NEGARA DAN USAHA BINA NEGARA

NEGARA DAN USAHA BINA-NEGARA
DI JAWA MASA LAMPAU
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Sejarah Lokal
Dosen Pembimbing: Drs. Tri Yunianto., M. Hum

Disusun Oleh:
Kelompok [Angkatan 2012]
Manggara Bagus Satriya
Prayudo Endar Pitoko
Rani Retno Puri

[K4412043]
[K4412062]
[K4412064]

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2014


KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil
menyelesaikan Makalah tentang “Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa
Lampau”
Kami berharap semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga
segala usaha kita selalu mendapat ridho-Nya.

Surakarta, 11 Mei 2014

Penulis,

2


DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1
A. Latar Belakang Makalah............................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................1
C. Tujuan Penulisan.......................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................3
A. Perlengkapan Magis-Religius Kedudukan Raja........................................3
B. Perlengkapan Teknis Kedudukan Raja......................................................7
C. Perlengkapan Material Kedudukan Raja...................................................17
BAB III PENUTUP...............................................................................................
Kesimpulan.......................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA

3

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kepercayaan dan agama menguasai masyarakat Jawa, dan kedudukan
raja dalam masa Mataram II memperoleh dukungannya yang paling kuat dari
keyakinan agama. Bahkan dapat dikatakan bahwa kedudukan raja
berlandaskan agama, kekuasaan para dewa membenarkan kekuasaan raja.
Negara dianggap sebagai citra,
Kedudukan raja dalam masa Mataram II raja disamakan dengan dewa
atau paling kurang setelah masuknya agama Islam dipandang sebagai
perantara antara manusia dengan Tuhan. Karena kekuasaannya mutlak,
menyeluruh dan tidak terbatas. Kepadanya rakyat harus tunduk dan patuh
tanpa suatu syarat apa pun. Namun raja juga dituntut untuk berlaku adil,
bijaksana dan dermawan serta mampu menjagaketertiban dan ketentraman
negara. Struktur pemerintahannya sangat sederhana.
Para bupati, yang merupakan perpanjangan kekuasaannya, memiliki
kedudukan yang otonom serta aparatur pemerintahan yang lengkap, sama
seperti di pusat kerajaan. Akibatnya kedudukan raja selalu rapuh, terbuka bagi
setiap usaha pemberontakan guna merebut kekuasaan. Sistem pembiayaan
negara pun sederhana pula, yaitu terutama melalui pengerahan tenaga rakyat
di samping pemungutan bea, pajak, dan upeti.
Dalam makalah ini penulis akan membahas lebih lanjut mengenai

masalah kedudukan raja dan seni bina negara di Jawa masa lampau dari
segala segi: magis-religius (Identifikasi raja-dewa), teknis (birokrasi dan
struktur pemerintahan) dan ekonomis (pembiayaan negara).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimankah perlengkapan magis-religius kedudukan raja ?
2. Bagaimanakah perlengkapan teknis kedudukan raja ?
3. Bagaimanakah perlengkapan material kedudukan raja ?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui perlengkapan magis-religius kedudukan raja.
2. Untuk mengetahui perlengkapan teknis kedudukan raja.

1

3. Untuk mengetahui perlengkapan material kedudukan raja
.

2

BAB II

PEMBAHASAN

A. Perlengkapan Magis - Religius Kedudukan Raja : Masalah Kewenangan
Dalam kehidupan tradisional orang jawa hubungan antara hamba dan
tuan bukan bersifat tak pribadi, sebalikya hubungan ini lebih merupakan
ikatan pribadi dan akrab, saling hormat dan tanggung jawab.secara ideal
hubungan ini menuruti contoh kasih sayang dalam ikatan keluarga.hal ini juga
berlaku pada hubungan sosial lainya. Tetapi bila kita tinjau dari konsep
kawula-gusti dalam pakaian mistiknya, jelas dapat kita lihat betapa sudah
benar-benar berakarnya arti hubungan tuan-hamba yang akrab ini dalam
pikiran orang jawa.
Dalam mistik jawa kata-kata jumbuhing kawula gusti(menyatunya
hamba dan tuan) melukiskan tujuan tertinggi dalam hidup manusia, yaitu
tercapainya kesatuan yang sesungguhnya(manunggal) dengan Tuhan.
Pelukisan ini lebih dramatis karena kata kawula dan gusti menunjukan status
manusia yang paling rendah dan paling tiggi dalam masyarakat. Tetapi
walaupun terdapat ikatan yang mempersatukan, namun baik hamba maupun
tuan tidak diperkenankan melanggar garis pemisah yang resmi dari hierarki
sosial ini, yang berdasarkan kelahiran atau pangkat dan jelas terlihat dalam
banyak peraturan yang menentukan tatacara pemakaia busana, penggunaan

bahasa(krama-inggil, krama, madya dan ngoko), penggunaan warna atau cara
penghormatan.
Konsep kawula gusti sangat diwarnai oleh ciri lain pemikiran jawa,
kepercayaan yag tak tergoyahkan akan nasib, aka hal-hal yang sudah
ditakdirkan, yang dinyatakan dalam kata pinesti(ditentukan), tinitah
(ditakdirkan), atau kata pinjaman dari bahasa arab, takdir.ada dua lapisan
utama

pada

masyarakat

jawa:

wong

cilik(orang

biasa)


