SATIRE SOSIAL DALAM BALUTAN EFEK GERR KA

SATIRE SOSIAL DALAM BALUTAN
EFEK GERR KARYA PUTU WIJAYA
(SEBUAH ESAI KRITIK PRAGMATIK)
Disusun guna memenuhi tugas Kritik Sastra

Oleh:
Mohammad Nurofik
(07410803)

PROGDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
IKIP PGRI SEMARANG
2012

SATIRE SOSIAL DALAM BALUTAN EFEK GERR KARYA PUTU WIJAYA
(SEBUAH ESAI KRITIK PRAGMATIK)
Oleh: Mohammad Nurofik

Bagaimana bila ada mayat yang tiba-tiba bangun dalam prosesi penguburanya?
Kaget, pasti iya. Bingung, tenu saja. Begitu juga yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam
drama karya putu wijaya ini. Mereka pada heboh sampai memanggil aparat dan pak

lurah karena pak hansip sudah tidak dapat lagi mengatasinya.
Namun bagi putu wijaya, ekspresi semua tokoh dalam naskah dramanya ini
cukup dicerminkan dengan ungkapan “gerr”. Secara leksikal “gerr” saja, tidak memiliki
arti apapun. Berbeda ketika mungkin dilogikakan sebagai kata dasar dari kata ulang
“gegerr” atau bisa pula dilanjutkan dengan kata “gerregetan”. Selain dua kemungkinan
itu, bunyi “gerr” juga dapat ditafsirkan sebagai ekspresi tertawa yang ditahan.
Judul yang bukan berupa kata, melainkan sebuah cerminan ekspresi ini
membuat efek penasaran bagi pembaca. Namun rasa penasaran itu tidak dapat terjawab
bila karya putu wijaya yang satu ini tidak dipahami secara mendalam. Sederhananya,
makna judulnya tidak serta merta dapat dimengerti hanya dengan melihat arti secara
leksikal. Sehingga setelah muncul rasa penasaran, pembaca juga akan merasa bingung.
Efek-efek seperti penasaran dan bingung itulah yang kemudian menghiasi isi
dari naskah drama ini. Selain efek yang ditimbulkan oleh judul, efek semacam itu juga
ditunjukan melalui penulisan alur, latar, tokoh atau penokohan. Kemudian
bagaimanakah pesan satire sosial yang amat kental dapat ditafsirkan dari akhir cerita?
Jika banyak efek penasaran dan membingungkan semacam itu. Padahal, satire sosial
berarti ditujukan untuk khalayak ramai, bahkan bias jadi masyarakat awam yang tidak
tahu menahu soal sastra dan kleniknya.
Kritik pragmatig memandang karya sastra sebagai sesuatu yang dibangun untuk
mencapai efek-efek tertentu pada audien (pendengar dan pembaca), baik berupa efek

kesenangan, estetis, pendidikan maupun efek lainya. Kritik ini cenderung menilai karya
sastra menurut berhasil tidaknya karya sastra tersebut mencapai tujuan tersebut
(Pradopo, 1999:26). Sementara tujuan karya sastra pada umumnya: edukatif, estetis,
atau politis.

Sedangakn dalam “gerr” karya putu wijaya, efek yang muncul adalah penasaran
dan kebingungan seperti yang sudah disebutkan di atas. Sedangkan tujuan amanat yang
dapat ditangkap adalah satire sosial.
Pada tahapan alur, efek penasaran dan kebingungan juga muncul. Karena belumbelum tokoh utama yaitu Bima, mati.
“BIMA TIBA-TIBA MATI. SELURUH KELUARGANYA BERKABUNG
DAN MERUBUNG DI SEKITAR PETI MATI (Wiajaya, tanpa tahun : 1)”.
Beralih sejenak ke latar. Karena mau tidak mau, ini harus dibahas. Usaha
menggedor mental penonton dengan menyuguhkan alur yang tiba-tiba memunculkan
peristiwa histeris ternyata menyisakan sebuah celah pada lanjutan kutipan di atas.
“DUKA, SUKA, BERBAGAI PERASAAN MASING-MASING BERDESAKDESAKAN DI SEKITAR RUANGAN ITU. AYAH, IBU, ISTRI, ANAK,
SAUDARA, TETANGGA, TEMAN, TAMU DAN PETUGAS KEAMANAN
SEMUANYA LENGKAP HADIR. TAK LAMA LAGI BIMA AKAN
DIKUBUR. SEMUA ORANG KARENA SPONTANITAS, PERNYATAAN
YANG JUJUR MAUPUN TUGAS, SERENTAK MENANGIS BERSAMASAMA DALAM ERANGAN BERSAMA. MEREKA MENGUMPULKAN
SEBUAH GELOMBANG YANG BESAR UNTUK MENGGULINGKAN

