Hadits dari segi kuantitas kualitas

PEMBAGIAN HADITS DARI SEGI
KUANTITAS DAN KUALITAS HADITS

MAKALAH
DIPRESENTASIKAN PADA KULIAH
STUDY AL-HADITS
DOSEN PEMBIMBING
PROF. DR. H. SULAIMAN ABDULLAH

OLEH :
BENPANI

KONSENTRASI KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI

TAHUN 2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah dan kekuatan lahir bathin makalah ini dapat diselesaikan. Shalawat dan

salam semoga dilimpahkan-Nya kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Makalah ini membahas “Pembagian hadits dari Segi Kuantitas dan
Kualitas hadits” yang menjadi tugas bagi mahasiswa Pasca Sarjana IAIN STS
Jambi dalam mata kuliah Study Al-Hadits pada Prodi konsentrasi Kurikulum
Pendidikan Islam yang dibimbing oleh Prof. Dr. H. Sulaiman Abdullah
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan dan
kekhilafan. Oleh karena itu kepada semua pembaca dan pakar dimohon saran dan
kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
kepada semua pihak yang telah memberikan saran dan kritik demi
sempurnanya makalah ini, ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat.
Amin yan Rabbal ‘Alamin

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan penelitian
tentang kajian keilmuan Islam, terutama dalam ilmu hadits banyak sekali
bahasan dalam ilmu hadits yang sangat menarik dan sangat penting untuk
dibahas dan dipelajari, terutama masalah ilmu hadits.

Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian hadits yang banyak
dan beragam. Tetapi kemudian kebingungan itu menjadi hilang setelah melihat
pembagian hadits yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai
segi pandangan, bukan hanya segi pandangan saja. Misalnya hadits ditinjau
dari segi kuantitas jumlah perawinya, hadits ditinjau dari segi kualitas sanad
dan matan.
Untuk mengungkapkan tinjauan pembagian hadits maka pada bahasan
ini hnya akan membahas pembagian hadits dari segi kuantitas dan segi
kualitas hadits saja.
B. Rumusan Masalah
1. Pembagian Hadits dari segi kuantitas perawi
2. Pembagian hadits dari segi kualitas

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pembagian Hadits sari segi Kuantitas Perawi
Para ulama hadits berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau
dari aspek kuantitas atau jumlah perawi yang menjadi sumber berita. Diantara
mereka ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits
mutawatir, masyhur, dan ahad. Ada juga yang menbaginya menjadi dua, yakni

hadits mutawatir dan hadits ahad. Ulama golongan pertama, menjadikan
hadits masyhur sebagai berdiri sendiri, tidak termasuk ke dalam hadits ahad,
ini dispnsori oleh sebagian ulama ushul seperti diantaranya, Abu Bakr AlJashshash (305-370 H). Sedangkan ulama golongan kedua diikuti oleh
sebagian besar ulama ushul (ushuliyyun) dan ulama kalam (mutakallimun).
Menurut mereka, hadits masyhur bukan merupakan hadits ynag berdiri
sendiri, akan tetapi hanya merupakan bagian hadits ahad. Mereka membagi
hadits ke dalam dua bagian, yaitu hadits mutawatir dan ahad.1
1.

Hadits Mutawatir
a.

Pengertian Hadits Mutawatir
Secara etimologi, kata mutawatir berarti : Mutatabi’ (beriringan
tanpa jarak). Dalam terminologi ilmu hadits, ia merupakan haidts yang
diriwayatkan oleh orang banyak, dan berdasarkan logika atau kebiasaan,
mustahil mereka akan sepakat untuk berdusta. Periwayatan seperti itu terus
menerus berlangsung, semenjak thabaqat yang pertama sampai thabaqat
yang terakhir.
Dari redaksi lain pengertian mutawatir adalah :


1

M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta, Gaung Persda Pres, 2008. hlm. 86.

‫مـاَ ن‬
‫ة‬
‫س أن ن‬
‫جمَعـععاَع ن ة‬
‫خب نععنر ب هععهه ن‬
‫م ن‬
‫كاَ ن‬
‫ح س‬
‫ن ن‬
‫ن ع نعع ن‬
‫سععون س‬
‫حي ن س‬
‫م‬
‫مب ننلَغـاَ ت س ه‬
‫واْط سؤ سهس ن‬

