MENAKAR POTENSI DAN TANTANGAN INDONESIA

MENAKAR POTENSI DAN TANTANGAN INDONESIA DALAM
PERCATURAN MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA) 2015
MELALUI WAWASAN GEOPOLITIK
Aditya Pradana
Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, Indonesia
ABSTRAK :
Momentum Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang mulai terselenggara di tahun 2015
dapat menjadi kabar baik sekaligus konsekuensi bagi setiap negara yang terlibat didalamnya
termasuk Indonesia. Sebagai negara dengan luas wilayah terbesar serta sumberdaya baik alam
dan manusia yang sangat melimpah tentu hal ini menjadi potensi tersendiri yang memunculkan
peluang Indonesia dalam percaturan MEA. Namun, masih banyaknya keterbatasan baik dalam
teknologi, kualitas SDM, infraktruktur dan pendanaan menjadi tantangan tersendiri bagi
Indonesia dalma menghadapi MEA. Keberadaan Indonesia secara geografis memiliki
kepentingan politiknya tersendiri untuk semakin memajukan pembangunan yang ada.
Wawasan geopolitik dengan konsep lebensraum (ruanghidup), antarki (cita-cita), pan-region
(perserikatan wilayah) , serta kekuatan baik darat, laut dan daerah perbatasan dapat menjadi
kajian guna membahas posisi Indonesia dalam percaturan MEA. Perbedaan karakteristik fisik
dan sosial-ekonomi tiap negara di ASEAN menciptakan persaingan untuk memajukan tiap
masyarakatnya, dimana bentuk persaingan dapat dikemas melalui kerjasama internasional
dalam rangka kemitraan global. Melalui wawasan geopolitik maka setiap keputusan yang

diambil dapat menekankan tiap aspek potensi dan tantangan yang ada. Sehingga, setiap
kebijakan yang dikeluarkan dalam menghadapi MEA dapat memajukan kesejahteraan rakyat
dan tidak merugikan bangsa Indonesia
Kata Kunci : Potensi, Tantangan, Geopolitik, MEA

I. PENDAHULUAN
Meningkatnya persaingan antar negara mendorong beberapa negara melakukan kemitraan
global guna memajukan pembangunan negaranya kearah yang lebih baik. Integrasi ekonomi di
Asia Tenggara mulai tahun 2015 diarahkan pada suatu kerjasama multinasional bernama
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Pemberlakuan MEA 2015 bertujuan untuk menciptakan
pasar tunggal dan basis produksi yang stabil, makmur, berdaya saing tinggi, dan secara
ekonomi terintegrasi dengan regulasi efektif untuk perdagangan dan investasi, yang di
dalamnya terdapat arus bebas lalu lintas barang, jasa, investasi, dan modal serta difasilitasinya
kebebasan pergerakan pelaku usaha dan tenaga kerja. Indonesia sebagai negara yang berdaulat,
tentunya bentuk kerjasama dengan negara lain merupakan langkah untuk menunjukkan
eksistensi Indonesia dimata dunia. Menyikapi hal ini maka perlu dipahami bahwa bentuk
kerjasama yang dilakukan sepantasnya harus dikaji secara matang dan selalu mengedepankan
aspek kedaluatan negara serta kemakmuran masyarakat. Munculnya konsepsi MEA 2015
menjadi tantangan besar bagi Indonesia, dimana perlu kesiapan yang matang dari berbagai
pihak untuk menerima dan menghadapi segala bentuk pola kerja sama yang ada.

Perkembangan MEA tentu tidak dapat terlepas dari wacana geopolitik yang ada. Dimana
perkembangan geopolitik tidak dapat dipisahkan dari beberapa ajaran ideologi Ratzel dan
Kjellen (1916) dan Karl Haushofer (1924) dalam Gunardo, 2014 yang menelaah seputar
fenomena politik dari aspek geografi. Penekanan Ratzel dan Kjellen dalam teori yang
kemudian dikembangkan oleh Karl Haushofer menyebutkan beberapa poin penting, seperti ;
lebensraum (ruanghidup), antarki (cita-cita), pan-region (perserikatan wilayah) , serta
kekuatan baik darat, laut dan daerah perbatasan. Bahkan ajaran tersebut telah memberikan
kesadaran spasial para pemimpin politik dalam mengambil sebuah kebijakan, misalnya saat
Adolf Hitler mampu memimpin NAZI dalam perng dunia II dengan bantuan ahli geopolitiknya
Haushofer. Sebagai bangsa yang besar, baik dari segi wilayah serta sumberdaya alam dan
manusia, Indonesia seharusnya mampu menjadi negara yang makmur dan sejahtera. Namun,
banyak permasalahan yang kemudian muncul akibat kurang tepatnya pengambilan keputusan
yang dalam hal ini tanpa memperhatikan aspek geopolitik yang ada.

