Penelitian Kuantitatif PENINGKATAN KECER. docx

PM
PENELITIAN KUANTITATIF
PENINGKATAN KECERDASAN EMOSI MELALUI METODE SIMULASI BERUPA
SOSIODRAMA “BAWANG MERAH BAWANG PUTIH” PADA ANAK USIA DINI
KELOMPOK B
TK BAITUL MU’MIN – SURABAYA

UIN SUNAN AMPEL SURABAYA
2015

PM
PENELITIAN KUANTITATIF
PENINGKATAN KECERDASAN EMOSI MELALUI METODE SIMULASI BERUPA
SOSIODRAMA “BAWANG MERAH BAWANG PUTIH” PADA ANAK USIA DINI
KELOMPOK B
TK BAITUL MU’MIN - SURABAYA

Oleh:
1.
2.
3.

4.

Novia Solichah
Siti Maisyaroh
Siti Auliyatus Sholawati
Fitri Yanuar Aini

(B77212110)
(B07212030)
(B07212029)
(B07212050)

JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN
UIN SUNAN-AMPEL SURABAYA
2015

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah
Emosi merupakan perasaan yang selalu menyertai perbuatan yang ditandai oleh
perubahan-perubahan fisik manusia. Seperti gembira, cinta, marah, takut, cemas, malu,
kecewa, dan benci. Setiap manusia dalam segala rentang usia, pada umumnya selalu
menyertakan emosi dalam setiap tindakannya.
Sering kali ketika manusia berbuat sesuatu kurang dapat mengendalikan
emosinya, sehingga emosi negatiflah yang digunakan dalam menyelesaikan suatu
masalah. Emosi negatif itu seperti : marah, benci, dendam, tempramen. Emosi negatif itu
menyebabkan akibat yang buruk, seperti: perkelahian antar pelajar, bullying, kekerasan
dalam rumah tangga, dan lain-lain.
Akhir-akhir

ini

banyak

pemberitaan


tentang

kenakalan

pelajar

karena

ketidakmampuan mereka dalam mengendalikan emosi negatifnya. Seperti dilansir pada
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) oleh Davit Setyawan mengatakan bahwa
tawuran pelajar memprihatinkan di dunia pendidikan.1
Perkelahian, atau yang sering disebut tawuran, sering terjadi di antara pelajar.
Bahkan bukan hanya antar pelajar SMU, tapi juga sudah melanda sampai ke kampuskampus. Ada yang mengatakan bahwa berkelahi adalah hal yang wajar pada remaja.
Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tawuran ini sering
terjadi. Data di Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992 tercatat 157
kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan
10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2

1Davit Setyawan. KPAI.com yang diakses tanggal 9 April 2015 jam 12:33.


anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2
anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat
dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan sering
tercatat dalam satu hari terdapat sampai tiga perkelahian di tiga tempat sekaligus.
Selain emosi negatif yang banyak terjadi pada pelajar, para orang tua sering kali
tidak bisa mengontrol emosi negatif yang ada pada dirinya. Hal ini sesuai dengan berita
yang dilansir pada Komisi Nasional Perlindungan Anak2 oleh Samsul Ridwan
mengatakan bahwa Merujuk data layanan pengaduan masyarakat melalui Hotline
Service dalam bentuk pengaduan langsung, telephone, surat menyurat maupun elektronik,
sepanjang tahun 2011 KomNas Anak menerima 2.386 kasus. Sama artinya bahwa setiap
bulannya KomNas Anak menerima pengaduaan masyarakat kurang lebih 200 (dua ratus)
pengaduan pelanggaran terhadap hak anak. Angka ini meningkat 98% jika dibanding
dengan pengaduan masyarakat yang di terima Komisi Nasional Perlindungan Anak pada
tahun 2010 yakni berjumlah 1.234 pengaduan. Dalam laporan pengaduan tersebut,
pelanggaran terhadap hak anak ini tidak semata-mata pada tingkat kuantitas jumlah saja
yang meningkat, namun terlihat semakin komplek dan beragamnya modus pelanggaran
hak anak itu sendiri. Pengaduan hak asuh (khususnya perebutan anak pasca perceraian)
misalnya, mendominasi pengaduan sepanjang tahun 2011 ini.
Sepanjang tahun 2011 ini, kasus tawuran cukup banyak mendapat sorotan dan
menjadi topik hangat ditengah-tengah masyrakat. Maraknya peristiwa kekerasan antar

sesama anak sekolah merupakan fenomena sosial yang berkembang ditengah-tengah
masyarakat remaja. Sementara itu, sepanjang tahun 2011, Komisi Nasional Perlindungan
anak mencatat ditemukan 339 kasus tawuran. Kasus tawuran antar pelajar di Jabodetabek
2Samsul Ridwan. KNPA.comyang diakses tanggal 9 April 2015 jam 12:35.

meningkat jika dibanding 128 kasus yang terjadi pada ahun 2010. KomNas Anak
mencatat, dari 339 kasus kekerasan antar sesama pelajar SMP dan SMA ditemukan 82
diantaranya meninggal dunia, selebihnya luka berat dan ringan.
Dari beberapa kasus yang dikemukakan di atas, kasus-kasus tersebut terjadi
karena ketidak mampuan setiap orang dalam mengontrol emosi negatifnya, untuk itu
perlu adanya kecerdasan emosi yang di ajarkan sejak anak usia dini.
Berdasarkan teori perkembangan Piaget (dalam Trianto 2011), maka anak yang
berada di TK/RA dan usia kelas awal SD/MI adalah anak yang berada pada rentangan
usia dini. Masa usia dini merupakan masa yang pendek tetapi merupakan masa yang
sangat penting bagi kehidupan seseorang. Oleh karena itu, pada masa ini seluruh potensi
yang dimiliki anak perlu didorong sehingga akan berkembang secara optimal. Hal ini
sesuai dengan berita republika.co.id, Surabaya. Faktor Ini Pengaruhi Tingkat
Keberhasilan Anak.3
Kecerdasan emosi (Emotional Intelligence) mempengaruhi keberhasilan anak
pada masa mendatang karena aspek tersebut dapat mengarahkan pikiran dan tindakan

mereka dalam kehidupan sehari-hari.
"Dulu kecerdasan identik dengan Intelectual Quotient (IQ) dan ternyata IQ hanya
mempengaruhi 20 persen keberhasilan individu di masyarakat. Sementara, 80 persen
ditentukan kecerdasan emosi," kata Psikolog, Rose Mini di Surabaya, Sabtu (21/2).
Romi mengungkapkan ketika kecerdasan emosi anak terasah dengan baik ada
beberapa manfaat yang diperoleh seperti bergaul dan menghargai orang lain. Selain itu,
anak akan memperlihatkan kasih sayang kepada orang tuanya, lancar berkomunikasi, dan
mudah menerima stimulasi lingkungan untuk membentuk multitalentanya.
3Romi. Republika Online.com yang diakses tanggal 9 April 2015 jam 12:35.

