MAKNA SUMBANGAN PADA ACARA PERNIKAHAN MASA KINI (Studi Kasus di Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang, Kabupaten Sragen)

Kabupaten Sragen)

Skripsi oleh : HIMBASU MADOKO

NIM. K8405001

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2009

MAKNA SUMBANGAN PADA ACARA PERNIKAHAN MASA KINI (Studi Kasus di Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang, Kabupaten Sragen)

oleh : HIMBASU MADOKO

NIM. K8405001

Skripsi

Ditulis dan Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan Gelar Sarjana

Pendidikan Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini Telah Disetujui untuk Dipertahankan di Hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Surakarta, Juli 2009

Persetujuan Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Suparno, M.Si Siany Indria L.,S.Ant.,M.Hum NIP. 19481210 197903 1 002

NIP. 19800905 200501 2 002

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan.

Pada hari

: Jum’at

Tanggal

: 17 Juli 2009

Tim Penguji Skripsi: Nama Terang

Tanda tangan

Ketua : Drs. H. MH. Sukarno, M.Pd ........................

Sekretaris : Dra. Hj. Siti Rochani .CH, M.Pd .......................

Anggota I : Drs. Suparno, M.Si ………………

Anggota II : Siany Indria. L, S.Ant., M.Hum ………………

Disahkan oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Dekan,

Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd NIP. 19600727 198702 1 001

ABSTRAK

Himbasu Madoko, MAKNA SUMBANGAN PADA ACARA PERNIKAHAN MASA KINI (Studi Kasus di Desa Jati, Kecamatan

Sumberlawang, Kabupaten Sragen) . Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2009.

Tujuan penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui dan memahami mengapa sumbangan dalam acara perkawinan menjadi sesuatu yang penting di dalam kehidupan masyarakat, (2) Untuk mengetahui dan memahami bagaimana masyarakat memaknai sumbangan pada acara pernikahan dalam konteks masa kini.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif diskriptif. Sumber data dalam penelitian ini yaitu; (1) Informan atau narasumber, yaitu warga masyarakat dilokasi penelitian serta pihak-pihak yang sedang atau pernah mengadakan acara pernikahan, (2) Sumber data dari peristiwa atau aktivitas, yaitu ketika acara pernikahan dan sistem sumbangan ini dilaksanakan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik wawancara mendalam (in depth interviewing) dan observasi secara langsung. Teknik pengembangan validitas data yang digunakan dalam penelitian ini adalah trianggulasi data (trianggulasi sumber), trianggulasi metode dan review informan. Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis interaktif yang meliputi empat komponen yaitu pengumpulan data, reduksi data (reduction), sajian data (display) dan penarikan kesimpulan serta verifikasinya.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Sumbangan pada acara pernikahan memiliki tiga arti penting dalam kehidupan masyarakat Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang Sragen. Ketiga arti penting tersebut adalah, dapat mempengaruhi tingkah laku masyarakat dan melestarian pranata sosial yang telah ada dimasyarakat, dapat membantu pembiayaan pihak yang sedang menyelenggarakan hajat sehingga pelaksanaan acara pernikahan sesuai dengan adat istiadat setempat dapat tetap lestari, serta dapat membentuk, memperkuat dan mempertahankan integritas masyarakat. (2) Dalam konteks masa kini masyarakat Desa Jati sering hanya memaknai sistem sumbangan sebagai suatu kebiasaan masyarakat dan hanya melaksanakan sistem sumbangan dalam rangka untuk memenuhi hubungan timbal baliknya saja tanpa memahami tujuan/maksudnya. Hal ini berpotensi untuk menggeser arti penting sistem sumbangan, atau paling tidak akan mengurangi kadar arti penting dari sistem sumbangan yang telah ada.

ABSTRACT

Himbasu Madoko, THE MEANING OF CONTRIBUTION IN THE PRESENT WEDDING CEREMONY EVENT (A Case Study in Village Jati,

Sub district Sumberlawang, Regency Sragen) . Thesis, Surakarta: Teacher Training and Education Faculty. Surakarta Sebelas Maret University, 2009.

The objective of research is (1) to find out and to understand why the contribution in wedding ceremony event becomes something important in the society life, (2) to find out and to understand how the society means the contribution in wedding ceremony event in the present context.

This research used a descriptive qualitative method. The data source in this study includes: (1) informant or resource, that is, the residents of research location and the people who are conducting or has ever conducted the wedding ceremony event, (2) data source from the event or activity, that is, the wedding ceremony or the contribution system conducted. Techniques of collecting data employed in this study were in depth interview and direct observation. Technique of validating data used was data (source), method triangulations and informant review. Technique of analysing data used was an interactive analysis model encompassing four components: data collection, reduction, display and conclusion drawing as well as verification.

Based on the result of research, it can be concluded that: (1) the contribution in the wedding ceremony event has three important meaning in society’s life of Village Jati, Sub district Sumberlawang, Sragen. Those three meanings are: can affect the society’s behaviour and preserve the existing social order within the society, can support the fund spent by the one conducting the event so that the wedding ceremony organization is consistent with the local custom, as well as can establish, strengthen and maintain the society’s integrity. (2) In the present context, the society of Village Jati often means the contribution system only as one of society habits and conducts it only in the attempt of fulfilling the reciprocal relationship without understanding the objective/goal. This can potentially shift the importance of contribution system, or at least will reduce the importance of the existing contribution system.

MOTTO

“Orang yang murah hati dan jujur mengalami masa terbaik dalam hidup mereka dan tidak pernah dibebani oleh kesukaran-kesukaran. Tetapi orang yang penakut selalu curiga dan gelisah terhadap segala sesuatu, dan seseorang yang kikir selalu mengeluh atas hadiah-hadiah yang diberikannya kepada orang lain” ( Havamal dalam Marcel Mauss. 1992: xvii).