dan

penggede(golongan penguasa), tidak terutama dari segi kekayaan ekonomis

3

atau keuggulan kelahiran, tetapi dari segi pertuanan dan perhambaan, dari
segi kawula(hamba) terhadap bendara(tuan), dan tempat seseorang dalam tata
masyarakat, jadi hak seerta kewajibanya, dianggap sebagai telah ditakdirkan.
Kisah Jaka Tingkir dan kisah Ki Ageng Pemanahan dari Babad Tanah Jawi
merupakan sebuah contoh.
Di gelanggang politik, kekuasaan Mataram atas pangeran-pangeran
Jawa Timur yang perkasa dan bahkan atas daerah Kasunanan Giri telah
ditakdirkan dan dijelaskan, sebagaimana mestinya, jauh sebelum Sunan Giri
yang bertahta ketika itu. Pastilah ramalan ini merupakan sarana untuk
membuat para penguasa Surabaya tunduk kepada nasibnya. Namun demikian,
Surabaya menganngkat senjata melawan yang dipertuan berulang-ulang kali.
Pertempuran yang terhebat menurut babad Tanah Jawi terjadi selama lebih
sepuluh bulan antara Amangkurat II(1677-1703), ketika Adipati Surabaya,
Tumenggung Jayapuspita mempertahankan diri terhadap seragan pasukan

gabungan Mataram dan Belanda selama lebih dari sepuluh bulan karena
keyakinanya kepada Islam.
Kembali kepada hubugan antara raja dan rakyat, konsep kawula gusti
tidak hanya menunjukan hubungan antara yang tinggi dengan yang rendah,
tetapi lebih menujukan kesalingtergantungan yang erat antara dua unsur yang
berbeda namun tak terpisahkan, dua unsur yang sesungguhnya merupakan
dua aspek dari hal yang sama. Sinkretisme ini berasal dari teologi
India(umpamanya Trimurti dan Hari-hara). Suatu ungkapan lama orang jawa
tentang persatuan unsur-unsur yang berlainan adalah patung Ketanegara yang
terkenal di Singhasari sebagai Batara Ciwa-Buddha. Sesuai denga sifat mistik
yang mana pun, pikiran-pikiran sinkretis ini berusaha membuktikan bahwa
semua benda hanya merupakan aspek, cakti, pancaran, bagian integral dari
ke-Esa-an utuh yang menyeluruh, yang meliputi segala sesuatu, dan dalam
pemikiran orang Jawa ini diwujudkan dalam dewa Sang Hyang Werfang
(YangMahakuasa), atau lebih dikenal dalam putranya, Sang Hyang Tunggal.

4

Dengan pemikiran imaginatif-proyektifnya, orang Jawa melambangkan
kesatuan Kawula-Gusti ini denga benda yang amat tepat sekali, yaitu keris,

suatu senjata kebesaran. Kedua bagian keris,sarungnya(warangka) dan
matanya(curiga), diberikan penafsiran yag sangat bersifat mistik. Sarung
disamakan degan rakyat dan matanya dengan raja, jadi melukiskan hubugan
yang mutklak ada, yang satu tidak sempurna tanpa kehadiran yang lain, dan
juga kesalingtergantuganya dalam arti bahwa sarungnnya melindungi
matanya dari kerusakan, dan sebaliknya matanya melindungi sarungnya(yang
biasanya terbuat dari kayu terbaik dilapisi perak atau emas berukiran indah)
agar jangan sampai dicuri atau hilang. Nilai sebilah keris diukur dengan
kekuatan gaib, yang terkandung dalam pamor(tatahan besi meteorit pada
matanya) dan diperoleh dari kekuatan gaib sang empu(pandai besi) yang
membuatnya. Tetapi karena mata keris melambangkan raja sebagai inti,
pokok, sebagai kekuatan yang memimpin negara, maka raja(mata keris) harus
layak, sesuai dengan patokan mana pun juga, bagi rakyat(sarung). Hubungan
yang tak terpisahkan antara penguasa dan kaula juga dibandingkan dengan
sebentuk cincin (Sesupe), raja sebagai sesotya (batu permata) dan rakyat
sebagai embanan (ikatan).
Sumber informasi lain tentang hubungan kawula gusti tentulah wayang.
Walaupun belum terdapat kesepekatan mengenai usianya yang sesungguhnya,
namun bila teori Rassers diterima, maka asal mulanya dapat ditetapkan sudah
lama sekali dalam sejarah. Setidak-tidaknya dapat dibuktikan telah ada dalam

abad XI sesudah Masehi, jadi jauh sebelum masa Mataram II. Wayang
menghindarkan sesuatu yang bermanfaat bagi setiap penonton yang terdiri
dari berbagai macam orang. Pertama-tama wayang merupakan hiburan bagi
semua orang, tetapi yang lebih penting lagi merupakan pelajaran bagi
semuanya. Karena di dalamnya diungkapkan berbagai macam aspek perilaku
manusia, mulai dari ketamakan yang paling hina sampai kepada budi
luhur(moralitas tinggi) dari ketamakan yang paling hina sampai kepada budi
luhur(moralitas tinggi), dari kelemahan kecil manusia atau dewa sampai
kepada kekuatan keyakinan yang tak dapat disangkal, dari tipu daya