"Stimulasi kecerdasan emosi pada masa 1.000 hari kehidupan awal anak tentu
akan mempersiapkan landasan emosi anak yang lebih stabil pada masa mendatang.
Dengan begitu, anak sudah terbiasa mempergunakan kecerdasan emosi itu," ujar Romi.
Hal ini dikuatkan dengan pemberitaan di Indosiar.com yang menyatakan
Kecerdasan Emosi Bekal Terpenting Anak.4 indosiar.com - Kecerdasan emosi kini
menjadi perhatian dan prioritas. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam
mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena dengannya seseorang akan dapat
berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil
secara akademis. Selain itu, kecerdasan emosi juga sangat penting dalam hubungan pola
asuh anak dengan orang tua. Hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of

Missouri-St. Louis, yang diterbitkan dalam sebuah sebuah buletin, Character Educator,
oleh Character Education Partnership, dijelaskan tentang keberhasilan kecerdasan emosi
terhadap keberhasilan akademik.
Kecerdasan emosi hendaknya diterapkan sejak dini, karena menurut pendapat
Rosmalia Dewi (2005: 3) menyebutkan bahwa Masa usia dini sering disebut sebagai
golden age (masa emas). Pada masa emas ini anak sedang dalam masa sangat mudah
untuk mengoptimalkan potensi yang ada dalam diri mereka.Masa setiap aspek
pengembangan seperti sosial emosional, kognitif, bahasa, motorik halus, motorik kasar,
dankreativitas yang ada dalam diri anak dapat berkembang dengan pesat.
Perkembangan emosi anak hingga usia 6 tahun ialah anak dapat mengekspresikan
reaksi terhadap orang lain, dapat mengontrol emosi, sudah mampu berpisah dengan orang
tua, dan telah mulai belajar tentang benar dan salah. Untuk perkembangan kecerdasannya
anak usia TK/RA ditunjukkan dengan kemampuannya dalam melakukan seriasi,
4Indosiar.com yang diakses tanggal 9 April 2015 jam 12:35.

mengelompokkan objek, berminat terhadap angka dan tulisan, meningkatnya
perbendaharaan kata, senang berbicara, memahami sebab akibat, dan berkembangnya
pemahaman terhadap ruang dan waktu. 5
Namun dalam kenyataan yang diperoleh peneliti, di TK Baitul Mu’min,
perkembangan emosi siswa kelompok B masih belum sesuai dengan teori. Sebagian

siswa masih belum mampu berpisah dengan orang tua, kira-kira ada 12 siswa. Sebagian
lain masih belum mampu mengontrol emosinya, sering bertengkar dan mengejek antar
teman. Bahkan ada yang sampai saling memukul sehingga keduanya terluka parah hingga
di bawa rumah sakit. Para siswa masih belum mampu membedakan perbuatan yang benar
dan yang salah.
Kecerdasan emosi anak perlu ditingkatkan dan dikembangkan sejak dini. Banyak
metode yang dapat di aplikasikan dalam pembelajaran di kurikulum TK, salah satu
metode yang digunakan adalah metode simulasi. Metode simulasi merupakan salah satu
metode mengajar yang cara penyajiannya menggunakan situasi tiruan yakni
memperagakan proses terjadinya suatu cerita. Metode simulasi memiliki beberapa jenis,
antara lain: sosiodrama, psikodrama, role playing, per teaching, dan simulasi game.
Namun

dalam

penelitian

ini,

peneliti


memilih

menggunakan

teknik

sosiodramadalam meningkatkan kecerdasan emosi anak, karena berdasarkan penelitian
terdahulu teknik sosiodrama sangat efektif untuk meningkatkan keccerdasan emosi.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk meneliti apakah metode
pembelajaran simulasi yang berupa sosiodrama dapat meningkatkan kecerdasan emosi
5Trianto. Desain Pengembangan Pembelajaran Tematik Bagi Anak Usia Dini TK/RA dan Anak Kelas Awal SD/MI.
Kencana. Jakarta : 2011. Hal 9

anak, dan penelitian yang akan dilakukan ini berjudul “Peningkatan Kecerdasan Emosi
Melalui Metode Simulasi Berupa Sosiodrama Bawang Merah Bawang Putih pada Anak
Usia Dini Kelompok B TK Baitul Mu’min - Surabaya”.
B.

Rumusan Masalah

Setelah melihat latar belakang yang ada dan agar penelitian ini tidak terjadi
kerancuan, maka penulis dapat membatasi dan merumuskan permasalahan yang akan
diangkat dalam penelitian ini sebagai berikut: Bagaimana Peningkatan Kecerdasan Emosi
Melalui Metode Simulasi Berupa Sosiodrama Bawang Merah Bawang Putih pada Anak
Usia Dini Kelompok

C.

Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Peningkatan Kecerdasan
Emosi Melalui Metode Simulasi Berupa Sosiodrama Bawang Merah Bawang Putih pada
Anak Usia Dini Kelompok B.

D.

Manfaat Penelitian
Dari tujuan diadakanannya penelitian yang telah dipaparkan di atas, maka adapun
manfaat penelitian, yaitu :
a.


Manfaat secara teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembelajaran, dalam rangka
mengembangkan ilmu, khususnya PG-PAUD, Psikologi Perkembangan dan
Psikologi Pendidikan.

b.

Manfaat secara praktis
1.

Penelitian ini juga menjadi masukan agar para guru dapat meningkatkan
kecerdasan emosi anak melalui metode simulasi berupa sosiodrama.

2.

Bagi para orang tua, diharapkan dapat meningkatkan kecerdasan emosi anak
dengan mengajak si anak menggunakan metode simulasi berupa sosiodrama
kepada anaknya sejak dini.

3.

Bagi para mahasiswa yang menempuh pendidikan guru PAUD, psikologi
perkembangan, dan Psikologi pendidikan agar menjadi pengetahuan baru
tentang metode simulasi berupa sosiodrama yang dapat meningkatkan
kecerdasan emosi anak.

E.

Penelitian Terdahulu
Penelitian ini membahas tentang peningkatan kecerdasan emosi melalui metode
simulasi berupa sosiodrama bawang merah dan bawang putih pada anak usia dini
kelompok B. Kecerdasan emosi merupakan kemampuan memahami perasaan dan emosi,
baik pada diri sendiri maupun orang lain. Metode simulasi dapat diartikan cara penyajian
pengalaman belajar dengan menggunakan situasi tiruan untuk memahami tentang konsep,
prinsip, atau keterampilan tertentu. Sosiodrama adalah metode pembelajaran bermain
peran untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan fenomena sosial, permasalahan
yang menyangkut hubungan antarmanusia.
Kecerdasan emosi dapat ditingkatkan melalui metode simulasi berupa
sosiodrama, ini dibuktikan dari beberapa penelitian terdahulu yang dilakukan oleh
Alfasnur (2013) berjudul “Upaya Meningkatkan Kecerdasan Emosional Melalui Metode
Sosiodrama Pada Siswa Kelas VIII Smp Negeri 1 Sleman” mengatakan bahwa
kecerdasan emosional dapat ditingkatkan melalui metode Sosiodrama.6

6 Darmansyah. Trategi Pembelajaran Menyenangkan dengan Humor. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2012. Hlm.134

Selain itu, dalam penelitian Darmansyah (2007), terungkap bahwa siswa yang
diberikan

perlakuan

pembelajaran

dengan

sisipan

huor,

ternyata

kecerdasan

emosionalnya lebih tinggi dibandingkan dengan hasil belajar yang dilaksanakan secara
normal.7 Nurnaningsih (2011), hasil penelitian enunjukkan bahwa bimbingan kelompok
efektif untuk meningkatkan kcerdasan emosional siswa. Program bimbingan kelompok
ini direkomendasikan untuk dipertimbangkan sebagai salah satu kerangka kerja dalam
pngembangan program bimbingan dan konseling unuk meningkatkan kecerdasan
emosional siwa. 8
Baskara dkk (2011), telah melakukan penelitian tentang pengaruh dari
keikutsertaan individu dalam program meditasi terhadap kecerdasan emosi. 9Ada juga
yang mengatakan bahwa terdapat hubungan antara kecerdasan Emosi dengan
kemampuan coping adaptif, yang dibuktikan dalam penelitiannya Saptoto (2010), based
on these minor hipotesis, it is concluded hat generally there is correlation between
emotional intelligence and adaptive coping ability.10
Dari beberapa penelitian terhadulu tentang upaya meningkatkan kecerdasan emosi
di atas, peneliti lebih tertarik dengan upaya meningkatkan kecerdasan emosional melalui
metode sosiodrama. Karena menurut teori Albert Bandura telah dijelaskan bahwa anak
usia dini adalah masa meniru, sehingga pengoptimalan kognitif-emosional anak usia dini
dapat dioptimalkan dengan metode sosiodrama.