“Saling memberi hadiahlah kalian, maka kalian akan saling mencintai” (Al- Hadist)

PERSEMBAHAN

Karya ini dipersembahkan Kepada:

Bapak dan ibu tercinta Adikku Teman-teman Sos-Ant ’05 Almamater

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan hidayah-Nya skripsi ini akhirnya dapat diselesaikan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan- kesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk itu atas segala bentuk bantuannya, disampaikan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd, selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta;

2. Bapak Drs. H. Syaiful Bachri, M. Pd selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta;

3. Bapak Drs. H. MH Sukarno, M. Pd selaku Ketua Program Studi Pendidikan Sosiologi-Antropologi Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Sebelas Maret Surakarta;

4. Bapak Drs. Suparno, M.Si selaku Pembimbing I yang telah memberikan pengarahan dan bimbingannya;

5. Ibu Siany Indria. L. S.Ant., M.Hum selaku Pembimbing II yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan demi penyempurnaan penulisan skripsi;

6. Ibu Atik Catur Budiati, S. Sos, M.A selaku Pembimbing Akademik terima kasih atas kesabaran dan petunjuk yang diberikan selama peneliti menempuh studi di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta;

7. Segenap Bapak/Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi yang telah memberikan ilmu kepada peneliti selama di bangku kuliah;

8. Bapak kepala Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang, Sragen atas izin yang diberikan;

9. Para informan yang telah memberikan pengalaman hidup dan berbagai informasi yang dibutuhkan peneliti;

10. Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Semoga amal kebaikan semua pihak tersebut mendapatkan imbalan dari Tuhan Yang Maha Esa.

Walaupun disadari dalam skripsi ini masih ada kekurangan, namun diharapkan skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Surakarta, 2009

Peneliti

Daftar Tabel

25

1. Tabel 1 Waktu dan Kegiatan Penelitian ..............................................

DAFTAR GAMBAR

33

1. Gambar 2 Model Interaktif .................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupannya manusia tidak akan dapat lepas antara yang satu dengan lainnya. Mereka saling berinteraksi untuk membangun pergaulan hidup bersama karena itu terbentuklah masyarakat. Pertemuan antar manusia secara badaniah saja tidak akan dapat menghasilkan pergaulan hidup. Pergaulan hidup akan dapat tercapai jika mereka saling berkomunikasi, bekerja sama, bahkan saling bersaing dan bertikai. Sehubungan dengan hal ini Kimball Young dan Raymond dalam Soerjono Soekanto (2004:61) mengemukakan bahwa, ”interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, oleh karena tanpa interaksi sosial tidak akan mungkin ada kehidupan bersama”.

Aktifitas saling tolong-menolong/kerja sama merupakan salah satu bentuk interaksi sosial. Gillin dan Gillin dalam Soerjono Soekanto (2004:71) menggolongkan aktifitas ini sebagai interaksi sosial yang mengarah pada bentuk penyatuan (assosiasif). Perasaan saling membutuhkan yang tersalurkan melalui interaksi sosial akan terwujud dalam aktivitas saling tolong-menolong. Bentuk tolong-menolong antar sesama manusia dapat mempererat persaudaraan (hubungan batin), yang akan membentuk perasaan bersatu dan bersolidaritas. Perasaan saling membutuhkan ini menimbulkan sistem tukar menukar kewajiban untuk memberi dan menerima bantuan kepada sesamanya. Masyarakat kemudian saling membantu satu sama lain dalam berbagai hal.

Kegiatan saling tolong-menolong dalam masyarakat salah satunya dapat dilihat dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan adat. Hampir masyarakat di seluruh dunia memiliki adat tentang siklus lingkaran hidup (life cycle). Koentjaraningrat (1992:92) menjelaskan, ”pesta dan upacara pada saat peralihan sepanjang life cycle Kegiatan saling tolong-menolong dalam masyarakat salah satunya dapat dilihat dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan adat. Hampir masyarakat di seluruh dunia memiliki adat tentang siklus lingkaran hidup (life cycle). Koentjaraningrat (1992:92) menjelaskan, ”pesta dan upacara pada saat peralihan sepanjang life cycle

Pertolongan/bantuan yang diberikan seseorang dalam kegiatan adat bentuknya bermacam-macam. Bantuan tersebut dapat berupa tenaga, pikiran, benda materi, biaya, dan sebagainya. Seseorang dalam kehidupan masyarakat dapat memberikan salah satu bentuk pertolongan/bantuan saja seperti misalnya tenaga, pikiran, benda materi, biaya, atau bantuan yang lainnya, namun seseorang juga dapat memberikan berbagai bantuan dalam suatu acara. Seseorang mungkin dalam suatu acara dapat memberikan bantuan tenaga dalam pelaksanaanya, disamping itu juga sering memberikan bantuan biaya, pikiran benda materi, maupun bantuan- bantuan yang lainnya.

Salah satu bentuk tolong menolong adalah sumbangan. Di dalam masyarakat kita sumbangan memiliki dua arti. Pertama, sumbangan dalam arti umum yang mencakup semua pertolongan baik yang berupa tenaga, pikiran, benda materi, biaya, dan sebagainya. Kedua, sumbangan dalam arti yang lebih sempit, yaitu sebagai istilah pertolongan (sokongan) yang berupa bantuan material (benda ataupun biaya) untuk membantu seseorang yang sedang memiliki hajat. Arti sumbangan yang kedua ini dalam bukunya Clifford Geertz (1983:88) dituliskan dengan istilah “buwuh”. Sumbangan dalam arti “buwuh” inilah yang akan menjadi fokus dalam pembahasan ini.