‫واْ هفىِ ناْلْكـث ننرةه ن‬
‫ل ناْلْنعاَد نة ن ت ن ن‬
‫نبلَـغس ن‬
‫ب‬
‫ن‬
‫علَـىِ ناْلْكـعذ ه ه‬
Hadits yang berdasarkan pada panca indra (dilihar atau didengar)
yang diberitakan oleh segolongan orang yang mencapai jumlah banyak
yang mustahil menurut tradisi mereka sepakat berbohong.2
Ulama mutaqaddimin berbeda pendapat dengan ulama muta’akhirin
tentang syarat-syarat hadits mutawatir. Ulama mutaqaddimin berpendapat
bahwa hadits mutawatir tidak termasuk dalam pembahasan ilmu isnad alhadits, karena ilmu ini membicarakan tentang shahih tidaknya suatu
khabar, diamalkan atau tidak, adil atau tidak perawinya. Sementara dalam
hadits mutawatir masalah tersebut tidak dibicarakan. Jika sudah jelas
statusnya sebagai hadits mutawatir, maka wajib diyakini dan diamalkan.3
b. Syarat Hadits Mutawatir
1)

Hadits Mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah
besar perawi, dan dapat diyakini bahwa mereka tidak mungkin sepakat

untuk berdusta. Ulama berbeda pendapat tentang jumlah minimal
perawi. Al-Qadhi Al-Baqilani menetapkan bahwa jumlah perawi hadits
mutawatir sekurang-kurangnya 5 orang, alasannya karena jumlah Nabi
yang mendapat gelar Ulul Azmi sejumlah 5 orang. Al-Istikhari
menetapkan minimal 10 orang, karena 10 itu merupakan awal bilangan
banyak. Demikian seterusnya sampai ada yang menetapkan jumlah
perawi hadits mutawatir sebanyak 70 orang.

2)

Adanya keseimbangan antara perawi pada thabaqat
pertama dan thabaqat berikutnya. Keseimbangan jumlah perawi pada
setiap thabaqat merupakan salah satu persyaratan.

3)
2
3

Berdasarkan tanggapan pancaindra


Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (cetakan ke 4) Jakarta: Amazon, 2010. hlm. 131.
M. Noor Sulaiman. Loc.cit., hlm 86.

Berita yang disampaikan para perawi harus berdasarkan
pancaindera. Artinya, harus benar-benar dari hasil pendengaran atau
penglihatan sendiri. Oleh karena itu, apabila berita itu merupakan hasil
renungan, pemikiran, atau rangkuman dari suatu peristiwa lain, atau
hasil istinbath dari dalil yang lain, maka tidak dapat dikatakan hadits
mutawatir.4
c. Macam-macam mutawatir
Hadits mutawatir ada tiga macam, yaitu :
1)

Hadits mutawatir Lafzhi, yaitu hadits yang diriwayatkan
dengan lafaz dan makna yang sama, serta kandungan hokum yang
sama, contoh :

‫سععون س‬
‫قـععاَ ن‬
‫ي‬

‫ن ك نععذ ن ن‬
‫ل اْلْلَععه ع نلَ ني نععهه ون ن‬
‫ل نر س‬
‫م ن‬
‫سععلَ ل ن‬
‫ب ع نلَ نعع ل‬
‫معع ن‬
‫ن‬
‫م ن‬
‫قعند نه س ه‬
‫فـلَ ني نت نب نولأ ن‬
‫م ن‬
‫ن اْلْلناَره‬
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang ini sengaja berdusta
atas namaku, maka hendaklah dia siap-siap menduduki tempatnya di
atas api neraka.
Menurut Al-Bazzar, hadits ini diriwayatkan oleh 40 orang
sahabat. Al-Nawawi menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh
200 orang sahabat.
2)


Hadits Mutawatir Ma’nawi, yaitu hadits mutawatir yang
berasal dari berbagai hadits yang diriwayatkan dengan lafaz yang
berbeda-beda, tetapi jika disimpulkan, mempunyai makna yang sama
tetapi lafaznya tidak. Contoh hadits yang meriwayatkan bahwa Nabu
Muhammad SAW mengangkat tangannya ketika berdo’a.

‫قاَل اْبو مسىِ م رفع رسول اْلْلَه صلَىِ علَيه وسععلَم‬
‫يديه حتىِ رؤي بياَض اْبطه فىِ شععئ مععن دعععاَئه إل‬
(‫فىِ اْلستسقاَء )رواْه اْلْبخاَرى ومسلَم‬
4

Ibid, hlm. 88

Abu Musa Al-Asy’ari berkata bahwa Nabi Muhammad SAW, tidak pernah
mengangkat kedua tangannya dalam berdo’a hingga nampak putih kedua
ketiaknya kecuali saat melakukan do’a dalam sholat istisqo’ (HR. Bukhori
dan Muslim)
3)