7 Darmansyah. Trategi Pembelajaran Menyenangkan dengan Humor. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2012. Hlm.134
8 Nurnaningsih. Bimbingan Kelompok untuk meningkatkan kecerdasan emosional siswa. Edisi khusu no.1, Agustus
2011.
9 Baskara dkk. Kecerdasan Emosi ditinjau dari keikutsertaan dalam program meditasi. Jurnal psikologi vol. 35, No.
2,juni 2011. 101-115
10 Saptoto. Hubungan kecerdasan emosi dengan kemampuan coping adapatif. Junal Psikologi. Volume 37, no. 1,
Juni 2010: 13-22

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah dari segi
subjek, penelitian kami menggunakan subjek yang berusia prasekolah 6-7, dan dari segi
metodenya, meskipun penelitian ini menggunakan metode sosiodrama, namun drama
yang akan ditirukan oleh subjek berbeda yakni drama “bawang merah bawang putih”, hal
ini dipilih karena dari cerita ini, siswa akan mendapatkan nilai-nilai moral yang baik
untuk meningkatkan kecerdasan moralnya.

BAB II
KAJIAN TEORI
A.

Definisi PAUD
Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang
ditunjukkan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 6 tahun yang
dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak
memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.11
Anak usia dini adalah anak yang baru dilahirkan sampai usia 6
tahun. Usia ini merupakan usia yang sangat menentukan dalam
pembentukan karakter dan kepribadian anak. Usia dini merupakan usia
ketika anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat.
Usia dini merupakan periode awal yang paling penting dan mendasar
dalam sepanjang rentang pertumbuhan serta perkembangan kehidupan
manusia.
Sejak
neuroscience

dipublikasikannya

hasil

riset

mutakhir

dibidang

dan psikologi, fenomena Pendidikan Anak Usia Dini

(PAUD) merupakan keniscayaan alasannya perkembangan otak pada
anak usia dini (0-6 tahun) mengalami percepatan hingga 80% dari
keseluruhan otak orang dewasa. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh
potensi dan kecerdasan serta dassar-dasar perilaku seseorang telah
mulai terbentuk pada usia ini. Sedemikian pentingnya masa ini sehingga
usia dini sering disebut the golden age (usia emas). Atas dasar ini,
disimpulkan bahwa untuk menciptakan generasi yang berkualitas,
pendidikan harus dilakukan sejak dini, yaitu melalui PAUD.
Merujuk pada undang-undang

nomer 20 tahun2003 tentang

sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa pendidikan terdiri atas
Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah dan
Pendidikan Tinggi, yang keseluruhannya merupakan kesatuan yang
sistematik. Artinya, pendidikan harus dimulai dari usia dini yaitu
11Novan Ardy Wiyani & Barnawi. FORMAT PAUD. (2012, Hal 100) Jogjakarta : AR-RUZ MEDIA. Hal 13

pendidikan

anak

usia

dini

(PAUD).

Dengan

demikian,

PAUD

diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar. Dalam penjelasan
selanjutnya, PAUD dapatdiselenggarakn melalui jalur pendidikan formal,
non formal, dan informal. PAUD pada jalur pendidikan formal berbentuk
Taman Kanak-Kanak (TK), RaudhatulAthfal (RA) atau bentuk lain yang
sederajat. PAUD pada jalur non formal berbentuk Kelompok Bermain
(KB), Taman Penitipan Anak(TPA) atau benuk lain yang sederajat. PAUD
pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau
pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.12
Usia

dini

merupakan

usia

yang

sangat

penting

bagi

perkembangan anak sehingga disebut golden age. Hal tersebut
menjadikan sedikit demi sedikit anak di usia dini (0-6 tahun) dapat
menyerap informasi dari lingkungannya melalui organ sensoris dan
memprosesnya menggunakan otaknya.
Perkembangan ini demikian pentingnya sehingga mendapat
perhatian yang cukup luas dari para pakar psikologi/pendidikan, yang
menyatakan bahwa pendidikan untuk anak usia dini harus disesuaikan
dengan pertumbuhan dan perkembangan anak. Oleh karena itu, agar
mampu mengasuh dan membimbing anak dengan efektif, seorang guru
PAUD seyogiyanya menguasai konsep perkembangan anak usia dini.13
I.

Hakikat Pendidikan Anak Usia Dini
1. Pengertian
Dalam

kamus

besar

bahasa

Indonesia,

pendidikan

diartikan sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan manusia
melalui upaya pelajaran dan pelatihan. Kemudian dalam arti luas,
pendidikan adalah segala macam bentuk pengalaman belajar
yang berlangsung dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan

12Suyadi. PSIKOLOGI BELAJAR PAUD. (2010, Hal 9) jogjakarta : PT PUSTAKA INSAN MADANI
13Novan Ardy Wiyani & Barnawi. FORMAT PAUD. (2012, Hal 100) Jogjakarta : AR-RUZ MEDIA. Hal 81

masyarakat

untuk

mengembangkan

kemampuan

seoptimal

mungkin sejak lahir sampai akhir hayat.14
Pendidikan anak usia dini merupakan serangkaian upaya
sistematis dan terporgram dalam melakukan pembinaan yang
ditunjukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 6 tahun,
yang dilakukan melalui pemberian rangsangan untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohaniah agar
anak memiliki kesiapan untuk masuk ke pendidikan yang lebih
lanjut.
2. Landasan Pendidikan Anak Usia Dini
a. Landasan Yuridis
1. Amandemen

UUD

1945

pasal

28

B

ayat

2,

yang

menyatakan “setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”15
2. UU NO.23 Tahun 2002 Pasal 9 Ayat 1tentang Perlindungan
Anak. “Setiap anak berhak memperolleh pendidikan dan
pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan
tingkat

kecerdasannya

sesuai

dengan

minat

dan

bakatnya.”
3. UU

NO.20

Tahun

2003

tentang

Sistem

Pendidikan

Nasional, Bab 1, pasal 1, butir 14, yang menyatakan:
“Pendidikan

Anak

Usia

Dini

adalah

suatu

upaya

pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai
dengan usia 6 tahun yang dilakukan melalui pemberian
rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan
dan

perkembangan

jasmani

dan

rohani

agar

anak

memiliki kesiapan memasuki pendidikan lebih lanjut.”
b. Landasan Filosofis
14Novan Ardy Wiyani & Barnawi. FORMAT PAUD. (2012, Hal 100) Jogjakarta : AR-RUZ MEDIA. Hal 31
15Novan Ardy Wiyani & Barnawi. FORMAT PAUD. (2012, Hal 9) Jogjakarta : AR-RUZ MEDIA.

