KRISTALISASI PEMERINTAH DAERAH DAN DEWAN

KRISTALISASI PEMERINTAH DAERAH DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
DAERAH DALAM NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA DAN UUD 1945
Tugas Mata Kuliah Hukum Teori dan Hukum Konstitusi
Dosen Pengampu : Joko Setiono, S.H., M.Hum.
Program Studi Magister Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Kenegaraan

Sartika Intaning Pradhani

14/372987/PHK/08266

Sukiratnasari

13/357138/PHK/07691

Kardiansyah Afkar

14/371883/PHK/08235

Aldo Rico Geraldi

14/371938/PMK/08256


Wafda Hadian Umam

14/371120/PHK/08295

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2014

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hubungan antara Pusat dan Daerah dalam praktiknya sering menimbulkan upaya tarik
menarik kepentingan (spanning of interest) antara kedua satuan pemerintahan. 1 Terlebih dalam
negara kesatuan,upaya pemerintah pusat untuk selalu memegang kendali atas berbagai urusan
pemerintahan sangat jelas. Kecenderungan negara berbentuk kesatuan pemegang otoritas adalah
Pusat, kekuasaan bertumpu di pusat pemerintahan. Kewenangan yang diberikan pusat kepada
daerah terbatas.
Dalam negara berbentuk federal negara-negara bagian relatif memiliki ruang gerak yang

leluasa untuk mengelola kekuasaan yang ada pada dirinya, karena kekuasaan negara
terdesentralisir ke negara bagian. Karakter pada negara federal adalah desentralistis dan lebih
demokratis. Terdapat paling kurang tiga bentuk hubungan pusat dan daerah. Pertama, hubungan
pusat dan daerah menurut dasar dekonsentrasi teritorial. Kedua, hubungan pusat dan daerah
menurut dasar otonomi teritorial. Ketiga, hubungan pusat dan daerah menurut dasar federal.2
Pada bentuk negara kesatuan seperti Indonesia, Pusat bertanggung jawab menjamin
keutuhan negara kesatuan, menjamin pelayanan yang sama untuk seluruh rakyat negara (asas
equal treatment), menjamin keseragaman tindakan dan pengaturan dalam bidang-bidang
tertentu (asas uniformitas). Upaya mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial sangat
dipengaruhi oleh corak susunan masyarakat. Pada masyarakat majemuk upaya mewujudkan
keadilan dan kesejahteraan sosial harus memperhatikan corak-corak dan susunan setempat.
Perhatian terhadap perbedaan dan kekhususan tersebut selanjutnya mengharuskan adanya
perbedaan pelayanan dan cara penyelenggaraan pemerintahan. Tuntutan penyelenggaraan
pemerintahan semacam ini hanya mungkin terlaksana dalam satu pemerintahan desentralistik.3
Hubungan pusat dan daerah didasarkan pada pengaturan dalam Undang Undang Dasar
Nergara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu untuk melihat hubungan pusat dan daerah
1

Huda Nikmatul. 2009, “Hukum Pemerintahan Daerah”, Nusa Media, Bandung, hlm 1
Manan, Bagir. 2005, “Menyongsong Fajar Otonomi Daerah”, PSH UII, Cetakan. 4, Yogyakarta, hlm 33

3
Manan, Bagir. 1994, “Hubungan antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945”, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, hlm 17
2

sebelum dan sesudah amandemen. Ketentuan Pasal 18 UUD 1945 (sebelum amandemen)
mengenai hubungan pusat dan daerah mengandung beberapa prinsip: 4
1. Prinsip desentralisasi teritorial Wilayah Negara Republik Indonesia akan dibagi-bagi
dalam satuan-satuan pemerintahan yang tersusun dalam daerah besar dan kecil
(grondgebeid). Dengan demikian UUD 1945 tidak mengatur mengenai desentralisasi
fungsional.
2. Perintah kepada pembentuk undang-undang (Presiden dan DPR) untuk mengtur
desentralisasi territorial tersebut dalam

Undang-Undang (Undang- Undang organik).

3. Perintah kepada pembentuk undang- undang dalam menyusun undang-undang tentang
desentralisasi territorial harus:
a. Memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan
negara.

b. Memandang dan mengingat hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat
istimewa.
Berdasarkan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun
1945) setelah amandemen, sistem pemerintahan telah memberikan keleluasaan kepada kepala
daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah menekankan
pentingnya prinsip-prinsip demokrasi, peningkatan peran serta masyarakat dan pemerataan
keadilan dengan memperhitungkan berbagai aspek yang berkenaan dengan potensi dan
keanekaragaman

antardaerah.5

Pelaksanaan

otonomi

daerah

sangat

penting


karena

perkembangan lokal, nasional, regional dan internasional di berbagai bidang ekonomi, politik
dan kebudayaan terus meningkat.
Desentralisasi di Indonesia setelah amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dijalankan dan dikembangkan dalam dua nilai dasar, yaitu unitaris dan
nilai desentralisasi teritorial. Nilai dasar unitaris diwujudkan dalam pandangan Negara Kesatuan
Republik Indonesia tidak akan mempunyai kesatuan pemerintah lain di dalamnya yang bersifat
4
5

hlm .xi.

Ibid, hlm 156.
Sabarno Hari, 2007, “Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa”, Sinar Grafika, Jakarta,

Negara. Artinya kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan Negara Republik Indonesia
tidak akan terbagi di antara kesatuan pemerintahan. Nilai dasar desentralisasi territorial
diwujudkan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah dalam bentuk otonomi.6

B. Rumusan Masalah
Kajian mengenai hubungan pusat dan daerah akan dipaparkan lebih lanjut dalam konteks
bentuk negara dalam makalah ini, sekaligus akan mengkaji:
1. Bagaimana pola hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Republik Indonesia?
2. Apakah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan lembaga legislatif di Republik
Indonesia?