Adanya arus globalisasi

yang berjalan sangat progresif telah membuka lebar jalan bagi tiap negara untuk mencoba
meletakkan ideologi dan kepentingannya masing-masing di berbagai wilayah didunia. Ideologi

besar yang dahulu sangat prestigious dapat bangkit kembali dengan adanya arus globalisasi.

Tentu bukan lagi dalam bentuk peperangan dan unjuk alutsista, namun lebih kepada bentuk
kerjasama untuk dapat merangkul banyak mitra menjadi sebuah komunitas tertentu, salah
satunya melalui Masyarakat Ekonomi ASEAN.
II. ISI
Pembentukan MEA akan memberikan peluang bagi negara-negara anggota ASEAN untuk
meningkatkan pembangunan diberbagai bidang melalui potensi yang ada. Namun, selain
peluang maka tantanganpun akan hadir dalam menentukan keberhasilan negara yang tergabung
dalam suatu kerjasama. Secara geografis, Indonesia merupakan pasar potensial yang memiliki
luas wilayah dan jumlah penduduk yang terbesar di kawasan (40% dari total penduduk
ASEAN). Hal ini dapat menjadikan Indonesia sebagai negara ekonomi yang produktif dan
dinamis yang dapat memimpin pasar ASEAN di masa depan dengan kesempatan penguasaan
pasar dan investasi. Terlebih dengan adanya kabar dari segi demografis dimana di tahun 2020
Indonesia di prediksi telah memasuki bonus demografi, dimana dalam tahap ini proporsi
penduduk dewasa / produktif akan jauh lebih besar dibanding penduduk muda dan tua (non
produktif). Sehingga, datangnya bonus demografi diharapkan dapat mendorong produktivitas
nasional dan meningkatkan pembangunan. Ditinjau secara regional, negara yang bonus
demografinya paling dekat dengan MEA setelah tahun 2015 adalah Indonesia, sementara
negara seperti SIngapura, Malaysia dan Thailand sudah selesai mengalami bonus demografi.
Tentunya hal ini mnejadi potensi tenaga kerja yang sangat baik untuk mengisi pasar kerja baik
didalam maupun diluar negeri.

Secara ekonomi Indonesia merupakan negara tujuan investor ASEAN. Proporsi investasi
negara ASEAN di Indonesia mencapai 43% atau hampir tiga kali lebih tinggi dari rata-rata
proporsi investasi negara-negara ASEAN di Asi Tenggara yang hanya sebesar 15%. Selain itu,
Indonesia juga berpeluang menjadi negara pengekspor, dimana nilai ekspor Indonesia ke
intra-ASEAN hanya 18-19% sedangkan ke luar ASEAN berkisar 80-82% dari total ekspornya,
Hal ini berarti peluang untuk meningkatkan ekspor ke intra-ASEAN masih harus ditingkatkan
agar laju peningkatan ekspor ke intra-ASEAN berimbang dengan laju peningkatan impor dari
intra-ASEAN. Selanjutnya andanya iberalisasi perdagangan barang ASEAN dalam MEA akan
menjamin kelancaran arus barang untuk pasokan bahan baku maupun bahan jadi di kawasan

ASEAN karena hambatan tarif dan non-tarif sudah tidak ada lagi. Kondisi pasar yang sudah
bebas di kawasan dengan sendirinya akan mendorong pihak produsen dan pelaku usaha lainnya
untuk memproduksi dan mendistribusikan barang yang berkualitas secara efisien sehingga
mampu bersaing dengan produk-produk dari negara lain. Di sisi lain, para konsumen juga
mempunyai alternatif pilihan yang beragam yang dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan, dari yang paling murah sampai yang paling mahal. Indonesia sebagai salah satu
negara besar yang juga memiliki tingkat integrasi tinggi di sektor elektronik dan keunggulan
komparatif pada sektor berbasis sumber daya alam, berpeluang besar untuk mengembangkan
industri di sektor-sektor tersebut di dalam negeri.
Selain potensi dan peluang meningkatnya pembangunan Indonesia melalui MEA, di sisi lain

muncul tantangan baru bagi Indonesia berupa permasalahan homogenitas komoditas yang
diperjualbelikan, contohnya untuk komoditas pertanian, karet, produk kayu, tekstil, dan barang
elektronik (Santoso, 2008). Dalam hal ini competition risk akan muncul dengan banyaknya
barang impor yang akan mengalir dalam jumlah banyak ke Indonesia yang akan mengancam
industri lokal dalam bersaing dengan produk-produk luar negri yang jauh lebih berkualitas. Hal
ini pada akhirnya akan meningkatkan defisit neraca perdagangan bagi Indonesia. Pada sisi
investasi, MEA sebenarnya dapat menciptakan iklim yang mendukung masuknya Foreign
Direct

