IDENTITAS DAN SUBJEKTIVITAS BUDAYA POPUL

IDENTITAS DAN SUBJEKTIVITAS BUDAYA POPULER
COSPLAY DI INDONESIA1
Oleh: Rizma Afian Azhiim2

Pendahuluan
Sistem dunia terus mereproduksi diskursus yang tidak pernah lepas dari relasi kuasa, dan
terus mengklaim suatu gagasan sebagai kebenaran melalui ruang-ruang reproduksi yang
diciptakan oleh diskursus dan pengetahuan itu sendiri. Interaksi melalui jejaring teknologi
informasi, sistem pendidikan, produksi fantasi subjektivitas, dan reproduksi pengetahuan serta
diskursus pada era globalisasi kini bertumpu pada interaksi berbagai entitas global yang terusmenerus memunculkan aksi dan reaksi. Interaksi ini tergambar dalam cara pandang terhadap
dunia; “...to the way in which we judge and evaluate activities and structures that sh ape the
world.”3 Cara pandang ini menunjukkan korelasi yang erat antara of the world dan for the
world.4 Hingga pada akhirnya, aksi dan reaksi yang dimunculkan dalam setiap aktivitas global-

pun turut meluas ke ranah dimensi antropologi kebudayaan dalam peradaban manusia.
1

Terima kasih kepada Mas Imam Ardhianto atas sharing ilmu-nya hingga mengantarkan saya untuk mengenal
apa itu Antropologi. Judul, tema, serta substansi karya ini ditulis sebagai dedikasi akademik mata kuliah
Pengantar Antropologi semester genap 2013, yang diampuh oleh Mas Imam Ardhianto.


2

Penulis adalah mahasiswa program studi Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Al Azhar Indonesia.

3

Martin Griffiths, International Relations Theory in 21st Century: An Introduction (London dan New York:
Routledge, 2007), 1.

4

Phillips W. and Brown W., Making Sense of Your World (Chicago: MoodyPress, 1991), 29 dalam Martin
Griffithsi, Ibid.

Berbagai fenomena dinamika global kini mengalami perkembangan-perkembangan secara
kontemporer. Salah satunya adalah perkembangan budaya-budaya populer dalam globalisasi
yang mereproduksi seni serta budaya-budaya populer keluar batas wilayah kedaulatan negara.
Bahkan sering kali penyebaran budaya populer turut menandakan dan merepresentasikan
dinamika power dalam bentuk soft power , yang memiliki rekognisi peran sebagai “the second

face of power”5 bagi negara.

Dalam dimensi antropologi, kebudayaan dapat dipahami sebagai sesuatu yang didapat
melalui proses pembelajaran (culture is learned)6 yang bergantung pada kemampuan manusia
untuk memahami simbol-simbol yang ada. Kebudayaan kemudian menjadi sesuatu yang
simbolis (culture is symbolic)7 karena ketergantungannya atas kemampuan manusia untuk
mempelajarinya dalam bentuk verbal atau non-verbal. Kebudayaan adalah suatu kelengkapan
simbolis yang dimiliki oleh individu sebagai bagian dari suatu kelompok, sehingga menjadikan
kebudayaan sebagai sesuatu yang diwariskan atau ditularkan di dalam masyarakat ( culture is
shared)8. Pada era globalisasi yang ditandai oleh perkembangan jejaring teknologi informasi,

berbagai budaya terus ditularkan layaknya endemik global. Kebudayaan bukan lagi sesuatu yang
sebatas diwariskan secara turun-temurun dalam keluarga atau suatu kelompok masyarakat.
Berbagai jenis budaya kini terus direproduksi dan ditularkan oleh industri media karena mampu
menciptakan subjektivitas dan menghasilkan nilai materiil. Bahkan berbagai budaya kini
mengalami proses industrialisasi sebagai konsekuensi dari perkembangan modernitas dan
5

Joseph S. Nye, Soft Power (New York, Public Affairs: 2004) , hal. 5


6

Conrad Phillip Kottak, Miror for Humanity: A Concise Introduction to Cultural Anthropology (McGraw-Hill
Companies, New York: 2010), hal 24.
7

Ibid, hal. 24-25.

