PERANCANGAN ULANG TEMPAT WUDHU UNTUK LANJUT USIA (LANSIA) (Studi kasus Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta)

PERANCANGAN ULANG TEMPAT WUDHU UNTUK LANJUT USIA (LANSIA) (Studi kasus Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta)

Skripsi

Sebagai Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Teknik

PANCA SAKTIWAN

I 1305010

JURUSAN TEKNIK INDUSTRI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

ABSTRAK

Panca Saktiwan, NIM: I1305010, PERANCANGAN ULANG TEMPAT WUDHU UNTUK LANJUT USIA (LANSIA) (studi kasus : Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta). Skripsi. Surakarta: Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret, Januari 2010.

Tempat wudhu adalah tempat untuk melakukan aktivitas wudhu sebelum melakukan ibadah shalat. Dalam sehari semalam kaum lansia menggunakan tempat wudhu, minimal sebanyak 5 kali. Tempat wudhu saat ini memiliki intensitas cahaya pada malam hari sebesar 21 lux, sedangkan intensitas cahaya sesuai standar SNI untuk tempat ibadah sebesar 200 lux. Tempat wudhu saat ini memiliki perbedaan ketinggian lantai dengan jalan sebesar 25 cm, sehingga lansia harus berpegangan pada pilar tempat wudhu untuk menjaga keseimbangan tubuhnya ketika naik ke tempat wudhu. Pada saat gerakan membasuh kaki, lansia mengangkat kaki yang akan dibasuh sehingga tubuh hanya ditopang oleh satu kaki, untuk menjaga keseimbangan tubuh, lansia menekankan tangannya pada dinding tempat wudhu yang terbuat dari keramik yang licin. Berdasarkan wawancara yang dilakukan pada 23 lansia pengguna tempat wudhu, sebanyak 23 responden (100 %) pernah menabrak benda-benda pada tempat wudhu ketika melakukan aktivitas wudhu pada malam hari, sebanyak 14 responden (60,87 %) pernah tersandung karena perbedaan ketinggian tempat wudhu dengan jalan, sebanyak 5 responden (21,74 %) menyatakan bahwa pernah terjatuh ketika melakukan gerakan membasuh kaki.

Pada penelitian ini, tahap pengumpulan data meliputi kondisi tempat wudhu saat ini dan wawancara mengenai data keluhan dan keinginan lansia terhadap tempat wudhu saat ini. Penyusunan konsep perancangan menggunakan 2 tahapan, yaitu tahap penentuan solusi perancangan atas data keluhan dan keinginan, dan tahap penjelasan perancangan. Dari hasil penyusunan konsep tersebut dihasilkan perancangan ulang tempat wudhu lansia meliputi penambahan tempat duduk wudhu, penambahan pijakan kaki, merancang ketinggian kran sesuai posisi duduk, mengganti kran yang mudah dibuka dengan pegangan kran yang panjang dan penambahan hand rail, perancangan komponen ini berdasarkan pendekatan anthropometri lansia pengguna tempat wudhu. Selain penambahan komponen tersebut, lantai tempat wudhu dibuat rata dengan jalan dan dilakukan perancangan pencahayaan tempat wudhu sesuai rekomendasi UNEP (United Nations Environment Programme ).

Kata Kunci: lansia, perancangan, tempat wudhu, anthropometri, pencahayaan

xvii + 111 halaman; 29 tabel; 31 gambar; 6 lampiran; daftar pustaka: 29 (1993- 2009)

Panca Saktiwan, NIM: I1305010, REDESIGN OF WUDHU PLACE FOR ELDERLY PEOPLE (Case study: Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta). Thesis. Surakarta: Industrial Engineering Department, Faculty of Engineering, Sebelas Maret University, February 2010.

The wudhu place is a place to take wudhu before shalat activities. In 24 hours elderly people using wudhu place, a minimum of 5 times. Current wudhu place has an intensity of light in the evening is 21 lux, whereas the intensity of light according to SNI for places of worship is 200 lux. Current wudhu place has a height difference of the floor by 25 cm, so that the elderly people should held to the pillar to keep their balance when they moved forward to wudhu place. At the time of washing the their foot, they raised leg will be washed so that their body supported only by one leg, to maintain their balance, they hold their hand down on the wall that are made of slippy ceramics. Based on interviews conducted in 23 wudhu place elderly users, as many as 23 respondents (100%) had hit the objects in wudhu place at night, as many as 14 respondents (60.87%) had tripped due to height differences of wudhu place, as many as 5 of respondents (21.74%) stated that had fallen when they washed their foots.

In this research, data collection stages include the conditions of the current wudhu place and interview data about the complaint and the desire the current wudhu place. The Formulation of design concept uses 2 stages, first, the determination of the solution design stage of any complaint and desires, and second, design explanation. The results of this design concept produced the addition of seats wudhu, the addition of a foothold, height design of the faucet accorded to a sitting position, replacing a faucet is easy to open with a long handle faucet and the addition of hand rails, the design of this component based on elderly people anthropometri approach. Besides the addition of these components, wudhu floor is made flat with the road and designed a lighting system in wudhu place based on UNEP lighting system design steps (United Nations Environment Program).

Key words: elderly people, design, wudhu place, anthropometri, lighting system

xvii + 111 pages; 29 tabels; 31 pictures; 6 attachments; bibliography: 29 (1993- 2009)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Macam Persentil Dan Cara perhitungan Dalam Distribusi Normal

II-22 Tabel 2.2

II-27 Tabel 2.3

Nilai Pantulan Cahaya Rekomendasi UNEP

Nilai LLF Rekomendasi UNEP II-28 Tabel 4.1

Kondisi Pencahayaan Pada Malam Hari (Pukul 18.30)