Berkaitan dengan upacara dalam siklus kehidupan yang dikenal masyarakat Jawa, sumbangan biasanya diberikan pada saat adanya kelahiran, sunatan, perkawinan, kematian ataupun aktifitas-aktifitas yang lainnya seperti menjenguk orang yang sedang sakit, membangun rumah, perayaan ulang tahun, dan Berkaitan dengan upacara dalam siklus kehidupan yang dikenal masyarakat Jawa, sumbangan biasanya diberikan pada saat adanya kelahiran, sunatan, perkawinan, kematian ataupun aktifitas-aktifitas yang lainnya seperti menjenguk orang yang sedang sakit, membangun rumah, perayaan ulang tahun, dan

Dewasa ini sumbangan, sering dinilai secara sinis sebagai sumber keuntungan dan banyak orang yang menyelenggarakan hajat hanya untuk mengharapkan keuntungan dari sumbangan para tamu saja. Seperti kutipan dari informan yang diteliti oleh Clifford Geertz dalam bukunya Abangan, Santri Priyayi Dalam Masyarakat Jawa (1983:88), berikut ini :

... Ia mengatakan bahwa buwuh yang dahulu merupakan soal rukun, terutama ketika buwuh itu tidak berupa uang tetapi berupa barang seperti barang makanan dan sebagainya telah merosot menjadi pasal cari uang biasa di mata seorang yang sedang gawe duwe. Kerap kali yang yang masuk lebih banyak dari uang yang keluar, karena itu tuan rumah memperoleh laba, karena itu jugalah sekarang ini orang suka menyelenggarakan pesta sekedar untuk memperoleh keuntungan. Kata orang siallah kita kalau tidak punya anak untuk disunatkan atau dikawinkan dengan suatu pesta, sebab ini berarti hilanglah kesempatan untuk memperoleh keuntungan... .

Sudarmono dalam Opini; Nuansa Kondangan http://www.lampungspost. com/cetak/berita.php?id=2007010900565359, Selasa 9 Januari 2007, menjelas-kan, ”jika saat ini makna kata hajatan sudah bias cukup luas. Bias tersebut kini mulai Sudarmono dalam Opini; Nuansa Kondangan http://www.lampungspost. com/cetak/berita.php?id=2007010900565359, Selasa 9 Januari 2007, menjelas-kan, ”jika saat ini makna kata hajatan sudah bias cukup luas. Bias tersebut kini mulai

Fenomena menyumbang/sumbangan telah menjadi budaya yang tidak sehat lagi dalam kehidupan masyarakat. Sangat jarang sekali seseorang/keluarga yang menyelenggarakan suatu pesta pernikahan ataupun khitanan tanpa mengharapkan sumbangan dari para tamu undangannya, dan sangat banyak sekali masyarakat yang kini menjadi sering mengeluh karena sumbangan ini. Di dalam surat undangan suatu acara pesta perkawinan atau khitanan sering kita lihat tulisan yang pada intinya menyatakan seseorang/keluarga yang menyelenggarakan pesta tanpa mengurangi rasa hormat tidak menerima sumbangan yang berupa cinderamata atau karangan bunga. Sangat jarang sekali bahkan hanya ada beberapa orang saja yang berani menuliskan di dalam surat undangannya jika mereka (penyelenggara pesta) tidak menerima sumbangan dalam bentuk apapun.

Sistem sumbangan pada khususnya dalam upacara khitanan dan pernikahan, di dalamnya terdapat berbagai fenomena sosial. Sumbangan memberikan banyak cerita dan interpretasi di baliknya, mulai dari sistem aturan timbal balik yang mengikat, pergeseran makna dan tujuan dari sistem sumbangan,

konflik yang mungkin terdapat di dalamnya, beratnya biaya sosial, dan sebagainya, meskipun secara tampilan luar teratur dan sudah menjadi kewajiban yang dilakukan masyarakat. Berhubungan dengan hal ini, peneliti tertarik melakukan penelitian tentang sistem sumbangan pada upacara perkawinan dan upacara khitanan, karena sumbangan merupakan topik yang menarik untuk diteliti. Setidaknya terdapat dua konflik yang mungkin terdapat di dalamnya, beratnya biaya sosial, dan sebagainya, meskipun secara tampilan luar teratur dan sudah menjadi kewajiban yang dilakukan masyarakat. Berhubungan dengan hal ini, peneliti tertarik melakukan penelitian tentang sistem sumbangan pada upacara perkawinan dan upacara khitanan, karena sumbangan merupakan topik yang menarik untuk diteliti. Setidaknya terdapat dua

B. Rumusan Masalah

Masalah pokok yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:

a. Mengapa sumbangan dalam acara pernikahan menjadi sesuatu yang penting di dalam kehidupan masyarakat?

b. Bagaimana masyarakat memaknai sumbangan pada acara pernikahan dalam konteks masa kini?

C. Tujuan penelitian

Dari uraian latar belakang dan rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui dan memahami mengapa sumbangan dalam acara pernikahan menjadi sesuatu yang penting di dalam kehidupan masyarakat.

b. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana masyarakat memaknai sumbangan pada acara pernikahan dalam konteks masa kini.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain:

1. Manfaat Teoritis

a. Menambah pengetahuan yang lebih mendalam mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan sistem sumbangan pada acara pernikahan masa kini.

b. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan sosiologi dan antropologi pada khususnya, serta ilmu pengetahuan sosial pada umumnya .

c. Dapat dijadikan sebagai penelitian awal yang mendasari penelitian yang lebih luas cakupannya dan lebih mendalam kajiannya.

2. Manfaat Praktis

a. Dapat digunakan sebagai wacana reflektif bagi masyarakat dalam kehidupan sosial.

b. Dapat digunakan sebagai masukan bagi masyarakat dalam rangka untuk mewujudkan kehidupan yang lebih bijaksana.

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Definisi dan Bentuk Sumbangan

Sumbangan berasal dari kata sumbang, dimana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) sumbang/menyumbang memiliki arti, “memberi sesuatu kepada orang yang sedang pesta, dan sebagainya sebagai sokongan”, sedangkan sumbangan sendiri artinya adalah “pemberian sebagai bantuan (pada pesta perkawinan, dsb)”. Secara umum menyumbang termasuk aktivitas sosial manusia yang disebut gotong royong. Koentjaraningrat (1992:171) menjelaskan menjelaskan konsep gotong royong sebagai “rasa saling tolong menolong atau rasa saling bantu-membantu dalam jiwa masyarakat”.