BAB II
6

Ibid, hlm 3

TINJAUAN PUSTAKA
A. Negara Kesatuan
Bangsa dan Negara Indonesia terdiri atas berbagai macam unsur yang membentuknya
dan merupakan suatu kesatuan dalam arti keseluruhan unsur-unsur negara yang bersifat
fundamental.7 Bentuk Negara Kesatuan secara eksplisit dituangkan dalam Pembukaan UndangUndang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa dan perjunangan pergerakan kemerdekaan
Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan
rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu,
berdaulat dan adil. Selain itu, Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 juga secara tegas

menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.
Sebagai Negara Kesatuan, Negara harus dapat mengatasi semua golongan masyarakat,
tidak boleh memihak pada golongan masyarakat tertentu dan harus bekerja demi kepentingan
seluruh rakyat.8 Konsep Negara Kesatuan sering dibandingkan dengan Konsep Negara Federal.
Perbedaan utama antara Negara Kesatuan dan Negara Federal adalah sumber kewenangan.
Dalam Negara Kesatuan, sumber kewenangan berasal dari Pemerintah Pusat, sedangkan dalam
Negara Federal, sumber kewenangan berasal dari negara bagian. Dengan demikian, dalam
Negara Kesatuan, tidak ada Negara dalam Negara karena Negara Kesatuan merupakan Negara
yang bersusunan tunggal yang diorganisasikan di bawah Pemerintah Pusat. 9 Dari sisi
kedaulatan, Negara Kesatuan tidak mengenal pembagian kedaulatan karena kekuasaan

7

Kaelan, 2013, “Negara Kebangsaan Pancasila: Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis dan Aktualisasinya”,
Paradigma, Yogyakarta, hlm. 284-285.
8
Ibid., hlm. 285.
9
Enny Nurbaningsih, “Aktualisasi Pengaturan Wewenang Mengatur Urusan Daerah Dalam Peraturan
Daerah, Studi Periode Era Otonomi Seluas-Luasnya”, Disertasi, Program Dokter Ilmu Hukum Fakultas Hukum

UGM, hlm. 36.

pemerintah pusat tidak dibatasi oleh Pemerintah Daerah. 10 Oleh karena, ciri yang melekat dalam
negara kesatuan adalah supremacy of the central parliament dan absence of subsidiary
sovereign bodies, sehingga dalam negara kesatuan hanya terdapat satu badan legislatif. 11 Pada
masa reformasi, ada keinginan untuk menjadikan Negara Republik Indonesia menjadi Negara
Federal. Namun keinginan tersebut ditolak oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat karena
konsep Negara Federal menghilangkan esensi dari Persatuan Indonesia sebagaimana tertuang
dalam Pancasila sila ketiga. Solusi untuk menjembani permintaan menjadi Negara Federal demi
meningkatkan kesejahteraan rakyat adalah dengan melalui penerapan desentralisasi.
B. Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah
Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terjadi sebagai akibat dari
adanya pemencaran penyelenggaraan negara dan pemerintahan atau pemencarn kekuasaan
(spreading van macht) ke dalam satuan-satuan pemerintahan yang lebih kecil yang dalam
praktiknya dapat diwujudkan dalam berbagai macam bentuk, seperti dekonsentrasi teritorial,
satuan otonomi teritorial, atau federal. Berdasarkan hal tersebut, maka terdapat tiga bentuk
hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pertama, hubungan pusat dan
daerah menurut dasar dekonsentrasi teritorial. Kedua, hubungan pusat dan daerah menurut dasar
otonomi teritorial. Dan yang ketiga, hubungan pusat dan daerah menurut dasar-dasar federal.12
Dalam hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menurut dasar dekonsentrasi

teritorial, bukanlah merupakan hubungan antara dua subyek hukum (publiek rechtspersoon)
yang masing-masing mandiri. Satuan pemerintahan teritorial dekonsentrasi tidak mempunyai
weweanang mandiri. Satuan teritorial dekonsentrasi merupakan satu kesatuan weweanang
dengan departemen atau kementerian yang bersangkutan. Dan sifat wewenang satuan
pemerintahan teritorial dekonsentrasi adalah delegasi atau mandat, tidak ada wewenang yang
berdasarkan atribusi.13
10

C.F. Strong, 1966, “Modern Political Constitution: An Introduction to the Comparative Study of Their
History and Existing Form”, The English Book Society and Sidgwick & Jackson Limited, London, hlm. 92.
11
Enny Nurbaningsih., Op Cit, hlm. 38.
12
Muhammad Fauzan. 2006, “Hukum Pemerintahan Daerah”, UII Press, Yogyakarta, hlm 76-77.
13
Ibid.,hlm. 77

Sedangkan dalam hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menurut dasar
otonomi teritorial, satuan otonomi teritorial merupakan satu satuan mandiri dalam lingkungan
negara kesatuan yang berhak melakukan tindakan hukum sebagai subyek hukum untuk

mengatur dan mengurus fungsi pemerintahan (administrasi negara) yang menjadi urusan rumah
tangganya. Dalam otonomi teritorial, pada dasarnya seluruh fungsi pusat yang kemudian
dipencarkan kepada satuan-satuan otonomi, dan hubungan pusat dan daerah di bidang otonomi
bersifat administrasi negara.14
Hubungan menurut dasar otonomi teritorial adalah konsep yang terdapat dalam negara
kesatuan (eenheidstaats) yang satuan otonomi teritorialnya merupakan satuan pemerintahan
yang mandiri, merupakan subyek hukum yang berhak melakukan tindakan hukum. Dalam
negara federal, konsep hubungan antara pusat dengan daerah, keduanya sama-sama merupakan
subyek hukum yang berdiri sendiri, yang mempunyai kewenangan mandiri. 15 Persoalan
hubungan pusat dan daerah dalam rangka kesatuan dengan satuan otonomi bersumber pada
hubungan kewenangan, hubungan keuangan, hubungan pengawasan, dan hubungan yang timbul
dari susunan organisasi pemerintahan di daerah.
1. Hubungan Kewenangan
Dalam pasal 10 ayat 3 Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
telah ditentukan urusan apa saja yang termasuk kewenangan Pemerintah Pusat yaitu antara lain:
politik luar negeri; pertahanan; keamanan; moneter dan fiskal nasional; yustisi dan agama.
Sedangkan pasal 10 Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
menegaskan bahwa pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya kecuali urusan pemerintahan yang ditentukan sebagai urusan pemerintahan
pusat. Pemerintah Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus

sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Urusan
kewenangan daerah terdiri dai urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib
adalah suatu urusan yang berkaitan dengan pelayanan dasar yang meliputi pendidikan dasar,
kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar. Sedangkan
urusan pemerintahan yang bersifat pilihan terkait erat dengan potensi unggulan dan kekhasan
daerah berdasar penjelasan umum UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.16
14

