MENAKAR AKSI TERORISME DI INDONESIA DALA (1)

Menakar Aksi Terorisme Di Indonesia dalam Kaitannya dengan Konsep Jihad serta
Upaya Pencegahannya
1.

Pengantar
Terorisme seakan tidak akan pernah berakhir selama cita-cita dan perjuangan mereka

tidak pernah tercapai. Selama cita-cita dan perjuangan tersebut belum tercapai maka selama
itu pula potensi munculnya ancaman dan aksi terorisme akan terus berlangsung. Dalam
konteks global terorisme sebetulnya bukanlah hal baru, namun menjadi aktual pasca
terjadinya peristiwa World Trade Centre (WTC) di New York Amerika Serikat tanggal 11
September 2001, yang dikenal sebagai “September Kelabu” dan memakan 3000 korban.
Merupakan sebuah peristiwa tragis sekaligus menimbulkan reaksi keras bagi publik Amerika
untuk mengutuk dan berperang melawan teroris. Aksi yang serupa pun telah dan masih terjadi
di Indonesia dengan bermacam-macam indikasi dan juga model-model penyerangan yang
dilakukan oleh orang atau sekelompok orang yang tergolong teroris.
Tak dapat dimungkiri bahwa, secara umum gerakan terorisme sejatinya terbentuk
sebagai akibat dari ketidakadilan global dalam hal ini terkait dengan kapitalisme,
imperealisme, kolonialisme baik yang trejadi di masa lalu maupun pada masa yang sekarang
ini. Namun dalam konteks Indonesia sendiri berdasarkan realitas yang sudah terjadi
belakangan ini bahwa, jaringan terorisme yang telah merambat masuk ke Indonesia sebagian

besar penyebabnya adalah pemahaman ideologi yang sangat radikal. Dan ideologi agama
yang paling marak itu adalah Islam. Salah satu ayat Al-Qur’an yang isinya terbilang sangat
kontroversial itu adalah tentang jihad, sehingga dalam aksinya tak jarang selalu
menggunakan kekerasan seperti pemboman hotel-hotel, tempat nongkrong cafe, gereja,
masjid dan tempat-tempat suci lainnya yang dianggap kafir.
Karena itu, penulis dalam paper singkat ini mencoba membedah secara singkat aksi
terorisme yang telah menyerang Indonesia dalam kaitannya dengan konsep jihad. Kemudian
menawarkan beberapa upaya pencegahan agar akar dari aksi ini dapat dipangkas dan
mengolahnya agar kembali pada ajaran Islam yang sesungguhnya.
2.

Terorisme dan Realitasnya di Indonesia
Istilah terorisme, teroris dan teror berasal dari bahasa Latin terror, yang diturunkan

dari kata kerja terrere, artinya “menakut-nakuti” (to frighten). Istilah ini berhubungan dengan
kata bahasa Yunani trein yang artinya “melepaskan diri dari kekuatan (to flee from fear)”.
1

Secara etimologis “teror” berarti suatu keadaan ketakutan yang mendalam. Bahasa Ingris dan
bahasa Latin membedakan antara ketakutan sebagai suatu keadaan emosional sesorang yang

ditandai dengan perasaan bahaya atau pengharapan akan bahaya dan “teror” itu sendiri.1
Berdasarkan pengertian etimologis di atas, maka istilah terorisme dapat dipahami
sebagai penggunaan sistematis dari ketakutan sebagai sebuah sarana kekerasan dan paksaan,
termasuk upaya untuk menciptakan sebuah atmosfir ketakutan dan kekerasan. Karena itu
segala macam bentuk tindakan kekerasan yang disertai dengan ancaman baik secara langsung
maupun tidak langsung dan dilakukan secara sengaja dapat digolongkan ke dalam tindakan
teror. Sedangkan teroris berarti orang atau pihak yang selalu menimbulkan ketakutan pada
pihak lain.
Ada banyak alasan kenapa sesorang atau sekelompok orang memberanikan diri
melakukan aksi terorisme. Setelah ditinjau dari banyak data dari berbagai sumber, maka
diketahui penyebabnya dapat digolongkan menjadi tiga yaitu: penyebab primer, sekunder dan
tersier. Pertama, penyebab primer yaitu: seseorang menjadi teroris akibat adanya masalah
atau konflik politik. Masalah politik itu dapat berupa kesenjangan, ketidakadilan, tindakan
semena-mena,

pelanggaran hak asasi

manusia, dan

tersumbatnya


saluran

untuk

menyampaikan aspirasi terhadap pemegang ototritas. Dengan adanya masalah tersebut serta
tidak adanya jalan keluar secara formal, maka seseorang atau sekelompok orang akan
berupaya melakukan cara lain untuk melawan dan menyampaikan pendapat dan salah satunya
adalah lewat aksi teror. Kedua, penyebab sekunder yaitu: perluasan dari penyebab primer.
Butuh daya pendukung untuk memberikan kekuatan atau motivasi dalam melawan dan
menyelesaikan konflik yang dihadapi. Dalam berbagai konflik di Indonesia, yang paling
sering digunakan adalah kekuatan kesamaan agama, ras, suku, budaya, dan bangsa. Salah
satu konteks yang paling tepat adalah pendekatan afiliasi agama. Seperti dalam perjuangan
untuk menentang Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) yang masih sedang hangat diwacanakan
hingga detik ini. Semua kaum oposisi bersatu padu dalam afiliasi Islam untuk menuduh
bahwa Ahok telah melakukan penghinaan terhadap agama Islam dengan merujuk pada ayatayat Al-Quran. Ketiga, penyebab tersier yaitu: suatu kondisi yang sebenarnya tidak
berhubung langsung sebagai penyebab terjadinya terorisme. Tetapi sektor ini dapat
memberikan kontribusi yang dapat mendukung penyebab primer dan sekunder seperti