Koentjaraningrat (1983:59-60) membedakan kegiatan tolong-menolong dalam masyarakat menjadi empat, yaitu 1) tolong menolong dalam produksi pertanian, 2) aktivitas tolong menolong antar tetangga yang tinggal berdekatan, untuk pekerjaan-pekerjaan kecil sekitar rumah dan pekarangan, 3) aktivitas tolong menolong antara kaum kerabat (dan kadang-kadang beberapa tetangga yang paling dekat) untuk menyelenggarakan pesta sunat, perkawinan atau upacara-upacara lain sekitar titik peralihan pada lingkaran hidup individu, 4) aktivitas spontan tanpa permintaan dan tanpa pamrih untuk membantu secara spontan pada waktu seseorang penduduk Desa mengalami kematian atau bencana. Dalam hal ini, menyumbang atau memberikan sumbangan merupakan tolong menolong pada aktivitas ketiga yaitu, pada persiapan dan penyelenggaraan pesta atau upacara adat.

Novita Purnamasari (2005:55) dalam penelitian mandirinya telah menganalisis bahwa sumbangan dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu “1) tenaga (rewang), 2) barang seperti kado, dan bukan kado (bahan hidangan , perlengkapan upacara perkawinan, bunga), serta 3) uang (buwuh)”. Berkaitan Novita Purnamasari (2005:55) dalam penelitian mandirinya telah menganalisis bahwa sumbangan dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu “1) tenaga (rewang), 2) barang seperti kado, dan bukan kado (bahan hidangan , perlengkapan upacara perkawinan, bunga), serta 3) uang (buwuh)”. Berkaitan

buwuh adalah sejenis sumbangan yang khas dari para tamu kepada tuan rumah atas hidangan dan pelayanan yang telah mereka terima. Kebiasaan yang umum dalam memberikannya adalah dengan menempelkan pada telapak tangan secara diam-diam ketika bersalaman dengan tuan rumah untuk berpamitan, pada saat mana tuan rumah akan memberikan sebungkus jajan kepada istri tamunya sebagai lambang sumbangannya kepada sang tamu yang berupa hidangan dan hiburan pada malam pertemuan ini. Lagi-lagi sumbangan timbal balik terlibat dalam hal ini.

Ketiga bentuk sumbangan tersebut merupakan suatu pemberian. Pemberian dari para tamu undangan untuk seseorang atau keluarga yang sedang merayakan acara pernikahan. Dalam Kamus Inggris-Indonesia (1986:269), kado, hadiah, dan pemberian memiliki istilah dalam bahasa inggris yang sama, yaitu ”gift”.

Menurut kebiasaan di beberapa daerah, misalnya di daerah Surakarta, yang datang dan menyumbang ialah kaum ibu, kemudian pulangnya memperoleh angsul-

angsul 1 atau bentelan. Di daerah Semarang, Purwodadi kaum laki-laki yang hadir. Mereka juga menyumbang dengan istilah salam templek, yaitu pada waktu pulang

sambil bersalaman memberikan uang sumbangan (Anonim. 1982: 86). Berdasarkan beberapa definisi tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa sumbangan adalah aktifitas sosial untuk membantu meringankan orang yang sedang punya hajat, berkaitan dengan berbagai hajat termasuk acara pesta perkawinan yang bentuknya dapat berupa tenaga, barang (kado atau bahan hidangan, perlengkapan upacara pernikahan, dan sebagainya), serta uang.

2. Konsep Sumbangan dalam Fungsionalisme

Pelaksanaan sistem sumbangan terdiri dari hubungan timbal balik antara pemberi dan penerima yang membentuk suatu sistem. Hubungan timbal balik antara

1 Angsul-angsul atau bentelan ialah makanan dan kue-kue yang dibawa pulang oleh para tamu putri dari yang empunya kerja sebagai balas jasa atas kehadirannya (Anonim. 1982: 98).

pemberi dan penerima ini bersifat fungsional yang akan membentuk kehidupan bermasyarakat. Seperti yang dikemukakan Aafke .E. Komter (2005: 195) yang menjelaskan, ”the principle of reciprocity underlying gift exchange proved to be fundament of human society ” (prinsip dari hubungan timbal balik mendasari pertukaran pemberian yang dibuktikan menjadi dasar masyarakat manusia). Sumbangan yang merupakan suatu sistem salah satunya dapat dijelaskan melalui teori fungsionalsme.

Aguste Comte dalam Soerjono Soekanto dan Ratih Lestarini (1988:20) mencoba untuk merumuskan cara menganalisis masyarakat dengan menyajikan metode penafsiran organis terhadap masyarakat. Bagi Comte masyarakat dikonseptualisasikan sebagai suatu tipe organis dan harus ditelaah melalui prisma konsepsi-konsepsi biologis mengenai struktur dan fungsi. Comte dalam Saifuddin (2005:142) mengemukakan bahwasanya,

manusia secara intrinsik adalah makhluk sosial, dan hubungan-hubungan yang mereka bangun jauh dari kontrak-kontrak antara individu-individu yang bebas. Masyarakat memiliki organ-organ seperti halnya tubuh seekor binatang, dimana memiliki fungsi dari suatu bagian ditentukan oleh tempatnya dalam keseluruhan tubuh. Konsep individu adalah konstruksi sosial, yang berasal dari peranan yang dikenakan oleh masyarakat kepada tindakan individu. Cara berpikir ini dikenal sebagai ‘analogi organik’.

Comte juga sadar akan perbedaan antara organisme biologis dan masyarakat. Organisme sosial atau masyarakat tidak berwujud fisik seperti halnya organisme biologis, tetapi organisme sosial terdiri atas ikatan-ikatan batin. Sejalan dengan Comte, Herbert Spencer juga memandang masyarakat seperti halnya suatu organisme. Herbert Spencer dalam Soerjono Soekanto dan Ratih Lestarini (1988:20-21) menyusun suatu sistematik mengenai cara-cara berpikir yang menganggap masyarakat merupakan analogi suatu organisme, sebagai berikut:

1. both society and organisms can be distinguished from organic matter, for both grow and develop (masyarakat dan organisme keduanya dapat 1. both society and organisms can be distinguished from organic matter, for both grow and develop (masyarakat dan organisme keduanya dapat

2. in both society and organisms an increase in size means an increase in complexity an differentiation (pada keduannya masyarakat dan organisme

peningkatan ukuran berarti peningkatan kompleksitas sebuah perbedaan).

