KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI I (1)

KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN YANG MISKIN REPRESENTASI

Pengantar
Tulisan ini akan membahas dan mengkaji tentang kebijakan pemerintah dalam
penanggulangan kemiskinan dengan berbagai macam bentuk dan program yang telah
dilakukan oleh. Fokus ini didasarkan pada alasan bahwa dalam kurun waktu pasca orde
atau pada masa bergulirnya era reformasi, permasalahan kemiskinan masih menjadi
polemik dan fenomena bangsa. Berbagai kebijakan pemerintah telah dilakukan dalam
mengatasi masalah kemiskinan, namun pada kenyataannya tidak secara signifikan
menekan angka kemiskinan di Indonesia. Bahkan dalam beberapa kebijakan yang ada
bukannya mengatasi masalah kemiskinan, justru melahirkan masalah baru.
Masalah kemiskinan seolah tak pernah luput diperbincangkan dan menjadi
masalah di setiap rezim pemerintahan di Indonesia. Berbagai upaya pemerintah telah
dilakukan dengan berbagai program untuk memberdayakan masyarakat miskin di
Indonesia. Mulai dari program kompensasi pengurangan subsidi bahan bakar minyak
(PKPS-BBM) dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT) Rp 100.000 per keluarga per
bulan, sampai dengan pembagian kartu keluarga miskin (gakin) untuk kepentingan
pengobatan gratis, program beras untuk rakyat miskin (raskin), sampai kepada
distribusi Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) bagi masyarakat miskin .
Dalam realisasinya, berbagai program ini mengalami distorsi dalam tata kelola dan arah


program. Aktivitas-aktivitas yang dilakukan justru memunculkan ketergantungan
masyarakat. Jika semula mereka malu disebut miskin, lambat laun justru bersiasat
untuk dikategorikan miskin agar memperoleh bantuan. Realitas ini sungguh
memprihatinkan sehingga kita perlu menyatukan energi untuk mengembalikan alur
program anti kemiskinan yang berorientasi pada penumbuhan kemandirian warga.
Dalam tataran ideal normatif dan kaca mata pemerintah, program ini telah
dianggap sangat berhasil dalam rangka memberdayakan masyarakat miskin khususnya
di pedesaan. Ini terlihat dari berbagai iklan dan tayangan di media massa yang
menggambarkan bagaimana program-program tersebut telah berhasil merubah tatanan
yang ada di desa melalui program ini.. Selain itu, berbagai prosedur dirancang dan
dijalankan untuk mengatasi masalah tertentu, namun pada kenyataannya prosedurprosedur tersebut ternyata sama sekali tidak menjamin keberhasilan mencapai misi
1

yang dicanangkan. Reduksi proses kebijakan menjadi sekedar prosedur meningkatkan
resiko kegagalan. Hal tersebut menurut hemat penulis dikarenakan oleh : pertama,
kebijakan tersebut masih menggunakan pola pendekatan teknoratis dengan model
kelembagaan dan mengabaikan konteks kemiskinan yang sesungguhnya. Kedua, pada
tataran implementasi dan evaluasi kebijakan sangat lemah, karena lebih bersifat
prosedural sehingga konsep yang ideal tidak sesuai dengan fakta yang terjadi di
lapangan.