IV-1 Tabel 4.2

Dokumentasi Proses Wudhu Saat Ini IV-2 Tabel 4.3

Ukuran Layout Tempat Wudhu Saat Ini IV-4 Tabel 4.4

Rekapitulasi Data Keluhan Lansia IV-5 Tabel 4.5

Rekapitulasi Data Keinginan Lansia IV-6 Tabel 4.6

Penentuan Solusi Perancangan IV-7 Tabel 4.7

Tabel Penjelasan Perancangan IV-14 Tabel 4.8

Identifikasi Data Anthropometri Yang Akan Diukur IV-16 Tabel 4.9

Rekapitulasi Hasil Perhitungan Persentil Data Antropometri

IV-18 Tabel 4.10

Rekapitulasi Perhitungan Dimensi Tempat Wudhu IV-27 Tabel 4.11

Evaluasi dan penentuan alternatif konstruksi tempat duduk wudhu

IV-28 Tabel 4.12

Evaluasi dan penentuan alternatif alas tempat duduk wudhu beton

IV-29 Tabel 4.13

Evaluasi dan penentuan alternatif bahan hand rail IV-30 Tabel 4.14

Evaluasi dan penentuan alternatif jenis kran IV-32 Tabel 4.15

Evaluasi dan penentuan alternatif bahan pijakan kaki IV-34 Tabel 4.16

Evaluasi dan penentuan alternatif pemilihan jenis lampu

IV-35 Tabel 4.17

Data Ruangan Pada Tempat Wudhu IV-36 Tabel 4.18

Data Penentu UF Pada Tempat Wudhu IV-38 Tabel 4.19

Estimasi Biaya Material IV-44 Tabel 4.20

Estimasi Biaya Non Material IV-45

Tabel 4.21 Total Biaya Perancangan IV-45 Tabel 5.1

Perbandingan Penambahan Tempat Duduk Wudhu V-2 Tabel 5.2

Perbandingan Penerangan V-6 Tabel 5.3

Perbandingan Penambahan Pijakan Kaki V-7 Tabel 5.4

Perbandingan Ketinggiaan Kran V-9 Tabel 5.5

V-11 Tabel 5.6

Perbandingan Perbedaan Ketinggiaan Lantai

Perbandingan Kran V-11

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Berkurangnya Keseimbangan pada Lansia II-6 Gambar 2.2

Railing Untuk Membantu Lansia Bergerak Secara Mandiri

II-7 Gambar 2.3

Gerakan Wudhu II-10 Gambar 2.4

Skema Design Management II-13 Gambar 2.5

Antropometri Untuk Perancangan Produk atau Fasilitas

II-16 Gambar 2.6

II-18 Gambar 2.7

Pengukuran Anthropometri Statis pada Lansia

Distribusi Normal Yang Mengakomodasi 95% dari populasi

II-20 Gambar 2.8

Ilustrasi Seseorang dengan Tinggi Badan P50 Mungkin Saja Memiliki Jangkauan Tangan Ke Samping P55

II-21 Gambar 2.9

Tinggi bidang permukaan penglihatan dengan lampu II-26 Gambar 3.1

Metodologi penelitian III-1 Gambar 4.1

Posisi Tempat Wudhu Saat Ini IV-3 Gambar 4.2

Tempat Wudhu Saat Ini IV-4 Gambar 4.3

IV-4 Gambar 4.4

Dokumentasi Layout Tempat Wudhu Saat Ini

Posisi Wudhu Yang Kurang Stabil IV-9 Gambar 4.5

Lampu kurang terang pada malam hari IV-10 Gambar 4.6

Posisi Kaki Yang Dibasuh Kurang Stabil IV-11 Gambar 4.7

Ketinggian Kran Yang Terlalu Rendah IV-12 Gambar 4.8

IV-13 Gambar 4.9

Perbedaan Ketinggian Pada Tempat Wudhu

Kran Wudhu Saat Ini IV-13 Gambar 4.10 Keramik Anti Slip Yang Ada Di Pasaran

IV-29 Gambar 4.11 Besi tempa tipe solid Bentuk Silinder

IV-31 Gambar 4.12 Kran Air Yang Mendekati Spesifikasi Di Pasaran

IV-32 Gambar 4.13 Bahan Pijakan Kaki Dari Plat Aluminium

IV-34

Gambar 4.14 Jenis Lampu CFL Yang Tersedia Di Pasaran IV-35 Gambar 4.15 Rancangan Posisi Lampu Pada Tempat Wudhu

IV-38 Gambar 4.16 Layout Tempat Wudhu Tampak Atas (2D)

IV-40 Gambar 4.17 Layout Tempat Wudhu Tampak Depan (2D)

IV-40 Gambar 4.18 Layout Tempat Wudhu Keseluruhan Tampak Atas

IV-41 Gambar 4.19 Layout Tempat Wudhu Tampak Atas (3D)

IV-41 Gambar 4.20 Layout Tempat Wudhu Tampak Depan Atas (3D)

IV-42 Gambar 4.21 Layout Tempat Wudhu Tampak Samping (3D)

IV-42

DAFTAR LAMPIRAN

L 1.1

L-2 Lansia Pengguna Tempat Wudhu L 2.1

Rekapitulasi Hasil Wawancara Terhadap Keluhan Dan Keinginan

L-9 L 2.2

Data Antropometri Lansia Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta

L-11 L 3.1

Perhitungan Presentil ke-5, ke-50,dan ke-95 Data Anthropometri

Tingkat Pencahayaan SNI L-16 L 3.2

Spesifikasi Lampu Philips Tornado L-18 L 3.3

Tabel Faktor Penggunaan L-19

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai latar belakang masalah dari penelitian, perumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini, tujuan, manfaat, batasan masalah dan asumsi dari penelitian yang dilakukan serta sistematika penulisan untuk menyelesaikan penelitian.

1.1 LATAR BELAKANG

Lanjut usia, selanjutnya disebut lansia adalah seseorang yang telah mencapai

60 (enampuluh) tahun ke atas (Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lanjut Usia). Usia lanjut adalah proses alami yang tidak dapat dihindarkan. Proses ini berlangsung secara alamiah, terus menerus, dan berkesinambungan, yang selanjutnya akan menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokemis pada jaringan tubuh dan akhirnya akan mempengaruhi fungsi dan kemampuan badan secara keseluruhan (Nugroho, 1995). Manuaba (1998) menyatakan bahwa pada usia 60 tahun kapasitas fisik seseorang akan menurun 25% yang ditandai dengan penurunan kekuatan otot, sedang kemampuan sensoris dan motorisnya menurun sebesar 60%.

Berdasarkan penurunan kapasitas fisik lansia tersebut, maka fasilitas- fasilitas yang dibutuhkan kaum lansia harus disesuaikan dengan kemampuan mereka. Fasilitas yang nyaman, aman dan memiliki kemudahan akses yang tinggi diperlukan untuk mencegah terjadinya kecelakaan pada lansia selama beraktivitas. Fasilitas ini harus dapat menunjang semua keterbatasan kaum lansia sehingga mereka dapat beraktivitas seperti biasa tanpa khawatir akan mengalami masalah selama beraktivitas. Penurunan kemampuan fisik menjadi pertimbangan dalam perancangan fasilitas untuk lansia (Tarwaka, 2004).

Salah satu dinas yang mengurusi kaum lansia di Kota Surakarta adalah Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta. Panti wredha ini berfungsi untuk menampung, merawat dan membina para lanjut usia. Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta terletak di JI. Dr. Rajiman No. 620, Surakarta. Pada Tahun 2009 UPTD ini menampung 95 orang lansia. Fasilitas-fasilitas yang terdapat di Panti Wredha Dharma Bakti meliputi kamar tidur, kamar isolasi, toilet, tempat wudhu, mushola, dapur, ruang makan, balai pengobatan, tempat cuci, dan aula serbaguna.