3. in both, a progressive differentiation in structure is accompanied by a differentiation in function ( pada keduanya, sebuah perbedaan dalam struktur progresif disertai oleh perbedaan dalam fungsi).

4. in both, parts of the shale are independent with a change in one part affecting other parts ( pada keduanya, bagian dari pecahan yang bebas dengan suatu perubahan mempengaruhi bagian-bagian lainnya).

5. in both, each part of the whole is also a micro society or organisms in and of itself (pada kedua, setiap bagian dari keseluruhan adalah juga suatu masyarakat kecil atau organisme dalam dan dari keseluruhan itu sendiri).

6. and in both organisms and societies, the life of the whole can be destroyed but the parts will live on for a while (dan pada kedua organisme dan masyarakat, kehidupan seluruh dapat dimusnahkan tetapi bagian- bangiannya akan hidup untuk sementara waktu).

Pemikiran Emile Durkheim dalam Soerjono Soekanto dan Ratih Lestarini (1988:22-23), juga mencerminkan asumsi dalam organisme, sebagai berikut:

1) Masyarakat harus dipandang sebagai suatu kesatuan yang dapat dibedakan dari bagian-bagiannya, namun tidak dapat dipisah darinya. Dengan menganggap masyarakat sebagai suatu relatis, maka Durkheim memberikan prioritas dalam analisis menyeluruh.

2) Durkheim beranggapan bahwa bagian-bagian dari suatu sistem berfungsi untuk memenuhi kepentingan sistem secara menyeluruh.

3) Kepentingan-kepentigan fungsional dipergunakan dalam artian normal dan patologis. Dengan demikian suatu sistem sosial harus terpenuhi kebutuhannya untuk mencegah terjadinya keadaan abnormal.

4) Dengan memandang sistem secara normal, patologi dan fungsional, maka ada taraf atau titik tertentu dimana harmoni tercapai, sehingga fungsionalisasi secara normal berproses disekitar titik tersebut.

Pemikiran tiga tokoh sosiologi awal abad 19 tentang fungsionalisme yaitu Aguste Comte, Herbert Spencer, dan Emile Durkheim tersebut menghasilkan tiga asumsi yang mengawali fungsionalisme sosiologis, seperti yang dijelaskan Soerjono Soekanto dan Ratih Lestarini (1989:21), sebagai berikut:

1) Relitas sosial dianggap sebagai suatu sistem.

2) Proses-proses suatu sistem hanya dapat dimengerti dalam kerangka hubungan timbal balik antara bagian-bagiannya.

3) Sebagai halnya dengan suatu organisme maka struktur suatu sistem sifatnya terikat yang disertai adanya proses-proses untuk mempertahankan integritas dan batas-batasnya.

Berkaitan dengan sistem, Duncan Mitchell (1984:53) menerangkan jika ”setiap sistem mempunyai beberapa sifat yang sama, terutama bagian-bagiannya yang begitu erat hubungannya satu sama lain dari segi struktur hingga perubahan dalam satu bagian akan mengakibatkan perubahan di bagian yang lain”. Sementara itu Dahrendorf dalam Kamanto Sunarto (2000:228) mengemukakan mengenai pokok teori fungsionalisme sebagai berikut:

1). Setiap masyarakat merupakan suatu struktur unsur yang relatif gigih dan stabil. 2). Mempunyai struktur unsur yang terintegrasi dengan baik. 3). Setiap unsur dalam masyarakat mempunyai fungsi, memberikan

sumbangan pada terpeliharanya masyarakat sebagai suatu sistem. 4). Setiap struktur sosial yang berfungsi didasarkan pada konsensus mengenai nilai dikalangan para anggotanya.

”Organisme Comte, Spencer dan Durkheim mempengaruhi fungsionalis- fungsionalis antropologi yang pertama seperti Malinowski dan Radcliffe Brown, yang kemudian membantu pembentukan perspektif fungsional” (Soerjono Soekanto. 1986:17). Malinowski dalam Saifudin (2005: 167) berpandangan bahwa, ”segala sesuatu itu memiliki fungsi”. Merton dalam David Kaplan dan Albert A.

Manners (2000:79), memperkenalkan, konsep fungsi yang dibedakan antara fungsi manifes dan fungsi laten (fungsi tampak dan fungsi terselubung), dalam suatu tindak atau unsur budaya. ”Fungsi manifes ialah konsekuensi obyektif yang memberikan sumbangan pada penyesuaian atau adaptasi sistem yang dikehendaki dan didasari oleh pertisipan sistem tersebut. Sebaliknya, fungsi laten adalah konsekuensi objektif dari suatu ihwal budaya yang tidak dikehendaki maupun disadari oleh warga masyarakat”.

Malinowski dalam Koenjtaranigrat (1987:167) membedakan antara fungsi sosial dalam tiga tingkatan abstraksi, yaitu:

1) Fungsi sosial dari suatu adat , pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya terhadap adat, tingkah laku manusia dan pranata sosial dalam masyarakat.

2) Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan suatu adat.

3) Fungsi sosial dari suatu adat atau pranata sosial pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial yang tertentu.

Radcliffe Brown yang juga tokoh fungsionalisme dalam antropologi lebih suka pada penggunaan strukturalisme dari pada fungsionalisme. Radcliffe Brown dalam Soerjono Soekanto (1986: 11) mengakui bahwa, “the concept of function applied to human societies is based on an analogy between social life and organic life… the first systematic formulation of the concept as applying to the strictly scientific study of society was performed by Durkheim…”. Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa konsep fungsi diterapkan pada masyarakat manusia didasarkan pada analogi antara kehidupan sosial dan kehidupan organik. Perumusan konsep sistematis pertama seperti yang diterapkan untuk kajian ilmiah sosial yang ketat telah dilakukan oleh Durkheim.

