PENGARUH HUMANISME DALAM SAINS MODERN

PENGARUH HUMANISME DALAM SAINS MODERN
Oleh: Eny Kusumastuti
Manusia menyadari bahwa dirinya adalah agen perubahan dalam sejarah peradaban.
Sebagai subyek yang mempunyai kesadaran diri, manusia dapat berhubungan dengan obyek
yang ada di luar dirinya. Melalui kemampuan akal budi dan daya nalarnya, manusia dapat
memahami realitas di luar dirinya dan bukan hanya memahami realitas, tetapi juga dapat
mengubahnya demi kepentingan manusia itu sendiri. Sebagai makhluk yang berkehendak,
manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan hidupnya sendiri. Dengan kata lain,
manusia adalah makhluk otonom yang hidupnya tidak dikendalikan oleh faktor di luar dirinya,
tetapi diarahkan dan diatur oleh kekuatan internal yang dimilikinya.
Nilai-nilai yang dikembangkan oleh gerakan humanisme seperti kebebasan, aktualisasi
diri, otonomi, di satu sisi telah membawa manusia pada kesadaran baru atas kesamaan harkat
dan martabat, menentang berbagai ketidakadilan, diskriminasi dan perbudakan. Akan tetapi di
sisi lain, pendewaan atas nilai-nilai kebebasan dan otonomi dalam kenyataannya telah
membawa manusia pada sikap egosentrisme, individualisme, eksesif, memicu sikap anarkis
dan indefferent yang mematikan rasa solidaritas dan tanggungjawab sosial bahkan kearah
ateis. Kebebasan yang ditiupkan oleh kaum humanisme diikuti dengan perkembangan ilmu
pengetahuan yang luar biasa pesatnya. Dampak dari perkembangan ilmu pengetahuan yang
demikian pesatnya mengharuskan manusia bersikap bijak menggunakan kebebasannya dalam
perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin pesat. Pertanyaannya adalah bagaimana
pengaruh humanisme dalam sains modern?

Pengertian Humanisme
Humanisme adalah istilah dalam sejarah intelektual yang acapkali digunakan dalam
bidang filsafat, pendidikan dan literatur. Kenyataan ini menunjukkan beragam makna yang
terkandung dalam dan diberikan kepada istilah ini. Secara umum, kata humanisme berkenaan
dengan pergumulan manusia dalam memahami dan memaknai eksistensi dirinya dalam
hubungan dengan kemanusiaan orang lain di dalam komunitas. Secara etimologis, istilah
humanisme erat kaitannya dengan kata Latin klasik, yakni humus yang berarti tanah atau
bumi. Dari istilah tersebut muncul kata homo yang berarti manusia (makhluk bumi) dan
humanus yang lebih menunjukkan sifat membumi dan manusiawi. Istilah yang senada
dengannya adalah kata latin humilis yang berarti kesederhanaan dan kerendahan hati
(kesahajaan) (Samho 2013: 18). Makna kata humanisme tersebut menunjukkan bahwa inti
persoalannya adalah humanus atau manusia itu sendiri, artinya bagaimana membentuk
manusia (humanus) itu menjadi lebih manusiawi (melalui humanismus) serta pihak mana atau
siapa yang bertanggungjawab dalam proses pembentukkannya (humanista/umanisti/humanist)
(Samho 2013: 19).
Human sebagai bentuk ajektif berarti bersifat manusiawi. Humanistik berarti bersifat
kemanusiaan. Sedangkan humanisme berarti aliran yang bertujuan menghidupkan rasa
kemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik (Depdikbud 1989: 314315). Dari arti katanya jelas tampak bahwa humanisme merupakan faham yang menganggap
manusia sebagai objek studi terpenting, terutama, pada sifat-sifat kemanusiaannya. Ketika
manusia dipandang dengan segala sifat-sifat kemanusiaannya, maka potensi yang ada pada

diri manusia, yakni potensi yang bersifat psikologis, sosial, dan kultural haruslah menjadi
objek perhatian secara komprehensif.