Salah satu fasilitas yang sering dipergunakan kaum lansia penghuni panti adalah tempat wudhu. Tempat wudhu ini berkaitan dengan pelaksanaan ibadah, yaitu sebagai tempat melakukan aktivitas wudhu sebelum melakukan ibadah shalat. Dalam sehari semalam kaum lansia menggunakan tempat wudhu, minimal sebanyak 5 kali. Tempat wudhu saat ini belum memiliki penerangan yang memadai pada malam hari, berdasarkan hasil pengukuran intensitas cahaya pada malam hari pada tempat wudhu sebesar 21 lux, sedangkan intensitas cahaya sesuai standar SNI untuk tempat ibadah sebesar 200 lux, kondisi ini menyebabkan lansia berpeluang menabrak benda-benda di sekitar tempat wudhu ketika melakukan aktivitas wudhu pada malam hari. Tempat wudhu saat ini memiliki perbedaan ketinggian lantai dengan jalan sebesar 25 cm, sehingga lansia harus berpegangan pada pilar tempat wudhu untuk menjaga keseimbangan tubuhnya ketika naik ke tempat wudhu, dengan adanya perbedaan ketinggian lantai ini dapat meningkatkan resiko lansia tersandung ketika naik ke tempat wudhu. Pada saat melakukan gerakan wudhu membasuh kaki, lansia mengangkat kaki yang akan dibasuh sehingga tubuh hanya ditopang oleh satu kaki, untuk menjaga keseimbangan tubuh, lansia menekankan tangannya pada dinding tempat wudhu yang terbuat dari keramik yang licin, kondisi ini akan meningkatkan resiko lansia terjatuh ketika membasuh kaki.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan pada 23 lansia pengguna tempat wudhu, sebanyak 23 responden (100 %) pernah menabrak benda-benda pada tempat wudhu ketika melakukan aktivitas wudhu pada malam hari, sebanyak 14 responden (60,87 %) pernah tersandung karena perbedaan ketinggian tempat wudhu dengan jalan, sebanyak 5 responden (21,74 %) menyatakan bahwa pernah terjatuh ketika melakukan gerakan membasuh kaki.

Berdasarkan permasalahan yang dirasakan lansia pengguna tempat wudhu, maka perlu dilakukan perancangan ulang tempat wudhu di Panti Wredha Dharma Bhakti Surakarta.

1.2 PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan pokok permasalahan dari penelitian ini yaitu bagaimana merancang ulang tempat wudhu di Panti Wredha Dharma Bhakti Surakarta.

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan, penelitian ini memiliki tujuan yaitu menghasilkan perancangan ulang tempat wudhu di Panti Wredha Dharma Bhakti Surakarta.

1.4 MANFAAT PENELITIAN

Manfaat yang dapat diambil dalam penelitian ini yaitu memberikan kontribusi desain tempat wudhu untuk lansia di Panti Wredha Dharma Bhakti Surakarta.

1.5 BATASAN MASALAH

Agar penelitan ini tidak terlalu luas topik pembahasannya maka diperlukan adanya pembatasan masalah, adapun batasan masalah dari penelitian ini adalah:

1. Pengambilan data dilakukan di Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta pada bulan Agustus – November 2009.

2. Pengambilan data antropometri dilakukan pada lansia yang tidak memakai alat bantu untuk berjalan (misal kursi roda dan tongkat) dan sehat mental.

3. Nilai presentil yang digunakan dalam perancangan ulang tempat wudhu adalah P 5 ,P 50 , dan P 95 .

4. Dalam penelitian ini hanya sampai pada perancangan produk dalam bentuk desain gambar.

1.6 SISTEMATIKA PENULISAN

Penulisan penelitian dalam laporan tugas akhir ini mengikuti uraian yang diberikan pada setiap bab yang berurutan untuk mempermudah pembahasannya. Dari pokok-pokok permasalahan dapat dibagi menjadi enam bab seperti dijelaskan, di bawah ini.

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan masalah, asumsi dan sistematika penulisan. Uraian bab ini dimaksudkan untuk menjelaskan latar belakang penelitian yang dilakukan sehingga dapat memberikan manfaat sesuai dengan tujuan penelitian dengan batasan- batasan dan asumsi yang digunakan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan tentang uraian teori, landasan konseptual dan informasi yang diambil dari literatur yang ada. Pada bagian ini akan diuraikan mengenai gambaran umum Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta, penjelasan mengenai lansia, penjelasan mengenai ergonomi, dan penjelasan mengenai perancangan pencahayaan. Perhitungan- perhitungan yang ada digunakan dalam pengumpulan dan pengolahan data.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini menjelaskan gambaran terstruktur tahap demi tahap proses pelaksanaan penelitian dalam bentuk flow chart, membahas tentang tahapan yang dilalui dalam penyelesaian masalah sesuai dengan permasalahan yang ada mulai dari identifikasi masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah, pengolahan data, sampai dengan kesimpulan dan pemberian saran.

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

Bab ini berisikan uraian mengenai data-data penelitian yang digunakan dalam proses pengolahan data dan hasil pengolahannya yang digunakan sebagai rekomendasi perancangan tempat wudhu khusus bagi lanjut usia (lansia) penghuni Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta.

BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL

Bab ini berisi tentang analisis dan interpretasi hasil terhadap pengumpulan dan pengolahan data.

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini menguraikan target pencapaian dari tujuan penelitian dan kesimpulan yang diperoleh dari pembahasan sebelumnya berupa pembahasan kesimpulan hasil yang diperoleh dan memberikan saran perbaikan yang dilakukan untuk penelitian selanjutnya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini membahas gambaran umum Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta yang merupakan tempat peneliti mengamati sistem yang berlangsung di dalamnya dan teori-teori yang digunakan sebagai landasan dan dasar pemikiran untuk membahas serta menganalisa permasalahan yang ada.

2.1 PROFIL UPTD PANTI WREDHA DHARMA BAKTI SURAKARTA

Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta merupakan badan milik pemerintah dalam bidang sosial yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial bagi para lanjut usia atau lansia yang terlantar. Upaya peningkatan kesejahteraan tersebut berupa penyediaan fasilitas hunian yang layak serta terpenuhinya kebutuhan hidup untuk lansia seperti makan, minum dan lain sebagainya. Terjaminnya kualitas hidup lansia oleh pemerintah ini mengacu pada UUD 45 Pasal 34 yang berbunyi : ’Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara’, sebagai dasar dalam pengabdian negara kepada masyarakat. Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta beralamatkan di jalan Dr. Rajiman No. 620, Surakarta.

2.1.1 Dasar Hukum

Dasar hukum pembangunan Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta, yaitu:

1. UUD 45 Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 34: - Pasal 27 : Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan

yang layak bagi kemanusiaan. - Pasal 34 : Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.

2. UU No. 6 Tahun 1974 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial.

3. UU No. 13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lanjut Usia.

4. UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan daerah.

5. Keputusan Walikota No. 061.1/017/I/1993 Tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Panti Wredha Dharma Bhakti Tk. II Surakarta.