Pendidikan

adalah

suatu

upaya

untuk

memanusiakan

manusia. Artinya, melalui proses pendidikan diharapkan
terlahir manusia-manusia yang lebih baik. Standar manusia
yang “baik” berbeda antar masyarakat, bangsa atau negara,
karena

perbedaan

pandangan

filsafat

yang

menjadi

keyakinannya. Perbedaan filsafat yang dianut oleh suatu
bangsa akan membawa perbedaan dalam orientasi atau
tujuan pendidikan.16
c. Landasan Keilmuan
Landasan keilmuan yang mendasari Pendidikan Anak
Usia Dini adalah penemuan para ahli tentang tumbuhkembang anak. Pertumbuhan dan perkembangan anak tidak
dapat dilepaskan kaitannya dengan perkembangan struktur
otak dan kecerdasan. Menurut Wittrock, sebagaimana diikuti
Tim Pengembang Kurikiulum PAUD, ada perkembanga wilayah
otak yang mengalami peningkatan pesat, yaitu pertumbuhan
serabut

dendrit,

kompleksitas

hubungan

sinepsis,

dan

pembagian sel saraf. Ketiga wilayah otak tersebut sangat
penting untuk dikembangkan sejak usia dini.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Jean Piaget
(1972). Ia menyatakan “Anak belajar melalui interaksi dengan
lingkungannya.

Anak

seharusnya

mampu

melakukan

percobaan dan penelitian sendiri. Guru bisa menentukan
anak-anak dengan menyediakan bahan-bahan yang tepat.
Tetapi yang terpenting agar ana dapat memahami sesuatu, ia
harus membangun pengertian itu sendiri, dan ia harus
menemukannya sendiri.“17
3. Tujuan

16 Ibid Hal 10
17 Ibid Hal 11

Secara garis besar, tujuan pendidikan anak usia dini adalah
mengembangkan berbagai potensi sejak dini sebagai persiapan
untuk hidup dan dapt menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
4. Prinsip-prinsip dalam Pendidikan Anak usia Dini (PAUD)
Dalam melaksanakan pendidikan anak usia dini, terdapat prinsipprinsip utama yang harus diperhatikan. Prinsip-prinsip tersebut
adalah sebagai berikut.
a. Mengutamakan kebutuhan anak
b. Belajar melalui bermain atau bermain seraya belajar
c. Lingkungan yang kondsif dan menantang
d. Menggunakan pembelajaran terpadu dalam bermain
e. Mengembangkan berbagai kecakapan atau ketrampilan hidup
(life skills)
f.

Menggunakan berbagai media atau permainan edukatif dan
sumber belajar

g. Dilaksanakan secara bertahap dan berulang-ulang18
5. Standar kompetensi Anak Usia Dini
Standar

kompetensi

anak

usia

dini

terdiri

atas,

pengembangan aspek-aspek sebagai berikut.
a. Moral dan nilai-nilai agama
b. Sosial, emosional, dan kemandirian
c. Bahasa
d. Kognitif
e. Fisik-Motorik
f.

Seni19

6. Urgensi pendidikan anak usia dini
Tingkat

kesadaran

masyarakat

terhadap

pemberian

layanan pendidikan bagi anak sejak usia dini (0-6 tahun) masih
sangat rendah. Hal itu disebabkan antara lain karena kurangnya
18 Ibid Hal 13
19 Ibid Hal 13

sosialisasi kepada masyrakat tentang pentingnya pendidikan
anak usia dini.
Meskipun selama ini pemerintah dan masyarakat telah
menyelenggarakan berbagai program layanan pendidikan bagi
anak usia dini, namun kenyataannya hingga saat ini masih
banyak

anak

usia

dini

yang

belum

memperoleh

layanan

pendidikan.
Banyak anggapan sebelumnya yang mengatakan bahwa
pendidikan yang tepat diberikan kepada anak adalah pada saat
anak mulai masuk usia kematangan yang siap untuk bersekolah
yaitu antara 5-7 tahun. Sedangkan, yang sebenarnya adalah
bahwa pendidikan bisa dimulai dari usia 0-6 tahun.
Dengan demikian, urgensi pendidikan anak usia dini
adalah untuk mengembangkan semua aspek perkembangan
anak, meliputi perkembangan kognitif, bahasa, fisik (motorik
kasar dan halus), sosial, dan emosional.
Berbagai

hasil

penelitian

menunjukkan

bahwa

ada

hubungan yang sangat kuat antara perkembangan yang dialami
anak pada usia dini dan keberhasilan mereka dalam kehidupan
selanjutnya.20
II. Pembentukan Karakter Anak Usia Dini
a. Karakter sebagai esensi pendidikan anak usia dini
Ada empat pilar yang menopang pembangunan bangsa, antara lain pilar
ekonomi, pilar politik, pilar kesehatan, dan pilar kesehatan. Dari keempat pilar
tersebut, pendidikan merupakan pilar yang paling utama di antara tiga pilar
lainnya. Kuatnya pilar pendidikan akan menguatkan pilar ekonomi, pilar politik,
dan pilar kesehatan.
20Novan Ardy Wiyani & Barnawi. FORMAT PAUD. (2012, Hal 100) Jogjakarta : AR-RUZ MEDIA. Hal 77

Dalam konteks kenegaraan, penyelenggaraan pendidikan secara yuridis
formal di atur dalm Undang-Undang Sisdiknas Nomor 2 Tahun 2004. Dalam
Undang-undang tersebut, pendidikan diartikan sebagai usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Dengan demikian, pendidikan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia
merupakan upaya untuk membangun bangsa yang cerdas secara fisik, intelektual,
emosional, dan spiritual. Hal ini selaras dengan pendapat Muhammad Roqib yang
menyatakan bahwa pendidikan sebagai upaya sadar dan terencana terkait dengan
gerak dinamis, positif,dan kontinu setiap individu menuju idealitas kehidupan
manusia agar mendapatkan milai terpuji. Aktivitas individu tersebut meliputi
pengembangan kecerdasan pikir (rasio, kognitif), dzikir (afektif, rasa, hati,
spiritual), dan keterampilan fisik (psikomotorik).
Sementara itu, dalam Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003
disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradapan bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang berimna, dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Dari deskripsi tentang fungsi dan tujuan pendidikan di atas, maka dapat
kita simpulkan bahwa dalam pendidikan terdapat proses transformasi pengetahuan
dan transformasi nilai. Transformasi pengetahuan akan menghasilkan peserta
didik yang cerdas secara intelektual, sedangkan transformasi nilai menghasilkan
peserta didik yang berkarakter. Dalam perjalannnya, terjadi perdebatan antarpakar
pendidikan tentang mana yang lebih utama, menghasilkan anak yang pintar atau
menghasilkan anak yang berkarakter?.
Disadari ataupun tidak, bangsa Indonesia sedang menuai akibat dari
dilakukannya praktik pendidikan yang mengabaikan aspek afektif (karakter).
Maka, kini dekadensi moral menimpa bangsa kita. Data hasil survei mengenai
seks bebas di kalangan remaja Indonesia menunjukkan 63% remaja Indonesia
telah melakukan seks bebas. Berdasarkan data dari Pusat Pengendalian Gangguan
Sosial DKI Jakarta, pelajar SD, SMP, SMA, yang terlibat tawuran mencapai 0,08
persen atau sekitar 1.318 persen peserta didik dari total 1.647.835 peserta didik di
DKI Jakarta, bahkan akibat dari tawuran tersebut, 26 peserta didik meninggal
dunia.
Untuk mengatasi problematika di atas, pendidikan di Indonesia harus
diarahkan pada pembentukan karakter. Bung Karno, Bapak pendiri bangsa
menegaskan bahwa “Bangsa ini harus dibangun dengan mendahulukan
pembentukan karakter karena pembentukan karakter inilah yang akan membuat
Indonesia menjadi bangsa yang besar, maju, dan jaya serta bermartabat. Jika