Humanisme lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia. Pendekatan
ini melihat kejadian yaitu bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal
yang positif. Kemampuan bertindak positif ini yang disebut sebagai potensi manusia dan para
pendidik yang beraliran humanisme biasanya memfokuskan pengajarannya pada
pembangunan kemampuan positif ini. Kemampuan positif disini erat kaitannya dengan
pengembangan emosi positif yang terdapat dalam domain afektif. Visi humanisme ini
bertujuan menyempurnakan kemanusiaan. Tujuan itu harus dicapai melalui proses yang
manusiawi pula, yaitu humanisasi, yang dengan sendirinya mengimplikasikan hominisasi.
“Manusia tidak hanya harus menjadi homo (manusia): dia juga harus menjadi homo yang
human, artinya berkebudayaan lebih tinggi. Ini juga memuat perhalusan (Driyarkara 200: 371;
lihat juga: Mulyana 2004: 111).
Dalam kamus ilmiah populer arti dari kata humanisasi adalah pemanusiaan/penerapan
rasa perikemanusiaan. Sedangkan humanisme adalah suatu doktrin yang menekan
kepentingan-kepentingan kemanusiaan dan ideal (humanisme pada zaman renaissans
didasarkan atas peradaban Yunani purba, sedangkan humanisme modern menekankan manusia
secara eksklusif). Makna kemanusiaan harus selalu dirumuskan secara baru dalam setiap
perjumpaan dengan realitas dan konteks yang baru. Kemanusiaan perlu dilihat bukan sebagai

esensi tetap atau situasi akhir. Makna kemanusiaan adalah proses menjadi manusiawi dalam
interaksi antar manusia dengan konteks dan tantangan yang terus berkembang. Humanisme
dipandang sebagai sebuah gagasan positif oleh kebanyakan orang. Humanisme mengingatkan
kita akan gagasan-gagasan seperti kecintaan akan peri kemanusiaan, perdamaian, dan
persaudaraan. Tetapi, makna filosofis dari humanisme jauh lebih signifikan; humanisme
adalah cara berpikir bahwa mengemukakan konsep peri kemanusiaan sebagai fokus dan satusatunya tujuan. Dengan kata lain, humanisme mengajak manusia berpaling dari Tuhan yang
menciptakan mereka, dan hanya mementingkan keberadaan dan identitas mereka sendiri.
Kamus umum mendefinisikan humanisme sebagai sebuah sistem pemikiran yang berdasarkan
pada berbagai nilai, karakteristik, dan tindak tanduk yang dipercaya terbaik bagi manusia,
bukannya pada otoritas supernatural manapun”.
Humanisme ateistik tidak terlepas dari munculnya modernitas di Eropa sekitar abad
17. Pada masa itu modernisasi bergulir demikian kencang, berkembang pesat, dan mencakup
banyak bidang. Salah satu bidang utama yang terkena imbas proses kemodernan itu adalah
bidang intelektual. Proses ini melahirkan pencerahan intelektual dengan semboyan “sapere
aude!” yang artinya beranilah memakai nalarmu sendiri. Semboyan ini merasuki terutama
para intelektual pada masa itu. Bisa dikatakan pencerahan menjadi dasar kehidupan dan
kerohanian modern. Tuntutannya adalah agar manusia berani berfikir sendiri dan tidak pernah
percaya pada sesuatu yang tidak bisa bertahan di hadapan nalar (Djehaniah 2013: 113).
Pada abad ke-19, semua kepercayaan dan harapan masa pencerahan mencapai
puncaknya. Pada saat itu, kaum intelektual yang tercerahkan atau intelektual progresif, yang

hanya percaya pada apa yang dinalar membuang kepercayaan kepada Tuhan. Humanisme
nyaris identik dengan ateisme, dan fakta ini dengan bebas diakui oleh kaum humanis. Terdapat
dua manifesto/pernyataan penting yang diterbitkan oleh kaum humanis di abad yang lalu. Jika
dipelajari, dalam humanisme ateistik terdapat dogma ateis bahwa alam semesta dan manusia
tidak diciptakan tetapi ada secara bebas, bahwa manusia tidak bertanggung jawab kepada
otoritas lain apa pun selain dirinya, dan bahwa kepercayaan kepada Tuhan menghambat
perkembangan pribadi dan masyarakat. Enam pasal dari manifesto Humanis adalah; (1)
Humanis memandang alam semesta ada dengan sendirinya dan tidak diciptakan, (2)

Humanisme percaya bahwa manusia adalah bagian dari alam dan bahwa dia muncul sebagai
hasil dari proses yang berkelanjutan, (3) Dengan memegang pandangan hidup organik,
humanis menemukan bahwa dualisme tradisional tentang pikiran dan jasad harus ditolak, (4)
Humanisme mengakui bahwa budaya religius dan peradaban manusia, sebagaimana
digambarkan dengan jelas oleh antropologi dan sejarah, merupakan produk dari suatu
perkembangan bertahap karena interaksinya dengan lingkungan alam dan warisan sosialnya.
Individu yang lahir di dalam suatu budaya tertentu sebagian besar dibentuk oleh budaya
tersebut, (5) Humanisme menyatakan bahwa sifat alam semesta digambarkan oleh sains
modern membuat jaminan supernatural atau kosmik apa pun bagi nilai-nilai manusia tidak
dapat diterima, (6) Kita yakin bahwa waktu telah berlalu bagi ateisme, deisme, modernisme,
dan beberapa macam “pemikiran baru”. Dari definisi humanisme tersebut, nampak sekali para