5

diplomasi sampai kepada berlakunya takdir yang tak dapat ditawar-tawar, dari
permainan kata yang jenaka sampai kepada dialog yang bersifat mistik.
Dalam konsep orang jawa tentang organisme negara, raja atau ratulah
yang menjadi eksponen mikrokosmos, negara. Karena mikrokosmos sejajarb
dengan makrokosmos, raja Jawa Hindu disamasuaikan dengan dewa.
Identifikasi(penyamasesuaian) raja-dewa sendiri tidak berlaku lagi dalam
masa Jawa Islam. Teologi islam menempatkan raja dalam kedudukan yang
tidak semulia dan seagung sebelumnya , yaitu kedudukan kalipatullah, wali

Tuhan di dunia. Amangkurat IV adalah orang pertama yang menggunakan
gelar ini dalam betuk Prabu Mangkurat Senapati Ingalaga Ngabdu’-Rahman
Sayidin Panatagama Kalipatullah.
Orang jawa percaya bahwa hanya rajalah satu-satunya perantara yang
menghubungkan mikrokosmos manusia dengan makrokosmos para dewa. Ide
kekuasaan mutlak dan tertinggi dinyatakan dalam ungkapan wewenang
murba wisesa yang digunakan untuk kemahakuasaan Tuhan maupun
kekuasaan Raja, jadi lagi-lagi memperlihatkan bahwa keduukan raja dianggap
sebagai pencerminan kedudukan Tuhan.
bidang politik adalah menjaga supaya

Tugas-tugas utama raja dalam
jangan sampai terjadi gangguan-

gangguan dan memulihkan ketertiban kalau seandainya sudah terjadi.
Dibebani oleh godaan-godaan kekuasaan yang tiada batas dan tanggung
jawab tunggal dan luas sekali untuk mempertahankan ketertiban dunia ini,
maka raja haruslah luarbiasa keunggulan dan kecakapanya. Orang jawa
beranggapan bahwa keunggulan yang demikian harus nyata dalam sinar
cahaya wajah raja, dan seorang raja yang buruk biasanya disamasesuaikan
dengan cacat.kekuasaan raja dianggap tidak terbatas, ia tak dapat diatur
dengan cara-cara duniawi, tetapi dalam dirinya terdapat kekuatan, yang
mencerminkan atau bahkan identik dengan Ruh dewa Jiwa illahi(Hyang
Suksma Kawekas), yang mengendalikan kehendak pribadinya .konsep
kewicaksanaan merupakan alat yang sangat umum dalam usaha bina negara
pada masyarakat tradisional Jawa, tetapi sifatnya yang seluruhya abstak dan
umum membatasi kegunaanya dalam menghadapi kenyataan pemeririntahan.

6

Syarat lain yang pokok bagi seorang raja ideal ialh kemampua nya untuk
memilih pegawai-pegawainya. Peraturan-peraturan untuk itu dikemukakan
dalam banyak karangan
Di jawa kedudukan raja paling sering diabsahkan dengan membuktikan
kesinambungan. Hubungan entah darah entah penglaman yag serupa, dengan
seorang pendahulu yang agung memungkinkan seseorang ikut tersinari oleh
aura keagungan. Bila sesuatu wangsa memerintah tidak mempunyai tali
hubungan darah dengan dinasti sebelumnya, maka orang jawa megusahakan
berbagai cara untuk membuktikan kesiambungan. Kesinambungan juga dapat
dinyatakandengan cara kosmologi hindu. Alam semesta senantiasa berputar
terus. Tiap peredaran terdiri dari empat zaman yang kian memburuk. Orang
jawa Mataram II mengetahui kosmologi ini, walaupun dalam bentuk yang
sudah diubah, lalu menggunakan untuk membenarkan pergantian wangsa.
Kebutuhan untuk mengakhiri zaman kalabendu(zaman yang paling akhir dan
penuh dosa dalam peradaban untuk selanjutnya

memasuki masa

kesejahteraan dan kemakmuran di bawah ratu adil menjadi alasan yang
berulang kali terjadi dalam sejarah pemberontakan dan kerusuhan di jawa
Cara lain untuk menigkatkan kemegahan raja adalah silsilah raja.
Menurut Berg pada masa mataram II silsilah-silsilah ii disusun buat pertama
kalinya islam memaksa digantikanya penyemasuaian raja-dewa Jawa Kuno.
Karena itu silsilah dibuat sedemikian rupa sehingga dapat mempertahankan
kemiripan dengan dengan penyemasuaian raja-dewa dalam hal ini tidak
menjadi soal bahwa semua patokan kronologi atau konsekuensi tempattempat dan peristiwa diabaikan.
B. Perlengkapan Teknis Kedudukan Raja : Masalah Tata Pemerintaan,
Tujuan

Dan

Sarana

Birokrasi,

Prinsip

Swasembada

dalam

Pemerintahan
Raja harus mencerminkan perhatian utama raja, yaitu pemeliharaan
keselarasan. Kebutuhan ini, yang dinyatakan sebagai Njaga Tatatetntrming
Praja Menjaga dan memelihara ketertiban Negara), menentukan tugas pokok