6. Keputusan Walikota No. 12 tahun 2004 Tentang Pedoman Uraian Tugas Din. Kesra PP dan KB Kota Surakarta (UPT Panti Wredha Dharma Bhakti).

2.1.2 Visi dan Misi

Visi dan misi dari Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta, yaitu:

1. Visi Memberikan kesejahteraan sosial terhadap lanjut usia terlantar.

2. Misi

a. Menciptakan para lansia terlantar dengan hidup sejahtera, aman dan tentram.

b. Mempersiapkan kebahagiaan hidup bagi lanjut usia terlantar baik lahir maupun batin.

2.1.3 Tujuan Dan Sasaran

Tujuan dan sasaran yang ingin dicapai dari pembangunan Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta, yaitu:

1. Tujuan Memberikan pelayanan terhadap lanjut usia terlantar dengan sistem pelayanan di dalam panti.

2. Sasaran Sasaran dari pembangunan Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta, yaitu mengatasi masalah sosial bagi para lanjut usia terlantar.

2.1.4 Tugas Pokok

Tugas pokok pada Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta, yaitu:

1. Menyelenggarakan dan mempertanggugjawabkan pelaksanaan urusan rumah tangga Panti Wredha.

2. Merumuskan kebijakan teknis penyelenggaraan Panti Wredha Dharma Bakti sesuai dengan kebijakan.

3. Melaksanakan motivasi dan observasi kepada calon klien.

4. Melayani, membina dan merawat klien untuk memperoleh rasa aman.

5. Menyelenggarakan urusan tata usaha Panti Wredha Dharma Bakti.

6. Menggali sumber dana dari masyarakat.

7. Membina para lanjut usia dengan sistem non panti di lingkungan Panti Wredha Dharma Bakti.

8. Mengembangkan usaha ekonomi produktif melalui sistem usaha pertokoan dan usaha-usaha lain untuk melayani para warga Panti Wredha Dharma Bakti.

9. Melaksanakan tertib administrasi serta membuat laporan berkala.

10. Mengadakan Home Visit ke daerah asal klien dalam rangka kelengkapan data.

2.1.5 Persyaratan Masuk Panti

Persyaratan lansia yang akan masuk panti, meliputi:

1. Berusia 60 tahun, laki-laki/perempuan (lansia terlantar).

2. Surat keterangan dari kelurahan diketahui camat menerangkan penduduk setempat dan tidak mampu.

3. Surat rekomendasi dari sosial setempat (Kota/kabupaten).

4. Pas Photo berwarna 4 x 6 = 4 lembar bersama klis.

5. Mentaati segala peraturan dan tata tertib Panti Wredha

2.2 LANJUT USIA

2.2.1 Proses Menua

Usia lanjut adalah proses alami yang tidak dapat dihindarkan. Proses menjadi tua disebabkan oleh faktor biologik yang terdiri dari 3 fase yaitu fase progresif, fase stabil, dan fase regresif. Dalam fase regresif mekanisme lebih ke arah kemunduran yang dimulai dalam sel yang merupakan komponen terkecil dari tubuh manusia. Sel-sel menjadi aus karena lama berfungsi sehingga mengakibatkan kemunduran yang dominan dibandingkan terjadinya pemulihan. Di dalam struktur anatomik proses menjadi tua terlihat sebagai kemunduran di dalam sel. Proses ini berlangsung secara alamiah, terus menerus, dan berkesinambungan, yang selanjutnya akan menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokemis pada jaringan tubuh dan akhirnya akan mempengaruhi fungsi dan kemampuan badan secara keseluruhan (Nugroho, 1995).

Menurut Nugroho (1995) ada beberapa teori proses menua, salah satunya adalah teori biologi. Teori ini dijelaskan sebagai berikut:

1. Secara keturunan dan atau mutasi (Somatic Mutatie Theory), setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi.

2. ”Pemakaian dan Rusak”, kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel-sel tubuh lelah (terpakai).

3. Pengumpulan dari pigmen atau lemak dalam tubuh, yang disebut teori akumulasi dari produk sisa.

4. Peningkatan jumlah kolagen dalam lemak.

5. Tidak ada perlindungan terhadap radiasi, penyakit, dan kekurangan gizi.

6. Reaksi dari kekebalan sendiri (Auto Immune Theory). Di dalam proses metabolisme tubuh, suatu saat diproduksi suatu zat khusus dan ada jaringan tubuh tertentu yang tidak tahan terhadap zat tersebut, sehingga jaringan tubuh menjadi lemah dan sakit.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi ketuaan meliputi hereditas (keturunan), nutrisi (makanan), status kesehatan, pengalaman hidup, lingkungan, dan stres. Menjadi tua juga ditandai oleh kemundurankemunduran biologis yang terlihat sebagai gejala-gejala kemunduran fisik, antara lain:

1. Kulit mulai mengendur dan pada wajah timbul keriput serta garis-garis yang menetap.

2. Rambut mulai beruban dan menjadi putih.

3. Gigi mulai ompong.

4. Penglihatan dan pendengaran berkurang.

5. Mudah lelah.

6. Gerakan menjadi lamban dan kurang lincah.

7. Kerampingan tubuh menghilang, terjadi timbunan lemak terutama di bagian perut dan pinggul.

Selain kemunduran biologis menjadi tua juga ditandai oleh kemunduran kemampuan-kemampuan kognitif antara lain:

1. Sering lupa, ingatan tidak berfungsi baik.

2. Ingatan kepada hal-hal di masa muda lebih baik daripada kepada hal-hal yang baru terjadi.

3. Orientasi umum dan persepsi terhadap waktu dan ruang/tempat juga mundur, erat hubungannya dengan daya ingat yang sudah mundur dan juga pandangan biasanya sudah menyempit.

4. Meskipun telah mempunyai banyak pengalaman, skor yang dicapai dalam tes- tes intelegensi menjadi lebih rendah.

5. Tidak mudah menerima hal-hal atau ide-ide baru.

2.2.2 Penurunan Kemampuan Fisik

Kemampuan fisik seseorang dicapai pada saat usianya antara 25-30 tahun, dan kapasitas fisiologis akan menurun 1% per tahunnya setelah kondisi puncaknya terlampaui. Proses penuaan ditandai dengan tubuh yang mulai melemah, gerakan tubuh makin lamban dan kurang bertenaga, keseimbangan tubuh semakin berkurang, dan makin menurunnya waktu reaksi (Kemper,1994).