Hadits Mutawatir ‘Amali, yakni amalan agama (ibadah)
yang dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW, kemudian diikuti oleh
para sahabat, kemudian diikuti lagi oleh Tabi’in, dan seterusnya,
diikuti oleh generasi sampai sekarang. Contoh, hadits-hadits nabi
tentang shalat dan jumlah rakaatnya, shalat id, shalat jenazah dan
sebagainya. Segala amal ibadah yang sudah menjadi ijma’ di kalangan
ulama dikategorikan sebagai hadits mutawatir ‘amali.
Mengingat syarat-syarat hadits mutawatir sangat ketat, terutama hadits

mutawatir lafzhi, maka Ibn Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits
mutwatir lafzhi tidak mungkin ada. Pendapat mereka dibantah oleh Ibn
Shalah. Dia menyatakan bahwa hadits mutawatir (termasuk yang lafzhi)
memang ada, hanya jumlahnya sangat terbatas. Menurut Ibn Hajar AlAsqolani, Hadits mutawatir jumlahnya banyak, namun untuk mengetahuinya
harus dengan cara menyelidiki riwayat-riwayat hadits serta kelakuan dan sifat
perawi, sehingga dapat diketahui dengan jelas kemustahilan perawi untuk
sepakat berdusta terhadap hadits yang diriwayatkannya.
Kitab-kitab yang secara khusus memuat hadits-hadits mutawatir adalah
sebagai berikut :
1)


Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Mutawatirah, yang dsusun
oleh Imam Suyuthi. Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, kitab ini
memuat 1513 hadits.

2)

Nazhm Al-Mutanatsirah min Al- Hadits al Mutawatir yang
disusun oleh Muhammad bin Ja’far Al-Kattani (w. 1345 H)5

2. Hadits Ahad

5

Ibid. Hlm. 91

Kata ahad merupakan bentuk plural dari kata wahid. Kata wahid berarti
“satu” jadi, kara ahad berarti satuan, yakni angka bilangan dari satu sampai
sembilan. Menurut istilah hadits ahad berarti hadits yagn diriwayatkan oleh
orang perorangan, atau dua orang atau lebih akan tetapi belum cukup syarat
untuk dimasukkan kedalam kategori hadits mutawatir. Artinya, hadits ahad
adalah hadits yang jumlah perawinya tidak sampai pada tingkatan mutawatir.6
Ulama ahli hadits membagi hadits ahad menjadi dua, yaitu masyhur dan
ghairu masyhur. Hadits ghairu masyhur terbagi menjadi dua, yaitu aziz dan
ghairu aziz.
A.

Hadits Masyhur
Menurut bahasa, masyhur berarti “sesuatu yang sudah tersebar dan
popular”. Sedangkan menurut istilah ada beberapa definisi, antara lain :

‫مـاَنرنواْه س ه‬
‫واْهتر ب نعنععد ن‬
‫حاَب نهه ع نععد ند د ل ي نب نلَ سععغس ن‬
‫صعع ن‬
‫ن اْلْ ل‬
‫حععد ل ت نععع ن‬
‫م ن‬
‫م‬
‫حاَب نهه ون ه‬
‫ص ن‬
‫ن ب نعند هه ه ن‬
‫اْلْ ل‬
‫م ن‬
“Hadits yang diriwayatkan dari sahabat tetapi bilangannya tidak sampai
pada tingkatan mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan
orang yang setelah mereka.”
Hadits masyhur ada yang berstatus shahih, hasan dan dhaif. Hadits
masyhur yang berstatus shahih adalah yang memenuhi syarat-syarat hadits
shahih baik sanad maupun matannya. Seperti hadits ibnu Umar.

‫س ن‬
‫اْ ه ن‬
‫ل‬
‫ه فنلَ ني نغن ه‬
‫م ناْلْ س‬
‫ذاْ ن‬
‫مَعن س‬
‫ج ن‬
‫جاَنءك س س‬
“Barang siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jumat hendaklah ia
mandi.”
Sedangkan hadits masyhur yang berstatus hasan adalah hadits yang
memenuhi ketentuan-ketentuan hadits hasan, baik mengenai sanad
maupun matannya. Seperti hadits Nabi yang berbunyi:

‫ضنرنر ونل ن ضععـنراْنر‬
‫لن ن‬
6

Ibid. Hlm. 90

“tidak memberikan bahaya atau membalas dengan bahaya yang setimpal.”
Adapun hadits masyhur yang dhaif adalah hadits yang tidak
memenuhi syarat-syarat hadits shahih dan hasan, baik pada sanad maupun
pada matannya, seperti hadits :

‫ه ععـعععنلَي س‬
‫كعع ل‬
‫ل‬
‫ب ناْلْعهنلَععم ه فنرهي ن ن‬
‫ط ننلَعع س‬
‫ضعععع د‬
‫مَععععهس‬
‫م ن‬
‫م ن‬
‫سلَ ه ن‬
‫سلَ هم س ون س‬
‫س‬
“menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan
perempuan.”
Dilihat dari aspek yang terakhir ini, hadits masyhur dapat
digolongkan kedalam :
1)

Masyhur dikalangan ahli hadits, seperti hadits yang
menerangkan bahwa Rasulullah SAW membaca do’a qunut sesudah
rukuk selama satu bulan penuh berdo’a atas golongan Ri’il dan
Zakwan. (H.R. Bukhari, Muslim, dll).