Investment

(FDI)

yang

dapat

menstimulus

pertumbuhan


ekonomi

melalui

perkembangan teknologi, penciptaan lapangan kerja, pengembangan sumber daya manusia
(human capital) dan akses yang lebih mudah kepada pasar dunia. Meskipun begitu, kondisi
tersebut dapat memunculkan exploitation risk. Indonesia masih memiliki tingkat regulasi yang
kurang mengikat sehingga dapat menimbulkan tindakan eksploitasi dalam skala besar terhadap
ketersediaan sumber daya alam oleh perusahaan asing yang masuk ke Indonesia sebagai negara
yang memiliki jumlah sumber daya alam melimpah dibandingkan negara-negara lainnya.
Tidak tertutup kemungkinan juga eksploitasi yang dilakukan perusahaan asing dapat merusak
ekosistem di Indonesia, sedangkan regulasi investasi yang ada di Indonesia belum cukup kuat
untuk menjaga kondisi alam termasuk ketersediaan sumber daya alam yang terkandung.
Secara ketenagakerjaan, terdapat kesempatan yang sangat besar bagi para pencari kerja
karena dapat banyak tersedia lapangan kerja dengan berbagai kebutuhan akan keahlian yang
beraneka ragam. Selain itu, akses untuk pergi keluar negeri dalam rangka mencari pekerjaan
menjadi

lebih mudah bahkan bisa jadi tanpa ada hambatan tertentu. MEA juga menjadi


kesempatan yang bagus bagi para wirausahawan untuk mencari pekerja terbaik sesuai dengan
kriteria yang diinginkan. Namun hal ini dapat memunculkan risiko ketenagakarejaan bagi
Indonesia. Dilihat dari sisi pendidikan dan produktivitas Indonesia masih kalah bersaing
dengan tenaga kerja yang berasal dari Malaysia, Singapura, dan Thailand serta fondasi industri
yang bagi Indonesia sendiri membuat Indonesia berada pada peringkat keempat di ASEAN.
Bonus demografi yang dimiliki Indonesia, tidak akan memberikan keuntungan apa pun tanpa
adanya perbaikan kualitas SDM. Data ASEAN Productivity Organization (APO) menunjukkan
dari 1000 tenaga kerja Indonesia hanya ada sekitar 4,3% yang terampil, sedangkan Filipina
8,3%, Malaysia 32,6% dan Singapura 34,7%. Selain itu, berdasarkan struktur pasar, tenaga
kerja didominasi oleh pekerja lulusan SD (80%) sementara lulusan Perguruan Tinggi hanya 7%,
dimana saat ini sebagian dunia kerja mensyaratkan lulusan Perguruan Tinggi. Hal ini sangat
berbanding terbalik dengan Malaysia yang sebagian besar penduduknya lulusan S1.
Kesempatan memperoleh pendidikan secara merata di seluruh Indonesia sulit dilakukan
sehingga kesadaran untuk menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi sangat rendah.
Kondisi ini mengakibatkan tenaga kerja Indonesia hanya dilirik sebagai buruh atau tenaga
kerja kasar di pasar tenaga kerja internasional.
Tantangan lain yang juga perlu diperhatikan adalah mengenai infrastruktur, dimana
berdasarkan The Global Competitiveness Report 2013/2014 yang dibuat oleh World Economic
Forum (WEF), daya saing Indonesia berada pada peringkat ke-38. Sementara itu kualitas