humanis menganggap bahwa manusia adalah segala pusat aktifitas dengan meninggalkan
peran Tuhan dalam kehidupannya.
Konsep Ilmu Pengetahuan (Sains Modern)
Ilmu pengetahuan (science) mempunyai pengertian yang berbeda dengan pengetahuan
(knowledge atau dapat juga disebut common sense). Orang awam tidak memahami atau tidak
menyadari bahwa ilmu pengetahuan itu berbeda dengan pengetahuan. Bahkan mugkin mereka
menyamakan dua pengertian tersebut. Mempelajari apa itu ilmu pengetahuan berarti
mempelajari atau membahas esensi atau hakekat ilmu pengetahuan. Demikian pula membahas
pengetahuan itu juga berarti membahas hakekat pengetahuan.
Perintisan “Ilmu pengetahuan” dianggap dimulai pada abad 4 sebelum Masehi, karena
peninggalan-peninggalan yang menggambarkan ilmu pengetahuan diketemukan mulai abad 4
sebelum Masehi. Abad 4 sebelum Masehi merupakan abad terjadinya pergeseran dari persepsi
mitos ke persepsi logos, dari dongeng-dongeng ke analisis rasional. Contoh persepsi mitos
adalah pandangan yang beranggapan bahwa kejadian-kejadian misalnya adanya penyakit atau
gempa bumi disebabkan perbuatan dewa-dewa. Jadi pandangan tersebut tidak bersifat
rasional, sebaliknya persepsi logos adalah pandangan yang bersifat rasional. Dalam persepsi
mitos, dunia atau kosmos dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan magis, mistis. Atau dengan
kata lain, dunia dijelaskan oleh faktor-faktor luar (eksternal). Sedang dalam persepsi rasional,
dunia dianalisis dari faktor-faktor dalam (internal). Atau dengan kata lain, dunia dianalisis
dengan argumentasi yang dapat diterima secara rasional atau akal sehat. Analisis rasional ini

merupakan perintisan analisis secara ilmiah, tetapi belum dapat dikatakan ilmiah.
Pada periode ini tokoh yang terkenal adalah Aristoteles. Persepsi Aristoteles tentang
dunia adalah sebagai berikut: dunia adalah ontologis atau ada (eksis). Sebelum Aristoteles
dunia dipersepsikan tidak eksis, dunia hanya menumpang keberadaan dewa-dewa. Dunia
bukan dunia riil, yang riil adalah dunia ide. Menurut Aristoteles, dunia merupakan substansi,
dan ada hirarki substansi-substansi. Substansi adalah sesuatu yang mandiri, dengan demikian
dunia itu mandiri.
Pandangan Aristoteles yang dapat dikatakan sebagai awal dari perintisan “ilmu
pengetahuan” adalah hal-hal sebagai berikut: (1) Hal Pengenalan, yang meliputi pengenalan
inderawi; yang memberi pengetahuan tentang hal-hal yang kongkrit dari suatu benda. Dan
pengenalan rasional, yang dapat mencapai hakekat sesuatu melalui jalan abstraksi, (2) Hal
Metode, menurut Aristoteles, “ilmu pengetahuan” adalah pengetahuan tentang prinsipprinsip atau hukum-hukum bukan objek-objek eksternal atau fakta. Penggunaan prinsip atau
hukum berarti berargumentasi (reasoning). Menurut Aristoteles, mengembangkan “ilmu

pengetahuan” berarti mengembangkan prinsip-prinsip, mengembangkan “ilmu pengetahuan”
(teori) tidak terletak pada akumulasi data tetapi peningkatan kualitas teori dan metode.
Secara umum, filsafat ilmu pengetahuan adalah sebuah upaya untuk memahami
makna, metode, struktur logis dari ilmu pengetahuan, termasuk juga di dalamnya kriteriakriteria ilmu pengetahuan, hukum-hukum, dan teori-teori di dalam ilmu pengetahuan. Supaya
lebih fokus, perlu dipertegas beberapa poin tentang filsafat ilmu pengetahuan. Ada berbagai
konsep yang digunakan secara khusus oleh seorang ilmuwan, tetapi tidak dianalisis oleh