Struktur masyarakat adalah susunan yang bagian-bagiannya memberi bentuk umpamanya bila berbicara tentang struktur suatu bangunan atau struktur Struktur masyarakat adalah susunan yang bagian-bagiannya memberi bentuk umpamanya bila berbicara tentang struktur suatu bangunan atau struktur

1) Suatu kondisi bagi ketahanan suatu masyarakat adalah adanya taraf integrasi minimal dari bagian-bagiannya.

2) Istilah fungsi mengacu pada proses-proses yang memelihara taraf integrasi atau solidaritas tersebut.

3) Dalam setiap masyarakat cirri-ciri struktural dapat diidentifikasikan manfaatnya bagi pemeliharaan solidaritas.

Berdasarkan pemikiran para fungsionalis di atas maka dapat disimpulkan bahwa pertukaran sumbangan pada acara pernikahan sebagai suatu realitas sosial juga dapat dipahami sebagai suatu sistem layaknya suatu organisme. Jika dilihat secara lebih luas dalam cakupan masyarakat maka sistem sumbangan dalam acara pernikahan ini dapat dikatakan sebagai suatu sub sistem diantara sistem-sistem yang lainnya sebagai pembentuk adanya kehidupan bermasyarakat. Seperti yang telah dikemukakan para tokoh fungsionalis di atas bahwa proses-proses suatu sistem hanya dapat dimengerti dalam kerangka hubungan timbal balik antara bagian- bagiannya, maka dalam sistem sumbangan juga berlaku seperti ini. Sistem sumbangan hanya akan dapat berjalan apabila unsur-unsur di dalamnya berjalan dalam hubungan timbal balik secara fungsional. Apabila salah satu unsur tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya maka sistem pertukaran dalam sumbangan ini tentunya akan mengalami gangguan. Unsur-unsur tersebut diantaranya adalah pemberi dan penerima yang saling melakukan pertukaran sumbangan yang saling terkait diantara yang satu dengan yang lainnya secara luas. Sistem sumbangan ini juga bersifat mengikat bagi masyarakat sehingga akan selalu mempertahankan integritasnya sebagai suatu sistem. Menurut penjelasan Malinowski di atas, sistem sumbangan yang juga merupakan suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan Berdasarkan pemikiran para fungsionalis di atas maka dapat disimpulkan bahwa pertukaran sumbangan pada acara pernikahan sebagai suatu realitas sosial juga dapat dipahami sebagai suatu sistem layaknya suatu organisme. Jika dilihat secara lebih luas dalam cakupan masyarakat maka sistem sumbangan dalam acara pernikahan ini dapat dikatakan sebagai suatu sub sistem diantara sistem-sistem yang lainnya sebagai pembentuk adanya kehidupan bermasyarakat. Seperti yang telah dikemukakan para tokoh fungsionalis di atas bahwa proses-proses suatu sistem hanya dapat dimengerti dalam kerangka hubungan timbal balik antara bagian- bagiannya, maka dalam sistem sumbangan juga berlaku seperti ini. Sistem sumbangan hanya akan dapat berjalan apabila unsur-unsur di dalamnya berjalan dalam hubungan timbal balik secara fungsional. Apabila salah satu unsur tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya maka sistem pertukaran dalam sumbangan ini tentunya akan mengalami gangguan. Unsur-unsur tersebut diantaranya adalah pemberi dan penerima yang saling melakukan pertukaran sumbangan yang saling terkait diantara yang satu dengan yang lainnya secara luas. Sistem sumbangan ini juga bersifat mengikat bagi masyarakat sehingga akan selalu mempertahankan integritasnya sebagai suatu sistem. Menurut penjelasan Malinowski di atas, sistem sumbangan yang juga merupakan suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan

Novita Purnamasari (2000:91-99) dalam penelitian mandirinya menjelaskan bahwa, bagi masyarakat Yogyakarta yang memiliki mobilitas tinggi diadakannya

suatu upacara perkawinan merupakan sarana untuk bertemu dengan saudara, tetangga dan teman. Sebagai suatu aktifitas sosial nyumbang mempertemukan anggota-anggota masyarakat. Sebagai orang jawa memenuhi undangan perkawinan dan memberikan sumbangan adalah salah satu kewajiban sosial.

Hal ini menunjukkan bahwa sistem sumbangan berfungsi untuk mempertemukan anggota-anggota masyarakat, dimana setiap individu/keluarga merupakan bagian dari sistem yang terjalin secara fungsional sehingga akan membentuk dan memperkuat keberadaan masyarakat.

Pembahasan tentang masyarakat yang terintegrasi sebagai suatu sistem secara fungsional dapat pula ditinjau dalam penelitian etnografi Malinowski tentang sistem tukar menukar kalung kerang atau yang disebut sulava dan gelang-gelang kerang yang disebut mwali di masyarakat kepulauan Trobriand. Kalung kerang (sulava) beredar ke satu arah mengikuti arah jarum jam yang peredaranya meliputi kepulauan Tobrian atau Boyowa, Kepulauan Amphlett, Kepulauan D’entrecasteaux atau Dobu, pulau st. Aignau atau Misima, kepulauan Laughlan atau Nada dan kepulauan Woodlark atau Murua, yang semuanya terletak di sebelah timur Papua Nugini Tenggara. Sementara itu gelang-gelang kerang (mwali) beredar kearah yang berlawanan. Sistem tukar menukar ini disebut dengan sistem Kula (Koenjaraningrat. 1987:164-165). Dalam hal ini pada intinya Malinowski bermaksud untuk menjelaskan bahwa melalui pertukaran yang disebut dengan sistem kula dalam masyarakat Trobriand membentuk suatu sistem yang berjalan secara fungsional. Pemberi dan penerima dalam pertukaran gelang-gelang kerang

(mwali) dan kalung-kalung kerang (sulava) memiliki peran masing-masing yang saling terikat secara fungsional sehingga membentuk serta memperkuat keberadaan masyarakat kepulauan Trobiand.