2)

Masyhur dikalangan ulama ahli hadits, ulama-ulama
dalam bidang keilmuan lain, dan juga dikalangan orang awam,
seperti :

‫ن‬
‫ن‬
‫ن ه‬
‫مَون ن‬
‫مَ ن‬
‫ن ن‬
‫مَ ن‬
‫سلَ ه س‬
‫م ناْلْ س‬
‫سعععععلَ ه ن‬
‫م ن‬
‫سلَ ه س‬
‫َناْلْ س‬
‫م ن‬
‫م ن‬
‫هلْسععـعاَن ههه نويد ههه‬
3)

Masyhur dikalangan ahli fiqh, seperti :

‫سععون ن‬
‫صععللَي اْلْلَععهه ع نلَ ننيععععععهه‬
‫ن نهنععي نر س‬
‫ل اْلْلَععهه ن‬
‫ون ن‬
‫سلَ ل ن‬
‫م عن ن‬
‫ن ب ني نهع ناْلْغننرره‬
“Raulullah SAW melarang jual beli yang didalamnya terdapat tipu daya.”

4)

Masyhur dikalangan ahli ushul Fiqh, seperti :

‫ذاْ حك نم ناْلْحاَكم ث سم اْجتهد نفعععأ ن‬
‫ب‬
َ‫صا‬
‫ن ن‬
‫ن ه س ل ن نن ن‬
‫اْ ه ن ن ن‬
‫نفلَـععه أ ن‬
‫ن‬
‫ن‬
‫عع‬
‫ع‬
‫كععع‬
‫ح‬
ْ‫ذا‬
ْ‫ا‬
‫و‬
‫ن‬
ْ‫را‬
‫عع‬
‫ج‬
‫ه‬
‫جت نهنععد ن‬
‫م نفاَ ن‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ن‬
‫س‬
‫ن ه ن‬
‫خععععط نأ ن نفلَـ ن‬
‫ث سم أ ن‬
‫جدر‬
‫ن‬
‫هأ ن‬
‫س‬
‫ل‬
“Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara kemudian dia
berijtihad dan kemudian ijtihadnya benar, maka dia memperoleh dua
pahala (pahala Ijtihad dan pahala kebenaran), dan apabila ijtihadnya itu
salah, maka dia memperoleh satu pahala (pahala Ijtihad).
5)

Masyhur dikalangan ahli Sufi, seperti :

‫ك سنت ك ننزاْ مخفياَ فنأ ن‬
‫ن‬
‫ف‬
‫ب‬
‫ب‬
‫ح‬
‫ن أس ن‬
‫عععره ن‬
‫تأ ن‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ن س نة ن ن ه ي‬
‫س‬
‫خلَ نقن فنهبي ع ننرفسونهني‬
‫خلَـ ن‬
‫ت ناْلْ ن‬
‫فن ن‬
‫ق س‬
“Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian aku ingin
dikenal, maka kuciptakan makhluk dan melalui merekapun mengenal-Ku
6)

Masyhur dikalangan ulama Arab, seperti ungkapan,
“Kami orang-orang Arab yag paling fasih mengucapkan “(dha)”
sebab kami dari golongan Quraisy”.7

B. Hadits Ghairu Masyhur
Ulama ahli hadits membagi hadits ghairu masyhur menjadi dua
yaitu, Aziz dan Gharib. Aziz menurut bahasa berasal dari kata azza-yaizu,
artinya “sedikit atau jarang”. Menurut istilah hadits Aziz adalah hadits
yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua tingkatan
sanad.”
7

Ibid. hlm. 93

Menurut Al-Thahhan menjelaskan bahwa sekalipun dalam sebagian
Thabaqat terdapat perawinya tiga orang atau lebih, tidak ada masalah, asal
dari sekian thabaqat terdapat satu thabaqat yang jumlah perawinya hanya
dua orang. Oleh karena itu, ada ulama yang mengatakan bahwa hadits
‘azaz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang perawi.”
Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa suatu hadits dapat
dikatakan hadits Aziz bukan hanya yang diriwayatkan dua orang pada
setiap tingkatnya, tetapi selagi ada tingkatan yang diriwayatkan oleh dua
rawi, contoh hadits ‘aziz :

‫ل ن يععؤ نمن أ نحععدك سم حتععي أ نك سععو ن‬
‫ب‬
‫س ه س ن س ن ن ل‬
‫حعع ل‬
‫نأ ن‬
‫ن ن‬
‫إ هلْ ن‬
‫س‬
َ‫ععا‬
‫ع‬
‫ل‬
‫ع‬
‫واْلْن‬
‫ه‬
‫د‬
‫عع‬
‫ـ‬
‫ولْع‬
‫و‬
‫ه‬
‫د‬
‫عع‬
‫ع‬
ْ‫ل‬
ْ‫وا‬
‫ن‬
‫عع‬
‫م‬
‫ه‬
‫ي‬
‫ه‬
‫ه‬
‫ه‬
‫ه‬
‫ه‬
‫ه‬
‫ه‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ه‬
‫أن‬
‫ن‬
‫ي‬
‫ع‬
َ‫م‬
‫ج‬
‫ه‬
‫ن ن ن ن‬