7

dan

terpenting

pangreh-praja

(atau

paprentaan:

pemerintaan),

yaitu

memelihara dan menjaga keamanan.
Sejak masa dulu perlindungan dan dorongan terhadap kehidupan
beragama dilakukan dengan member hak-hak khusus kaum alim-ulama.
Biasanya tanah dibagikan oleh raja kepada kaum alim ulama, tidak saja
sebagai mata pencaharian, tetapi terutama agar mereka cukup kuat
keuangannya untuk melakukan pelayanan keagamaan dengan memuaskan
guna kesejahteraan raja dan demikian pula kesejahteraan kerajaannya.
Wewenang ini dalam masa Jawa kuno disebut Dharma atau Dharma Lepas
Tidak adanya di kalangan Islam pengaturan yang luas dan hierarkis dari
Jabatan Ulama seperti pada Agama Kristen tidak mendukung pendapat yang
demikian. Lembaga kepenghuluan mungkin sudah lebih lama, karena
penghulu adalah kepala alim ulama di masjid di ibukota raja dan hanyalah
secara berangsur angsur dia masuk dalam system pemerintahan sebagai suatu
bagian pemerintahan yang khusus.
Para penghulu rendahan tidak dianggap termasuk tata pemerintaan raja
karena, berbeda dengan pejabat-pejabat kerajaan yang lain, mereka tidak
menerima penghasilan atau lungguh dari raja, sejak masa dulu mereka harus
hidup dari pembagian zakat dan fitrah, sumbangan wajib yang ditentukan
agama Islm bagi para penganutnya
Gerombolan penjahat dan penyamun rupanya merupakan lembaga yang
sudah mapan dan lama usianya, yang tidak hanya terdapat pada masyarakat
Jawa, tapi juga dimana-mana di dunia pda waktu-waktu tertentu. Contohnya
gerombolan penjahat di India dan Burma, adanya serikat-serikat rahasia di
Cina, dan koloni-koloni bajak laut di selat malaka dan kepulauan Sulu dari
Filipina membuktikan senantiasa adanya lembaga-lembaga ini dalam sejarah.
Para penjahat membuat kerajaan berada dalam keadaan yang tiadak
stabil, penuh kerusuhan dan tidak aman, bila kekuasaan raja lemah, tetapi
mereka akan bersembunyi dan mencari perlindungan di hutan-hutan jika ada
pemerintahan yang kuat dan mampu bersembunyi di daerah-daerah terpencil

8

dan terasing mereka bahkan mungkin memebentuk organisasi-organisasi desa
yang tetap dengan sesame penjahat dan keluarga mereka.
Bila gerombolan perampok De facto menguasai daerah-daerah tertentu,
mereka memaksa penduduk desa dan para pendatang yang lewat membayar
sejenis upeti. Perpajakan itu sendiri , sedikit banyaknya, adalah upeti sebagai
tukaran perlindungan raja. Jadi dapat dimengerti mengapa perpajakan dan
pemungutan pajak, dalam bentuk uang, hasil bumi, dan hasil kerja,
merupakan tugas yang penting bagi Negara.
Sebagai seorang raja, melaksanakan keadilan menjadi perhatian utama
lainnya dari seorang raja dalam memelihara keserasian. Winter membicarakan
suatu cirri hukum Jawa dalam uraiannya tentang pengadilan di kerajaan
Surakarta sekitar pertengahan abad XIX, yaitu usaha mendamaikan, atau
berkompromi. Dalam pengadilan yang bersifat kompromi ini pegawai raja,
penguasa wilayah, diminta untuk menylesaikan perkara dengan persetujuan
antara dua pihak yang bersengketa. Winter menulis bahwa cara penylesaian
yang dapat diterapkan pada semua perkara jenis apapun juga, jadi termasuk
perkara sipil ataupun criminal.
Dari segi kepraktisan dalam kebijaksanaan Negara, alasan yang
cenderung untuk memberikn kedua belah pihak hak untuk menylesaikan
persoalan terleps dri campur tangan luar, bahkan dari Negara, harus lebih
dicari dalam suatu cirri yang khusus terdapat pada tata pemerintahan pada
masa Jawa Kuno.
Negara juga menganut kebijaksanaan memperbolehkan desa sedikit
banyaknya

berswasembada,

khususnya

dalam

bidang

keamanan.

Kebijaksanaan dilaksanakan dengan membetuk tanggung jawab kolektif
untuk beberapa kejahatan dan tindakan tindakan ilegallainnya. Jadi tidak
hanya penduduk di tempat terjadinya kejahatan atau perbuatan yang
dinyatakan bertanggung jawab, tetapi juga para tetangga yang tinggalnya d
segenap empat penjuru dalam jumlah cengkal ( satu cengkal sama dengan
7,95 kaki) tertentu dari tempat kejahatan.

9

Peraturan pembiayaan otonom untuk semua bagian tata pemerintahan
sangat cocok bagi suatu Negara yang diperintah berdasarkan cita-cita tidak
berdasarkan campur tangan. Prinsip campur tangan juga sangat sejalan
dengan swasembada kehidupan pertanian di desa Jawa, yang karena espace –
social-nya yang sempit tidak menghendaki pembedaan kerja maupun
perhubungan yang intensif dengan dunia luar. Dengan membiarkan hidup
berjalan sekehendaknya, sesuai dengan tradisionalisme konservatif, maka
Negara menjadi pengawal terhadap gangguan, dan baru campur tangan hanya
bila ada yang mengganggu ketenangan.
Kekuasaan punggawa yang penuh dan tak terbagi, serta kedudukannya
yang otonom menjadikan ia orang yang luas tanggung jawabnya, dan ini
terutamma demikian bila ia mempunyai tanggung jawab territorial karena itu
yidak mengherankan bahwa, dalam daerahnya, dia memegang kekuasaan
pemerintah, mengadili dan memimpin kontingen pasukan setempat.