Manan Bagir., Op Cit, hlm. 32.
Muhammad Fauzan., Op. Cit. hlm.78
16
Martitah. 2008,” Hukum Tata Negara”, PKUPT UNNES/Pusat Penjamin Mutu Panitia Penulisan Buku
Ajar/ Buku Teks UNNES, Semarang, hlm.93-95,
15

2. Hubungan Keuangan
Dengan otonomi luas yang dimiliki daerah, maka adanya aspek kemampuan daerah untuk
membiayai urusan-urusan yang menjadi kewenangannya. Dengan keberagaman kemampuan
financial, maka dibuatlah sebuah sistem perimbangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah dengan dibuat Undang-Undang Perimbangan Keuangan antara pusat dan daerah pada
Pasal 5 Undang-Undang No.33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah17, yang didasarkan pada prinsip money follow function (pendanaan mengikuti
fungsi pemerintahan). Dana perimbangan terdiri atas dana bagi hasil, dana alokasiumum dan
dana alokasi khusus. Dana bagi hasil bersumber dari pajak dan hasil sumber daya alam. Dana
alokasi umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan
tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam
rangka desentralisasi. Sedangkan dana alokasi khusus adalah dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu
mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas
nasional.18
3. Hubungan Pengawasan
Dari hubungan antara pusat dan daerah, pengawasan merupakan pengikat kesatuan, agar
kebebasan berotonomi tidak bergerak terlalu jauh sehingga dapat mengurangi bahkan
mengancam kesatuan. Pada umumnya sasaran pengawasan terhadap pemeriuntah adalah
pemeliharaan atau penjagaan agar negara hukum kesejahteraan dapat berjalan dengan baik dan
dapat pula membawa kekuasaan pemerintah sebagai penyelenggara kesejahteraan masyarakat
kepada pelaksanaan yang baik pula dan tetap dalam batas kekuasaannya.19
Tolok ukur pengawasan pemerintah adalah hukum yang mangatur dan membatasi
kekuasaan dan tindakan pemerintah dalam bentuk hukum material maupun hukum formal , serta
manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat. Adanya pencocokan dan perbuatan dan tolok ukur yang
telah ditetapkan, tindakan pencegahan untuk tanda-tanda penyimpangan, diadakan koreksi
17

Baca Pasal 5 Undang-Undang No.33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah, menyatakan bahwa “Penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri atas pendapatan
daerah dan pembiayaan. Pendapatan daerah tersebut bersumber dari: 1) Pendapatan asli daerah; 2) Dana
perimbangan; 3) Dan lain-lain pendapatan. Pendapat asli daerah terdiri atas : pajak daerah, retribusi daerah,
hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang syah.”
18
Martitah,... Op Cit ,.. hlm 95.
19
SF. Marbun. 1997, “Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia”, Liberty,
Yogyakarta, hlm.12.

terhadap tindakan penyimpangan melalui tindakan pembatalan, pemulihan terhadap akibat yang
ditimbulkan dan mendisiplinkan pelaku penyimpangan.20
4. Hubungan Dalam Susunan Organisasi Pemerintahan Daerah
Susunan organisasi pemerintahan daerah merupakan salah satu aspek yang dapat
mempengaruhi hubungan antara pusat dan daerah. Pengaturan dan pelaksanaan titik berat
otonomi sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: sistem; rumah tangga daerah; ruang
lingkup urusan pemerintahan; dan sifat dan kualitas suatu urusan.21 Pembagian kewenangan
antara pusat dan daerah akan sangat tergantunga pada karakteristik dari masing-masing negara.
Secara teoritis Smith membagi kewenangan tersebut menurut dua sistem yaitu sistem ganda
(dual system) dan sistem gabungan (fused system). Dalam sistem ganda, pemerintah daerah
dijalankan secara terpisah dari pemerintah pusat atau dari eksekutifnya di daerah. Sedangkan
dalam sistem gabungan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah dilaksanakan bersama-sama
dalam satu unit, dengan seorang pejabat pemerintah yang ditunjuk untuk mengawasi jalannya
pemerintahan setempat.22
C. Desentralisasi
Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik, yang artinya negara
Indonesia sebagai suatu kesatuan yang utuh dari negara yang terdiri dari wilayah provinsi,
kabupaten dan kota. Pembagian menjadi daerah-daerah tersebut tidak mengakibatkan terjadinya
pembagian kedaulatan atau dengan kata lain tidak ada Negara lain di dalam wilayah Republik
Indonesia. Pembagian tersebut hanya pada sistem pemerintahannya, sehingga menjadi satuan
pemerintahan nasional (pusat) dan satuan pemerintahan sub nasional (daerah), yaitu provinsi
dan kabupaten dan kota.23
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terbentang dari Sabang
sampai Merouke dan terdiri dari berbagai suku bangsa, tentu bukan merupakan pekerjaan yang
mudah untuk mencari format ideal bagi desentralisasi politik dan otonomi daerah. Dengan
derajat heterogenitas geografis maupun sosial-budaya yang cukup tinggi, maka daerah
cenderung menuntut ruang kekuasaan lebih besar dari yang lazim disediakan oleh pusat negara
20

Irfan Fachruddin. 2004, “Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah”, Alumni,
Bandung, hlm.90-91.
21
Manan , Bagir., Op Cit, hlm.194-195.
22
Nikmatul Huda., Op Cit,. hlm.25.
23
“Draf Naskah Akademik Pemerintahan Daerah”, hlm. 19.