pembentukan karakter tidak dilakukan, bangsa Indonesia akan menjadi bangsa
kuli.21
Yahya Khan mengartikan karakter dengan sikap pribadi yang stabil dari
hasil konsolidasi secara progresif dan dinamis yang mengintregasikan antara
pernyataan dan tindakan. Sementara menurut penulis, karakter adalah cara brpikir
dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja
sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan karakter sendiri merupakan usaha untuk mendidik anak agar
mereka dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikkannya dalam
kehidupan sehari-hari sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif
kepada lingkungannya. Dalam pendidikan karakter, ada tiga gagasan penting,
yaitu proses tranformasi nilai-nilai, ditumbuhkembangkan dalam kepribadian, dan
menjadi satu dalam perilaku.
Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan
dan hasil pendidikan yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter anak
didik secara utuh, terpadu, dan seimbang. Melalui pendidikan karakter diharapkan
anak

didik

mampu

secara

mandiri

meningkatkan

dan

menggunakan

pengetahuannya, mengkaji, dan menginternalisasikan serta mempersonalisasi
nilai-nilai karakter yang terwujud dalam perilaku sehari-hari.
Dari deskripsi di atas, pendidikan karakter dapat dilaksanakan dalam
lingkup keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dalam pelaksanaannya, pendidikan
21 Wiyani, Novan Ardy. Bina Karakter Anak Usia Dini. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta : 2013.

karakter dapat dilaksanakan sedini mungkin, bukan hanya dimulai ketika anak
belajar di SD, SMP, dan SMA saja, melainkan pula sudah dilaksanakan sejak anak
belajar pada jenjang Pendidikan Anak Usia Dini atau yang sering kita kenal
dengan akronim PAUD. Ada dua tujuan diselenggarakannya PAUD, sebagai
berikut :
1. Membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan
berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki
kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi
kehidupan di masa dewasa.
2. Membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik di
sekolah).
PAUD menyelenggarakan pendidikan yang menitikberatkan pada
peletakan dasar ke beberapa arah berikut ini.
1. Pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar).
2. Kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, dan kecerdasan
spiritual).
3. Sosioemosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi yang
disesuaikan dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan anak usia dini.
B.

The Golden Ages
Salah satu periode yang menjadi cirri masa usia dini adalah The
Golden Ages atau periode keemasan. Banyak konsep dan fakta yang
ditemukan memberikan penjelasan periode keemasan pada masa usia
dini ketika semua potensi anak berkembang paling cepat. Beberapa
konsep yang disandingkan untuk masa anak usia dini adalah masa

eksplorasi, masa identifikasi/imitasi, masa peka,masa bermain,dan
masa trozt alter 1 (masa membangkang tahap 1).22
Periode emas adalah masa dimana otak anak mengalami
perkembangan paling cepat sepanjang sejarah kehidupannya. Periode
ini hanya berlangsung pada saat anak dalam kandungan hingga usia
dini, yaitu 0-6 tahun. Namun, masa bayi dalam kandungan hingga lahir,
sampai

usia

4

(empat)

tahun

adalah

masa-masa

yang

paing

menentukan. Periode ini pula yang disebut-sebut sebagai epriode emas
atau yang lebih dikenal sebagai The Golden Ages.
Mengapa periode itu disebut sebagai masa keemasan?Sebab,
pada masa itu otak anak sedang mengalami pertumbuhan dan
perkembangan yang sangat pesat.Dan, otak merupakan kunci utama
bagi pembentukan kecerdasan anak. Setelah lahir hingga usia 2 tahun,
sel-sel saraf pada bayi yang belum matang dan jaringan urat saraf yang
masih lemah terus tumbuh dengan cepat dan dramatis mencapai
kematangan seiring dengan pertumbuhan fisiknya. Pada saat lahir,
berat otak bayi seperdelapan dari berat totalnya atau sekitar 25% dari
berat otak dewasanya.Pada ulang tahun ke dua, otak bayi sudah
mencapai kira-kira 75% dari otak dewasanya. Sekitar 50% kapasitas
kecerdasan manusia telah terjadi ketika usia 4 tahun, 80% telah terjadi
ketika berusia 8 tahun, dan mencapai titik kulminasi 100% ketika anak
berusia 8 sampai 18 tahun. Pertumbuhan fungsional sel-sel otak
tersebut membutuhkan berbagai situasi pendidikan yang mendukung,
baik dalam situasi pendidikan keluarga, masyarakat, maupun sekolah.
Para ahli sepakat bahwa periode keemasan tersebut hanya
berlangsung 1 kali sepanjang rentang kehidupan manusia.23
Oleh karena itu, kunci pembentukan kecerdasan otak anak
adalah pada usia dini atau periode emas ini. Berkaitan dengan periode
emas sebagai kunci pembentukan kecerdasan anak tersebut, Deborah
22Novan Ardy Wiyani & Barnawi. FORMAT PAUD. (2012, Hal 100) Jogjakarta : AR-RUZ MEDIA. Hal 33
23 Ibid Hal 34

Stipek menyatakan bahwa anak usia dini menaruh harapan yang tinggi
untuk

berhasil

dalam

mempelajari

segala

hal,

meskipun

dalam

praktiknya selalu buruk. Artinya, pada usia ini, anak dapat dididik untuk
melalukan apa saja (segala hal) dan mereka mempunyai kepercayaan
diri yang tinggi untuk berhasil, meskipun dalam praktiknya sangat buruk
bahkan terkesan mustahil.24
C. Perkembangan Kognitif
I.

Definisi Kognitif
Manusia adalah makhluk Tuhan yang telah diciptakan secara
sempurna dan istimewa, serta dikaruniai akal dan pikiran. Melalui
akal dan pikiranlah manusia dapat hidup dan bersosialisasi dengan
sesama serta makhluk lainnya. Kemampuan kognitif ini berisikan
akal dan pikiran manusia yang harus dikembangkan bersamaan
dengan kemampuan lainnya (bahasa,sosial–emosional,moral dan
agama).Pamela