“tidak beriman seorang di antara kamu, sehingga aku lebih
dicintainya dari pada dirinya, orang tuanya, anaknya, dan semua
manusia,” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Adapun hadits Gharib, menurut bahasa berarti “al-munfarid”
(menyendiri). Dalam tradisi ilmu hadits, ia adalah “hadits yang
diriwayatkan

oleh

seorang

perawi

yang

menyendiri

dalam

meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya maupun selainnya”.
Menurut Ibnu Hajar yang dimaksud dengan hadits gharib adalah
“hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam
meriwayatkannya, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi”.
Penyendirian perawi dalam meriwayatkan hadits itu bias berkaitan
dengan personalitasnya, yakni tidak ada yang meriwayatkannya selain
perawi tersebut, atau mengenai sifat atau keadaan perawi itu sendiri.
Maksudnya sifat dan keadaan perawi itu berbeda dengan sifat dan kualitas
perawi-perawi lain, yang juga meriwayatkan hadits itu. Disamping itu,

penyendirian seorang perawi bias terjadi pada awal, tengah atau akhir
sanad.
B. Pembagian hadits dari segi Kualitas
Sebagiamana

telah

dikemukakan

bahwa

hadits

muatawatir

memberikan penertian yang yaqin bi alqath, aritnya Nabi Muhammad benarbenar bersabda, berbuat atau menyatakan taqrir (persetujuan) dihadapan para
sahabat berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan mustahil mereka
sepakat berdusta kepada Nabi. Karena kebenarannya sumbernya sungguh telah
meyakinkan, maka dia harus diterima dan diamalkan tanpa perlu diteliti lagi,
baik terhadap sanadnya maupun matannya. Berbeda dengan hadits ahad yang
hanya memberikan faedah zhanni (dugaan yang kuat akan kebenarannya),
mengharuskan kita untuk mengadakan penyelidikan, baik terhadap matan
maupun sanadnya, sehingga status hadits tersebut menjadi jelas, apakah
diterima sebagai hujjah atau ditolak.
Sehubungan dengan itu, para ulama ahli hadits membagi hadits dilihat
dari segi kualitasnya, menjadi tiga bagian, yaitu hadits shahih, hadits hasan,
dan hadits dhaif.
1. Hadits shahih
Menurut bahasa berarti “sah, benar, sempurna, tiada celanya”. Secara
istilah, beberapa ahli memberikan defenisi antara lain sebagai berikut :


Menurut Ibn Al-Shalah, Hadits shahih adalah “hadits yang
sanadnya bersambung (muttasil) melalui periwayatan orang yang adil
dan dhabith dari orang yang adil dan dhabith, sampai akhir sanad tidak
ada kejanggalan dan tidak ber’illat”.



Menurut Imam Al-Nawawi, hadits shahih adalah “hadits yang
bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi
dhabith, tidak syaz, dan tidak ber’illat.”
Dari defenisi diatas dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadits

shahih adalah : 1) sanadnya bersambung, 2) perawinya bersifat adil, 3)
perawinya bersifat dhabith, 4) matannya tidak syaz, dan 5) matannya tidak
mengandung ‘illat.

2. Hadits Hasan
a. Pengertian
dari segi bahasa hasan dari kata al-husnu (‫ ) اْلْحسن‬bermakna aljamal (‫ )اْلْجمَاَل‬yang berarti “keindahan”. Menurut istilah para ulama
memberikan defenisi hadits hasan secara beragam. Namun, yang lebih
kuat sebagaimana yang dikemukan oleh Ibnu hajar Al-Asqolani dalam AnNukbah, yaitu :

‫ط‬
‫حاَد ن ب هن ن ن‬
‫ون ن‬
‫ضععب ن ه‬
‫م اْلْ ل‬
‫خب نسر ناْلْ ن‬
‫ل نتععاَ م‬
‫ل ع ند ن ه‬
‫ق ه‬
‫ص س‬
‫ل ونل ن ن‬
‫مت ل ه‬
‫ل اْلْ ل‬
‫سن ند ه غ ني نسر س‬
‫س‬
‫شاَذ ذ هسون‬
‫معنلَ ل س‬
‫ضععب ن س‬
‫حي نهح لْ هعع ن‬
‫ط‬
‫ن ن‬
‫خعع ل‬
‫ص ه‬
‫ذاْت ه ه‬
‫ف اْلْ ن‬
‫ِ فنععاَهء ن‬.‫ه‬
‫اْلْ ل‬
‫ن لْ ه ن‬
‫ذاْت ههه‬
‫فنلَ ن س‬
‫ح ن‬
‫س س‬
khabar ahad yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna
kedhabitannya, bersambung sanadnya, tidak ber’illat, dan tidak ada syaz
dinamakan shahih lidztih. Jika kurang sedikit kedhabitannya disebut
hasan Lidztih.
Dengan kata lain hadits hasan adalah :