1 Constantinus Fataolon, Masalah Terorisme Global (dalam konteks teori Habermas tentang

kolonialisasi dunia kehidupan oleh sistem modern) (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2016), hlm. 59.

2

kebudayaan, kemiskinan, keinginan balas dendam, pengaruh media, pengaruh buku dan film
dan lain sebagainya.2
Dari ketiga penyebab di atas dapat disimpulkan secara sederhana bahwa aksi-aksi
terorisme sejatinya dilatarbelakangi oleh motif–motif tertentu seperti motif perang suci, motif
ekonomi, motif balas dendam dan motif-motif berdasarkan aliaran kepercayaan tertentu. Akar
kuat lahirnya terorime di Indonesia adalah fundamentalisme agama. Namun, patut disadari
bahwa terorisme bukan suatu ideologi atau nilai-nilai tertentu dalam ajaran agama melainkan
bentuk kekeliruan atau kesalahan dalam menghayati dan menafsir isi kitab suci. Dalam
konteks Indonesia, Islam acapkali dipropagandakan sebagai biang keladi munculnya
pergerakan terorisme karena dalam ajarannya terdapat nas khusus yang membicarakan
tentang perang yang disebutkan dengan jihad.
2.1.

Membaca Realitas
Berkaca pada realitas yang terjadi khususnya di Indonesia, aksi teror nyatanya sudah


semakin gawat dan genting. Dalam prakteknya mereka memiliki taktik dan teknik tersendiri
yang mengakibatkan kehancuran dan penderitaan terhadap kehidupan masyarakat. Sumber
daya yang meliputi kemampuan anggota teroris melakukan aksinya berdasarkan latihanlatihan yang dilakukan sebelumnya dan jaringan yang dibentuk. Sekurang-kurangnya salah
satu model aksi yang digunakan kelompok terorisme di Indonesia yaitu: peledakan bom yang
dilakukan di tempat-tempat umum dan strategis yang dipandang efektif untuk menciptakan
suasana teror dalam masyarakat. Seperti yang dilakukan oleh kelompok Noordin M. Top
lewat aksi pemboman terhadap Hotel JW Marriott di Jakarta pada 5 Agustus 2003,
menewaskan 12 orang dan melukai 150 lainnya. Kemudian Bom Bali II pada 1 Oktober 2005
di Raja’s Cafe, Kuta, dan Cafe Nyoman, Jimbran yang mengakibatkan jatuhnya korban 20
orang, yang terdiri atas 15 warga negara Indonesia, 4 orang warga Australia, dan satu orang
warga Jepang. Kemudian aksi yang sama dilakukan oleh kelompok Abu Hanifah yang
dipimpin oleh Abu Hanifah sendiri warga Mojosongo, Jebres, Solo. Kelompok ini
merencanakan untuk pengeboman di empat lokasi, yaitu Konsulat Jenderal Amerika Serikat
di Jalan Citaraya, Surabaya; Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta; Plaza 89, yang di
depannya ada Kedutaan Besar Australia dam kantor Freeport di Kuningan, Jakarta, dan
Markas Komando Brimob Srondol, Semarang. Namun aksi pengeboman akhirnya gagal
2 Fajar Purwawidada, Jaringan Baru Teroris Solo (Jakarta: Penerbit Gramedia, 2014), hlm. 111-115.

3


dilakukan karena jaringan kelompok mereka keburu terbongkar oleh polisi dan terjadi
penangkapan secara maraton terhadap anggota-anggotanya. 3

2.2.

Jihad sebagai Instrumen bagi Teroris
Secara literal, jihad berarti “berusaha” atau “berjuang di jalan Allah”. Semua Muslim

diperintahkan untuk ber-jihad. Arti lain dari jihad juga adalah perang suci.4 Bagi agama Islam
jihad merupakan amal kebaikan yang disyari’atkan Allah. Ia menjadi sebab kokoh dan
mulianya umat Islam. Sebaliknya, jika kaum Muslimin meninggalkan jihad di jalan Allah,
maka mereka akan mendapatkan kehinaan.
Jihad sebagaimana yang dipertegaskan dalam pengertian di atas sejatinya bermakna
sarat akan perjuangan. Perjuangan yang dimaksudkan adalah perjuangan bukan membunuh
atau dibunuh melainkan tentang bagaimana berjuang keras untuk memperoleh kemajuan
rohani dan keridhaan Ilahi. Secara spesifik Al-Quran menegaskan bahwa bentuk jihad ini
adalah berperang melawan mereka yang telah menyerang Islam terlebih dahulu, dimana ayatayat Al-Quran lainnya juga menguatkan hal ini. Umat Muslim hanya boleh mengangkat
senjata untuk membela diri terhadap mereka yang telah terlebih dahulu menyerang dan hanya
jika umat Muslim memang tertindas dan teraniaya. 5 Namun apabila kita melihat bersama
dalam realitasnya, salah satu faktor terbentuknya terorisme justru karena kedangkalan dalam