PETI MATI ITU KE DALAM LIANG YANG TELAH MENGANGA. HANYA
KEDUA PENGGALI KUBUR YANG TEGAK DI SISI PETI DENGAN
PACUL DAN SEKOP TAMPAK TENANG. MEREKA MENUNGGU
DENGAN SABAR UPACARA MENANGIS ITU YANG TELAH MENJADI
SANTAPAN MEREKA SETIAP HARI. DENGAN DINGIN DAN PERASAAN
YANG JAUH DARI PERISTIWA ITU MEREKA JUGA MENGISAP DAN
MENGEPULKAN ASAP ROKOKNYA (Wijaya, tanpa tahun: 1)”.
Terlihat jelas penulis ingin membawa audiens untuk mau-tidak mau masuk
dalam efek histeris yang ditimbulkan dari kematian Bima dan tangisan-tangisan para
pelayatnya yang dari berbagai komponen masyarakat yang tentunya memiliki kelas
sosial berbeda. Peristiwa tersebut entah terjadi dimana? Hanya ada keterangan sebuah
ruagan, ruangan man? Aula atau ruang tamu? Bahkan yang lebih mengejutkan tiba-tiba
ruangan itu berubah wujud menjadi tempat pemakaman. Tepatnya jadi liang lahatnya si
Bima, tokoh utama. Latar yang tidak jelas itu berlanjut sampai akhir cerita, bahkan tak
ada sedikitpun keterangan kuburanya di daerah mana. Sekali lagi pengarang
menunjukan eksistensi untuk membangun latar suasana yang

lebih mudah

menimbulkan efek pada audiense bukan sekedar tempat yang terang-terangan nama

jalan dan daerahnya. Namun dari itu, sebenarnya peristiwa tersebut dapat ditafsirkan
bahwa siapapun orangnya, apapun jabatanya, setinggi apapun status sosialnya, dan
dimanapun tempatnya pasti semuanya berakhir pula di liang lahat. Pertanyaanya,

apakah satire sosial ini akan mampu diterjemahkan oleh audiense yang tidak benarbenar serius menafsirkanya? Masih ingat kan, satire sosial berarti sasaranya adalah
orang banyak, masyarakat atau tidak melulu orang yang serius mengambil makna dari
sebuah karya sastra.
Sekarang kembali ke alur. Alur yang ditampilkan adalah maju. Prosesi
pemakaman yang menampilkan berbagai peristiwa dari percakapan penggali kubur
yang ngalor ngidul soal asmara orang pinggiran.
“Penggali kubur: Hee Bob, percuma kalau cuma ngubek-ngubek Tuty dan Yeni.
Percuma kalau cuma nyimpan potret. Bukan kita yang menyimpan cinta, tapi cinta kita
disimpan oleh Si Tuty, Yeni, Maria, Ahomy, Kiky, dan lain-lainnya. Ini baru namanya
sukses, man. Yu no? (Wijaya, tanpa tahun : 4)”.
Dalam keadaan histeris alur menuju pada peristiwa percakapan yang
memunculkan efek kesenangan. Melucu dalam suasana gadu semacam itu entah efektif
atau tidak, yang sudah tau pasti tertawa yang belum tahu entah mungkin masih
penasaran atau kebingungan.
Efek-efek lain yang ingin ditampilkan diantaranya efek simpatik yang entah
dibua-buat sekalianya.

“Nenek: ... Apa gunanya menangis tiga hari tiga malam kalau dalam hati kalian
setuju, ini bukan sandiwara Nduk! Mereka tidak berani bicara karena penakut,
akulah yang mewakili mereka. Aku tidak setuju semua ini. Tidak. Ini tidak adil!
Coba bayangkan. Cucu saya ini anak-anaknya masih kecil-kecil. Penyakitan
lagi. Dia sudah berjuang…(tidak dapat melanjutkan kata-katanya)sampai
pembacaan puisi dari anaknya (Wijaya, tanpa tahun : 5)”.
Ikhlas tapi tidak ikhlas itulah kepura-puraan. Sang nenek tidak mau anaknya meninggal
lantaran ditinggali cucu yang penyakitan. Ada rasa sinis disamping rasa haru. Inilah
simpatik yang dibuat-buat yang juga tidak mustahil terjadi dimasyarakat kita. Efek
simpatik yang dibuat-buat ini tidak akan dipahami tanpa keseriusan.padahal penonton
juga harus tertawa dengan efek kesenanganya.
Lain lagi dengan efek dramatis yang disuguhkan oleh tokoh anak bima dengan
meminta menyanyi dan deklamasi untuk ayahnya sebelum dikubur. Perhatikan
penggalan dialog berikut:
NENEK : Sudah diam dulu kamu. Biar anak-anak ini diberi kesempatan. Bagaimana
tadi? Kamu mau menyanyi?
ANAK : Nggak, nggak jadi.