ilmuwan tersebut. Misalnya, ilmuwan seringkali menggunakan konsep-konsep seperti
kausalitas, hukum, teori, dan metode (Wattimena 2008: 105).
Ada
berbagai
macam
definisi
atau
pengertian
dari
ilmu,
yaitu:
Ilmu merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab, masdar dari ‘alima–ya’lamu yang berarti
tahu atau mengetahui, sementara itu secara istilah ilmu diartikan sebagai Idroku syai bi
haqiqotih (mengetahui sesuatu secara hakiki). Dalam bahasa Inggris Ilmu biasanya
dipadankan dengan kata science, sedang pengetahuan dengan knowledge. Dalam bahasa
Indonesia kata science (berasal dari bahasa latin dari kata Scio, Scire yang berarti tahu)
umumnya diartikan Ilmu tapi sering juga diartikan dengan Ilmu Pengetahuan, meskipun
secara konseptual mengacu pada makna yang sama (Suriasumantri 1998: 39).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud 1998: 231) memiliki dua
pengertian: (1) Ilmu Pengetahuan diartikan sebagai suatu pengetahuan tentang suatu bidang

yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk
menerapkan gejala-gejala tertentu dibidang (pengetahuan) tersebut, seperti ilmu hukum, ilmu
pendidikan, ilmu ekonomi dan sebagainya, (2) Ilmu pengetahuan diartikan sebagai
pengetahuan atau kepandaian, tentang soal duniawi, akhirat, lahir, batin, dan sebagainya,
seperti ilmu akhirat, ilmu akhlak, ilmu batin, ilmu sihir, dan sebagainya. Dari kedua
pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang
disusun secara sistematis, dengan menggunakan metode-metode tertentu.
Ilmu bukan sekedar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan
pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan
seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat,
ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang
dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemology (Bertens 1989: 16).
Setiap aktivitas ilmiah tentu bertolak dari konsep, karena konsep merupakan sebuah
struktur pemikiran. Sontag (1987: 141) menyatakan bahwa setiap pembentukan konsep selalu
terkait dengan empat komponen, yaitu, kenyataan (reality), teori (teori), kata-kata (words),
dan pemikiran (thought). Kenyataan hanya akan merupakan sebuah misteri manakala tidak
diungkapkan ke dalam bahasa. Teori merupakan tingkat pengertian tentang sesuatu yang
sudah teruji, sehingga dapat dipakai sebagai titik tolak bagi pemahaman hal lain. Kata-kata
merupakan cerminan ide-ide yang sudah diverbalisasikan. Pemikiran merupakan produk akal
manusia yang diekspresikan ke dalam bahasa. Kesemuanya itu akan membentuk pengertian

pada diri manusia, pengertian ini dinamakan konsep.
Daoed Joesoef ( 1987: 25-26) menunjukkan bahwa pengertian ilmu mengacu pada tiga
hal, yaitu: produk-produk, proses, masyarakat. Ilmu pengetahuan sebagai produk yaitu
pengetahuan yang telah diketahui dan diakui kebenarannya oleh masyarakat ilmuwan.
Pengetahuan ilmiah dalam hal ini terbatas pada kenyataan-kenyataan yang mengandung
kemungkinan untuk disepakati dan terbuka untuk diteliti, diuji, dan dibantah oleh seseorang.
Ilmu pengetahuan sebagai proses artinya kegiatan kemasyarakatan yang dilakukan demi

penemuan dan pemahaman dunia alami sebagaimana adanya, bukan sebagaimana yang kita
kehendaki. Metode ilmiah yang khas dipakai dalam proses ini adalah analisis-rasional,
objektif, sejauh mungkin “impersonal” dari masalah-masalah yang didasarkan pada percobaan
dan data yang dapat diamati. Bagi Thomas Khun “normal science” adalah ilmu pengetahuan
dalam artian proses. Ilmu pengetahuan sebagai masyarakat artinya dunia pergaulan yang
tindak-tanduknya, perilaku dan sikap serta tutur katanya diatur oleh empat ketentuan
(imperative) yaitu universalisme, komunalisme, tanpa pamrih (disinterstedness), dan
skeptisisme yang teratur.
Meslen (1985: 65-66) mengemukakan beberapa ciri yang menandai ilmu pengetahuan
yaitu: (1) Ilmu pengetahuan secara metodis harus mencapai suatu keseluruhan yang secara
lohis koheren. Itu berarti adanya sistem dalam penelitian (metode) maupun harus (susunan
logis). (2) Ilmu pengetahuan tanpa pamrih, karena hal itu erat kaitannya dengan