8

Ibid, hal. 25.

kapitalisme global. Pada masa sekarang, berbagai budaya tidak lagi tinggal menetap di suatu
wilayah menunggu untuk diwariskan kepada generasi yang lebih muda sebagai kebudayaan yang
khas, karakter kelompok, atau identitas keturunan. Bahkan bermacam budaya dari berbagai
kebudayaan mengalami partikularitas dengan berbagai pola integrasi dan adaptasi satu sama
lain, 9 seiring berkembangnya jejaring informasi dan pengetahuan yang terkomputerisasi di era
pasca modern. 10
Fokus Permasalahan
Cosplay atau costum player atau mungkin dalam bahasa Jepang biasa disebut kosupure,


adalah sebuah budaya populer dalam bentuk seni penampilan, dimana kostum dan aksesoris para
partisipannya merepresentasikan sebuah karakter spesifik atau ide-ide tertentu. Karakter spesifik
yang direpresentasikan terkonstruksi dari berbagai produk budaya populer seperti komik, film,
hingga game. Di Indonesia sendiri, cosplay menjadi suatu budaya populer yang berkembang dan
membentuk komunitasnya tersendiri.

Bahkan para pecinta budaya populer tersebut

mengidentifikasi diri mereka sebagai cosplayer . Dalam berbagai event yang diselenggarakan
oleh industri produsen budaya populer, terkadang komunitas cosplay mendapat tempat khusus
untuk melakukan penampilan, atau hanya sebatas ikut turut meramaikan. Sampai saat ini
komunitas cosplay yang ada di Indonesia tersebar ke berbagai wilayah, dan terus berjejaring
melalui teknologi informasi yang ada, serta seringkali „bersilaturahmi‟ melalui event yang
diselenggarakan. Karya tulis ini mencoba untuk membongkar fenomena penyebaran budaya
populer cosplay di Indonesia, sebagai suatu budaya yang terus direproduksi dan ditularkan oleh

9

Ibid, hal. 34-35.


10

Jean Francois Lyotard, The Postmodern Condition: A Report On Knowledge (Manchester University Press, 1984),
hal. 25-35.

jejaring informasi dan industri media. Cosplay atau kosupure adalah salah satu contoh budaya
populer yang tidak diproduksi untuk tinggal menetap di Jepang dan menunggu untuk diwariskan.
Cosplay adalah bentuk partikularitas budaya populer yang pola integrasi dan adaptasi-nya

mampu untuk diterima oleh kebudayaan masyarakat Indonesia. Melalui pertanyaan
problematisasi ‖situasi atau kondisi apa yang membuat cosplay dapat tersebar sebagai budaya
populer di Indonesia?‖, karya tulis ini mencoba untuk membongkar dan menyajikan fenomena
penyebaran budaya populer cosplay di Indonesia.
Subjektivitas dan Identitas Budaya
Konsep mengenai subjektivitas dan identitas dalam budaya terhubung erat satu sama lain
dan hampir tidak terpisahkan.11 Karya tulis ini mencoba untuk mengangkat subjektivitas dalam
melihat kondisi dan proses sosial yang membentuk identitas pada diri manusia dan lingkungan
sosialnya. Namun terdapat berbagai konsep serta paradigma pemkiran yang menelaah
subjektivitas dan identitas budaya, dan karya tulis ini akan lebih berfokus untuk menggunakan

subjektifitas dalam pendekatan psikoanalisis dan perspektif foucauldian subject sebagai
komposisi kerangka pemikiran.
Pendekatan psikoanalisis dalam memahami pembentukan identitas melalui diri manusia
dan lingkungan sosialnya berangkat dari subjektivitas yang ada pada diri manusia. Berbagai
penelusuran subjektivitas dalam melihat budaya melalui pendekatan psikoanalisis memiliki
signifikansi yang partikular. Pendekatan psikoanalisis sedikit-banyak memberikan pencerahan
tentang bagaimana melakukan identifikasi dari relasi yang ada hingga regulasi kekuasaan dari
hal-hal yang bersifat diskursif. 12 Selain itu melalui pendekatan psikoanalisis, karya tulis ini
diharapkan mampu lebih banyak membantu dalam melihat serta memahami simbolisasi dan
penandaan melalui bahasa pada identitas dan budaya.