kesatuan. Maka desentralisasi akan selalu menjadi masalah, jika fondasi ketatanegaraanya tidak
dibenahi.24
Desentralisasi merupakan penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada daerah
otonom dalam kerangka Negara Kesatuan, dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, memberi kewenangan yang besar kepada daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan aspirasi masyarakat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan daerah (Peraturan Daerah) dan bukan merupakan
suatu kedaulatan tersendiri seperti dalam sistem federal. Asas desentralisasi berfungsi untuk
mengakomodasi keanekaragaman masyarakat, sehingga terwujud variasi struktur dan politik
untuk menyalurkan aspirasi masyarakat setempat 25. Menurut Henry Maddick, desentralisasi
mencakup proses dekosentrasi dan devolusi, merupakan pengalihan kekuasaan secara hukum
untuk melaksanakan fungsi spesifik maupun residual yang menjadi kewenangan pemerintah
daerah.26
Indonesia selain menganut model desentralisasi simetris (seragam) dan mengakui pula
desentralisasi asimetris. Pengaturan tentang desentralisasi asimetris ditemukan dalam Pasal 18A
ayat (1), Pasal18B ayat (1 & 2). Dalam Pasal 18A ayat (1) diamanatkan bahwa “Hubungan
wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota,
diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Lebih
lanjut dalam Pasal 18B ayat (1 & 2) diatur bahwa satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa diakui dan dihormati. 27
Selanjutnya berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004, dikenal 2 sistem otonomi daerah,
pertama, otonomi khusus (dEsentralisasi asimetris) seperti yang terjadi provinsi DI Yogyakarta,
Papua, Aceh dan yang kedua otonomi daerah. Dalam sistem otonomi khusus, mekanisme
berjalan menurut bingkai perundang-undangan yang dirancang dengan memperhatikan kekhususan tertentu secara definitif. Pertimbangan lain ialah karakteristik dimiliki daerah tertentu,
terutama aspek rendahnya kualitas hidup, ketertinggalan, dan aspek politis.

24

Cornelis Loy, Abdul Gaffar Karim (Editor). 2003, “Kompleksitas Persoalan Otonomi daerah di Indonesia”,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. xxvii.
25
Bhenyamin Hoessein. 2005, “Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah, Pasang Surut Otonomi Daerah,
Sketsa Perjalanan 100 Tahun”, Yayasan Tifa, Jakarta, hlm. 198.
26
Ni’matul Huda. Op Cit., hlm.61-62.
27
Lihat ketentuan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 pasal 18A dan Pasal 18B.

Aspek politis Aceh dan Papua lebih dominan dibandingkan dengan provinsi lain karena
secara teoretis saat itu otsus diharapkan menjadi lem perekat kesatuan provinsi ini sebagai
bagian integral NKRI. Dalam terminologi teoretis, Mark Turner dan BC Smith menyebutnya a
glue of national integration28. Pemberian otonomi khusus kepada provinsi Papua dan Nangroe
Aceh Darussalam diawali oleh gerakan separatis/pemberontakan oleh Organisasi Papua
Merdeka dan Gerakan Aceh Merdeka. Tuntutan daerah yang diekspresikan lewat gerakan
separatis lebih sebagai tindakan koreksi guna memaksa Jakarta melakukan perubahan mendasar
format hubungan Jakarta dengan daerah ketimbang sebuah hasrat untuk memisahkan diri yang
memang inherent dalam setiap gerakan separatis.29
Pemberian otonomi secara luas kepada daerah-daerah merupakan salah satu instrument
pemersatu bangsa untuk mencapai stabilitas dan membuka kemungkinan bagi proses
demokratisasi secara menyeluruh. Di Spanyol melakukannya selepas meninggalnya Franco.
Jerman bahkan dipaksa menerima sebuah format federasi ketika sekutu menaklukannya dalam
perang Dunia ke II. Philipina, berusaha mengakhiri pemberontakan panjang di Mindanau
dengan merancang sebuah format hubungan khusus antara Manila dengan kawasan yang
dikuasai separatis Muslim ini.30 Stabilitasi sistem dapat tercapai melalui pengaturan politik dan
pemerintahan disentralisasi bahkan federatif karena didalam format yang ada dapat
mengakomodasi empat hal paling sensitif dalam dunia politik, yakni sharing of power, sharing
of revenue, empowering lokalitas serta pengakuan dan penghormatan terhadap identitas
kedaerahan.31

D. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

28

M Mas’ud Said, “Perlunya Disentralisasi Asimetris”, News Desentralisasi Asimetris - Prof. M. Mas'ud
Said, Ph.D.htm, diakses pada tanggal 28 January 2013.
29
Cornelis Loy, Abdul Gaffar Karim (Editor), Op cit., hlm. 12.
30
Ibid., hlm.17.
31
Ibid., hlm.17.

Dari sisi kedaulatan, Negara Kesatuan tidak mengenal pembagian kedaulatan karena
kekuasaan pemerintah pusat tidak dibatasi oleh Pemerintah Daerah. 32Dalam sebuah negara yang
menganut prinsip-prinsip kedaulatan rakyat adanya lembaga perwakilan rakyat merupakan
keharusan.33 Keberadaan lembaga perwakilan rakyat merupakan hal yang sangat esensial karena
ia berfungsi untuk mewakili kepentingan-kepentingan rakyat dan menampung aspirasi rakyat
yang kemudian dituangkan ke dalam berbagai macam kebijaksanaan umum.34
Dalam sistem pemerintahan demokrasi, lembaga perwakilan rakyat merupakan unsur
yang paling penting karena sistem demokrasi berasal dari ide bahwa warga negara seharusnya
terlibat dalam hal tertentu di bidang pembuatan keputusan-keputusan politik baik secara
langsung maupun melalui wakil-wakil mereka di lembaga perwakilan. 35 Perwakilan adalah
suatu konsep yang menunjukkan adanya hubungan antara wakil dengan pihak yang diwakili
(terwakili), dalam hal mana wakil mempunyai sejumlah wewenang yang diperoleh melalui
kesepakatan dengan pihak yang diwakilinya.36 Pada umumnya, lembaga perwakilan rakyat
mempunyai 3 (tiga) fungsi utama, yaitu satu, fungsi legislatif atau pembuat undang-undang
(UU); dua, fungsi kontrol; dan ketiga, fungsi perwakilan.37
Salah satu ciri yang melekat dalam negara kesatuan adalah supremacy of the central
parliament dan absence of subsidiary sovereign bodies, sehingga dalam negara kesatuan hanya
terdapat satu badan legislatif.38 Republik Indonesia adalah suatu Negara Kesatuan dengan
kedaulatan berada di tanga rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar (UUD). 39
UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD 1945). Dalam UUD 1946, dikenal ada dua lembaga perwakilan rakyat, yaitu Dewan
Perwakian Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Anggota DPR dipilih melalui
pemilihan umum dan anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.40

32

C.F. Strong, 1966, Op Cit., hlm. 92.
Dahlan Thaib, 2000, “DPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”, Liberty, Yogyakarta, hlm. 1.
34
Ibid., hlm. 1.
35
Lyman Tower Sarjen, 1981, “Ideologi Politik Kontemporer”, Gramedia, Jakarta, hlm. 44.
36
Dahlan Thaib, Op. Cit., hlm. 3.
37
Ibid., hlm. 3.
38
Enny Nurbaningsih, Op Cit., hlm. 38.
39
Lihat Pasal 1 ayat (1) dan (2) UUD 1945
40
Lihat Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 22C ayat (1) UUD 1945
33