Manuaba (1998) menyatakan bahwa pada usia 60 tahun kapasitas fisik seseorang akan menurun 25% yang ditandai dengan penurunan kekuatan otot, sedang kemampuan sensoris dan motorisnya menurun sebesar 60%. Di samping itu juga terjadi banyak perubahan respek pada sensasi orang tua. Visual acuity (tajam penglihatan) terus menurun. Kehilangan akomodasi berhubungan linier dengan bertambahnya umur. Meskipun orang tua memerlukan lebih banyak intensitas penerangan, namun mereka juga rentan terhadap kesilauan. Setelah umur 55 tahun terdapat pengurangan/penurunan lapangan penglihatan. Persepsi warna turun setelah berumur 70 tahun atau lebih. Daya dengar pada orang tua juga menurun terutama pada frekuensi 1000 Hz atau lebih. Kecakapan berbicara juga turun secara progresif, pada umur 60 tahun turun 10% dibandingkan umur 20-29 tahun.

2.2.3 Penurunan Sistem Saraf

Cremer, dkk (1994) menyatakan bahwa perubahan sistem saraf pada lansia ditandai dengan keadaan, sebagai berikut:

1. Matinya sel di dalam otak secara kontinyu mulai seseorang berumur 50 tahun. Hal ini akan mengakibatkan berkurangnya pasokan darah ke otak.

2. Berkurangnya kecepatan konduksi saraf. Hal ini disebabkan oleh penurunan kemampuan saraf dalam menyampaikan impuls dari dan ke otak.

Rabbitt & Carmichael (1994) menambahkan bahwa penurunan kapasitas processing ini akan berakibat kepada lambatnya reaksi tubuh dan ketidaktepatan Rabbitt & Carmichael (1994) menambahkan bahwa penurunan kapasitas processing ini akan berakibat kepada lambatnya reaksi tubuh dan ketidaktepatan

1. Berkurangnya keseimbangan tubuh, diupayakan dengan mengurangi lintasan yang membutuhkan keseimbangan tinggi seperti titian, blind-step juga tangga.

2. Penurunan sensitifitas alat perasa pada kulit, diupayakan untuk menggunakan peralatan kamar mandi yang relatif aman bagi lansia seperti pemanas air dan termostat.

3. Terjadi buta parsial, melemahnya kecepatan focusing pada mata lansia dan makin buramnya lensa yang ditandai dengan lensa mata makin berwarna putih. Hal ini akan mempersulit lansia membedakan warna hijau, biru dan violet. Keadaan ini berakibat pada gerakan lansia yang semakin lamban dan terbatas sehingga diperlukan alat bantu untuk memudahkan dalam bergerak seperti pegangan tangan (Grandjean, 1993; Tilley, 1993).

Secara umum perlu diiiindarkan penggunaan bahan yang membahayakan lansia, seperti kemungkinan terpeleset karena bahan yang licin, dan sudut yang tajam.

Gambar 2.1 Berkurangnya Keseimbangan pada Lansia

Sumber: Tarwaka, 2004

2.2.4 Penurunan Kekuatan Otot

Penurunan kekuatan otot tubuh pada lansia meliputi, penurunan kekuatan otot tangan sebesar 16%-40%. Variasi ini tergantung pada tingkat kesegaran jasmani seeorang. Penurunan kekuatan genggam tangan menurun sebesar 50%, dan kekuatan otot lengan menurun sebesar 50% (Tilley,1993). Penurunan kemampuan otot untuk masing-masing anggota tubuh lansia tidaklah berbarengan. Kekuatan otot paha bagian bawah lebih cepat melemah dibanding kekuatan otot Penurunan kekuatan otot tubuh pada lansia meliputi, penurunan kekuatan otot tangan sebesar 16%-40%. Variasi ini tergantung pada tingkat kesegaran jasmani seeorang. Penurunan kekuatan genggam tangan menurun sebesar 50%, dan kekuatan otot lengan menurun sebesar 50% (Tilley,1993). Penurunan kemampuan otot untuk masing-masing anggota tubuh lansia tidaklah berbarengan. Kekuatan otot paha bagian bawah lebih cepat melemah dibanding kekuatan otot

Gambar 2.2 Railing untuk Membantu Lansia Bergerak Secara Mandiri

Sumber: Tarwaka, 2004

2.2.5 Penurunan Koordinasi Gerak Anggota Tubuh

Makin berkurangnya kemampuan koordinasi tubuh akan mempersulit lansia dalam melakukan koordinasi pekerjaan yang berisi informasi yang kompleks (Manuaba, 1998). Terdapat penurunan kestabilan baik berdiri maupun duduk setelah midlife. Perubahan pada tulang, otot,dan jaringan saraf juga terjadi pada orang tua. Degenerasi proses pada tulang rawan (cartilage) dan otot menyebabkan penurunan mobilitas dan meningkatnya resiko cedera. 50% Kekuatan hilang pada umur 65 tahun, tetapi kekuatan tangan hanya turun 16%. Waktu reaksi sekurang-kurangnya turun 20% pada umur 60 tahun dibandingkan pada umur 20 tahun (Pulat,1992). Lansia membutuhkan tempat tinggal dan beraktivitas yang lebih aman dan nyaman untuk bergerak, dan latihan untuk dapat menyesuaikan diri terhadap hambatan koordinasi yang dimilikinya.

2.2.6 Penyakit Pada Lanjut Usia

Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia dituliskan bahwa penyakit adalah perubahan dalam diri seseorang yang menyebabkan fungsi dan struktur organnya berubah di luar batas normal sehingga terjadi kegagalan dari kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari dengan nyaman.

Berdasar penyebabnya penyakit pada lanjut usia dapat dibedakan menjadi penyakit yang disebabkan oleh proses menua (Fisiologis) dan proses penyakit (Patologis) yang merupakan gangguan atau perubahan mekanisme organ normal, yang disebabkan oleh kuman penyakit (Mikroorganisme), cedera (Trauma mekanik, kimia beracun, radiasi, stres psikologis), dan gangguan proses metabolik (pembentukan dan penguraian zat organik dalam tubuh).

Penyakit pada lanjut usia yang disebabkan oleh proses menua (Fisiologis) adalah penyakit yang terjadi disebabkan oleh penurunan fungsi tubuh dan struktur organ secara alami dan tidak disebabkan oleh proses penyakit. Beberapa penyakit akibat proses menua adalah (Nugroho, 1995):

1. Gangguan penglihatan pada lanjut usia ketajaman penglihatan menjadi kabur dan lapangan pandang menyempit. Gangguan penglihatan ini menyebabkan lanjut usia mudah jatuh.

2. Gangguan pendengaran gangguan pendengaran pada lanjut usia dapat disebabkan karena:

a. Presbikusis, akibat proses kemunduran (degeneratif) pada cochlea maupun serabut saraf pendengaran.

b. Gangguan komunikasi akibat situasi percakapan yang kurang mendukung seperti bising, kondisi ruangan tidak sempurna sehingga mudah memantulkan suara, atau pengeras suara tidak sempurna.