tanggung jawab ilmuwan. (3) universalitas ilmu pengetahuan. (4) Objektivitas, artinya setiap
ilmu terpimpin oleh objek dan tidak didistorsi oleh prasangka-prasangka subjektif (5) Ilmu
pengetahuan harus dapat diverifikasi oleh semua peneliti ilmiah yang bersangkutan, karena itu
ilmu pengetahuan harus dapat dikomunikasikan. (6) progresivitas artinya suatu jawaban
ilmiah baru bersifat ilmiah sungguh-sungguh, bila mengandung pertanyaan-pertanyaan baru
dan menimbulkan problem-problem baru lagi. (7) Kritis, artinya tidak ada teori ilmiah yang
difinitif, setiap teori terbuka bagi suatu peninjauan kritis yang memanfaatkan data-data baru.
(8) Ilmu pengetahuan harus dapat digunakan sebagai perwujudan kebertautan antara teori
dengan praktis.
Ciri umum dari kebenaran ilmu pengetahuan yaitu bersifat Rasional, Empiris, dan
Sementara. Rasional artinya kebenaran itu ukurannya akal. Sesuatu dianggap benar menurut
ilmu apabila masuk akal. Sebagai contoh dalam sejarah kita menemukan adanya bangunan
Candi Borobudur yang sangat menakjubkan. Secara akal pembangunan Candi Borobudur
dapat dijelaskan, misalnya bangunan tersebut dibuat oleh manusia biasa dengan menggunakan
teknik-teknik tertentu sehingga terciptalah sebuah bangunan yang megah. Janganlah kita
menjelaskan bahwa Borobudur dibangun dengan menggunakan kekuatan-kekuatan di luar
manusia, misalnya jin, sihir, setan, atau jenis makhluk-makhluk lainnya. Kalau penjelasan
seperti ini, maka sejarah bukanlah sebagai ilmu pengetahuan. Empiris artinya ilmu itu
berdasarkan kenyataan. Kenyataan yang dimaksud di sini yaitu berdasarkan sumber yang
dapat dilihat langsung secara materi atau wujud fisik. Empiris dalam sejarah yaitu sejarah

memiliki sumber sejarah yang merupakan kenyataan dalam ilmu sejarah. Misalnya kalau kita
bercerita tentang terjadinya Perang, maka perang itu benar-benar ada berdasarkan bukti-bukti
atau peninggalan-peninggalan yang ditemukannya. Kemungkinan masih adanya saksi yang
masih hidup, adanya laporan-laporan tertulis, adanya tempat yang dijadikan pertempuran, dan
bukti-bukti lainnya. Dengan demikian, cerita sejarah merupakan cerita yang memang-memang
empiris, artinya benar benar terjadi. Kalau cerita tidak berdasarkan bukti, bukan sejarah
namanya, tetapi dongeng yang bersifat fiktif. Sementara artinya kebenaran ilmu pengetahuan
itu tidak mutlak seperti halnya kebenaran dalam agama. Kemutlakan kebenaran agama
misalkan dikatakan bahwa Tuhan itu ada dan memiliki sifat yang berbeda dengan
makhluknya. Ungkapan ini tidak dapat dibantah harus diyakini atau diimani oleh manusia.
Lain halnya dengan ilmu pengetahuan, kebenarannya bersifat Sementara, artinya dapat
dibantah apabila ditemukan teori-teori atau bukti-bukti yang baru. Dalam sejarah,
kesementaraan ini dapat dalam bentuk perbedaan penafsiran terhadap suatu peristiwa.
Perbedaan ini dapat diterima selama didukung oleh bukti yang akurat. Kesementaraan inilah