3. Resiprositas dalam Sistem Sumbangan

Prinsip moral tentang resiprositas ada dalam kehidupan sosial. Gouldner dalam James Scott (1981:255) mengemukakan prinsip tentang resiprositas dan perimbangan pertukaran adalah prinsip yang didasarkan pada gagasan yang sederhana saja yakni bahwa orang harus membantu mereka yang pernah membantunya atau setidak-tidaknya jangan merugikannya. Lebih khusus lagi prinsip itu mengandung arti bahwa suatu hadiah atau jasa yang diterima menciptakan bagi si penerima suatu kewajiban timbal balik untuk membalas dengan hadiah/jasa dengan nilai yang setiadak-tidaknya sebanding dikemudian hari.

Gouldner dalam Susana Narotzky dan Paz Moreno (2002:285) menjelaskan tentang konsep resiprositas sebagai, “a mutually contingent exchange of benefits between two or more units in his view, reciprocity constituted a general principle of mutual dependence and recognition of a shared moral norm: You should give benefits to those who give you benefits”. Pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa resiprositas adalah suatu kesatuan hubungan pertukaran tibal balik yang bermanfaat antara dua unit atau lebih. Resiprositas mendasari suatu prinsip umum saling ketergantungan dan pengakuan suatu norma moral bersama: Anda harus memberikan manfaat kepada mereka yang memberikan manfaat.

Menurut Durkheim, faham pertukaran yang sepadan ini merupakan suatu prinsip moral umum yang terdapat pada semua kebudayaan. Di Asia Tenggara prinsip resiprositas terdapat dalam banyak kegiatan. Bentuk-bentuk saling bantu- membantu berupa gotong royong di Jawa merupakan contoh resiprositas yang Menurut Durkheim, faham pertukaran yang sepadan ini merupakan suatu prinsip moral umum yang terdapat pada semua kebudayaan. Di Asia Tenggara prinsip resiprositas terdapat dalam banyak kegiatan. Bentuk-bentuk saling bantu- membantu berupa gotong royong di Jawa merupakan contoh resiprositas yang

Terkait dengan sistem sumbangan dalam penelitian Novita Purnamasari (2000:98-99) dijelaskan bahwa bagi pemangku hajat, sumbangan yang diterima pada suatu hari nanti harus dikembalikan dengan mengidealkan bentuk dan jumlah yang sepadan dengan yang diterimanya, sekurang-kurangnya sama dengan jumlah yang diterimanya. Pengambalian sumbangan harus disesuaikan dengan perkembangan nilai tukar uang, karena kesempatan untuk memberikan sumbangan terutama pada kesempatan yang sama tidak terjadi pada tahun yang sama. Pada masyarakat Jawa sumbangan dilihat sebagai bantuan penyelenggaraan upacara perkawinan yang merupakan suatu balas jasa atas segala bentuk bantuan yang telah diberikan pada masa sebelumnya. Oleh karena itu pendapatan dari sumbangan dapat diperhitungkan dalam rencana pembiayaan upacara perkawinan. Meskipun demikian, dalam masyarakat terdapat suatu pandangan bahwa sumbangan dipandang sebagai tanda kasih yang harus diingat dengan baik agar suatu hari nanti dapat terbalas dengan sepadan dan tidak memperhitungkannya dalam rencana pembiayaan upacara perkawinan

Sistem hubungan timbal balik pemberian bukanlah sesuatu yang gratis tanpa pengembalian, dan tanpa pamrih. Dalam teori, pemberian-pemberian hadiah seperti itu sebenarnya dilakukan secara suka rela, tetapi dalam kenyataan kesemuannya itu diberikan dan dibayar kembali dalam suatu kerangka kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pelakunya (Marcel Mauss. 1992:1). Marcel Mauss (1992:2) dalam bukunya mengatakan, Sistem hubungan timbal balik pemberian bukanlah sesuatu yang gratis tanpa pengembalian, dan tanpa pamrih. Dalam teori, pemberian-pemberian hadiah seperti itu sebenarnya dilakukan secara suka rela, tetapi dalam kenyataan kesemuannya itu diberikan dan dibayar kembali dalam suatu kerangka kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pelakunya (Marcel Mauss. 1992:1). Marcel Mauss (1992:2) dalam bukunya mengatakan,

Blau dalam Margaret .M. Poloma (1994:82) menjelaskan bahwa ”dalam menjawab pertanyaan apakah yang menarik individu kedalam assosiasi? Jawaban Blau ialah mereka tertarik pada pertukaran karena mengharapkan ganjaran yang intrinsik maupun ekstrinsik”.

Novita Purnamasari (2000:91-92) dalam penelitian mandirinya menjelaskan jika keaktifan seseorang dalam menyumbang dan memenuhi undangan perkawinan menunjukkan sebagai orang yang gemati (penuh perhatian) dan entengan (suka menolong), sebagai balasanya orang yang menyumbang tersebut mudah mendapatkan balasan dan diperhatikan pula oleh lingkungan sosialnya sehingga pada saat membutuhkan pertolongan akan segera mendapat bantuan bila dibandingkan dengan mereka yang kurang aktif dalam aktifitas sosialnya.

Status, kedudukan, dan pangkat dalam sistem hubungan timbal balik yang bersifat pamrih ini akan mempengaruhi jumlah banyak sedikitnya rekan dalam melaksanakan hubungan pertukaran pemberian. Malinowski (1992:91) menjelaskan, “the number of partner a man has varies with his rank and importance…a man would naturally know to what number of partners he was entitled by his rank and position” (jumlah rekan setiap orang berbeda-beda dengan pangkat dan kepentingan mereka…setiap orang secara alamiah akan tahu berapa jumlah rekan yang telah mereka dapat dengan pangkat dan posisi mereka).