Berdasarkan Pasal 20A ayat (1) UUD 1945, DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi
anggaran dan fugsi pengawasan. Implementasi dari fungsi legislasi DPR adalah DPR
memegang kekuasaan membentuk UU dan anggota DPR berhak mengajukan usul rancangan
undang-undang (RUU).41 Meskipun fungsi legislasi dimiliki oleh DPR, Presiden juga ikut
berperan dalam proses pembuatan UU karena Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR
dan menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya. 42 Selain
itu, setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.43
Dibandingkan DPR, DPD mempunyai fungsi legislatif yang terbatas. Berdasarkan Pada
22D ayat (1) dan (2) DPD dapat mengajukan kepada DPR dan ikut membahas RUU yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran
serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah.
Meskipun tidak masuk dalam Bab VII tentang DPR atau Bab VIIA tentang DPD dalam
UUD 1945, UUD 1945 juga mengenal Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). DPRD
diatur dalam Pasal 18 ayat (3) Bab VI tentang Pemerintah Daerah yang menyatakan bahwa
pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki DPRD yang anggotaanggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Lebih lanjut tentang DPR, DPD dan DPRD diatur
dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

BAB III
PEMBAHASAN

41

Lihat Pasal 21 UUD 1945,
Lihat Pasal 5 ayat (1) dan (2) UUD 1945
43
Lihat Pasal 20 ayat 2 UUD 1945
42

A. Pola Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah
Daerah44, Penyelenggara Pemerintahan Daerah adalah Pemerintah Daerah dan DPRD yang
dilakukan secara luas dengan prinsip otonomi. Hubungan wewenang antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan
kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya
antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan
selaras berdasarkan Undang-Undang.
Hubungan wewenang Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pemerintahan daerah
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh Undang-undang ditentukan menjadi urusan Pemerintah Pusat. Urusan
pemerintahan

yang

menjadi

urusan

Pemerintah

Pusat

meliputi:politik

luar

negeri;pertahanan;keamanan;yustisi ;moneter dan fiskal nasional; agama ; norma ; dan ekonomi.
Dalam hal ini Pemerintah Daerah hanya dalam tugas pembantuan atau pelaksanaan teknis
terhadap urusan daerahnya.
Hubungan keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, untuk perimbangan
keuangan Pusat dan Daerah dalam Pasal 5 Undang-Undang No.33 Tahun 2004 Tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah 45 menyatakan
Pemerintah Daerah mempunyai penerimaan daerah untuk pelaksanaan desentralisasi yang
berasal dari pendapatan daerah dan pembiayaan. Dengan kata lain Pemerintah Daerah dapat
memiliki penerimaan daerah yang dana tersebut bersumber pada Pendapatan Asli Daerah
44

Lihat Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah: “Pemerintahan daerah
adalah penyelenggaraan urusanpemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
45

Lihat Pasal 5 Undang-Undang No.33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan
Pemerintahan Daerah : “(1) Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan Desentralisasi terdiri atas Pendapatan Daerah
dan Pembiayaan. (2) Pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari: a. Pendapatan
Asli Daerah; b. Dana Perimbangan; dan c. Lain-lain Pendapatan.; (3) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bersumber dari: a. sisa lebih perhitungan anggaran Daerah; b. penerimaan Pinjaman Daerah; c. Dana
Cadangan Daerah; dan d. hasil penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan.”

(PAD), dana perimbangan, dan pendapatan lain-lain seperti retribusi. Sedangkan untuk dana
perimbangan dituangkan dalam pasal 10 Undang-Undang No.33 Tahun 2004 Tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. 46 Bahwa antara Pusat
dan Daerah mempunyai hubungan keungan diantaranya dana bagi hasil yang terdiri atas PBB,
Bea, dan PPh. Dana alokasi umum yang dialokasikan berdasarkan celah fiskal (kebutuhan fiskal
dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah) dan alokasi dasar (dihitung berdasarkan jumlah gaji
Pegawai Negeri Sipil Daerah). Dan yang terakhir adalah dana alokasi khusus yang dialokasikan
kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan
ditetapkan dalam APBN.
Untuk hubungan struktur organisasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
tidak lepas dari peran masing-masing elemen di daerah. Pemerintah Daerah dan DPRD
merupaan penyelenggara Pemerintahan Daerah, dan keduanya tersebut terbagi dalam tiga
daerah tingkat yaitu : Provinsi, Kota, dan Kabupaten. Pemerintah Daerah dan DPRD
bertanggungjawab terhadap lembaga eksekutif di Pemerintahan pusat, jadi bukan hanya
Pemerintah Daerah yang berada dibawah garis eksekutif di pusat, namun DPRD sebagai
lembaga legislatif daerah pun jika ditarik secara horizontal berada di bawah eksekutif tidak di
bawah Lembaga Legislatif atau DPR RI.
Berangkat dari otonomi daerah muncul istilah desentralisasi dalam system pembagian
kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Menurut Enny Nurbaningsih, prinsip otonomi
luas hanya bersifat formal yang diaktualisasikan dengan penggunaan wewenang mengatur
dalam bentuk Peraturan Daerah yang bersifat delegasian karena materi Peraturan Daerah
delegasian merupakan penjabaran dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.47
Pemerintah Pusat tetap memiliki instrumen melakukan pengawasan kebijakan daerah, namun
pengawasan ini tidak dalam kapasitas mengintervensi seperti yang terjadi pada masa lalu, tetapi
mengarahkan agar Peraturan Daerah yang dibentuk senantiasa sejalan dengan tujuan
diberikannya otonomi luas.48 Sebagai contoh, desentralisasi dibuat agar stakeholder lokal
46

Lihat Pasal 10 Undang-Undang No.33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah : “(1) Dana Perimbangan terdiri atas: a. Dana Bagi Hasil; b. Dana Alokasi Umum;
dan c. Dana Alokasi Khusus. (2) Jumlah Dana Perimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
setiap tahun anggaran dalam APBN.”
47
Enny Nurbaningsih., Op Cit, hlm. 556.
48
Ibid.,, hlm. 195.