‫ص ن‬
‫ذي‬
‫سن ند سه س ب هن ن ن‬
‫ل اْلْ ل ه‬
‫ل ن‬
‫هسون ن‬
‫ماَ اْت ل ن‬
‫ل ناْلْعند ن ه‬
‫ق ه‬
‫قن ل‬
‫ن اْلْ م‬
‫ه ون ن‬
‫شذ سونذ ه ونناْلْعهلَ لهه‬
‫خل ل ه‬
‫ل ن‬
‫ضب نط س س‬
‫م ن‬

Hadits hasana adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan
oleh orang adil, kurang sedikit kedhabitannya, tidak ada keganjilan (syaz)
dan tidak ‘illat.

Criteria hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih.
Perbedaannya hanya terletak pada sisi kedhabitannya. Hadits shahih ke
dhabitannya seluruh perawinya harus zamm (sempurna), sedangkan dalam
hadits hasan, kurang sedikit kedhabitannya jika disbanding dengan hadits
shahih.8

b. Contoh hadits Hasan
hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu
Hibban dari Al-Hasan bin Urfah Al-Maharibi dari Muhammad bin Amr
dari Abu salamah dari Abi Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda :

‫أن‬
‫س‬
‫ي‬
‫عع‬
ْ‫ل‬
ْ‫ا‬
‫ن‬
‫ي‬
‫ت‬
‫عع‬
‫س‬
ْ‫اْل‬
‫ن‬
‫عع‬
‫ي‬
‫ب‬
َ‫ععا‬
‫م‬
‫ععي‬
‫ت‬
‫م‬
ْ‫ا‬
‫ر‬
َ‫ععا‬
َ‫م‬
‫ع‬
‫ن‬
‫ه‬
‫ه‬
‫ل‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ل‬
‫ن‬
‫ن س ل‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ن‬
‫اْلْسبعهين وأ ن‬
‫م‬
‫ذاْلْ ه ن‬
‫ن‬
‫جونسز ن‬
‫ك‬
‫ي‬
‫ن‬
‫م‬
‫م‬
‫ه‬
َ‫ل‬
‫ق‬
‫س ن ن ن ن س‬
‫ل ن ن ن ن‬

“Usia umatku antara 60 sampai 70 tahun dan sedikit sekali yang melebihi
demikian itu.
c.

Macam-macam Hadits Hasan
Sebagaimana hadits shahih yang terbagi menjadi dua macam,
hadits hasan pun terbagi menjadi dua macam, yaitu hasan lidzatih dan
hasan lighairih.
Hadits hasan lidzatih adalah hadits hasan dengan sendirinya,
karena telah memenuhi segala criteria dan persyaratan yang
ditemukan. Hadits hasan lidzatih ebagaimana defenisi penjelasan
diatas.
Sedangkan hadits hasan lighairih ada beberapa pendapat
diantaranya adalah :

8

Loc.cit. Abdul Majid Khon, hlm. 159.

‫ف اْ ه ن‬
‫ن‬
‫ضعهي ن س‬
‫حد هي ن س‬
‫ذاْ سروهين ه‬
‫ث اْلْ ل‬
‫هسون ناْلْ ن‬
‫معع ن‬
‫خري مث نلَ سه أ نو أ ن‬
‫ط نريق أ س‬
‫ن‬
‫ه‬
‫ن‬
‫م‬
‫وي‬
‫ق‬
‫ن‬
‫ه ن س‬
‫ن‬
‫ه س ن‬
‫ن‬
‫هن ه‬
“adalah hadits dhaif jika diriwayatkan melalui jalan (sanad)
lain yang sama atau lebih kuat.

‫ف اْ ه ن‬
‫ه‬
‫ضعععهي ن س‬
‫س‬
‫هععون اْلْ ل‬
‫ت ط سسرسقعع س‬
‫ذاْ ت ننعععد لد ن ن‬
‫م ين س‬
‫ضعععن ه‬
‫ب ن‬
‫سععب ن س‬
‫فهه فه ن‬
‫ن ن‬
‫سععقن‬
‫نولْـعع ن‬
‫كعع ن‬
‫اْلْراْوي أ ن‬
‫ن‬
‫ه‬
‫ب‬
‫ذ‬
‫ك‬
‫و‬
‫ن ه س س‬
‫ل ه‬
“adalah hadits dhaif jika berbilangan jalan sanadnya dan sebab
kedhaifan bukan karena fasik atau dustanya perawi.
Dari dua defenisi diatas dapat dipahami bahwa hadits dhaif
bias naik manjadi hasan lighairih dengan dua syarat yaitu :
1)

Harus ditemukan periwayatan sanad lain yang
seimbang atau lebih kuat.