Sistem hubungan timbal balik dalam pemberian ini telah menjadi suatu pranata yang kuat, serta membentuk suatu prosedur yang rumit. Marcel Mauss menyebutkan ada tiga macam kewajiban dalam pemberian, yaitu kewajiban Sistem hubungan timbal balik dalam pemberian ini telah menjadi suatu pranata yang kuat, serta membentuk suatu prosedur yang rumit. Marcel Mauss menyebutkan ada tiga macam kewajiban dalam pemberian, yaitu kewajiban

…Pada prinsipnya pemberian-pemberian selalu diterima dan selalu disukuri. Anda harus mengatakan rasa sukur anda atas makanan yang telah dipersiapkan untuk anda. Tetapi pada saat yang sama, anda menerima sebuah tantangan. Anda menerima pemberian “dari punggung”. Anda menerima makanan yang diberikan kepada anda karena anda bermaksud untuk menerima tantangan untuk membuktikan bahwa anda bukanlah seseorang yang tidak ada harganya... .

Dalam konteks sumbangan pada acara pernikahan, pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa para tamu undangan harus selalu bersyukur atas hidangan pesta yang dipersiapkan untuk mereka. Akan tetapi hal ini sebenarnya merupakan suatu tantangan bagi para tamu undangan untuk membalasnya yaitu dengan memberikan sumbangan kepada pihak yang mengadakan hajat, serta mengadakan pesta pada saat giliran mereka mempunyai hajat agar tidak dikatakan sebagai orang yang tidak berharga atau orang yang rendah martabatnya. Kegagalan untuk memberi atau menerima sama dengan kegagalan untuk membalas pemberian, yang sama artinya dengan kehilangan rasa harga diri dan kehormatan, lebih lanjut Mauss (2005: 59-

60) mengemukakan bahwa ”orang yang tidak dapat membayar hutang atau pothlach , kehilangan kedudukannya dalam jenjang sosial dan bahkan kedudukannya sebagai orang bebas”. Marcel Mauss (1992: 16) juga mengatakan:

Kewajiban untuk memberi hadiah tidaklah kurang pentingnya. Jika kita memahami hal ini, maka kita seharusnya juga mengetahui mengapa manusia sampai melakukan tukar menukar benda satu dengan yang lainnya. Kita semata-mata akan menunjukkan sejumlah fakta. Menolak untuk memberi hadiah, atau lalai mengundang, adalah--sama dengan menolak untuk menerima--sama dengan membuat suatu pernyataan perang; ini sama dengan suatu penolakan terhadap saling berhubungan dan persahabatan. Sekali lagi, seseorang memberikan karena didorong untuk melakukan hal itu, karena si penerima mempunyai semacam hak pemilikan atas segala sesuatu yang menjadi milik si donor. Hal ini dinyatakan dan dibayangkan sebagai semacam ikatan sosial.

Ikatan sosial yang dihasilkan dari sistem timbal balik dalam pemberian dan penerimaan juga dijelaskan oleh Aafke .E. Komter (2005:116-117), yang menjelaskan bahwa, ”social ties are created, sustained and strengthened by means of gift. Acts of gift exchange are at the basis of human solidarity”, (hubungan sosial diciptakan, ditopang dan diperkuat oleh pemberian. Aktifitas tukar menukar pemberian adalah dasar dari solidaritas manusia). Labih lanjut Komter (2005: 195) menjelaskan; “the principle of reciprocity underlying gift exchange proved to be the fundament of human society. It contains to moral basis for the development of social ties and solidarity because it’s implicit assumption is the recognition of the other person as a potentially” (prinsip dari hubungan timbal balik mendasari pertukaran pemberaian yang dibuktikan menjadi dasar masyarakat manusia. Ini berisi dasar moral dari perkembangan ikatan sosial dan solidaritas karena ini adalah asumsi yang harus dipatuhi dari pengkuan orang lain sebagai suatu penggabungan).

Tidak dapat dipungkiri jika dalam sistem sumbangan yang menjadi suatu pranata yang kuat dan penuh makna ini, di dalamnya juga terdapat konflik. Konflik terjadi karena ketidak konsisitenan dari pada pelaksanaan aturan timbal baliknya. Aafke .E. Komter (2005:30-31) menjelaskan,

different between people’s attitudes to wards things may be the source of disagreeable misunderstandings and serious disputes. Conflicts may arise between people when things represent a different value to them or embody different sets of expectations and different course of action that need to be undertaken

Dari pernyataan di atas dapat dipahami jika perbedaan diantara orang terhadap barang mungkin menjadi sumber dari ketidak setujuan salah paham dan perselisihan yang serius. Konflik mungkin timbul diantara orang saat benda menunjukkan suatu perbedaan nilai untuk mereka atau aturan yang menjadi perbedaan dari harapan dan perbedaan jalan dari aktivitas yang dibutuhkan untuk dilakukan.

Katherine Jellison (2007:408) dalam menanggapi analisis Louise Pubrick mengemukakan, “Purbrick demonstrates that the meaning of a wedding gift depends Katherine Jellison (2007:408) dalam menanggapi analisis Louise Pubrick mengemukakan, “Purbrick demonstrates that the meaning of a wedding gift depends

Margaret .M. Poloma (1994:69-70) dalam analisinya terhadap pemikiran Homans menjelaskan bahwa “berbagai hubungan serta perjenjangan dalam masyarakat harus sesuai dengan apa yang disebut Homans sebagai distribusi keadilan (distributive justice)”. Ketika sedang berinteraksi orang mengharapkan ganjaran mereka harus seimbang dengan biayanya. Bilamana ganjaran-ganjaran tersebut kelak tidak sesuai lagi dengan distribusi keadilan itu, maka kita akan berada dalam situasi ketidak adilan atau ketimpangan dalam distribusi ganjarang.

Kuatnya sistem pranata dari hubungan timbal balik pemberian dan penerimaan serta sistem yang telah menjadi kebiasaan dalam kehidupan masyarakat, menjadikan sistem ini akan terus berlangsung. Marcel Mauss (1992: 16-17) menjelaskan, ”dalam saling menerima dan memberi hadiah-hadiah yang berlangsung tetap dan terus menerus, dan dapat kita namakan sebagai masalah spiritual yang meliputi orang-orang, benda-benda, dan unsur-unsur ini beredar dan beredar kembali diantara klen-klen dan individu-individu, pangkat-pangkat, jenis kelamin dan generasi-generasi”. Lebih lanjut Marcel Mauss (1992:136) mengemukakan bahwa,