan Ahli Waris Muslim dan

ketentuan hadis yang menyatakan: ”Pembunuh

Nonmuslim

tidak mewarisi suatu apa pun dari orang yang dibunuhnya (Sunan ad-Darimi, Hadis No. 2951,

Perkara waris yang terdiri dari pewaris Kitab Fara’idh, Bab Mirats al-Qatil).”

muslim dengan ahli waris muslim dan nonmuslim, sejauh penelusuran peneliti, dapat ditemukan

Dengan demikian, dalam menerapkan dalam Penetapan Nomor 84/Pdt.P/2012/PA.JU,

hadis yang melarang waris beda agama harus Penetapan Nomor 262/Pdt.P/2010/PA.Sby,

dengan mempertimbangkan ’illat hukum yang Penetapan Nomor 473/Pdt.P/2010/PA.Sby,

terkandung dalam hadis tersebut, sesuai dengan kaidah fikih ”hukum berlaku bersamaan dengan Putusan Nomor 2/Pdt.G/2011/PA.Kbj, dan

Putusan Nomor 3321/Pdt.G/2010/PA.Sby. ada atau tidaknya ’illat hukum tersebut ( al-hukmu yaduru ma’a ’illatihi wujudan wa ’adaman).”

Ahli waris nonmuslim dalam penetapan dan

Penerapan yang demikian ini dapat mewujudkan putusan di atas, oleh majelis hakim pengadilan apa yang oleh Aristoteles sebut sebagai keadilan agama ditetapkan memiliki hak atas bagian harta korektif.

warisan, sebagai penerima wasiat wajibah, dan bukan sebagai ahli waris, karena berbeda agama

Dalam konteks saat ini, khususnya di dengan pewaris muslim. Pertimbangan hukum

Indonesia yang penduduknya terdiri dari berbagai yang digunakan adalah berdasarkan Yurisprudensi

macam suku dan agama, ketika dalam sebuah Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 368 K/

keluarga terdapat anggota-anggota keluarga yang AG/1995 tanggal 16 Juli 1998 dan Nomor 51 K/

berbeda agama, namun tidak ada permusuhan, AG/1999 tanggal 29 September 1999.

tidak ada pertentangan, tidak ada kejahatan yang terjadi antar anggota keluarga, dan mereka

Dalam Penetapan Nomor 84/Pdt.P/2012/

memiliki hubungan dekat dan harmonis, maka PA.JU, duduk perkaranya adalah seorang ahli perbedaan agama tidak sepatutnya menjadi waris, bertindak untuk diri sendiri dan sebagai halangan untuk saling mewarisi.

kuasa atas ahli waris yang lain yang berjumlah

Penegakan Keadilan dalam Kewarisan Beda Agama (Muhamad Isna Wahyudi)

I terhalang untuk ditetapkan sebagai ahli waris dari almarhumah XXXX, namun