yang membuat ilmu pengetahuan itu berkembang terus ( http://id.shvoong.com/socialsciences/education/2070809-sifat-sifat-ilmu-pengetahuan/#ixzz1Hwi8NhCF).
Sedangkan syarat ilmu Pengetahuan sebagaimana pendapat Vardiansyah (2008: 8)
dalam bukunya Filsafat Ilmu Komunikasi, bahwa ilmu pengetahuan ilmiah harus memenuhi
tiga syarat, yaitu: (1) Sistematik; yaitu merupakan kesatuan teori-teori yang tersusun sebagai
suatu sistem, (2) Objektif; atau dikatakan pula sebagai intersubjektif, yaitu teori tersebut
terbuka untuk diteliti oleh orang lain/ahli lain, sehingga hasil penelitian bersifat universal. (3)
Dapat dipertanggung jawabkan; yaitu mengandung kebenaran yang bersifat universal, dengan
kata lain dapat diterima oleh orang-orang lain atau ahli-ahli lain.
Sebagai pandangan lain, syarat utama berdirinya sebuah ilmu pngetahuan adalah
bersifat umum-mutlak dan dapat memberi informasi baru. Teori ini dipakai dikarenakan
esensinya bisa dipandang uneversal aau memenuhi syarat kebenaran inter-subjektif. Dan ilmu
harus dibangun dan dikembangkan di atas tiga pondasi utama yaitu data, teori/epistemologi
dan nilai/etika (Anwar 2007: 24). Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang bertujuan untuk
mencapai kebenaran ilmiah tentang objek tertentu, yang diperoleh melalui pendekatan atau
cara pandang (approach), metode (method),dan sistem tertentu.
Objek ilmu pengetahuan itu ada yang berupa materi (objek materi) dan ada yang
berupa bentuk (objek formal). Objek materi adalah sasaran material suatu
penyelidikan,pemikiran, atau penelitian keilmuan bisa berupa benda-benda material maupun
yang nonmaterial, bisa pula berupa hal-hal, masalah-masalah, ide-ide dan konsep-konsep.
Objek material adalah seluruh lapangan atau bahan yang dijadikan objek penyelidikan suatu
ilmu. Objek Formal adalah objek material yang disoroti oleh suatu ilmu, sehingga
membedakan ilmu satu dengan ilmu lainnya, jika berobjek material sama. Pada garis
besarnya, objek ilmu pengetahuan ialah alam dan manusia (Surajiyo 2005: 29).
Dari keterangan diatas dapat dipahami bahwa menurut objek formalnya, ilmu
pengetahuan itu justru berbeda-beda dan banyak jenis serta sifatnya. Ada yang tergolong ilmu
pengetahuan fisis (ilmu pengetahuan alam), karena pendekatan yang dilakukan menurut segi
yang fisis. Ada pula yang tergolong ilmu pengetahuan non-fisis (ilmu pengetahuan sosial dan
humaniora serta ilmu pengetahuan Ketuhanan), Karena pendekatannya menurut segi kejiwaan.
Golongan pertama termasuk ilmu pengetahuan yang bersifat kuantitatif, sedangkan golongan
kedua merupakan ilmu pengetahuan yang bersifat kualitatif.
Sumber ilmu pengetahuan diantaranya: empirisme, rasionalisme, intuisi, dan wahyu.
Empirisme berasal dari Yunani Empirikos, yang artinya pengalaman. Menurut aliran ini
manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya dan bila dikembalikan kepada kata
Yunani, pengalaman yang dimaksud ialah pengalaman indrawi (Fatsir 2007: 24).Rasionalisme
menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar
diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia memperoleh pengetahuan melalui kegiatan
menangkap objek. Akal menggunakan konsep-konsep rasional atau ide-ide universal. Konsep
tersebut mempunyai wujud dalam alam nyata dan bersifat universal.Yang dimaksud dengan
prinsip-prinsip universal adalah abstraksi dari benda-benda konkrit (Nasution 15). Intuisi
menurut Henry Bergson adalah hasil dari evolusi pemahaman yang tertinggi. Kemampuan ini
mirip dengan insting, tetapi berbeda dengan kesadaran dan kebebasannya. Pengembangan
kemampuan ini (intuisi) memerlukan suatu usaha. Ia juga mengatakan bahwa intuisi adalah
suatu pengetahuan yang langsung, yang mutlak. Menurutnya, mengatasi sifat lahiriah
pengetahuan simbolis, yang pada dasarnya bersifat analis, menyeluruh, mutlak, dan tanpa
dibantu penggambaran secara simbolis. Karena itu intuisi adalah sarana untuk mengetahui