11

Chris Barker, Cultural Studies: Theory and Practice (London, Sage Publication: 2000), hal. 165

12

Ibid, hl. 171

Di dalam pendekatan psikoanalisis sendiri terdapat berbagai penelusuran mengenai

subjektivitas dalam budaya, dan pada bab-bab selanjutnya karya tulis ini akan lebih banyak
menggunakan psikoanalisis yang mengakar pada pemikiran Jacques Lacan. Fokus penggunaan
psikoanalisis dalam karya tulis ini adalah untuk melihat tatanan simbolik dan simbolisasisimbolisasi serta peran bahasa seperti apa yang membuat budaya populer dihasrati untuk
kemudian dapat dinikmati, dan membentuk realitas-atau mungkin fantasi akan realitas13-dari
kenikmatan itu sendiri.
Foucault memiliki sudut pandang mengenai subjek sebagai sesuatu yang secara historis
dan radikal dimunculkan-atau bahkan dibuat untuk muncul-sebagai produk sejarah. 14 Bagi
foucault, subjektivitas hanyalah produksi diskursif, dimana diskursus (sebagai cara yang
diregulasikan atas speaking/practice) memungkinkan orang untuk bicara/praktik pada posisi
subjek, pada hal-hal yang dapat mengsubjekkan orang tersebut sebagai pembicara/praktisi (yang
memproduksi atau mereproduksikan kembali diskursus tersebut).15 Dan dalam karya tulis ini,
perspektif Foucault dalam melihat subjek (foucauldian subject) digunakan untuk melihat posisi
dan peran subjek serta subjektivitas dalam ruang produksi diskursus mengenai budaya dan
identitas.
Produksi Cosplay Sebagai Budaya Populer
Cosplay atau costum player atau mungkin dalam bahasa Jepang biasa disebut kosupure,

adalah

sebuah seni


penampilan dimana

kostum

dan aksesoris

merepresentasikan sebuah karakter spesifik atau ide-ide tertentu.16

para

partisipannya

Terminologi cosplay di

munculkan oleh Nobuyuki Takahashi dari Japanese Studio Hard ketika menghadiri Los Angeles

Lihat Ja ues La a , The se i a of Ja ues La a . Book VII: The ethi s of psy hoa alysis
York:W.W. Norton, 1990. Hal 186


13

14

Chris Barker, Cultural Studies: Theory and Practice (London, Sage Publication: 2000), hal. 174

15

Michel Foucault, Archeology of Knowledge,(London, Routledge: 1989), hal. 95

–1960). New

Ha k “tueve , What Would Godzilla “ay? , The Washi gto Post
Fe ua i
. Diakses elalui
http://www.washingtonpost.com/wp-srv/style/feed/a49427-2000feb14.htm pada tanggal 7/3/2012 pukul 16.31

16

Science World Fiction Worldcon. 17 Para Cosplayers (subjek cosplay) seringkali berinteraksi

untuk membentuk sebuah komunal ditengah masyarakat disaat mereka berkumpul. Ide-ide dalam
penampilan cosplay banyak bersumber dari manga, anime, komik, film dan video games.
Berbagai entitas dari dunia realitas atau virtual membawa para cosplayers kedalam interpretasi
dramatik yang mengangkat mereka sebagai subjek pemeran dalam sumber penampilan mereka.
Interpretasi dramatik tersebut-dalam pendekatan psikoanalisis lacan-terbentuk atas fantasi
kenikmatan atau jouissance 18 dari konstruksi cermin yang memungkinkan bagi subjek untuk
menemukan subjektivitasnya tersendiri melalui lack dalam bentuk kostum dan aksesoris yang
memberikan spirit dan dorongan tertentu. Berikut ini adalah data dalam bentuk foto mengenai
intepretasi dramatik para cosplayer sebagai subjek:

Gambar 1: Aksi dramatis cosplayers di Jakarta yang menikmati subjektivitas
sebagai aktor dalam film animasi.19

A tikel O igi of The Wo ld Cosplay , Yei jee’s Asia Jou al July
. Diakses elalui
http://unrealitymag.com/index.php/2009/04/14/a-nephologic-gallery-of-cloud-strife-cosplay/ pada tanggal 3 Juli
2012 pukul 16.27
17

Lihat Ja ues La a , The se i a of Ja ues La a . Book VII: The ethi s of psy hoa alysis

York:W.W. Norton, 1990. Hal 186

18

19

–1960). New

Sumber: https://www.facebook.com/CosplayIndonesia. diakses pada tanggal 7/72013 pukul 21.04 WIB

Gambar 2: Aksi para cosplayers ditengah masyarakat, di sebuah halte Trans
Jakarta Busway.20