Priyayi
Kedudukan dan jabatan dalam pemerintahan raja diisi oleh para
punggawa (pejabat), yang lebi dikenal dengan sebutan abdi dalem (abdi
raja). Seperti yang disebut oleh Babad Tanah Jawa, para pejabat disebut
juga bala (rakyat, pasukan), meskipun mereka, karena menjadi abdi raja,
dapat memperoleh kedudukan ( aristocrat) yang sama. Jadi masyarakat
pada periode Mataram II, kelompok elitnya bisa dimasuki oleh orang
biasa, tetapi hanya dengan jalan menjadi abdi raja, yaitu sebagai seorang
pejabat.
Kepatuhan tanpa syarat dituntut juga dari anggota angkatan
bersenjata. Pasukan ibarat anak panah dengan si pemanah, panglima
(senopati) mebidiknya kea rah mana saja yang di kehendaki. Meskipun
masyarakat jawa memiliki kelas elite yang terbuka, namun pejabat-pejabat
kerajaan secara tradisional dimbil terutama dari kelas priyayi, yaitu
kelompok sosial yang sesungguhnya terdiri dari punggawa (pejabat), tetapi
secara berangsur-angsur akhirnya mencangkup juga para anggota keluarga
10

dan keturunannya. Gelar putra (keturunan lansung raja) da sentana
(keluarga besar raja) brubah-ubah menurut dekat jauhnya hubungan
kekeluargaan. Turunan raja langsung diberi gelar gusti dan keturunan yang
paling jau disebut raden

.

Dalam hubungan dengan kesetiaan yang dituntut oleh raja dari
priyayi, maka seba, kehadiran yang biasa dilikukan pada hari-hari audinsi
tradisional, snen dan kamis, dianggap sebagai kewajiban yang paling
penting bagi pegawai. Seba menandakan kesediaan pejabat untuk setip
waktu melayani raja atau atasannya. Tetapi seba bahkan mempunyai arti
politik yang lebih tinggi, sebab ia merupakan kepatuhan masyarakat
kepada kekuasaan dan perintah seseorang yang lebih tinggi kedudukannya.
Seba merupakan hal ang sangat penting dalam hubungan formal antara
atasan dan bawahannya, sehingga dalam piwulang berulang kali disebut
sebagai suatu pahala yang paling terpuji.
Bila seorang pejabat ingin menyatakan rasa dendam, penyesalan atau
bencinya kepada atasan atau raja, sering sengaja menghindari ke
Pasowanan. Pasowanan itu sebenarnya mempunyai fungsi khusus, yaitu
peningkatan kebesaran raja. Pada upacara-upacara kusus, seperti grebeg,
sebenarnya semua pejabat raja dari seluruh bagian Negara harus dating.
Kesemarakan dan kemuliaan yang dipamerkan pada upacara ini dan tentu
saja tidak kurang pentingnya, besarnya jumlah pengunjung merupakan
bukti nyata kebesaran dan kekuasaan raja.
Sudah jelas bahwa dalam pengabdiannya kepada raja, seorang
priyayi, diharapkan agar tidak akan perna diorong oleh kepentingankepentinganpribadi atau kebutuhan akan uang, bginya mengabdi raja
meruakan kehormatan besar dan ia akan selau siap mengorbankan
miliknya atau bahkan nyawanya demi keselamatan Negara atau karena raja
menghendakinya.
Priyayi setia pda pekerjaannya, keberaniaannya tak diragukan, bebas
dari keinginan-keinginan untuk mencari kepentingan diri sendiri dalam
pengabdiannya kepada raja (sepi ing pamrih, rame ing gawe). Tradisi jawa

11

membagi kehidupan priyayi mejadi tiga tahap. Tahap pertama dari
pertumbuannya (masa muda) ditandai oleh usaha mencoba-coba untuk
mendapatkan pengalaman dan latihan lara-lapa (sakit dan lapar,
penderitaan). Tahap yang kedua, ditandai dengan petanggung jaaban dan
pelaksanaan kewajiban dan disertai juga ole usaha meraih kedudukan dan
keagungan dalam dunia kebendaan. Kemudian tahap yang ketiga , setelah
pengunduran diri, priyayi bersemadi untuk merenungkan apa yang
menjadi tujuan hidup dan berusaha ngelmu (pengetahuan mistik), umunya
mengalihkan dari dukia kebendaan menuju ke dunia.