Untuk mengkaji dan menganalisis kebijakan tersebut, akan diawali dengan
mengelaborasi konsep dan teori tentang kebijakan publik serta kemiskinan dan
pemberdayaan. Dalam mengemukakan teori penulis hanya berfokus pada teorisasi yang
sejalan dengan pokok bahasan dalam makalah ini. Pada bagian selanjutnya akan
dideskripsikan secara singkat beberapa kebijakan pemerintah dalam penanggulangan
kemiskinan. Untuk bagian selanjutnya penulis akan berusaha menganalisis kebijakan
tersebut dengan berpedoman pada landasan teori yang telah dikemukakan sebelumnya
serta teori-teori yang relevan. Pada bagian akhir dari tulisan ini berisi simpulan dari
seluruh tulisan.
Konsepsi Kemiskinan
Pemaknaan tentang kemiskinan yang sering dijumpai dalam masyarakat adalah
ketika adanya kesenjangan pendapatan dengan kebutuhan yang ada. Dalam pandangan
ini kemiskinan didefinisikan secara terbatas dengan ukuran keterbatasan materiil atau
ekonomi, padahal sesungguhnya makna kemiskinan dapat digambarkan secara luas.
Seperti yang diungkapkan oleh Ambar Teguh Sulistiyani (2004, h. 17) bahwa definisi
umum kemiskinan adalah bilamana masyarakat berada pada suatu kondisi yang serba
terbatas, baik dalam aksesibilitas pada faktor produksi, peluang/kesempatan berusaha,
pendidikan, fasilitas hidup lainnya, sehingga dalam setiap aktivitas maupun usaha
menjadi sangat terbatas. Keterbatasan itu terjadi karena dibarengi oleh ketidak
berdayaan, baik secara ekonomi, sosial, pendidikan, politik, dan kekuasaan.

Hal senada diungkapkan oleh Nugroho (1999, h. 31) bahwa kemiskinan pada
dasarnya bukan hanya berurusan dengan persoalan ekonomi tetapi bersifat
multidimensional, karena dalam kenyataannya juga berurusan dengan persoalanpersoalan non-ekonomi (seperti sosial, budaya, dan politik). Dengan demikian,
pemaknaan akan konsepsi kemiskinan tidak hanya dapat diukur dengan menggunakan
2

data-data yang berupa angka (kuantitatif). Karena pada kenyataannya, dimensi
kemiskinan hakekatnya tidak dapat didekati hanya dengan memakai pendekatan yang
absolut. Sehingga memahami kemiskinan tidak mesti hanya melihatnya pada dimensi
ekonomi, tetapi lebih dari itu, juga memperhatikan prioritas lainnya berupa dimensi
non-ekonomi.
Kekeliruan dalam memaknai dan memahami kemiskinan akan berujung pada
kesalahan dalam menerapkan kebijakan untuk menanggulanginya. Hal inilah yang
terjadi selama ini di Indonesia, karena pemerintah senantiasa menerapkan kebijakan
penanggulangan kemiskinan

dengan

memakai


ukuran

angka-angka

ekonomi.

Akibatnya, beragam program (proyek) penanggulangan kemiskinan tidak mampu
menekan dan mengurangi kemiskinan sampai saat ini. Pemerintah cenderung
mengkonsepsikan kemiskinan dengan ukuran ketidakmampuan secara ekonom dengan
melihatnya dari indeks pengeluaran rumah tangga. Sehingga upaya penanggulangannya
dilakukan dengan pemberian bantuan yang sifatnya stimulan, yang tidak berorientasi
pada upaya mensejahterakan masyarakat dengan tujuan jangka panjang.
Pembahasan
Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Sebagai Kompensasi
Kebijakan penanggulangan kemiskinan pada masa-masa awal reformasi
cenderung merupakan kebijakan politis yang sangat teknoratis dan elitis. Di mana
pemerintah kala itu dalam merumuskan kebijakan dalam rangka penanggulangan
kemiskinan hanya untuk meredam keresahan masyarakat akibat kebijakan lain yang
berdampak besar bagi masyarakat khususnya kalangan bawah (miskin). Hal tersebut
terlihat dari kebijakan Jaring Pengaman Sosial yang dirumuskan sebagai peredam kejut

dampak krisis ekonomi sekaligus kompensasi atas dicabutnya subsidi tertentu sebagai
bagian dari penerapan structural adjustmen program. Kebijakan JPS mencakup antara
lain JPS bidang pendidikan, kesehatan, dan pembangunan daerah sebagai upaya
penanggulangan kemiskinan.
Program lainnya yang menimbulkan banyak kontroversi adalah program BLT
(Bantuan Langsung Tunai), di mana masyarakat yang tergolong kategori miskin
(menurut versi pemerintah) diberikan bantuan uang bulan sebesar RP. 100.000 per
bulan. Alih-alih Program BLT ini mengatasi masalah kemiskinan, justru kemudian
banyaknya muncul orang miskin baru yang didata oleh pejabat lokal hanya untuk
3