Cosplay, dengan berbagai fantasi-fantasi dan lack sebagai subjektivitas yang terbentuk

melalui dunia virtual dari anime, manga, film, dan video games mampu memproduksi serta
mereproduksi diri sebagai budaya populer. Hal ini dapat dilihat dengan munculnya komunitaskomunitas di seluruh dunia baik di dalam dunia realitas maupun di dunia virtual internet.
Reproduksi budaya populer cosplay juga turut di dorong oleh komodifikasi kostum dan aksesoris
cosplay yang semakin banyak muncul di dunia virtual. Salah satunya dapat dilihat pada website

http://www.cosplayshopper.com/ yang menjual berbagai macam pernak-pernik sebagai lack yang
diproduksi untuk memuaskan hasrat para cosplayer .

Produksi Cosplayers Sebagai Identitas
Produksi cosplay sebagai budaya populer secara diskursif melalui subjektivitas dari sumber
daya anime, manga, film, dan video games yang ada tak lepas dari subjek yang disubjekkan
sebagai subjek atas subjektivitas cosplay itu sendiri. Sebagai sebuah realitas, identitas yang
20

https://www.facebook.com/CosplayIndonesia diakses pada tanggal 7/7/2013 pukul 21.04 WIB

muncul-entah secara bersamaan atau pun parsial-atas cosplayers (pemeran cosplay) ditandai oleh
kostum dan aksesoris cerminan dari aktor-aktor dalam sumber daya produksi itu sendiri.
Produksi cosplayers sebagai identitas atas budaya populer cosplay kemudian memunculkan suatu
paradoks atas realitas dari produksi identitas para cosplayers. Pertama, budaya populer cosplay
diproduksi melalui subjektivitas hasrat para subjek (cosplayers) dalam praktik diskursif atas
sumber produksi cosplay (aktor atau pemeran dalam anime, manga, film, komik, dan video
games). Kedua, cosplayers ditandai oleh kostum-kostum, aksesoris-aksesoris, dan segala bentuk
pernak-pernik yang merupakan cerminan dari sumber produksi cosplay itu sendiri. Sebuah
pertanyaan paradoks kemudian adalah apakah realitas atas budaya populer cosplay ditandai oleh
adanya eksistensi para cosplayers ataukah sebaliknya? Mungkin akan lebih bijak jika pembaca
karya tulis ini kembali ke sudut pandang Foucault mengenai subjek sebagai sesuatu eksistensi
yang secara historis dan radikal dimunculkan-atau bahkan dibuat untuk muncul-sebagai produk
sejarah.21 Dan bagi foucault, subjektivitas hanyalah produksi diskursif, dimana diskursus
(sebagai cara yang diregulasikan atas speaking/practice) memungkinkan seseorang untuk
bicara/praktik pada posisi subjek, pada hal-hal yang dapat mengsubjekkan seseorang tersebut
sebagai pembicara/praktisi!. 22 Dan sebagai suatu realitas mengenai identitas para cosplayer ,
tanpa harus terjebak ke dalam paradoks, dapat dibuktikan atas diselenggarakannya World
Cosplay Summits setiap tahunnya di Jepang, yang dihadiri oleh para cosplayers dari berbagai

negara. 23 Identitas cosplay dalam diri subjek tak hanya diproduksi pada dimensi subjektivitas
para cosplayers. Tidak hanya World Cosplay Summit, kini para cosplayer berjejaring melalui
teknologi

informasi

yang

ada

seperti

melalui

akun

facebook:

https://www.facebook.com/CosplayIndonesia.

21

Chris Barker, Cultural Studies: Theory and Practice (London, Sage Publication: 2000), hal. 174

22

Michel Foucault, Archeology of Knowledge, (London, Routledge: 1989), hal. 95

23

Sumber: http://www.mofa.go.jp/announce/event/2011/8/0808_01.html diakses pada tanggal 3 Juli 2012 pukul
18.18

Cosplay Sebagai Soft Power
“Kosupure (costume play or cosplay), manga and anime are promoted as examples of „Cool
Japan‟…”24