menjadi pemain dalam komunitas kebijakan dan program, sehingga daerah lebih mampu
mengendalikan kegiatan yang lebih cocok dengan masalah di daerah.49
Kita mengenal otonomi khusus seperti yang terjadi provinsi DI Yogyakarta, Papua, Aceh
serta DKI tapi bagaimana dengan daerah lain yang memiliki dinamika dan kekhasan tersendiri,
misalnya provinsi Bali dengan budaya dan pariwisata, DKI Jakarta yang memiliki kekhususan
sebagai ibu kota negara dan pusat pemerintahan, Kepulauan Riau yang daratannya 4,21 persen
saja dari wilayah kepulauannya, Kutai Kartanegara yang menuntut otonomi khusus karena
merasa mempunyai income perkapita tinggi, basis ekonomi yang kuat, basis material yang kuat
dan Solo yang juga menuntut otonomi khusus sebagai daerah istimewa karena memiliki
kekhasan kebudayaan dan historis.
Negara harus mampu mengakomodasi berbagai kekhususan dan dinamika yang dimiliki
masing-masing daerah karena dikuatirkan akan membawa berbagai konsekuensi yang
merugikan masa depan rakyat di daerah dalam menjelmakan kesejahteraan terkait dengan
keragaman potensi daerah, social budaya, etnis, geografis, ekonomi dan social politik. Pada
dasarnya UUD RI 1945 memberikan peluang penerapan desentralisasi asimetris melalui
ketentuan pasal 18 yang menekankan kekhususan, keistimewaan, keberagaman daerah, serta
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisional. Berdasarkan penelitian
Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) berkerja sama dengan Tifa
Foundation desain asimetrisme dapat didasarkan atas pertimbangan konflik, kebudayaan, ekonomi,
perbatasan dan ibukota negara.50

Pemberlakukan desentralisasi asimetris merupakan respon terhadap ancaman disintergrasi
bangsa. Berawal dari penghianatan atas negara hukum (recht staat) berlaku pada orde lama,
orde baru sampai dengan era reformasi. Ketiadaan hukum bermula dibidang politik pada 1965
saat negara menjelma menjadi negara kekuasaan (machtstaat). Hal ini tentu menimbulkan
distrust (ketidakpercayaan) masyarakat terhadap para pemimpinnya, rezim boleh berubah tapi
ternyata korupsi tetap saja merajalela di negeri ini dan Indonesia seolah-olah hanyalah Jakarta
serta mengenyampingkan keberadaan daera-daerah lain.
49

Laksono Trisnantoro (Ed.), 2009,” Pelaksanaan Desentralisasi Kesehatan di Indonesia 2000-2007:
Mengkaji Pengalaman dan Skenario Masa Depan”, BPFE, Yogyakarta, hlm. 321.
50
Artikel, “Desimenasi Hasil Rist Model Desentralisasi Asimetris Aceh-Papua”, Diseminasi Hasil Riset
Model Desentralisasi Asimetris Aceh – Papua _ Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM _ Official website
of JPP.htm, Diakses pada tanggal 30 Januari 2013.

Desentralisasi asimetris dapat dimaknai dengan berbagai mekanisme, misalnya sistem
pemerintahan di DIY yang bercorak monarkhi konstitusional, dimana mekanisme pengisian
jabatan kepala daerah DIY dengan penetapan di DPRD dan pengisian jabatan Gubernur dan
Wakil Gubernur DIY diisi oleh

Sultan Hamengku Bowono yang bertakhta untuk calon

Gubernur dan yang bertakhta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon Wakil Gubernur DIY 51,
Nangroe Aceh Darussalam yang menerapkan syariah islam dan memiliki sistem kepartaian
ditingkat lokal yang lekat dalam sistem desentralisasi federalis dan di Papua yang disyaratkan
hanya orang asli papua yang dapat mencalonkan diri sebagai calon gubernur Papua dan
sebagainya. Disinilah yang menjadi problem ketika logika negara kesatuan, seperti yang
ditegaskan dalam pasal 1 UUD RI 1945 mangatakan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan
tapi dalam penerapan Undang-Undang No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang
dibuat sebagai tindak lanjut dari nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara
Pemerintah RI dengan GAM pada 15 Agustus 2005. Satu tahun kemudian, yaitu pada tanggal 1
Agustus 2006 dan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 yang telah diubah dengan Perpu No.
1 Tahun 2008 cenderung menerapkan sistem desentralisasi federalis. Oleh karena itu logika
ketetanegaraan Indonesia kerap goyah, inkonsistensi pun terjadi pada sistem pemerintahan
Indonesia yang presidensil tapi dijalankan dengan sistem parlementer.
Dalam kaitannya indonesia sebagai negara kesatuan, tentu

pemerintah pusat yang

mempunyai kekuasaan serta wewenang tertinggi dalam bidang pemerintahan negara, menetapkan
kebijaksanaan pemerintahan dan melaksanakan pemerintahan negara baik di pusat maupun di
daerah-daerah. Distribution of power (pembagian kekuasaan) oleh pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah berimplikasi hampir semua kewenangan dilimpahkan ke daerah kecuali, politik
luar negeri, pertahanan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama. 52 Dalam hal ini
peranan pemerintah pusat sebagai pemegang kekuasaan negara dan pemberian otonomi khusus
kepada provinsi DIY, Nagroe Aceh Darussalam dan Papua sebagai bagian penerapan disentralisasi
asimetris tapi sebagai negara kesatuan Indonesia tentu dibeberapa ketentuan pasal-pasal otonomi
khusus lebih bercorak sistem federal, misalnya lembaga negara yang bersifat lokal Majelis
51

Lihat Pasal 18 huruf (n) Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Yogyakarta
Pasal 10 UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Disamping kelima hal tersebut terdapat
kewenangan lain yang masih dipegang pemerintah pusat, yakni; “(1) kebijakan tentang perencanaan nasional dan
pengendalian pembangunan nasional secara makro, (2) dana perimbangan keuangan, (3) sistem administrasi
negara, (4) lembaga perekonomian negara, (5) pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, (6)
pendayagunaan SDA, (7) teknologi tinggi yang strategis, (8) konservasi dan (9) standarisasi nasional.”
52

Permusyawaratan Ulama (MPU) yang merupakan mitra kerja Pemerintah Aceh 53 dan Majelis
Rakyat Papua (MRP)

54

yang lazimnya berada tingkatan pusat atau disebut Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang diatur dalam UUD RI 1945 dan Undang-Undang No. 27
Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau biasa disebut dengan UU MD3.