Minet

mendefinisikan

bahwa

perkembangan

intelektual adalah sama dengan perkembangan mental, sedangkan
perkembangan kognitif adalah perkembangan pikiran. Pikiran adalah
bagian dari proses berpikir otak.
Memahami psikologi perkembangan kognitif pada anak usia
dini tidak bisa dilepaskan dari tokoh psikologi terkemuka yang telah
mencurahkan tenaga dan pikirannya guna mengkaji hal ini. Tokoh ini
adalah Jean Piaget (1896-1980).Salah satu teori Piaget menyatakan
bahwa pengetahuan dibangun melalui kegiatan atau aktivitas
pembelajaran.Piaget menolak paham lama yang menyatakan bahwa
kecerdasan adalah bawaan secara genetis.Ini terjadi pada setiap
manusia, termasuk anak-anak.
Kognitif adalah proses yang terjadi secara internal didalam
pusat penyusunan syaraf pada waktu manusia sedang berpikir
(Gagne,1967). Kemampuan kognitif ini berkembang secara bertahap
24Ibid Hal 24

sejalan dengan perkembangan fisik dan syaraf-syaraf yang berada
dipusat susunan syaraf. Beberapa ahli psikologis yang berkecimpung
dalam pendidikan mendefinisikan intelektual atau kognitif dengan
berbagai peristilahan:
1. Terman mendefinisikan bahwa kognitif adalah kemampuan untuk
berpikir secara abstrak.
2. Colvin mendefinisikan bahwa kognitif adalah kemampuan untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan.
3. Henman

mendefinisikan

bahwa

kognitif

adalah

intelektual

ditambah dengan pengetahuan.
4. Hunt

mendefinisikan

bahwa

kognitif

adalah

teknik

untuk

memproses informasi yang disediakan oleh indra.
Sementara itu yang dimaksud dengan intelek adalah berpikir,
sedangkan yang dimaksud dengan intelegensi adalah kemampuan
kecerdasan.Gardner
bahwa

dalam

pengertian

Munandar

intelegensi

(2000),

sebagai

mengemukakan

kemampuan

untuk

memecahkan masalah atau untuk mencipta karya yang dihargai
dalam suatu kebudayaan atau lebih.25
Dalam

rangka

mengoptimalkan

potensi

kognitif

pada

seseorang, kita dapat melihat dari Teori Kognitif Jan Piaget
Perkembangan

merupakan

suatu

proses

yang

bersifat

komulatif, artinya perkembangan terdahulu akan menjadi dasar
perkembangan

selanjutnya.

Dengan

demikian

apabila

terjadi

hambatan pada perkembangan terdahulu maka perkembangan
selanjutnya akan mengalami hambatan.
Piaget

membagi

kognitif

kedalam

empat

fase,

yang

diantaranya (Piaget, 1972:49-91):
1. Fase sensori motor (usia 0-2 tahun)
Dua tahun pertama kehidupan seorang anak berinteraksi
dengan
25PLPG. Hal 1

dunia

sekitarnya,

terutama

melalui

aktifitas

sensori( melihat, meraba, merasa, mencium dan mendengar)
dan persepsinya terhadap gerakan fisik dan aktivitas yang
berkaitan dengan sensori tersebut. Koordinasi aktivitas ini
disebut dengan istilah sensori motor.
Fase sensori motor dimulai dengan gerakan-gerakan
refleks yang dimiliki anak sejak lahir. Fase ini berakhir pada usia
2 tahun. Pada masa ini anak mulai membangun pemahamannya
tentang

lingkungannya

melalui

kegiatan

sensorik

motorik.

Seperti: menggenggam, menghisap, melihat, melempar dan
secara perlahan ia mulai menyadari bahwa suatu benda tidak
menyatu dengan lingkungannya atau dapat dipisahkan dari
lingkungan dimana benda itu berada. Anak pada masa ini juga
mulai membangun pemahaman terhadap aspek-aspek yang
berkaitan dengan hubungan kausalitas, bentuk dan ukuran,
sebagai hasil pemahamannya terhadap aktivitas sensorimotor
yang dilakukannya.
Pada akhir anak usia 2tahun anak sudah menguasai polapola sensorimotor yang bersifat kompleks seperti bagaimana
cara

menapatkan

benda

yang

diinginkannya

(

menarik,

mengggemnggam atau meminta), menggunakan suatu benda
dengan

tujuan

yang

berbeda.

Dengan

benda

yang

ada

ditangannya, ia mampu melakukan apa yang diinginkannya.
Kemampuan ini merupakan awal kemampuan berpikir simbolik,
kemmapuan memikirkan suatu objek tanpa kehadiran objek
tersebut secara empirik.
2. Fase Praoperasional (2-7 tahun)
Pada

fase

ini

anak

mulai

menyadari

bahwa

pemahamannya terhadap benda-benda yang ada disekitarnya
tidak hanya dapat dilakukan melalui aktifitas sensorimotorakan
tetapi dapat juga dilakukan melalui aktifitas yang bersifat
simbolik. Kegiatan simbolik ini dapat berupa percakapan melalui

telepon mainan atau berpura-pura menjadi bapak atu ibu dan
kegiatan simbolik lainnya.Fase ini memberikan andil besar dalam
kognitif anak. Fase ini aka sudah tidak berpiir secara operasinal
yaitu

suatu

proses

berpikir

yang

dilakukan

dengan

cara

menginternalisasikan suatu aktivitas anak yang memungkinkan
anak mengaitkan dengan kegiatan yang telah dilakukannya
sebelumnya.
Fase

ini

merupakan

permulaan

bagi

anak

untuk

membangun kemampuannya dalam menyusun pikirannya.Oleh
karena itu cra berfikir ada pada saat fase ini belum stabil dan
tidak terorganisasi secara baik. Fase praoperasional dapat dibagi
kedalam tiga sub fase, antara lain;
a. Sub fase fungsi simbolik
Fase ini terjadi pada saat anak usia 2-4 tahun. Masa ini
anak telah mempunyai kemampuan untuk menggambarkan
suatu objen secara fisik tidak hadir.Kemampuan ini membuat
anak

dapat

menggunakan

balok-balok

kecil

untuk

membangun rumah, menyusun puzzle, anak juga dapat
menggambar manusia secara sederhana.
b. Sub fase berpikir egosentris
Fase ini terjadi pada saat anak usia 2-4 tahun, anak
mulai berpikir secara egosentris ditandai ketidak mampuan
anak untuk memahami perspektif atau cara berpikir orang
lain. Benar atau tidak benar, bagi anak pada fase ini
ditentukan oleh cara pandangnya sendiri yang disebut
dengan istilah egosentris.
c. Sub fase berpikir secara intuitif
Fase ini terjadi pada anak usia 4-7 tahun, fase ini
disebut fase berpikir secara intuisi karena pada saat ini anak
kelihatannya

mengerti

dan

memahami

sesuatu,

seperti

menyusun balok menjadi rumah, akan tetapi pada hakikatnya

ia tidak mengetahui alasan-alasan yang menyebabkan balokbalok itu dapat disusun menjadi rumah. Dengan kata lain
anak belum memiliki kemampuan untuk berpikir secara kritis
tentang apa yang ada dibalik suatu kejadian.26
II. Teori Dasar Perkembangan Kognitif
Pada rentang usia 3-4 sampai 5-6 tahun, anak mulai
memasuki masa pra sekolah yang merupakan masa kesiapan untuk
memasuki pendidikan formal yang sebenarnya di sekolah dasar.
Menurut Montessori masa ini ditandai dengan masa peka terhadap
segala stimulasi yang diterimanya melalui panca indera.Masa peka
memiliki arti penting bagi perkembangan setiap anak. Itu artinya
bahwa apabila orang tua mengetahui anaknya telah memasuki masa
peka dan mereka segera member stimulasi yang tepat, maka akan
mempercepat penguasaan terhadap tugas-tugas perkembangan
pada usianya.27
Pieget berpendapat bahwa, anak pada rentang usia ini,
masuk

dalam

perkembangan

berpikir

pra-operasional

konkret.