sekedar mendapatkan uang bulanan, yang peruntukannya tidak dilakukan secara
obyektif dan menyentuh langsung kebutuhan mereka.
Kebijakan penanganan kemiskinan tersebut yang lebih merupakan bantuan
stimulan dan bantuan langsung terkesan hanya memberi manfaat sesaat bagi
masyarakat, bahkan cenderung hanya untuk kepentingan politis rezim yang berkuasa.
Hal ini terjadi karena kebijakan tersebut dibuat untuk menutupi ekses dari kebijakan
lain yang kontroversi di masyarakat. Seperti yang terjadi pada program PKPS BBM dan
Bantuan Langsung Tunai yang diberikan sebagai konsekuensi atau dalam bahasa
pemerintah sebagai kompensasi dari kebijakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak


yang banyak menuai protes di kalangan masyarakat. Sehingga untuk meredam dan
mengalihkan perhatian publik, pemerintah dengan otoritasnya membuat kebijakan
yang berupa bantuan langsung kepada masyarakat, yang dampaknya justru melahirkan
masalah baru di kalangan masyarakat miskin.
Bantuan Beras Miskin Dijual!
Salah satu kebijakan pemerintah untuk meringankan beban masyarakat miskin
yang sampai saat masih terus berjalan adalah bantuan beras bagi keluarga miskin.
Kebijakan ini ditempuh pemerintah dengan asumsinya sendiri bahwa masyarakat pada
dasarnya mengalami kemiskinan berupa kekurangan bahan makanan. Sehingga
pemerintah memberikan subsidi berupa pengalokasian bantuan beras, yang dibeli
dengan harga yang lebih murah dari harag pasar. Namun kemudian di balik
keberhasilan program ini, ada beberapa hal yang patut untuk dikaji lebih mendalam
tentang kebijakan tersebut. Hal ini penting mengingat di beberapa tempat, program ini
tidak dapat mengatasi problema kemiskinan dan kebutuhan masyarakat.
Permasalahan-permasalahan yang timbul akibat kebijakan ini, menurut persepsi
penulis di antaranya : Pertama, fakta di berbagai daerah, banyak masyarakat miskin
yang tidak menerima bantuan raskin ini dan ada juga masyarakat yang seharusnya
tidak berhak menerima bantuan raskin ini tetapi mendapatkan beras raskin ini. Hal ini
terjadi karena ukuran kemiskinan terkadang hanya ditentukan oleh elit-elit tertentu di

suatu wilayah (desa). Akibatnya, sistem pendataan kadang hanya dilakukan dengan
merujuk pada kedekatan hubungan kekeluargaan.
Kedua, substansi kebutuhan pada sebagian masyarakat di suatu wilayah tidak
dalam konteks kebutuhan akan bahan makanan atau miskin pangan. Kenyataan di
4

beberapa daerah yang penulis pernah temui, adanya masyarakat yang mendapatkan
beras raskin menjual kembali berasnya kepada orang lain, untuk dibelikan bahan pokok
lainnya. Bahkan kadang ditemukan masyarakat yang menjual beras raskin karena
dianggap kualitas beras raskin tersebut tidak memenuhi standar untuk dikonsumsi.
Celakanya, beras raskin ternyata kemudian dibeli oleh masyarakat lainnya untuk bahan
pembuat makanan ringan olahan rumah tangga. Sungguh memilukan!!!
Ketiga, bantuan beras raskin didistribusikan ke seluruh wilayah Indonesia, tanpa
memperhatikan kultur konsumsi utama masyarakat. Hal tersebut terjadi di daerah
Papua dan Maluku, di mana sebagian besar masyarakat di wilayah tersebut tidak
menjadikan beras sebagai bahan makanan pokok. Sehingga distribusi bantuan beras
untuk masyarakat di sana sesungguhnya tidak urgen dibutuhkan, bahkan ada kesan
bahwa masyarakat dipaksa untuk mengkonsumsi beras yang selama ini tidak mereka