secara langsung dan seketika (Salam 102). Wahyu adalah pengetahuan yang disampaikan oleh
Allah kepada manusia lewat perantara para nabi. Para nabi memperoleh dari Tuhan tanpa
upaya, tanpa bersusah payah. Pengetahuan mereka terjadi atas kehendak Tuhan. Tuhan
mensucikan jiwa mereka untuk memperoleh kebenaran dengan jalan wahyu (Salam 103).
Pengetahuan dengan jalan ini merupakan kekhususan para nabi. Hal inilah yang
membedakan mereka dengan manusia lainnya. Akal meyakinkan bahwa kebenaran
pengetahuan mereka berasal dari Tuhan, karena pengetahuan ini memang ada pada saat
manusia biasa tidak mampu mengusahakannya, karena hal ini memang diluar kemampuan
manusia. Bagi manusia tidak ada jalan lain kecuali menerima dan membenarkan semua yang
berasal dari Nabi (Muatofa 1997: 106).
Menurut Archei J. Bahm, ada enam komponen dalam ilmu pengetahuan (Muslih 2004:
35), yaitu: (1) adanya masalah (problem), (2) adanya sikap ilmiah meliputi keingintahuan,
spekulasi, kemauan untuk objektif, kemauan utnuk menangguhkan penilaian, dan
kesementaraan, (3) menggunakan metode ilmiah meliputi lima langkah, yaitu menyadari akan
masalah, menguji masalah, mengusulkan solusi, menguji usulan atau proposal dan
memecahkan masalah., (4) adanya aktifitas yang dilakukan oleh orang-orang khusus (aspek
individu), sedangkan aspek social meliputi aktivitas ilmiah yang mencakup lebih banyak dari
apa yang dikerjakan oleh para ilmuwan khusus, (5) adanya simpulan adalah akhir atau tujuan
yang membenarkan sikap, metode, dan aktifitasnya sebagai cara-cara, (6) adanya pengaruh
terhadap teknologi dan industri, masyarakat dan peradaban.
Pengaruh Humanisme dalam Sains Modern
Konsep humanisme sebenarnya tidak mempunyai kaitan logis dengan ateisme.
Humanisme tidak menyebabkan seseorang menjadi ateis atau teis. Humanisme adalah gagasan
netral tentang humanitas yang mau menegaskan martabat manusia sebagai manusia. Manusia
pantas dihormati karena ia adalah manusia. Manusia bukan binatang yang bisa ditendang,
bukan pula barang yang mudah dibuang, bukan juga tuhan yang mesti disembah atau hantu
yang harus ditakuti. Humanisme bukanlah konsep tentang agama atau Tuhan sehingga
humanisme sepantasnya tidak menggantikan agama karena memang tidak setara dengannya.
Kalau ternyata ada humanism yang menolak agama, maka ia tidak layak lagi menyandang
label humanisme yang konsep ontologis eksistensi manusia otentik yang bertujuan
kemanusiaan. Oleh karenanya istilah humanisme ateis menjadi contradiction in terminis
(Subianto 2013: 197).
Pengaruh faham humanisme sangat besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Ketika perkembangan teknologi yang pesat dimana segala sesuatu bisa di atasi oleh
teknologi ini timbullah pertanyaaan apakah manusia masih dikatakan humanisme? apakah
manusia telah digantikan oleh mesin-mesin teknologi? yang menyukai film petualangan
doraemeon tentang dunia robot kaleng mungkin mengetahui bahwa suatu saat mungkin robot
menggantikan peran manusia. Film i robot juga menceritakan bagaimana robot bisa berevolusi
dengan memiliki emosi. Film mungkin terlihat adalah suatu fiksi dan hanya suatu cerita
khayalan. Tapi jangan salah ada ide seperti kedua film ini menujukan bahwa ada kemungkian
itu akan terjadi di masa selanjutnya.
Kajian mengenai manusia sebenarnya telah banyak tokoh yang telah uraikan.
Sebenarnya selama ini pertanyaan dan analisa tentang identitas dan kemanusiaan itu
sebenarnya tidak cukup memadai. Analisa mengenai identitas dan kemanusiaan yang
dilakukan oleh para fisuf sejak zaman yunani hingga sekarang hanya berkutat pada perdebatan

teori dan tatanan bahasa. Analisa terbaru menunjukan bahwa identitas manusia itu tidak stabil.
Namun ketika kita melihat pesatnya perkembangan IPTEK dimana ditunjukannya dengan
munculnya teknologi seperti kloning, mutasi dan modifikasi gen dan lain sebagainya
menunjukkan fenomena baru bahwa manusia itu telah mampu melampaui identitas dan
kondisi moral manusia itu sendiri. Dalam kondisi ini rasionalitas manusia mengalami
perubahan dimana munculnya rasionalitas yang berdasarkan tekno science. Dalam era
globalisasi ini dimana pertukaran barang dan informasi begitu canggih justru faktanya
meningkatkan adanya ketidakadilan. Teknologi yang awalnya diharapkan bisa menanggulangi
permasalahan ketidakadilan justru menimbulkan masalah baru lagi sebagai dampak negatif
dari suatu teknologi. hal ini menunjukan bahwa ada fenomena overcomin dalam diri manusia
ketika munculnya science dan teknologi. Disini timbullah beberapa masalah seperti apakah
humansime itu menjadi term terakhir dalam sejarah peradaban manusia?
Modernisme dengan kata saktinya “perkembangan” dan “perubahan” mampu
menciptakan sebuah bentuk masyarakat baru yang semakin menjauh dari tradisi, semakin
fasih dan bebas menafsirkan ulang dirinya dan dunianya sendiri. Hal ini sebagai akibat dipicu
oleh manifestasi modernisme yang mengagumkan dalam sains dan aplikasinya dalam
teknologi. Lebih ekstrim lagi, bahkan kini teknologi nyaris menggantikan fungsi dan
kedudukan penting individu terutama dalam dunia kerja dan bisnis. Kemewahan teknologi
dengan segala kecanggihan dan kemutakhirannya telah menjadi sandaran hidup manusia yang
paling diandalkan dan dalam banyak hal memang meringankan dan bahkan menggantikan
kerjaan manusia. Segala sisi modernisme itu menyebar dan masuk dalam kehidupan manusia
sehari-hari terutama melalui produk yang dikonsumsi, perangai pasar, etos kerja, teknologi
baru, model-model transportasi, karya seni, atau pun sistem komunikasi.
Dampak lebih jauh dari perkembangan modernitas adalah semakin melumernya system
nilai tradisional, serentak semakin terkikisnya kekuatan personal manusia yang digantikan
oleh kekuatan mesin. Slogan baru seperti universalisme, totalitas, unifikasi, homogenisasi
menghancurkan sistem local dan partikularitas. Otonomi subyek dan pengutamaan rasionalitas
menjadi kekuatan yang sangat represif, memaksa dan mendominasi. Dengan kata lain dibawah
kekuatan rasio dan otonomi subyek, manusia justru ditindas dan dijajah. Akibatnya, secara
sederhana dapat dikatakan bahwa modernisme yang tadinya hendak menuntun manusia
menyongsong pencerahan dimana kebebasan dan toleransi menjadi cita-cita dan mega
proyeknya, justru menelantarkan manusia dalam rimba kemegahan yang semu dan bahkan
menggerogoti kemanusiaan itu sendiri.
Penutup
Humanisme memandang manusia, sebagai mahluk yang memiliki potensi dan
memiliki kebebasan untuk mengaktualisasikan potensi tersebut. Sains, sebagai bagian
peradaban, memberi ruang bagi manusia untuk membentuk dunianya berkenaan dengan
penyelesaian atas persoalan-persoalan yang bersifat empirik, nyata, pasti, objektif, dan
universal. Spektrum persoalan-persoalan ini, nyaris membias dalam seluruh kehidupan.Oleh
sebab itu, ia sangat fungsional dalam meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Humanisme
adalah gagasan netral tentang humanitas yang mau menegaskan martabat manusia sebagai
manusia. Dengan kemampuannya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia
berusaha untuk menaklukkan dunia. Tetapi kenyataan yang terjadi, sejalan dengan modernitas