memaknai jihad yang sesungguhnya. Jihad dalam anggapan mereka adalah sebuah instrumen
untuk berperang dan membunuh supaya mendapat julukan sebagai martir suci dalam ideologi
mereka. Sebagaimana dalam kasus bom Hotel JW Marriott, 2009, pelakunya adalah seorang
remaja terpelajar berusia 18 tahun. Ia merupakan pelaku bom bunuh diri yang
menghancurkan Hotel tersebut. Di sekolah ia remaja yang terkenal saleh dana rajin mengikuti
kegiatan masjid. Karena diiming-imingi untuk mendapat pahala surgawi yang berlimpah
membuat dia nekat untuk melakukan tindakan tersebut.6

3.

Upaya Pencegahan
3 Ibid.,hlm. 78-89.
4 Charles Kimball, Kala Agama Jadi Bencana (Bandung: Mizan, 2003), hlm 259.
5 Hendrikus Maku, dalam perkuliahan perang dan damai perspektif Islam,
6 Fajar Purwawidada, Op. Cit., hlm. 79.

4

Sebagaimana yang sudah dibahas sebelumnya bahwa, akar munculnya gerakan
terorisme di Indonesia adalah adanya indoktrinisasi terhadap isi dari ayat suci Al-Qur’an.

Salah satunya adalah ayat suci yang membicarakan tentang jihad. Karena itu guna mencegah
hal demikian langkah yang paling pertama dilakukan adalah melalui upaya deradikalisasi.
Upaya ini dapat ditempuh dengan jalan melakukan dialog, diskusi, atau tindakan persuasif
lainnya membahas berbagai topik dari teks Al-Qur’an, maupun dari berbagai konteks sosial,
ekonomi, dan politik.7 Sebagaimana yang dikatakan oleh P. Hendrik Maku dalam perkuliahan
perang dan damai perspektif Islam bahwa: untuk memahami Islam sepenuhnya tidak cukup
dengan hanya berpatok pada Al-Qur’an saja tetapi mesti ada sumber-sumber lainnya di luar
Al-Qur’an. Sumber lain yang dimaksud di sini yaitu melalui dialog lintas agama, dan
sebagainya. Langkah ini sangat urgen dilaksanakan sebelum lahirnya fundamentalisme yang
mengarah pada aksi terorisme sebagaimana yang telah terjadi hingga saat ini. Hal ini pula
menurut hemat penulis hendaknya dilakukan secara intesif dan dimulai sejak pertama kali
seorang individu mengenal dunia Islam yaitu: lewat pendidikan agama baik di tingkat
pendidikan formal maupun nonformal. Pengetahuan yang diberikan haruslah lebih bersifat
obyektif tanpa menimbulkan interese sepihak khususnya dalam menebarkan paham
kebenaran yang dianut melainkan bersifat komprehensif dan diterima umum. Seperti halnya
dalam memaknai jihad tidak dapat diterjemahkan secara datar melainkan mesti harus melihat
konteks dan tujuannya. Lalu upaya selanjutnya adalah hukum harus dipertegas kembali.
Salah satunya yaitu UU No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Karena itu, baik dari pihak pemerintah maupun masyarakat untuk tetap mendukung kinerja
dari aparat keamanan seperti polisi, tentara dan khususnya Detasemen 88 Anti-Teror.


4.

Penutup
Aksi teror dan terorisme sudah tidak dapat dibenarkan lagi melainkan merupakan

sebuah ancaman terbesar bagi negara yang patut ditakuti dan diwaspadai. Terorisme
sebagaimana yang sudah terjadi belakang ini telah menelan banyak korban dan kerugian yang
besar bagi negara. Lebih dari itu, warga selalu hidup dalam ketiakamanan dan merasa
terancam dan selalu dikekang oleh perasaan takut dan curiga terhadap satu sama lain. Oleh
karena itu dengan menilik realitas yang terjadi, maka perlu adanya sikap kewaspadaan dalam
diri setiap orang. Selain itu, sebagai jemaat Muslim yang moderat langkah yang paling
7 Fajar Purwawidada, Op. Cit., hlm. 293.

5

penting dilakukan agar aksi ini tidak menjalar adalah perlu adanya dialog interkatif, inklusif
dan transparan terkait dengan ajaran Islam yang sesungguhnya bersama dengn anggota
jemaat dari agama lainnya. Kemudian langkah yang paling penting lainnya adalah
meningkatkan pendidikan keagamaan yang bersifat edukatif dan transformatif sehingga

mampu mencetak pribadi Muslim yang mencintai perdamaian.

6