Hubungan Teknis Pemerintahan
Hubungan Lurah-Patuh (Tuan-Vasal) dalam Kerajaan
Dalam kesusastraan Mataram II mengenai perbedaan antara bupati
(vassal) di daerah-daerah dengan pejabat-pejabat tinggi di ibukota,
sepanjang berkaitan dengan pangkat, gelar, atau kehormatan, tidak
terdapat perbedaan-perbedaan. Sekalipun demikian perbedaan pusat dan
daerah didasarkan dan harus didasarkan atas perbedaan status politik
antara kedua kelompok pejabat itu. Perbedan diadakan antara nagaragung
(daerah besar) sebagai daerah pusat (inti atau dalam) dengan mancanegara
(daerah sekitar atau daerah tetangga) dan pesisir sebagai daerah luar.
Meskipun seorang pejabat berkedudukan di ibukota, tugasnya tidak
perlu terbatas pada kraton atau daerah-daerah dalam. Pejabat pejabat itu
banyak yang berkuasa atas wilayah-wilayah atau mempunyai tugas diluar
daerah inti, sebagai panglima pasukan pengawas pajak di derah pesisir
atau penylenggara hubungan dengan dunia luar. Tetapi, tidak begitu
banyak yang dapat diketahui tentang luasnya daerah kekuasaan pejabat
yang berkedudukan di pusat. Misalnya tidak diketahui sejauh mana
wewenang adipati (perdana menteri) di daerah dalam dan daerah luar.
Pejabat raja yang berkedudukan di daerah luar, jadi ada yang di luar
Nagaragung, pasti lebih bebas bergerak, mereka kurang diawasi, semata
mata kerena jauh dari kraton. Umumnya daerah-daerah luar ini berada
12

dibawah pemerintahan kaum bangsawan setempat. Tugas pokok pegawai
raja di daerah ialah memungut pajak yang dibayar tiap- tiap tahun untuk
keuangan raja dan mengerahkan tenaga manusia untuk perang dan
mengerjakan proyek pekerjaan umum seperti jalan dan saluran-saluran.
Dalam kaitannya dengan kekuasaan dan kewenangan para bupati,
terdapat pula suatu kebijaksanaan lain yang berlaku khusus untuk daerah
daerah yang kira-kira langsung di sebelah utara Mataram. Dalam
pemerintahan di wilayah-wilayah pesisir ini, kraton melkukan banyak
sekali campur tangan, mungkin karena daerah daerah di jalan ke pantai
utara jawa merupakan pintu gerbang untuk hubungan politik dan ekonomi
dengan luar negeri.
Dalam keadaan kepemerintahan tidak dapat diperoleh aturan yang
tegas dan pasti tentang wewenang dan kekuasaan para pembesar yang
memerintah kedua bagian penting dari kerajaan itu, sebab senantiasa ada
pergeseran keadaan dan perimbangan kekuatan yang terus menerus
berubah ubah. Hubungan-hubungan pribadi sangat penting bagi kerajaan
di Jawa, sehingga seluruh perimbangan kekuatan tergantung pada pribadi
dan hubungan antara penguasa-penguasa di ibukota dan penguasapenguasa daerah atau antara sesame kaum bangsawan daerah itu sendiri.
Jabatan yang dapat berdiri sendiri da kekuasaan yang hampir tak
terbatas dari bupati- bupati pada semua tingkatan pemerintahan menjadi
susunan organisasi pemerintahan bersifat berulang. Patih adalah kepala
pelaksana, pengawas, dan coordinator pelaksana fungsi departemendepartemen dalam kerajaan. Pejabat-pejabat penting di kraton dan bupatibupati di daerah mempunyai patihan sendiri, adakalanya dua orang,
seorang patih njero dan seorang atih njaba (patih dalam dan patih luar),
meniru keadaan kraton raja dimana seorang patih bertugas mengaturrumah
tangga kerajaan dan seurang lagi mengurus pemerintahan kerajaan.
Para pejabat nampaknya mempunyai otonomi penuh dalam hal
pengangkatan pegawai bawahannya

dan nampaknya

juga dalam

pembagian daerah-daerah yurisdiksi masing. Demang (kepala bebrapa

13

desa) misalnya, diangkat oleh pejabat yang lungguhnya meliputi daerah
demang itu.
Raja perlu seksama dan tiada henti-hentinya memperhatikan para
priyayinya, apakah mereka berasal dari darahnya sendiri atau kaum
bangsawan setempat di daerah-daerah luar yang tergabung dalam
kerajaannya atau orang-orang biasa yang telah naik ke kelas priyayi. Dari
kedelapan sifat ideal seorang raja, kemampuan untuk mengerti gerak gerik
dan maksud- maksud yang terkandungdalam hati pejabatnya (mawas obah
osiking bala), dianggap berasal dari Dewa Bayu. Sikap seperti itu tidak
bertentangan dengan syarat bahwa raja harus sepenuhnya percaya kepada
para pejabatnya, sebab kewaspadaan semacam itu terutama bermaksud
untuk menemukan setiap keinginan yang kecil sekalipun untuk menentang
kekuasaanya, dan sama sekali bukan untuk menekan wewenang para
pejabatnya dalam bidangnya sendiri.
Untuk mempertahankan kekuasaanya atas para bawahannya, raja
menggunakan tiga cara. Pertama, menggunakan kekerasan, bahkan sampai
bisa menjatuhkan hukuman mati atas lawan- lawannya beserta
keluarganya, ara yang sama sekali tidak jarang dilaksanakan. Cara yang
kedua adalah dengan memaksa orang-orang terkemuka yang berpengaruh
tinggal di kraton untuk jangka waktu lama sedangkan daerahnya disuruh
urus oleh wakil mereka masing

masing. Dan cara yang ketiga ialah

menjalin persekutuan melalui perkawinan.Tetapi kebiasaan dengan cara ini
ialah agaknya lebih berlandas pada hak istimewa raja untuk mengambil
istri menurut kemauannya sendiri daripada suatu niat murni untuk
menjalin ikatan - ikatan kekeluargaan antara yang tinggi dengan yang
rendah.
Hak mewarisi kedudukan ayah sudah dikenal dan ditetapkan
sebagai kebiasaan pada abad-abad terakhir dari kerajaan Mataram,
meskipun rupanya tidak ada jaminan mengenai batas luas wilayah
kekuasaan maupun luas lungguh yang diterima sebagai pembayaran gaji
atau jasa -jasanya kepada raja. Ini masih tetap menjadi hak istimewa raja