infrastruktur Indonesia menempati peringkat ke-82 dari 148 negara atau berada pada peringkat
ke-5 diantara negara-negara inti ASEAN. Hal ini menunjukkan bahwa infrastruktur Indonesia
masih jauh tertinggal. Dampak dari rendahnya infrastruktur berpengaruh pada semakin
mahalnya biaya logistik di Indonesia. Perdagangan menjadi kurang efisien mengingat biaya
logistik yang mahal dibandingkan negara anggota ASEAN lainnya. Biaya logistik yang
dibebankan di Indoensia sebesar 14,08%, dan nilai ini sangat tinggi jika dibandingkan dengan
biaya logistik yang normal sebesar 7%. Keadaan ini menjadikan Indonesia menempati
peringkat ke-59 dari 155 negara, di bawah peringkat Thailand, Filipina, dan Vietnam
berdasarkan Logistic Performance Index (LPI, 2012). Data yang dirilis Kompas edisi 18
Sepetember 2013 menyebutkan bahwa dari 2.200 yang tinggal di Indonesia, diketahui hasil
sebanyak 76 persen kurang memahami ASEAN sekaligus perannya. Data ini memunculkan

dugaan bahwa masyarakat Indonesia akan mengalami kesulitan dalam menjalani perdagangan
bebas melalui MEA.
Melihat potensi dan tantangan yang ada terkait pelaksanaan MEA, maka Indonesia perlu
waspada terhadap segala kemungkinan yang dapat muncul disetiap kerjasama yang ada. Secara
geopolitik hal ini dapat disikapi dengan melihat bagaimana peran dan strategi tiap negara
ASEAN dalam percaturan dunia. Setiap negara tentu memiliki tujuan dan haluan tersendiri
dalam membangun dan memajukan bangsanya. Hal ini tidak terlepas dari ideologi yang dianut
setiap negara dalam emnjalankan roda pemerintahan. Melalui ajaran Haushofer maka dapat

diambil beberapa kemungkinan yang akan muncul terkait MEA 2015. Lebensraum, merupakan
hak suatu bangsa atas ruang hidup untuk menjamin kesejahteraan dan keamanannya.
Pemenuhan akan hak ini sangat dipengaruhi standar kelayakan masyarakat suatu negara,
sehingga pada akhirnya pemenuhan setiap kebutuhan dapat dilakukan dengan berbagai cara.
Kerjasama dalam MEA dapat membukan peluang lebar bagi negara besar yang sidah lebih
maju dibanding Indonesia, untuk mengembangkan kekuasaanya dalam bidang ekonomi.
Kekhawatiran terhadap ekspansi negara lain yang dibungkus dalam bentuk kerjasama perlu
diwaspadai, karena bisa saja muncul baik secara eksplisit maupun implisit.
Selanjutnya dalam konsep geopolitik juga dikenal istilah autarki atau cita-cita suatu negara
untuk memnuhi kebutuhannya sendiri, sehingga setiap kesatuan politik harus menghasilkan
apa yang diperlukan. Konsep geopolitik versi Jerman bahkan emnyatakan bahwa suatu negara
berhak mendapatkan sumberdaya alam dari negara tetangga yang kecil bila membutuhkannya.
Sejalan dengan konsep lebensraum, maka autarki akan memberi peluang suatu nagar untuk
mengekspansi negara lain. Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar di ASEAN yaitu
mencapai 250 juta jiwa, maka Indonesia dapat dikatakan sebagai pangsa pasar yang sangat
baik dibandingkan negara ASEAN lain. Dalam Ciputra News (2013) bahkan dijelaskan muncul
dugaan bahwa Indonesia merupakan pihak yang dapat mengalami kerugian paling besar akibat
MEA 2015. Hal ini terjadi karena Indonesia akan menjadi konsumen terbesar ditambah dengan
pertarungan produktivitas idnustri yang cukup ketat. Konsep lain geopolitik adalah pan-region,
yaitu mengenai perserikatan. Namun adanya percaturan politik global yang disertai globalisasi,

sepertinya semakin meruntuhkan dominasi kekuatan politik dunia. Konsep pan-region secara
ekonomi dapat dipandang sebagai dominasi kekuatan ekonomi dunia berdasar perwilayahnya.