kenal. Akibatnya mungkin bisa ditebak, program ini jelas tidak substansi dengan

kebutuhan masyarakat di wilayah tersebut.
Program Penanggulangan Kemiskinan yang Miskin Representasi
Dengan berbagai macam dan bentuk program penanggulangan kemiskinan
sejatinya bahwa masalah kemiskinan telah dapat diatasi di negeri ini. Namun
kenyataannya, masalah kemiskinan sampai hari ini belum juga selesai. Dari beberapa
data mengenai persentase kemiskinan, cenderung mengalami fluktuasi di saat-saat
tertentu. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2006, terjadi kenaikan
jumlah penduduk miskin yang cukup drastis, yaitu dari 35,10 juta orang (15,97 %) pada
bulan Februari 2005 menjadi 39,30 juta (17,75 %) pada bulan Maret 2006. Peningkatan
jumlah dan persentase penduduk miskin selama Februari 2005-Maret 2006 terjadi
karena harga barang-barang kebutuhan pokok selama periode tersebut naik tinggi,
yang digambarkan oleh inflasi umum sebesar 17,95 %. Akibatnya penduduk yang
tergolong tidak miskin namun penghasilannya berada disekitar garis kemiskinan
banyak yang bergeser posisinya menjadi miskin. Terakihir pada periode Tahun 2009
data penduduk miskin berjumlah 32,53 juta atau 14,15 %. (Data diperoleh dari Berita
Resmi Statistik No. 43/07/Th. XII, 1 Juli 2009).
Kecenderungan fluktuasi persentase kemiskinan tersebut menunjukkan bahwa
adanya ketidak berhasilan program-program penanggulangan kemiskinan. Artinya,
ukuran kemiskinan yang senantiasa ditekankan pada dimensi ekonomi dengan
5


pemberian bantuan stimulan, belum mampu mengatasi problema kemiskinan secara
utuh. Karena di saat-saat tertentu justru angka kemiskinan sangat ditentukan oleh
gelombang ekonomi global, yang sesungguhnya merupakan tanggung jawab
pemerintah dalam menanganinya. Namun kenyataannya, yang terkena imbas paling
besar dari gejolak ekonomi global justru masyarakat miskin. Hal inilah sesungguhnya
yang luput dari perhatian pemerintah dalam upaya menangani permasalahan
kemiskinan.
Kegagalan berbagai program penanggulangan kemiskinan dalam memberantas
kemiskinan itu sendiri di Indonesia, menurut hemat penulis diakibatkan karena negara
dalam hal ini pemerintah hanya berusaha mengejar misinya untuk kepentingan politis.
Sehingga program yang dicanangkan itu kemudian berbenturan serta tidak sesuai
dengan realitas dan kepentingan masyarakat miskin itu sendiri. Negara tidak
mendasarkan kebijakannya atas dasar kebutuhan riil masyarakat, dan tidak
merepresentasikan kondisi yang terjadi. Hal ini sejalan dengan teori Hegel yang
menyatakan bahwa negara bukanlah merupakan alat dari masyarakat, tapi negara
merupakan alat dari dirinya sendiri.
Konsep negara Indonesia modern menurut Ben Anderson menempatkan negara
sebagai kesatuan yang mengurus dirinya sendiri, mengejar pemenuhan kepentingan
sendiri dengan resiko berbenturan dengan kepentingan yang timbul dalam masyarakat.

Oleh karena itu, negara merupakan lembaga yang mempunyai kemauan dan
kepentingan sendiri yang mandiri (otonom), sehingga kebijakan yang dibuat oleh
negara merupakan refleksi dari kepentingan negara, bukan fungsi dari kepentingan
kelas atau kelompok, dengan pengecualian modal luar negeri (Ratnawati dan Ari
Dwipayana,

2005:75).