3. Gangguan saluran cerna penyebab terjadinya gangguan saluran cerna adalah:

a. Dengan bertambahnya usia kemungkinan terjadi kematian jaringan usus yang lama bertambah besar.

b. Produksi air liur dengan berbagai enzim yang terkandung didalamnya mengalami penurunan yang dapat mengakibatkan mulut kering. Hal ini akan mengurangi kenyamanan saat makan dan kelancaran saat menelan, serta akan meningkatkan kemungkinan terjadi tukak dan infeksi pada rongga mulut.

c. Gerakan kerongkongan dari rongga mulut ke lambung, maupun otot lingkar antara kerongkongan dan lambung melemah. Hal ini akan menimbulkan kesulitan menelan pada lanjut usia.

d. Pada usus besar terjadi penurunan gerakan (kontraktilitas), sehingga mudah timbul sembelit atau gangguan buang air besar.

4. Gangguan sistem jantung dan pembuluh darah

a. Pada jantung terlihat bertambahnya jaringan kolagen, ukuran otot jantung, tebal bilik kiri, dan kekakuan katup jantung, serta terjadipenurunan jumlah sel pacu jantung. Keadaan ini mengakibatkan menurunnya kekuatan dan kecepatan jantung memompa darah (payah jantung).

b. Pada pembuluh darah terdapat penebalan dinding akibat endapan lemak, sehingga pembuluh darah akan kaku dan kehilangan kelenturannya (Atherosklerosis). Hal ini menyebabkan terjadinya penyakit jantung koroner, tekanan darah tinggi, dan gangguan aliran darah ke otak (Stroke).

5. Gangguan sistem hormonal terjadinya gangguan sistem hormonal pada lansia disebabkan karena:

a. Terjadinya penurunan kadar hormon esterogen dapat menyebabkan keropos tulang (Osteoporosis), selaput lendir mulut rahim kering, dan infeksi saluran kemih terutama pada wanita lanjut usia.

b. Terjadinya peningkatan penolakan (Resistensi) terhadap hormon Insulin, akan menimbulkan penyakit kencing manis (Diabetes Mellitus)

6. Gangguan sistem neuropsikiatri Gangguan yang ditimbulkan sering menjelma pada perubahan kejiwaan (Psikologi), kemunduran fungsi sensasi/rasa (sensorik), gerak (motorik), kepandaian dan melambatnya respon. Yang cukup sering dijumpai pada lanjut usia adalah merasa berputar dan goyah (Vertigo), mudah terjatuh, dan gangguan tidur.

2.3 PENGERTIAN WUDHU

Wudhu menurut bahasa berarti bersih atau indah. Sedangkan menurut Syara’ adalah membersihkan anggota wudhu’ dengan air yang suci menyucikan berdasarkan syarat-syarat dan rukun-rukun tertentu. Wudhu adalah termasuk salah satu syarat yang menyebabkan syahnya shalat yang di kerjakan sebelum kita mengerjakan shalat (Abu Bakar, 2005).

Orang yang hendak mengeijakan shalat wajib terlebih dahulu berwudlu karena wudlu adalah syarat syahnya shalat, sebelum berwudlu kita harus membersihkan Orang yang hendak mengeijakan shalat wajib terlebih dahulu berwudlu karena wudlu adalah syarat syahnya shalat, sebelum berwudlu kita harus membersihkan

Gambar 2.3 Gerakan wudhu

Sumber: Abu Bakar, 2005

Gambar 2.3 menjelaskan gerakan wudhu yang sesuai syariat islam, meliputi:

1) Membasuh kedua telapak tangan.

2) Berkumur dan membersihkan gigi sebanyak 3 kali.

3) Membersihkan lubang hidung sebanyak 3 kali.

4) Membasuh muka sebanyak 3 kali.

5) Membasuh kedua tangan sampai siku sebanyak 3 kali.

6) Membasuh rambut sebanyak 3 kali.

7) Membasuh kedua telinga sebanyak 3 kali.

8) Membasuh kedua telapak kaki sampai mata kaki sebanyak 3 kali.

2.4 KONSEP ERGONOMI

Ergonomi berasal dari bahasa Latin yaitu ERGON (Kerja) dan NOMOS (Hukum alam) dan dapat didefinisikan sebagai studi tentang aspek-aspek manusia dalam lingkungan kerjanya yang ditijau secara anatomi, fisiologi, psikologi, engineering, manajemen dan desain/perancangan (Nurmianto, E 2004). Disiplin ergonomi secara khusus mempelajari keterbatasan dan kemampuan manusia dalam berinteraksi dengan teknologi dan produk-produk buatannya. Disiplin ini berangkat dari kenyataan bahwa manusia memiliki batas-batas kemampuan baik Ergonomi berasal dari bahasa Latin yaitu ERGON (Kerja) dan NOMOS (Hukum alam) dan dapat didefinisikan sebagai studi tentang aspek-aspek manusia dalam lingkungan kerjanya yang ditijau secara anatomi, fisiologi, psikologi, engineering, manajemen dan desain/perancangan (Nurmianto, E 2004). Disiplin ergonomi secara khusus mempelajari keterbatasan dan kemampuan manusia dalam berinteraksi dengan teknologi dan produk-produk buatannya. Disiplin ini berangkat dari kenyataan bahwa manusia memiliki batas-batas kemampuan baik

a. Meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental melalui upaya pencegahan cedera dan penyakit akibat kerja, menurunkan beban kerja fisik dan mental, mengupayakan promosi dan kepuasan kerja.

b. Meningkatkan kesejahteraan sosial melalui peningkatan kualitas kontak sosial, mengelola dan mengkoordinir kerja secara tepat guna dan meningkatkan jaminan sosial baik selama kurun waktu usia produktif maupun setelah tidak produktif.

c. Menciptakan keseimbangan rasional antara berbagai aspek yaitu aspek teknis, ekonomis, antropologis dan budaya dari setiap sistem kerja yang dilakukan sehingga tercipta kualitas kerja dan kualitas hidup yang tinggi

Suatu pengertian yang lebih komprehensif tentang ergonomi pada pusat perhatian ergonomi adalah terletak pada manusia dalam rancangan desain kerja ataupun perancangan alat kerja. Berbagai fasilitas dan lingkungan yang dipakai manusia dalam berbagai aspek kehidupannya. Tujuannya adalah merancang benda-benda fasilitas dan lingkungan tersebut, sehingga efektivitas fungsionalnya meningkat dan segi-segi kemanusiaan seperti kesehatan, keamanan, dan kepuasann dapat terpelihara. Terlihat disini bahwa ergonomi memiliki 2 aspek yaitu efektivitas sistem manusia didalamya dan sifat memperlakukan manusia secara manusia. Mencapai tujuan-tujuan tersebut, pendekatan ergonomi merupakan penerapan pengetahuan-pengetahuan terpilih tentang manusia secara sistematis dalam perancangan sisten-sistem manusia benda, manusia- fasilitas dan manusia lingkungan. Dengan lain perkataan ergonomi adalah suatu ilmu yang mempelajari manusia dalam berinterksi dengan obyek-obyek fisik dalam berbagai kegiatan sehari-hari (Madyana, 1996).