Melalui berbagai pandangan, maka diprediksi Asia Pasifik akan menjadi kekuatan ekonomi
terbesar diabad 21, jauh melampaui Amerika dan Eropa.
Konsep geopolitik lain adalah kekuatan baik darat, laut dan daerah perbatasan, dimana
kekuatan ini dipandang sebagai kekuatan strategis dalam pembangunan. Posisi silang
Indonesia secara geografis dalam perdangan sejak zaman kerajaan hingga saat ini merupakan
jalur potensial arus barang dan jasa. Kondisi ini tentu harus dibarengi dengan evaluasi
mengenai kawasan strategis disekitar zona perdagangan internasional yang melalui Indonesia.
Munculnya MEA dapat membawa dampak bagi pembangunan infrastruktur yang lebih
memadai guna memperlancar jalur perdagangan, sehingga peningkatan infrastruktur yang ada
dapat menenkan biaya logistik Indonesia kearah yang lebih baik. Dengan kelebihan posisi
Indonesia, tentunya juga memunculkan double effect dengan pertanyaan apakah Indonesia
akan diuntungkan atau negara lain yang justru lebih diuntungkan dengan adanya hal ini. Arus
distribusi yang semakin baik dalam perdangangan dapat meningkatkan ekonomi masyarakat.
Hal ini tentu berdampak pada peningkatan daya beli sekaligus sifat konsumtif masyarakat
terutama terhadap produk negara lain. Apabila suatu negara dapat memiliki lebih banyak
bargaining power dibanding Indonesia, maka negara itu akan mendapatkan porsi pengatur
dalam perdagangan lebih besar. Dampaknya dapat terjadi monopoli hingga mematikan

kekuatan ekonomi lokal masyarakat.
III.PENUTUP
Dengan arus globalisasi pada abad ini, MEA merupakan sebuh implikasi yang harus
dihadapi setiap negara termasuk Indonesia dalam rangka kemitraan global. Dengan hadirnya
ajang MEA ini, Indonesia memiliki peluang untuk memanfaatkan keunggulan skala ekonomi
dalam negeri sebagai basis memperoleh keuntungan. Namun demikian, Indonesia masih
memiliki banyak tantangan dan risiko yang akan muncul bila MEA diimplementasikan. Oleh
karena itu, para risk professional diharapkan dapat lebih peka terhadap fluktuasi yang akan
terjadi agar dapat mengantisipasi risiko-risiko yang muncul dengan tepat. Selain itu, kolaborasi
yang apik antara otoritas negara dan para pelaku usaha diperlukan, infrastrukur baik secara
fisik dan sosial (hukum dan kebijakan) perlu dibenahi, serta perlu adanya peningkatan
kemampuan serta daya saing tenaga kerja dan perusahaan di Indonesia. Jangan sampai
Indonesia hanya menjadi penonton di negara sendiri saat MEA. Untuk itu, setiap masyarakat

Indonesia juga perlu memahami segala wawasan terkait fenomena yang dapat muncul dalam
perdangan bebas.
Melalui analisis potensi Indonesia yang kemudian memunculkan peluang, serta analisis
tantangan yang harus dihadapi maka dapat disusun kebijakan terkait MEA yang lebih baik dan
terencana. Konsep geopolitik sangat penting dalam merelasikan potensi dan tantangan yang
dimiliki suatu negara, beserta hubungannya dengan negara lain dalam suatu kerjasama
internasional. Konsep geopolitik dapat melihat secara spasial hubungan tiap negara berbasis
potensi dan tantangan, sehingga setiap keputusan yang diambil tidak melemahkan bangsa itu
sendiri. Pemerintah Indonesia sebagai pemangku kekuasaan seyogyanya harus mampu
mengedepankan aspek kemakmuran masyarakat saat mengikuti suatu kerjasama. Selain itu,
adanya pola perubahan yang sangat dinamik dalam masyarakat berbarengan dengan adanya
MEA harus disikapi dengan berbagai cara guna mempertahankan watak sebagai bangsa
Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Ciputra News. 2013. Perdangangan Bebas ASEAN Bisa Rugikan RI. http://www.ciputranews.
com/external/bisnis.liputan6.com/ Diakses 20 Mei 2015.
Gunardo. 2014. Geografi Politik. Yogyakarta : Ombak.
Kementrian Sekretariat Negara RI. Peluang dan Tantangan Indonesia pada ASEAN Economic
Community 2015. http://www.stneg.go.id/ Diakses 23 Mei 2015.
Kompas.

2013.

Jokowi

Bicara

http://www.megapolitan.kompas.com/

Pasar

Bebas

ASEAN

2015.

Diakses 20 Mei 2015.

Sabar. 2013. Dampak Perdanganan Bebas Terhadap Geopolitik Indonesia. Jurnal Online
Teknologi Ilmu Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya.
2013/4/3 Vol 5 : 3-9.

Santoso, W. dkk. 2008. Outlook Ekonomi Indonesia 2008-2012: Integrasi ekonomi ASEAN dan
prospek perekonomian nasional. Jakarta: Biro Riset Ekonomi Direktorat Riset Ekonomi dan
Kebijakan Moneter.