Untuk

memenuhi

kepentingannya,

negara

terkadang

mengeluarkan kebijakan yang orientasinya hanya untuk kepentingan negara itu sendiri
tanpa mengapresiasi kebutuhan yang sesungguhnya dari kelompok-kelompok yang ada

dalam masyarakat.
Keadaan yang demikian dapat digambarkan melalui kebijakan penanggulangan
kemiskinan di Indonesia. Penanggulangan kemiskinan memang seolah menjadi tema
dan issu yang sangat populer bagi rezim yang berkuasa di negara-negara yang masih
berkembang. Berbagai bentuk dan model kebijakan dilakukan demi memberantas dan
menanggulangi masalah kemiskinan ini. Di Indonesia sendiri, bentuk-bentuk kebijakan
6

itu hampir di semua rezim yang berkuasa berbeda konsep dan metode yang digunakan,
yang kesemuanya ditujukan dalam rangka menangani kemiskinan. Namun diakui,
dengan berbagai bentuk dan model yang telah diterapkan ternyata belum mampu
mengikis dan menanggulangi masalah tersebut.
Ketidak berhasilan dari program-program penanggulangan kemiskinan yang
telah ada, mengindikasikan bahwa pemerintah gagal mengindentifikasi problem
kemiskinan yang sesungguhnya terjadi di masyarakat. Hal ini karena dalam
menginterpretasikan kemiskinan semuanya dikendalikan oleh negara dan tidak
menganalisa akar permasalahan yang sesungguhnya. Program penanggulangan
kemiskinan yang diterapkan tak lebih hanya untuk kepentingan negara, dalam hal ini
rezim yang berkuasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Sehingga dalam
pengambilan kebijakannya, negara senantiasa menggunakan pola-pola yang tidak
sesuai dengan konteks kemiskinan yang sesungguhnya, tapi lebih kepada bagaimana
membangun popularitas negara / rezim pemerintah yang berkuasa.
Mencermati proses perumusan kebijakan penanggulangan kemiskinan dengan
berorientasi pada konsekuensi dari kebijakan lainnya, ada kecenderungan pemerintah
gamang dalam perumusan kebijakan tersebut. Hal tersebut tercermin dari pada saat
implementasi kebijakan BLT tersebut. Di mana dalam implementasinya, banyak warga
masyarakat yang sesungguhnya tergolong masyarakat miskin, justru tidak memperoleh
bantuan. Akibatnya, kebijakan BLT dalam implementasinya tidak mengacu pada
penyelesaian kasus kemiskinan tetapi bagaimana prosedur kebijakan itu dilaksanakan,
untuk membungkam mulut masyarakat akibat kebijakan lain yang tidak populer.

Pemerintah dalam merumuskan kebijakan hanya mempersepsikan kemiskinan

dari segi ekonomi. Demikian juga dalam implementasinya, masyarakat hanya dijadikan
sebagai objek dari kebijakan itu, sehingga partisipasi dan masukan dari masyarakat
hampir dikatakan tidak ada. Dalam teori model kebijakan yang dikemukakan oleh Riant
Nugroho D (2003: 109) bahwa model kebijakan kelembagaan dalam proses
perumusannya mengandaikan bahwa tugas formulasi kebijakan adalah tugas lembagalembaga pemerintah yang dilakukan secara otonom tanpa berinteraksi dengan
lingkungannya. Hal ini menurut Dye, ada tiga hal yang membenarkan pendekatan ini,
yaitu bahwa pemerintah memang sah membuat kebijakan publik, fungsi tersebut
bersifat universal, dan pemerintah memonopoli fungsi pemaksaan dalam kehidupan
7