(Bryden&Vos, 2000). Hurlock (1999) menyatakan bahwa anak usia 35 tahun adalah masa permainan. Bermain dnegan benda atau alat
permainan dimulai sejak usia satu tahun pertamadan akan mencapai
puncaknya pada usia 5-6 tahun. Menurut Pieget, usia 5-6 tahun ini
merupakan pra-operasional konkret. Pada tahap ini anak dapat
memanipulasi objek symbol, termauk kata-kata yang merupakan
karakteristik penting dalam tahapan ini.Hal ini dinyatakan dalam
peniruan yang tertunda dan dalam imajinasi pura-pura dalam
bermain.
Menurut Montessori dalam Patmonodewo (2000), masa peka
anak yang berada pada usia 3,5 tahun ditandai dengan suatu
keadaan dimana potensi yang menunjukkan kepekaan (sensitif)
26PLPG. Hal 4
27Ahmad Susanto,PerkembanganAnakUsiaDini: PengantarDalamBerbagai Aspeknya,Jakarta:Kencana.2011. hal49)

untuk berkembang. Maka masa peka ini merupakan masa yang
efektif bagi orang tua atau pendidik dalam memberikan pemahaman
atau pembelajaran kepada anak melalui pemberian contoh-contoh
konkrit atau berupa peragaan yang mendidik akan lebih efektif
diterima oleh anak. Dalam kaitan itu, menurut Dewey dalam Soejono
(1960), pendidik atau orang tua harus memberikan kesempatan
pada setiap anak untuk dapat melakukan sesuatu, baik secara
individual maupun kelompok sehingga anak akan memperoleh
pengalaman dan pengetahuan. Sekolah harus dijadikan laboratorium
bekerja bagi anak-anak.28
Memahami psikologi perkembangan kognitif pada anak usia
dini tidak bisa dilepaskan dari tokoh psikologi terkemuka yang telah
mencurahkan tenaga dan pikirannya guna mengkaji hal ini. Tokoh ini
adalah Jean Piaget (1896-1980).Salah satu teori Piaget menyatakan
bahwa pengetahuan dibangun melalui kegiatan atau aktivitas
pembelajaran.Piaget menolak paham lama yang menyatakan bahwa
kecerdasan adalah bawaan secara genetis.Ini terjadi pada setiap
manusia, termasuk anak-anak.
Khususnya ada anak usia dini, Piaget menyatakan bahwa
pengetahuan dapat diperoleh melalui eksplorasi, manipulasi, dan
konstruksi secara elaboratif. Lebih dari itu, Piaget juga menjelaskan
bahwa karekterisasi aktivitas anak-anak juga berdasarkan pada
tendensi-tendensi

biologis

yang

terdapat

pada

semua

organisme.Tendensi-tendensi tersebut mencakup tiga hal, yaitu
asimilasi, akomodasi dan ekuilibrium.29
III. Teori Kognitif Sosial Bandur
Teori kognitif sosial (social cognitive theory) menyatakan bahwa faktor
sosial dan kognitif , dan juga faktor perilaku, memainkan peran penting dalam
28Ahmad Susanto,PerkembanganAnakUsiaDini: PengantarDalamBerbagai Aspeknya,Jakarta:Kencana.2011. hal50)
29Suyadi. PSIKOLOGI BELAJAR PAUD. (2010, Hal 79) jogjakarta : PT PUSTAKA INSAN MADANI

pembelajaran. Faktor mungkin kognitif mungkin berupa ekspektasi

murid untuk

meraih keberhasilan, faktor sosial mungkin mencakup pengamatan murid terhadap
perilaku orang tuanya. 30
Albert bandura (1986,1997,2000,2001)adalah salah satu arsitek utama teori
kognitif sosial. Dia mengatakan bahwa ketika murid belajar, mereka dapat
mempresentasikan atau mentransformasi pengalaman mereka secara kognitif. Ingat
bahwa dalam pengkondisian operan,hubungan terjadi hanya antara pengalaman
lingkungan dengan perilaku.
Bandura mengembangkan model determinisme resiprokal yang terdiri dari
tiga faktor utama: perilaku, person/kognitif, dan lingkungan. Seperti ditunjukkan
dalam gambar 7.7, faktor-faktor ini bisa saling berinteraksi untuk memengaruhi
pembelajaran: faktor lingkungan memengaruhi perilaku, dan sebagainya. Bandura
menggunakan istilah person, tetapi kita memodifikasinya menjadi person (cognitive)
karena banyak faktor orang yang dideskripsikannya adalah faktor kognitif. Faktor
person bandura yang tak punya kecenderungan kognitif terutama adalah pembawaan
personalitas dan temperamen. Ingat dalam Bab 4, ”variasi individual”, dikatakan
bahwa faktor-faktor tersebut mungkin mencakup sikap introvert atau ekstravert, aktif
atau inaktif(pasif), tenang atau cemas, dan ramah atau bermusuhan. Faktor kognitif
mencakup ekspektasi, keyakinan, strategi, pemikiran, dan kecerdasan.
Perhatikan bagaimana model bandura dalam kasus perilaku akademik murid
sekolah menengah yang kita sebut saja sebagai Nila.

30 John W Santrock. Psikologi Pendidikan. Kencana. Jakarta : 2008. Hal 285.

1. Kognisi memengaruhi perilaku. Nilamenyusun strategi kognitif untuk berpikir
secara lebih mendalam dan logis tentang cara menyelesaikan suatu masalah.
Strategi kognitif meningkatkan perilaku akademiknya.
2. Perilaku memengaruhi kognisi. Proses (perilaku) belajar Nila membuatnya
mendapat nilai baik, yang pada gilirannya menghasilkan ekspektasi positif tentang
kemampuannya dan membuat dirinya percaya diri (kognisi).

3. Lingkungan memengaruhi perilaku. Sekolah tempat Nila belajar baru-baru ini
mengembangkan proram percontohan keterampilan-belajar untuk membantu murid
belajar cara membuat catatan, mengelola waktu, dan mengerjakan ujian secara
lebih efektif. Program keterampilan-belajar ini meningkatkan perilaku akademik
Nila.
4. Perilaku memengaruhi lingkungan. Program keteranpilan-belajar ini berhasil
meningkatkan perilaku akademik banyak murid dikelas Nila. Perilaku akademik
yang meningkat ini memicu sekolah untuk mengembangkan program itu sehingga
semua murid di sekolah itu bisa turut serta.
5. Kognisi memengaruhi lingkungan. Ekspektasi dan perencanaan dari kepala
sekolah dan para guru memungkinkan program keterampilan-belajar itu terwujud.
6. Lingkungan memengaruhi kognisi. Sekolah tersebut mendirikan pusat sumber
daya di mana murid dan orang tua dapat mencari buku dan materi tentang
peningkatan keterampilan belajar. Pusat sumber daya ini juga memberikan layanan
tutoring keterampilan-belajar untuk murid. Nila dan orang tuanya memetik
keuntungan dari tutoring dan pusat sumber daya ini. Layanan ini meningkatkan
keterampilan berpikir Nila.