Jepang merupakan negara yang piawai dalam menggunakan diplomasi publiknya. Salah
satu caranya dengan mengandalkan soft power mereka dalam rangka menjalin hubungan dengan
negara-negara di dunia. Khususnya, dengan adanya cultural diplomacy yang mengandalkan
manga dan anime serta cosplay sebagai salah satu instrumen politik luar negeri mereka. Jepang

telah berhasil memperkenalkan negaranya dengan memanfaatkan pop culture animasi yang telah
melekat sebagai simbol budaya Jepang. Jepang sebagai salah satu negara maju di dunia, telah
memiliki teknologi dan industri yang tidak kalah canggih dengan apa yang dimiliki oleh negaranegara Barat. Dalam beberapa tahun belakangan ini, kemajuan drastis telah dibuktikan oleh
Jepang dalam rangka meningkatkan sektor perekonomiannya, terutama sektor pariwisata.
Dengan menggunakan diplomasi publik, pemerintahan Jepang menggunakan cara tersebut untuk
mempromosikan kebudayaan, tempat wisata, dan nilai-nilai masyarakat Jepang ke seluruh
masyarakat dunia.
Dalam diplomasi publik ini, pemerintah tidak terlalu mengambil andil banyak dalam
melakukan diplomasi. Tetapi, Jepang menggunakan multi-national corporations (MNCs), nongovernmental organizations (NGOs), perusahaan swasta, lembaga masyarakat, dan people-topeople dalam rangka mempromosikan Jepang ke dunia internasional. Dalam perspektif ini,

Departemen Luar Negeri Jepang memanfaatkan berbagai fasilitas publik untuk memberikan
masyarakat internasional mengenai informasi tentang Jepang, yang juga bekerjasama dengan
Japan Foundation, Departemen Luar Negeri juga membuat upaya untuk memperkenalkan

budaya tradisional, pop culture, dan berbagai daya tarik Jepang ke negara lain, untuk
memberikan dukungan dalam mempromosikan bahasa Jepang di luar negeri, dan untuk
mendorong people-to-people exchange dengan negara-negara lainnya serta kerjasama melalui
organisasi internasional, seperti; United Nations Educational, Scientific and Cultural

24

Kutipan dari keynote speech menteri luar negeri Jepang pada kegiatan diskusi bersama menteri luar negeri
Koichiro Gemba te ta g Japa ’s Diplo acy i The Future pada Ma et
di kota Nagoya, dihadapa
masyarakat yang hadir. Sumber: http://www.mofa.go.jp/announce/jfpu/2012/04/0405-01.html

Organization (UNESCO) dan United Nations University. 25Departemen Luar Negeri Jepang,

bertujuan untuk memajukan pemahaman dan kepercayaan mengenai Jepang, dengan
menggunakan pop culture, disamping adanya seni dan budaya tradisional, sebagai alat diplomasi
kebudayaan.26
“Beyond „Cool Japan‟: Promotion diplomacy based on Japanese values”, adalah bentuk
diplomasi budaya yang dicanangkan oleh menteri luar negeri Koichiro Gemba melalui
pernyataannya dalam keynote speech yang disampaikan pada kegiatan diskusi pada 17 Maret
2012 di kota Nagoya, dihadapan 200 partisipan yang hadir. 27 Gemba menyatakan bahwa cosplay
sebagai salah satu contoh promosi Cool Japan hanya sebuah pintu masuk menuju Jepang. Dia
berharap, dalam pernyataannya, bangsa lain diluar Jepang akan memulai untuk mempelajari
bahasa Jepang atau belajar memahami nilai-nilai masyarakat Jepang.
Pernyataan

Gemba

dalam

keynote

speech-nya

didukung

oleh

realitas

yang

direpresentasikan secara diskursif mengenai semangat masyarakat Jepang di daerah Tohoku yang
terkena dampak gempa bumi pada 11 Maret 2011, dan telah bangkit untuk memulihkan
perekonomiannya pada bisnis dan usaha lokal serta bisnis dan usaha menengah. Dan terlebih dari
itu, representasi atas nilai-nilai semangat masyarakat Jepang, dengan Tohoku sebagai suatu
contoh, memberikan inspirasi kepada para cosplayers yang mengikuti World Cosplay Summit
2011.28

Penutup
Budaya populer cosplay di Indonesia, adalah salah satu budaya yang terus direproduksi
dan ditularkan melalui jejaring informasi dan industri media. Cosplay atau kosupure sebagai
contoh budaya populer melampaui batas negara yang tidak diproduksi untuk tinggal menetap di
Jepang dan menunggu untuk diwariskan. Cosplay di Indonesia saat ini memiliki bentuk
partikularitas-nya tersendiri sebagai budaya populer, yang pola integrasi dan adaptasi-nya
25