Penerapan faktor ergonomi lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah untuk desain dan evaluasi produk. Produk-produk ini haruslah dapat dengan mudah diterapkan (dimengerti dan digunakan) pada sejumlah populasi masyarakat tertentu tanpa mengakibatkan bahaya/resiko dalam penggunaannya (Nurmianto, E 2004).

2.5 DESAIN DAN ERGONOMI

Manusia dalam kehidupannya banyak menggunakan desain sebagai fasilitas penunjang aktivitasnya. Manusia menginginkan desain sebagai produk yang sesuai dengan trend dan mewadahi kebutuhannya yang semakin meningkat. Melihat kondisi saat ini, kecenderungan desain yang berubah akibat peningkatan kebutuhan manusia tersebut menimbulkan kesadaran manusia tentang pentingnya desain yang eksklusif dan representatif, makin bertambahnya usaha-usaha di bidang desain yang mengakibatkan persaingan mutu desain, peningkatan faktor pemasaran (daya tarik dan daya jual di pasaran), serta tuntutan kapasitas produksi yang semakin meningkat. Selain itu, aktivitas desain yang menghasilkan gagasan kreatif dipengaruhi pula oleh kecepatan membaca situasi, khususnya kebutuhan pasar dan permintaan konsumen.

Desain dapat diartikan sebagai salah satu aktivitas luas dari inovasi desain dan teknologi yang digagaskan, dibuat, dipertukarkan (melalui transaksi jual-beli) dan fungsional. Desain merupakan hasil kreativitas budi-daya (man-made object) manusia yang diwujudkan untuk memenuhi kebutuhan manusia, yang memerlukan perencanaan, perancangan maupun pengembangan desain, yaitu mulai dari tahap menggali ide atau gagasan, dilanjutkan dengan tahapan pengembangan, konsep perancangan, sistem dan detail, pembuatan prototipe dan proses produksi, evaluasi, dan berakhir dengan tahap pendistribusian. Jadi dapat disimpulkan bahwa desain selalu berkaitan dengan pengembangan ide dan gagasan, pengembangan teknik, proses produksi serta peningkatan pasar.

Ruang lingkup kegiatan desain mencakup masalah yang berhubungan dengan sarana kebutuhan manusia, di antaranya desain interior, desain mebel, desain alat- alat lingkungan, desain alat transportasi, desain tekstil, desain grafis, dan lain-lain. Memperhatikan hal-hal tersebut, desainer dalam analisis pemecahan masalah dan perencanaannya atau filosofi rancangan desain bekerja sama dengan masyarakat dan disiplin ilmu lain seperti arsitek, psikolog, dokter atau profesi yang lain. Misalnya, dalam merancang desain kursi pasien gigi, dibutuhkan kerja sama dari dokter dan pasien, diperlukan penelitian lebih lanjut tentang aktivitas dan posisi duduk pasien sebagai pemakai, yang efektif, efisien, aman, nyaman dan sehat, sehingga desainer dapat menyatukan bentuk dengan memusatkan perhatian pada estetika bentuk, konstruksi, sistem dan mekanismenya. Selain itu, desainer dapat membuat suatu prediksi untuk masa depan, serta melakukan pengembangan Ruang lingkup kegiatan desain mencakup masalah yang berhubungan dengan sarana kebutuhan manusia, di antaranya desain interior, desain mebel, desain alat- alat lingkungan, desain alat transportasi, desain tekstil, desain grafis, dan lain-lain. Memperhatikan hal-hal tersebut, desainer dalam analisis pemecahan masalah dan perencanaannya atau filosofi rancangan desain bekerja sama dengan masyarakat dan disiplin ilmu lain seperti arsitek, psikolog, dokter atau profesi yang lain. Misalnya, dalam merancang desain kursi pasien gigi, dibutuhkan kerja sama dari dokter dan pasien, diperlukan penelitian lebih lanjut tentang aktivitas dan posisi duduk pasien sebagai pemakai, yang efektif, efisien, aman, nyaman dan sehat, sehingga desainer dapat menyatukan bentuk dengan memusatkan perhatian pada estetika bentuk, konstruksi, sistem dan mekanismenya. Selain itu, desainer dapat membuat suatu prediksi untuk masa depan, serta melakukan pengembangan

Untuk menilai suatu hasil akhir dari produk sebagai kategori nilai desain yang baik biasanya ada tiga unsur yang mendasari, yaitu fungsional, estetika, dan ekonomi. Kriteria pemilihannya adalah function and purpose, utility and economic, form and style, image and meaning . Unsur fungsional dan estetika sering disebut fit-form-function, sedangkan unsur ekonomi lebih dipengaruhi oleh harga dan kemampuan daya beli masyarakat (Bagas, 2000). Desain yang baik berarti mempunyai kualitas fungsi yang baik, tergantung pada sasaran dan filosofi mendesain pada umumnya, bahwa sasaran berbeda menurut kebutuhan dan kepentingannya, serta upaya desain berorientasi pada hasil yang dicapai, dilaksanakan dan dikerjakan seoptimal mungkin.

Ergonomi merupakan salah satu dari persyaratan untuk mencapai desain yang qualified, certified, dan customer need . Ilmu ini akan menjadi suatu keterkaitan yang simultan dan menciptakan sinergi dalam pemunculan gagasan, proses desain, dan desain final (periksa Gambar 2.4. Skema Design Management)

Gambar 2.4 Skema Design Management Sumber: Bagas, 2000

2.6 KONSEP ANTHROPOMETRI

Prinsip human centered design yang menyatakan bahwa manusia merupakan objek dasar dalam melakukan perancangan, manusia tidak menyesuaikan dirinya dengan alat yang dioperasikan (the man fits to the design), melainkan sebaliknya yaitu alat yang dirancang terlebih dahulu memperhatikan kelebihan dan keterbatasan manusia yang mengoperasikannya (the design fits to the man ) (Wignjosoebroto, 2000).

2.6.1 Pengertian Anthropometri

Anthropometri berasal dari “anthro” yang berarti manusia dan “metri” yang berarti ukuran. Secara definitif anthropometri dapat dinyatakan sebagai suatu studi yang berkaitan dengan pengukuran dimensi tubuh manusia. Anthropometri merupakan ilmu yang menyelidiki manusia dari segi keadaan dan ciri-ciri fisiknya, seperti dimensi linier, volume, dan berat.