Dalam pelaksanaan otonomi khusus yang dimiliki oleh Provinsi Aceh dan Papua yang
mengarah kepada bentuk negara federal diantaranya dalam ketentuan pasal 2 UU No. 21 Tahun
2001 dan pasal 246 UU No. 11 Tahun 2006 disebutkan bahwa Aceh dan Papua dapat memiliki
bendera daerah dan lagu daerah sebagaimana Sang Merah Putih sebagai Bendera Negara
Indonesia dan Lagu Indonesia Raya sebagai Lagu Kebangsaan Indonesia, walaupun dinyatakan
bukan sebagai symbol kedaulatan. Akan tetapi hal ini sudah mengarah pada bentuk negara
federal.
Merujuk pada ketentuan negara kesatuan yang memposisikan pemerintah pusat sebagai
pemilik kekuasaan tertinggi negara dan bukan malah sebaliknya, misalnya kebijakan
administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang akan dibuat oleh
Pemerintah. Pemerintah Pusat diharuskan untuk melakukan konsultasi dan mendapat
pertimbangan Gubernur, tentu ini tidak sesuai dengan prinsip negara kesatuan, maka pilihan
selanjutnya ialah merombak Undang-Undang provinsi Nangroe Aceh Darussalam dan Papua
agar sesuai dengan prinsip negara kesatuan ataukah merombak logika negara kesatuan agar
sesuai dengan logika desentralisasi federalis karena pada dasarnya diharmonisasi peraturan
perundang-undangan akan berimplikasi bermasalahnya fondasi ketatanegaraan.
Namun demikian walaupun kewenangan daerah otonomi khusus tersebut bertentangan
dengan prinsip negara kesatuan dan Undang-Undang 32 Tahun 2004, tetapi tetaplah status
otonomi khusus tersebut berada dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia yang
mengutamakan persatuan dan kesatuan, sebagaimana yang termaktub dalam pembukaan. Selain
itu diperlukan revisi UU 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah agar mangakomodir
desentralisasi asimetris atau solusi payung hukum setingkat Instruksi Presiden (inpres) untuk
mengakomodasi konteks provinsi yang beragam di Indonesia tanpa perlu memasukkan mereka
53
54

Lihat Undang-Uundang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Lihat Pasal 29 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2001tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

ke kerangka otsus yang memakan banyak biaya, infrastruktur, dan kebijakan setingkat UU.55
Apa yang akan dilakukan oleh presiden untuk Papua dan Aceh, memberikan bantuan khusus
dana perikanan, kelautan, dan perguruan tinggi maritim bagi provinsi Kepulauan Riau,
peningkatan kesejahteraan wilayah perbatasan Kalimantan Barat, pendekatan kultural dan
historis Yogyakarta dan ibu kota negara DKI Jakarta, bisa dijadikan embrio bagi pelaksanaan
disentralisasi asimetris karena esesinya karakteristik Indonesia yang beragam dari Sabang
sampai Merouke akan sulit, jika hanya diwadahi dengan satu pola pusat-daerah.
Selain itu perlu penguatan hubungan kelembagaan, baik pemerintah pusat maupun daerah
(Papua), sehingga desain besar pembangunan Papua mampu dijabarkan pada tingkatan daerah.
Regulasi yang lebih konsisten akan mendorong dana otsus Papua tepat sasaran guna perbaikan
kesejahteraan masyarakat Papua, penanggulangan kemiskinan, pembangunan sekolah-sekolah
termasuk pengadaan guru-guru, sarana, dan prasarana pendidikan yang layak, pembangunan
fasilitas kesehatan masyarakat, serta pembangunan suprastruktur dan infrastruktur yang layak
dan merata di seluruh daerah. Lebih penting lagi, memupuk kembali trust masyarakat Papua
terhadap pemerintah pusat agar terjalin sinergitas antar semua steakholder dalam membangunan
Papua yang lebih baik dan memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Papua. Kegagalan
desentralisasi asimetris di Papua akan memberikan tekanan bagi pemerintah pusat dan tentunya
akan memunculkan dorongan yang lebih kuat lagi untuk memerdekan diri sebagai suatu negara
yang terpisah dengan negara kesatuan republik Indonesia.
B. DPRD Bukan Lembaga Legislatif
Montesquieu membagai kekuasaan negara dalam 3 cabang, yaitu: (1) kekuasaan legislatif
sebagai pembuat undang-undang; (2) kekuasaan ekskeutif yang melaksanakan dan (3)
kekuasaan untuk menghakimi atau yudikatif. 56 Dari klasifikasi Montesquieu inilah dikenal
pembagian kekuasaan modern dalam 3 fungsi, yaitu legislatif (the legislative function),
eksekutif (the executive or administrative function), dan yudisial (the judicial function).57
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) dan (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD 1945), Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik
55

M Mas’ud Said, Perlunya Disentralisasi Asimetris, Loc cit
Jimly Asshiddiqie, 2011, Pengantar Ilmu Hukum Tatat Negara, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 283.
57
O. Hood Phillips, Paul Jackson, and Patricia Leopold, 2001, “Constitutional and Administrative Law”,
Sweet & Maxwell, London, hlm. 10-11.
56

dan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Berdasarkan UUD 1945 kekuasaan legislatif sebagai pembuat Undang-undang dipegang oleh
DPR dan Presiden58, kekuasaan eksekutif atau yang melaksanakan dipegang oleh Presiden59, dan
kekuasaan untuk menghakimi atau yudikatif dipegang oleh Mahkamah Agung (MA) 60 dan
Mahkamah Konstitusi (MK)61. Berikut adalah bagan pembagian kekuasaan berdasarkan UUD
1945.