bersama. Namun, harus disadari bahwa kelemahan dari pendekatan ini adalah bahwa
kebijakan yang dirumuskan tidak partisipatif, sehingga dalam implementasinya sering
menuai kontroversi karena mengabaikan konsensus dan lingkungan di mana kebijakan
tersebut diterapkan.
Problematika kebijakan penanggulangan kemiskinan yang sampai hari ini belum
mampu menangani kemiskinan secara utuh, diakibatkan karena dalam proses
perumusannya sangat miskin representasi keterlibatan masyarakat. Hal itu dapat
ditemukan melalui indikasi-indikasi sebagai berikut :
1. Dalam proses kebijakan yang dilakukan, negara dalam hal ini pemerintah hanya
bertumpu pada kepentingannya sendiri. Yaitu menginterpretasikan kemiskinan
dengan perspektifnya sendiri dan mengabaikan kondisi riil yang terjadi di
masyarakat.
2. Pengambilan kebijakan yang dibuat oleh negara hanya merupakan refleksi dari
kepentingan negara, bukan fungsi dari kepentingan kelas atau kelompok. Hal inilah
yang menyebabkan program-program penanggulangan kemiskinan yang ada selama
ini belum mampu mengatasi problem kemiskinan itu sendiri, karena negara
membuat kebijakan hanya sekedar merefleksikan kepentingan rezim yang berkuasa
demi kepentingan popularitas untuk mempertahankan kekuasaannya.
3. Program penanggulangan kemiskinan dituangkan hanya bertujuan membungkam
kelompok warga negara yang berusaha mengkritisi kebijakan pemerintah dengan
memanjakan warga negara melalui bantuan stimulan, tanpa memperhatikan
konteks kemiskinan yang sesungguhnya terjadi. Sehingga dalam kebijakannya,
warga negara hanya dilibatkan pada proses implementasi kebijakannya.

8

Epilog
Perumusan kebijakan penanggulangan kemiskinan pemerintah yang senantiasa
mendefinisikan kemiskinan dengan asumsinya sendiri dan mengabaikan konteks
kemiskinan yang sesungguhnya. Akibatnya dalam implementasi kebijakan itu, lebih
bermuara pada tataran prosedural yang mengandalkan pada bagaimana kebijakan
berjalan efektif sesuai proses dan tahapan-tahapan yang telah dirumuskan. Memaknai
kemiskinan dengan mengklasifikasi kemiskinan sesuai dengan yang terjadi di suatu
wilayah, sehingga tidak mesti kebijakan itu harus seragam di seluruh wilayah.
Mekanisme kebijakan senantiasa memperhatikan lingkungan di mana kebijakan itu
diterapkan, dalam artian tetap mengikuti norma-norma dan reaksi yang kemungkinan
terjadi.
Banyaknya permasalahan yang terjadi dalam proses implementasi kebijakan di
tingkat bawah, juga patut menjadi perhatian. Mekanisme pendistribusian yang kadang
tidak tepat sasaran, serta kualitas bantuan yang tidak sesuai dengan standar konsumsi
masyarakat. Kemiskinan adalah problema yang multidimensional, sehingga ukuran
kemiskinan tidak melulu pada lingkup ekonomi, tetapi merujuk pada dimensi-dimensi
non-ekonomi. Sehingga pada akhirnya, masyarakat miskin tidak kemudian menjadi
korban pembangunan dan korban dari gejolak ekonomi global.
Dengan memaknai kemiskinan yang dialami oleh masyarakat secara utuh, akan
melahirkan kebijakan yang berorientasi pada upaya pencegahan sejak dini. Cerminan
ketidakberhasilan

berbagai

program

semestinya

menjadi

pelajaran

dalam

mengeluarkan dan merumuskan kebijakan. Perlu adanya upaya merepresentasikan
kepentingan masyarakat miskin secara umum, dengan melibatkan berbagai komponen
dalam proses perumusan kebijakan. Sehingga pada akhirnya, kebijakan tersebut betulbetul menyentuh kebutuhan masyarakat yang sesungguhnya.

9

Sumber Referensi :
Dwijowijoto, Riant Nugroho. 2003. Kebijakan Publik; Formulasi, Implementasi, dan
Evaluasi. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo
Nugroho, Heru. 1999. Kemiskinan, Ketimpangan, dan Pemberdayaan , dalam Awan
Setya Dewanta et.al (eds.). Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia.
Yogyakarta: Aditya Media.
Ratnawati dan AAGN. Ari Dwipayana. 2005. Modul Teori Politik. Program Studi Ilmu
Politik Konsentrasi Politik Lokal dan Otonomi Daerah Sekolah Pasca Sarjana
UGM.
Sulistiyani, Ambar Teguh. 2004. Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan.
Yogyakarta: Gava Media.

10