NENEK : Lho kenapa? Tadi sudah minta, ini kesempatan kalian yang terakhir, besok
tidak bisa lagi melihat wajah bapak.

ANAK : Saya berubah pikiran Nek.
NENEK : Ya kenapa?
ANAK : Tidak kenapa-kenapa.
NENEK : Ah pasti ada apa-apanya. Takut ibumu, takut sama kadal itu
menunjuk penggali kubur)
Kalau mau buka-buka saja.
(dia mau membuka sendiri tapi susah)
Pokoknya kalau mau akan dibuka.
ANAK : Tidak, tidak jadi Nek, terima kasih.
NENEK : Kenapa?
ANAK : Itu kan hak saya?
NENEK : Ya makanya, kalau mau dibuka, akan nenek buka.
ANAK : Maksud saya, hak saya untuk tidak mau membukanya.
NENEK : Aku tidak mengerti. Kamu juga?
ANAK : Saya mau.
NENEK : Mau apa?
ANAK : Mau deklamasi dan peti itu harus dibuka.
NENEK : Kamu lebih jujur dari kakakmu itu. (kepada penggali kubur) Hee, sini, coba
buka.
Semua orang termasuk Anak, Istri, Ibu dan Bapak bahkan pak lurah minta di beri

kesempatan untuk sekedar tauziah. Boleh jadi mengeluarkan pendapat begitu sajalah.
Itu semua adalah satire bahwa masyarakat sekarang memang lebih suka berebut hak
lebih dulu, ketimbang malakukan kewajiban segera menguburkan orang mati.
Semua satire dalam naskah drama ini terselubung oleh efek-efek yang menteror
kesadaran. Bahkan penontok dibuat tidak sadar sampai pada klimaksnya ketika Bima
bangun dari kubur. Tokoh utama yang satu ini hanya diam tidak mengeluarkan sepatah
katapun. Baru kemudian setelah ia bangun dari kbubur yang kemudian membeuat geger
semua pelayat termasuk juga penggali kubur.
“BIMA : Sajak siapa itu, Nak?
BELUM ADA YANG MEMPERHATIKAN. ANAK MASIH MENYAMBUNG
KATA-KATANYA DENGAN MENGUCAPKAN TANGGAL PEMBUATAN
SAJAK, PENGARANG SERTA DARI BUKU MANA SAJAK ITU DIAMBIL
(Wijaya, tanpa tahun : 25)”.
Itulah saat Bima banun dan hidup kembali. Namun pada akhirnya bima di beri kain
merah untuk ganti. Sementara ada ulat-ulat mumi putih yang datang dan menggantikan
bima dukubur. Sedangkan Bima hanya berdiri tegar melihatinya.
Pertanyaanya sekarang, kenapa bimka harus mati dan hidup kembali, setelah
diganti baju merah ia menjadi tegar dan ada pengganti ratusan mumi putih untuk
dikubur?


Inilah satire, bahwa peristiwa tersebut dapat ditafsirkan bahwa dalam
masyarakat sekarang kejujuran sudah mati. Dan untuk menghidupinya kembali, butuh
keberanian. Sementara sebenarnya banyak kejujuran-kejujuran yang telah mati dan
terkubur juga dengan keberanian berbohong. Hanya anak-anak kecillah yang kadang
masih bisa jujur.
Namun sekali lagi bahwa satire sosial ditujukan untuk sosial, agar diketahui
masyarakat banyak. Namun bila penyampaianya secara implisit rumit dan penuh
dengan efek membingungkan, apakah dapat tercapai tujuan seacara optimal? Berbeda
jika naskah drama ini memang ditujukan kepada kaum terpelajar utamanya yang
jurusan linguistik, atau pemerhati sastra. Maka ini akan menjadi bekal yang cukup
untuk hidup bersama masyarakat untuk tetap gigih mempertahankan nilai-nilai keadilan
dan kejujuran.