UUD 1945

Eksekutif

Legislatif

Yudikatif

Cabang(Presiden)
kekuasaan legislatif adalah
cabang
kekuasaan yang
mencerminkan
(DPR dan
Presiden)
(MApertama-tama
dan MK)
kedaulatan rakyat karena kegiatan bernegara, pertama-tama adalah untuk mengatur kehidupan
bersama.62 Oleh sebab itu, kewenangan untuk menetapkan peraturan itu pertama-tama harus
diberikan kepada lembaga perwakilan rakyat atau parlemen atau lembaga legislatif. 63 Fungsi
utama lembaga perwakilan rakyat adalah fungsi legislasi atau pengaturan. 64 Dalam bentuk
kongkritnya, fungsi pengaturan terwujud dalam fungsi pembentukan undang-undang dan fungsi
pembuatan undang-undang pada hakikatnya adalah fungsi pengaturan.65 Fungsi pengaturan
berkenaan dengan kewenang untuk menentukan peraturan yang mengikat warga negara dengan
norma-norma hukum yang mengikat dan membatasi.66
58
Lihat Pasal 20 ayat (1) yang menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan
membentuk undang-undang, Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yang mneyatakan Presiden berhak mengajukan rancangan
undang-undang kepada DPR, dan Pasal 20 ayat (2) yang menyatakan se tiap rancangan undang-undang dibahas
oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
59
Lihat Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang
kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.
60
Lihat Pasal 24 ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan; dan
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
61
Lihat Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undangundang terhadap
UndangUndang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
UndangUndang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum.
62
Jimly Asshiddiqie, Op.cit, hlm. 298.
63
Ibid., hlm. 298-299.
64
Ibid., hlm. 299.
65
Ibid., hlm. 299.
66
Ibid., hlm. 299.

DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah.67 Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan
oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan
prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. 68 Pemeritahan Daerah adalah bagian dari
pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dipegang oleh Presiden Republik Indonesia. 69
Ada dua macam pemerintahan daerah, yaitu pemerintahan daerah provinsi yang terdiri atas
pemerintah daerah provinsi dan DPRD provinsi; dan pemerintahan daerah kabupaten/kota
yang terdiri atas pemerintah daerah kabupaten/kota dan DPRD kabupaten/kota. 70
DPRD provinsi dan kabupaten/kota terdiri atas anggota partai politik peserta
pemilihan

umum

yang

dipilih melalui

pemiliha

umum. 71 DPRD

provinsi dan

kabupaten/kota mempunyai fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan dalam kerangka
representasi rakyat di provinsi dan kabupaten/kota. 72 Fungsi legislasi DPRD provinsi dan
kabupaten/kota dilaksanakan melalui pembentukan peraturan daerah provinsi bersama
guberunur dan peraturan daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota; membahas dan
memberikan persetujuann rancangan peraturan daerah mengenai anggaran pendapatan dan
belanja daerah provinsi yang diajukan oleh gubernur dan kabupaten/kota yang diajukan
oleh bupati/walikota. 73
Meskipun DPRD provinsi dan kabupaten/kota memiliki fungsi legislasi, fungsi
legislasi DPRD Provinsi dan kabupaten/kota berbeda dengan fungsi legislasi DPR karena
fungsi legislasi DPR adalah fungsi legislasi yang dilaksanakan sebagai perwujudan DPR
selaku pemegang kekuasaan membentuk undang-undang. Dengan demikian, meskipun
DPRD provinsi dan kabupaten/kota memiliki fungsi legislasi, DPRD provinsi dan
kabupaten/kota bukan merupakan badan legislasi sebagaimana yang dimaksud oleh
Montesquieu karena kekuasaan legislatif DPRD provinsi dan kabupaten/kota adalah bukan
67

Lihat Pasal 1 Ayat (4) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Lihat Pasal 1 Ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
69
Lihat Pasal 1 Ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa
“Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
70
Lihat Pasal 3 Ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
71
Lihat Pasal 314 dan 363 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
72
Lihat Pasal 316 Ayat (1) dan (2) dan Pasal 365 Ayat (1) dan (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah
73
Lihat Pasal 317 Ayat (1) huruf (a) dan (b) dan Pasal 366 Ayat (1) huruf (a) dan (b) UU Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah
68

kekuasaan untuk membuat undang-undang, melainkan untuk membentuk peraturan daerah
provinsi dan kabupaten/kota sebagai bagian dari pemerintahan daerah.
C.F. Strong mengemukakan bahwa ada dua ciri pokok negara kesatuan, yaitu adanya
supremasi dari dewan perwakilan rakyat pusat dan tidak adanya badan-badan lainnya yang
berdaulat.74 Republik Indonesia sebagai suatu Negara Kesatuan juga memiliki supremasi dewan
perwakilan rakyat yang dipegang oleh DPR, sedangkan kedudukan DPRD provinsi dan
kabupaten/kota terletak di bawah Presiden Republik Indonesia sebagai pemegang kekuasaan
pemerintahan75. Struktur DPRD provinsi dan kabupaten/kota dapat digambarkan sebagai
berikut:

UUD 1945

Eksekutif
(Presiden)

Legislatif
(DPR dan Presiden)

Yudikatif
(MA dan MK)

memegang
kekuasaan
pemerintahan
Pemerintahan
Daerah

Pemerintahan
Daerah Provinsi
(Gubernur dan
DPRD provinsi)
74

Ahmad Sukardja, 2012, Hukum Tata Negara Dan Administrasi Negara: Dalam Perspektif Fikih Siyasah,
Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 114.
75
Pemerintahan
Lihat Pasal
4 ayat (1) UUD 1945

Daerah
Kabupaten/Kota
(Bupati/walikota
dan DPRD
kabupaten/kota)

DPRD provinsi dan kabupaten/kota sebagai badan legislatif daerah

daerah pada

hakikatnya adalah kepanjangan tangan eksekutif/Presiden yang memiliki fungsi pengaturan,
yaitu fungsi untuk membuat peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota.
DPRD provinsi dan kabupaten/kota memiliki kedudukan yang setara dengan Pemerintah Daerah
Provinsi dan Kabupaten/Kota, sehingga keduanya memiliki kedudukan yang sama dan
sejajar dalam arti tidak saling membawahi; hubungan diantara keduanya bersifat kemitraan yang
berarti bahwa DPRD merupakan mitra kerja Pemerintah Daerah dalam membuat kebijakan
daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.76
Hubungan hierarkis antara DPRD dan Presiden dapat digambarkan melalui tugas dan
wewenang DPRD dalam mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah/wakil
kepala daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi DPRD provinsi dan kepada
Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi DPRD kabupaten/kota 77. Selain itu, berdasarkan
Pasal 53 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, “tindakan
penyidikan terhadap anggota DPRD dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari
Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden bagi anggota DPR