Ministry
of
Foreign
Affairs
of
Japan,
Public
Diplomacy/Culture ,
http://www.mofa.go.jp/policy/culture/index.html, diakses pada tanggal 7/3/2012, pukul. 10.26.
26
Ministry
of
Foreign
Affairs
of
Japan,
Pop-Culture
Diplomacy,
http://www.mofa.go.jp/policy/culture/exchange/pop/index.html, diakses pada tanggal 7/3/2012, pukul. 10.59
wib.
27
Sumber: http://www.mofa.go.jp/announce/jfpu/2012/04/0405-01.html
28

http://www.mofa.go.jp/policy/culture/exchange/pop/wcs2011.html

merasuk hingga ke ranah subjektivitas dan identitas masyarakat Indonesia. Bahkan seringkali
berbagai entitas dari dunia realitas dan virtual bercampur untuk membawa para cosplayers
kedalam interpretasi dramatik yang mengangkat mereka sebagai subjek pemeran dalam sumber
penampilan mereka. Produksi penyebaran cosplay di Indonesia sebagai budaya populer secara
diskursif melalui subjektivitas dari sumber daya anime, manga, film, dan video games, tak lepas
dari subjek yang disubjekkan sebagai subjek atas subjektivitas cosplay itu sendiri. Sebagai
sebuah realitas, identitas yang muncul—entah secara bersamaan atau pun parsial—atas
cosplayers (pemeran cosplay) ditandai oleh kostum dan aksesoris cerminan dari aktor-aktor

dalam sumber daya produksi itu sendiri.
Cultural diplomacy Jepang yang mengandalkan manga dan anime serta cosplay sebagai

salah satu instrumen politik luar negeri mereka, turut memberikan kekuatan tersendiri bagi
cosplay sebagai suatu budaya populer untuk terus ditularkan. Timbal-baliknya, dengan

memanfaatkan pop culture cosplay serta animasi yang telah melekat sebagai simbol budaya,
Jepang telah berhasil memperkenalkan negaranya. Dengan menggunakan diplomasi publik,
pemerintahan Jepang dapat menggunakan pop culture untuk mempromosikan kebudayaan,
tempat wisata, dan nilai-nilai masyarakat Jepang ke seluruh masyarakat dunia. Dan campur
tangan negara terhadap suatu budaya, menandakan bahwa budaya yang tersebar di era globalisasi
ini tidak lepas dari percaturan politik negara-bangsa. Bahkan, dengan dijadikannya budaya
populer sebagai simbol representasi kenegaraan, maka dapat dipahami bahwa terdapat
kedaulatan negara-bangsa di dalam penularan-penularan budaya populer.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Barker, Chris, Cultural Studies: Theory and Practice London: Sage Publication, 2000.
Foucault, Michel, Archeology of Knowledge, London: Routledge, 1989.
Griffiths, Martin International Relations Theory in 21st Century: An Introduction London
dan New York: Routledge, 2007.
Kottak, Conrad Phillip, ―Miror for Humanity: A Concise Introduction to Cultural
Anthropology‖, New York: McGraw-Hill Companies, 2010.
Lacan, Jacques, ―The seminar of Jacques Lacan. Book VII: The ethics of psychoanalysis‖
(1959–1960). New York: W.W. Norton, 1990.
Lyotard, Jean Francois, The Postmodern Condition: A Report On Knowledge, London:
Manchester University Press, 1984.
Nye, Joseph S., Soft Power New York: Public Affairs, 2004.
Media Online:
Stuever, Hank ―What Would Godzilla Say?‖, The Washington Post (14 Februari 2000).
Diakses melalui http://www.washingtonpost.com/wp-srv/style/feed/a49427-2000feb14.htm
Artikel ―Origin of The World Cosplay‖, Yeinjee’s Asian Journal (3 July 2008). Diakses
melalui
http://unrealitymag.com/index.php/2009/04/14/a-nephologic-gallery-of-cloud-strifecosplay/
http://unrealitymag.com/index.php/2009/04/14/a-nephologic-gallery-of-cloud-strife-cosplay/
diakses pada 3 Juli 2012 pada pukul 16.20
http://www.mofa.go.jp/announce/event/2011/8/0808_01.html diakses pada tanggal 3 Juli 2012
pukul 18.18
Ministry
of
Foreign
Affairs
of
Japan,
Public
Diplomacy/Culture,
http://www.mofa.go.jp/policy/culture/index.html, diakses pada tanggal 7/3/2012, pukul. 10.26.