14

ataupun kepala daerah. Bahkan seorang pangeran pun tidak dijamin akan
mendapatkan lungguh (kedudukan).
Menurut sebuah laporan tentang keadaan di Surakarta pada
pertengahantahun 1800-an warisan atas “kalungguhan” (dari lungguh)
jatuh menurut aturan siapa yang harus didahulukan, kepada :
1. putra tertua, meskipun didahulukan putra dari istri pertama,
kemudian baru putra – putranya yang lain.
2. putri tertua, yang akan diwakili oleh suaminya, untuk
kepentingan putranya yang tertua kelak (apakah putri -putri yang
lain mempunyai prioritas lebih dari kelompok berikut tidak jelas)
3. saudara laki-laki, saudara laki-laki ayah, kemenakan menurut
garis keluarga ayah, saudara-saudara misan menurut garis
keluarga ayah
Selain itu yang bisa mendapat kedudukan ialah orang yang lebih
disukai pemerintah, yang berarti tingkah raja merupakan keputusan yang
terakhir. Ini dapat berarti bahwa pada dasarnya jabatan-jabatan itu tidak
bersifat turun temurun dank arena kedudukan kaum ningrat terutama
dikaitkan dengan tugas- tugas dalam pemerintahan raja, keningratan pada
dasarnya tidak pula herediter (bersifat turun temurun).


Pembagian Wilayah kerajaan
Sejak zaman kuno ternyata orang jawa sudah menggunakan tempat
tinggal raja sebagai nama Negara. Kita telah melihat bukti-bukti tentang
pandangan yang berorientasi ke pusat dalam organisasi pemerintahan.
Daerah inti boleh dikatan telah diatur secara lebih ketat melelui
penggunaan system pembayaran gaji dengan lungguh, sedangkan daerah
luar diatur dengan cara yang lebih longgar.
Kekuatan fisik Negara, khususnya resimen-resimen inti angkatan
bersenjata, dipusatkan di ibu kota, pasukan pergi ke daerah-daerah untuk
memamerkan kekuatannya, menaklukkan atau menumpas pemberontakan,
tetapi kemudian selalu kembali lagi ke ibu kota.
15

Pertentangan antara ketiga jenis daerah bila dilihat dari kedudukan
pusat juga memperlihatkan pandangan seperti ini. Dalam nagarakartagama
kita temukan tiga wilayah pengaruh kekuasaan, yaitu Jawa, daerah-daerah
dan pulau-pulau di luar Jawa termasuk bagian selatan Semenanjung
Malaka, dan luar negeri, seperti Champa dan Kamboja. Dalam zaman
kerajaan Mataram II ada tiga golongan, yaitu Negara (ibukota),
negaragung (daerah inti), mancanegara (pesisir) yang termasuk daerah
luar, kemudian tanah sabrang (tanah di seberang laut).
Perbedaan antara nagaragung dan mancanegara menunjukkan
bahwa raja mempunyai tuntutan kewilayahan yang lebih kuat dalam
bagian pertama wilayah kerajaan daripada dalam bagian yang kemudian.
Batas-batas wilayah dikenal orang. Batas batas itu terdiri dari alur sungai,
gunung-gunung dan barisan pegunungan Alat pemisah yang alami ini
paling tepat untuk menjadi penunjuk patas. Keinginan untuk member
tanda-tanda wilayah sebagai kesatuan politik yang tetapdan dengan
demikian menghindari pertikaian hukum hampir tak pernah tercapai
lantaran perimbangan kekuasaan yang seringkali berubah.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa raja mempunyai dua hak jenis
tanah. Yang pertama, dapat disebut hak politik atau hak public sebab hak
ini menetapkan batas-batas daerah yang boleh diatur, daerah tempat ia
boleh menjalankan keadilan dan yang dipertahankannya dari serangan
musuh. Yang kedua dan hak raja yang lebih berkenaan secara langsung
dengan tanah adalah hak untuk mengatur hasil tanah sesuai dengan adat,
dasar dari hak ini terdapat dalam adat kampong yang telah lama (paron)
yaitu bagi hasil tanah menjadi setengah untuk penggarap dan setengah
untukorang yang mempunyai hakhek memetik hasil, hak yang diterimanya
dari desa yang menjadi pemilik tanah yang sebenarnya, siti dusun (tanah
desa).
Meskipun raja memberikan hak kepada orang lain atas sebagian
hasil tanah, ia menarik jumlah tertentu dari bagian ini untuk kepentingan
dirinya sendiri dalam bentuk pajak. Dua jenis tanah penguasaan tidak