2)

Sebab kedhaifan hadits tidak berat seperti dusta dan
fasik, tetapi ringan seperti hafalan kurang atau terputusnya sanad
atau tidak diketahui dengan jelas (majhul) identitas perawi.

d.

Kehujjahan hadits Hasan
Hadits hasan dapat dijadikan hujjah walaupun kualitasnya dibawah
hadits shahih. Semua fuqaha sebagian Muhadditsin dan Ushuliyyin
mengamalkannya kecuali sedikit dari kalangan orang sangat ketat
dalam mempersyaratkan penerimaan hadits (musyaddidin). Bahkan
sebagian muhadditsin yang mempermudah dalam persyaratan shahih

(mutasahilin) memasukkan kedalam hadits shahih, seperti Al-Hakim,
Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah.
3. Hadits Dhaif
a. Pengertian
Hadits Dhaif bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dhaif (
‫ )اْلْضعععيف‬berarti lemah lawan dari Al-Qawi (‫ )اْلْقععوي‬yang berarti kuat.
Kelemahan hadits dhaif ini karena sanad dan matannya tidak memenuhi
criteria hadits kuat yang diterima sebagian hujjah. Dalam istilah hadits dhaif
adalah :

‫ه اْلْ ن‬
‫مععاَ لْ ن‬
‫ف ن‬
‫ن به ن‬
‫عع‬
‫س‬
‫ح‬
‫ن‬
‫ف‬
‫عع‬
‫ص‬
‫ع‬
‫عع‬
َ‫م‬
‫ج‬
‫ي‬
‫م‬
‫عع‬
‫قععد ه‬
‫ه‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ن‬
‫س‬
‫ن‬
‫ن‬
‫هسععون ن‬
‫ه‬
‫ن س‬
‫ن‬
‫شسرونط ههه‬
‫ط ه‬
‫شنر س‬
‫م ن‬
Adalah hadits yang tidak menghimpun sifat hadits hasan sebab satu dari
beberapa syarat yang tidak terpenuhi.
Atau defenisi lain yang bias diungkapkan mayoritas ulama :

‫حي نح ون ن‬
‫ماَ لْ ن‬
‫ن‬
‫س‬
‫ح‬
ْ‫اْل‬
‫ص‬
ْ‫اْل‬
‫ه‬
‫ن‬
‫ف‬
‫ص‬
‫ع‬
َ‫م‬
‫ج‬
‫ي‬
‫م‬
‫ه‬
‫ه‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ن‬
‫ن‬
‫س‬
‫ن‬
‫ن‬
‫هسون ن‬
‫ل‬
‫ه‬
‫ه‬
Hadits yang tidak menghimpun sifat hadits shahih dan hasan.
Jika hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi sebagain atau
semua persyaratan hadits hasan dan shahih, misalnya sanadnya tidak
bersambung (muttasshil), Para perawinya tidak adil dan tidak dhabith, terjadi
keganjilan baik dalam sanad aau matan (syadz) dan terjadinya cacat yang
tersembunyi (‘Illat) pada sanad atau matan.9
b. contoh hadits dhaif
hadits yang diriwayatkan oleh At-Tarmidzi melalui jalan hakim AlAtsram dari Abu Tamimah Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi SAW
bersabda :
9

Ibid. hlm. 164

‫ومن أ نتي حاَئ هضاَ أ نواْمرأ ن‬
‫ن د سسبععره أ ننو‬
‫م‬
‫ه‬
‫ه‬
‫س‬
‫ن ن ن ن‬
‫ن‬
‫ن ن ه ن ن‬
‫ن‬
‫مَاَ اْ سن نزه ن‬
‫قد ن ك ن ن‬
‫كاَه هنناَ فن ن‬
‫مَد س‬
‫م ن‬
‫ح ل‬
‫ل ع ننلَي س‬
‫فنر ب ه ن‬
barang siapa yang mendatang seorang wanita menstruasi (haid)
atau pada dari jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka
dia telah mengingkari apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW.
Dalam sanad hadits diatas terdapat seorang dhaif yaitu Hakim AlAtsram yang dinilai dhaif oleh para ulama. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam
Thariq At- Tahzib memberikan komentar :