di segala bidang, kedudukan manusia justru menjadi tertindas dan menjadi budak kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri.
Daftar Pustaka
Anwar, H. Saeful. 2007. Filsafat Ilmu Al-Ghazali:Dimensi Ontologi dan Aksiologi,Pustaka
Setia, Bandung, 2007.
Bertens. K. 1989. Susunan Ilmu Pengetahuan Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu, Jakarta:
Gramedia.
Depdikbud. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jakarta: Balai Pustaka.
Dinarpratama.2010.Pendidikan dalam Perspektif Aliran Humanisme. http://dinarpratama.
wordpress.com/2010/11/28/pendidikan-dalam-perspektif-aliran-humanisme/
Driyarkara, N. 2006. Karya Lengkap Driyarkara, Esai-esai Filsafat Pemikir yang Terlibat
Penuh dalam Perjuangan Bangsanya. Penyunting: A.Sudiarja, dkk. Jakarta: Gramedia.
Djehanih, Darius. 2013. Humanisme Ateistik (Humanisme dan Humaniora editor Bambang
Sugiharto).Bandung: Matahari.
H.A. Mustafa. 1997. Filsafat Islam,Bandung: Pustaka Setia
www.jjnet.com/archives/documents/humanist.htm.
Joesoef, Daoed. 1987. “Pancasila Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan”, dalam Pancasila
sebagai orientasi Pengembangan Ilmu, Yogyakarta: PT Badan Penerbit Kedaulatan
Rakyat: Yogyakarta, 1987, hlm. 25-26.
Langgulung, Hasan. 2004. Manusia dan Pendidikan, Yogyakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru.
Meslen, Van. 1985. Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita, Jakarta: Gramedia.
Mulyana, D. 2004. “Pendidikan Perspektif Sunda” dalam: Tim Puspar UGM. 2004. Wawasan
Budaya untuk Pembangunan. Yogyakarta: Pilar Politika.
Mustansyir, Rizal. 2006. Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muslih, Muhammad. 2004. Filsafat Ilmu; Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan
Kerangka teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar.
Nasution, Harun. Filsafat Agama
Salam, Burhanuddin. 1987. Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Renika
--------------------------. 1987. Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: PT. Renika
Samho, Bartolomeus. 2013. Humanisme Yunani Klasik Dan Abad Pertengahan (Humanisme
dan Humaniora editor Bambang Sugiharto). Bandung: Matahari.
Subianto B,Antonius. 2013. Humanisme: Agama Alternatif? Humanisme, Humanitas dan
Humaniora (Humanisme dan Humaniora editor Bambang Sugiharto), Bandung:
Matahari.
Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar,Jakarta: PT Bumi Aksara.
Suriasumantri, Jujun S. 1998. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer.Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Sifat-sifat ilmu pengetahuan http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2070809-sifatsifat-ilmu-pengetahuan/#ixzz1Hwi8NhCF
Sontag. 1987. Element og Philosophy, New York: Charles Schibner’s Son.
Tafsir, Ahmad. 2007. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja
Rosdakarya,cet. VII.
Vardiansyah, Dani. 2008. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Jakarta: Indeks
Wattimena, Reza A. 2008. Filsafat dan Science Sebuah Pengantar, Grasindo: Jakarta.