16

dikenakan jenis pajak yang sama, yaitu narawita (daerah kuasa raja) dan
tanah perdikan, yang telah disebut tempat lain.
Menganai hak atas tanah yang diberikan oleh raja atau penguasa
setempat kepada para pejabatnya sebagai pembayaran upah dan juga
sebagai sarana bagi pembiayaan tugas mereka, kita harus membedakan
antara lungguh (appanage) dan bengkok atau catu (tanah untuk gaji).
Lungguh merupakan daerah yang telah diserahkan dan yang menerima
penyerahan mempunyai hak atas keuntungan dari tanah itu dan dari
penduduk, dari sini raja dapat menarik keuntungan, tetapi raja tidak
mempunyai hak atas tanah itu sendiri. Sedangkan tanah bengkok atau tanh
gaji ialah sebidang tanh garapan dari sebgian tanah raja yang diserahkan
kepada seorang pejabat, keluarga, atau orang yang disenangi.
Bila kita tinjau kembali definisi lungguh, jelas bahwa lungguh itu
disertai pula dengan hak hak atas wilayahnya, yang ternyata dari hak
pemegang lungguh untuk mengangkat bekelnya sendiri sebagai wakilnya
sebagai pemungut pajak. Bekel itu sebaliknya diberi sebuah lungguh yang
kecil untuk tuannya. Dapat dianggap bahwa system lungguh sudah
merupakan lembaga yang lebih tua daripada sitem bengkok, system yang
belakangan lebih banyak mempunyai sifat cara pemberian gaji yang
sederhana atas jasa-jasa yang telah diberikan, sedangkan pada lungguh
masih ada tanda-tanda bekas hak-hak pemerintahan. Jadi sistem lungguh
lebih sesuai dengan sifat pengulangan dalam istem knegaraan Jawa di
zaman dulu.
C.

Perlengkapan Material Kedudukan Raja : Perpajakan dan Pengerahan
Tenaga Pada Zaman Mataram II
a.

Pajak dan Perpajakan
Sepanjang berabad-abad pemerintahan raja di Mataram ini sudah
dilaksanakan hidup swasembada atau otonom yang sebenar-benarnya.
Hampir setiap keperluan kerajaan memerlukan biaya dan kerajaan

17

mempunyai sumber pendapatannya sendiri. Dengan sumberpendapatan
inilah negara harus berusaha untuk sedapat mungkin menutupi biaya
pengeluaran. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa dalam negarayang
ekonominya didasarkan pada desa-desa agraris, maka sebagian besar
pungutan dari rakyatnya dalam bentuk barang maupun tenaga untuk
kerja. Kota-ota pelabuhan juga dianggap penting sebagai sumber
pendapatan kerajaan, dengan memberlakukan bea cukai. Tetapi
walaupun dapat dikumpulkan kekayaan yang besar dari bea dan cukai,
namun untuk dapat berjalan dengan baik kerajaan sebagai suatu
organisasi

institusional,

pertama-tama

dan

terutama

harus

mengandalkan para petani yang dapat memberikan tenaga untuk
melakukan peekerjaan memelihara dan menopang kerajaan mulai dari
pekerjann memperbaiki jalan sampai kepada pengangkutan barangbarang, sampai dengan berperang sebagai tentara kerajaan.
b.

Pengerahan Tenaga
Pentingnya pungutan pajak dalam bentuk hasil bumi dan
kemudian dalam bentuk uang untuk membiayai pengeluaranpengeluaran negara, tidak dapat menandingi pentingnya penggunaan
dan pengerahan tenaga manusia untuk menjamin kelancaran hidup
negara. Jadi dapat disimpulkan bahwa :
1. Perpajakan dan sistem pengerahan tenaga, mengikuti sifat garis
organisasi pemerintah, boleh dikatakan sederhana dan dapat
disebut pembiayaan ad hoc atau contingent.
2. Sumber kekayaan negara yang terpenting adalah perdagangan dan
perniagaan, tetapi setelah perdagangan macet sama sekali akibat
persaingan dari pihak Belanda, maka petanilah yang harus
menggantikan sehingga sistem pengumpulan harta kekayaan
menjadi sangat berat.
3. Pengerahan tenaga rakyat merupakan faktor ekonomi yang
terpenting untuk kelancaran hidup negara

18

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pada zaman Jawa Kuno raja disamasuaikan dengan dewa atau paling kurang
setelah masuknya agama Islam dipandang sebagai perantara antara manusia
dengan Tuhan. Karena kekuasaannya mutlak, menyeluruh dan tidak terbatas.
Kepadanya rakyat harus tunduk dan patuh tanpa suatu syarat apa pun. Namun
raja juga dituntut untuk berlaku adil, bijaksana dan dermawan serta mampu
menjagaketertiban dan ketentraman negara. Struktur pemerintahannya sangat
sederhana. Para bupati, yang merupakan perpanjangan kekuasaannya,
memiliki kedudukan yang otonom serta aparatur pemerintahan yang lengkap,
sama seperti di pusat kerajaan. Akibatnya kedudukan raja selalu rapuh,
terbuka bagi setiap usaha pemberontakan guna merebut kekuasaan. Sistem
pembiayaan negara pun sederhana pula, yaitu terutama melalui pengerahan
tenaga rakyat di samping pemungutan bea, pajak, dan upeti.

DAFTAR PUSTAKA

19

Moertono, Soemarsaid. 1985. Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa
Lampau : Studi Tentang Masa Mataram II, Abad XVI sampai XIX.
Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

20