Dalam model pembelajaran bandura, faktor person (kognitif) memainkan
peran penting. Faktor person (kognitif) yang ditekankan bandura (1997, 2001) pada
masa belakangan ini adalah self-efficacy, yakni keyakinan bahwa seseorang bisa
menguasai situasi dan menghasilkan hasil positif. Bandura mengatakan bahwa selfefficacy berpengaruh besar terhadap perilaku. Misalnya, seseorang murid yang selfefficacy-nya rendah mungkin tidak mau berusaha belajar untuk mengerjakan ujian
karna dia tidak percaya bahwa belajar akan bisa membantunya mengerjakan soal. Kita
akan membahas lebih banyak tentang self-efficacy ini dia Bab 13, “motivasi,
pengajaran, dan pembelajaran”. 31
IV. Perkembangan Intelegensi
Intelegensi

bukanlah

suatu

yang

bersifat

kebendaan,

melainkan suatu fiksi ilmiah untuk mendeskripsikan perilaku individu
yang berkaitan dengan kemampuan intelektual.Dalam mengartikan
intelegensi (kecerdasan) ini para ahli mempunyai pengertian yang
beragam.32
Deskripsi

perkambangan

fungsi-fungsi

kognitif

secara

kuantitatif dapat dikembangkan berdasarkan hasil laporan berbagai
hasil

studi

pengukuran

dengan

menggunakan

tes

intelegensi

sebagai alat ukurnya yang dilakukan secara longitudinal terhadap
sekelompok subjek dari dan sampai ke tingkat usia tertentu secara
test-retest, yang alat ukurnyadisusun secara skuensial (Standfort
Revision Benet Test).
Dengan menggunakan hasil pengukuran tes intelegensi yang
mencakup general (Information and Verbal Analogies, Jones and
Conrad) (Loree,1970: 78), telah mengembangkan sebuah kurva
perkembangan intelegensi, yang dapat ditafsirkan antara lain:
31 Ibid Hal 286
32Ahmad Susanto,PerkembanganAnakUsiaDini: PengantarDalamBerbagai Aspeknya,Jakarta:Kencana.2011. hal33)

a. Laju

perkembangan

intelegensi

pada

masa

anak-anak

berlangsung sangat pesat.
b. Terdapat variasi dalam saatnya dan laju kecepatan deklinasi
menurut jenis-jenis kecakapan khusus tertentu. (Juntika, 2007:
137-138)
Bloom (1964: 245), menjelaskan berdasarkan hasil studi
longitudinal bahwa dengan berpatokan kepada hasil tes IQ dari
masa-masa sebelumnya yang ditempuh oleh subjek yang sama, kita
akan dapat melihat perkembangan presentase taraf kematangan
dan kemampuannya sebagai berikut:
a. Usia 1 tahun berkembang sampai sekitar 20%-nya
b. Usia 4 tahun sekitar 50%-nya
c. Usia 8 tahun sekitar 80%-nya
d. Usia 13 tahun sekitar 92%-nya
Hasil studi Bloom ini tampaknya juga menjelaskan bahwa laju
perkembangan IQ itu bersifat proporsional.Tetapi pada umunya
orang berpendapat, bahwa intelegensi merupakan salah satu factor
penting yang ikut menentukan berhasil atau gagalnya belajar
seseorang; terlebih-lebih pada waktu anak masih sangat muda,
intelegensi

sangat

besar

pengaruhnya.

(Susanto,Ahmad,Perkembangan Anak Usia Dini: Pengantar Dalam
Berbagai Aspeknya,Jakarta:Kencana.2011. h 35)
Menurut konsepsi ini intelegensi adalah persatuan (kumpulan
yang dipersatukan) dari daya-daya jiwa yang khusus. Karena itu,
pengukuran mengenai intelegensi juga dapat ditempuh dengan cara
mengukur

daya-daya

iwakhusu

itu

sendiri,

misalnya

daya

mengamati, dan mereproduksi, dan daya berpikir. (Suriasumantri,
2004: 125)
Konsep-konsep yang timbul dari keyakinan, bahwa apa yang
diselidiki dengan tes intelegensi itu adalah intelegensi umum. Jadi

intelegensi diberi definisi sebagai taraf umum yang mewakili dayadaya khusus.33
Berkaitan dengan itu, Piaget menemukan tahap berpikir pra
operasional, suatu tahap yang berlangsung dari usia dua atau tiga
tahun sampai tujuh atau delapan tahun. (Hurlock, Elizabeth B.
1978.,Perkembangan Anak (terj.). MeitasariTjandrasa dan Soejarwo.
Jakarta: Erlangga. Jilid II Edisi-VI. Halaman: 109-123)
V. Faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif
1. Faktor hereditas / keturunan
Teori hereditas atau nativisme pertama kali dipelopori oleh
seorang ahli filsafat. Dia berpendapat bahwa manusia lahir sudah
membawa potensi-potensi tertentu yang tidak dapat dipengaruhi
lingkungan. Berdasarkan teorinya, taraf intelegensi anak sudah
ditentukan sejak anak dilahirkan, sejak faktor lingkungan tak
berarti pengaruhnya.
Para

ahli

psikologi

Loehlin,

Lindzey

dan

Spuhler

berpendapat bahwa taraf intelegensi 75-80% merupakan warisan
atau faktor keturunan.Pembawaan ditentukan oleh ciri-ciri sejak
lahir (batasan kesanggupan).
2. Faktor Lingkungan
Teori lingkungan atau emirisme dipelopori oleh John
Locke.Dia berpendapat bahwa manusia dilahirkan sebenarnya
suci

atau

tabularasa.Menurut

pendapatnya,

perkembangan

manusia sangatlah ditentukann oleh lingkungannya.Berdasarkan
pendapat John Locke tersebut perkembangan taraf intelegensi
sangatlah ditentukan oleh pengalaman dan pengetahuan yang
diperolehnya dari lingkungan hidupnya.
3. Kematangan

33Ahmad Susanto,Perkemban

Dokumen yang terkait

PENERAPAN METODE SIX SIGMA UNTUK PENINGKATAN KUALITAS PRODUK PAKAIAN JADI (Study Kasus di UD Hardi, Ternate)

24 208 2

PENGARUH TRAINING TERHADAP PENINGKATAN KEMATANGAN SOSIAL REMAJA AWAL DI FULL DAY SCHOOL

0 50 2

INTENSIFIKASI PEMUNGUTAN PAJAK HOTEL SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH ( DI KABUPATEN BANYUWANGI

16 118 18

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA Pengembangan Profesi Guru Sains melalui Penelitian dan Karya Teknologi yang Sesuai dengan Tuntutan Kurikulum 2013

6 77 175

Tinjauan atas pembuatan laporan anggaran Bulan Agustus 2003 pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung

0 76 64

UPAYA PENINGKATAN PROSES DAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI PENGGUNAAN ALAT PERAGA PADA MATA PELAJARAN IPA DI KELAS IV (EMPAT) SDN 3 TEGALSARI KECAMATAN GADINGREJO KABUPATEN PRINGSEWU TAHUN PELAJARAN 2011/2012

23 110 52

PENINGKATAN HASIL BELAJAR TEMA MAKANANKU SEHAT DAN BERGIZI MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SHARE PADA SISWA KELAS IV SDN 2 LABUHAN RATU BANDAR LAMPUNG

3 72 62

PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS PUISI BEBAS MELALUI TEKNIK PEMODELAN PADA SISWA KELAS VIII-1 SMP NEGERI 1 LABUHAN RATU LAMPUNG TIMUR TAHUN PELAJARAN 2011/2012

3 41 108

PENINGKATAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA PADA MATERI LUAS BANGUN DATAR MENGGUNAKAN METODE DISCOVERY DI KELAS VB SD NEGERI 5 SUMBEREJO KECAMATAN KEMILING BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2012/2013

7 63 30

PENINGKATAN KESTABILAN ENZIM LIPASE DARI Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 DENGAN AMOBILISASI MENGGUNAKAN BENTONIT

3 96 80