‫ن‬
‫فهي نهه لْ ني ل د‬

padanya

lemah.
c. Hukum periwayatan hadits dhaif
Hadits dhaif tidak identik dengan hadits mawdhu’ (hadits palsu).
Diantara hadits dhaif terdapat kecacatan para perawinya yang tidak terlalu
parah, seperti daya hapalan yang kurang kuat tetapi adil dan jujur.
Sedangkan hadits mawdhu’ perawinya pendusta. Maka para ulama
memperbolehkan meriwayatkan hadits dhaif sekalipun tanpa menjelaskan
kedhaifannya dengan dua syarat, yaitu :
1) tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah
2) Tidak menjelaskan hokum syara’ yang berkaitan dengan halal dan
haram, tetapi, berkaitan dengan masalah maui’zhah, targhib wa
tarhib (hadits-hadits tentang ancaman dan janji), kisah-kisah, dan
lain-lain.
Dalam meriwayatkan hadit dhaif, jika tanpa isnad atau sanad
sebaiknya tidak menggunakan bentuk kata aktif (mabni ma’lum) yang
meyakinkan (jazam) kebenarannya dari Rasulullah, tetapi cukup
menggunakan bentuk pasif (mabni majhul) yang meragukan (tamridh)
misalnya :

‫ق ن‬
‫ ن س ه‬dipindahkan, ‫مَاَ ي سنروهين‬
‫فهي ن ه‬
‫ سروهين‬diriwayatkan, ‫ل‬

pada sesuatu yang diriwayatkan

dating. Periwayatan dhaif dilakukan

karena berhati-hati (ikhtiyath).
d. Pengamalan hadits dhaif
Para ulama berpendapat dalam pengamalan hadits dhaif. Perbedaan itu dapat
dibagi menjadi 3 pendapat, yaitu :
1)

Hadits dhaif tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam
keutamaan amal (Fadhail al a’mal) atau dalam hokum sebagaimana yang
diberitahukan oleh Ibnu sayyid An-Nas dari Yahya bin Ma’in. pendapat
pertama ini adalah pendapat Abu Bakar Ibnu Al-Arabi, Al-Bukhari,
Muslim, dan Ibnu hazam.

2)

Hadits dhaif dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadhail ala’mal atau dalam masalah hokum (ahkam), pendapat Abu Dawud dan
Imam Ahmad. Mereka berpendapat bahwa hadits dhaif lebih kuat dari
pendapat para ulama.

3)

Hadits dhaif dapat diamalkan dalam fadhail al-a’mal, mau’izhah,
targhib (janji-janji yang menggemarkan), dan tarhib (ancaman yang
menakutkan) jika memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana yang
dipaparkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqolani, yaitu berikut :


Tidak terlalu dhaif, seperti diantara perawinya pendusta
(hadits mawdhu’) atau dituduh dusta (hadits matruk), orang yan daya
iangat hapalannya sangat kurang, dan berlaku pasiq dan bid’ah baik
dalam perkataan atau perbuatan (hadits mungkar).



Masuk kedalam kategori hadits yang diamalkan (ma’mul
bih) seperti hadits muhkam (hadits maqbul yang tidak terjadi
pertentanga dengan hadits lain), nasikh (hadits yang membatalkan
hokum pada hadits sebelumnya), dan rajah (hadits yang lebih unggul
dibandingkan oposisinya).



Tidak diyakinkan secara yakin kebenaran hadits dari
Nabi, tetapi karena berhati-hati semata atau ikhtiyath.

e. Tingkatan hadits dhaif

Sebagai salah satu syarat hadits dhaif yang dapat diamalkan diatas
adalah tidak terlalu dhaif atau tidak terlalu buruk kedhaifannya. Hadits yang
terlalu buruk kedhaifannya tidak dapat diamalkan sekalipun dalam fadhail ala’mal. Menurut Ibnu Hajar urutan hadits dhaif yang terburuk adalah
mawdhu’’, matruk, mu’allal, mudraj, maqlub, kemudian mudhatahrib.10

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembagian hadits bila ditinjau dari kuantitas perawinya dapat dibagi
menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad. Untuk hadits mutawatir
juga dibagi lagi menjadi 3 bagian yaitu : mutawatir ma’nawi dan mutawatir
‘amali. Sedangkan hadits ahad dibagi menjadi dua macam, yaitu masyhur dan
ghairu masyhur, sedangkan ghairu masyhur dibagi lagi menjadi dua bagian
yaitu, aziz dan ghairu aziz.
Sedangkan hadits bila ditinjau dari segi kualitas hadits dapat dibagi
menjadi dua macam yaitu hadits maqbul dan hadits mardud. Hadits maqbul
terbagi menjadi dua macam yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad yang
shahih dan hasan, sedangkan hadits mardud adalah hadits yang dahif.
B. Saran-saran
Bahwa didalam mempelajari studi hadits hendaklah benar-benar
mengetahui pembagian hadits baik dari segi kuantitas maupun kualitas hadits
itu sendiri, supaya timbul ke ihtiyathan kita dalam menyampaikan hadits, dan
untuk bias membedakan keshahihan suatu hadits harus mengetahui
pembagian-pembagian hadits. Ditakutkan nanti kita termasuk golongan orangorang yang menyebarkan hadits-hadits palsu.

10

Ibid. hlm. 167.

DAFTAR PUSTAKA
Moh. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta : Guang Persada Press,
2008
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, Jakarta: Amzah (cetakan keempat), 2010.