Pada umumnya manusia berbeda dalam hal bentuk dan ukuran tubuh. Ada beberapa faktor yang akan mempengaruhi ukuran tubuh manusia (Wignyosoebroto,2000), seperti yang telah dijelaskan di atas diantaranya:

1. Umur Secara umum dimensi tubuh manusia akan tumbuh dan bertambah besar seiring dengan bertambahnya umur yaitu sejak awal kelahirannya sampai dengan umur sekitar 20 tahunan. Penelitian yang dilakukan oleh A. F. Roche dan G. H. Davila (1972) di USA diperoleh kesimpulan bahwa laki-laki akan tumbuh dan berkembang naik sampai dengan usia 21,2 tahun, sedangkan wanita 17,3 tahun. Meskipun ada sekitar 10% yang masih terus bertambah tinggi sampai usia 23,5 tahun untuk laki-laki dan 21,1 tahun untuk wanita, setelah itu tidak lagi akan terjadi pertumbuhan.

2. Jenis kelamin Jenis kelamin pria umumnya memiliki dimensi tubuh yang lebih besar kecuali dada dan pinggul.

3. Suku bangsa Dimensi tubuh suku bangsa negara Barat lebih besar dari pada dimensi tubuh suku bangsa negara Timur.

4. Posisi tubuh Sikap ataupun posisi tubuh akan berpengaruh terhadap ukuran tubuh oleh karena itu harus posisi tubuh standar harus diterapkan untuk survei pengukuran.

Posisi tubuh akan berpengaruh terhadap ukuran tubuh yang digunakan. Oleh karena itu, dalam anthropometri dikenal 2 cara pengukuran, yaitu:

1. Pengukuran dimensi struktur tubuh / statis (structural body dimension) Tubuh diukur dalam berbagai posisi standar dan tidak bergerak. Istilah lain untuk pengukuran ini dikenal dengan ‘static anthropometri’. Dimensi tubuh yang diukur dengan posisi tetap meliputi berat badan, tinggi tubuh dalam posisi berdiri, maupun duduk, ukuran kepala, tinggi/ panjang lutut berdiri maupun duduk, panjang lengan dan sebagainya.

2. Pengukuran dimensi fungsional / dinamis (functional body dimension) Pengukuran dilakukan terhadap posisi tubuh pada saat melakukan gerakan- gerakan tertentu. Hal pokok yang ditekankan pada pengukuran dimensi fungsional tubuh ini adalah mendapatkan ukuran tubuh yang berkaitan dengan gerakan-gerakan nyata yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu.

Data dari hasil pengukuran, atau yang disebut dengan data anthropometri, digunakan sebagai data untuk perancangan peralatan. Mengingat bahwa keadaan dan ciri fisik dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga berbeda satu sama lainnya, maka terdapat 3 prinsip dalam pemakaian data tersebut, yaitu:

1. Perancangan fasilitas berdasarkan individu yang ekstrim. Prinsip perancangan berdasarkan individu ekstrim digunakan apabila kita mengharapkan agar fasilitas yang akan dirancang tersebut dapat dipakai dengan enak dan nyaman oleh sebagian orang yang akan memakainya. Biasanya minimal oleh 95% pemakai.

2. Perancangan fasilitas yang bisa disesuaikan. Prinsip ini digunakan untuk merancang suatu fasilitas agar bisa menampung atau dipakai dengan nyaman oleh semua orang yang mungkin memerlukannya. Kursi pengemudi mobil yang bisa diatur maju-mundur dan kemiringan 2. Perancangan fasilitas yang bisa disesuaikan. Prinsip ini digunakan untuk merancang suatu fasilitas agar bisa menampung atau dipakai dengan nyaman oleh semua orang yang mungkin memerlukannya. Kursi pengemudi mobil yang bisa diatur maju-mundur dan kemiringan

3. Perancangan fasilitas berdasarkan harga rata-rata para pemakainya. Perancangan ini hanya digunakan apabila perancangan berdasarkan harga ekstrim tidak mungkin dilaksanakan dan tidak layak jika kita menggunakan prinsip perancangan fasilitas yang disesuaikan. Prinsip berdasarkan harga ekstrim tidak mungkin dilaksanakan bila lebih banyak rugi daripada untungnya, artinya hanya sebagian kecil dari orang-orang yang merasa nyaman ketika menggunakan fasilitas tersebut. Sedangkan jika fasilitas tersebut dirancang berdasarkan fasilitas yang bisa disesuaikan, tidak layak karena mahal harganya.

2.6.2 Dimensi Antropometri Umum

Data antropometri dapat dimanfaatkan untuk menetapkan dimensi ukuran produk yang akan dirancang dan disesuaikan dengan dimensi tubuh manusia yang akan menggunakannya. Pengukuran dimensi struktur tubuh yang biasa diambil dalam perancangan produk maupun fasilitas dapat dilihat pada gambar 2.5 di bawah ini.

Gambar 2.5 Antropometri Untuk Perancangan Produk atau Fasilitas

Sumber: Wignjosoebroto S, 2000

Keterangan gambar 2.5 di atas, yaitu:

1 : Dimensi tinggi tubuh dalam posisi tegak (dari lantai sampai dengan ujung kepala).

2 : Tinggi mata dalam posisi berdiri tegak.

3 : Tinggi bahu dalam posisi berdiri tegak.

4 : Tinggi siku dalam posisi berdiri tegak (siku tegak lurus).

5 : Tinggi kepalan tangan yang terjulur lepas dalam posisi berdiri tegak (dalam gambar tidak ditunjukkan).

6 : Tinggi tubuh dalam posisi duduk (di ukur dari alas tempat duduk pantat sampai dengan kepala).

7 : Tinggi mata dalam posisi duduk.

8 : Tinggi bahu dalam posisi duduk.

9 : Tinggi siku dalam posisi duduk (siku tegak lurus).

10 : Tebal atau lebar paha.

11 : Panjang paha yang di ukur dari pantat sampai dengan. ujung lutut.

12 : Panjang paha yang di ukur dari pantat sampai dengan bagian belakang dari lutut betis.

13 : Tinggi lutut yang bisa di ukur baik dalam posisi berdiri ataupun duduk.

14 : Tinggi tubuh dalam posisi duduk yang di ukur dari lantai sampai dengan paha.

15 : Lebar dari bahu (bisa di ukur baik dalam posisi berdiri ataupun duduk).

16 : Lebar pinggul ataupun pantat.

17 : Lebar dari dada dalam keadaan membusung (tidak tampak ditunjukkan dalam gambar).

18 : Lebar perut.

19 : Panjang siku yang di ukur dari siku sampai dengan ujung jari-jari dalam posisi siku tegak lurus.

20 : Lebar kepala.

21 : Panjang tangan di ukur dari pergelangan sampai dengan ujung jari.

22 : Lebar telapak tangan.

23 : Lebar tangan dalam posisi tangan terbentang lebar kesamping kiri kanan (tidak ditunjukkan dalam gambar).

24 : Tinggi jangkauan tangan dalam posisi berdiri tegak.

25 : Tinggi jangkauan tangan dalam posisi duduk tegak.